Dorongan: Marind di Hadapan Nama Sang Ayah

189 terjadi, dan gap antara tatanan Simbolik dan implisitas fantasi pun bisa terjembatani. Dengan melampaui fantasinya maka Marind telah masuk ke dalam domain dorongan drive, yakni wilayah dimana terdapat detakan atau dentuman sirkular yang menghasilkan kepuasan hanya dari pengulangan abadi eternal return atas suatu kegagalan. 204 Inilah sikap aktif yang merestui adanya konfrontasi pasif dengan objek a, menerima bahwa ada jejak-jejak yang tertinggal dari ke-Marind-an, suatu kenikmatan yang hanya bisa dijelaskan oleh kondisi kehilangan. Detakan atau dentuman inilah yang bergerak secara abadi dalam ketaksadaran Marind, yang menciptakan semangat untuk melakukan sesuatu, tak hanya melampaui simbolisasi, bahkan melampaui selubung rasional dari fantasi.

3. Dorongan: Marind di Hadapan Nama Sang Ayah

Ketika operasi penandaan, berikut fantasi atas segala kemungkinan yang terkait ke dalam jaringan sistem Simbolik tak mampu menampung pergerakan dari ketaksadaran subjek, maka apa yang tersisa adalah letupan- letupan simptomatik, yang tanpa disadari hadir secara konstan ke dalam realitas, serta mengganjal fiksasi dari arus rasionalisasi. Ia adalah antagonisme yang melawan keterbatasan hasrat dengan cara berserak di antara aktivitas subjek dalam berhasrat. Inilah wajah yang tersisa dari trauma kehilangan yang kini menjadi energi pendorong yang abadi, yaitu dorongan menuju tercapainya kenikmatan sesungguhnya melalui 204 Ibid., hlm: 40-41. 190 ditemukannya penanda-penanda primordial phallic signifier sebagai yang memungkinkan, tanpa bisa direduksi menjadi bagian dari hukum-hukum dalam jejaring Simbolik yang telah ada. Akan tetapi penanda-penanda yang memungkinkan itu selamanya hanya akan berdiri sebagai kemungkinan, karena yang sesungguhnya ingin dicapai oleh dorongan itu adalah Sesuatu the Thing, sementara setiap penanda dalam dirinya sendiri adalah kegagalan. Pada wilayah ini subjek pun tak lagi dikendalikan oleh fantasinya dan menjadi subject of desire, subjek di sini telah menjadi subject of drive, yaitu subjek sebagai suatu ritme gila dari ketaksadaran. 205 Jika kembali kepada frasa Sloterdijkian, dorongan inilah yang – di tengah operasional doing – tetap mempertahankan subjek mampu menghadirkan but still, . 206 a. Phallic Jouissance: Marind dalam Irasionalitas Totem Penanda falus phallic signifier bekerja melalui paradoks dari keberadaannya, Žiže₂ menggambarkan status dari penanda ini dengan sebuah frasa yang berbunyi everything depends on me, but for all that I can do nothing Žiže₂, 1989: 254. Dalam tradisi Marind, inilah status yang ditempati oleh totem-totem yang mereka miliki, dimana secara formal ia hanyalah penanda-penanda yang bisa ditemui dalam realitas keseharian masyarakat manapun. Tapi, pada penanda-penanda itulah segala subjektifitas dari ke-Marind-an disandarkan sepenuhnya. Totem ini, tanah, hutan, pohon kelapa, burung kasuari, buaya, sagu, dan seterusnya, adalah 205 Ibid., hlm: 40. 206 “la oj Žižek. . The Sublime Object of Ideology. London: Verso, hlm: 30. 191 objek yang tidak memiliki nilai lebih selain fungsi materialnya dalam realitas, tapi bagi Marind semua itu selalu hadir dengan melanggar aturan rasional dari fungsi keberadaan, memainkan perannya secara aktif sebagai penanda identitas ke-Marind-an. Dikenakannya perhiasan atau atribut adat oleh masyarakat Marind dalam setiap negosiasi, adalah hal yang sama sekali tidak berhubungan baik secara formal maupun informal dengan apa yang menjadi konten dari peristiwa tersebut. Juga dihadirkannya totem-totem tersebut menjadi apa yang Marind sebut sebagai ka u pada Sidang Makaling, sama sekali tidak memiliki signifikansi rasional dengan pernyataan penolakan mereka terhadap MIFEE. Akan tetapi bagi Marind, apakah negosiasi itu mungkin jika sama sekali tidak disertai dengan kehadiran atribut adat itu, apakah penolakan pada Sidang Makaling itu bisa dinyatakan tanpa didirikannya ka u di hadapan mereka. Inilah titik paradoks dari penanda falus, totem bagi Marind, dimana segala hukum bersandar padanya sementara ia sendiri tak mampu memberikan apa-apa kecuali hanya keberadaan materialnya. Totem sebagai penanda yang menampung irasionalitas sebuah ikatan primordial antara Marind dan Dema-nya, tidak bisa diintegrasi ke dalam tatanan Simbolik yang ditopangnya, karena di luar ikatan primordial itu ia hanyalah objek yang sedikitpun tak lebih dari materialitasnya. Ketika atribut totemik dikenakan oleh masyarakat kampung Ndumande atau Zanegi dalam sebuah negosiasi dengan perusahaan, yang bisa ditangkap oleh pihak perusahaan adalah bahwa benda-benda itu hanyalah perhiasan atau bagian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 192 dari pakaian adat yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan kesepakatan soal batas wilayah atau kemarahan masyarakat dalam membahas nilai kompensasi kayu hutan. Atau sedikit lebih dari itu adalah k a u bagi para peneliti yang turut hadir dalam Sidang Makaling: hal paling jauh yang bisa meraka berikan kepada fenomena itu melalui interpretasi bahwa benda-benda yang dikumpulkan jadi satu dan disebut sebagai k a u itu memiliki kaitan primordial dengan kedirian masyarakat Marind. Lebih dari itu hanyalah penghormatan dengan ketakmungkinan untuk menjangkaunya lebih dari sekedar benda. Kondisi ini menjelaskan bahwa di luar ikatan primordial, totem-totem itu hanyalah bentuk yang kehilangan esensinya. Jika ditilik sejenak melalui penjelasan Roland Barthes, maka totem- totem tersebut tak lain adalah makna tingkat kedua dari moda penandaan dalam tradisi Marind. 207 Totem hadir dan bekerja sebagai tanda bahasa yang mengapung ke permukaan realitas, mengisi kekosongan dalam materialitas benda-benda dengan makna yang diproduksi oleh rantai panjang penandaan atas trauma mula-mula Marind dimana titik terjauhnya adalah Dema, sehingga membentuk suatu sistem penandaan yang tanpanya Marind tidak ada. Perjalanan rantai penandaan ini menjadikan makna yang diproduksinya bergerak melampaui dirinya sendiri, menjadi makna yang lebih dari sekedar makna. Inilah primordialisme, kenikmatan yang hanya mampu ditampung oleh rangkaian penandaan di level Imaginer menjadi phallic signifier. Oleh karena itu, dengan konsistensi Marind dalam melibatkan totem-totemnya pada setiap pergerakan Simboliknya, maka pada dasarnya Marind telah 207 Roland Barthes. 1958. Elements of Semiology. London: Hill Wang. 193 masuk dalam pusaran intruksi irasional irrational injunction dari dorongan yang merujuk kepada apa yang Žiže₂ sebut sebagai landasan inti dari ideologi trans-ediogical kernel. Inilah sesuatu yang membuat ideologi itu hidup, sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh positivitas nalar atas suatu objek, karena ia berada dalam wilayah ketidakmungkinan, wilayah negatif sebagai watak dari yang-Real: jouissance. b. Prinsip Pemaknaan: Anim-Ha [in-itself] sebagai Penanda Utama Setelah totem-totem tersebut menjelaskan bahwa dengannya Marind mendapatkan suatu kenikmatan di luar bahasa, maka di sinilah titik permasalahan selanjutnya berada, bahwa karena kehidupan sosial telah berlangsung di atas dunia Simbolik, dunia pemaknaan melalui hukum bahasa, maka Marind tidak cukup hanya dengan totem, karena mereka tidak mungkin hanya hidup dalam dunia Imaginer. Marind harus menemukan jouissance-nya hingga pada dunia Simbolik, dunia bahasa, melalui penanda bahasa yang bisa menampung Sesuatu the Thing dari segala kenikmatan dorongan primordialnya. Hanya dengan jalan itu Marind bisa terintegrasi ke dalam medan sosial yang lebih luas. Penanda semacam itulah yang disebut sebagai Penanda Utama Master Signifier. Penanda utama adalah penanda yang dalam dirinya sendiri in-itself ia – seperti halnya penanda totemik – pada dasarnya hanyalah objek kosong tanpa isi atau muatan. Akan tetapi tepat karena kekosongannya ia justru membuat Sesuatu yang berada dalam kemustahilan impossibility itu 194 menjadi mungkin untuk ditampung. Inilah yang dijelaskan oleh Lacan dengan istilah poin de capiton dalam logika equivalensinya Laclau menyebutnya sebagai nodal point atau empty signifier , yaitu penanda tanpa petanda , ₂ata di level penanda yang menyatukan lapangannya dan membentuk identitasnya sendiri, dimana Sesuatu merujuk untuk mengenali dirinya dalam sebuah kesatuan penandaan. Sesuatu itu adalah Yang-Real, yaitu esensi dari sebuah objek, sesuatu yang ada dalam objek melebihi objek itu sendiri dan – sekali lagi – tidak mungkin ditangkap, karena ia adalah kemustahilan impossibility. Ia hanya bisa dikenali melalui jejak-jejak kenikmatan yang tertinggal dalam bentuk surplus something extra yang diproduksinya dalam operasi penandaan. 208 Dalam budaya Marind, itulah wajah dari kata Anim-Ha. Sebagai sebuah penanda, Anim-Ha menampung seluruh negativitas dari keberadaan totem sebagai penanda falus. Sebagaimana yang dikatakan oleh kepala distrik Okaba bapak Jeremias Ndiken bahwa Anim-Ha hanya mungkin diwujudkan jika Marind berdiri dengan disertai berbagai perhiasan adat benda-benda totem. Anim-Ha menjadi penampung atas segala kesubliman yang ada dalam kehidupan, segala kemustahilan yang berdiam di sepanjang alur identifikasi Marind: lack dalam aturan adat dan MIFEE, totem-totem sebagai penanda falus, serta segala objek a dalam setiap objek yang dihasrati oleh Marind. Itulah sebabnya yang bisa ditangkap oleh orang lain dari penjelasan Marind tentang Anim-Ha tidak lebih hanyalah sebatas berbagai arti kata Ha tersebut dalam bahasa Indonesia, yaitu Sejati, Baik, Benar, Betul, Utuh, Sungguh dan 208 “la oj Žižek. Ibid., hlm: 107-108. 195 Perkasa, dan lain-lain. Lebih jauh dari itu masyarakat Marind hanya bisa bercerita tentang kisah mitologis yang mereka punya, karena mereka tak menemukan kata yang cukup untuk mencakup suatu Anim-Ha. Akan tetapi dengan ketidakcukupan segala penjelasan melalui bahasa lain itu bahasa Indonesia, Anim-Ha justru aktif dalam mempertahankan posisinya sebagai penanda kosong yang tak memungkinkan ditutup kecuali dengan kemustahilan itu sendiri. Bahkan pelebaran yang terjadi dalam arti kata bahasa Indonesia dari kata Anim-Ha itu justru menunjukkan bahwa setiap arti kata tersebut secara metonimikal menemukan kontigensi dalam signifikansinya, merujuk dan mengidentifikasikan dirinya ke dalam satu penanda utama yang tak berbatas, justru karena ia tidak memiliki petanda. Hal yang harus dicermati adalah bahwa Anim-Ha, kendati ia diidentifikasi melalui penanda-penanda primordial, ia tetap tidak bisa lagi dipahami sebagai wajah asli dari ke-Marind-an yang bersih dari segala bentuk bahasa Liyan, atau semata hanya sebuah kehendak untuk kembali kepada kejayaan masa lampau. Inilah letak arti dari apa yang dimaksud sebagai poin point itu, bahwa Anim-Ha berada di luar jangkauan objektivitas dunia Simbolik dari waktu ke waktu, hadir sebagai pengikat bagi segala kemustahilan yang terkandung dalam objektivitas Simbolik adat, agama dan pemerintah yang sama-sama menderita lack. Sementara sebagai jawaban dari dorongan, Anim-Ha menampung segala objektivikasi yang dilakukan oleh hasrat, namun sekali lagi, karena ia adalah penanda kosong yang tidak memiliki petanda maka selamanya tidak akan mungkin memberikan kepastian akan jawaban yang paripurna fix dari pertanyaan 196 tentang hasrat. Apa yang bisa ia berikan kepada Marind hanyalah kenikmatan lebih surplus jouissance sebagai ekses yang tercecer dan dihasilkan dari aktivitas atau operasi penandaan yang mengacu kepadanya. Dengan demikian peran sesungguhnya dari histeria Marind bukanlah untuk memberikan jawaban final atau penyelesaian terhadap sebuah terauma kehilangan, akan tetapi untuk memberi jalan bagi ditinggalkannya surplus, kenikmatan lebih, dari proses atau aktivitas dalam menemukan jawaban tersebut, proses mewujudkan Anim-Ha yang terus-menerus, yang lagi dan lagi. c. Anim-Ha [for-itself] sebagai Jalan Sublimasi Pada akhirnya sampailah pembahasan ini pada momen dimana Marind berada pada titik sublimasi, sebuah pengalaman akan jouissance, yaitu ketika Marind mengalami suatu kesan impression akan kemustahilan yang diperoleh dari aktivitas penandaan ketika dorongan telah menempatkan mereka di antara dua kutubnya, yaitu Anim-Ha yang menjadi objek dari dorongan, dan Sesuatu yang menjadi tujuannya. Pada titik inilah harus dipahami bahwa subject of drive adalah subject of distance, bahwa jika subjek telah sampai pada level dorongan, maka ia pada dasarnya sedang berada di antara rentang jarak tersebut, berada persis di tengah wajah dari keterbelahannya sebagai subjek , yang juga merupakan batas akhir dari jangkauan objektivitas Simbolik menuju Real. Pada titik ini, apa yang bisa didapatkan oleh subjek terkait dengan tujuan dari dorongannya hanyalah kesan akan Sesuatu melalui objek. Dalam kasus Marind, kesan tersebut tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 197 bisa diandaikan ada begitu saja. Untuk bisa sampai pada yang dimaksud dengan sublimasi Marind pembahasan ini terlebih dulu harus menjelaskan kembali simptom histeris Marind untuk dijadikan jalan masuk. Sebagaimana telah penulis jelaskan bahwa simptom Marind terkait pertemuannya dengan MIFEE secara umum bisa dikategorikan ke dalam tiga bentuk, yaitu sikap menerima, sikap menolak, dan kecenderungannya untuk mengekspresikan identitas. Dengan sampainya pembahasan ini pada Anim- Ha sebagai penanda utama, maka bisa dijelaskan bahwa arah yang menjadi tujuan dari perjalanan hasrat Marind adalah sesuatu yang terkandung dalam Anim-Ha. Itulah sebabnya baik sikap penerimaan ataupun penolakan selalu menampilkan juga pelanggar transgression dari dirinya sendiri, menjadikan keduanya sebagai bahasa yang tak sempurna, yang bersamaan dengan itu Marind tak henti-henti mengekspresikan identitasnya. Anim-Ha sebagi wajah dari kemustahilan jouissance menempatkan Marind dalam pemberhentian akhir dari perjalanan hasratnya di dunia bahasa, lebih dari itu adalah kenikmatan tiada tara dari suatu ketiadaan, yang tak mungkin dialami kecuali dengan kematian. Marind dalam posisinya sebagai subject of distance merupakan gerak pengulangan abadi dari suatu pengingkaran terhadap keterbatasan penanda Anim-Ha itu sendiri dalam realitas modern. Memasuki ruang modern, Anim-Ha in-itself hanyalah semata-mata objek, bentuk tanpa esensi, akan tetapi justru karena kosong tanpa esensi, kerja dorongan bisa menjadikannya sebagai satu-satunya alamat yang memiliki derajat lebih dari sekedar objek. Dorongan yang bekerja melalui pengulangan yang abdi membuat status Anim-Ha bergeser dari in-itself menjadi for-itself, dari Anim- 198 Ha sebagai kementokan bahasa menjadi Anim-Ha sebagai sebuah upaya abadi untuk sampai kepada Sesuatu. itulah tujuan akhir dari dorongan kematian death drive, Sesuatu yang menjadi satu-satunya jalan penyelesaian atas terauma kehilangan, sesuatu yang tak mungkin tercapa kecuali hanya sebagai kemungkinan. 209 Anim-Ha for-itself, dengan demikian memungkinkan terdapat dalam setiap bentuk ekspresi Marind, terutama adalah semua ekspresi mereka yang menggunakan adat sebagai bahasa, baik dalam penjelasan oral maupun sikap perbuatan. Dalam hal ini penulis menilai apa yang dikatakan oleh bapak Jeremias Ndiken – baik dalam Sidang Makaling maupun dalam penjelasannya prihal identitas – sebagai bentuk kesadaran bahwa konsep Anim-Ha yang mereka miliki tidak mampu memberikan apa-apa selain dorongan semangat untuk sampai kepadanya, kepada satu-satunya pegangan dari primordialismenya, yang tidak bisa dijelaskan secara rasional mengapa ia adalah pegangan. Hal ini juga nampak dari bagaimana Marind menyandingkan argumentasi rasional tentang penolakannya dengan penjelasan tentang mitos, totem dan segala hal tentang identitas primordialnya, beri₂ut ₁uga ritual do a yang mere₂a la₂u₂an di depan ka u. Inilah jalan sublimasi dari histeria Marind saat ini, dimana penanda Anim-Ha menjadi arena dari perjalanan tak henti menuju Sesuatu the Thing yang merupakan objek sublim dari ideologi Marind, menjadi jalan yang memungkinkan Marind untuk mengalami kesan akan Sesuatu tersebut 209 “la oj Žižek. . Tarrying with The Negative: Kant, Hegel, and The Critique of Ideology. USA: Duke University Press, hlm: 159. 199 jouissance. Namun ini sekaligus menjelaskan bahwa kesan bukanlah kenikmatan yang sesungguhnya, karena selalu terdapat kekurangan pada apa yang diperoleh dari sebuah kesan. Dengan demikian Marind akan tetap mencari dan mencari, melalui Anim-Ha sebagai jalan, sebagai penanda utama, sebagai pintu gerbang dari kemustahilan yang-Real the imposible Real: jouissance.

B. IDEOLOGI MIFEE-MP3EI