Daerah jelajah dan penggunaan ruang Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat

i

DAERAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN RUANG KUKANG
JAWA (Nycticebus javanicus) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK, JAWA BARAT

EKA ARISMAYANTI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daerah Jelajah dan

Penggunaan Ruang Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Eka Arismayanti
NIM G34100028

ii

ABSTRAK
EKA ARISMAYANTI. Daerah Jelajah dan Penggunaan Ruang Kukang Jawa
(Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat.
Dibimbing oleh R.R. DYAH PERWITASARI dan INDAH WINARTI.
Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan primata nokturnal dan
memiliki pergerakan yang lamban. Kukang jawa memiliki status konservasi kritis

(critically endangered) menurut International Union for the Conservation of
Nature (2013), serta masuk dalam Apendiks I Convention on International Trade
in Endangered Species (2007). Informasi dan data ekologi mengenai
kehidupannya di alam sangat sedikit diketahui. Penelitian daerah jelajah dan
penggunaan ruang kukang jawa liar dilakukan di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Studi ini bertujuan mengukur
daerah jelajah dan mengamati penggunaan ruang harian kukang di hutan alami.
Metode kernel home range digunakan untuk mengukur daerah jelajah. Metode
titik pusat kuadrat (point centered quarter) digunakan untuk mengambil data
habitat, dan metode Instantaneous-focal Animal Sampling digunakan untuk
mengamati perilaku kukang jawa. Kukang yang diamati adalah dua individu
betina dewasa, salah satunya (individu I) terdeteksi dalam kondisi bunting. Luas
daerah jelajah kukang individu I dan II berturut-turut yaitu 5.43 dan 5.58 ha,
dengan daerah inti sebesar 1.77 ha dan 1.60 ha. Perilaku didominasi oleh
travelling, feeding, aktif dan foraging, yang dilakukan pada stratum pohon kanopi
bawah (2 hingga 15 m), sedangkan aktivitas tidur dilakukan pada stratum pohon
kanopi tengah (15 hingga 22 m). Penggunaan ruang berkorelasi dengan ketinggian
posisi, ukuran cabang dan jenis tumbuhan. Kukang yang diamati menyukai
ketinggian posisi pohon lima hingga tujuh meter di atas permukaan tanah, dan
ukuran cabang kategori ranting kecil. Jenis tumbuhan yang disukai untuk mencari

makan dan pohon tidur yaitu kaliandra (Calliandra calothyrsus), bungbuai
(Plectomia elongata), dan kisampang (Evodia latifolia).
Kata kunci: Daerah inti, pohon tidur, kernel home range, kanopi bawah

ABSTRACT
EKA ARISMAYANTI. Home Range and Space Use of Javan Slow Loris
(Nycticebus javanicus) in Halimun Salak Mount National Park, West Java,
Indonesia. Supervised by R.R. DYAH PERWITASARI and INDAH WINARTI.
The Javan slow loris (Nycticebus javanicus) is a slow moving nocturnal
prosimian primate. Javan slow lorises are considered Critically Endangered by the
International Union for the Conservation of Nature (IUCN 2013), as well as being
listed in Appendix I of Convention on International Trade in Endangered Species
(2007). To date, there is limited source information available regarding wild loris
ecology and behavior. In this study, home range areas and use space of wild javan
slow loris was carried out in Mount Halimun-Salak National Park, in Bogor, West
Java, Indonesia. This study aims to measure home range size and to analyze
activity budgets in natural forest conditions. Kernel Home range methods were

iii


used to analyze home range areas, while Point Centered Quarter methods were
used to collect habitat data, and five minute Instantaneous-Focal Animal Sampling
was used to observe and record behavioral data. The observed lorises were two
adult females, one of which (Individual I) was pregnant. Analysis showed
contiguous home range sizes of 5.43 hectares and 5.58 hectares for Individuals I
and II respectively, as well as a core home range area of 1.77 hectares and 1.60
hectares. These home ranges were larger than that reported in Malaysian
Nycticebus coucang. Behavioral analysis showed that daily activities were
dominated by travel, feeding, active, and foraging, which took place primarily in
the lower canopy stratum (2 – 15 m), whereas sleeping typically occurred in the
medium canopy stratum height (15 – 22 m). The use of space of javan slow loris
correlated with height, substrat, contact, and size of branch. Javan slow loris
preferred heights positions (5 – 7 m), and the size of a small twig branch
categories. Javan slow loris preferred to use kaliandra (Calliandra calothyrsus),
bungbuai (Plectomia elongata), and kisampang (Evodia latifolia) as foraging site
and sleeping tree.
Keywords: Core area, sleeping tree, kernel home range, lower canopy

ii


v

DAERAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN RUANG KUKANG
JAWA (Nycticebus javanicus) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG
HALIMUN SALAK, JAWA BARAT

EKA ARISMAYANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii


vii

ii

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
curahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Daerah Jelajah
dan Penggunaan Ruang Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak, Jawa Barat, dapat diselesaikan dengan baik. Pengambilan
data dilakukan dari bulan Januari-April 2014 di Yayasan International Animal
Rescue Indonesia (YIARI), Curug Nangka, Ciapus Kabupaten Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian laporan ini tidak terlepas dari
bimbingan dan saran serta pihak-pihak yang telah membantu. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir RR Dyah Perwitasari, MSc
selaku pembimbing I, Indah Winarti, SSi MSi selaku pembimbing II, dan Dr Ir
Sulistijorini, MSi selaku penguji luar komisi yang telah banyak membantu dan
memberikan arahan, baik pada saat pelaksanaan penelitian maupun selama
pembuatan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Beasiswa
Bidik Misi, Richard S Moore, Tim Monitoring Kukang, dan semua pegawai

YIARI yang telah membantu selama penyelesaian pengambilan data di lapangan.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga,
atas segala doa dan kasih sayangnya. Teruntuk para sahabat (Risma Angeliza,
Nindya S, Dian, Elin, Anik W), Biologi 47, DKRA UKF, dan Kukang ID
terimakasih atas dukungannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
bagi penulis, maupun bagi para pembaca untuk menambah khasanah ilmu
pengetahuan.

Bogor, Juni 2014
Eka Arismayanti

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR


iii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812)

2

Pola Penggunaan Ruang dan Daerah Jelajah

7

Perangkat Lunak Analisis Daerah Jelajah


9

Taman Nasional Gunung Halimun Salak

9

Kondisi Fisik Kawasan

10

Biotik Kawasan

10

METODE

11

Waktu dan Tempat


11

Bahan

11

Alat

12

Survey dan pemasangan radio collar

12

Monitoring (Pemantauan)

13

Prosedur Analisis Data

15

Pengamatan tipe vegetasi

18

Pola penggunaan ruang

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

19

Hasil

19

Luas Daerah Jelajah Kukang Jawa

19

Penggunaan Ruang

23

Pembahasan

25

ii

SIMPULAN DAN SARAN

28

Simpulan

28

Saran

29

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

45

iii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Identitas kukang jawa objek penelitian
Luas daerah jelajah kukang jawa
Analisis vegetasi pohon tidur kukang jawa
Parameter penggunaan ruang kukang jawa di TNGHS
Uji Chi-square parameter penggunaan ruang kukang jawa

12
22
23
24
25

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Keanekaragaman dan sebaran jenis kukang di dunia (foto: FitchSnyder, Streicher, Widarteti dan Winarti)
Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) (Sumber:
Winarti 2011)
Stratum ketinggian pohon (sumber: www.irwanshut.net)
Lokasi Gunung Salak dan Yayasan IAR Indonesia (Moore 2012)
kegiatan pemantauan kukang dengan receiver telemetry148-174
MHz R-1000 dan telonic antenna (Biotrack Yagi antenna)
Individu I (kukang Ekar)
Individu II (kukang Angel)
Peta titik koordinat daerah dengan menggunakan Map Source
Peta titik koordinat daerah jelajah dengan menggunakan ArcGIS 10.1
Hasil luasan area daerah jelajah kukang dengan menggunakan GME
Grafik asimtot pertambahan luas daerah jelajah satwa
Plot pengukuran pohon dengan metode kuadran (Sumber: Putri
2014)
Peta luas daerah jelajah kukang jawa dengan metode kernel home
range
Peta pertambahan luas daerah jelajah kukang jawa setiap bulan
dengan Open Jump
Grafik asimtot pertambahan daerah jelajah (Februari-April 2014)
Individu I
Grafik asimtot pertambahan daerah jelajah (Februari-April 2014)
Individu II

1
3
8
11
13
14
15
15
16
17
17
18
20
21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Ethogram pengamatan perilaku kukang
Tabel jarak harian dan kecepatan harian individu 1
Tabel jarak harian dan kecepatan harian individu II
Pie Chart perilaku Individu I
Pie Chart perilaku Individu II
Pie Chart parameter penggunaan ruang kukang Individu I
Pie Chart parameter penggunaan ruang kukang Individu II
Inventarisasi substrat yang digunakan kukang jawa

35
36
38
40
40
41
42
43

ii

9

Lokasi tidur individu II (tanda lingkaran merah menunjukkan posisi
tidur kukang jawa

44

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kukang jawa merupakan satwa nokturnal yang termasuk dalam ordo
Primata, famili Lorisidae, genus Nycticebus, spesies Nycticebus javanicus. Lima
spesies kukang yang tersebar di kawasan asia yaitu Nycticebus bengalensis, N.
pygmaeus, N. coucang, N. menagensis, dan N. javanicus (Gambar 1). Tiga dari
lima jenis kukang berada di Indonesia tersebar di daerah Kalimantan, Sumatera,
dan Jawa, yaitu kukang malaya (N. coucang), kukang borneo (N. menagensis),
dan kukang jawa (N. javanicus).

Gambar 1 Keanekaragaman dan sebaran jenis kukang di dunia (foto: FitchSnyder, Streicher, Widarteti dan Winarti)
Kukang jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa. Saat ini, kukang jawa
banyak diburu dan diperdagangkan sebagai hewan peliharaan. Perdagangan
kukang jawa menyebabkan populasi kukang jawa di alam terancam. Faktanya
kukang jawa termasuk satwa yang dilindungi. Informasi dan data ekologi
mengenai kehidupannya di alam pun masih sangat sedikit.
Data ekologi mengenai kukang jawa diperlukan untuk membantu proses
konservasi secara ex-situ maupun in-situ. Salah satu data ekologi yang diperlukan
yaitu daerah jelajah dan penggunaan ruang habitat. Daerah jelajah (home range)
adalah daerah yang digunakan satwa secara tetap, karena daerah tersebut dapat
menyediakan makanan, minum, tempat berlindung, tempat tidur dan tempat
kawin. Penggunaan ruang di suatu habitat memiliki peranan penting untuk
mengetahui penggunaan stratum hutan dan jenis substrat oleh satwa dalam melakukan
aktivitasnya. Penelitian mengenai daerah jelajah kukang yang ada baru dilakukan
pada kukang Malaya, dan kukang jawa hasil rehabilitasi Yayasan International
Animal Rescue Indonesia (YIARI). Daerah jelajah harian (daily range atau night
range pada satwa nokturnal) kukang jawa liar belum diketahui. Penelitian daerah
jelajah dan penggunaan ruang habitat kukang jawa di alam liar perlu dilakukan.
Mengingat populasi kukang jawa yang semakin sedikit akibat perburuan dan

2

perdagangan bebas. Informasi tersebut dapat membantu dalam mengetahui tingkat
keberhasilan pengelolaan rehabilitasi dan reintroduksi kukang jawa di alam liar.
Informasi yang diperoleh akan menjadi salah satu parameter dalam pengelolaan
kukang jawa secara in-situ maupun ex-situ.
Perumusan Masalah
Kukang sudah tercantum dalam satwa yang dilindungi oleh pemerintah
Indonesia sejak tahun 1990. Semua jenis kukang termasuk dalam Apendiks I
menurut CITES (2007). Status konservasi kukang jawa sudah meningkat menjadi
kritis (critically endangered) menurut IUCN (2013). Akan tetapi, data mengenai
daerah jelajah kukang jawa di alam masih sangat sedikit. Di lain pihak data
tersebut sangat diperlukan untuk program konservasi baik ex-situ maupun in-situ
mengingat jumlah populasi satwa ini terus menurun. Oleh karena itu, kajian
tersebut perlu dilakukan dengan harapan dapat dimanfaatkan dalam program
konservasi satwa ini.
Penelitian mengenai daerah jelajah dan penggunaan ruang harian kukang
jawa baru dilakukan di beberapa daerah di Jawa Barat, namun hal tersebut masih
dirasa kurang untuk mengetahui data ekologi kukang jawa liar di Indonesia. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengukuran daerah jelajah kukang jawa dan
menganalisis penggunaan ruang kukang jawa di Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Informasi yang diperoleh akan menjadi salah satu parameter
dalam pengelolaan kukang jawa secara in-situ maupun ex-situ agar populasi
kukang jawa tetap lestari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur daerah jelajah dan menganalisis
penggunaan ruang harian kukang jawa.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal kondisi
ekologi kukang jawa serta menjadi data awal untuk penelitian ekologi lanjutan
tentang kukang jawa di habitat hutan alami. Data daerah jelajah dan penggunaan
ruang kukang jawa dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dalam penentuan
kebijakan konservasi, serta menjadi salah satu parameter dalam pengelolaan
kukang jawa secara in-situ maupun ex-situ (terutama dalam upaya rehabilitasi
kukang jawa) agar populasi kukang jawa tetap lestari.

TINJAUAN PUSTAKA
Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812)
Kukang jawa termasuk dalam primata primitif yang tidak berekor, bersifat
nokturnal (aktif di malam hari), dan arboreal (tinggal di atas pohon) (Gambar 2).
Kukang jawa dapat ditemukan hidup di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan

3

bambu di Jawa Barat (Pambudi 2008). Klasifikasi kukang jawa (N. javanicus)
berdasarkan Napier dan Napier (1967 dan 1985) Rowe (1996) dan Winarti 2011
adalah sebagai berikut:
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Sub Kelas
: Eutheria
Ordo
: Primata
Sub Ordo
: Prosimii
Infra Ordo
: Lemuriformes
Super Famili
: Loroidea
Famili
: Loridae
Genus
: Nycticebus
Spesies
: Nycticebus javanicus (Geoffroy 1812)
Nama lokal
: kukang jawa (Indonesia), muka, oces, atau aeud (Sunda)

Gambar 2 Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) (Sumber:
Winarti 2011)
Morfologi
Menurut Nekaris dan Jaffe (2007), kukang jawa memiliki berat sekitar
670±140 g dan panjang tubuh 293.1±13.3 mm. Warna rambut yang menutupi
seluruh tubuhnya bervariasi dari mulai coklat oranye hingga coklat tua dan sedikit
warna putih. Pada punggung kukang jawa terdapat garis berwarna coklat tua yang
berawal dari pangkal ekor hingga dahi dan bercabang ke arah mata dan telinga,
mengelilingi keduanya. Kukang jawa memiliki warna rambut kuning keabuan dan
coklat krem pada bagian leher, serta strip punggung dan pola garpu pada mukanya
yang sangat jelas (Groves 2001). Variasi dan morfometrik kukang menjadi
indikasi adanya masing-masing dua kelompok populasi pada kukang malaya dan
kukang jawa (Nekaris dan Jaffe 2007).
Kukang memiliki kemampuan yang baik dalam memanjat dan
mencengkeram dahan pohon dengan kelima jarinya yang pendek. Antara jari
pertama dengan jari ke dua memiliki jarak yang jauh dan tegak lurus (Nowak
1999). Salah satu cara mengenali kukang dalam kegelapan malam adalah dengan
menyorotkan cahaya ke arah matanya. Tapetum, yaitu lapisan sel-sel yang
merefleksikan cahaya yang masuk ke dalam mata dan terletak di belakang retina

4

mata, akan memantulkan cahaya berwarna oranye yang masih dapat terlihat
hingga jarak 200 m (Wiens 2002). Oleh karena itu menurut Wiens (2002), untuk
menghindari kesalahan dalam menyimpulkan kehadiran satwa ini pada malam
hari, perlu memperhatikan karakteristik lain selain mata yang berwarna oranye,
yaitu kedipan mata dan bentuk mata (cahaya oranye) itu sendiri.
Kukang memiliki tooth combs atau gigi sisir adalah empat gigi seri pada
rahang bawah yang arah tumbuhnya lebih horizontal. Fungsi gigi ini adalah
sebagai alat untuk menyisir rambutnya saat meyelisik atau membersihkan diri.
Tooth combs juga berfungsi untuk gouging yaitu mengeluarkan getah dari batang
tanaman dengan cara menggores kulit batang tumbuhan. Tooth combs juga
berperan dalam penyaluran bisa dari siku melalui gigitan (Fleagle 1999; Hagey et
al. 2007; Nekaris et al. 2010b). Sedangkan toilet claw adalah cakar atau kuku
yang panjang dan tajam pada telunjuk atau jari ke dua pada alat gerak bagian
belakang. Tooth comb dan toilet claw digunakan untuk menyelisik (Napier dan
Napier 1985; Rowe 1996). Kukang melakukan aktivitas menyelisik beberapa saat
setelah bangun, yaitu sekitar lepas senja saat matahari sudah tenggelam dan sesaat
sebelum tidur, yaitu saat menjelang matahari terbit (Winarti 2011; Wiens 2002;
Pambudi 2008). Penelitian di kandang menunjukkan bahwa kukang memiliki
kisaran masa bunting 165-175 hari (Nekaris dan Bearder 2007), 186-187 hari
(Zimmerman 1989), dan 185-197 hari (Izard 1988). Satwa primata ini melahirkan
satu kali setiap tahunnya dengan berat 43,5-75 g, dan menyusui selama lima
hingga tujuh bulan atau menyapih pada umur anak 85-180 hari (Izard 1988;
Zimmermann 1989; Nekaris dan Bearder 2007).
Kelas Umur Kukang
Pembagian kelas umur kukang adalah dewasa, pradewasa, juvenil, infant,
neonate, dan senile (tua) (Winarti 2011; Setchell dan Curtis 2003; Schulze 2002).
1. Dewasa : sudah matang baik secara fisik maupun seksual dan gigi
permanen sudah komplit.
2. Pradewasa : belum matang sempurna baik secara fisik maupun seksual namun
secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih
bergantung pada induknya.
3. Juvenil : belum matang secara fisik maupun seksual dan masih bersama
induk tetapi sudah bergerak sendiri.
4. Infant : belum disapih dan masih bergantung pada induk sehingga masih
dibawa-bawa di pinggang induknya ataupun diparkir untuk
sementara.
5. Neonate : infant yang terlihat baru dilahirkan dalam beberapa hari yang lalu.
6. Senile : menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti uban pada rambut
muka, pigmentasi kulit, perilakunya menunjukkan tanda-tanda
penurunan daya penglihatan, katarak, kurus, rambut yang tipis,
kehilangan gigi, dan lain-lain,
Penyebaran
Genus Nycticebus di dunia digolongkan menjadi lima spesies yaitu N.
bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis dan N. javanicus (Schulze
dan Groves 2004). Di Indonesia terdapat tiga jenis kukang, yaitu kukang borneo (N.
menagensis), kukang malaya (N. coucang), dan kukang jawa (N. javanicus) (IUCN

5

2011). Kukang jawa hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa. Penyebaran kukang jawa
meliputi kawasan konservasi Taman Nasional (TN) Gunung Gede-Pangrango, TN
Gunung Halimun Salak, hingga TN Meru Betiri (Nijman dan Van Balen 1998;
Collins 2007; Pambudi 2008). Kukang jawa juga ditemukan di luar kawasan
konservasi, seperti di talun (dengan tingkat gangguan manusia yang tinggi) di
Sumedang, Tasikmalaya, Garut dan Ciamis (Winarti 2003; Winarti 2011; Putri 2014).
Sebaran habitat kukang berdasarkan ketinggian adalah kukang malaya 0-920 m di
atas permukaan laut (m dpl), kukang borneo 19-900 m dpl, kukang bengalensis
48-339 m dpl, kukang jawa 200-931 m dpl dan kukang jawa di talun 220-985 m
dpl (Wiens 2002; Schulze 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti 2005; Wirdateti dan
Suparno 2006; Pambudi 2008; Nandini et al. 2009; Winarti 2011). Menurut Thorn
et al. (2009), sebaran habitat kukang jawa dapat mencapai ketinggian 1800 m dpl.
Berturut-turut rata-rata perjumpaan tersebut adalah N. coucang 0.66-0.74/km, N.
bengalensis 0.10-0.13/km, N. pygmaeus 0.05-0.08/km dan N. menagensis
0.12/km. Studi komparatif oleh Nekaris et al. (2007) terhadap data perjumpaan
seluruh spesies kukang di habitat alami dan tidak alami, menghasilkan
transformasi nilai tengah perjumpaan individu/km. Nilai tengah perjumpaan N.
coucang adalah 0.80/km, N. bengalensis 0.26/km, N. pygmaeus 0.13/km, N.
menagensis 0.02/km, dan N. javanicus 0.11/km. Nekaris et al. (2007)
menyebutkan bahwa perjumpaan kukang secara umum rendah, kukang lebih
sering di temukan pada habitat di luar kawasan konservasi seperti talun. Namun di
beberapa lokasi tertentu terdapat kelompok populasi kukang yang lebih tinggi,
dibandingkan populasi di daerah sebaran kukang pada umumnya. Populasi ini
diduga hanya bersifat sementara karena karakteristik habitat yang tidak stabil
(Winarti 2011).

Habitat
Habitat merupakan tempat bagi organisme itu tinggal dan hidup, atau tempat
dimana seseorang harus pergi untuk menemukannya (Odum 1998). Kualitas dan
kuantitas habitat akan menentukan komposisi penyebaran dan produktivitas suatu
satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan
menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Habitat yang rendah kualitasnya
akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah
(Alikodra 2002). Famili Lorisidae memiliki kecenderungan mendiami berbagai
tipe stratum dan substratum (Nekaris dan Bearder 2007).
Kukang menyukai habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah
dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Rowe 1996).
Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian inilah terdapat
kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya. Menurut MacKinnon dan
MacKinnon (1987), pada tahun 1986 dari seluruh area yang mungkin menjadi
habitat kukang, hanya 14% saja yang berada di dalam kawasan dilindungi.
Berdasarkan analisis sistem informasi geografi, luasan habitat kukang jawa
mengalami penurunan luas dan degradasi hingga 20%, dimana habitat kukang
jawa yang masih ada hanya 17% saja yang berada di dalam daerah lindung
(Nekaris et al. 2008b; Thorn et al. 2009).

6

Sumber Pakan
Genus Nycticebus termasuk kelompok omnivora (pemakan segala) dengan
tingkat kesukaan tertentu terhadap salah satu atau beberapa jenis pakan. Jenis
pakan kukang antara lain buah-buahan, bunga, nektar, getah, dan cairan bunga
atau cairan tumbuhan, serangga, dan telur burung serta burung kecil (Putri 2014;
Rowe 1996; Nekaris dan Bearder 2007). Kukang mendapatkan getah dengan cara
mengguratkan gigi sisir ke batang pohon hingga kulit pohon terkelupas atau hanya
tergores dan mengeluarkan getah. Setelah getah keluar kukang lalu menjilatinya
(Putri 2014; Wiens 2002; Streicher 2004; Pambudi 2008; Swapna 2008). Kukang
jawa juga dilaporkan menghisap sadapan nira pohon aren yang menetes secara
alami maupun yang sedang disadap penduduk (Putri 2014; Winarti 2011;
Wirdateti 2003). Berdasarkan identifikasi feses kukang malaya dewasa dan
pradewasa, kukang makan enam jenis serangga pakan yaitu kumbang
(Coleopthera), semut (Hymenoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera),
jangkrik (Formicidae), belalang (Orthoptera), dan kepik (Hemiptera) (Putri 2014;
Wiens 2002).
Kukang jawa di TNGHS terlihat memakan serangga saat berada di pohon
cengkeh Syzygium aromaticum (Wirdateti 2003). Di TNGGP kukang jawa
dilaporkan menangkap dan memakan serangga saat berada di kaliandra Caliandra
calothrysus (Pambudi 2008). Nycticebus menagensis pernah dijumpai beraktivitas
di pohon pempening Lithocarpus benettii selama lebih kurang satu jam untuk
beberapa kali menyambar sesuatu yang terbang yang diperkirakan sebagai
serangga (Wirdateti 2005). Secara umum proporsi pakan kukang malaya adalah
tumbuhan (50% buah-buahan dan 10% getah, 40% lainnya dari sumber pakan
satwa) (Widarteti 2005). Inventarisasi jenis pakan kukang jawa memperlihatkan
sedikitnya satu spesies tumbuhan di talun Sumedang Selatan, 13 spesies dari tujuh
famili di hutan daerah Resort Sampora Taman Nasional Gunung Halimun
(TNGH) bagian selatan, 61 spesies dari 24 famili di hutan lindung perkampungan
Baduy Rangkasbitung Banten Selatan, serta sedikitnya dua spesies dari dua famili
di hutan Bodogol TNGGP (Winarti 2011; Wirdateti 2003; Pambudi 2008).
Aktivitas Harian
Kukang jawa di hutan Bodogol TNGGP mulai aktif setelah matahari
terbenam pukul 18.00 WIB, dengan puncak aktivitas terjadi pukul 20:00-21:00
WIB dan menurun pada pukul 22:00-00:00 WIB (Pambudi 2008). Kukang lebih
banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini
bersifat soliter atau penyendiri (Wiens 2002; Wiens dan Zitzmann 2003a; Napier
dan Napier 1985; Rowe 1996). Sekitar 93.3% waktu N. coucang dihabiskan
sendirian, dengan 6.7% diantaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu
lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin
dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens 2002).
Berdasarkan penelitian kukang malaya di kandang, 90% dari waktu aktifnya
berhubungan dengan aktivitas makan (Glassman dan Wells 1984). Meskipun
hidup soliter, kukang malaya membentuk suatu unit sosial yang stabil (kelompok
spasial) yang masih mempunyai hubungan keluarga, terdiri atas satu jantan, satu
betina, dan tiga individu lainnya yang lebih muda (Wiens 2002). Kelompok
spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi kukang
malaya dengan individu lainnya antara lain allogroom (menyelisik individu lain),

7

alternate click calls (suara cericit atau klik-klik yang tajam dan jelas baik
rangkaian pendek maupun panjang), follow (mengikuti individu lain dengan jarak
tidak jauh dari lima meter), pantgrowl (suara menggeram termasuk nafas
mendengus secara berulang) dan contact sleep (tidur dengan berdampingan atau
memeluk pinggang induk), ride/carry (menunggangi induk atau dibawa oleh
induk), suckle (aktivitas menyusui) (Wiens 2002). Interaksi sosial kukang sangat
sedikit, berkisar antara 0-7.7% (Wiens 2002).
Aktivitas menyelisik individu lain dilakukan tidak lebih dari 6.7% dari
masa aktifnya. Infant kukang malaya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
berjaga-jaga atau mengamati individu lain (40.8%) dibandingkan dengan aktivitas
lainnya (26.5% berjalan, 6.1% siaga, 4.2% menyelisik diri sendiri, 2% berdiri, 2%
bergerak berpindah dengan cepat, dan 12.3% interaksi sosial termasuk click
calling) (Wiens 2002). Kukang juga melakukan infant parking, yaitu
meninggalkan infant pada saat induk pergi mencari makan (Napier dan Napier
1967; Nekaris dan Bearder 2007). Infant parking pada kukang malaya di kandang
teramati pada hari ke dua setelah lahir (Zimmermann 1989). Indikasi infant
parking di alam teramati dua kali oleh Wiens (2002) saat menjumpai infant,
masing-masing dengan berat tubuh 105 g dan 119 g, sendirian di semak dan
pohon pada saat tengah malam (pukul 00:35 dan 02:05). Ketinggian posisi infant
dari permukaan tanah adalah 2.2 m di semak dan 3.5 m di pohon. Semak dan
pohon tersebut merupakan vegetasi tidur pada siang hari masih bersebelahan
dengan induk pada umur sekitar enam bulan (Wiens 2002).
Pergerakan atau aktivitas jelajah di pengaruhi oleh intensitas cahaya
(Nekaris dan Bearder 2007). Satwa primata ini cenderung bersifat lunar phobia.
Pengamatan di kandang menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan cahaya
bulan, kukang malaya meningkatkan aktivitas istirahat dan menurunkan aktifititas
lokomosi (Trent et al. 1977). Aktivitas yang tidak dipengaruhi oleh intensitas
cahaya bulan adalah makan dan menyelisik. Beberapa satwa primata nokturnal
diketahui memiliki kecenderungan lebih aktif pada saat ada cahaya bulan (lunar
philia) dan ada juga yang tidak (lunar phobia). Contoh satwa primata lunar philia
adalah Tarsius sp. (Gursky 2003) dan Galago sp. (Nekaris dan Bearder 2007) dan
satwa primata lunar phobia adalah Loris sp. (Nekaris dan Bearder 2007).
Gangguan habitat
Kukang berbagi habitat dengan satwa malam lainnya, misalnya dengan
musang bulan atau careuh (Paradoxurus hermaphroditus), kelelawar buah, atau
burung hantu (Winarti 2003). Kukang di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
juga berbagi habitat dengan tando (Galeopterus variegatus). Kerusakan habitat
akibat aktivitas manusia merupakan salah satu ancaman utama terhadap
keanekaragaman hayati (Johns dan Skorupa 1987; Longman dan Jenik 1987; Primack
et al. 2007). Gangguan manusia dapat berupa penebangan pohon, perburuan, kegiatan
pertanian, pemukiman penduduk, dan keberadaan jalan. Gangguan manusia tersebut
menciptakan habitat modifikasi manusia dengan struktur vegetasi dan kondisi substrat
yang berubah (Anderson et al. 2006).
Pola Penggunaan Ruang dan Daerah Jelajah
Satu kelompok spasial atau kelompok keluarga kukang malaya mendiami
suatu luasan habitat atau daerah jelajah yang tumpang tindih, dimana individu

8

jantan dewasa menjadi penguasa daerah yang mencakup seluruh daerah jelajah
anggota-anggota keluarganya (Wiens 2002). Pada primata, karakter yang dapat
memengaruhi kemampuan bertahan di habitat terfragmentasi meliputi luas ruang
jelajah, persentase pakan, fleksibilitas pakan, perilaku, dan kemampuan satwa
menggunakan ruang habitat yang telah termodifikasi (John dan Skorupa 1987;
Anderson et al. 2006). Adapun parameter pola penggunaan ruang yang paling
banyak diteliti menurut Santosa (1990) ada dua hal yaitu daerah jelajah dan
pergerakan. Daerah jelajah merupakan daerah pergerakan normal satwa dalam
melakukan aktivitasnya. Sedangkan ‘core area’ merupakan bagian dari home
range yang sering digunakan dan dengan keteraturan yang lebih besar daripada
bagian lainnya. Menurut Alikodra (1990), daerah jelajah adalah daerah yang
dikunjungi oleh satwaliar secara tetap karena menyediakan makanan, minum,
serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung, tempat tidur dan tempat
kawin. Daerah jelajah kukang malaya yaitu di hutan primer 0.4-3.8 ha, hutan yang
terdapat penebangan 2.8-8.9 ha, dan padang savana 10.4-25 ha (Wiens 2002).
Daerah jelajah kukang kukang malaya jantan dewasa lebih luas daripada individu
betina, serta mencakup sebagian dari daerah jelajah betina dan infant (Wiens
2002).
Menurut Fryxell dan Sinclair (1988) perpindahan satwa cenderung
dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan juga dipengaruhi oleh predator.
Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa satwa menunjukkan bahwa pola
penggunaan ruang dan perilaku sosial betina sangat dipengaruhi oleh keterbatasan
dan distribusi dari makanan, khususnya habitat yang heterogen. Demikian juga
dengan pola penggunaan ruang dan perilaku sosial dari jantan, yang dipengaruhi
oleh jumlah dan penyebaran spasial dari betina (Osfeld et al. 1988). Penggunaan
ruang di suatu habitat memiliki peranan penting untuk mengerti penggunaan stratum
hutan (Gambar 3) dan penggunaan jenis substrat yang berbeda oleh satwa dalam
melakukan aktivitasnya (Hasan et al. 2007). Penggunaan ruang dibagi menjadi
penggunaan ketinggian (ruang vertikal) dan penggunaan substrat (ruang horizontal).
Substrat memiliki peranan yang penting dalam kelangsungan hidup primata di habitat
yang dimodifikasi manusia, khususnya primata arboreal (Laurance 1990). Substrat
merupakan dasar yang menopang aktivitas dan pergerakan satwa (Tresz 2003).
kanopi atas

kanopi
tengah

kanopi
bawah
Semak, herba tinggi
Lapisan tanah, Akar

Gambar 3 Stratum ketinggian pohon (Irwanto 2014)

9

Ada beberapa metode untuk mengukur daerah jelajah satwa nokturnal
(Pimley et al. 2005) diantaranya adalah:
1. Metode polygon adalah penilaian berasal dari peripheral point atau berasal dari
jarak point terjauh, termasuk dengan daerah yang jarang dikunjungi oleh satwa.
2. Metode Kernel Home Range merupakan metode untuk menduga daerah jelajah
suatu satwa berdasarkan titik-titik koordinat GPS yang sering dikunjungi.
Tingkat pendugaan daerah jelajah dihasilkan oleh metode ini dapat disesuaikan
menggunakan ‘referensi’ dan metode least square cross validation (LSCV)
untuk menentukan tingkat kehalusan polygon. Simulasi daerah jelajah
bervarisasi mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang kompleks, seperti
membentuk distribusi normal atau campuran.
Perangkat Lunak Analisis Daerah Jelajah
Map Source adalah perangkat lunak yang digunakan untuk mengkonversi
hasil pengambilan data GPS menjadi format lain yang diinginkan. ArcGIS
(Geographic Information System) merupakan suatu perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses dan output) data spasial
atau data yang bereferensi geografis. Setiap data yang merujuk lokasi di
permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial bereferensi geografis,
misalnya data kepadatan penduduk suatu daerah, data jaringan jalan, data vegetasi
dan sebagainya.
Geospatial Modelling Environment (GME) dan Open Jump merupakan
perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif, dan
memudahkan analisis spasial serta pemodelan. Geospatial Modelling Environment
menyediakan fitur untuk analisis dan alat-alat pemodelan, mulai dari merancang
alur kerja hingga analisis program. Program ini dibantu oleh perangkat lunak R
sebagai mesin statistik untuk melakukan analisis. Salah satu keunggulan
perangkat lunak R adalah open source yang mudah dan dapat didokumentasikan
dengan baik, yang merupakan karakter penting dari perangkat lunak analisis
ilmiah. Geospatial Modelling Environment menggabungkan sebagian besar fungsi
dari pendahulunya, Hawth Tools, dengan beberapa perbaikan. Geospatial
Modelling Environment memiliki berbagai analisis dan pemodelan alat,
mendukung batch processing, penawaran baru grafik fungsi, pencatatan alur kerja
otomatis untuk referensi di masa mendatang, serta mendukung geodatabase dan
pemrograman.
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Sejarah dan Letak Kawasan
Kawasan Gunung Halimun ditetapkan menjadi taman nasional pada
tanggal 26 Februari 1992 berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI nomor 282/KptsII/1992. Pada tahun 2003, kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak digabung
menjadi satu unit pengelolaan yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan RI
no.175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003. Hal ini menjadikan seluruh areal
koridor dan kawasan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi
bagian dari pengelolaan UPT Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Adapun
batas-batas daerah TNGHS adalah:

10

Sebelah Utara : Desa Cipanas dan Rumpin
Sebelah Timur : Desa Cijeruk
Sebelah Selatan : Desa Cisolok dan Pelabuhan Ratu
Sebelah Barat : Desa Cijaku dan Pangarangan
Secara administratif TNGHS terletak di tiga daerah kabupaten, yaitu
Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan
pengelolaan, kawasan tersebut berada di bawah pengelolaan Balai Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS-JICA 2008).
Kondisi Fisik Kawasan
Topografi dan Tutupan Lahan
Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian 500–2211 m dpl. Di kawasan
TNGHS terdapat bukit memanjang mulai dari Gunung Endut (sebelah barat)
melintasi Gunung Kendeng (di kawasan Baduy) kemudian menurun sampai ke
Gunung Honje dan Semenanjung Ujung Kulon. Berdasarkan interpretasi peta
raster Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), daerah TNGHS 58 %
masih berupa hutan alam (TNGHS-JICA 2008).
Iklim
Curah hujan rata-rata di daerah TNGHS bervariasi antara 4000 mm sampai
6000 mm/tahun. Bulan Oktober–April merupakan musim hujan dengan curah
hujan antara 400 mm–600 mm/bulan, sedangkan musim kemarau berlangsung
dari bulan Mei-September dengan curah hujan rata-rata sekitar 200 mm/bulan.
Suhu udara rata-rata bulanan 31.5 oC dengan suhu terendah 19.7 °C dan suhu
tertinggi 31.8 °C. Kelembaban udara rata-rata 88% (TNGHS-JICA 2008).
Hidrologi
Di bagian utara dari kawasan ini terdapat tiga Daerah Aliran Sungai (DAS)
penting, yaitu sungai Ciberang, Cidurian, dan Cikaniki (Hartono 2007). Di bagian
sebelah selatan terdapat sembilan DAS yaitu, Cimandur, Cihara, Cisiih, Cibareno,
Cisolok, Cimaja, Cikasomayang, Citepus, dan Cimandiri. Aliran air sungai-sungai
tersebut banyak dimanfaatkan untuk irigasi lahan pertanian, air rumah tangga,
pembangkit listrik mikrohidro, industri dan wisata arung jeram (Hartono 2007).
Biotik Kawasan
Flora
Kawasan TNGHS pada ketinggian 500-1500 m dpl terdapat jenis-jenis
rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima walichii), saninten (Castanopsis
javanica), kiriung anak (Castanopsis acuminatissima), pasang (Quercus
gemelliflora), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), kileho (Saurauia pendula), dan
kimerak (Weinmannia blumei). Pada ketinggian di atas 1500 m dpl didominasi
jenis jamuju (Dacrycarpus imbricatus), kibima (Podocarpus blumei), kiputri
(Podocarpus neriifolius), dan hamirung (Vernonia arborea). Hamirung
merupakan satu-satunya anggota suku Asteraceae yang berbentuk pohon, jenis ini
ditandai dengan perbungaan yang majemuk (TNGHS-JICA 2008).

11

Fauna
Di kawasan TNGHS ditemukan 61 jenis mamalia, diantaranya terdapat
jenis-jenis endemik Pulau Jawa dan jenis-jenis terancam punah. Jenis-jenis
terancam punah dapat dijumpai saat ini, antara lain: macan tutul jawa (Panthera
pardus melas), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), owa jawa (Hylobates
moloch), surili (Presbytis comata), lutung (Tracypithecus auratus), ajag (Cuon
alpinus javanicus) dan sigung (Mydaus javanensis). Selain jenis-jenis mamalia
juga tercatat 244 jenis burung, dimana 32 jenis diantaranya adalah endemik Pulau
Jawa dengan penyebaran terbatas, yaitu elang jawa (Nisaetus bartelsi), ciungmungkal jawa (Cochoa azurea), celepuk jawa (Otus individu Inae), dan luntur
gunung (Harpactes reinwardtii) (TNGHS-JICA 2008).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di hutan habitat alami kukang jawa di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat selama empat bulan dari bulan
Januari-April 2014. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Lokasi Gunung Salak dan Yayasan IAR Indonesia (Moore 2012)
.
Bahan
Bahan penelitian yang digunakan yaitu dua individu kukang jawa betina
dewasa (Nycticebus javanicus) yang mendiami habitat hutan di Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS) Bogor, Jawa Barat. Individu I yaitu kukang
Ekar dan Individu II yaitu kukang Angel (Tabel 1).

12

Tabel 1 Identitas kukang jawa objek penelitian
Nama Kukang
Individu I
(Kukang Ekar)

Nomor Frekuensi
151.4010

Individu II
(Kukang Angel)

151.3325

Ciri-Ciri
Bunting, tubuh lebih bulat, pola
garpu dan garis punggung sangat
jelas berwarna coklat tua. Berat
badan 950 gram.
Memiliki bekas luka di siku
tungkai kiri atas, pola garpu di
mata lebih pudar.
Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain peta rupabumi,
radio collar, receiver telemetry148-174 MHz R-1000, telonic antenna (Biotrack
Yagi antenna), GPS (Global Positioning System) Garmin eTrex Vista CX,
headlamp energizer 3 LED, senter Cree SWAT POLICE 50 000 W T6 LED, jam
tangan, higrometer, kamera Canon PowerShot A810 HD, meteran, kompas, kertas
koran untuk herbarium, tabel data analisis vegetasi, dan tabel data perilaku.
Survey dan pemasangan radio collar
Survey pendahuluan dilakukan di daerah TNGHS untuk memastikan
keberadaan kukang jawa liar di hutan. Pencarian kukang jawa dilakukan dengan
menggunakan senter Cree dan headlamp, mulai pukul 18.00 sampai dengan 00.00
WIB dan pukul 00.00 sampai dengan 06.00 WIB. Satu tim terdiri dari tiga hingga
empat orang.
Kukang jawa yang ditemukan ditangkap dan dipasangi radio collar.
Pemasangan radio collar dilakukan secara hati-hati agar tidak melukai leher
kukang dan mengganggu aktivitas kukang. Pemasangan radio collar yang terlalu
ketat dapat menyebabkan luka dan memengaruhi perilaku alami kukang jawa.
Pemasangan radio collar yang terlalu renggang dapat menyebabkan radio collar
terlepas. Tim yang memasangkan radio collar memakai sarung tangan serta
masker sebagai prosedur standar saat menangani kukang. Pemasangan radio
collar tidak dilakukan pada individu yang belum dewasa (juvenile atau sub-adult)
untuk menghindari gangguan, karena individu yang belum dewasa masih dalam masa
pertumbuhan (Putri 2014). Setelah itu kukang dilepas kembali di habitat awal
individu tersebut ditemukan. Individu yang baru dipasangi radio collar dibiarkan
tanpa pengamatan perilaku selama dua malam untuk mengurangi efek stres dan untuk
menyesuaikan diri. Selama kurang dari satu bulan kukang diamati dan dipantau
sebagai proses pembiasaan, untuk melihat adaptasi kukang terhadap radio collar dan
pengamat. Setelah kukang terbiasa, kemudian dilakukan pemantauan secara
bergantian selang satu hari dengan menggunakan receiver telemetry148-174 MHz
R-1000 dan telonic antenna. Titik koordinat lokasi ditemukannya kukang ditandai
dengan GPS selama 15 menit sekali saat perjumpaan langsung. Penentuan waktu
15 menit dilakukan dengan pertimbangan waktu 15 menit merupakan waktu yang
cukup untuk merekam perpindahan kukang (YIARI 2014).

13

Monitoring (Pemantauan)
Kegiatan pemantauan dimulai pukul 18.00 sampai dengan pukul 00.00
WIB atau dari pukul 00.00 sampai dengan pukul 06.00 WIB (Gambar 5). Istirahat
selama pemantauan dilakukan setelah tiga jam pengamatan, istirahat dilakukan
selama satu jam. Observasi perilaku dan pengambilan titik kordinat GPS
dilakukan pada saat perjumpaan dengan satwa secara langsung selama 15 menit
sekali. Apabila satwa tidak ditemukan saat pemantauan, maka pengambilan data
observasi tidak dilakukan. Pengambilan data satu titik kordinat GPS dilakukan
pada jam terakhir pemantauan dengan sinyal yang paling tinggi. Dalam satu tim
monitoring terdiri atas tiga hingga empat orang, Alat yang digunakan untuk
pemantauan yaitu radio collar, receiver telemetry148-174 MHz R-1000, telonic
antenna, GPS, headlamp energizer 3 LED, senter Cree, jam tangan, buku
perilaku, higrometer, kamera. Receiver dan antenna telonic digunakan untuk
mencari lokasi kukang tersebut melalui sinyal yang berasal dari radio collar, GPS
untuk menandai titik koordinat daerah jelajah dimana kukang ditemukan setiap 15
menit, headlamp dan senter Cree digunakan untuk penerangan dalam mencari
kukang, jam tangan dan buku perilaku untuk mencatat setiap perilaku kukang
setiap lima menit, higrometer untuk mengukur kelembaban dan suhu lingkungan,
dan kamera untuk dokumentasi. Penentuan interval waktu pengambilan data
perilaku setiap lima menit, dilakukan dengan pertimbangan bahwa lima menit
merupakan waktu yang cukup untuk merekam pergerakan kukang.

Gambar 5 kegiatan pemantauan kukang dengan receiver telemetry148-174 MHz
R-1000 dan telonic antenna (Biotrack Yagi antenna)
Telemetri merupakan teknologi yang memudahkan deteksi keberadaan satwa
(Rodgers 2001). Radio telemetri memanfaatkan pemancar yang dipasangkan pada
satwa, pemancar tersebut memancarkan gelombang radio yang ditangkap oleh
penerima gelombang melalui antenna. Telemetri memudahkan penelitian terhadap
satwa yang sulit untuk dibedakan satu sama lain, sulit untuk ditemukan atau samar
dan satwa yang hidup nokturnal (Juarez et al. 2011). Radio telemetri memiliki ukuran
yang kecil sehingga sesuai untuk satwa yang berukuran kecil. Prinsip kerjanya

14

menggunakan perangkat pemancar (radio transmitter) yang dipasangkan pada satwa
dan memancarkan gelombang radio pada frekuensi tertentu yang diterima oleh
pengamat menggunakan perangkat penerima (radio receiver) melalui antena
(Rodgers 2001). Perangkat pemancar yang dipasangkan pada satwa akan
memancarkan gelombang radio pendek. Oleh karena itu, berat dan besar baterai
disesuaikan dengan satwa yang diteliti yaitu kurang dari 2% dari bobot tubuh satwa
(Gursky 1998).
Satwa yang telah dipasangi collar akan diidentifikasi sesuai dengan frekuensi
dari tiap pemancar. Gelombang yang dipancarkan perangkat pemancar akan
ditangkap dengan bantuan antena dalam bentuk getaran listrik pada perangkat
penerima. Perangkat penerima kemudian memperkuat gelombang yang ditangkap dan
mengubahnya menjadi sinyal suara yang dapat didengar sebagai bunyi ‘beep’ (Mech
1983; Thohari 1989). Setiap radio collar memiliki frekuensi yang berbeda. Kabel
antena dihubungkan dengan receiver, kemudian nomor frekuensi kukang dimasukan
ke penerima sinyal untuk mencari lokasi kukang yang hendak diamati. Antena diputar
untuk menentukan arah lokasi kukang. Sinyal yang ditangkap ditandai dengan bunyi
‘beep’yang diterima oleh penerima sinyal, Semakin kuat bunyi dan semakin tinggi
frekuensi pada receiver (frekuensi 10 hingga 100), menandakan bahwa lokasi kukang
semakin dekat. Posisi kukang dipastikan menggunakan lampu senter Cree dengan
mendeteksi keberadaan kukang melalui sinar pantul mata. Posisi kukang juga dapat
diketahui melalui vokalisasi saat kukang melakukan aktivitas sosial dengan individu
lainnya. Individu I dan II dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

Gambar 6 Individu I (kukang Ekar)

15

Gambar 7 Individu II (kukang Angel)

Prosedur Analisis Data
Daerah Jelajah
Metode Kernel Home Range digunakan untuk mengetahui daerah jelajah
satwa tersebut. Metode ini mencakup semua titik-titik koordinat yang sering
dikunjungi sehingga dapat membentuk suatu pola daerah jelajah yang sering
digunakan (Worton 1989). Analisis daerah jelajah dilakukan dengan bantuan
program komputer Map Source, ArcGIS 10, Geospatial Modelling Environment,
dan Open Jump. Hasil dari analisis tersebut berupa gambaran peta daerah jelajah.
Pengubahan format file dilakukan dalam Map Source, file yang di dapatkan dari
GPS berupa file GDB akan dirubah dalam bentuk GPX agar dapat diolah dalam
ArcGIS (Gambar 8).

Gambar 8 Peta titik koordinat daerah dengan menggunakan Map Source

16

Apabila data telah terbaca maka akan muncul waypoint dan terbentuk titiktitik daerah dalam peta (Gambar 9). File GPX kemudian diubah menjadi SHP agar
dapat diolah menjadi peta, peta dapat berupa point koordinat, atau analisis
polygon untuk mengetahui luas daerah sementara. Berdasarkan waypoint tersebut
juga dapat diketahui kecepatan dan jarak yang dapat ditempuh oleh individu
kukang tersebut selama masa penelitian.

Gambar 9 Peta titik koordinat daerah jelajah dengan menggunakan ArcGIS 10.1
Analisis daerah jelajah dengan metode kernel home range dapat dilakukan
dengan Geospatial Modelling Environment. File koordinat diolah menjadi format
kde dengan bandwith PLUGIN dan cell size 5, setelah itu tampilan peta akan
membentuk kontur dengan gradasi warna yang berbeda. Gradasi warna yang
berbeda menunjukkan frekuensi kukang saat mengunjungi daerah jelajah, dan
membentuk daerah inti (Gambar 10). File diolah dengan format isopleth dengan
quantiles 0.90, maka hasil yang didapatkan adalah garis tepi daerah jelajah dan
ukuran luas area. Untuk mengetahui luas daerah inti dapat dilakukan dengan cara
merubah quantiles menjadi 0.5.

17

Gambar 10 Hasil luasan area daerah jelajah kukang dengan
menggunakan GME
Analisis pertambahan luas daerah jelajah selama masa penelitian
dilakukan dengan menggunakan software Open Jump. Open Jump digunakan
untuk membuat grafik asimtot dengan memasukkan hasil titik koordinat, untuk
diolah ke dalam perangkat lunak tersebut. Hasil dari analisis tersebut berupa
gambaran peta daerah jelajah dan grafik asimtot pertambahan luasan daerah
jelajah (Gambar 11).

Titik
GPS

Gambar 11 Grafik asimtot pertambahan luas daerah jelajah satwa

18

Pengamatan tipe vegetasi
Metode titik pusat kuadran (point centered quarter) digunakan untuk
mengetahui tipe vegetasi yang didiami oleh satwa tersebut. Metode ini
memanfaatkan pengukuran jarak antarindividu tumbuhan atau jarak dari pohon
yang dipilih terhadap individu-individu tumbuhan yang terdekat. Pembagian areal
sekitar titik contoh menjadi empat kuadran yang berukuran sama, pohon di setiap
kuadran yang letaknya paling dekat dengan titik pengukuran diukur jarak, lebar,
dan tinggi pohon tersebut (Gambar 12).
Pengukuran pohon hanya dilakukan terhadap keempat pohon yang terpilih
(Kusmana 1997). Titik pusat kuadran dibuat pada lokasi pohon yang menjadi
tempat individu kukang jawa tidur. Analisis vegetasi dilakukan dengan
menghitung nilai jarak rata-rata, kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis,
frekuensi relatif, dominansi jenis, dan dominansi relatif yang selanjutnya dihitung
untuk menghasilkan indeks nilai penting (INP) (Kusmana 1997). Semakin tinggi
nilai INP suatu spesies terhadap spesies lainnya, semakin tinggi peranan spesies
pada komunitas tersebut. Identifikasi tumbuhan dilakukan di lokasi pada siang
hari. Identifikasi tumbuhan dilakukan di lapang pada siang hari. Identifikasi
dilakukan untuk mengenali jenis vegetasi pakan dan bagian yang dimakan (kulit
pohon, getah, buah, dan bunga), serta jenis vegetasi untuk tidur. Jenis tumbuhan
yang telah diidentifikasi dicek klasifikasinya di situs The International Plant
Names Index dan Plantamor.org.
Inventarisasi jumlah pohon pakan dilakukan pada pohon yang paling sering
digunakan kukang saat feeding selama pengamatan. Plot yang digunakan sebanyak
enam plot, dengan luas masing-masing plot sebesar 10 m². Jumlah dan jenis pohon
dalam plot tersebut kemudian dihitung.

Gambar 12 Plot pengukuran pohon dengan metode kuadran (Sumber: Putri
2014)

19

Pola penggunaan ruang
Pengumpulan data primer pola penggunaan ruang dilakukan dengan
melakukan pengamatan aktivitas dan pola pergerakan, jalur lintasan dan daerah
jelajah kukang pada satu individu tertentu dengan metode instantaneous-focal
animal sampling (Martin dan Bateson 1993). Analisis pola penggunaan ruang
dilakukan dengan analisis aktivitas, dan hubungan tipe aktivitas dengan tipe
vegetasi menggunakan uji chi-square (Santosa et al. 2011). Pengamatan
dilakukan mulai dari pukul 18.00-00.00 WIB dan 00.00-06.00 WIB. Pengumpulan
data perilaku mengikuti ethogram yang dimodifikasi oleh Yayasan IAR Indonesia
(Lampiran 1) berdasarkan ethogram Fitch-Snyder et al (2011) serta Glassman dan
Wells (1984). Data yang dicatat berupa waktu pengamatan, perilaku, ketinggian
satwa di substrat, jenis substrat, posisi di pohon, ukuran substrat,dan ketinggian
substrat.
Penggunaan ruang ditunjukkan melalui penggunaan ketinggian oleh satwa,
penggunaan posisi di pohon, dan penggunaan ukuran substrat dalam beraktivitas.
Posisi di pohon dikategorikan menjadi tepi, tengah, puncak, batan