Aplikasi Microwave Untuk Disinfestasi Tribolium Castaneum (Herbst.) Serta Pengaruhnya Terhadap Warna Dan Karakteristik Amilografi Tepung Terigu.

APLIKASI MICROWAVE UNTUK DISINFESTASI Tribolium castaneum
(Herbst.) SERTA PENGARUHNYA TERHADAP WARNA DAN
KARAKTERISTIK AMILOGRAFI TEPUNG TERIGU

NUR PRATIWI RASYID

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Microwave untuk
Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan
Karakteristik Amilografi Tepung Terigu adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Nur Pratiwi Rasyid
NIM F152120181

RINGKASAN
NUR PRATIWI RASYID. Aplikasi microwave untuk Disinfestasi Tribolium
castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik
Amilografi Tepung Terigu. Dibimbing oleh EDY HARTULISTIYOSO dan DEDI
FARDIAZ.
Kerusakan tepung terigu salah satunya dapat disebabkan oleh adanya
serangan Tribolium castaneum selama masa penyimpanan. Keberadaan T.
castaneum menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi tepung.
Kerusakan fisik berupa terjadinya perubaan warna tepung, sedangkan kerusakan
kimiawi seperti ketengikan disebabkan oleh adanya aktifitas enzim lipase dan
benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum. Aplikasi microwave
telah dipelajari untuk disinfestasi T. castaneum (Herbst.) dan pengaruhnya terhadap
karakteristik warna dan amilografi tepung terigu. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui besarnya jumlah energi dan berat sampel yang tepat, untuk disinfestasi
T. castaneum serta mengetahui perubahan warna dan amilografi tepung terigu

setelah perlakuan microwave.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan tepung yang tidak di fumigasi
pada tahap milling. Kontaminasi tepung dilakukan dengan memberikan biakan T.
castaneum masing-masing 10 jantan dan 10 betina ke dalam 50 g dan 100 g sampel
tepung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat mortalitas sampel yang tidak
diberi perlakuan setelah penyimpanan 42 hari adalah 0% baik untuk sampel 50 g
dan 100 g. Kadar air, lemak dan abu menunjukkan peningkatan, sedangkan tingkat
kecerahan warna, puncak viskositas, protein dan karbohidrat menurun. Sampel
yang diberi perlakuan energi microwave 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ dan 36.00 kJ
menunjukkan mortalitas 100% dari T. castaneum. Suhu, abu dan karbohidrat
meningkat sedangkan kecerahan warna, puncak viskositas, kadar air, lemak, protein
menurun setelah penyimpanan 42 hari baik pada berat sampel 50 g dan 100 g.
Kata kunci: amilografi, microwave, tepung terigu, Tribolium castaneum, warna

SUMMARY
NUR PRATIWI RASYID. Microwave Application for the Disinfestation of
Tribolium castaneum (Herbst.) and its Effect to Color and Characteristics
Amilographic of Wheat Flour. Supervised by EDY HARTULISTIYOSO and DEDI
FARDIAZ.
Wheat flour damage can be caused by the presence of Tribolium castaneum

during storage. The existence of T. castaneum in the flour cause physical and
chemical changes. The physical damage in the wheat flour such as a changing color
of flour, whereas the chemical damage such as rancidity that caused by the activity
of the enzyme lipase and benzokuinon derived from the secretion of T. castaneum.
The application of microwave was studied for the disinsfestation of T. castenum
(Herbst.) and its effect to color characteristics and amilographic of wheat flour. This
study aims to determine the amount of energy and appropriate mass of samples for
the disinfestation of T. castaneum using microwave and to know its effect to
discoloration and amilographic of treated wheat flour.
The study was conducted by using unfumigated flour in the milling stage.
The contamination of the flour was artificially made by giving cultured T.
castaneum that consists of 10 males and 10 females into 50 g as well as 100 g of
flour. The study showed that the mortality rate of microwave untreated samples
after 42 days storage time was 0% both for 50 g and 100 g samples. The moisture
showed decreasing, while color brightness level, and peak viscosity were increasing.
All samples those were treated by 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ and 36.00 kJ of
microwave energy indicated 100% mortality of T. castaneum, the decrease the
color brightness, the amilographic peak, and moisture after H+42 storage time both
on the mass of 50 g and 100 g.
Keywords: amilographic, color, flour, Tribolium castaneum, microwave


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

APLIKASI MICROWAVE UNTUK DISINFESTASI Tribolium castaneum
(Herbst.) SERTA PENGARUHNYA TERHADAP WARNA DAN
KARAKTERISTIK AMILOGRAFI TEPUNG TERIGU

NUR PRATIWI RASYID

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Judul Tesis : Aplikasi microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.)
serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi
Tepung Terigu
Nama
: Nur Pratiwi Rasyid
NIM
: F152120181

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Edy Hartulistiyoso, MSc
Ketua

Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Teknologi Pascapanen

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala
karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul “Aplikasi Microwave untuk Disinfestasi
Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik
Amilografi Tepung Terigu”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Edy Hartulistiyoso selaku ketua
komisi pembimbing dan Bapak Prof Dr Ir Dedi Fardiaz selaku anggota komisi
pembimbing atas waktu dan kesempatan yang telah diluangkan dalam memberikan
bimbingan, ilmu, arahan, motivasi, dan masukan selama penulis mengikuti pendidikan,
penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, pembuatan artikel jurnal hingga
penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sutrisno,
MAgr selaku penguji luar komisi pembimbing atas saran dan masukannya demi
kesempurnaan Tesis ini.
Terima kasih kepada keluarga terutama orangtua penulis Bapak ABD. Rasyid Sire
dan Sitti Habiba, kedua kakak penulis MUH. Harsyid, MUH. Iqbal dan adik penulis MUH.
Ridwan atas doa, bantuan, dan dukungannya hingga penulis berhasil menyelesaikan tesis
ini. Serta ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dahrul Syah
dan Prof Dr Ir Nahrowi yang telah membantu penulis dalam pengurusan akademik dan
beasiswa serta dukungan dan motivasinya pada saat penulis pindah Program Studi, Ibu

wiwied dari SEAMEO-BIOTROP atas saran, bantuan, dan masukannya selama penelitian
saya. Serta Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada para staf di TPP Ibu rus, Pak
mul, serta teknisi Pak sul, Pak taufik, Kepada rekan-rekan Puri, tuti, laras, diana, mia,
wulan, rina, lita, danang, mas novan, kamil, wahyu, waqif, sari, uci, wendi, irna, kania,
eky, ucul, nurul, lista, akram serta teman-teman IPN dan TPP lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan, masukan, dukungan dan kerjasama
selama melakukan penelitian ini, serta kepada semua pihak yang turut mendukung
penyelesaian tesis ini.
Akhir kata penulis berharap semoga penelitian dan tesis ini dapat bermanfaat bagi
pembaca serta mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2015
Nur pratiwi Rasyid

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR


xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Terigu
Morfologi Serangga T. castaneum (Herbst.)
Perkembangan Serangga T. castaneum sp.

Kerusakan yang Ditimbulkan Serangga Tribolium sp.
Microwave
Warna
Karakteristik Amilografi

3
3
4
5
6
6
7
8

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Metode Penelitian
Aplikasi Microwave pada Disinfestasi Serangga T. castaneum (Herbst.)

Karakteristik Warna dan Amilografi Tepung Terigu
Rancangan Percobaan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
Mortalitas T. castaneum
Warna
Karakteristik Amilografi Tepung Terigu
Suhu Tepung Terigu
Kadar Air Terigu
Kadar Protein
Kadar Lemak
Kadar Abu
Karbohidrat

1

2
2
2
2

10
10

10
10
10
10
12

14
16

16
16
16
17
19
20
22
23
24
26
27

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

28
28

28

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

29
33
46

DAFTAR TABEL
1 Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan SNI 3751:2009
2 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap mortalitas T. castaneum
setelah penyimpanan 42 hari
3 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap warna tepung terigu
setelah penyimpanan 42 hari

3
17
18

DAFTAR GAMBAR
1 Bentuk granula terigu (BALITSEREAL 2014)
2 Siklus metamorfosis Tribolium castaneum (Herbst.)
3 Ukuran skala telur, larva, pupa dan serangga dewasa Tribolium sp.
(Sokoloff 1974)
4 Diagram warna chromameter L*, a*, b*
5 Kurva kekentalan (BU) hasil pengukuran brabender (Techawipharat 2007)
6 Tahapan penelitian
7 Kurva amilografi tepung terigu dengan perlakuan microwave pada berat
sampel 50 gr setelah penyimpanan 42 hari
8 Kurva amilografi tepung terigu dengan perlakuan microwave pada berat
sampel 100 gr setelah penyimpanan 42 hari
9 Suhu tepung terigu pada tingkat energi dan berat sampel yang berbeda
10 Kadar air tepung terigu pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel
11 Kadar protein pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel
12 Kadar lemak pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel
13 Kadar abu pada berbagai tingkatan energi dan berat sampel
14 Kadar karbohidrat pada berbagai tingkatan energi dan berat
sampel

4
5
5
8
8
15
19
20
21
22
24
25
26
27

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Suhu Tepung Terigu
2 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Kadar air Tepung Terigu selama
perlakuan microwave
3 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap mortalitas T. castaneum Tepung
Terigu selama perlakuan microwave
4 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Warna Tepung Terigu selama
perlakuan microwave
5 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Viskositas Puncak Amilografi
selama perlakuan microwave
6 Hasil uji ANOVA dan Duncan terhadap Analisis Proksimat selama
perlakuan microwave
7 Perbedaan Pupa Jantan dan Pupa betina T. castaneum
8 Proses disinfestasi dan penyimpanan T. castaneum menggunakan microwave
9 Tepung terigu setelah masa penyimpanan 42 hari tanpa perlakuan microwave

33
34
35
36
39
40
44
44
45

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah pengimpor gandum terbesar kedua dunia setelah Mesir
dengan jumlah rata-rata volume impor diatas 5 juta MT pertahun. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor gandum pada 2013 mencapai 6.37 juta
MT dan meningkat menjadi 7.43 juta MT pada tahun 2014 (APTINDO 2014).
Tepung terigu menurun kualitasnya jika tidak disimpan dengan tepat.
Kerusakan karena serangan Tribolium castaneum selama penyimpanan
menyebabkan terjadinya perubahan fisik dan kimiawi tepung. Kerusakan fisik
berupa terjadinya perubahan warna tepung, sedangkan kerusakan kimiawi karena
aktifitas enzim lipase dan benzokuinon yang berasal dari hasil sekresi T. castaneum.
Benzokuinon berwarna kuning cerah, jingga atau merah dan berbau tajam sehingga
tepung berbau apek dan tengik. Benzokuinon mudah larut dalam pelarut organik
dan memiliki efek karsinogenik yang dapat memicu terjadinya kanker (Lis et al.
2011). Peningkatan jumlah T. castaneum selama penyimpanan akan meningkatkan
senyawa benzokuinon yang berasal dari sekresi T. castaneum (Prendeville &
Stevens 2002).
Selama ini pengendalian hama gudang dilakukan dengan menggunakan
bahan kimiawi fosfin. Berdasarkan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu
inorganik fosfin yang diperbolehkan pada biji-bijian yang belum diolah adalah 0.1
mg/kg dan 0.01 mg/kg pada biji-bijian yang telah diolah (BARANTAN 2013).
Diperkirakan penggunaan bahan kimia fosfin untuk disinfestasi pada biji-bijian
yang diolah bisa mencapai 743 kg/tahun.
Fosfin tidak ramah lingkungan, sehingga harus dicari alternatif lain seperti
aplikasi energi microwave. Perlakuan pra-penyimpanan dengan microwave
diharapkan mampu memperpanjang masa simpan dari tepung terigu. Prinsip
pemanasan microwave yaitu menggunakan gelombang radio untuk memanaskan
material dielektrik. Material dielektrik yang dimaksud adalah air, lemak dan gula
(Das et al. 2013). Menurut Copson (1975), frekuensi microwave yang diizinkan
penggunaannya oleh Industrial Science and Medical Frequence (ISM) berkisar
antara 900 MHz dan 2450 MHz, yang merupakan batas frekuensi yang aman bagi
manusia. Penelitian Vadivambal et al. (2007) menyebutkan bahwa pengendalian T.
castaneum dengan menggunakan microwave pada tingkatan daya 400 watt dengan
pemaparan microwave 56 detik mampu mencapai mortalitas 100%. Nurbianto
(2008) menemukan mortalitas T. castaneum 100% dan kemunculan keturunan T.
castaneum 0 % dengan pemaparan microwave 120 detik pada energi 57.6 kJ.
Radiasi microwave tidak hanya dapat mempengaruhi sistem reproduksi serangga,
tetapi juga dapat membunuhnya.
Penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa daya dan waktu pemaparan yang
terlalu lama menyebabkan karakteristik tepung ikut rusak. Seperti yang dilaporkan
oleh El-Naggar dan Mikhaiel (2011), bahwa aplikasi microwave dengan suhu tinggi
menyebabkan perubahan protein kasar yang mempengaruhi sifat tepung. Kerusakan
struktur protein khususnya gluten dan lemak setelah perlakuan microwave
mempengaruhi sifat rheologi dari tepung. Dilaporkan juga oleh Kaasova et al.

2
(2002) bahwa besarnya jumlah penyerapan energi dengan pemanasan microwave
menyebabkan terjadinya kerusakan makromolekul pati dan inaktivasi α-amilase.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya jumlah energi microwave untuk
disinfestasi T. castaneum dan perubahan warna dan sifat amilografi tepung terigu
sebagai akibat dari aplikasi microwave tersebut.

Perumusan Masalah
Pengendalian serangga hama gudang pada umumnya masih dilakukan dengan
cara konvensional baik secara fisik, mekanik, kimiawi, maupun hayati. Sesuai
dengan ketentuan Codex Alimentarius, batas residu untuk inorganik Fosfin yang
diperbolehkan pada biji-bijian yang belum diolah adalah 0.1 mg/kg dan 0.01 mg/kg
pada biji-bijian yang telah diolah. Sehingga pada penelitian ini diharapkan
penggunaan aplikasi microwave mampu mengendalikan dan membasmi T.
castaneum tanpa membahayakan kesehatan dan lingkungan tanpa mengubah sifat
dan karakteristik dari tepung terigu.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis besarnya jumlah energi microwave yang tepat untuk disinfestasi
Tribolium castaneum.
2. Menganalisis perubahan warna dan karakteristik amilografi tepung terigu setelah
aplikasi microwave.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Besarnya jumlah energi yang tepat dapat mengendalikan T. castaneum.
2. Dengan jumlah energi yang tepat tidak mempengaruhi warna dan karakteristik
amilografi tepung terigu.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunaan
aplikasi microwave yang dapat digunakan untuk disinfestasi T. castaneum, baik
berupa telur, larva, pupa dan imago yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk
perlakuan karantina pada produk berbasis tepung pada skala industri.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tepung Terigu
Gandum (Triticum spp.) adalah salah satu makanan yang kaya akan
karbohidrat. Tepung yang dihasilkan dari biji gandum berasal dari jaringan
endosperm. Tepung terigu mengandung banyak zat pati, yaitu karbohidrat
kompleks yang tidak larut dalam air. Endosperm merupakan bagian yang terbesar
dari biji gandum (80-83%) yang banyak mengandung protein, pati, dan air.Selama
proses penggilingan endosperm biasanya dipisahkan bagian lembaga dan kulit
untuk mendapatkan tepung putih, yang merupakan bahan baku yang paling cocok
untuk pembuatan roti (Paola et al.2011).
Di Indonesia terdapat beberapa jenis tepung terigu yang dibedakan
berdasarkan kadar proteinnya yaitu tepung keras dengan kadar protein 12-13 %,
medium dengan kadar protein 9.5-10 % dan yang mengandung 7.5-8 % protein
adalah tepung lunak.Persyaratan mutu terigu menurut SNI 3751:2009 yaitu harus
bebas dari serangga, sisa-sisa serangga seperti telur, larva dan pupa. Persyaratan
mutu tepung terigu menurut standar SNI tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat mutu tepung terigu sebagai bahan makanan SNI 3751:2009
Jenis uji
Keadaan:
a. Bentuk
b. Bau
c. Warna
Benda asing
Serangga dalam semua
bentuk stadia dan potonganpotongannya
yang tampak
Kehalusan, lolos ayakan 212
m (mesh No. 70) (b/b)
Kadar Air (b/b)
Kadar Abu (b/b)
Kadar Protein (b/b)
Keasaman
Falling number (atas dasar
kadar air 14 %)
Besi (Fe)
Seng (Zn)
Vitamin B1 (tiamin)
Vitamin B2 (riboflavin)
Asam folat
Cemaran logam:
a. Timbal (Pb)
b. Raksa (Hg)
c. Kadmium (Cd)
Cemaran Arsen
Cemaran mikroba:
a. Angka lempeng total
b. E. coli
c. Kapang
d. Bacillus cereus

Satuan
-

Persyaratan
serbuk
normal (bebas dari bau asing)
putih, khas terigu
tidak ada
tidak ada

-

%

min. 95

%
%
%
mg KOH/ 100 g
Detik

maks. 14.5
maks 0.70
min. 7.0
maks. 50
min. 300

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

min. 50
min. 30
min. 2.5
min. 4
min. 2

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

maks. 1.0
maks. 0.05
maks. 0.1
maks. 0.50

koloni/g
APM/g
koloni/g
koloni/g

maks. 1 x 106
maks. 10
maks. 1 x 104
maks. 1 x 104

4
Jenis dan kuantitas protein gluten penting dalam menentukan pembuatan roti
(Dupont & Altenbach 2003; Gomez et al. 2011). Gluten pada biji gandum terletak
pada bagian endosperm. Gluten terdiri atas glutenin dan gliadin. Gluten kompleks
terdiri dari gliadin monomer, yang bertanggung jawab dalam viskositas adonan dan
extensibility dan polimer glutenin yang bertanggung jawab untuk kekuatan dan
elastisitas adonan (Gujral & Rosell 2004; Khatkar 2006; Wieser et al. 2006).
Granula pati gandum cenderung berkelompok dengan berbagai ukuran.
Ukuran normalnya adalah 18 µm, granula yang lebih besar berukuran rata-rata 24
µm dan granula yang lebih kecil berukuran 7-8 µm, secara umum berkisar 2-35 µm.
Bentuk granula pati gandum adalah bulat (lonjong) cenderung berbentuk
ellips. Rasio kadar amilosa dan amilopektinnya adalah 1:3. Dengan kadar amilosa
sebesar 25% dan kadar amilopektin sebesar 75%. Bentuk granula yang kecil dan
kompak memungkinkan terigu untuk tetap elastis saat diolah atau dibentuk menjadi
adonan (BALITSEREAL 2014). Adapun bentuk granula pati pada tepung terigu
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bentuk granula terigu (BALITSEREAL 2014)
Morfologi Serangga T. castaneum (Herbst)
Serangga T. castaneum (Herbst.) merupakan jenis seranggga dari ordo
Coleoptera famili Tenebrionidae. Telur T. castaneum relatif kecil, memanjang
berbentuk oval dengan ukuran 0.6 x 0.4 mm dan berwarna keputihan. Permukaan
telur biasanya diliputi oleh zat yang lengket sehingga akan mudah dilekati oleh
bubuk dan mudah menempel pada sisi karung atau tempat bahan makanan yang
disimpan. Selama masa perkembangannya larva akan mengalami pergantian kulit
antara 6 – 11 kali. Menjelang masa kepompong, larva ini akan muncul di
permukaan material tetapi setelah imago (dewasa) akan kembali (masuk) ke dalam
material. Siklus hidupnya adalah sekitar 3542 hari. Pupa Tribolium castaneum
berwarna putih agak kekuningan dengan ukuran ± 3.5 mm (Eden 1967). Siklus
hidup metamorfosis sempurna ordo Coleoptera dan morfologi larva, pupa dan
imago serangga T. castaneum disajikan pada Gambar 2 dan 3.
Pupa serangga ini berwarna putih kekuning-kuningan dengan panjang 4 mm.
Stadium pupa 6 hari, sedangkan perkembangan telur hingga pupa 23 hari pada suhu
29 °C. Imago berbentuk pipih panjang tubuhnya 2,3-4,4 mm, berwarna coklat
kemerahan, bentuk tubuh membujur datar, berwarna coklat kemerahan, antena dengan
3 ruas membentuk club (capitate), bagian mata dipotong oleh bagian sisi kepala dengan
meninggalkan 3 – 4 mata facet. Ukuran skala telur, larva, pupa dan imago dapat
dilihat pada Gambar 3. Serangga ini mampu menginfestasi hampir semua komoditas

5
o

yang disimpan dalam gudang dengan kondisi optimum temperatur 33 C dan RH 70%
(Kalshoven 1981).

Gambar 2 Siklus metamorfosis T. castaneum (Herbst.)
Perbedaan morfologi pupa Tribolium castaneum pada jenis kelamin jantan
ditandai dengan bentuk urogomphi (sepasang tonjolan pada ujung abdomen) yang
lebih besar dan pada jenis kelamin betina terdapat papillae (sepasang tonjolan yang
berada diatas urogomphi) diatas bagian urogomphi pada ujung abdomen (USDA
2006).

Gambar 3 Ukuran skala telur, larva, pupa dan serangga dewasa Tribolium sp.
(Sokoloff 1974)
Perkembangan Serangga T. castaneum sp.
Imago betina pada kondisi lingkungan yang mendukung mampu meletakan
telur rata-rata 27.7 butir / dua hari. Total periode perkembangan serangga dari telur
sampai menjadi imago yang optimum adalah pada suhu 35 °C yaitu hanya
berlangsung 19.1 hari (Abdelsamad et al. 1987). Siklus hidup serangga ini relatif
pendek yaitu 25 – 35 hari, sehingga laju peningkatan populasinya relatif cepat. Masa
pertumbuhan serangga dari telur sampai imago berkisar antara 40 sampai lebih dari 100
hari tergantung dari makanan, kelembaban, dan suhu. Lama hidup imago dapat
mencapai 2-3 tahun (Harahap 1993).

6
Kerusakan yang Ditimbulkan Serangga Tribolium sp.
Serangan serangga dapat menimbulkan kerusakan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan langsung dapat terjadi akibat serangga yang
mengkonsumsi bahan yang disimpan, dan juga karena adanya kontaminasi
serangga dewasa, pupa, larva, telur dan kulit serangga. Kerusakan tidak langsung
dapat berupa kenaikan suhu akibat metabolisme serangga yang disebut hotspot,
yaitu area sekitar serangga yang terinfeksi dalam jumlah yang sangat besar dimana
suhunya dapat mencapai 42.2°C. Jika terjadi kenaikan kadar air dapat menyebabkan
bahan akan menjadi lembab dan lengket, timbul storage fungi, dan bau apek. Tetapi
apabila kadar air bahan rendah karena terjadinya proses perpindahan uap air,
menyebabkan mikroba lain juga dapat tumbuh, sehingga menyebabkan
berkurangnya nilai estetis dari produk (Cotton & Wilbur 1974).
Hama serangga mampu mempercepat proses perubahan kimiawi berbahaya.
Hasil sekresi enzim lipase oleh serangga mampu meningkatkan proses kerusakan
secara kimiawi. T. castaneum mampu bertahan pada bahan pangan dengan kadar
air rendah sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada pakan, serealia yang
berkadar air rendah, masih utuh dan beras dari serpihan. Serangga ini merupakan
hama yang paling banyak ditemukan di gudang penyimpanan biji-bijian serealia,
khususnya pada produk olahan seperti tepung dan beras giling. Bahan pangan yang
terserang berat biasanya tercemar oleh benzokuinon (sekresi T. castaneum)
sehingga tidak layak untuk dikonsumsi (Sunjaya & Widayanti 2006).
Microwave
Gelombang mikro (microwave) adalah suatu bentuk gelombang
elektromagnet sebagaimana cahaya dan bergerak di udara setara dengan kecepatan
cahaya (c = 2.9979 x 108 m/s). Dalam spektrum frekuensi, microwave terletak
antara 300 MHz dan 300 GHz atau antara gelombang radio dan inframerah. Karena
letak spektrum frekuensinya yang mendekati gelombang radio, maka agar tidak
mengganggu frekuensi gelombang lainnya, hanya frekuensi tertentu yang diizinkan
oleh Industrial Science and Medical Frequences (ISM). Frekuensi gelombang
mikro tertentu yang diizinkan oleh Industrial Science and Medical Frequence
(ISM) berkisar antara 900 MHz dan 2450 MHz ±50 MHz, yang merupakan batas
frekuensi yang aman bagi manusia (Copson 1975).
Hasil konvensi internasional menyatakan bahwa oven gelombang mikro
(aplikasi pada industri, keilmiahan dan medis) beroperasi pada frekuensi tertentu
yaitu 2.45 GHz dimana pada frekuensi ini medan listrik menggerakkan molekul air
109 kali setiap detik, sehingga menciptakan panas yang hebat yang dapat meningkat
10 0C per detik. Air menjadi komponen utama dari bahan biologis, isinya langsung
mempengaruhi pemanasan (Meda et al. 2005).
Microwave sebagaimana juga gelombang elektromagnetik yang lain
dipancarkan dari satu sumber ke segala arah dan dapat dipantulkan atau diserap oleh
benda. Untuk penggunaan praktis perlu diperhatikan bahwa microwave
direfleksikan oleh bahan metal, menembus bahan-bahan seperti udara, porselin,
plastik, dan dapat diserap oleh air, bahan pangan dan pertanian yang kemudian
melepaskan panas (Hartulistiyoso 2012).

7
Pemanasan dengan microwave dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
volume, luas permukaan, dan sifat dielektrik bahan yang merupakan hal penting
dalam menentukan besarnya dan keseragaman penyerapan daya. Besarnya volume
dan luas permukaan bahan pangan lebih berpegaruh terhadap besarnya penyerapan
energi gelombang mikro, sedangkan keseragaman penyerapan energi gelombang
mikro terkait dengan geometri makanan dan sifat dielektrik bahan pangan itu
sendiri (Zhang & Datta 2001).
Bahan pangan memiliki komposisi dan distribusi komponen yang berbeda,
sehingga pola pemanasan yang dihasilkan juga berbeda pada saat bahan pangan
dipanaskan dengan microwave. Semakin besar kehilangan energi dalam bentuk
panas pada saat berpenetrasi, maka makin besar loss factor, maka panas yang
dihasilkan makin besar dan makin kecil daya penetrasinya. Makin kecil loss factor
maka makin besar daya penetrasinya (Muchtadi & Ayustaningwarno 2010).
Kedalaman penetrasi microwave dapat diketahui dari loss factor dan frekuensinya,
dengan menggunakan persamaan:
X=





′ tan

................................(1)

Dimana
X
= kedalaman penetrasi (m)
= panjang gelombang (m)
ɛ’
= konstanta dielektrik
tan � = loss factor

Daya (power) yang diserap oleh bahan pangan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan:
ρ = 55.61 + 10-14 f E2 ɛ”....................(2)

dimana
ρ = kekuatan per unit volume (W m-3)
f = frekuensi (MHz)
E = kekuatan medan listrik (V m-1)
ɛ” = loss factor
Warna
Pengukuran warna tepung terigu dapat dilakukan dengan menggunakan alat
Chromameter. Konotasi alat chromameter yang digunakan yaitu konotasi warna L*,
a*, dan b*. Warna L* menunjukkan gradasi tingkat kecerahan putih terang hingga
gelap, Nilai a* menunjukkan warna antara hijau apabila bernilai negative dan warna
merah apabila bernilai positif (0 – 100). Nilai b* berwarna antara biru bila nilainya
negative dan berwarna kuning apabila bernilai positif (Gauraf 2003). Diagram
warna Chromameter dapat dilihat pada Gambar 4.

8

Gambar 4 Diagram warna chromameter L*, a*, b*
Menurut Wheat Marketing Center Inc. (2004) menyatakan bahwa warna
tepung yang khas adalah memiliki warna L* = + 92.5, a* = -2.4 dan b* = +6.9.
Warna L* tepung sangat terkait dengan pericarp, fluoresensi aleuron dan juga
berhubungan dengan ukuran partikel. Peningkatan warna L*, disebabkan oleh
terjadinya kenaikan ukuran granulometri sehingga menyebabkan penurunan
luminositas (L*) (Symons & Dexter 1991; Hidalgo et al. 2014).
Karakteristik Amilografi
Analisis viskometri dapat digunakan untuk membedakan sifat fungsional pati
dari varietas yang berbeda atau lingkungan pertumbuhan yang berbeda (Copeland
et al. 2009). Menurut Lewicka et al. (2015) pengolahan dengan microwave mampu
mengubah sifat fisikokimia pati terutama, menurunkan viskositas. Perubahan ini
mempengaruhi mekanisme gelasi dan sifat reologi dari pati.
Sifat amilografi berhubungan dengan pengukuran viskositas tepung dengan
konsentrasi tertentu selama pemanasan dan pengadukan. Terdapat beberapa
parameter yang diamati pada sifat amilografi yang meliputi suhu awal gelatinisasi,
suhu puncak gelatinisasi, viskositas maksimum, breakdown viscosity dan setback
viscosity (Gambar 5).

Gambar 5 Kurva kekentalan (BU) hasil pengukuran brabender (Techawipharat,
2007).

9
Menurut Sira (2000), karakteristik sifat fungsional yang penting dapat
dilihat melalui profil gelatinisasinya. Profil tersebut didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut. (1) Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan
meningkatnya suhu, dan sisi yang mengikat hidrogen menyerap air lebih banyak
sehingga meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan
kehilangan birefringence. Pati dengan kadar amilosa tinggi sulit tergelatinisasi dan
dapat membentuk film atau serat dengan kelarutan yang lebih tinggi dan
pengembangan pada kondisi alkali. Strukturnya yang berupa rantai heliks dapat
memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan granula. (2)
Pembentukan adonan merupakan fenomena yang mengikuti proses gelatinisasi
pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan granula, keluarnya
komponen-komponen molekuler dari granula dan pada akhirya terjadilah
kekacauan total pada granula. (3) Retrogradasi berhubungan dengan jumlah
percabangan. Ikatan hidrogen antara gugus hidroksil pada amilosa dalam pati
tergelatinisasi selama pendinginan menghasilkan retrogradasi. Pati dengan
amilopektin tinggi akan teretrogradasi saat dibekukan.
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya
struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa
bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Komponen-komponen yang
terpisah meningkat dengan meningkatnya berat molekul dan lebih meningkat lagi
dengan meningkatnya suhu (Pretience et al. 1992).

10

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2014 hingga April 2015 di
Laboratorium Entomologi SEAMEO BIOTROP Bogor, Laboratorium Taksonomi
Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Laboratorium Teknik
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Laboratorium Kimia PAU dan SEAFAST
Center IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung terigu tanpa diberi
perlakuan fumigasi setelah proses penggilingan. Tepung terigu yang digunakan
diperoleh dari PT. SRIBOGA Raturaya Flour Mill, Semarang dan serangga hama
gudang T. castaneum berumur 17 hari diperoleh dari laboratorium Entomologi
SEAMEO BIOTROP, Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu K2SO4 (Merck,
Germany), HgO (Merck, Germany), H2SO4 (Merck, Germany), H3BO4 (Merck,
Germany), NaOH-Na2S2O3 (Merck, Germany) dan HCl 0,02 N (Merck, Germany).
Alat
Peralatan yang digunakan adalah mikroskop stereo Olympus tipe SZM-45B1,
oven microwave electrolux tipe EMS2007X, timbangan digital AND tipe EK 1200
A berkapasitas 1200 g x 0.1 g, oven pengering (IKEDA RIKA tipe SS204 D),
hybrid recorder, kjedhal, chromameter Konica Minolta CR400 dan Rapid Visco
Analyzer (RVA) (TecMaster), termokopel tipe T, Silica gel, desikator, kuas, wadah
plastik, cawan seng, cawan porselen, kertas saring, erlenmeyer, labu ukur, canister
dan paddle RVA.
Metode Penelitian
Aplikasi Microwave pada Disinfestasi Serangga T. castaneum (Herbst.)
Sampel dirancang dengan menghitung ketebalan dan densitasnya berdasarkan
asumsi daya tembus energi yang dihasilkan oleh microwave. Sampel tepung terigu
selanjutnya diberi biakan T. castaneum.
Persiapan Sampel
Sampel tepung terigu tanpa diberi perlakuan fumigasi yang telah siap diberi
biakan T. castaneum. Kemudian, sampel tepung terigu di beri perlakuan aplikasi
microwave dan tanpa perlakuan aplikasi microwave sebagai kontrol.
Persiapan Pembiakan Serangga
Pembiakan T. castaneum dilakukan dalam wadah gelas yang ditutup dengan
kain jaring serangga. Wadah gelas diisi dengan media biakan tepung terigu yang
terlebih dulu disterilkan dengan pemanasan pada suhu sekitar 70 °C selama 2 jam,

11
kemudian disimpan pada suhu 28 °C. Serangga uji yang digunakan ialah serangga
dewasa umur 7-14 hari berukuran 3-4 mm, dan berwarna merah sampai coklat tua.
Mortalitas T. castaneum
T. castaneum dalam setiap perlakuan digunakan sebanyak 20 ekor dengan
kombinasi 10 jantan dan 10 betina. Penentuan jenis kelamin T. castaneum
dilakukan pada tahap pupa. Perbedaan morfologi pupa T. castaneum jantan ditandai
dengan bentuk urogomphi (sepasang tonjolan pada ujung abdomen) yang lebih
besar sedangkan pada jenis kelamin betina terdapat papillae (sepasang tonjolan
yang berada diatas urogomphi) di atas bagian urogomphi pada ujung abdomen
(USDA 2006).
Pengamatan terhadap T. castaneum dilakukan baik sebelum maupun setelah
masa penyimpanan yang disimpan pada suhu ruang selama 42 hari. Serangga
dewasa yang hidup pada sampel tepung terigu baik yang diberi maupun yang tidak
diberi aplikasi microwave dihitung jumlahnya. Persentase kematian (mortalitas)
dilakukan dengan cara menghitung jumlah T. castaneum yang mati pada setiap
tingkatan energi yang diberikan. Untuk memastikan serangga sudah mati, serangga
dibiarkan beberapa menit sampai tidak bergerak sama sekali.
Disinfestasi T. castaneum dengan Microwave
Disinfestasi T. castaneum dilakukan dengan menggunakan microwave pada
energi 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ dan 36.00 kJ terhadap masing-masing perlakuan
dilakukan tiga kali pengulangan. Pengaturan energi dengan mengatur tombol daya
microwave dan waktu paparan untuk menghasilkan energi yang telah ditentukan.
Energi yang digunakan dapat dihitung dengan mengalikan daya dan waktu yang
digunakan menggunakan persamaan:
W = P x t........................................(3)
Keterangan:
W = Energi yang digunakan (kJ)
P = Daya yang digunakan (Watt)
t = Waktu yang digunakan (detik)
Suhu
Suhu bahan (tepung terigu) diukur dengan menghubungkan bahan dengan
termokopel T ke pencatat suhu hybrid recorder. Termokopel tidak dapat
dimasukkan ke dalam ruang oven selama microwave beroperasi karena gelombang
mikro yang diberikan ketika microwave beroperasi akan diserap oleh termokopel
sehingga akan menimbulkan percikan api yang dapat menimbulkan kebakaran atau
ledakan di ruang microwave. Terkait dengan hal tersebut maka pengukuran suhu
dilakukan sesaat setelah microwave berhenti beroperasi dengan memasukkan
termokopel ke dalam tumpukan bahan pada tiga titik (dua di bagian pinggir dan
satu di bagian tengah bahan).

12
Pengamatan T. castaneum
Pengamatan T. castaneum dilakukan baik sebelum maupun setelah masa
penyimpanan yang disimpan pada suhu ruang selama 42 hari dengan menghitung
jumlah serangga dewasa yang hidup pada sampel tepung terigu baik yang telah
diberi maupun yang tidak diberi aplikasi microwave.
Karakteristik Warna dan Amilografi Tepung Terigu
Analisis yang dilakukan meliputi analisis warna, amilografi dan proksimat.
Analisis proksimat yang dilakukan mencakup analisis kadar air, abu, protein, lemak
dan karbohidrat (by difference). Selanjutnya data analisis proksimat yang diperoleh
akan diolah dalam bentuk dry basis.
Analisis Warna
Analisis warna dilakukan dengan menggunakan Chromameter Minolta
(Gaurav 2003). Uji warna dilakukan dengan sistem warna Hunter L*, a*,
b*. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan lempeng standar putih dengan
Y = 93.2, x = 0.314, y = 0.3204. Sampel yang dianalisis adalah tepung terigu. Hasil
analisis derajat putih yang dihasilkan berupa nilai L*, a*, b*. Pengukuran total
derajat warna digunakan basis warna putih sebagai strandar (L1, a1, b1).
Analisis Amilografi Tepung (AACC 2009)
Karakteristik amilografi tepung terigu ditetapkan menggunakan Rapid Visco
Analyser dengan metode AACC 61-02.01. Secara berturut-turut 25 ml air destilata
dan 3 g sampel (kadar air disesuaikan 14 %) dimasukkan ke dalam RVA canister.
Kemudian canister dimasukkan ke dalam alat dan dilakukan pengadukan sampel
dengan air pada kecepatan 960 rpm selama 10 detik. Pada tahap pengukuran awal,
campuran diaduk dengan kecepatan 160 rpm dan suhu dipertahankan pada 50 oC
selama 1 menit. Suhu kemudian dinaikkan dari 50 oC ke 95 oC dalam 3.5 menit dan
dipertahankan pada kondisi tersebut selama 2.5 menit. Suhu diturunkan kembali ke
50 oC dalam 3.5 menit dan kemudian dipertahankan selama 5 menit. Parameterparameter yang diukur meliputi peak viscosity (PV, viskositas tertinggi selama
pemanasan), trough (T, viskositas paling rendah), breakdown (BD = PV – T), final
viscosity (FV, viskositas pada akhir pemanasan), dan setback (SB = FV – PV).
Semua nilai dinyatakan dalam cP dan setiap sampel diukur sebanyak 2 kali.
Analisis Kadar Air (BSN 2006)
Pada penelitian ini, kadar air tepung terigu akan ditentukan dengan
menggunakan metode thermogravitimetri berdasarkan SNI 01-3751-2006. Cawan
aluminium kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven pada suhu 130 ºC selama
15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit. Cawan ditimbang
menggunakan neraca analitik (A). Sampel sebanyak 2 gram (W) yang sudah
dihomogenkan dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian cawan serta sampel
ditimbang dengan neraca analitik, tutup cawan diangkat, dan cawan beserta isi dan
tutupnya ditempatkan di dalam oven pada suhu 130 ºC selama 1 jam. Kemudian
cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (Y). Setelah

13
itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu
ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih
bobot ≤ 0.005 gram). Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, hasil
penentuan tersebut kemudian dirata-ratakan. Kadar air diukur dengan cara sebagai
berikut:
Kadar air (%) =








%...............................(4)

Keterangan:
W = Bobot sampel awal (g)
X = Bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g)
A = Bobot cawan kosong (g)
Kadar Abu (AOAC 2006)

Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 400-600 °C, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3-5 g sampel ditimbang dan
dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala
pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di
dalam tanur listrik pada suhu 400-600 °C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu
berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Kadar abu dihitung dengan rumus:
Kadar abu (% b.b) =





x 100%.................(5)

Keterangan :
a = berat cawan dan sampel akhir (g)
b = berat cawan (g)
c = berat sampel awal (g)
Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 2006)
Sampel sebanyak ± 100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3.8 ± 0.1
ml H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1.5
jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel dididihkan dengan air
dingin. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi.
Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan
4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor
terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml
ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat
destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut
kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau
menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh
jumlah volume (ml) blanko.Kadar protein dihitung dengan rumus:
Jumlah N (%) =

�� −

� � ��� � 4 �



...............(6)

Kadar protein (%) = jumlah N x faktor koreksi (6.25)

14
Kadar Lemak (AOAC 2006)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang
digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ±
5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak.
Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang
pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya.
Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening.
Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan
dalam oven pada suhu 105 oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan
didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan
dilakukan perhitungan kadar lemak. Kadar lemak dihitung dengan rumus:
Kadar L�mak % =



x 100%............................................(5)

Karbohidrat by difference (SNI 01-2891-1992)
Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan rumus
perhitungan:
Kadar Karbohidrat (%) = 100% - (P + A + Ab + L)................(6)
Keterangan:
P
= kadar protein (% bb)
A
= kadar air (% bb)
Ab = kadar abu (% bb)
L
= kadar lemak (% bb)
Rancangan Percobaan
Variabel dalam penelitian adalah tingkatan energi microwave (kJ) dan berat
sampel. Pengumpulan data diulang tiga kali pada sampel yang berbeda. Wadah
tepung yang digunakan memiliki luasan permukaan 120 mm dan tinggi 70 mm.
Rancangan percobaaan yang digunakan adalah RAL (Rancangan Acak Lengkap)
faktorial dengan 3 ulangan. Adapun rancangan percobaan yang digunakan terdiri
atas 2 faktor perlakuan meliputi :
1. Berat sampel yang terdiri atas 2 taraf yaitu 50 dan 100 g
2. Besarnya energi microwave yang terdiri atas 4 taraf yaitu 23.76 kJ, 24.00 kJ,
31.68 kJ dan 36.00 kJ
Data yang diperoleh dari tiga kali ulangan selanjutnya dirata-ratakan
kemudian dianalisis dengan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan pada tingkat
kepercayaan 95% untuk membandingkan perbedaan seluruh perlakuan microwave
dengan kontrol. Perbedaan dinyatakan signifikan jika p< 0.05. Pengolahan data
dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 22.0 for windows. Adapun diagram dari
tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

15

Tepung terigu

Berat sampel 50 gram dan 100
gram + infestasi 20 serangga tanpa
gelombang mikro

Berat sampel 50 gram + infestasi
20 serangga + gelombang mikro

Berat sampel 100 + infestasi 20
serangga + gelombang mikro

Energi microwave :
23.76 kJ
24.00 kJ
31.68 kJ
36.00 kJ

Penyimpanan pada suhu ruang
selama 42 hari

Pengamatan Pertumbuhan Populasi
Serangga Tribolium castenum

Parameter pengamatan tepung terigu:
Analisis Amilografi
Analisis Warna
Analisis Proksimat

Analisis Data

Interpretasi Data

Gambar 6 Tahapan penelitian

16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penelitian pendahuluan yang diperoleh menunjukkan bahwa pada
energi 7.92 kJ, 12.00 kJ, 15.84 kJ, 18.00 kJ baik pada berat sampel 50 g dan 100 g
tidak memberikan pengaruh terhadap mortalitas T. castaneum. Selain itu, pada
energi 48.00 kJ, 54.00 kJ, dan 72.00 kJ selain memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap mortalitas T. castaneum juga menyebabkan terjadinya
kerusakan pada tepung terigu berupa perubahan warna tepung terigu menjadi
kuning kecoklatan.
Sehingga pada penelitian ini diperoleh energi dan berat sampel yang tepat
untuk disinfestasi T. castaneum. Adapun energi yang digunakan terdiri dari 2 taraf
yaitu 23.76 kJ, 24.00 kJ, 31.68 kJ dan 36.00 kJ.
Pembahasan
Mortalitas T. castaneum
Persyaratan mutu terigu menurut SNI 3751:2009 yaitu tepung terigu harus
bebas dari serangga, maupun sisa-sisa serangga baik berupa telur, larva dan pupa.
Pengendalian T. castaneum mutlak dilakukan karena selain dapat merusak sifat
fisik tepung terigu juga dapat merusak sifat kimiawi tepung. Kerusakan kimiawi
dapat berupa terjadinya perubahan struktur kimia komponen penyusun mutu tepung
akibat hasil sekresi T. castaneum yang menghasilkan enzim lipase dan enzim
benzokuinon dimana dalam jumlah berlebih akan menyebabkan masalah pada
kesehatan Lis et al. (2011).
Tabel 2 menunjukkan bahwa sampel yang diberi biakan T. castaneum tanpa
perlakuan microwave (H+42), pada berat sampel 100 g memperlihatkan peningkatan
populasi yang sangat cepat dibandingkan dengan berat sampel 50 g. Peningkatan
jumlah populasi T. castaneum ini disebabkan oleh suhu dan kelembaban (RH)
tempat penyimpanan tepung terigu sesuai dengan lingkungan optimum tempat
pertumbuhannya. Selain itu, tersedianya kebutuhan nutrisi yang cukup
menyebabkan T. castaneum dapat bereproduksi dengan cepat. Namun, apabila
kandungan nutrisi pada tepung sudah habis maka dapat mengganggu pola
pertumbuhan T. castaneum. Sifat kanibalisme T. castaneum juga merupakan salah
satu faktor yang dapat menekan tingkat pertumbuhan populasinya. Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh Haines (1991) bahwa pada umumnya T. castaneum jantan
dapat memangsa pupa sedangkan betina memangsa telur. Selain itu, Tribolium
castaneum tumbuh pada suhu berkisar 22o C - 40o C dengan suhu optimum 35o C
dan kadar air lebih dari 12 %.

17
Tabel 2 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap mortalitas T. castaneum
setelah penyimpanan 42 hari
Perlakuan Energi (KJ)
Kontrol tanpa tribolium dan
microwave H0
Kontrol Tanpa microwave
(H+42)
23.76 (daya 264 watt x 90 s)
24.00 (daya 400 watt x 60 s)
31.68 (daya 264 watt x 120 s)
36.00 (daya 400 watt x 90 s)

Kontrol Ho
Mati
Hidup
0
0

0
20
20
20
20

Mortalitas H+42 (ekor)
Mati
Hidup
0
168

Mortalitas Sampel 50 g
20
0
351
0
20
0
20
0
20
0
20
Mortalitas Sampel 100 g

Kontrol Tanpa microwave
0
20
(H+42)
23.76 (daya 264 watt x 90 s)
20
0
24.00 (daya 400 watt x 60 s)
20
0
31.68 (daya 264 watt x 120 s)
20
0
36.00 (daya 400 watt x 90 s)
20
0
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
nyata pada taraf uji 5% menurut uji Duncan

0

Persentase
mortalitas (%)
0b

0b

0
0
0
0

100a
100a
100a
100a

706

0b

20
0
100a
20
0
100a
20
0
100a
20
0
100a
yang sama menunjukkan tidak berbeda

Tabel 2 juga menunjukkan tercapainya mortalitas T. castaneum 100 % pada
setiap perlakuan microwave dengan berbagai tingkatan energi. Hal ini dapat dilihat
dari hasil uji anova dimana energi berpengaruh signifikan terhadap mortalitas T.
castaneum pada taraf uji 5%. Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa
perlakuan kontrol Ho dan kontrol H+42 hari tanpa perlakuan microwave berbeda
nyata pada setiap tingkatan energi dan berat sampel. Tercapainya mortalitas T.
castaneum 100 % ini disebabkan oleh perubahan struktur komponen penyususn
tubuh tribolium castaneum akibat perlakuan microwave yang menyebabkan ikatan
protein penyusun tubuh T. castaneum tidak berfungsi dengan baik. Hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Lu et al. (2010) yang menyatakan bahwa paparan
microwave menyebabkan komposisi asam amino dari T. castaneum berubah,
sehingga DNA serangga juga menjadi rusak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Nelson 1996; Gasemzadeh et al. 2010) juga menyebutkan bahwa perlakuan
microwave memiliki efek merusak komponen penyusun tubuh serangga yang
menyebabkan pengurangan tingkat reproduksi, kehilangan berat badan dan
malformasi.
Warna
Pengukuran warna tepung terigu dilakukan dengan melihat nilai CIE L*, a*,
b* menggunakan alat chromameter CR400. Tepung gandum memiliki pigmen
karatenoid yang berkorelasi dengan kandungan glikolipid dan fosfolipid. Dengan
keberadaan T. castaneum dalam tepung menyebabkan perubahan warna tepung
terigu selama penyimpanan sehingga akan mempengaruhi tingkat penerimaan
konsumen. Perubahan warna tepung terigu dari putih menjadi kuning kemerahan
dapat dijadikan sebagai salah satu indikator adanya kerusakan fisik tepung selama
penyimpanan yang disebabkan oleh serangan T. castaneum. Untuk mengetahui

18
pengaruh T. castaneum terhadap perubahan warna tepung terigu dapat dilihat pada
tabel 3.
Keberadaan T. castaneum dalam tepung dapat menyebabkan terjadinya
perubahan warna selama penyimpanan. Hasil pengamatan warna terhadap tepung
terigu kontrol Ho tanpa penyimpanan dan tanpa T. castaneum menunjukkan warna
sebagai berikut: L* = 95.72, a* = -0.48, dan b* = 9.23. Kecerahan warna tepung ini
(L* = 95.72) lebih tinggi daripada kecerahan tepung terigu pada umumnya.
Menurut Wheat Marketing Center Inc. (2004) menyatakan bahwa warna tepung
yang khas adalah memiliki nilai L* = + 92.5, a* = -2.4 dan b* = +6.9.
Tabel 3 Pengaruh perlakuan energi microwave terhadap warna tepung terigu
setelah penyimpanan 42 hari
Perlakuan Energi (kJ)

Penyimpanan H+42
a*
b*
Kontrol tanpa tribolium dan microwave H0
-0.48 ± 0.01h
9.27 ± 0.01b
Warna Sampel 50 g
Kontrol Tanpa microwave (H+42)
92.71 ± 0.01h
0.62 ± 0.01b
8.14 ± 0.01f
23.76 (daya 264 watt x 90 s)
95.34 ± 0.01g
0.28 ± 0.01d
9.50 ± 0.01e
24.00 (daya 400 watt x 60 s)
95.44 ± 0.01f
0.22 ± 0.02e
9.57 ± 0.01d
31.680 (daya 264 watt x 120 s)
95.61 ± 0.01e
0.20 ± 0.00ef
9.62 ± 0.02c
36.00 (daya 400 watt x 90 s)
95.63 ± 0.01d
0.13 ± 0.02g
9.76 ± 0.02a
Warna Sampel 100 g
Kontrol Tanpa microwave (H+42)
92.32 ± 0.01i
0.80 ± 0.00a
8.16 ± 0.01f
23.76 (daya 264 watt x 90 s)
95.66 ± 0.02c
0.33 ± 0.01c
9.58 ± 0.01d
24.00 (daya 400 watt x 60 s)
95.67 ± 0.01c
0.23 ± 0.02e
9.52 ± 0.01e
31.68 (daya 264 watt x 120 s)
95.71 ± 0.02b
0.21 ± 0.01e
9.62 ± 0.01c
36.00 (daya 400 watt x 90 s)
95.86 ± 0.01a
0.18 ± 0.04f
9.71 ± 0.01b
Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
menurut uji Duncan
L*
95.88 ± 0.01a

Tabel 3 menunjukkan bahwa sampel kontrol H+42 yang telah diberi biakan T.
castaneum tanpa perlakuan microwave, pada berat sampel 50 g memiliki kecerahan
warna L* = 92.71 sedangkan pada sampel 100 g yaitu L* = 92.32. Tingkat
kecerahan tepung yang semakin berkurang dipengaruhi oleh banyaknya jumlah
cemaran populasi T. castaneum baik berupa sisa hasil sekresi yang mengandung
senyawa benzokuinon maupun adanya sisa pergantian kulit dan sisa potonganpotongan tubuh T. castaneum yang terlepas. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Eden (1967) bahwa tepung yang telah diserang Tribolium sp. memiliki warna yang
kotor akibat adanya pergantian kulit dari T. castaneum pada fase larva. Larva akan
mengalami pergantian kulit sebanyak 6-11 kali, tidak jarang pula pergantian kulit
ini hanya terjadi seb

Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Kapur, Lama Pemasakan, Penyimpanan dan Investasi Serangga Tribolium castaneum terhadap Mutu Tepung Tortila

0 5 112

Pengaruh Perlakuan Tepung dan Ekstrak Rimpang Lima Jenis Tanaman Zingiberaceae terhadap Perkembangan Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera : Tenebrionidae)

0 3 103

Aplikasi Iradiasi Mesin Berkas Elektron untuk Disinfestasi Serangga Tribolium castaneum (Herbst) pada Tepung Terigu

0 8 252

Status Resistensi Tribolium Castaneum Herbst Dan Araecerus Fasciculatus De Geer Asal Gudang Biji Kakao Di Makassar Sulawesi Selatan Terhadap Fosfin

5 79 74

Hubungan konsentrasi dan waktu pemaparan fumigan fosfin terhadap mortalitas larva dan imago Tribolium castaneum (herbst) (Coleoptera: tenebrionidae)

0 4 92

Toksisitas Kontak dan Efek Fumigan Minyak Atsiri Cinnamomum spp. (Lauraceae) terhadap Tribolium castaneum (Herbst) (Coleoptera: Tenebrionidae)

1 5 53

Efek Fumigan Minyak Atsiri Artemisia (Artemisia vulgaris) dan Nilam (Pogostemon cablin) terhadap Sitophilus zeamais Motsch dan Tribolium castaneum Herbst

0 4 34

Aplikasi Iradiasi Mesin Berkas Elektron untuk Disinfestasi Serangga Tribolium castaneum (Herbst) pada Tepung Terigu

0 11 122

Aplikasi Microwave untuk Disinfestasi Tribolium castaneum (Herbst.) serta Pengaruhnya terhadap Warna dan Karakteristik Amilografi Terigu | Rasyid | Agritech 11255 62919 1 PB

0 0 9

Status resistensi terhadap fosfin pada Tribolium castaneum Herbst (Coleoptera: Tenebrionidae) dari gudang penyimpanan biji kakao di Makassar Sulawesi Selatan

0 0 10