Pola Konsumi dan Kecukupan Protein Hewani Rumah Tangga Kabupaten Sukabumi

POLA KONSUMSI DAN KECUKUPAN PROTEIN HEWANI
RUMAH TANGGA DI KABUPATEN SUKABUMI

NINDYA SHINTA
H14100010

ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJAMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Konsumsi dan
Kecukupan Protein Hewani Rumah Tangga di Kabupaten adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Nindya Shinta
NIM H14100010

ABSTRAK
NINDYA SHINTA. Pola Konsumsi dan Kecukupan Protein Hewani Rumah Tangga di
Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh SRI MULATSIH.
Kabupaten Sukabumi memiliki potensi produksi pada unggas yang relatif tinggi.
Namun, konsumsi masyarakatnya dominan terhadap ikan sebagai pangan sumber protein
hewani. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis pola konsumsi pangan sumber protein
hewani rumah tangga, (2) menganalisis tingkat elastisitas permintaan pangan sumber
protein hewani rumah tangga, (3) menganalisis tingkat konsumsi dan kecukupan protein
hewani rumah tangga. Metode yang digunakan adalah Almost Ideal Demand System.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada seluruh golongan pendapatan yaitu rendah,
sedang maupun tinggi konsumsi sumber protein hewani masyarakat terbesar adalah ikan
dengan jumlah masing-masing 11.29 kg/kapita/tahun golongan pendapatan rendah, 11.98
kg/kapita/tahun pendapatan sedang, 21.72 kg/kapita/tahun pendapatan tinggi. Konsumsi
terendah adalah ruminansia dengan konsumsi masing-masing 0.00 kg/kapita/tahun pada

golongan pendapatan rendah, 0.13 kg/kapita/tahun pada golongan pendapatan sedang dan
1.37 kg/kapita/tahun pada golongan pendapatan tinggi. Berdasarkan tingkat kecukupan
protein hewani Kabupaten Sukabumi hanya telur yang sudah memenuhi standar
kecukupan Widyakarya dengan tingkat kecukupan 134.38 persen. Sedangkan untuk
ruminansia baru terpenuhi 26.36 persen, unggas 98.86 persen, Ikan 57.71 persen dan Susu
39.73 persen.
Kata kunci: AIDS, Elastisitas, Kecukupan Protein, Pola konsumsi

ABSTRACT
NINDYA SHINTA. The Pattern of Consumption and Protein Adequacy in Sukabumi
Regency's households. Advised by SRI MULATSIH.
Sukabumi Regency has a relatively high rate potential production of poultry.
However, the pattern of the consumption of Sukabumi Regency people shows that fish is
utilized as the main source of animal protein. Hence, the objectives of the present
research are: (1) to analyze the consumption pattern of animal protein in Sukabumi
Regency's households, (2) to analyze the elasticity level of demand on animal protein in
households, (3) to analyze the level of consumption and the level of animal protein
adequacy in households. The present research was conducted using the Almost Ideal
Demand System. The research results suggest that all groups of participants (low income,
moderate income and high income group) consume fish as the main source of animal

protein. Low income group's rate in consuming fish is 11.29 kg/capita/year, moderate
income group's rate is 11.98 kg/capita/year and high income group's rate is 21.72
kg/capita/year. Besides, the results indicate that all groups of participants consume
ruminant as the animal protein source the least. Low income group consumes 0.00
kg/capita/year, moderate income group consumes 0.13 kg/capita/year and high income
group consumes 1.37 kg/capita/year. According to the protein adequacy level in
Sukabumi Regency only eggs have meet the standard of Widyakarya adequacy with
adequacy rate is 134.38 percent. As for ruminant is only met 26.36 percent, poultry is
98.86 percent, fish is 57.71 percent and milk is 39.73 percent.
Keywords: AIDS, Elasticity, Protein Adequacy, Pattern of consumption.

POLA KONSUMSI DAN KECUKUPAN PROTEIN HEWANI
RUMAH TANGGA DI KABUPATEN SUKABUMI

NINDYA SHINTA
H14100010

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJAMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pola Konsumi dan Kecukupan Protein Hewani Rumah Tangga
Kabupaten Sukabumi
Nama
: Nindya Shinta
NIM
: H14100010

Disetujui oleh

Dr Ir Sri Mulatsih, MSc.Agr
Pembimbing


Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph.D
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: (

)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 ini ialah
pola konsumsi, dengan judul Pola Konsumsi dan Kecukupan Protein Hewani
Rumah Tangga di Kabupaten Sukabumi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua Orang Tua, Kakak dan adikadik atas dukungan dan doa yang diiberikan selama ini, Kemudian penulis
mengucapkan terimakasih banyak kepada :
1. Ibu Dr.Ir.Sri Mulatsih,Msc,Agr selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran dan perbaikan dalam skripsi ini

2. Bapak Dr.Alla Asmara selaku penguji utama dan Bapak Dr. Jaenal Effendi
selaku penguji kedua yang telah memberi masukan dan kritik yang
membangun dalam memperbaiki skripsi ini.
3. Mba Nursaidah yang telah membantu selama pengolahan data dan teman
yang selalu memberikan semangat dan motivasi Zulfati Rahma dan Heni
Hindawati.
4. Sahabat-sahabat sejati yang selalu menemani Dyah Ayu Fajar, Lestari Puji
Amalia P, Shinta P, Maryah Ulfah, Niki Nurul, Yenny Noor, Liseu,
Susleni M, Rizki Oktaviani.
5. Keluarga Kost Putri Andika House, Ikamasi 47, TPB-B05, dan Ilmu
Ekonomi 47 yang memberikan semangat dan motivasi membangun selama
penulis berada di kampus Institut Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014
Nindya Shinta

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian


4

Manfaat Penelitian

4

Ruang Lingkup

4

TINJAUAN PUSTAKA

4

Teori Permintaan Konsumen

5

Pola Konsumsi dan Kecukupan protein


6

Konsep Elastisitas

7

METODE PENELITIAN

11

Jenis dan Sumber Data

11

Pengelompokan Data

12

Metode Analisis


12

HASIL DAN PEMBAHASAN

14

Pola Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani

14

Tingkat Elastisitas Permintaan

16

Konsumsi dan Kecukupan Protein

19

SIMPULAN DAN SARAN


21

Simpulan

21

Saran

22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

24

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1 Persentase pengeluaran rata-rata per rumah tangga menurut kelompok
makanan di Kabupaten Sukabumi (persen).
2 Produksi ternak dan ikan di Kabupaten Sukabumi.
3 Rata-rata konsumsi pangan sumber protein hewani (kg/kapita/tahun).
4 Rata-rata proporsi pengeluaran pangan sumber protein hewani (persen).
5 Elastisitas harga sendiri, silang dan pengeluaran berdasarkan golongan
pendapatan.
6 Konsumsi protein rumah tangga berdasarkan golongan pendapatan.
7 Perbandingan kecukupan protein dengan standar Widyakarya Nasional.

2
3
14
15
17
19
20

DAFTAR GAMBAR
1 Rata-rata pengeluaran per kapita menurut kelompok barang di
Kabupaten Sukabumi.
2 Kerangka Pemikiran.

1
11

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Hasil SUR Almost Ideal Demand System.
Link Matriks.
Mean SUR berdasarkan golongan pendapatan dan keseluruhan.
Perhitungan elastisitas keseluruhan Kabupaten Sukabumi.
Hasil elastisitas permintaan Kabupaten Sukabumi.
Perhitungan elastisitas golongan pendapatan rendah.
Hasil elastisitas permintaan golongan pendapatan rendah.
Perhitungan elastisitas golongan pendapatan sedang.
Hasil elastisitas permintaan golongan pendapatan sedang.
Perhitungan elastisitas golongan pendapatan tinggi.
Hasil elastisitas permintaan golongan pendapatan tinggi.
Hasil Output Almost Ideal Demand System menggunakan SAS.
Program persiapan data.

24
24
24
24
25
25
25
26
26
26
26
28
29

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Protein hewani dalam pangan merupakan bagian yang sangat penting karena
sifatnya tidak mudah tergantikan (indispersible) serta memiliki beberapa fungsi
yaitu sebagai zat pembangun untuk membentuk jaringan baru didalam tubuh, zat
pengatur berbagai proses di dalam tubuh baik secara langsung maupun tidak
langsung dan sebagai bahan bakar bagi tubuh akan energi yang tidak terpenuhi
oleh hidrat arang dan lemak. Selain itu, protein hewani merupakan pembawa sifat
keturunan manusia yang dari sudut peranannya layak dianggap sebagai agent of
development bagi pembangunan bangsa baik untuk masa sekarang maupun masa
mendatang (Soehadji 1994).
Pemenuhan protein hewani dapat menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat karena terciptanya kualitas sumberdaya manusia yang baik yang dapat
diukur dari indikator IPM (Indeks Pembangunan Manusia).
Kabupaten Sukabumi memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari
tahun 2008 sampai dengan 2012 yang mengalami peningkatan yaitu pada tahun
2008 sebesar 74,17, tahun 2009 sebesar 74,57, tahun 2010 sebesar 74,91, tahun
2011 sebesar 75,36, dan pada tahun 2012 meningkat menjadi sebesar 75,55
(RPJMD Kab.Sukabumi, 2012). Pemenuhan kebutuhan pangan sumber protein
hewani dapat dilihat juga dari perkembangan pengeluaran masyarakat terhadap
makanan dan non makanan serta pengeluaran per kapita berdasarkan kelompok
makanan.
Pengeluaran rata-rata per kapita merupakan seluruh pengeluaran dibagi
dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut.

Sumber : Susenas 2009-2011.

Gambar 1 Rata-rata pengeluaran pengeluaran masyarakat makanan dan non
makanan di Kabupaten Sukabumi (persen).

2
Gambar 1 menunjukkan bahwa pola pengeluaran untuk makanan lebih
besar daripada pengeluaran untuk non makanan. Sebanyak 58.86 persen dari
pengeluaran digunakan untuk kebutuhan makanan dan sisanya 41.44 persen
digunakan untuk kebutuhan non makanan. Maka, dapat disimpulkan bahwa
proporsi untuk makanan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk non
makanan. Selain itu, dilihat pula persentase pengeluaran rata-rata untuk kelompok
makanan.
Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per rumah tangga untuk kelompok
makanan di Kabupaten Sukabumi Tahun 2009-2012
Kelompok Makanan
Padi-padian
Umbi-umbian
Ikan
Daging
Telur dan Susu
Sayur-sayuran
Kacang-kacangan
Buah-buahan
Minyak dan lemak
Bahan minuman
Bumbu-bumbuan
Makanan jadi
Tembakau dan sirih

2009
15.41
0.46
5.92
2.20
3.20
2.83
1.98
1.84
2.64
1.94
1.32
8.89
8.42

2010
28.47
0.92
9.31
3.72
5.01
4.62
2.65
3.01
4.35
3.4
2.23
14.24
14.15

2011
13.38
0.35
5.25
2.44
2.89
4.09
1.24
2.88
2.06
1.73
1.01
11.82
7.96

2012
14.21
0.45
8.23
3.00
5.28
4.27
1.32
3.14
2.46
1.51
1.04
11.92
8.02

Sumber: BPS Kab.Sukabumi 2012

Data Biro Pusat Statistik (BPS) diatas menunjukkan bahwa terdapat
kecendrungan peningkatan konsumsi penduduk di Kabupaten Sukabumi untuk
bahan makanan sumber protein hewani. Persentase pengeluaran untuk ikan pada
tahun 2009 sebesar 5.92 persen, meningkat menjadi 9.31 persen pada tahun 2010,
menurun pada tahun 2011 menjadi 5.25 persen, kemudian meningkat kembali
pada tahun 2012 menjadi 8.23 persen. Sedangkan untuk daging pada tahun 2009
sebesar 2.20 persen, meningkat menjadi 3.72 persen pada tahun 2010, menurun
pada tahun 2011 menjadi 2.44, kemudian meningkat kembali pada tahun 2012
menjadi 3.00 persen, begitupula dengan telur dan susu pada tahun 2009 sebesar
3.20 persen, meningkat menjadi 5.01 persen pada tahun 2010, menurun pada
tahun 2011 menjadi 2.89, kemudian meningkat kembali pada tahun 2012 menjadi
5.28 persen. Maka, dapat disimpulkan bahwa persentase pengeluaran rata-rata per
kapita protein hewani di Kabupaten Sukabumi memiliki kecendrungan yang
semakin meningkat selama kurun waktu 2009-2012.

3
Rumusan Masalah
Kebutuhan pangan protein hewani seharusnya dapat terpenuhi melalui
potensi daerah. Kabupaten Sukabumi memiliki potensi produksi unggas yang
dominan terutama pada jenis ayam petelur dan ayam pedaging dalam kurun waktu
2009-2012.
Tabel 2 Potensi Produksi ternak dan ikan di Kabupaten Sukabumi.

Komoditi
Sapi Potong
Kerbau
Domba
Kambing
Ayam Buras
Ayam Petelur
Ayam Pedaging
Ikan

2009
1,104,972
59,400
507,522
4,758,192
24,016,150
35,092,092
3,930,267

Produksi Daging (Kg)
2010
2011
1,042,458
1,337,798
185,406
68,686
929,736
569,278
379,592
128,778
1,925,250
3,176,543
25,528,665
24,729,632
42,581,480
40,118,599
6,744,292
6,539,133

2012
1,466,212
72,120
604,566
127,880
2,494,492
26,590,289
43,875,583
8,846,526

Sumber: BPS 2012 (diolah).

Berdasarkan Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa produksi daging yang
dihasilkkan oleh ayam petelur sebesar 24,016,150 kg pada tahun 2009 kemudian
meningkat menjadi 25,528,665 kg pada tahun 2010 meskipun produksi daging
menurun pada tahun 2010, produksi daging yang dihasilkan ayam petelur kembali
meningkat pada tahun 2012 dengan jumlah produksi daging 26,590.289 kg.
Produksi daging pada ayam pedaging meningkat dari tahun 2009 dengan
jumlah produksi daging 35,092,092 kg menjadi 42,581,480 kg pada tahun 2010.
Kabupaten Sukabumi dapat dikatakan cukup memadai dalam produksi daging
yang dihasilkan pada ternak unggasnya. Hal ini dapat dikatakan bahwa Kabupaten
Sukabumi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk pangan sumber protein
hewani seharusnya dapat terpenuhi dari potensi ternak yang ada terutama pada
potensi ayam pedaging dan ayam petelur.
Sedangkan, rata-rata konsumsi pangan protein hewani Kabupaten
Sukabumi pada tahun 2012 untuk ruminansia 0.58 kg/kapita/tahun, unggas 6.92
kg/kapita/tahun, ikan 17.89 kg/kapita/tahun, telur 8.73 kg/kapita/tahun dan susu
2.80 kg/kapita/tahun. Hal tersebut menjadi masalah adanya ketidakseimbangan
antara produksi dan konsumsi masyarakat di Kabupaten Sukabumi.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pola konsumsi pangan sumber protein hewani rumah tangga di
Kabupaten Sukabumi?
2.
Bagaimana tingkat elastisitas permintaan pangan sumber protein hewani
rumah tangga di Kabupaten Sukabumi?
3.
Bagaimana tingkat konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah tangga
di Kabupaten Sukabumi ?

4
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
Menganalisis pola konsumsi pangan sumber protein hewani rumah tangga
di Kabupaten Sukabumi.
Menganalisis tingkat elastisitas permintaan pangan sumber protein hewani
rumah tangga di Kabupaten Sukabumi.
Menganalisis tingkat konsumsi dan kecukupan protein hewani rumah
tangga di Kabupaten Sukabumi.

Manfaat Penelitian
1.

2.

Dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
Memberi informasi kepada pemerintah tentang elastisitas pangan protein
hewani yang dapat dijadikan rekomendasi dalam pengambilan kebijakan
harga suatu komoditi.
Menjadi bahan acuan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti
lebih lanjut dan lebih mendalam tentang pola konsumsi dan tingkat
elastisitas suatu komoditi rumah tangga.

Ruang Lingkup Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sukabumi. Data yang
digunakan adalah data dari Badan Pusat Statistik yaitu data Susenas 2012 berupa
data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga dengan sampel 997 rumah tangga.
Komoditi pangan protein hewani yang dianalisis adalah kelompok ruminansia
merupakan gabungan dari daging sapi, kerbau dan kambing, kemudian kelompok
unggas, kelompok ikan, telur dan susu.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perilaku Konsumen
Teori permintaan pasar dijelaskan melalui teori permintaan individu,
dengan adanya konsep bahwa permintaan pasar merupakan penjumlahan dari
permintaan individu. Teori permintaan individu sendiri umumnya diturunkan dari
teori perilaku konsumen. Perilaku konsumen umumnya diterangkan dengan
pendekatan fungsi kepuasan (utility function). Teori ekonomi seringkali
menganggap bahwa rumah tangga sebagai unit pengambil keputusan yang terkecil
dalam mengambil keputusan. Terdapat asumsi pokok bahwa rumah tangga akan
memaksimumkan kepuasan, kesejahteraan atau kemakmuran mereka (Lipsey
1993). Apabila suatu rumah tangga dihadapkan dengan pilihan antara dua
kelompok alternatif konsumsi, maka asumsinya rumah tangga tersebut akan
memilih kelompok yang disenanginya, atau dengan kata lain rumah tangga
tersebut menentukan pilihannya (preferensinya) dalam rangka memaksimumkan

5
kepuasannya (utilitas). Menurut Nicholson (2002), utilitas/kepuasan didefinisikan
sebagai kepuasan yang diterima seseorang akibat aktivitas ekonomi yang
dilakukan. Konsep utilitas ini sendiri sebenarnya memiliki makna yang luas
karena tingkat kepuasan seseorang merupakan suatu hal yang bersifat subjektif
dan nilainya tidak dapat diukur secara pasti. Namun terdapat beberapa sifat
mendasar mengenai preferensi individu ini, yaitu:
1. Complete Preferences (Preferensi yang lengkap).
Menyatakan asumsi bahwa para individu mampu menyatakan sesuatu yang
diinginkan dari dua pilihan. Jika terdapat dua kelompok konsumsi A dan B, maka
diharapkan bahwa individu tersebut dapat secara tegas menyatakan kelompok satu
akan lebih baik dari kelompok lainnya.
2. Transitivity of Preferences (Preferensi bersifat transitif).
Menyatakan asumsi bahwa jika A lebih diinginkan dari B, dan B lebih
diinginkan dari C, maka A harus lebih diinginkan dari C. Jadi dalam hal ini
diasumsikan bahwa individu akan bersikap konsisten dalam menentukan
pilihannya.
3. ‘More is better than less’.
Menyatakan asumsi bahwa individu akan lebih menyukai banyak barang
daripada sedikit barang.
Ahli ekonomi mengeneralisasi ada lima faktor utama yang mengubah
jumlah yang diminta atau konsumsi masyarakat yang disebut demand determinant
yaitu:
a. Harga komoditi itu sendiri. Kenaikan harga komoditi tersebut akan
mengurangi jumlah yang diminta dan penurunan harga akan terjadi
sebaliknya.
b. Harga barang lain. Permintaan akan suatu komoditi tidak hanya tergantung
dari komoditi tersebut tetapi juga harga komoditi lain. Arah perubahan
permintaan tergantung dari arah perubahan harga dan hubungan komoditi
tersebut dengan komoditi lain. Jika penurunan harga komoditi lain
menyebabkan penurunan jumlah yang diminta maka hubungan komoditi
tersebut dengan yang lain dinamakan complementer (hubungan negatif).
Sedangkan jika kenaikan jumlah yang diminta pada komoditi lain, maka
hubungan komoditi tersebut dinamakan substitute (hubungan positif).
c. Jumlah penduduk. Kenaikan jumlah penduduk berarti jumlah yang diminta
bertambah.
d. Pendapatan konsumen. Kenaikan pendapatan konsumen seringkali
menjadi penyebab kenaikan permintaan produk pertanian.
e. Jumlah keluarga dan distribusi umur keluarga. Permintaan akan bahan
pangan erat kaitannya dengan jumlah keluarga. Pada umumnya keluarga
yang mempunyai jumlah anggota besar, maka jumlah pendapatan yang
dibelanjakan untuk pengeluaran bahan pangan akan lebih besar. Demikian
juga perbedaan umur,dimana usia lanjut akan lebih banyak mengkonsumsi
makanan yang kandungan lemaknya lebih rendah.

6
Pola Konsumsi dan Kecukupan Protein
Pola konsumsi adalah alokasi pendapatan yang dikeluarkan untuk
pembelian bahan pokok dan untuk pembelian bahan sekunder. Studi mengenai
pola konsumsi dapat dinilai sampai seberapa jauh perkembangan kesejahteraan
masyarakat pada saat ini (Hermanto 1985). Pola konsumsi pangan sangat
ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah tangga seperti tingkat pendapatan,
harga pangan non-pangan, selera, dan kebiasaan makan. Analisis pola konsumsi
dapat pula dilihat melalui beberapa pendekatan diantaranya dengan menggunakan
pendekatan faktor sosial budaya yaitu dengan menganalisa data golongan
pendapatan rumah tangga. Kemudian dengan pendekatan letak geografis yaitu
dengan membedakan lokasi menjadi desa dan kota dan pendekatan rumah tangga
yaitu dengan mengidentifikasi jumlah anggota rumah tangga, struktur umur, jenis
kelamin, pendidikan dan lapangan pekerjaan (Departemen Pertanian 2004).
Salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan dalam mempengaruhi kualitas
sumberdaya manusia adalah gizi. Bahan makanan hewani merupakan salah satu
komponen gizi yang berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan dan
kecerdasan. Hal ini karena protein hewani mengandung asam-asam amino
esensial yang lebih lengkap dan seimbang daripada protein nabati. Disamping itu
protein hewani lebih mudah dicerna dan diabsorbsi daripada protein nabati,
sehingga nilai hayatinya lebih baik.
Penggunaan nilai protein menggambarkan kecukupan pangan rumah
tangga karena konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang
rusak pada usia dewasa atau untuk menjamin pertumbuhan normal pada usia
muda (Irawan 2002). Namun, bukan hanya jumlahnya harus mencukupi, tetapi
keanekaragaman pangan sumber protein yang dikonsumsi juga penting secara
umum pola pangan yang baik adalah bila perbandingan komposisi kebutuhan dari
karbohidrat, protein dan lemak masing-masing adalah 50-65 persen, 10-20 persen,
20-30 persen (Hardiansyah dan Tambunan 2004).

Konsep Elastisitas
Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dipengaruhi oleh
pendapatannya (I), harga barang tersebut (Px), dan juga oleh harga barang-barang
lain. Tingkat kepekaan permintaan dipengaruhi oleh faktor- faktor tersebut,
dijelaskan oleh suatu konsep elastisitas (elasticity). Menurut Nicholson (2002)
elastisitas merupakan ukuran persentase perubahan suatu variabel yang
disebabkan oleh satu persen perubahan variabel lainnya. Konsep elastisitas
permintaan terdiri dari elastisitas harga sendiri, elastisitas silang dan elastisitas
pendapatan.
Elastisitas Permintaan adalah derajat kepekaan jumlah permintaan
terhadap perubahan salah satu faktor yang mempengaruhinya (Boediono 2000).
Melalui elastisitas dapat diukur dan dijelaskan seberapa jauh reaksi perubahan
kuantitas terhadap perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
(Lipsey et al 1995). Selanjutnya Bilas (1989) mengatakan bahwa elastisitas dapat
digunakan untuk membandingkan perubahan harga dan dampak perubahan ini
terhadap kuantitas yang ditawarkan/kuantitas yang diminta. Ada tiga macam

7
konsep elstisitas yang umum digunakan untuk melihat reaksi konsumen individu
dan pasar yaitu: elastisitas harga (own price elasticity of demand), elastisitas
silang (cross price elasticity of demand) dan elastisitas pendapatan (income
elasticity of demand).
Elastisitas Harga
Konsep elastisitas harga menunjukkan bahwa perubahan harga akan
menyebabkan perubahan jumlah barang yang diminta. Konsep ini disebut juga
sebagai elastisitas harga permintaan yang didefinisikan sebagai derajat kepekaan
perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga. Secara
khusus, elastisistas harga dari permintaan (EQp) didefinisikan sebagai persentase
perubahan kuantitas sebagai respon atas satu persen perubahan harga. Bentuk
matematisnya ialah sebagai berikut :

Elastisitas ini menunjukkan bagaimana perubahan Q (jumlah yang diminta),
dalam merespon perubahan P (harga). Karena P dan Q bergerak ke arah yang
berlawanan, maka EQp akan bernilai negatif. Elastisitas harga (EQp) ini dikatakan
elastis jika nilai absolutnya lebih dari satu, dan dikatakan inelastis jika kurang dari
satu. Nilai elastisitas permintaan telur ayam ras di Kecamatan Koja menurut
Hidayat (2002) adalah 0.850, artinya jika harga telur ayam ras naik 10 persen,
maka permintaan telur ayam ras naik sebesar 8.50 persen atau bersifat inelastis.
Elastisitas Harga Silang
Dampak perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan
harga barang lain diukur dengan elastisitas harga silang yang menunjukkan derajat
kepekaan perubahan jumlah barang yang diminta sebagai akibat perubahan harga
barang lain. Elastisitas ini didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas
suatu barang yang diminta (Q) sebagai respon atas satu persen perubahan harga
barang lain (P`). Maka:

Konsep elastisitas harga silang ini dapat digunakan untuk menggolongkan
hubungan antara dua komoditi, apakah saling bersubstitusi atau saling melengkapi
(komplementer). Dua barang akan saling bersubstitusi jika elastisitas harga
silangnya bernilai positif, dimana harga satu barang dengan kuantitas permintaan
barang lain bergerak dengan arah yang sama. Sebaliknya, dua barang akan saling
melengkapi (komplementer) jika elastisitas harga silangnya bernilai negatif. Hal
ini menunjukkan bahwa harga satu barang dan kuantitas barang lain akan bergerak
pada arah yang berlawanan. Berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2002),
menunjukkan nilai elastisitas silang sebesar 0.130 artinya jika harga telur ayam

8
kampung naik 10 persen, maka volume permintaan telur ayam ras naik 1.30
persen dan bersifat inelastis.
Elastisitas Pendapatan
Elastisitas pendapatan mengukur persentase perubahan permintaan akan
suatu barang yang diakibatkan oleh kenaikan pendapatan riil konsumen sebesar
satu persen. Konsepnya, elastisitas ini merupakan persentase perubahan kuantitas
suatu barang yang diminta sebagai respon atas perubahan pendapatan sebesar satu
persen. Secara matematis, elastisitas pendapatan dirumuskan sebagai berikut:

Konsep elastisitas pendapatan ini dapat digunakan untuk mengkategorikan
suatu barang, apakah tergolong sebagai komoditi normal, inferior, atau barang
mewah (luxury). Apabila suatu barang tersebut normal, makan nilai EQI adalah
positif karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang.
Apabila suatu barang termasuk pada barang inferior maka nilai EQI adalah negatif.
Hal ini berati peningkatan pendapatan justru menurunkan kuantitas barang yang
dibeli. Bilas (1989) mengatakan bahwa barang-barang dengan elastisitas
pendapatan EQ,I>1 dapat dikategorikan sebagai barang-barang mewah (luxury
goods). Berdasarkan hasil penelitian Hidayat (2002), menunjukkan bahwa nilai
elastisitas pendapatan terhadap permintaan telur ayam ras sebesar 0.285. Artinya,
kenaikan jumlah pendapatan sebesar 100 persen mengakibatkan kenaikan jumlah
permintaan terhadap telur ayam ras sebesar 28,5 persen (ceteris paribus).
Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model permintaan Almost Ideal Demand System (AIDS) ini pertama kali
diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Berbeda dengan
model permintaan lainnya, model ini dapat menjawab tuntutan preferensi
konsumen, dan bentuk fungsinya lebih fleksibel. Hal tersebut disebabkan restriksi
-restriksi dari model ini seperti additivitas, homogenitas, dan simetri dapat diuji
secara statistik (Deaton dan Muellbauer 1980). Selain itu, model permintaan ini
juga mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan seperangkat
komoditi secara bersama-sama. Hal tersebut tidak ditemukan dalam model
permintaan lainnya, sehingga hubungan silang dua arah antara dua komoditi dapat
ditentukan. Hal itu sesuai dengan fakta yang ada bahwa pemilihan suatu komoditi
dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama. Menurut Deaton dan Muellbauer
(1980) beberapa karakteristik penting dari model permintaan AIDS ini ialah (1)
model ini merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem
permintaan, (2) model ini dapat memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi
dengan tepat, (3) model dapat digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan
simetrik (4) memiliki bentuk fungsinya konsisten dengan pengeluaran rumah
tangga, (5) mampu mengagregasi perilaku rumah tangga tanpa menerapkan kurva
Engel yang linier, dan yang terpenting parameternya mudah diduga tanpa harus
menggunakan metode non linier. Model ini merupakan pendekatan orde pertama

9
dari suatu fungsi permintaan dengan titik awalnya adalah sebuah kelas preferensi
yang spesifik Kelas tersebut menurut teori Muellbeaur (1980) memungkinkan
pengagresasian yang tepat dari konsumen, sebagai gambaran dari permintaan
pasar yang merupakan hasil pengambilan keputusan konsumen secara rasional.
Kelas preferensi tersebut dikenal sebagai PIGLOG Class ditunjukkan melalui
fungsi biaya atau pengeluaran, yang menentukan pengeluaran minimum yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat utilitas khusus pada tingkat harga tertentu.
Fungsi permintaan AIDS secara umum dalam bentuk proporsi pengeluaran:
Wi (p,x) = αi + Σj ij log Pj + i log (X/P)
Keterangan:
Wi(p,x)
αi
ij
X/P

= Proporsi Pengeluaran Komoditi x.
= Intersept.
= Nilai parameter duga hasil SUR.
= Expend/Price Stone.

Deaton dan Muellbeaur (1980) menerapkan model ini pada time series
untuk mengetahui persamaan permintaan atas delapan kelompok barang konsumsi
(makanan dan non makanan) dan diestimasi melalui Ordinary Least Square
(OLS).
Penelitian Terdahulu
Liestyorini (2002) menganalisis mengenai pola konsumsi daging dan telur
rumah tangga di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah dengan menggunakan dengan
jumlah sampel rumah tangga yang dipilih sebanyak 90 rumah tangga yang
tersebar di 3 kecamatan, data yang dikumpulkan berupa data primer melalui
wawancara dan kuesioner serta data sekunder berupa data susenas 1987.
Penelitian tersebut menggunakan analisis deskriptif menggunakan model almost
ideal demand system untuk melihat pola kosumsi dan elastisitas, serta
menggunakan analisis penduga/proyeksi konsumsi. Hasil penelitian menunjukan
bahwa pola konsumsi yang terbentuk untuk daerah 15.58 persen, telur sebesar
6.396 persen dan rata-rata konsumsi daging sebesar 9.242 kg/kapita/tahun
sedangkan telur 14.207 kg/kapita/tahun. Sedangkan model untuk daerah perkotaan
R2 untuk model daging sebesar 0.7393 ini berarti bahwa 73.93 persen keragaman
proporsi pengeluaran dari daging diterangkan oleh variable harga dan pengeluaran
sedangkan R2 untuk model telur sebesar 0.6827 ini berarti bahwa 68.27 persen
keragaman proporsi pengeluaran dari telur diterangkan oleh variable harga dan
pengeluaran.
Sunarto (2000) menganalisis mengenai konsumsi rumah tangga untuk
komoditi pangan protein hewani di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan
data SUSENAS 1996 dengan membagi tiga kelas pendapatan dan lima kelompok
pangan (ikan, ruminansia, unggas, telur). Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran secara deskriptif mengenai tingkat konsumsi dan pola
konsumsi rumah tangga serta mengetahui elastisitas. Hasil penelitian menunjukan
bahwa proporsi pengeluaran desa untuk protein hewani lebih tinggi dibandingkan

10
dengan kota, yakni proporsi pengeluaran desa berkisar 2.07 persen-8.17 persen
sedangkan kota 1.24 persen-5.17 persen sedangkan jika dilihat dari pola konsumsi
menunjukan bahwa kedua daerah (desa dan kota) cenderung mengkonsumsi lebih
banyak protein hewani yang berasal dari kelompok ikan,unggas dan telur. Nilai
elastisitas sendiri dari semua komoditas bernilai negatif, untuk kelas pendapatan
rendah antara 0.816 persen-0.898 persen, sedangkan untuk kelas pendapatan
sedang berkisar antara 0.722 persen-0.988 persen, dan untuk kelas pendapatan
tinggi berkisar 0.583 persen-0.941 persen, berdasarkan nilai elastisitasnya dapat
diketahui bahwa komoditi telur untuk berbagai tingkat pendapatan merupakan
komoditi yang lebih sensitif terhadap perubahan harga sebaliknya kurang sensitive
pada unggas di kelas pendapatan rendah serta ikan di kelas pendapatan sedang dan
tinggi.
Ramdhiani (2008) menganalisis mengenai permintaan telur ayam ras dan
ayam buras di Propinsi DKI Jakarta. Menggunakan data SUSENAS 2005,
penelitian tersebut bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah permintaan telur ayam ras dan ayam buras, menganalisis besarnya
permintaan telur ayam ras dan ayam buras tahun 2005-2010.Menggunakan data
sekunder dengan sampel 140 rumah tangga. Hasil penelitian menunjukan bahwa
pola konsumsi rumah tangga di DKI Jakarta didominasi oleh telur dengan telur
ayam ras dan buras tertinggi pada kelompok pendapatan rendah, secara umum
dikatakan bahwa pengeluaran untuk konsumsi telur tertinggi adalah kelas
pendapatan rendah diikuti sedang dan kemudian tinggi. Sedangkan dari hasil
analisis model aids didapat koefisien determinasi (R2) dalam penelitian berkisar
antara 0.1927 persen -0.4222 persen, artinya keragaman proporsi pengeluaran
untuk setiap jenis telur yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya
dalam model yaitu variable harga (sendiri maupun silang), total pengeluaran,dan
juga variabel demografi yaitu jumlah annggota rumah tangga. Sedangkan faktorfaktor yang berpengaruh nyata pada taraf α= 10 persen (p