Patriotisme : primordialisme masyarakat Marind melawan kosmopolitanisme MIFEE-MP3EI dI MERAUKE.

(1)

ABSTRAK

Suku Marind adalah masyarakat yang mendiami kawasan yang secara teritorial kenegaraan berada dalam wilayah Kabupaten Merauke. Marind hidup dengan berpegang pada nilai-nilai adat yang bersumber dari ikatan primordial dengan tanah dan hutan. Ikatan ini terwujud ke dalam kehidupan masyarakat Marind dalam bentuk konsep identitasAnim-Ha(Manusia Sejati) yang menampung seluruh sistem pemaknaan atas kehidupan yang mereka jalani. Saat ini, Marind sedang berhadapan dengan program perekonomian Indonesia bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai turunan dari mega proyek ekonomi Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan secara legal formal mengakuisisi hutan yang secara adat dimiliki oleh suku Marind.

Pertemuan Marind dan MIFEE ini melahirkan suatu pertentangan terkait dengan bagaimana tanah dan hutan itu dimaknai. Marind dengan semangat Anim-Ha yang dipegangnya berjuang mempertahankan hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitasnya, sementara pemerintah Indonesia menyikapi hutan tak lain sebagai aset ekonomi yang menyediakan peluang besar meraih keuntungan dan mengatasi ancaman krisis yang diwacanakannya. Pertentangan ini secara ideologis menghadapkan Marind dan Pemerintah Indonesia dalam wacana kecintaan kepada tanah air. Dengan MIFEE-MP3EI yang menjadi bagian dari arus besar kapitalisme neoliberal Asia, pemerintah Indonesia memposisikan nasionalisme sebagai nasionalisme pasar. Ideologi inilah yang ditentang oleh pergerakan masyarakat Marind yang secara primordial justru memperlihatkan patriotisme dan kecintaan kepada tanah kelahirannya (patria).

Kata kunci: ideologi, Marind, Anim-Ha, MIFEE, MP3EI, primordialisme, patriotisme, nasionalisme pasar, patria.


(2)

ABSTRACT

This thesis is a study about ideology that uses Lacanian-Žižek perspective to explain about Marind people movement against neoliberalism that is represented by the existence of Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project. The Marind is a community who lives in Merauke Regency. Their lives are based on customary values, which are rooted in primordial ties between the Marind, their land and forest. This connection is manifested in Marind’ s lives in a form of identity concept called as Anim-Ha (The Real Man), which signify the whole system of meaning upon their lives. To date, an economic development program called MIFEE – as a program derivation from mega project of Indonesian Economic Acceleration and Expansion (MP3EI) – has been legally appropriating the forest that is claimed to be owned by the Marind under their customary law.

The interface between Marind and MIFEE produces a contestation in terms of how meanings were given to land and forest. The Marind within a spirit of Anim-Ha is struggling to defend their forest to be inseparable from their identity, whilst the government of Indonesia perceived the forest as merely an economic asset that is supposed to provide chances for profit and prevent the country from crises as reflected in their discourse about crises as threat. Ideologically, this contestation places the Marind in face to face with the Indonesia government within the discourse of love of country (patria). Through the MIFEE-MP3EI, which is part of the big wave of Asian neoliberal capitalism, Indonesia government has positioned nationalism merely as a market nationalism that is losing its patriotic spirit. On the other hand, primordial symptomatic movement of the Marind in relation to their forest demonstrated patriotism and love to their homeland.

Key words: ideology, Marind, Anim-Ha, MIFEE, MP3EI, primordialism, patriotism, market nasionalism, patria.


(3)

i

PATRIOTISME:

PRIMORDIALISME MASYARAKAT MARIND MENGHADAPI KOSMOPOLITANISME MIFEE-MP3EI DI MERAUKE KAJIAN IDEOLOGI MELALUI PERSPEKTIF SLAVOJ ŽIŽEK

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Oleh: Zuhdi Siswanto NIM: 106322008

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Zuhdi Siswanto

NIM : 106322008

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma

Menyetakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Patriotisme: Primordialisme Masyarakat Marind Menghadapi Kosmopolitanisme MIFEE-MP3EI di Merauke

Kajian Ideologi Melalui Perspektif Slavoj Žižek Pembimbing : 1. Dr. St. Sunardi

2. Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 4 Februari 2014 Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penuli aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.


(7)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Zuhdi Siswanto

NIM : 106322008

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

PATRIOTISME:

PRIMORDIALISME MASYARAKAT MARIND MENGHADAPI KOSMOPOLITANISME MIFEE-MP3EI DI MERAUKE

(KAJIAN IDEOLOGI MELALUI PERSPEKTIF SLAVOJ ŽIŽEK

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.


(8)

vi

KATA PENGANTAR

Dalam kata pengantar ini saya hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya sebesa-besarnya kepada berbagai pihak yang tanpa mereka saya yakin tesis ini belum akan selesai.

Untuk bapak dan ibu saya di Lamongan, terima kasih atas do a-doanya. Untuk istri saya tercinta, terima kasih atas senyum dan kesabarannya.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada pak Dr. St. Sunardi dan mbak Dr. Katrin Bandel atas bimbingan dan segala perhatiannya yang tak kenal lelah, juga kepada romo Dr. Gregorius Budi Subanar S.J., pak Prof. Dr. A. Supratiknya, romo Dr. Benny Hari Juliawan S.J. serta segenap dosen IRB, terima kasih atas segala dukungan moral dan pemikirannya. Kepada mbak Desy Cicik dan mas Mul atas segala dukungan semangatnya.

Saya sampaikan juga terima kasih sebesar-besarnya atas kerjasama dan dukungan penuh dari Sekretariat untuk Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAME) dan seluruh tim sesama peneliti selama di lapangan: Laksmi A. Savitri, om Yos, om Hari, Okto Waken, Kizito Heru, Muntaza, Henky, Yufiq dan semua anggota yang tak bisa saya sebutkan seluruhnya.

Hormat dan terima kasih yang tak terhingga juga saya sampaikan kepada kepala adat di Zanegi, kepala adat di Makaling, kepala adat di Ndumande, Pastor Minarto di Paroki Okaba, Paroki Muting, om Bon Gebze, om Leo Mahuze, tete Moses Kaize, tete Eli di Wayau, om Niko di Selil, Natalis


(9)

vii

Basik-Basik, Huber Kaize, pak Sitompul di Makaling, dan seluruh masyarakat Marind, Yeinan dan Kanum di Merauke.

Dan terakhir buat teman-teman IRB: Inyiak RM, Alwi, Irfan, pak Mardison, bung Benny, Armando, Nelly, Lisis, Gintani, Pongky, mas Windarto, Amsa, terima kasih atas kesediaannya untuk saling berbagi beban hidup ini. Aku rapopo. Piye perasaanmu?


(10)

viii ABSTRAK

Suku Marind adalah masyarakat yang mendiami kawasan yang secara teritorial kenegaraan berada dalam wilayah Kabupaten Merauke. Marind hidup dengan berpegang pada nilai-nilai adat yang bersumber dari ikatan primordial dengan tanah dan hutan. Ikatan ini terwujud ke dalam kehidupan masyarakat Marind dalam bentuk konsep identitas Anim-Ha (Manusia Sejati) yang menampung seluruh sistem pemaknaan atas kehidupan yang mereka jalani. Saat ini, Marind sedang berhadapan dengan program perekonomian Indonesia bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai turunan dari mega proyek ekonomi Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan secara legal formal mengakuisisi hutan yang secara adat dimiliki oleh suku Marind.

Pertemuan Marind dan MIFEE ini melahirkan suatu pertentangan terkait dengan bagaimana tanah dan hutan itu dimaknai. Marind dengan semangat Anim-Ha yang dipegangnya berjuang mempertahankan hutan sebagai bagian tak terpisahkan dari identitasnya, sementara pemerintah Indonesia menyikapi hutan tak lain sebagai aset ekonomi yang menyediakan peluang besar meraih keuntungan dan mengatasi ancaman krisis yang diwacanakannya. Pertentangan ini secara ideologis menghadapkan Marind dan Pemerintah Indonesia dalam wacana kecintaan kepada tanah air. Dengan MIFEE-MP3EI yang menjadi bagian dari arus besar kapitalisme neoliberal Asia, pemerintah Indonesia memposisikan nasionalisme sebagai nasionalisme pasar. Ideologi inilah yang ditentang oleh pergerakan masyarakat Marind yang secara primordial justru memperlihatkan patriotisme dan kecintaan kepada tanah kelahirannya (patria).

Kata kunci: ideologi, Marind, Anim-Ha, MIFEE, MP3EI, primordialisme, patriotisme, nasionalisme pasar, patria.


(11)

ix ABSTRACT

This thesis is a study about ideology that uses Lacanian-Žižek perspective to explain about Marind people movement against neoliberalism that is represented by the existence of Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) project. The Marind is a community who lives in Merauke Regency. Their lives are based on customary values, which are rooted in primordial ties between the Marind, their land and forest. This connection is manifested in Marind s lives in a form of identity concept called as Anim-Ha (The Real Man), which signify the whole system of meaning upon their lives. To date, an economic development program called MIFEE – as a program derivation from mega project of Indonesian Economic Acceleration and Expansion (MP3EI) – has been legally appropriating the forest that is claimed to be owned by the Marind under their customary law.

The interface between Marind and MIFEE produces a contestation in terms of how meanings were given to land and forest. The Marind within a spirit of Anim-Ha is struggling to defend their forest to be inseparable from their identity, whilst the government of Indonesia perceived the forest as merely an economic asset that is supposed to provide chances for profit and prevent the country from crises as reflected in their discourse about crises as threat. Ideologically, this contestation places the Marind in face to face with the Indonesia government within the discourse of love of country (patria). Through the MIFEE-MP3EI, which is part of the big wave of Asian neoliberal capitalism, Indonesia government has positioned nationalism merely as a market nationalism that is losing its patriotic spirit. On the other hand, primordial symptomatic movement of the Marind in relation to their forest demonstrated patriotism and love to their homeland.

Key words: ideology, Marind, Anim-Ha, MIFEE, MP3EI, primordialism, patriotism, market nasionalism, patria.


(12)

x DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. LATAR BELAKANG………. 1

B. TEMA ……… 9

C. RUMUSAN MASALAH ……… 9

D. TUJUAN ..……….... 10

E. MANFAAT ...………... 10

F. KAJIAN PUSTAKA ………... 11

G. KERANGKA TEORI ………... 20

H. METODE PENELITIAN ... 45

I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ……… 51

BAB II : MIFEE-MP3EI: MENCARI KEUNTUNGAN MELALUI KRISIS ... 52

A. MERAUKE DAN KERENTANAN PANGAN DUNIA………. 53

1. Sebelum MIFEE ……… 55

a. Proyek Padi Kumbe (Koembe Project ……… 56

b. Panen Raya 2006 ……….. 60

c. Merauke sebagai Surplus Tanah ………. 62

2. Menuju MIFEE ……….. 67

a. Doktrin Krisis dan Empati Kemanusiaan Global ………... 67

b. Liberalisasi Komoditi Pangan dalam KADIN Feed the World Seminar 2010 .. 74

c. Arah Kebijakan menuju MIFEE ……… 80

B. KONEKTIVITAS: DARI MERAUKE KE ASIA TIMUR ……… 86

1. Interkonektivitas Indonesia ……… 86

a. Koridor Papua dan Kepulauan Maluku: MIFEE dalam MP3EI ………... 87

b. Mengapa MP3EI? ……….. 89

2. Indonesia dalam Regionalisme Asia ………... 91

a. Indonesia sebagai Potensi dan Tantangan ………... 93

b. Indonesia dalam Comprehensive Asia Development Plan………...……….. 96

c. Kosmopolitanisme: Jalan ASEAN menuju Kebebasan Tunggal ………... 99

BAB III : TANAH DAN IDENTITAS PRIMORDIAL MARIND ……… 104

A. MANUSIA ADALAH TANAH DAN BAHASA ……… 106

1. Tanah: dari Aturan hingga Semangat ………... 108

a. Sistem Kepemilikan ……… 110

b. Agama dan Spiritualitas ………...……… 114

2. Marind Anim-Ha: Mitos dan Identitas ……….. 117

a. Totem dan Dunia Dema……… 121

b. Tanah dan Tuan Tanah ……….. 127

B. BERTEMU MIFEE-MP3EI ………... 129

1. Sebuah Proses Awal ……… 130

a. Sosialisasi Mimpi ……….. 131

b. Komunikasi: Baku Lewat dalam Bahasa …... 134

c. Janji-janji: Perusahaan sebagai Manusia ……… 137

d. Impian vs MoU ………... 141

2. Histeria Masyarakat Marind ……… 144


(13)

xi

b. Pembangunan: Antara Harapan dan Kecemasan ……….... 150

c. Perampasan Hutan dan Keterasingan ………... 153

d. Resistensi ………... 156

BAB IV : PRIMORDIALISME, PATRIOTISME DAN NASIONALISME: MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM TAFSIR IDEOLOGI ZIZEKIAN ..... 160

A. IDEOLOGI MARIND ……… 166

1. (In)Konsistensi Bahasa sebagai Simptom ……….. 166

a. Bahasa Penolakan ……… 168

b. Bahasa Penerimaan ………... 171

c. Cerita Identitas Lagi, dan Lagi ………... 175

2. Fantasi Marind……… 178

a. Keterasingan: Marind dalam Panggung Tragedi Kastrasi …………...……… 180

b. Membangun Hasrat, Membangun Narasi Fantasi ……… 183

c. Ajakan Semu dari Kemungkinan Lain ………... 186

3. Dorongan : Marind di Hadapan Nama Sang Ayah ... 189

a. Phallic Jouissance: Marind dalam Irasionalitas Totem ……….. 190

b. Prinsip Pemaknaan: Anim-Ha [in-itself] sebagai Penanda Utama ………. 193

c. Anim-Ha [for-itself] sebagai Jalan Sublimasi ……… 196

B. IDEOLOGI MIFEE/MP3EI ………..…… 199

1. Simptom Gagalnya Wacana Kemanusiaan ………..……. 200

a. Histeria Marind ………...…….. 200

b. Wacana Feed The World ………..………. 203

2. MIFEE-MP3EI sebagai Fantasi………..………... 206

a. Panggung Kastrasi : Mengapa Simbol Antagonis adalah Krisis? ……..………….. 207

b. Hasrat SBY dalam Intersubjektivitas Lacanian ………..……… 210

c. Akumulasi Kapital sebagai Pelanggar Inheren ………..……… 213

3. MIFEE-MP3EI : Krisis dan Peluang Negara Liberal ……..……….. 217

a. Krisis dan Peluang sebagai Komoditas ... 218

b. Potensi dan Tantangan : dari Surplus Nilai ke Surplus Jouissance……….…….. 221

c. Neoliberalisme sebagai Penanda Utama .………..…………. 224

C. PRIMORDIALISME MELAWAN KOSMOPOLITANISME: MARIND DAN MIFEE-MP3EI DALAM ANALISIS WACANA LACANIAN ………..……….. 228

1. Lokasi Kebebasan dalam Perspektif Lacanian ………..……… 229

a. Kebebasan sebagai yang-Real ………..……… 231

b. Antara Pengetahuan dan Kebenaran ………..………. 235

c. Antara Nasionalisme dan Patriotisme ……… 240

2. Nasionalisme Indonesia Hari Ini ………..……… 250

a. Cinta Tanah Air dalam Globalisasi Pasar ………..………... 251

b. Nasionalisme [Pasar] Tanpa Luka Primordial …..……….. 255

c. Membayangkan Negara-Bangsa: Membayangkan Ketakterbayangan ……….. 259

3. Patriotisme Histeris Marind ………... 264

a. Mengapa Primordialisme Lacanian Bukanlah SARA? ... 268

b. Primordialisme sebagai Kategori Politik Marind ……… 265

c. Dari Primordialisme ke Sublimasi: Dari Antagonisme ke Patriotisme ...……... 274

BAB V : KESIMPULAN ……….……….. 279


(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak beredarnya wacana krisis finansial, energi dan pangan internasional pada tahun 2007-2008, berbagai negara miskin dan berkembang di seluruh dunia merasa berada dalam keterancaman atas keberlanjutan hidup warga masyarakatnya. Pangan dan dan energi pun selanjutnya menjadi komoditas yang tak bisa lagi ditolak muncul sebagai peluang sempurna dalam dunia bisnis internasional. Fenomena inilah yang

direspon oleh pemerintah Indonesia melalui semangat mengubah krisis menjadi peluang . Maka dipilihlah Kabupaten Merauke sebagai kawasan

lumbung pangan dimana mega proyek perekonomian bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) didirikan. MIFEE pun secara legal formal telah dan akan mengakuisisi tanah serta hutan yang secara adat telah dimiliki dan menjadi jaminan atas keberlangsungan hidup masyarakat suku Marind. Inilah gambaran dasar yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu pergerakan masyarakat Marind di Merauke dalam menyikapi mega proyek MIFEE.

MIFEE yang merupakan imperialisme baru, dilahirkan oleh wacana krisis yang dilontarkan oleh World Bank (2010) dan direspon oleh pemerintah Indonesia menjadi suatu program nasional from crisis to


(15)

2

opportunity . Wacana krisis ini menjelaskan bahwa pada tahun 2007-2008, ketika semakin berkurangnya cadangan minyak bumi menyebabkan menurunnya produksi BBM, terjadilah krisis energi yang selanjutnya berakibat pada melonjaknya harga pangan dunia. Kepanikan pun melanda hampir seluruh Negara di dunia. Negara-negara kaya yang berkebutuhan pangan tinggi namun tidak memiliki lagi tanah sebagai alat produksi berbondong-bondong mencari tanah di Negara lain yang bertanah luas.

Akhirnya krisis dunia pun dipandang sebagai peluang oleh pemerintah Indonesia. Dengan berskala luas dan berbasis korporasi, MIFEE digulirkan dengan mengalokasian lebih dari dua juta hektar tanah Merauke untuk dikelola sejumlah perusahaan menjadi perkebunan skala luas, baik itu untuk perkebunan padi, tebu, sawit, maupun perkebunan kayu untuk kebutuhan energi. Hasilnya, lahirlah Perda No.14/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Merauke th.2010-2030 yang mengalokasikan ±50% dari 4,5 juta hektar luas seluruh kabupaten Merauke sebagai lahan produksi bagi sekitar 47 perusahaan asing dan domestik.

Pertanyaan besarnya adalah, bagaimana dengan Marind sebagai masyarakat suku asli, bukankah program tersebut akan berhadapan secara langsung dengan mereka sebagai pemilik tanah/hutan di sana? Jawabnya adalah Ya. Sedari awal disosialisasikan, MIFEE telah menuai banyak protes dari masyarakat sipil di Merauke dan Papua melalui berbagai macam bentuk. Mereka membentuk Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) dan pada 11 agustus 2010 mengumumkan penolakannya terhadap MIFEE, serta


(16)

3

mendesak pemerintah pusat dan daerah agar mencabut segala bentuk MoU sehubungan dengan program tersebut. Sepanjang tahun 2011 masyarakat kampung Sanggase dan Buepe menuntut puluhan milyar kepada PT. MEDCO atas hutan di tanah ulayat yang sudah ditebang habis. Masyarakat kampung Ndumande memblokir jalan yang dilewati PT. Rajawali dengan merobohkan beberapa pohon kelapa serta menandainya dengan simbol-simbol adat. Masyarakat kampung Zanegi berkali-kali mendatangi kantor PT. SIS dan mengajukan 9 tuntutan, menjatuhkan kendaraan alat berat ke rawa, hingga memaksa diri bertahan dengan mendirikan bevak1 dan bercocok tanam di

lahan yang dikuasai perusahaan, dengan alasan bahwa itu adalah tanah dari moyang. Itulah fenomena yang ingin dikaji dalam tesis ini: kondisi dimana suatu masyarakat yang sebagian besar pola hidupnya adalah berburu dan meramu harus berhadapan dengan tekanan sekaligus pukauan dari suatu kekuatan sistem produksi modern bermodal besar yang bergerak secara formal dan politis.

MIFEE yang oleh pemerintah direncanakan untuk menjawab persoalan keamanan stok pangan dan energi, pada prakteknya justru telah mengancam tak hanya ketersediaan pangan masyarakat setempat, bahkan juga siklus dan moda produksi kultural yang mereka miliki. MIFEE telah melahirkan protes dan berbagai macam tuntutan dari masyarakat sejak awal mula beroprasinya PT. Medco Industri Lestari di kampung Buepe dan Zanegi, setahun sebelum program tersebut diresmikan pada 11 Agustus 2010 oleh

1

Bevak adalah bangunan semacam gubuk yang dibangun di hutan untuk dihuni oleh suatu keluarga dalam jangka waktu yang relatif lama. Bevak ini dibangun biasanya untuk mengawali aktivitas berkebun di tengah hutan.


(17)

4

pemerintah Indonesia. Namun dengan berbekal surat izin lokasi dari Pemkab Merauke, ditambah izin HTI dari Kementrian Kehutanan, perusahaan-perusahaan itu pun tetap menjalankan operasinya.

Pun begitu, bukan berarti masalah telah selesai. Dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat kampung Ndumande distrik Malind yang telah melakukan transaksi dengan PT. Rajawali dan menerima uang sebesar 6 milyar rupiah (yang oleh perusahaan disebut dengan uang Tali Asih, namun bagi masyarakat adalah uang pinangan atau ketok pintu) menuntut ulang perusahaan dengan alasan bahwa perusahaan telah melanggar janji sehubungan dengan batas luasan yang telah disepakati. Masyarakat menganggap bahwa perusahaan boleh menggarap tanah yang sudah diizinkan saja, karena jika lebih maka akan merusak banyak wilayah sakral: tempat dimana para leluhur (dema) mereka berdiam.

Pada tanggal 19-20 April 2012 masyarakat Marind menyelenggarakan sidang adat di kampung Makaling distrik Okaba (selanjutnya disebut Sidang Makaling) untuk membicarakan kondisi masuknya investasi terkait program MIFEE yang akan menjadikan tanah mereka sebagai objek produksi. Dalam pertemuan tersebut para Ketua Adat bersumpah di depan ka u2 dan

menghasilkan satu pernyataan bahwa: selain kepada anak cucu, masyarakat Marind dari distrik Okaba dan Tubang tidak akan memberikan tanah dan hutannya kepada siapapun. Tidak juga kepada MIFEE.

2

Ka u adalah kumpulan benda-benda totem yang dirangkai menjadi satu sesuai dengan struktur marga-marga yang dalam suku Marind. Ka u ini hanya dihadirkan dalam momen atau peristiwa-peristiwa komunal tertentu yang secara adat dianggap sangat penting dan sakral.


(18)

5

Fenomena masyarakat suku Marind tersebut perlu untuk dilihat sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan kehidupannya: ketika di tengah kehidupan berhutan yang telah berjalan sebagaimana biasa, tiba-tiba hadir gelombang besar perusahaan-perusahaan penggarap hutan yang dikawal oleh undang-undang dan hukum Negara, dan secara teritori membatasi ruang hidup mereka dan menjauhkan mereka dari tradisi berhutan. Setelah Sidang Makaling, protes-protes terus berjalan walaupun pada tingkatan kecil kehidupan sehari-hari. Misalnya, di kampung-kampung yang sebagian tanahnya sudah dikuasai oleh perusahaan, masyarakat akhirnya menolak untuk bekerja di perusahaan tersebut dan memilih berkebun, menanam sagu (makanan pokok) sebanyak jumlah cucu-cucunya, serta mendirikan bevak di hutan.

Membangun bevak dan berkebun di tanah yang dikuasai perusahaan, sepintas itu adalah hal yang biasa. Namun itu harus dipahami sebagai sikap untuk mempertahankan hak atas tanah yang mereka miliki. Sikap yang di dalamnya terkandung suatu ikatan primordial terhadap tanah, sekaligus bayangan tentang diri, keluarga, bahkan kehidupan anak cucu di masa depan. Itu adalah resistensi yang tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa kekuatan yang mendasarinya dan bersifat ideologis. Dengan demikian semangat untuk mempertahankan tanah pun bukan hanya berlandaskan pada kepentingan ekonomis dan material saja, namun juga eksistensial, mengandung nilai-nilai kehidupan yang mendalam dalam diri mereka.


(19)

6

Ini merupakan poin penting: program yang bernama MIFEE ternyata telah menggores dan melukai masyarakat tak hanya di permukaan tanah, melainkan hingga titik terdalam, yaitu identitas primordial mereka; bahwa bagi masyarakat persoalan ini bukan sekedar persoalan tanah atau hutan secara material dan ekonomis, namun lebih jauh persoalan ideologis terkait nilai-nilai mitologis landasan kehidupan primordial mereka yang hendak dikoyak.

Berangkat dari kondisi tersebut penulis berpikir cukuplah kiranya itu dijadikan sebagai dasar untuk memposisikan segala bentuk protes masyarakat bukan hanya sebagai suatu gerakan perlawanan atau penyikapan terhadap MIFEE, lebih dari itu, adalah perjuangan patriotik atas nama cinta terhadap tanah dan hutannya. Walaupun tidak nampak semasif dan sesolid gerakan-gerakan lain, misalnya gerakan buruh di Jakarta atau gerakan petani di Pasundan, namun gerakan masyarakat Marind ini memiliki basis yang jelas yaitu ikatan primordial mereka terhadap tanah dan hutan, sebuah ikatan yang membesarkan dan membuat mereka merasa ada. Selebihnya, dua hal yang ingin digali dalam penelitian ini adalah apa makna tanah bagi masyarakat Marind, serta bagaimana pergerakan mereka menghadirkan dirinya di hadapan MIFEE. Oleh karena itu perlu untuk juga menelusuri MIFEE secara lebih jauh dengan memposisikannya sebagai hasil dari suatu konstelasi perekonomian dalam skala yang lebih besar.

Jika MIFEE ini dilihat dalam skala yang lebih luas, akan tampak bahwa program ini hanya merupakan bagian kecil saja dari rencana besar


(20)

7

pemerintah terkait dengan pengembangan perekonomian nasional Indonesia yang disebut dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang disahkan oleh Perpres no.32/2011. MIFEE direncanakan akan menjadi salah satu motor penghasil laba pada koridor ekonomi Maluku-Papua, yakni salah satu dari enam koridor yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di setiap region.

Tidak berhenti di sini, MP3EI pun masih merupakan keturunan dari suatu kesepakatan pengembangan ekonomi di level yang lebih besar, yaitu ASEAN dan Negara-negara Aisa Timur (Jepang, Korea dan Cina). Di sini MP3EI adalah perwujudan dari Indonesia Economic Development Corridors

(IEDC), yaitu suatu kajian ekonomi yang dihasilkan dari kerjasama antara Kementrian Koordinator Perekonomian Indonesia dengan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang. Kajian yang selanjutnya melahirkan kebijakan yang mengatur masa depan perekonomian Indonesia ini merupakan upaya untuk secara spasial mengkoneksikan Indonesia dalam

Comprehensive Asia Development Plan (CADP), yaitu suatu agenda untuk mengintegrasikan Negara-negara ASEAN+3 dalam satu rencana pertumbuhan ekonomi, yang digagas oleh Asian Development Bank (ADB) demi mewujudkan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang dilaksanakan di Singapura pada 28 Januari 1992.3

3

ERIA. 2010. Comprehensive Asia Development Plan (CADP), ERIA Research Project Report 2009-7-1.http://www.eria.org/RPR-2009-7-1.pdf, diakses pada 11/01/2013.


(21)

8

Dengan demikian, kehadiran MIFEE-MP3EI membuktikan keterikatan sistem pembangunan nasional Indonesia pada moda produksi pangan global yang berlandaskan pada akumulasi kapital atau disebut sebagai rejim pangan global. Apa yang dihadapi oleh para tuan tanah4 di Merauke adalah suatu

gelombang sangat besar yang bisa jadi berada di luar bayangan mereka, walaupun saat ini mereka sedang menghadapinya. Sehingga pertanyaan besar yang terbersit seketika adalah inikah pembangunan yang berkeadilan? Pembangunan seperti inikah wajah dari apa yang selama ini disebut dengan membangun negara-bangsa? Mengapa?

Dari kegelisahan semacam itulah tesis ini berawal. Marind sebagai salah satu tuan tanah di Merauke, ketika kekuatan produksi kapitalis datang dalam bentuk MIFEE-MP3EI memisahkan mereka dari tanah, ketika mereka menyatakan kemarahannya atas hutan dan tanah moyang yang hilang, sesunguhnya kekuatan ideologis semacam apa yang ada dalam diri mereka? Bagaimana kekuatan ideologis itu menuntun mereka hingga menyatakan sikap dan membahasakan subjektifitasnya? Bagaimana juga ideologi yang dianut oleh sistem pembangunan nasional? Bagaimana keduanya bisa dianggap sebagai bentuk atau sikap atas kecintaan terhadap tanah air? Itulah kegelisahan mendasar yang ingin dijawab dalam tesis ini.

4 Istilah Tuan Tanah disini bukanlah sebagaimana yang banyak dipahami dalam wacana dan

tradisi kolonial yaitu seseorang yang memiliki kekuasaan atas suatu kawasan sangat luas dengan begitu banyak ternaga kerja. Tuan Tanah dalam tradisi suku Marind menunjuk pada kesatuan antara individu dan demanya, yang menguasai suatu wilayah (tanah/hutan) tertentu.


(22)

9

B. TEMA

Penelitian ini selanjutnya akan mengambil tema Ideologi-Politik Subjek Menghadapi Kapitalisme Neoliberal.

C. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang tersebut saya mencoba untuk menarik suatu pemahaman bahwa setiap protes atau resistensi masyarakat suku Marind di Merauke kepada MIFEE adalah suatu sikap ideologis dalam mempertahankan hidup, karena mempertahankan tanah adalah mempertahankan identitas primordial mereka yang terbentuk secara mitologis, juga sekaligus mempertahankan keberlangsungan hidup generasi di masa depan. Maka berangkat dari sini, selanjutnya terdapat tiga pertanyaan besar yang harus dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apa makna tanah bagi identitas primordial masyarakat suku Marind di Merauke?

2. Ideologi macam apa yang terlahir dari ikatan primordial tersebut untuk menghadapi kekuatan modal?

3. Bagaimana ideologi Marind berhadapan dengan ideologi kapitalisme sebagaimana dibawakan lewat MIFEE-MP3EI, dan bagaimana kaitannya dengan wacana nasionalisme dan patriotisme?


(23)

10

D. TUJUAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah berkeinginan untuk :

1. Memahami makna tanah bagi identitas primordial masyarakat suku Marind di Merauke.

2. Menganalisa jenis ideologi semacam apa yang terlahir dari ikatan primordial tersebut untuk menghadapi kekuatan modal.

3. Menganalisa bagaimana ideologi tersebut berhadapan dengan ideologi kapitalisme sebagaimana dibawakan lewat MIFEE-MP3EI, dan mencari suatu pelajaran yang berharga bagi situasi kebangsaan Indonesia saat ini.

E. MANFAAT

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat dalam dua level, yaitu akademis dan praksis. Secara akademis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi setiap pembahasan teoritis atas kehidupan masyarakat Marind dan Papua pada umumnya, khususnya terkait bagaimana seharusnya secara politis mereka dinilai dan diposisikan. Sementara secara praksis penelitian ini diharapkan bisa memberi submbangan reflektif bagi masyarakat secara umum dan pemerintah secara khusus agar pertentangan antara Marind dan MIFEE ini dilihat sebagai permasalahan ideologis terkait dengan bagaimana masyarakat memposisikan dirinya sebagai subjek yang berdaulat, sebagai masyarakat yang memegang teguh kecintaannya pada tanah air.


(24)

11

F. KAJIAN PUSTAKA

Sebelum penelitian ini dilakukan, dibutuhkan untuk menilik berbagai hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan tema yang sama. Hal ini dimaksudkan agar secara kritis penelitian ini bisa berkorelasi dengan hasil kajian yang sudah ada. Adapun beberapa pustaka yang akan penulis kaji antara lain adalah buku berjudul MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind

karya Yando Zakaria, Emilianus Ola Kleden dan Y.L. Franky (2011); buku

berjudul Adat Dalam Politik Indonesia yang diedit oleh Jamie S. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (2010), dan; artikel Tania Li (2000) yang berjudul Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and the Tribal Slot .

1. MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind 5

Sejak dijalankannya program MIFEE di Merauke, buku MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind ini adalah buku pertama yang diterbitkan dan membahas dinamika permasalahan MIFEE dari hasil kajian lapangan. Penelitian iniadalah program dari sebuah LSM bernama Pusaka dari Jakarta. Buku yang ditulis oleh Yando Zakaria dkk. itu menjelaskan bahwa MIFEE lahir melalui serangkaian proses kebijakan nasional yang didukung oleh ide dan ambisi Bupati Gebze untuk menjadikan MIFEE sebagai lumbung pangan nasional. Melebihi ide itu bahkan Presiden Yudhoyono menjadikan MIFEE

5

Zakaria, R. Yando, Emilianus Ola Kleden, Y.L. Franky, 2011, MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind. Jakarta: Yayasan PUSAKA.


(25)

12

sebagai pusat produksi pangan dan energi berskala besar dan modern yang berorientasi mencukupi pangan domestik dan meningkatkan devisa melalui ekspor.

Apakah MIFEE layak sebagai justifikasi kesejahteraan rakyat? Menurut Zakaria dkk., secara komponensial MIFEE diperkirakan akan menimbulkan sejumlah dampak negatif di berbagai aspek kehidupan. Pertama, dibutuhkan evolusi berabad-abad dari moda produksi berburu meramu menjadi moda produksi bertani. Dengan pola kehidupan berburu meramu bagaimana orang Malind bisa memasuki moda produksi baru yang akan dibawa oleh MIFEE, justru yang akan terjadi adalah ketersingkiran orang Papua asli (OPA) yang akan semakin mempertegas jarak antara mereka dan pendatang. Selain itu, penghancuran situs-situs penting yang menjadi pelabuhan spiritualitas orang Malind akan menyebabkan mereka semakin terperosok pada mentalitas negatif sehingga terus menerima stigma sebagai pemalas dan pemabuk.

Beragam reaksi menolak bermunculan setelah MIFEE dikenal publik. Di Merauke berdiri SORPATOM (Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE). Di Jakarta juga terjalin suatu forum komunikasi yang mengkritik MIFEE. Sementara, masyarakat di 7 kampung di Merauke juga telah bermusyawarah dan menyatakan akan menolak MIFEE, juga belasan kampung lain menyatakan hal yang sama.

Di bagian penutup Zakaria dkk. menyampaikan bahwa pihak luar telah secara sadar atau tidak memanfaatkan kelemahan orang Malind dan


(26)

13

Papua pada umumnya. Kelemahan itu terletak pada pola hidup berburu dan meramu yang bersifat ekstraktif atau cepat dapat dan mudah, karena masih melimpahnya kekayaan alam. Akibatnya kemudahan baru ditawarkan untuk mendapat kemewahan seperti motor, handphone, dll. Kehidupan kota yang disimbolisasi oleh fasilitas material ini menjadi pukauan yang dipermudah ketika mereka mau melepaskan tanah: mau motor, lepaskan tanah.

Kelemahan lain adalah soal keabsahan transaksi. Tanda tangan mereka didapat dengan mudah oleh perusahaan karena tanda tangan ditukar uang. Mereka tidak memerlukan keabsahan, tapi perusahaan yang membutuhkannya. Akibatnya, menuntut ulang bisa terjadi. Untuk mencegah itu, maka perusahaan menemukan keabsahan ala Malind, yakni dengan upacara potong babi. Dengan demikian, yang diuntungkan dari semua proses itu lagi-lagi adalah perusahaan. Zakaria dkk. menutup dengan satu saran bahwa yang dibutuhkan oleh orang Papua di pedesaan adalah suatu

affirmative action yang melindungi mereka, bukan menggiring mereka untuk ikut pada budaya modern.

Dari ringkasan tersebut terlihat bahwa Zakaria dkk. cenderung lebih menfokuskan perhatian mereka pada sistem kerja MIFEE beserta berbagai konsep dan prakteknya, sehingga pembahasan mengenai masyarakat Marind. Hal itu tidak bisa dihindari karena merupakan konsekuensi dari judul yang dipakai, sehingga yang menjadi fokus kajian adalah MIFEE sebagai sebuah program, dan tidak begitu banyak membicarakan resistensi masyarakat Marind secara lebih mendalam. Namun kekurangan tersebut juga bisa jadi


(27)

14

telah terkandung secara paradigmatik sedari awal ketika di bagian penutup pembaca akan menjumpai Zakaria dkk. memposisikan Marind sebagai masyarakat yang lemah dan butuh dilindungi. Dengan kata lain, hingga penutup bukunya Zakaria dkk masih memposisikan Marind sebagai masyarakat yang powerless.

2. Adat Dalam Politik Indonesia 6

Secara umum yang dibahas dalam buku ini adalah dinamika kebangkitan gerakan sosial yang membawa bendera adat di Indonesia pasca reformasi 1998 yang disebut dengan gerakan masyarakat adat (indigenous peoples). Kebangkitan gerakan ini menjadi terlihat jelas dengan terbentuknya sebuah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2009 yang mengusung wacana kedaulatan masyarakat adat.

Dalam resensinya yang dimuat di jurnal Jentera, Yance Arizona, seorang aktivis dari Epistema Institute Jakarta menjelaskan bahwa kebangkitan gerakan masyarakat adat ini tidak terlepas dari empat faktor pendukung yang melatarinya, yaitu: Pertama: kebangkitan gerakan masyarakat adat tribal peoples, indigenous peoples yang terkadang juga disebut masyarakat "dunia keempat" (fourth world peoples) ini hasil dari wacana yang diusung oleh beberapa organisasi internasional; Kedua: faktor represi Orde Baru. Gerakan ini beranjak dari satu asumsi kesadaran bersama

6

Jamie S. Davidson, David Henley, Sandra Moniaga. 2010. Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: KITLV, YOI.


(28)

15

bahwa mereka adalah korban dari kebijakan dan program-program pembangunan selama Orde Baru berkuasa; Ketiga: faktor keterbukaan pasca Orde Baru. Runtuhnya Orde Baru membuka ruang keterlibatan massa yang massif di Indonesia, dan; Keempat: warisan ideologis pemikiran kolonial seperti hukum adat (adatrecht), beschickingrecht yang dipadankan dengan hak ulayat dan juga masyarakat hukum adat (adatrechtgemeenschap) yang dipelopori oleh Cornelis Van Vollenhoven, professor di Universitas Leiden sejak tahun 1909 dan bapak dari Leiden School yang melahirkan konsep-konsep kunci dalam wacana adat sampai saat ini.7

Selain faktor pendukung kemunculannya, Davidson dan Henley dalam pengantarnya menyatakan bahwa politik adat ini adalah sebentuk konservatisme radikal di mana mereka melakukan tuntutan atas keadilan, bukan atas nama keterpinggiran atau ketidakpunyaan melainkan atas nama nenek moyang, komunitas dan lokalitas. Sehingga adat, dalam kenyataannya, justru menentang perjuangan keadilan yang lain, misalnya keadilan gender. Hal ini mengindikasikan bahwa adat yang dipakai untuk mendorong demokratisasi tersebut masih menyisakan problem-problem anti-demokrasi di dalam lokalitasnya.

Paradoks dari politik adat ini juga terletak pada sifatnya yang inklusif sekaligus eksklusif. Menjadi inklusif ketika adat dipakai oleh para elitnya untuk meneguhkan posisi politik dan otoritasnya dalam penentuan alokasi sumber daya sebagaimana yang tercermin dalam kebangkitan kembali


(29)

16

sultan-sultan seantero negeri. Namun di sisi lain adat berubah menjadi eksklusif ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok lain atas nama hak etnis.

Satu hal lagi yang dipertanyakan dalam buku ini adalah ketika posisi adat dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya alam. Maka pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat diasosiasikan sebagai pengelolaan sumber daya alam secara lebih arif (ecological noble savage) pun memiliki sejumlah kerumitan ketika dihadapkan dengan proyek konservasi oleh negara sebagaimana digambarkan oleh Tania Li di Sulawesi Tengah.

Dari penjelasan tersebut bisa dilihat bahwa buku Adat Dalam Politik Indonesia ini telah memberikan sumbangsih kritis pada wacana gerakan masyarakat adat di Indonesia. Secara umum buku ini menjelaskan bagaimana adat saat ini telah berkembang menjadi alat politik untuk memperjuangkan hak atas sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat. Buku ini juga telah beranjak meninggalkan esensialitas adat sebagaimana yang diusung oleh AMAN, namun sayangnya buku ini masih saja mengandaikan bahwa adat yang esensial itu masih ada, hanya saja tidak lagi bisa diterapkan sepenuhnya: adat masih diposisikan sebagai seperangkat ideologi harmoni8

yang terpisah dari manusianya, sehingga ini mengimbas pada ketidakhadiran adat itu sendiri dalam setiap gerakan manusianya, kecuali hanya sekedar sebagai alat politik.


(30)

17

Jika adat sebagai ideologi itu diposisikan sebagai sesuatu yang terpisah dari masyarakat, lalu ideologi semacam apa yang menjadi pendorong bagi gerakan yang disebut sebagai gerakan masyarakat adat? Ini merupakan paradoks ketika pada akhir dari pendahuluannya, Henley dan Davidson dengan serius menggulirkan wacana tentang kebangkitan adat9,

karena ternyata adat hanya diposisikan sebagai alat pendukung suatu gerakan masyarakat. Konsekwensinya, dari buku ini penulis merasa belum mendapatkan penjelasa tentang basis ideologis dari gerakan sosial yang dijelaskannya.

3. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and the Tribal Slot 10

Tidak berbeda jauh dengan tulisannya dalam buku Adat Dalam Politik Indonesia, dalam artikel ini Li juga mengatakan bahwa sesuatu yang disebut

sebagai masyarakat adat itu tak lain hanyalah konstruk yang diterima oleh

suatu masyarakat tertentu karena sesuai dengan budaya dan sejarah masyarakat tersebut. Secara singkat Li menjelaskan bahwa identifikasi diri sebagai kelompok masyarakat adat adalah, pertama: Sebuah positioning yang diambil dari praktek-praktek yang tersedimentasi secara historis, bentang makna, praktek makna. Positioning ini timbul dari suatu pola perjuangan partikular dan keterikatan mereka terhadap konteks; kedua: Persilangan

9

Ibid., hlm: 55.

10

Tania Li. 2000. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and the Tribal Slot. Jurnal Comparative Studies in Society and History, vol. 42, no. 1, hlm: 149-179.


(31)

18

(conjunctures) dari berbagai keadaan yang menciptakan suatu krisis dimana sekelompok masyarakat harus mengartikulasikan identitasnya, dan itu dilakukan sebagai pilihan (agensi). Yang disebut dengan kombinasi dari berbagai keadaan itu adalah bagaimana Negara menyebut kelompok masyarakat itu, dan bagaimana NGO menyebut kelompok masyarakat tersebut: Negara menyebutnya sebagai masyarakat terasing atau ter pencil dan orang kampung;11 sementara NGO menamai mereka dengan masyarakat

adat, tradisional, dan asli.

Dalam hal ini Li menyandarkan kerangka analisisnya kepada teori artikulasi Stuart Hall, bahwa artikulasi adalah sebentuk koneksi yang dapat memiliki makna ganda, yaitu: pertama, proses megeksplisitkan suatu identitas kolektif, posisi, atau seperangkat kepentingan (menjadikannya terartikulasi, dimengerti, dapat dibedakan, dan dipahami oleh pembaca atau pendengarnya); kedua, menyambungkan atau mengartikulasikan posisi tersebut dengan subjek politik tertentu. Dalam paragraf yang dikutip oleh Li, Hall menjelaskan:

Atrikulasi adalah suatu bentuk koneksi yang dapat menyatukan dua elemen yang berbeda dalam kondisi tertentu. ini adalah sebuah pertautan yang tidak absolut dan tidak esensial selamanya. Anda harus bertanya, dalam kondisi seperti apa sebuah koneksi atau pertautan bisa terjadi? Dengan demikian, yang disebut sebagai kesatuan wacana sebenarnya adalah artikulasi dari elemen-elemen yang berbeda dan dapat dibedakan, yang dapat diartikulasi ulang dalam cara yang berbeda-beda karena mereka tidak memiliki alamat (belongingness). Kesatuan yang menjadi penting adalah pertautan antara wacana yang diartikulasikan dan kekuatan-kekuatan sosial, yang dalam kondisi historis tertentu dapat dihubungkan. Dengan demikian, teori artikulasi adalah, pertama: suatu cara untuk memahami bagaimana elemen-elemen ideologis dalam kondisi-kondisi tertentu

11

Berdasarkan Keppres No.111/1999 dan Kepmensos No.6/PEGHUK/2002, penamaan tersebut telah berganti menjadi Komunitas Adat Terpencil (KAT).


(32)

19

berkoherensi dalam suatu wacana, dan; kedua: adalah suatu cara untuk menanyakan bagaimana elemen-elemen ini menjadi atau tidak menjadi terartikulasikan dalam suatu kombinasi keadaan tertentu pada subjek politik tertentu.

Dengan berangkat dari pemikiran Hall tersebut, Li selanjutnya menjelaskan bahwa

Identitas kultural dengan demikian datang dari suatu tempat dan memiliki sejarah, tapi sama sekali tidak fix secara abadi di satu masa lalu yang esensial. Identitas tersebut adalah subjek dari permainan terus-menerus antara sejarah, budaya dan kuasa. Ia adalah sebuah irisan atau titik-titik yang tidak stabil dari suatu proses identifikasi. Sehingga identitas bukan sebuah esensi tapi sebuah positioning.

Pada titik inilah Hall, menurut Li, menolak ide tentang suatu hubungan langsung antara posisi sosial atau posisi kelas dengan wacana dimana masyarakat memaknai hidupnya.

Hal menarik yang bisa diambil dari tulisan ini adalah penjelasan bahwa apa yang dipahami sebagai masyarakat bukanlah suatu kondisi atau keberadaan yang hadir begitu saja, melainkan adalah juga hasil dari rangkaian perjalanan sejarah, sehingga identitas subjek atau sebuah masyarakat pada akhirnya selalu bergulir tak henti, berada senantiasa pada hasilnya yang tidak pernah paripurna. Namun permasalahan yang masih tersisa dari pendekatan ini adalah, jika memang posisi sosial itu tidak memiliki hubungan langsung dengan wacana, lalu dari mana posisi-posisi tersebut mampu menghadirkan dirinya? Bukankah secara genealogis, sejarah, budaya dan kuasa yang ditempatkan sebagai kekuatan yang membentuk irisan identitas itu juga hasil dari pergerakan wacana? Dan ketika subjek atau masyarakat mengartikulasikan dirinya dan memilih posisi sosial tertentu, bukankan hal itu pada akhirnya adalah hasil dari sebuah


(33)

20

rasionalisasi kesadaran politis akan sebuah posisi? Sehingga dengan demikian, masyarakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Laclau, tak lain adalah wacana.12

Dari penjelasan ini, apa yang masih tersisa sebagai sebuah pertanyaan teoritik, jika kembali pada beberapa poin dari penjelasan Li, adalah apa yang membuat identitas subjek atau sebuah posisi masyarakat (baca: ideologi), walaupun secara sadar telah dipilihnya, ia tetap saja tak pernah stabil? Apa yang membuat proses identifikasi, walaupu merupakan hasil irisan dan sejarah, budaya dan kuasa, tetap saja tak pernah menghasilkan kesimpulan yang final atas suatu identitas subjek? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang melatar belakangi penulis memilih pendekatan psikoanalisa Lacanian

Žižek sebagai kerangka teori dalam melakukan pembahasan tentang ideologi ini.

G. KERANGKA TEORI

Seiring dengan berkembangnya budaya kontemporer yang disertai dengan berkembangnya pula permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan terkait dengan semakin derasnya gelombang objektifisasi kapitalistis segala lini kehidupan masyarakat, pemikiran sosial kritis pun semakin dituntut untuk menyediakan kerangka konseptual yang mampu mengimbangi dan mempertahankan subjektifitas masyarakat. Kondisi yang demikian ini

12

St. Sunardi. 2012a. Logika Demokrasi Plural-Radikal, jurnal Retorik, vol.5, no.1. Yogyakarta: IRB-USD.


(34)

21

menjadikan berbagai kerangka ilmu social-kemanusiaan kehilangan landasan yang kuat untuk mempertahankan ide tentang agensi di tengah arus kapitalisme global, yang tentunya ini tidak terlepas begitu saja dari pengaruh pemikiran post-strukturalisme yang tak lagi mempercayai kemengadaan subjek. Dalam situasi yang demikianlah Žižek hadir dengan ide subjek politik radikalnya. Dengan mempertemukan psikoanalisa Lacanian bersama tradisi Marxis dan menaruh keduanya dalam tataran filsafat melalui logika dialektis Hegelian, Žižek telah membangun gagasan tentang ideologi dan subjek politik yang bahkan melampaui pandangan Marxisme itu sendiri.13

Sejalan namun sedikit berbeda dengan emansipasi politik Laclau-Moufee yang berkomitmen untuk membangun gerakan demokrasi

plural-radikal melalui rantai persamaan chain of equivalence) dalam suatu

medan politik , Žižek lebih fokus pada berbagai ragam subjektifitas dalam dunia kontemporer, sembari menarik kembali ide tentang subjek politik hingga pemaknaan yang radikal melalui perspektif Lacanian sebagai subjek yang lack. Dari sanalah Žižek selanjutnya merekonstruksi pengertian tentang ideologi yang dimulainya dengan melakukan evaluasi terhadap teori ideologi Althusserian.

Bagi Althusser, ideologi selalu merupakan ideologi penguasa yang bekerja melalui apa yang digagasnya dengan konsep Ideological State Apparatus (ISA). Ideologi merupakan kekuatan yang dimaksudkan untuk membentuk subjek melalui overdeterminasi, atau dengan cara memasukkan

13

Robertus Robert. 2010. Manusia Politik: Subjek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Zizek. Tangerang: Marjin Kiri, hlm: 1-7.


(35)

22

subjek ke dalam golongan yang disapa (hail) atau diakuinya. Inilah subjek dalam pandangan Althusser, bahwa subjek selalu merujuk pada sistem

pemaknaan di luar dirinya . Individu barulah bisa disebut sebagai subjek setelah ia terinterpelasi, terpanggil oleh ideologi sehingga menjadi subjek konkret dari ideologi penguasa.14 Pada saat yang sama, pengalaman menjadi subjek ini juga menghasilkan suatu kondisi yang disebut salah mengenali

(misrecognition), sehingga apa yang selanjutnya hilang dari subjek masyarakat adalah being yang sebenarnya. Pandangan inilah yang selanjutnya menempati posisi penting dalam tradisi pemikiran madzhab Frankfurt, bahwa realitas masyarakat itu tak mungkin mampu mereproduksi dirinya sendiri tanpa dukungan dari ideologi. Žižek memandang ini sebagai paradoks, karena pandangan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa subjek atau masyarakat mampu mereproduksi dirinya hanya ketika ia berada

pada kondisi kesalahan dalam mengenali realitasnya. Dengan demikian

being sesungguhnya dari subjek pun menghilang, atau hadir dalam bentuk lain.15

Berangkat dari evaluasi itu dan dengan menggunakan kerangka identifikasi Lacanian, Žižek secara radikal menegaskan bahwa hal terpenting yang harus dilihat dalam kerja ideologi adalah fantasi. Untuk itu ia telah memberikan suatu pemahaman bahwa kritik klasik atas ideologi yang berpijak pada frasa terkenal Marx yang berbunyi they do not know it but they are doing it , bahwa ideologi adalah suatu kesadaran palsu (false

14

Ibid., hlm: 101.


(36)

23

consciousness) tidak lagi bisa diberlakukan, karena false yang merupakan kesalahan dalam mengenali realitas tak lain adalah realitas itu sendiri.

Dengan mengutip Peter Sloterdijk, Žižek mengajukan bahwa yang terjadi adalah they know very well what they are doing, but still, they are doing it 16: bahwa ilusi ideologi bukan terletak pada level pengetahuan

(knowing) atau pemahaman subjek akan realitas, melainkan pada level tindakan (doing) subjek. Seseorang bisa benar-benar memahami apa yang sesungguhnya ia lakukan (bahkan hingga resiko buruk atau kesalahan-kesalahannya), akan tetapi ia bisa tetap melakukannya. Kondisi itu disebabkan dalam aktivitas sosialnya ia telah dipandu oleh ilusi fetisistik.17

Inilah yang sebenarnya tidak ia pahami, yaitu bukan apa yang ia lakukan, melainkan apa yang membuatnya melakukan itu. Žižek menyebutnya dengan fantasi ideologis (ideological fantasy): bahwa level fundamental dari ideologi bukanlah ilusi yang menutupi kebenaran dari ralitas sosial, melainkan adalah fantasi yang menstrukturkan realitas sosial itu sendiri.18

Bagi Žižek, ideologi merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar seperangkat elemen-elemen yang berbeda yang dibentuk oleh nodal poin

tertentu, atau sekedar formasi diskursif yang meliputi ketidaklengkapan dan ketidakmungkinan masyarakat. Berbeda dari keduanya, fantasi ideologi adalah sesuatu yang bekerja sebagai alat yang mengatur kenikmatan (jouissance) dalam kehidupan masyarakat, dalam artian bahwa kenikmatan

16

Ibid.,

17

Ibid., hlm: 28.


(37)

24

yang sebelumnya selalu terepresi mampu diraih kembali melalui jalur fantasi. Fantasi adalah titik kenikmatan yang eksesif dan irasional, namun mampu membuat masyarakat merekonstruksi kehidupannya, menjelaskan ketidaklengkapannya dengan cara menjanjikan dan menghasilkan kenikmatan.19

Ini memberikan pemahaman bahwa masyarakat yang mengalami kesalahan dalam mengenali realitas dan kehilangan kondisi keberadaan sesunggunhnya itu pun memperoleh keutuhannya dari fantasi. Dengan demikian, kondisi kehilangan itu sendiri merupakan keharusan atau syarat bagi subjek untuk sampai pada tataran ideologis, bahwa subjek akan mampu melahirkan fantasi hanya jika ia telah mengalami overdeterminasi penguasa atau secara Lacanian adalah momen kastrasi bahasa, dan menyebabkannya menjadi subjek yang kehilangan. Maka jika hal terpenting yang harus dilihat dari kerja ideologi adalah fantasi, pertanyaannya adalah bagaimana fantasi itu bisa ditangkap dan dipahami? Pertanyaan tersebut pun menghadapkan pembahasan tentang ideologi pada apa yang dikatakan Lacan sebagai simptom, yaitu realitas yang bisa ditangkap dan dibaca sebagai representasi dari sesuatu yang jauh terpendam dalam kehidupan masyarakat. Menurut

Žižek, inti ajaran Lacanian menekankan simptom sebagai hal terpenting untuk dipahami secara mendalam, karena dari interpretasi simptomlah semua kerja psikoanalisa dimulai.20

19

Jodi Dean. 2006. Žižek s Politi s. New York: Routledge, hlm: 8.


(38)

25

Jika ideologi bekerja bukan pada tataran pengetahuan (knowing) melainkan pada tataran sikap atau perbuatan (doing), hal pertama yang harus dilihat dari masyarakat tak lain adalah sikap atau perbuatannya.

Doing di sini tak lain adalah bahasa realitas, aktivitas sosial masyarakat dalam menjalani hidup kesehariannya yang tidak mungkin diandaikan begitu saja sebagai keberlangsungan yang niscaya tanpa didasari oleh dorongan tertentu yang mengarahkan geraknya pada tujuan tertentu pula. Dengan kata lain, bahasa realitas itulah simptom: gejala-gejala sosial patologis yang merujuk pada konten terdalam dari suatu keberadaan subjek masyarakat. Itu terjadi karena subjek selalu digerakkan oleh dorongan ketaksadaran untuk merepresentasikan dirinya secara metaforikal melalui aktivitasnya dalam tatanan Simbolik.

Berangkat dari pembacaan terhadap simptom, analisis ini bermaksud untuk menemukan segala bentuk realitas masyarakat yang memungkinkan untuk diidentifikasi sebagai bahasa dari ketaksadaran. Simptom dibaca dan diposisikan sebagai pintu masuk menuju fantasi dan hasrat akan kenikmatan yang dikonstruksinya, dimana upaya memasuki fantasi tersebut merupakan jalan untuk sampai pada titik traumatik yang hadir dalam bentuk dorongan ketaksadaran (drive). Dari sana analisis ini diharapkan mampu menemukan momen sublimasi sebagai titik dimana subjek berhasil untuk melampaui hasratnya. Kedalaman interpretasi terhadap simptom akan menentukan sejauh mana analisis ini mampu menjelaskan paradoks dari tatanan Simbolik yang sekaligus mengandung pelanggar yang mensubversinya, serta menjangkau fantasi dari pergerakan subjek/masyarakat dan menemukan


(39)

26

penjelasan tentang suatu pendorong (the Thing) dari subversifitas pergerakannya. Proses ini menunjukkan bahwa sebuah pelanggaran yang Sloterdijk ungkapkan kata dalam frasanya dengan kata but still, tak lain adalah apa yang menjadi akhir dari proses dorongan ketaksadaran. Akan tetapi itu bukanlah hal yang mudah untuk dijelaskan. Pembahasan ini harus terlebih dahulu menjelaskan tiga konsep dari psikoanalisa Lacanian yang menempati posisi penting bagi seluruh analisis dalam kajian ini, yaitu konsep identifikasi subjek, yang-Real dan sublimasi.

1. Identifikasi

Dalam proses identifikasi Lacanian, perkembangan subjek berjalan dari fase Real ke fase Imajiner dan berakhir di fase Simbolik. Yang-Real yaitu fase dimana seorang anak belum menyadari apapun dan berada dalam keterpenuhan atau kesempurnaan. Kemudian masuk fase Imajiner dimana ia sudah mampu menangkap adanya tubuh ibu (liyan primordial) yang menjadi sumber dari segala kenikmatan yang dirasakannya. Pada titik inilah ikatan primordial (priomordial interconnectedness) itu terjalin. Selanjutnya fase Simbolik dimana seorang anak telah memasuki kehidupan bermasyarakat (dunia bahasa), dunia yang memisahkannya dari kenikmatan primordial karena menyadari bahwa sang Ibu ternyata juga bersandar pada fungsi Simbolik sang Ayah. Seorang anak pun akhirnya menjadi subjek dalam artian subjek bahasa ketika kebutuhannya (need) ditafsirkan oleh Liyan (Other)


(40)

27

sebagai permintaan (demand). Subjek pun mengenali dirinya melalui hukum-hukum bahasa yang tak lain adalah bahasa Liyan.

Pada momen ini subjek berada dalam jebakan lingkaran permintaan (infernal circle of demand), mengalami dirinya sebagai kebenaran sekaligus kesalahan yang sama-sama berasal dari Liyan. Kebenaran, karena secara metonimik21 Liyan mampu menyimpulkan segala kebutuhannya yang

berserak dalam satu penanda permintaan; dan juga kesalahan, karena Liyan

tak mampu menjamin kebenaran tersebut selain hanya memasrahkannya kepada hukum-hukum bahasa yang telah ada. Kondisi ini menyebabkan subjek mengalami keterasingan, karena ternyata bahasa tak sepenuhnya mampu menjawab kebutuhannya. Bahasa mengandung keterbelahan dalam dirinya, dan selanjutnya membuat subjek juga menjadi terbelah, karena ketika kebutuhan itu ditafsirkan melalui operasi penandaan, maka akan selalu ada yang tertinggal (leftover) sebagai suara (voice) yang selanjutnya semakin menjauh.22 Itu terjadi karena apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh

subjek adalah hal yang jauh lebih primordial dan tak tersentuh oleh bahasa, sementara subjek hanya mampu mengenali kebutuhannya melalui bahasa permintaan, bahasa sebagai satu-satunya kebenaran yang diajarkan oleh

Liyan. Itulah yang menyebabkan segala permintaan subjek selalu salah (misrecognize), karena ketika ia meminta sesuatu, permintaannya akan

21

Secara linguistic, metonimi tercipta dari kesadaran untuk menggabungkan kata hingga menghasilkan makna dari hubungan antar kata tersebut yang bersifat logis. Oleh karena itu metonimi bersifat sintagmatik, yaitu bekerja untuk merangkai penanda-penanda yang mengambang kedalam satu pemaknaan, Lacan menyebutnya sebagai poin de capiton. Lihat:

Sunardi (2002).


(41)

28

terbatas pada objek dalam tataran Simbolik, sementara nilai yang diandaikan oleh subjek dari objek yang dimintanya tak pernah bisa tersimbolisasi. Demikianlah subjek, melalui Liyan, ia akhirnya menjadi subjek bahasa yang

lack ($), terkastrasi, yang dengan mengusung trauma kecemasan dan keterasingannya, ia beranjak mengarungi labirin jawaban dari pertanyaan

che vuoi? dalam samudera tatanan Simbolik.

Chevuoi?, atau apa yang kau mau?, itulah pertanyaan yang terlahir dari situasi keterasingan dan kecemasan yang dialami oleh subjek, pertanyaan yang datang dari Liyan setelah bahasa yang diajarkannya bukan hanya tak mampu sepenuhnya menjamin kebutuhan yang diminta oleh subjek, bahkan juga membuat subjek menjadi terasing. Jawaban yang diinginkan dari pertanyaan itu bukanlah apa yang bisa dengan mudah dikatakan oleh subjek sebagai apa yang ia minta, akan tetapi lebih pada hasrat (desire) di balik apa yang dikatakan sebagai permintaan. Oleh karena itu pertanyaan yang

terkandung dalam che vuoi? tersebut pada dasarnya adalah: Kamu meminta sesuatu dariku, tapi apa sebenarnya yang kamu minta, apa yang kamu tuju di balik permintaan itu? . Pertanyaan inilah yang memperlihatkan kondisi sesungguhnya dari permintaan di level Simbolik, memperlihatkan histeria subjek dimana kondisi sesungguhnya dari permintaan tersebut adalah: Aku meminta ini darimu, tapi apa yang sesungguhnya aku minta darimu adalah agar kamu menyangkal permintaanku, karena [yang aku butuh sebenarnya] bukan ini .23 Lalu apakah sebenarnya yang dimaui atau diminta oleh subjek?.

23 Ibid., hlm: 124.


(42)

29

Subjek, yang tiba-tiba mendapati dirinya telah terintegrasi ke dalam medan sosio-Simbolik yang sudah tersedia dengan segala mandat sosial yang dipikulnya,24 hanya mampu menjawab che vuoi? tersebut dengan pertanyaan

histeris yang tak akan terjawab: Mengapa aku adalah aku sebagaimana yang Liyan katakan tentangku? ,25 dengan begitu Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Liyan dariku? . Pertanyaan histeris ini, sebagaimana dijelaskan Žižek, memungkinkan subjek untuk menghindari kementokan dari apa yang diinginkan oleh Liyan. Sayangnya pada saat yang sama subjek juga tidak mampu menafsirkan keinginan Liyan itu ke dalam sebentuk panggilan positif atau mandat dimana ia bisa mengidentifikasi diri,26 sehingga apa yang

diinginkan oleh Liyan itu selamanya tidak akan diketahui oleh subjek.

Dengan demikian subjek akhirnya melihat Liyan juga mengalami lack, karena tidak pernah mampu menjelaskan keinginannya secara gamblang. Karena itu subjek selanjutnya berhasrat untuk menambal kekurangan (lack) Liyan dengan menjadikan dirinya sebagai objek dari hasrat Liyan, dan secara

bersamaan subjek juga melihat sesuatu yang ia cari ada di dalam Liyan.

Sesuatu inilah yang Lacan sebut sebagai objek a (petit objet a), suatu objek yang menyebabkan subjek mengalami hasrat, menjadi subjek hasrat (subject of desire) yang menginginkan sesuatu lebih di balik sesuatu yang ia minta; hasrat yang di dalamnya mengandung makna desire is the desire of the Other.

24

Ibid., hlm: 123.

25

Ibid., hlm: 126.


(43)

30

Oleh karena itu Lacan menyebut objek a itu, termasuk di dalamnya adalah hasrat Liyan, sebagai penyebab (cause) hasrat.27

Yang penting untuk diketahui adalah bahwa objek a bukanlah sebuah objek Imajiner yang bisa diidentifikasi secara indrawi, tidak juga objek Simbolik yang bisa dipahami melalui bahasa. Objek a adalah semacam nilai atau kualitas yang tanpa sadar ditangkap oleh subjek dalam objek Imajiner atau Simbolik yang membungkusnya, dimana sifat dari kualitas tersebut sama sekali tidak stabil dan tak bisa dinilai secara objektif, atau nilai yang dikandungnya berada di luar objektifitas. Setiap kali objek itu dijelaskan secara rasional, yang muncul hanyalah rasionalisasi dari irasionalitanya, karena rujukan dari objek a itu adalah yang-Real, sesuatu yang sesungguhnya dimaui oleh subjek namun selalu berada dalam ketaksadaran. Dengan menyinggung masalah rasionalisasi, maka subjek telah masuk ke dalam dunia fantasi Lacanian, yaitu semacam gambaran (gaze) yang bekerja sebagai rasionalisasi yang menjembatani gap antara subjek sebagai pertanyaan dan objek a sebagai jawaban. Oleh karena itu fantasi ini disimbolkan dengan

$◊a), yaitu ketika subjek berhadapan dengan objek a.

Berhadapan dengan objek a, berarti subjek sedang berhadapan dengan sesuatu yang irasional, yang tanpa sadar telah menjadi pusat dan menyita sebagian besar perhatiannya. Dalam hal ini Žižek menjelaskan bahwa sebagai narasi, fantasi memiliki tujuh cara kerja dalam menggiring subjek merasionalisasi objek a dan menjawab che vuoi?. Ketujuh cara kerja

27

Bruce Fink. 1997. A Clinical Introduction to Lacanian Psychoanalysis: Theory and Technique.


(44)

31

fantasi inilah yang menempatkan jawaban Aku mau ini dari subjek pada posisi sebagai simptom yang mensubtitusi Aku mau kamu menolak kemauanku, karena sesungguhnya bukan itu yg aku mau. Dengan kata lain

yang ingin dibahasakan dalam simptom itu adalah dalam kemauanku, yang aku mau adalah lebih dari sekedar kemauan. Inilah paradoks dari simptom: kemunculannya selalu dengan jalan merusak tatanan Simbolik subjek, tetapi jika simptom itu ditiadakan maka seketika subjek kehilangan segala yang ia miliki.28 Dan justru karena itu, kerja fantasi adalah demi memediasi segala

hal yang tak mampu tertampung oleh simptom, termasuk di dalamnya adalah subversi dari yang-Real.

Situasi ini sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Žižek bahwa salah satu dari kedudukan fantasi adalah sebagai pelanggar inheren (inherent transgression) dari struktur Simbolik yang menaunginya.29 Pelanggaran ini

terjadi ketika secara bersamaan fantasi juga menjelaskan bahwa tatanan Simbolik pada dasarnya adalah ajakan kosong (empty gesture), yaitu pilihan yang hadir untuk meniadakan dirinya sendiri dengan cara menyembunyikan makna sesungguhnya dari pilihan tersebut.30 Inilah gap yang memisahkan

antara kebebasan yang dijamin oleh aturan Simbolik dengan fantasi yang tak hanya memperlihatkan bahwa kebebasan itu hanyalah semu, bahkan menjelaskan juga kemungkinan pilihan yang sesungguhnya. Gap ini hanya bisa diatasi dengan jalan melampaui fantasi (traversing the fantasy), yaitu penerimaan terhadap fakta ketertutupan radikal (pilihan sesungguhnya)

28

Sla o Žižek. Ibid., hlm: 85.

29

Slavo Žižek. 2008. The Plague of Fantasies. London: Verso, hlm: 24


(45)

32

yang traumatis. Karena hanya dengan demikian subjek bisa terintegrasi dengan masyarakat. Jika fase ini mampu dilewati dengan baik, dalam arti subjek berhasil malampaui fantasinya, pada saat itulah ia mulai memasuki domain dari dorongan,31 dan subjek pun berubah dari subjek yang

dikendalikan oleh hasrat (subject of desire) menjadi subjek yang dikendalikan oleh dorongan (subject of drive).

Dorongan yang dimaksud disini adalah dorongan kematian (death drive) Freudian, yaitu suatu dorongan dari ketaksadaran untuk mencapai kepuasan, kepuasan yang dijelaskan oleh Lacan lebih dari sekedar seksual (tubuh secara natural), karena seksualitas yang dihasrati subjek selalu adalah hasil dari integrasinya dengan tatanan Simbolik. Lebih dari itu, kepuasan yang menjadi tujuan dari dorongan adalah cinta (the Other s love), yang berada di luar konseptualisasinya sendiri, dimana aktivitas seksual hanya sebagai bagian dari upaya subjek untuk mengobati lack-nya.32 Žižek

menjelaskan dimensi penting dari dorongan ini dengan mengaitkannya bersama teori eternity Nietzschean, bahwa dorongan ini tak lain adalah semacam detakan singular yang melawan keterbatasan hasrat, dimana kepuasannya hanya akan mungkin terwujud dari sifat pengulangannya yang tiada henti (abadi). Oleh karena itu bagi Žižek dorongan bekerja dengan melakukan pengulangan terus menerus, menerima pengulangan sebagai satu-satunya solusi radikal dari pertentangan antara dua dimensi fantasi

31

Ibid., hlm: 40

32

Alfredo Eidelsztein. 2009. The Graph of Desire: Using the Work of Jacques Lacan. London: Karnac Books, hlm: 208-209.


(46)

33

yang telah dijelaskan sebelumnya: inherent transgression dan empty gesture.33

Hal yang penting untuk dipahami terkait dorongan adalah perbedaannya dengan apa yang biasa disebut sebagai insting tubuh. Dalam penjelasannya Žižek mengatakan:

Penyelesaian dorongan (closure of drive) ini tidak sama dengan insting tubuh hewani pra-Simbolik; menjadi krusial adalah dasar keterputusan antara dorongan dan tubuh, yakni: dorongan sebagai sesuatu yang abadi (eternal-undead) mengganggu ritme instingtif dari tubuh. Untuk alasan itu, maka dorongan seperti itu adalah dorongan kematian (death drive): berdiri sendiri tanpa mempedulikan kebutuhan tubuh dan sekedar hidup di tubuh. Seakan ada organ bagian dari tubuh menyublim terpisah dari tubuh dan menjadi sesuatu (the Thing) yang mulia/terhormat dan terjebak dalam lingkaran infinitive, yang tak putus-putus berputaran di celah kemungkinan dimana ia ingin menjadi bagian dari struktur tubuh. […] Organ yang tak mati dan yang terus berdenyut ini merupakan desakan buta; adalah dorongan itu sendiri, yang hidup melampaui batas generasional ataupun kerusakan.34

Bagi Žižek, hal inilah yang diabaikan oleh Nietzche, yaitu gap mutlak antara tubuh organik dan ritme gila dari dorongan , dimana terdapat organ sublim yang menjadi bagian dari tubuh, yaitu Liyan primordial (the primordial Other) yang Lacan sebut sebagai materialisasi dari jouissance.35

Sampai di sini, subjek menampilkan dirinya sebagai hasil dari dorongan, yaitu dorongan dari ketaksadaran yang selalu hadir demi mensubversi simbolisasi hasrat, menjadikan hasrat subjek bekerja bukan untuk mencapai jouissance, melainkan untuk memproduksi hasrat selanjutnya secara metonimikal: berpindah dari satu objek ke objek lain dengan tetap mempertahankan secara minimum suatu konsistensi

33

Sla o Žižek. Ibid., hlm: 61.

34

Ibid., hlm: 41-42.


(47)

34

formalnya, yaitu seperangkat fitur fantasif yang membuat subjek tetap mampu berhasrat – objet petit a.36 Itulah yang-Real yang tak akan pernah

tersentuh.

2. yang-Real

Dalam proses pembentukan subjek, yang-Real adalah suatu wilayah psikis yang dinikmati oleh subjek sebagai kondisi keterpenuhan, atau ketakberkekurangan, dimana di dalamnya tidak ada bahasa, tidak ada kehilangan atau keterpisahan. Ia merupakan kondisi keutuhan dan kesempurnaan yang tak mungkin termediasi oleh bahasa, bahkan justeru hilang ketika subjek memasuki dunia bahasa.37 Dengan demikian, kondisi lack atau kekurangan yang merupakan status dari ketertawanan subjek dalam tatanan Simbolik bahasa pun menjelaskan bahwa yang-Real tak lain adalah suatu yang berada dalam lack itu sendiri, kekurangan yang membuat subjek berada dalam dorongan abadi untuk bergerak kembali kepada yang-Realdengan cara mensubversi tatanan Simbolik.

Dalam ranah politik, Laclau-Mouffe menjelaskan logika dari yang-Real ini secara radikal sebagai antagonisme. Mereka menjelaskan:

Antagonisme merupakan simbol dari ketak-mengadaan saya (my non-being) […]; merupakan batas-batas dari setiap objek yang lahir dari proses objektifikasi yang parsial dan rapuh. Jika bahasa merupakan suatu sistem pembedaan, maka antagonism merupakan kegagalan praktek pembedaan ini: dalam artian inilah, antagonism meng-ada dalam batas-batas bahasa dan eksis sebagai pengacau bahasa – dengan kata lain, mengada sebagai

36

Ibid., hlm: 53


(1)

287

Slide presentasi dalam Seminar Nasional MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind yang diselenggarakan oleh Yayasan PUSAKA .

_______. 2011. Politik Ruang dan Penguasaan Tanah untuk Pangan, Jurnal Wacana edisi 26 tahun XIII, (Yogyakarta: Insistpress).

Shepherdson, Charles. 1997. The Elements of the Drive, dalam On the Drive , UMBR(a): A Jurnal of the Unconscious, #1, (New York: Center for Study of Psychoanalysis and Culture).

Somantri. Agus Supriatna. Ridwan Thahir. 2007. Analisis Sistem Dinamik Ketersediaan Beras di Merauke Dalam Rangka Menuju Lumbung Padi Bagi Kawasan Timur Indonesia, Buletin Teknologi Paskapanen Pertanian Vol.3, (Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian).

Spencer, Philip & Howard Wollman. 2002. Nationalism: A Critical Introduction, (London, Thousan Oaks, New Delhi: SAGE Publications). Starr, Paul. 2007. Freedom s Power: The History and Promise of Liberalism,

(New York: Basic Books).

Stravrakakis, Yannis. 2007. The Lacanian Left: Psychoanalysis, Theory, Politics, (Edinburgh: Edinburgh Univesity Press).

Subiksa, IG.M. 2008. Prospek Pengembangan Rice Estate di Kabupaten Merauke: Tinjauan Dari Aspek Pengelolaan Tanah dan Air, Jurnal Sumberdaya Lahan Vol.2 No.2, (Bogor : Balai Penelitian Tanah)

Sujana, Nanang. 2012. Mama Malind Su Hilang, Film Dokumenter, (Jakarta : Gekko Studio, Pusaka Produksi, SKP-KAME).

Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa, (Yogyakarta: Kanal)

_______. 2012a. Logika Demokrasi Plural-Radikal, jurnal Retorik, vol.5, no.1, (Yogyakarta: IRB-USD).

_______. 2012b. Vodka dan Birahi Seorang Nabi : Esai-esai Seni dan Estetika, (Yogyakarta: Jalasutra).

Tata, Indra. 2000. Menggugat Revolusi Hijau, Generasi Pertama, (Yayasan Tirta Karangsari & Kehati)

Undang-undang RI No.26/2007, Penataan Ruang, (Departemen Pertanian Republik Indonesia: pusdatin.setjen.deptan.go.id/ditjentp/files/uu-26-2007.pdf)

_______. No. 41/2009, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, (Departemen Pertanian Republik Indonesia: http://pusdatin.setjen.deptan.go.id/ditjentp/files/UU-41-09.pdf) UNDP. 2008. The Bali Road Map: Key Issues Under Negotiation, (New York :

UNDP Environment & Energi Group)

Verhaeghe, Paul. 2002. Lacan s Answer to the Classical Mind/Body Deadlock: Retracing Freud s Beyond, dalam Reading Seminar XX: Lacan s Major


(2)

288

Work of Love, Knowledge, and Feminine Sexuality, Barnard & Fink (ed.), (New York: SUNY Press).

Verschueren, J. 1970. Marind-Anim Land Tenure, (New Guinea Research Bulletin-32)

Vighi, Vabio. 2010. On Žižek s Dialectics: Surplus, Subtraction, Sublimation, (London: Continuum).

Viroli, Maurizio. 1995. For Love of Country: An Essay on Patriotism and Nationalism, (New York: Oxford).

Vriens, MSC A. 1974. Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupanagung Merauke dan Keuskupan Agats, dalam Sejarah Geraja Katolik Indonesia (Jakarta: Kantor Wali Gereja Indonesia).

Waken, Okto. 2011. Uang Kompensasi Tidak Sesuai Kesepakatan, Konflik Warga Kampung Sanggase Dan Buepe Berlanjut, Laporan Bidang Investigasi & Monitoring Basis : Monitoring Pasca Penyerahan Uang Kompensasi Dusun Buepe, (Merauke: SKP-KAM).

Wolf, Martin. 2007. Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, (Jakarta: Buku Obor, Freedom Institute)

Widjono, Adi. 2006. Analisis Sosial Budaya Pengembangan Padi di Merauke, Jurnal Iptek Tanaman Pangan No.1, (Bogor, Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanaman Pangan).

Zakaria, R. Yando, Emilianus Ola Kleden, Y.L. Franky, 2011, MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind, (Jakarta: Yayasan PUSAKA)

Žižek, Slavoj. . The Sublime Object of Ideology, (London: Verso).

_______. 1992. Enjoy Your Symptom!: Jacques Lacan in Hollywood and Out, (New York: Routledge).

_______. 1993. Tarrying with The Negative: Kant, Hegel, and The Critique of Ideology, (USA: Duke University Press).

_______. 1994. Identity and Its Vicissitudes: Hegel s Logic of Essence as a Theory of Ideology, dalam The Making of Political Identity, Laclau (ed.), (London: Verso).

_______. 1999. The Ticklish Subject, (London: Verso)

_______. 2006a. Interrogating the Real, (London: Continuum). _______. 2006b. The Parallax View, (London: MIT Press). _______. 2008. The Plague of Fantasies, (London: Verso).

_______. 2009. First as Tragedy, Then as Farce, (London: Verso).

_______. 2012. Less Than Nothing: Hegel and the Shadow of Dialectical Materialism, (London: Verso).


(3)

289 Sumber Website

Abidin, Chairil. Hardyanto. Aldi Triyanto. 2011. Konektivitas ASEAN: Peluang

dan Tantangan

(http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view &id=6033&Itemid=29: Kementrian Sekretarian Negara RI), diakses pada 17/12/2012.

ADB. 2010. Free Trade Agreements in East Asia: A Way toward Trade Liberalization?, ADB Briefs no.1 Juni 2010, (http://www.adb.org/publications/free-trade-agreements-east-asia-way-toward-trade-liberalization : ADB Publications), diakses pada 17/10/2012.

Banomyong, Ruth. 2009. Comprehensive Asian Development Plan: A Proposed framework, (www.thaifta.com/trade/services/sem15sep53_ruth.pdf : Thammasat Buseness School).

BAPPENAS. 2011. Sustaining Partnership: Konektivitas Enam Koridor Ekonomi,

(http://pkps.bappenas.go.id/attachments/article/957/DESEMBER%2 0Khusus_KONEKTIFITAS_INDONESIA_L.pdf : IRSDP), diakses pada 07/02/2013.

Departemen Dalam Negri RI. 2011. Presiden di Merauke: Merauke Diharapkan

Jadi Lumbung Padi Nasional,

(www.depdagri.go.id/news/2006/04/06/merauke-diharapkan-jadi-lumbung-padi-nasional), diakses pada 19/01/2011.

Departemen Pertanian RI. 2010b. Rencana Pengembangan Food Estate, (http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/819/file/Bagian-1.pdf : Litbang Deptan), diakses pada 30/12/12.

ERIA. 2010. Comprehensive Asia Development Plan (CADP), ERIA Research Project Report 2009-7-1, (http://www.eria.org/RPR-2009-7-1.pdf : ERIA), diakses pada 11/01/2013.

Fadillah, Arif. 2011. Warga Merauke Tutup Paksa PT. Medco Papua, (Tempo: http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/04/15/brk,20110 4...), diakses pada 17/06/2011.

FAO. 2009a. The State of Food Insecurity in the World, Economic Crises

Impacts and Lessons Learned,

(ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/012/i0876e/i0876e.pdf : FAO), diakses pada 04/01/2013.

_______. 2009b. Report of the Fao Expert Meeting on How to Feed the World in 2050, (ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/012/ak542e/ak542e19.pdf), diakses pada 04/01/2013.


(4)

290

_______. 2009c. How to Feed the World in 2050, (http://www.fao.org/fileadmin/templates/wsfs/docs/expert_paper/ How_to_Feed_the_World_in_2050.pdf :FAO), diakses pada 19/12/2012.

Gie, Kwik Kian. 2010. Nasionalisme Ekonomi versus Rendemen Modal,

(Jakarta: KOMPAS 11/10/2010,

http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/nasionalisme-ekonomi-versusrendemen-modal/), diakses pada 23/11/2013.

Hoa, Tran Van. 2003. New Asian Regionalism: Evidence on ASEAN+3 Free Trade Agreement From Extended Gravity Theory and New Modelling

Approach, Economic Working Paper,

(http://ro.uow.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?article=1068&context=co

mmwkpapers&sei-redir=1&referer=http%3A%2F%2Fwww.google.com%2Furl%3Fsa% 3Dt%26rct%3Dj%26q%3Dasean%252B3%2520free%2520trade%2 520agreement%26source%3Dweb%26cd%3D7%26cad%3Drja%26s qi%3D2%26ved%3D0CFUQFjAG%26url%3Dhttp%253A%252F%252 Fro.uow.edu.au%252Fcgi%252Fviewcontent.cgi%253Farticle%253D 1068%2526context%253Dcommwkpapers%26ei%3DvcPuUK20Kcm

-kQX2y4H4Aw%26usg%3DAFQjCNFDFJyjjJwaQtgCRNF_TFPkfo94eA% 26bvm%3Dbv.1357700187%2Cd.bmk#search=%22asean%2B3%20f ree%20trade%20agreement%22 : Univesity of Wollongong Research Online), diakses pada 11/01/2013.

Jalal, Dino Patti. 2008. Mengubah Krisis Menjadi Peluang [2], (http://dinopattidjalal.com/id/article/17/mengubah-krisis-menjadi-peluang-[2].html), diakses pada 30/12/2009.

KADIN. 2009. Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2009-2014, (KADIN

:

http://www.kadin-indonesia.or.id/id/doc/Roadmap_Pembangunan_Ekonomi_Indonesia_ 2009_2014.pdf), diakses pada 28/01/2013

_______. 2010. Materi Pembicara Seminar Nasional Pasok Dunia: Feed The World , (http://www.kadin-indonesia.or.id/id/ftw_materi.php : KADIN), diakses pada 14/08/2010.

Kementrian Sekretariat Negara RI. 2012. Food Estate: Harapan Ketahanan

Pangan Masa Depan,

(http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view &id=4314&Itemid=29), diakses pada 17/12/2012.

KOMPAS. 2012. Ekspedisi Tanah Papua: Menjembatani Pola Subsisten ke Pertanian,


(5)

291

(http://cetak.kompas.com/read/2012/06/27/03313834/menjembat ani..pola.subsisten.ke.pertanian), diakses pada 17/12/2012.

Listra, Andistya Oktaning. Ferry Prasetyia. 2012. Krisis Politik Timur Tengah Serta Implikasinya Terhadap Perdagangan dan Fluktuasi Harga Minyak Dunia, (http://ferryfebub.lecture.ub.ac.id/files/2012/11/Krisis-Poltik-Timur-Tengah-dan-harga-Minyak-Dunia.pdf), diakses pada 21/02/2013.

Narindra. 2008. Ulah Spekulan dan Mafia, Siapakah penentu harga minyak

mentah dunia?,

(http://mangeben.multiply.com/journal/item/169/Ulah-Spekulan-

dan-Mafia-Siapakah-penentu-harga-minyak-mentah-dunia?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem: Multiply), diakses pada 21/02/2013.

Qing, Bi Jing. Prarthana Mitra. Tsuyoshi Minato. 2003. The Future of ASEAN+3

Free Trade Agreement,

(http://faculty-course.insead.edu/dutt/emdc/projects/Sep-Oct05/Group_F.pdf), diakses pada 10/02/2013.

Sekretariat Kepresidenan RI. 2006. Presiden Tiba di Merauke: Puluhan Ribu Rakyat Papua Sambut Dengan Kibaran Merah Putih, (http://www.presidenri.go.id/index.php/fokus/2006/04/04/361.ht ml), diakses pada 19/01/2011.

Siddik, Achmad. 2012. Proyek Sejuta Hektar yang Meninggalkan Sejuta Masalah, (http://regional.kompasiana.com/2012/07/09/proyek-sejuta-hektar-yang-meninggalkan-sejuta-masalah-475530.html : Kompasiana), diakses pada 25/02/2013.

So, Man Ho. 2010. Food Security: Current Situation and Long-Term

Perspectives, (KADIN :

http://www.kadin-indonesia.or.id/id/doc/FAO.pdf), diakses pada 28/01/2013.

Tahir, Adi Putra. 2010. Laporan Ketua Umum KADIN Indonesia pada Pre-Opening Semina Nasional dan Pameran Pasok Dunia, "Feed The World",

(http://www.kadin-indonesia.or.id/id/doc/sambutan%20KU%20Kadin%20Indonesia.pdf : KADIN), diakses pada 28/01/2013.

Wirjawan, Gita. 2010. Nasionalisme Ekonomi, (Jakarta: KOMPAS, http://nasional.kompas.com/read/2010/10/07/04310355), diakses pada 17/06/2011.

Yudoyono, Susilo Bambang. 2008. Pidato Presiden, Sambutan Konferensi Nasional Kesadaran Perempuan dalam Ketahanan Pangan Keluarga, (http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2008/11/13/1055. html : Sekretariat Kepresidenan), diakses pada 10/01/2013.


(6)

292

_______. 2010. Pidato Presiden, Sambutan Pembukaan Seminar dan Pameran

Pangan Nasional Pasok Dunia,

(http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2010/01/29/1324. html : Sekretariat Kepresidenan), diakses pada 10/01/2013.

_______. 2011. Sambutan pada Acara Peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025,

Pidato Presiden,

(http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2011/05/27/1642. html : Sekretariat Kepresidenan), diakses pada 10/01/2013.