Karakteristik Karkas Dan Daging Sapi Brahman Cross (Bx) Dengan Pakan Limbah Nanas Sebagai Sumber Serat

KARAKTERISTIK KARKAS DAN DAGING SAPI BRAHMAN
CROSS (BX) DENGAN PAKAN LIMBAH NANAS
SEBAGAI SUMBER SERAT

DEWI WAHYUNI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik
Karkas dan Daging Sapi Brahman Cross (BX) dengan Pakan Limbah Nanas
Sebagai Sumber Serat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Dewi Wahyuni
NIM D151130271

RINGKASAN
DEWI WAHYUNI. Karakteristik Karkas dan Daging Sapi Brahman Cross (BX)
dengan Pakan Limbah Nanas Sebagai Sumber Serat. Dibimbing oleh RUDY
PRIYANTO dan HENNY NURAINI.
Pakan memiliki kontribusi nyata pada program penggemukan sapi.
Pemanfaatan limbah nanas sebagai sumber serat dapat mengurangi biaya pakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji karakteristik karkas dan daging
Brahman Cross jantan kastrasi (BX) yang diberi pakan limbah nanas.
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam ekor sapi
Brahman cross (BX) berumur 2.5 sampai 3 tahun. Sapi tersebut digemukkan
selama 120 hari. Tiga ekor sapi diberi pakan konsentrat dan silase limbah nanas
dan tiga ekor lainnya diberi pakan konsentrat dan silase daun jagung. Ternak
disembelih dan dipotong berdasarkan standar pemotongan komersial. Sampel

daging yang digunakan adalah otot Longissimus dorsi. Daging dilayukan di suhu
0 0 C selama 3 bulan dengan diukur setiap bulan untuk karakteristik daging.
Parameter yang diamati terdiri dari bobot potong, bobot karkas, ketebalan lemak
subkutan di 12 dan 13, luas urat daging mata rusuk, nilai pH, keempukkan, susut
masak, daya mengikat air, warna daging (nilai L*, a*, b*), kadar air, protein,
lemak dan kadar abu, mikrobiologi, uji organoleptik hedonik dan mutu hedonik
(aroma, kekenyalan, warna dan lendir) dan histologi daging. Data hasil dari
perlakuan pada kualitas karkas, histologi dan karakteristik kimia daging dianalisis
menggunakan ttest, sementara karakteristik fisik dan mikrobiologi daging
dianalisis dengan pengukuran berulang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah nanas tidak memiliki
pengaruh yang nyata pada semua karakteristik karkas dan daging yang diamati,
kecuali warna daging nilai a* di dua bulan pelayuan, warna L* dan kadar protein
pada tiga bulan pelayuan. Limbah nanas dapat digunakan sebagai sumber serat
pakan untuk penggemukan sapi potong karena tidak memiliki efek negatif pada
karakteristik karkas dan kualitas daging.
Kata kunci: limbah nanas, karakteristik karkas dan daging, Brahman Cross steer

SUMMARY
DEWI WAHYUNI. Carcass and Meat Quality Characteristics of Brahman Cross

(BX) Feedlot Fattened Using Pineapple Waste as a Source of Fiber Feed.
Supervised by RUDY PRIYANTO and HENNY NURAINI.
Feed has a marked contribution on beef cattle feedlot operation. The
utilisation of pineapple waste as a source of fiber in cattle diet could reduce feed
cost. The objective of this study was to examine carcass and meat quality
characteristics from Brahman Cross steers (BX) feedlot fattened on ration
containing pineapple waste.
Six heads of BX steers aged 2.5 until 3 years old were used in this study
and the cattle had been feedlot fattened for 120 days. Three animals were given
concentrate and pineapple waste silage and the other three were given concentrate
and corn leaf silage. The cattle were slaughtered and dreesed according to a
standar commercial slaughtering. The sample meat used longissimus dorsi muscle.
The meat was aged for three months at 0 o C with monthly observation for meat
quality characteristics. The parameters observed comprised slaughter weight, hot
and cold carcass weight, subcutaneous fat thickness at the 12th and 13th rib eyes,
pH values, tenderness, cooking loss, water holding capacity, meat colors (L*, a*,
b* value), moisture, protein, lipid and ash content, microbiology, organoleptic test
hedonic and hedonic quality (aroma, tenderness, color, and mucus), and histology
of meat. The effects of ration on carcass quality, histological and chemical meat
characteristics were analysed using Ttest, while the meat physical and

microbiological characteristics were analysed by repetaed measurement analysis
of variance.
The results showed that the pineapple waste did not have significant
influences on all the carcass and meat characteristics observed, except meat color a*
values at two month aging, meat color L* value at three month aging and protein
content at three month aging. Pineapple waste could be used as a source of fiber
feed for beef cattle fattening since it would not have a negative effect on carcass
and meat quality characteristics.
Keywords: pineapple waste, carcass and meat characteristics, Brahman Cross
steer

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KARAKTERISTIK KARKAS DAN DAGING SAPI BRAHMAN
CROSS (BX) DENGAN PAKAN LIMBAH NANAS
SEBAGAI SUMBER SERAT

DEWI WAHYUNI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :Dr Ir Lilis Khotijah, MSi


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah
karakteristik karkas dan daging dengan judul Karakteristik Karkas dan Daging
Sapi Brahman Cross (BX) dengan Pakan Limbah Nanas Sebagai Sumber Serat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rudy Priyanto dan Ibu
Dr Ir Henny Nuraini MSi selaku pembimbing, serta Ibu Dr Ir Lilis Khotijah MSi
dan Dr Ir Niken Ulupi MS sebagai dosen penguji luar yang telah banyak memberi
saran. Penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi yang telah membantu penulis selama studi dan penelitian melalui Beasiswa
Program Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN) dan PT Great Giant Livestock atas
bantuan dana penelitian. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir
Elis Dihansih MSi selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Djuanda dan Dr Ir
Dede Kardaya MSi yang telah membantu dan memberikan izin serta kesempatan
kepada penulis untuk melaksanakan izin belajar di Sekolah Pascasarjana IPB.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Muhammad Ismail SPt MSi, Bapak Bramada Winiar Putra SPt MSi, Fiqy
Hilmawan SPt, Annisa Hakim SPt yang telah membantu selama pengumpulan
data dan pengolahan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah

Matin Nuryadi, ibu Warni Sumarni (Alm), serta seluruh keluarga, atas segala doa
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Dewi Wahyuni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2
2
2

2 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Peubah yang Diamati
Prosedur Analisis Data

2

2
3
3
3
4
5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Karkas
Karakteristik Daging
Kualitas Fisik Daging
Kualitas Kimia Daging
Kualitas Mikrobiologi Daging
Organoleptik Daging
Histologi Daging

6
6
8
8

11
14
15
17

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

19
19
19

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

25


RIWAYAT HIDUP

35

DAFTAR TABEL
1 Sifat-Sifat karkas sapi Brahman Cross (BX) yang diberi pakan limbah
nanas dan tanpa limbah nanas
2 Rataan kualitas fisik daging sapi Brahman cross (BX) yang diberi
pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama 3
bulan
3 Nilai rataan sifat kimia daging pada sapi yang diberi pakan limbah
nanas dan tanpa limbah nanas
4 Rataan total mikroba daging sapi Brahman cross (bx) yang diberi pakan
limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama 3 bulan
5 Rataan nilai histologi daging sapi Brahman cross (BX) dengan
pemberian pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas

6

9
12
14
17

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram jaring laba-laba hasil uji mutu hedonik daging sapi yang diberi
pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama 3
bulan
2 Diagram jaring laba-laba hasil uji hedonik daging sapi yang diberi
pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama 3
bulan
3 Penampang otot dengan pewarnaan He dan pembesaran 4x
4 Penampang otot dengan pewarnaan masson Trikom dan pembesaran 4x

15

16
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Formulir uji hedonik
Formulir uji mutu hedonik
Hasil analisis karakteristik karkas sapi Brahman cross
Hasil analisis kualitas sifat fisik dan mikrobiologi daging
Hasil analisis uji kimia daging awal (segar)
Hasil analisis uji kimia daging akhir (3 bulan pelayuan)
Hasil analisis uji histologi daging
Hasil analisis kruskall wallis uji hedonik
Hasil analisis kruskall wallis uji mutu hedonik

26
27
29
30
31
31
32
33
34

1 PENDAHULUAN
.
Latar Belakang
Usaha penggemukan sapi pedaging semakin meningkat dari tahun
ketahunnya yang diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah permintaan
daging. Badan Pusat Statistik Indonesia (2013) mencatat perusahaan sapi
pedaging pada tahun 2012 di Indonesia sebanyak 109 perusahaan dan pada
tahun 2011 sebanyak 62 perusahaan. Peningkatan jumlah perusahaan ini
diiringi dengan meningkatnya populasi sapi pedaging di Indonesia sebesar
18.215 % dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar 15 981 000 ekor pada
tahun 2012. Peningkatan populasi sapi pedaging tersebut diikuti dengan
peningkatan jumlah penduduk, tingkat pendapatan, perubahan pola
konsumsi, selera masyarakat dan berkembangnya usaha perhotelan,
restauran, catering dan lainnya. Untuk memenuhi hal tersebut menyebabkan
bakalan sapi impor semakin berkembang pesat di Indonesia.
Sapi Brahman Cross merupakan bangsa sapi yang mampu beradaptasi
dengan cepat di Indonesia dan memiliki kecepatan pertambahan bobot
badan serta memiliki bobot badan dasar yang tinggi (Williamson dan Payne
1993). Manajemen pemberian pakan dan kandungan nutrisi pakan
merupakan faktor pendukung untuk mendapatkan hasil dari produksi ternak.
Pakan yang tersedia sepanjang tahun, harganya murah, mudah didapat,
secara efisien dapat dimanfaatkan oleh ternak merupakan kondisi ideal yang
diharapkan para peternak yang selama ini menjadi tantangan dalam upaya
memelihara seekor ternak.
Jumlah produksi buah nanas secara nasional mencapai 702 ribu ton
per tahun dan sebagian besar disumbang oleh lima wilayah utama penghasil
nanas yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat dan
Jawa Timur (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2009). Jumlah
limbah buah nanas mencapai 70 % dari total produksi buah nanas. Kulit
buah nanas mengandung 81.72 % air, 20.87 % serat kasar, 17.53 %
karbohidrat, 4.41 % protein kasar dan 13.65 % gula reduksi (Novitasari
2008).
Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009)
berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa limbah nanas sangat disukai
oleh ternak sapi perah, sapi potong, kambing dan domba dengan
penggunaan ransum dapat mencapai 75 %, sedangkan pada ternak unggas
mencapai 20 %. Hasil penelitian Ginting (2009) melaporkan bahwa tingkat
konsumsi limbah nanas yang diberikan sebagai pakan tunggal mencapai 332
g h-1 pada kambing fase tumbuh yaitu setara dengan 2.5 % bobot badan.
Penggunaan limbah nanas sebagai pengganti rumput dalam pakan komplit
dengan taraf substitusi berkisar antara 25 sampai 100 % menghasilkan
konsumsi pakan berkisar antara 564 sampai 584 g h-1 setara dengan 3.4 %
bobot badan. Dengan demikian silase limbah nanas dapat digunakan sebagai
pengganti rumput (Ginting et al. 2007).

2
Kulit nanas juga dapat dimanfaatkan dalam proses pengempukkan
daging dengan cara perendaman. Purnamasari et al. (2014) menyatakan
bahwa perendaman daging ayam petelur afkir dalam ekstrak kulit nanas
(Ananas comosus L. Merr) dengan konsentrasi 100 % mampu meningkatkan
kadar protein yang tertinggi, menurunkan kadar air dan kadar pH daging
ayam petelur afkir yang terendah. Zulfahmi et al. (2013) melaporkan bahwa
daging itik tegal afkir yang dimarinasi dengan ekstrak kulit nanas dapat
memberikan keempukkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa
dimarinasi ekstrak kulit nanas. Utami et al. (2011) menyatakan bahwa
penambahan ekstrak nanas terhadap daging itik afkir memberikan nilai
keempukkan yang lebih tinggi.
Pemanfaatan limbah nanas dapat digunakan sebagai pakan ternak dan
dalam proses pengempukkan daging. tetapi masyarakat berpendapat bahwa
daging sapi yang diberikan limbah nanas memiliki penurunan kualitas
daging. Oleh karena itu, penelitian pemberian pakan limbah nanas sebagai
sumber serat perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik karkas dan
daging.
Perumusan Masalah
Pabrik pengolahan nanas berpotensi menghasilkan limbah. Limbah
nanas yang dihasilkan sebesar 70 % dari total produksi nanas. Pemanfaatan
kulit nanas dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan dalam proses
pengempukkan daging. Namun, masyarakat berpendapat bahwa pemberian
limbah nanas pada pakan ternak dapat menyebabkan kualitas daging
menjadi menurun. Oleh karena itu, penelitian mengenai pemberian pakan
limbah nanas terhadap kualitas karkas dan daging perlu diteliti.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian limbah
nanas pada sapi Brahman Cross (BX) terhadap kualitas karkas dan daging
yang dilayukan sampai 3 bulan

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang kualitas
karkas dan daging sapi Brahman Cross (BX) yang diberi pakan limbah
nanas

2 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Maret 2015.
Penelitian dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan untuk penyembelihan

3
ternak, uji kualitas fisik di Laboratorium Produksi Ternak Ruminansia Besar
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor, uji kualitas kimia dan warna daging di
Laboratorium Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor, uji
mikrobiologi di Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan, serta
uji histologi daging di Laboratorium Patologi Departemen Klinik
Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor.
Bahan
Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah 6 ekor sapi
Brahman Cross (BX) jantan yang dikastrasi berumur 2.5 sampai 3 tahun (I2).
Bagian daging yang digunakan untuk pengujian adalah bagian Longisimuss
Dorsi. Ransum yang digunakan dalam penelitian adalah konsentrat
komersial, silase limbah nanas dan silase daun jagung. Kandungan ransum
tersebut memiliki kandungan protein kasar sebesar 12.30 sampai 12.75 %
dan energi 2469 sampai 2682 kal gr-1 bahan kering.
Bahan yang digunakan untuk pengujian mikrobiologi daging adalah
media agar plate count agar dan pengencer buffer pepton water. Bahan
pengujian histologi adalah formalin 10 %, alkohol 70 %, alkohol 90 %,
alkohol absolut, paraffin, xylol, zat warna Hemotoxillin-Eosin, zat warna
masson trikom.
Alat
Peralatan uji mikrobiologi daging adalah labu Erlenmeyer, cawan
Petri dan inkubator. Peralatan uji kualitas fisik daging diantaranya Carper
press, planimeter, warner blatzer share, corer, pH meter, Chromameter,
chiller, kertas Whatman No. 41. Peralatan uji kimia yaitu oven, cawan
porselin, labu Kjedahl, labu Erlenmeyer, dan pemanas listrik. Dan peralatan
untuk histologi daging adalah embedding set, mikrotom, inkubator dan
mikroskop cahaya binokuler.

Prosedur Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan memelihara ternak sapi Brahman Cross
(BX) secara intensif. Setelah mencapai waktu 120 hari, sapi tersebut
mengalami proses pemotongan. Sapi yang akan dipotong diistirahatkan
terlebih dahulu selama 12 jam. Sapi dipotong pada bagian vena yugularis,
arteri caroteis, oseophagus dan trachea pada bagian leher ternak. Darah
yang keluar ditampung. Setelah itu, sapi digantung pada tendon achile untuk
dilakukan pemotongan kepala dan bagian bawah, pengulitan, eviserasi,
sehingga diperoleh karkas dan dilakukan pengujian karakteristik karkas dan
daging. Daging melalui proses pelayuan selama 3 bulan dalam keadaan
vacum pada suhu 0 oC.

4
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam pengamatan karakteristik karkas dan
daging penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bobot Potong : Bobot sebelum pemotongan (kg)
2. Bobot dan Persentase Karkas : Bobot karkas adalah bobot tubuh ternak
setelah disembelih dan dilakukan pemisahan dari darah, kepala, keempat
kaki, kulit, isi rongga perut, isi rongga dada dan ekor, sedangkan
persentase karkas didapatkan dari hasil bobot karkas dibagi dengan
bobot potong dikali seratus persen.
3. Tebal Lemak Punggung : Pengukuran menggunakan jangka sorong
diatas urat daging mata rusuk 12 dan 13.
4. Luas urat daging mata rusuk : Sampel urat daging mata rusuk antara
rusuk 12 dan 13 digambarkan pada plastik transparan, kemudian gambar
pada plastik tersebut diukur luasnya dengan plastik grid.
5. Uji pH Daging : Sampel daging ditusuk dengan menggunakan alat pH
meter. pH meter dikalibrasi terlebih dahulu pada cairan buffer pH 7,
lalu pada cairan buffer pH 4.
6. Warna Daging : menggunakan alat Chromameter dengan notasi hunter
L*, a*, dan b*. Nilai L* berhubungan dengan derajat kecerahan yang
berkisar antara 0 sampai 100. Nilai a* menggambarkan tingkat
kemerahan dan kehijauan, yang berkisar antara -80 sampai 100. Nilai b*
menunjukan tingkat kekuningan dan kebiruan, nilai b* berkisar antara 80 sampai 70.
7. Daya Mengikat Air : Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan
metode penekanan (press methode dari Hamm (1972). Kandungan air
yang keluar dari daging setelah penekanan dapat dihitung dengan
rumus:
mg H2O = Luas area basah (cm2) – 8.0
0,0948
% kadar air yang keluar = mg H2O x 100%
mg sampel
Daya Mengikat Air = % kadar air daging - % kadar air bebas
8. Keempukan : Sampel daging seberat 200 g ditusuk dengan thermometer
bimetal, direbus pada air mendidih sampai suhu internal 80 sampai 81
o
C. Setelah itu sampel daging didinginkan selama 60 menit. Kemudian
daging dicorer searah serat daging lalu diukur daya putus dengan alat
Warner Bratzler shear dan keempukan daging terbaca pada skala alat
tersebut.
9. Susut Masak Daging : Sampel daging sebanyak 50 gram, ditusuk dengan
thermometer bimetal, direbus pada air mendidih sampai suhu internal 80
sampai 81 oC. Daging diangkat dan didiamkan pada suhu ruang sampai

5
berat konstan. Setelah berat daging konstan kemudian daging tersebut
ditimbang kembali lalu dihitung berapa persen susut masaknya dengan
rumus :
Susut Masak Daging = Berat Awal-Berat Akhir x 100%
Berat Awal
10. Kadar Air, abu, lemak dan protein : Pengukuran kadar air, abu, lemak
dan protein dilakukan berdasarkan metode AOAC 2005.
11. Total Plate Count Daging : Daging sapi sebanyak 25 gram dari masingmasing sampel dihancurkan dan dimasukkan ke dalam 225 ml Bupper
Pepton Water sehingga didapatkan pengenceran 101. Sampel yang telah
diencerkan dipipet sebanyak 1 ml secara aseptik ke dalam 9 ml Bupper
Pepton Water untuk diencerkan kembali sampai pengenceran 106.
Setelah itu, ditanam menggunakan media Plate Count Agar.
12. Penilaian Organoleptik : Sebelum pengujian dipersiapkan terlebih
dahulu sampel uji, format uji dan panelis. Sampel uji berupa daging dan
penilaian organoleptik menggunakan panelis yang terlatih dengan
berjumlah 7 orang. Peubah yang diuji meliputi warna, aroma,
keempukkan dan lendir. Pada pengujian ini sampel diberi kode tiga
angka. Panelis diminta memberikan penilaian tingkat kesukaannya
dengan kisaran satu sampai lima. (1 = sangat suka, 2 = suka, 3 = netral,
4 = tidak suka, 5 = sangat tidak suka) terhadap peubah yang diuji. Selain
itu, pengujian ini dilakukan dengan 3 mutu hedonik yang mengacu pada
SNI (2008).
13. Histologi daging : Pembuatan preparat dilakukan berdasarkan metode
Kiernan (1990). Setelah slide preparat terbentuk, diamati menggunakan
mikroskop dengan pembesaran 4 x lalu difoto digital. Pengukuran otot
menggunakan program Coreldraw X4 (Albrecht et al. 2006). Peubah
yang diamati adalah luas penampang otot, luas fasikulus, jumlah otot per
fasikulus, persentase area otot per fasikulus, persentase jaringan ikat per
fasikulus, jarak antar fasikulus dan persentase jaringan ikat dalam
fasikulus.
Prosedur Analisis Data
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap dengan perlakuan perbedaan sumber serat. Perlakuan kontrol
adalah pemberian konsentrat komersial 93 % dan + 7 % silase daun jagung.
Perlakuan sumber serat adalah pemberian konsentrat komersial 74 % + 26
% silase limbah nanas.
Data kualitas karkas yang diperoleh menggunakan pengujian
hipotesis Uji T, untuk data kualitas daging menggunakan pengukuran
berulang dan untuk uji organoleptik menggunakan uji Kruskal Wallis. Data
diolah menggunakan program SAS 9.1.3 portable. Data untuk Rancangan
Acak Lengkap menggunakan sidik ragam dengan penggunaan berulang
dengan model matematik menurut Steel and Torrie (1995) sebagai berikut :

6
Yijk = µ + τi + tk + (τ*t)ik + ɛijk
Keterangan :
i
= perlakuan pakan ke-i (i = LN,TLN)
j
= unit ulangan ke-j
k
= periode pelayuan ke-t (t = 0.1,2,3)
Yij = pengamatan pada perlakuan pakan ke-i dan ulangan ke-j
µ
= nilai tengah umum
τi
= pengaruh perlakuan pakan ke-i
tk
= pengaruh periode waktu ke-k
ɛij
= galat perlakuan pakan ke-i dan ulangan ke-j

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Karkas
Produktivitas seekor ternak dapat dilihat dari peubah bobot badan,
bobot karkas dan persentase karkas yang dihasilkan setelah ternak tersebut
dipotong. Rataan perlakuan pakan yang diberi limbah nanas dan tanpa
limbah nanas terhadap sifat-sifat karkas sapi Brahman Cross (BX) dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Sifat-sifat karkas sapi Brahman Cross (BX) yang diberi pakan
limbah nanas dan tanpa limbah nanas
Peubah

Bobot Potong
Karkas (kg)
Karkas (%)
Tebal lemak punggung (cm)
Luas urat daging mata rusuk(cm2)

Perlakuan
LN

TLN

578.67±13.31
330.2±5.49
57.38±0.94
1.99±0.44
124.51±8.03

571.33±34.95
333.8±5.49
57.88±0.94
0.85±0.44
117.15±8.03

Keterangan : LN = Limbah nanas, TLN = Tanpa limbah nanas

Bobot potong adalah bobot yang didapat sebelum ternak dipotong.
Rataan dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bobot potong yang
dihasilkan adalah 571.33 kg dan 578.67 kg. Rataan bobot potong tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Kuswati et al. (2014) yang
melaporkan bahwa sapi Brahman cross jantan kastrasi yang dipelihara di
Indonesia memiliki rataan bobot potong antara 404.4 kg sampai 469.4 kg.
Hidayat et al. (2015) dalam penelitiannya menghasilkan bobot potong sapi
Brahman cross jantan kastrasi sebesar 506.47 sampai 517.17 kg. Ngadiyono
(2000) sapi Brahman cross yang digemukkan selama 4 bulan menghasilkan
bobot badan sebesar 424.17 kg. Dengan demikian bobot potong pada
penelitian ini bisa dikategorikan untuk dijual pada pasar khusus sesuai
dengan Halomoan et al. (2001) menyatakan bahwa bobot potong untuk
pasar tradisional bobotnya sekitar 372 kg sedangkan untuk pasar khusus
sekitar 511 kg.

7
Sapi Brahman cross (BX) yang diberi pakan limbah nanas dan tanpa
limbah nanas menunjukkan hasil tidak berbeda nyata terhadap bobot potong.
Bobot potong yang tidak berbeda nyata disebabkan karena pakan yang
diberikan memiliki kualitas yang hampir sama sehingga pertumbuhan bobot
badan ternak tidak berbeda pula. Pada penelitian ini pakan yang digunakan
memiliki kadar protein dan energi yang sama.
Bobot karkas yang dihasilkan berkisar antara 330.2 kg sampai 333.8
kg. Bobot karkas yang dihasilkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan
bobot karkas yang dilaporkan Zajulie et al. (2015) sebesar 280 kg dengan
bobot potong 455.63 kg, Ngadiyono (2000) sebesar 227.33 kg dengan bobot
potong 424.17 kg dan penelitian Priyanto et al. (2009) sebesar 224 kg
dengan bobot potong 451 sampai 500 kg. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan bobot potong yang lebih tinggi dapat memberikan bobot karkas
yang lebih tinggi juga.
Persentase karkas yang dihasilkan pada penelitian ini
memperlihatkan hasil diatas 50 %. Hasil penelitian ini lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penelitian Hidayat et al. (2015) menghasilkan
persentase karkas sebesar 54.16 % sampai 55.60 %, Suryani et al. (2014)
mengenai sapi Brahman cross yang diberi pakan aditif Peptida G
menghasilkan persentase karkas 53.90 %, penelitian Wirogo et al. (2014)
dengan pemberian pakan premix konsentrat pada sapi Brahman cross jantan
kastrasi menghasilkan persentase karkas sebesar 53.54 sampai 55.00 %.
Penelitian Priyanto et al. (2009) menunjukkan bahwa persentase karkas
yang dihasilkan dengan bobot potong antara 451 sampai 500 kg adalah
48.62 %. Kurniawan (2005) yang menyatakan bahwa sapi Brahman cross
(BX) dengan bobot potong rata-rata 388.80 dengan kisaran 317-463 kg
memiliki persentase karkas sebesar 49.86 %. Hal ini menunjukkan untuk
mendapatkan persentase karkas diatas 50 % dibutuhkan bobot potong diatas
500 kg.
Tidak terdapat perbedaan nyata terhadap bobot dan persentase
karkas disebabkan karena bobot potong yang tidak berbeda pula. Semakin
tinggi bobot potong maka karkas yang dihasilkan akan tinggi pula dan nilai
ekonomis dari seekor ternak tersebut bernilai tinggi. Sesuai dengan
pernyataan Choi et al. (2010), bahwa bobot karkas sangat dipengaruhi oleh
bobot potong dimana semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas juga
akan bertambah. Peningkatan bobot potong tersebut diikuti oleh
meningkatnya bobot karkas yang diakibatkan adanya pertumbuhan ternak
(Rianto et al. 2006). Kurniawan (2005) menambahkan bahwa bobot karkas
berkorelasi positif terhadap bobot potong. Menurut Padang dan Irmawati
(2007) kecepatan tumbuh seekor ternak dan persentase karkas dapat
dihasilkan tinggi apabila ternak tersebut mendapatkan pakan yang cukup.
Pengukuran tebal lemak punggung dilakukan untuk penilaian
banyaknya lemak yang menutupi karkas. Pada penelitian ini daging sapi
dengan pemberian limbah nanas memiliki tebal lemak punggung sebesar
1.99 cm dan tebal lemak punggung tanpa pemberian limbah nanas sebesar
0.85 cm. Sebagai perbandingan, hasil penelitian Suryani et al. (2014) pada
sapi penggemukkan dengan pemberian pakan aditif peptida memberikan
tebal lemak punggung sebesar 13.4 mm setara dengan 1.34 cm. Menurut

8
Tamarinda et al. (2004) rataan tebal lemak punggung untuk sapi Brahman
cross jantan kastrasi sebesar 1.98 cm. Rataan tebal lemak punggung daging
penelitian ini termasuk kategori untuk pasar khusus, sesuai dengan
Halomoan et al. (2001) tebal lemak punggung sapi Brahman cross yang
beredar di pasar khusus berkisar antara 0.3 sampai 2.2 cm.
Pada Tabel 1 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar
perlakuan terhadap tebal lemak punggung. Hal ini diduga akibat pakan yang
diberikan memiliki nutrisi yang hampir sama. Sesuai dengan pernyataan
Ibrahim et al. (2008) bahwa umur ternak dan makanan yang dimakan ternak
mempengaruhi perlemakan dalam tubuh ternak tersebut. Muthalib (2003)
menyatakan bahwa tebal lemak punggung dapat digunakan untuk
menentukan perlemakan pada karkas, sehingga dapat diketahui dengan
pemberian pakan limbah nanas memberikan hasil kadar perlemakan yang
sama dengan tanpa pemberian limbah nanas.
Rataan luas urat daging mata rusuk dengan pemberian limbah nanas
sebesar 124.51 cm2 dan tanpa pemberian limbah nanas sebesar 117.15 cm2.
Sebagai perbandingan, penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan
nilai luas urat daging mata rusuk hasil penelitian Suryani et al. (2014) pada
sapi penggemukkan Brahman cross yang diberi pakan aditif peptida adalah
130.39 cm2 dan 129.71 cm2, penelitian Muhibbah (2007) sebesar 127.14 dan
158.84 cm2 namun lebih tinggi dari penelitian Kurniawan (2005) sebesar
76.81 cm2.
Rataan kedua perlakuan tersebut tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata. Hasil yang tidak berbeda nyata pada nilai luas urat daging
mata rusuk (udamaru) tersebut diduga akibat bobot potong sapi yang tidak
berbeda nyata pula. Didukung oleh pernyataan Soeparno (2005) semakin
tinggi bobot potong maka luas urat daging mata rusuk semakin tinggi pula.
Karakteristik Daging
Kualitas Fisik Daging
Kualitas sifat fisik daging dapat dilihat dari beberapa peubah
diantaranya pH, keempukkan, daya mengikat air, susut masak serta warna
daging yang terdiri dari notasi (L*,a*dan b*). Rataan kualitas fisik daging
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan nilai pH daging sapi yang diberi pakan limbah
nanas dan tanpa diberi limbah nanas tidak berbeda nyata diantara kedua
perlakuan. Selama pelayuan 3 bulan pada suhu 0 oC tidak memberikan hasil
yang berbeda nyata pula. Nilai pH yang tidak berbeda nyata diakibatkan
kandungan glikogen otot yang sama yang menyebabkan kandungan asam
laktat pada daging postmortem yang sama pula. Sesuai dengan Soeparno
(2005) bahwa nilai pH daging ditentukan oleh kadar glikogen dan asam
laktat daging ternak setelah dipotong dan menurut Aberle et al. (2001)
perubahan nilai pH bergantung pada jumlah glikogen sebelum dilakukan
pemotongan.

9
Tabel 2 Rataan kualitas fisik daging sapi Brahman cross (BX) yang diberi
pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama
3 bulan
Peubah
pH

Perlakuan

LN
TLN
Keempukkan LN
(Kg/cm2)
TLN
Daya
LN
mengikat
Air (%)
TLN
Susut Masak LN
(%)
TLN
Warna
L*
LN
TLN
a*
LN
TLN
b*
LN
TLN

Waktu
Bulan 0
Bulan 1
Bulan 2
5.55±0.05 5.47±0.08
5.66±0.15
5.63±0.24 5.99±0.58
5.72±0.44
3.76±1.10 3.90±1.21
3.4±0.4
4.60±0.88 3.03±0.28
2.86±0.15
45.48±2.67 44.79±0.91 43.64±3.10

Bulan 3
5.44±0.01
5.67±0.22
4.10±0.9
2.80±0.1
43.62±2.00

42.7±4.68 41.54±3.4
44.91±2.26 44.14±1.14
44.90±2.54 38.45±6.69

44.29±2.26
47.59±2.28
47.36±2.49

44.62±0.44
43.89±3.99
35.87±4.8

34.93±0.30 34.67±1.78 41.30±3.48 36.20±1.97b
33.41±0.95 34.22±2.06 43.84±4.24 42.01±1.25a
13.24±0.54 14.17±5.89 8.56±1.08b 15.68±2.70
13.04±2.60 7.91±1.02 19.23±3.69a 15.92±4.03
3.81±0.59 5.48±1.07
2.53±0.24
4.66±0.89
3.58±0.52 3.78±0.56
4.35±1.86
4.76±2.07

Keterangan : LN = Limbah nanas, TLN = Tanpa limbah nanas. Huruf superskrip pada
kolom yang sama menyatakan hasil yang berbeda nyata (P0.05) terhadap nilai keempukkan. Keseluruhan nilai keempukkan
yang diperoleh termasuk dalam kategori empuk berdasarkan Suryati et al.
(2008) menyatakan bahwa daging tergolong sangat empuk apabila daya
putus Warner Bratzler shear (10.12 kg cm-2).
Semakin tinggi nilai daya putus warner Blatzer shear berarti semakin

10
banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging persentimeter
persegi yang berarti daging semakin alot atau tingkat keempukkan semakin
rendah. Nilai keempukkan dalam penelitian ini lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penelitian Ngadiyono (2000) yang menghasilkan nilai
keempukkan sebesar 2.51 kg cm-2, Brahmantiyo (2000) menghasilkan
keempukkan daging sapi Brahman cross sebesar 2.79 kg cm-2.
Hal ini diduga akibat dari nilai pH yang tidak berbeda nyata juga.
Sudarman (2008) menyatakan bahwa nilai keempukkan tidak berbeda nyata
karena nilai pH daging yang didapatkan pada kisaran normal. Pada pH
tinggi, kemampuan daya mengikat air akan tinggi sehingga akan
menyebabkan nilai daya putus Warner Blatzernya tinggi pula yang artinya
keempukkan rendah. Pada penelitian ini nilai daya mengikat air daging tidak
berbeda nyata sehingga nilai keempukkan daging kedua perlakuan tidak
berbeda nyata pula.
Rataan nilai daya mengikat air yang diperoleh menunjukkkan hasil
diatas 40 %. Sebagai perbandingan, penelitian Amri (2000) daging sapi
Brahman cross menghasilkan daya mengikat air yang lebih rendah yaitu
sebesar 22.68 %, penelitian Priyanto et al. (2009) sebesar 29.86 %.
Rataan daya mengikat air pada penelitian ini menunjukkan hasil yang
tidak berbeda nyata (P>0.05). Daya mengikat air yang tinggi disebabkan
kandungan protein pakan yang tinggi. Pada penelitian ini daya mengikat air
tidak berbeda nyata diduga akibat kandungan protein ransum yang sama
sehingga menghasilkan kadar protein daging yang sama juga dan
kemampuan mengikat air yang sama juga. Faktor lain yang mempengaruhi
daya mengikat air diantaranya adalah pH. Daya mengikat air akan berbeda
apabila kadar pH berbeda nyata. Nilai pH yang rendah akan menyebabkan
denaturasi protein sehingga daya mengikat air rendah. Selain itu dalam
keadaan pH yang rendah mengandung banyak asam laktat maka gugus
reaktif protein berkurang dan menyebabkan makin banyak air yang terlepas
sehingga daya mengikat air rendah. Daya mengikat air yang rendah akan
menyebabkan daging mengeluarkan banyak air, daging menjadi lembek,
basah dan warna daging akan terlihat menjadi pucat.
Susut masak termasuk indikator utama terhadap nilai nutrisi daging
dan berhubungan dengan banyaknya air yang terikat dalam sel diantara
serabut otot. Nilai susut masak yang didapat pada penelitian ini masih
tergolong normal sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005) bahwa pada
umumnya susut masak bervariasi antara 1.5 sampai 54.5 % dengan kisaran
15 % sampai 40 %. Nilai susut masak daging sapi berdasarkan penelitian
Brahmantiyo (2000) berkisar antara 37.53 sampai 38.34 %, penelitian Yanti
et al. (2008) menghasilkan nilai susut masak sebesar 42.77 sampai 44.65 %,
penelitian Hidayat et al. (2015) menunjukkan nilai susut masak daging sapi
sebesar 37.56 sampai 38.00 %.
Daging sapi yang diberi pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas
selama penelitian memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
terhadap nilai susut masak. Nilai susut masak yang diperoleh tidak berbeda
nyata diduga akibat daya mengikat air dan kadar air daging yang tidak
berbeda nyata pula. Menurut Shanks et al. (2002), besarnya susut masak
dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air

11
yang keluar dari daging, degradasi protein dan kemampuan daging untuk
mengikat air. Daging sapi yang diberi pakan limbah nanas dan tanpa limbah
nanas kemudian dilayukan selama 3 bulan secara umum memberikan hasil
yang tidak berbeda nyata. Hal ini selaras dengan nilai daya mengikat air
yang tidak berbeda nyata pula. Selain itu berhubungan dengan kecepatan
penurunan pH postmortem atau rendahnya pH ultimat daging (Bulent et al.
2009).
Salah satu karakteristik daging yang mudah teridentifikasi adalah
warna. Warna yang disukai oleh konsumen adalah warna daging yang
merah cerah. Kecerahan warna daging menunjukkan tingkat kesegaran
daging.
Nilai L* berhubungan dengan tingkat kecerahan yang berkisar antara
0 sampai 100. Jika nilai L* makin meningkat maka warna daging semakin
cerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tiap perlakuan
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05) kecuali pada bulan ke
3 berbeda nyata (P0.05) terkecuali bulan ke 2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata
(P0.05) terhadap nilai
kekuningan. Warna daging kekuningan disebabkan rendahnya kandungan
pigmen mioglobin dan hemoglobin dalam daging. Selain itu, kandungan
lemak marbling pada daging juga mempengaruhi kekuningan daging yang
disimpan, karena adanya kandungan betakaroten (Ensminger 1969).
Kualitas Kimia Daging
Uji kimia ini dilakukan untuk melihat komposisi daging yang
menjadi penentu kualitas daging. Uji kimia yang dilakukan adalah uji kadar
air, protein, lemak dan abu. Menurut Soeparno (2005), perbedaan
kandungan gizi daging dipengaruhi oleh jenis kelamin, pakan, umur, jenis
ternak, serta letak dan fungsi bagian daging tersebut di dalam tubuh. Rataan
hasil uji kimia daging sapi dapat dilihat pada Tabel 3.

12
Tabel 3 Nilai rataan sifat kimia daging pada sapi yang diberi pakan limbah
nanas dan tanpa limbah nanas
Peubah
Air
Protein
Lemak
Abu

Pakan
LN
TLN
LN
TLN
LN
TLN
LN
TLN

Waktu
Segar
73.97±0.54
73.53±0.96
20.40±1.04
21.14±1.83
1.93±0.21
2.61±0.51
1.06±0.28
1.32±0.00

Dilayukan
71.42±0.99
71.71±0.90
24.02±0.29a
21.37±0.17b
3.10±1.76
1.80±0.82
1.41±0.08
1.50±0.10

Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya
perbedaan nyata antar perlakuan (P0.05). Sebagai perbandingan, menurut
Onyango et al. (1998) nilai kadar air daging sapi untuk bangsa bos indicus
adalah 77.5 % dan untuk sapi bos taurus adalah 72.4 sampai 74.8 % (Boles
dan Shand 2008). Hasil penelitian Brahmantiyo (2000) kadar air daging sapi
Brahman cross sebesar 74.05 %, Jamhari (1995) dalam penelitiannya
menghasilkan rataan kadar air daging sapi Brahman cross dengan bobot
potong diatas 400 kg sebesar 74.75 %.
Pelayuan daging selama 3 bulan, secara umum menunjukkan
penurunan nilai kadar air, namun tidak menunjukkan hasil yang berbeda
nyata diantara kedua perlakuan. Hal ini diduga akibat karena kadar pH
daging yang mengalami penurunan juga. Sesuai dengan pendapat Muchtadi
dan Sugiyono (1992) pH daging akan menurun sehingga kadar air akan
berkurang juga. Daging segar masih akan terlihat basah yang disebabkan
oleh kandungan air daging. Kandungan air daging akan menurun seiring
dengan penurunan nilai pH akibat dari protein daging yang rusak dalam
suasana asam. Protein miofibril tidak tahan dalam suasana asam, sehingga
terjadi denaturasi protein sehingga struktur daging akan menjadi rusak,
maka kemampuan untuk menahan air semakin kecil dan daya mengikat air
akan semakin rendah (Purnamasari et al. 2013).
Rataan protein daging pada saat kondisi daging segar dari sapi yang
diberi pakan limbah nanas memiliki kadar protein sebesar 20.40 % dan
daging sapi yang tanpa diberi limbah nanas sebesar 21.41 %. Rataan kadar
protein daging yang mengalami proses pelayuan selama 3 bulan
menunjukkan hasil daging dari sapi yang diberi limbah nanas memiliki nilai

13
protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi tanpa diberi
limbah nanas. Nilai rataan daging tersebut secara berturut turut adalah
24.02 % dan 21.37 %. Sebagai perbandingan, penelitian Brahmantiyo
(2000) kadar protein daging sapi yang dihasilkan adalah 24.03 %.
Tabel 3 menunjukkan pada saat kondisi sudah dilayukan terlihat
hasil yang berbeda nyata antar perlakuan pakan (P0.05).
Perbedaan tersebut diduga disebabkan karena perbedaan struktur daging,
yang terutama terdiri dari protein miofibril dan jaringan ikat. Pada proses
pelayuan daging terjadi denaturasi protein.
Lemak merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan acuan
oleh konsumen dalam memilih daging. Rataan kadar lemak daging sapi
Brahman cross (BX) yang diberi pakan limbah nanas pada kondisi segar
memiliki kadar lemak sebesar 1.93 % dan daging sapi yang tanpa diberi
limbah nanas sebesar 2.61 %. Setelah mengalami proses pelayuan selama 3
bulan daging yang tanpa diberi pakan limbah nanas memiliki kadar lemak
sebesar 3.10 % sedangkan daging sapi yang diberi pakan limbah nanas
sebesar 1.80 %. Hasil penelitian ini lebih rendah dari penelitian Soebagyo et
al. (2000) yang menghasilkan kadar lemak daging Brahman cross yang
digemukkan selama 4 bulan sebesar 12.53 %.
Kandungan lemak daging kedua perlakuan masih tergolong normal.
Menurut Buckel et al. (2007) kandungan lemak sapi berkisar antara 0.5
sampai 13 %. Rataan kadar lemak daging sapi Brahman Cross (BX) tersebut
menunjukkan hasil tidak berbeda nyata diantara kedua perlakuan. Kadar
lemak daging yang tidak berbeda nyata diduga akibat kadar air yang tidak
berbeda nyata pula. Namun terlihat bahwa kadar air berbanding terbalik
dengan kadar lemak yaitu apabila kadar air daging rendah maka kadar
lemak daging tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Minish
dan Fox (1979) yaitu kandungan lemak daging berkorelasi negatif terhadap
kadar air daging semakin tinggi kandungan lemaknya maka semakin rendah
kadar air dagingnya.
Kadar abu dalam daging menyatakan besarnya jumlah mineral yang
terkandung dalam daging tersebut. Pada saat kondisi daging segar dari sapi
yang tanpa diberi pakan limbah nanas memiliki kadar abu sebesar 1.32 %
dan daging dari sapi yang diberi limbah nanas sebesar 1.06 %. Akan tetapi
pada saat daging tersebut sudah mengalami proses pelayuan selama 3 bulan
kadar abu daging dari sapi yang diberi limbah nanas dan tanpa diberi limbah
nanas secara berturut turut adalah 1.50 % dan 1.41 %. Hasil penelitian ini
memiliki kadar abu yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian
Brahmantiyo (2000) sebesar 0.83 %. Kadar abu daging kedua perlakuan
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Menurut Forrest et al.
(1975) kadar abu berhubungan erat dengan kadar protein dan kadar air
daging serta kadar lemak daging tersebut.

14
Kualitas Mikrobiologi Daging
Kualitas mikrobiologi daging sapi dinilai berdasarkan jumlah total
bakteri dalam daging menggunakan metode hitungan cawan. Jumlah total
bakteri daging sapi per bulan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rataan total mikroba daging sapi Brahman cross (BX) yang diberi
pakan limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama
3 bulan
Perlakuan
-1

LN (cfu g )
TLN (cfu g-1)

Bulan 0
1.75±0.82
1.86±0.72

Waktu
Bulan 1
Bulan 2
2.26±0.87
2.7±0.07
2.94±0.85
3.1±1.17

Bulan 3
1.87±0.71
2.47±2.30

Keterangan : LN = Limbah nanas, TLN = Tanpa limbah nanas. Huruf superskrip pada
kolom yang sama menyatakan hasil yang berbeda nyata (P>0.05).

Tabel 4 menunjukkan bahwa total nilai mikroba pada daging sapi
dengan perlakuan pemberian pakan limbah nanas tidak berbeda nyata
dengan daging sapi yang tanpa diberi pakan limbah nanas. Total bakteri
pada kedua perlakuan daging sapi tersebut masih dalam kisaran normal,
artinya daging sapi masih dapat dikonsumsi oleh manusia walaupun sudah
mengalami proses pelayuan selama 3 bulan. Hal ini sesuai dengan Badan
Standarisasi Nasional (2008) menyatakan bahwa total plate count daging
sapi dengan satuan cfu g-1 (colony forming unit gram-1) maksimum total
bakterinya adalah 1 x 106 setara dengan 6 cfu g-1.
Nilai total bakteri tidak berbeda nyata diduga karena nilai pH yang
dihasilkan tidak berbeda nyata pula. Buckle et al. (1986) menyatakan bahwa
apabila pH daging sapi mencapai 5.1 sampai 6.1 maka lebih stabil terhadap
kerusakan mikrobanya, sedangkan apabila pH daging sapi berada sekitar 6.2
sampai 7.2 maka memungkinkan untuk pertumbuhan mikroba menjadi lebih
baik. Arizona et al. (2011) menyatakan bahwa nilai pH daging semakin
tinggi karena bakteri mendeminasi asam amino sehingga menghasilkan
senyawa-senyawa yang bersifat basa. Selain itu total plate count tidak
berbeda nyata diduga juga akibat dari kadar air dalam daging yang tidak
berbeda nyata juga. Kadar air dapat menjadi salah satu media pertumbuhan
dan aktivitas mikroorganisme pada daging. Semakin tinggi kadar air,
semakin banyak mikroorganisme yang tumbuh sehingga kerusakan daging
lebih cepat terjadi.
Adanya bakteri ini disebabkan oleh pencemaran-pencemaran pada
saat awal disembelih, penanganan setelah dipotong dan selama pengerjaan
di laboratorium. Daging jarang sekali dalam keadaan steril karena daging
memiliki sifat mudah tercemar oleh mikroba yang ada di sekitarnya. Sesuai
dengan Doulgeraki et al. (2012) potensi kontaminasi mikrobiologi
tergantung dari kondisi fisiologis ternak pada saat dipotong, kontaminasi
pada saat pemotongan, temperatur pada saat penyimpanan dan kondisi lain
pada saat distribusi yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba.

15
Organoleptik Daging
Mutu merupakan gabungan parameter dari sebuah produk yang bisa
dinilai secara uji organoleptik dan dapat dijadikan acuan dalam memilih
produk. Penilaian uji organoleptik pada daging sapi mentah dilakukan 4
kriteria yaitu: aroma, warna, keempukkan dan lendir. Menurut Usmiati
(2010) ciri-ciri daging yang sehat adalah berwarna merah terang atau cerah.
Mengkilap, tidak pucat, elastis, tidak lengket dan beraroma “khas”. Hasil
uji organoleptik disajikan dalam bentuk diagram jaring laba-laba (Gambar 1
dan 2) untuk mengetahui hubungan antar peubah.

aroma
3.00
2.50
2.00

LN0

1.50

TLN0

1.00

LN1

0.50
lendir

0.00

TLN1
keempukkan

LN2
TLN2
LN3
TLN3

warna

Gambar 1 Diagram jaring laba-laba hasil uji mutu hedonik daging sapi yang diberi pakan
limbah nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama 3 bulan, LN =
Limbah nanas, TLN = Tanpa limbah nanas, 0-3= waktu pelayuan daging.

16
aroma
4.00
3.00
LN0

2.00

TLN0
1.00
lendir

0.00

LN1
Keempukkan

TLN1
LN2
TLN2
LN3
TLN3

warna
Gambar 2 Diagram jaring laba-laba hasil uji hedonik daging sapi yang diberi pakan limbah
nanas dan tanpa limbah nanas dan dilayukan selama 3 bulan, LN = Limbah
nanas, TLN = Tanpa limbah nanas, 0-3= waktu pelayuan daging

Aroma merupakan faktor yang menentukan kelezatan suatu bahan
pangan. Menurut Forrest et al. (1975) faktor-faktor yang mempengaruhi
aroma daging adalah umur ternak, tipe pakan, spesies, jenis kelamin, lemak,
bangsa, lama waktu dan kondisi penyimpanan daging setelah pemotongan.
Hasil uji kruskall wallis menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada uji
hedonik dan uji mutu hedonik, pada uji hedonik panelis menilai bahwa
aroma yang ditimbulkan dari daging kedua perlakuan adalah sama yaitu
tidak beraroma daging sampai beraroma daging serta panelis menilai suka
hingga netral pada aroma daging tersebut. Penilaian yang tidak berbeda
pada aroma daging diduga akibat kadar perlemakan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi aroma daging sapi tersebut sama. Dapat dilihat dari kadar
lemak daging yang tidak berbeda nyata pada penelitian ini.
Keempukkan daging adalah suatu indikator untuk melihat keras dan
lembutnya daging. Menurut Van Laack et al. (2001) keempukkan daging
merupakan suatu karakteristik kualitas yang kompleks yang dipengaruhi
oleh banyak faktor diantaranya adalah biokimiawi sebelum dan setelah
penyembelihan. Keempukkan daging sangat mempengaruhi persepsi
konsumen dalam menilai mutu daging. Hasil pengujian uji hedonik dan uji
mutu hedonik menujukkan hasil tidak berbeda nyata. Menurut panelis
keempukkan daging sapi yang diberi limbah nanas dan tanpa limbah nanas
adalah kenyal dan lembut dan panelis menyukai daging dari kedua
perlakuan. Data organoleptik ini sesuai dengan hasil keempukkan yang
diukur berdasarkan penilaian obyektif.
Daging dengan warna menyimpang dianggap daging tersebut
memiliki kualitas yang rendah. Hasil pengujian hedonik dengan uji kruskall-

17
wallis untuk warna daging sapi menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
diantara kedua perlakuan. Rata-rata nilai uji hedonik daging sapi dari suka
sampai netral. Untuk uji mutu hedonik menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata kecuali pada bulan ke 2. Rata-rata nilai uji mutu hedonik
menunjukkan nilai sekitar 1.5 sam