Variasi Dekomposisi Dari Beberapa Jenis Kayu Dan Perubahan Kualitas Tanah Oleh Rayap

VARIASI DEKOMPOSISI DARI BEBERAPA JENIS KAYU
DAN PERUBAHAN KUALITAS TANAH OLEH RAYAP

FEBRI AYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Variasi Dekomposisi dari
Beberapa Jenis Kayu dan Perubahan Kualitas Tanah oleh Rayap adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016
Febri Ayu
NIM G352130051

RINGKASAN
FEBRI AYU. Variasi Dekomposisi dari Beberapa Jenis Kayu dan Perubahan
Kualitas Tanah oleh Rayap. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan TRIADIATI.
Rayap merupakan salah satu dekomposer penting dalam ekosistem terrestrial,
terutama di daerah tropis. Rayap memiliki kemampuan untuk menguraikan
senyawa organik kompleks lignoselulosa dari bagian tumbuhan dan kayu mati
menjadi unsur hara tanah dengan menggunakan enzim lignoselulase dari organisme
simbion yang berada di dalam saluran pencernaannya. Unsur-unsur hara tanah
tersebut akan meningkatkan kesuburan tanah. Kehadiran rayap terutama yang hidup
di bawah permukaan tanah (subterranean) juga berperan dalam memperbaiki
struktur tanah dengan aktivitas pembuatan liang (galeri) di bawah tanah.
Rayap mampu mendekomposisi kayu dengan densitas rendah (kandungan
lignin rendah) dan densitas tinggi (kandungan lignin tinggi) yang berasal dari
tumbuhan monokotil atau dikotil. Batang pada tumbuhan monokotil memiliki
jaringan pembuluh yang tersebar, sedangkan dikotil memiliki jaringan pembuluh
yang tersusun dalam satu lingkaran, sehingga terdapat perbedaan serat kayu antara

kayu monokotil dan dikotil. Perbedaan-perbedaan ini diduga mempengaruhi
aktivitas makan rayap yang menyebabkan variasi pola galeri dan kehilangan berat
kayu oleh rayap, serta mempengaruhi kontribusi rayap terhadap kualitas tanah.
Rayap tersebar di habitat hutan dan non-hutan yang memiliki faktor
lingkungan yang berbeda. Dua lokasi yaitu Arboretum dan Cikabayan di Institut
Pertanian Bogor dipilih sebagai habitat hutan dan non-hutan dalam mempelajari
aktivitas makan dan kontribusi rayap terhadap kualitas tanah dengan menggunakan
satu jenis kayu monokotil (Cocos nucifera) dan empat jenis kayu dikotil (Tectona
grandis, Shorea sp., Albizzinia falcataria dan Anthocephalus chinensis). Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis (1) jumlah spesies rayap subterranean yang
mendekomposisi kayu pada dua lokasi (2) variasi pola galeri antara kayu monokotil
dan dikotil serta analisis kerusakan parenkim kayu setelah dimakan oleh rayap
subterranean (3) variasi kehilangan berat dari lima jenis kayu setelah dimakan oleh
rayap subterranean (4) kontribusi dari aktivitas makan rayap pada kualitas tanah di
dua lokasi.
Penelitian ini dilakukan dengan teknik pengumpanan dengan lima jenis kayu
yang dipotong menjadi balok kayu berukuran 13 x 5 x 3 cm3 dengan lubang
berukuran 13 x 2 x 1.5 cm3 di bagian tengahnya. Balok kayu dikeringkan pada suhu
80 °C hingga mencapai berat kering. Tujuh balok kayu dari setiap jenis kayu
diletakkan dalam kaleng (tiga ulangan) dan ditanam di dalam tanah selama satu

bulan pada lima belas plot yang masing-masing berjarak 5 m di dua lokasi. Selama
pengamatan dilakukan pengukuran iklim mikro (temperatur tanah dan udara serta
kelembapan tanah dan udara) dan intensitas cahaya dengan interval pengukuran tiga
hari (n = 10). Kemudian juga dilakukan pengukuran respirasi tanah sebanyak tiga
kali pada hari ke-0, ke-15, dan ke-30 pengamatan. Setelah satu bulan, rayap
subterranean dikoleksi dari kayu dan dihitung persentase kehilangan berat kayu.
Semua balok kayu difoto untuk pengamatan pola galeri pada kayu oleh rayap. Satu
sampel balok kayu dengan kerusakan paling berat digunakan untuk analisis
kerusakan jaringan parenkim kayu oleh rayap yang dianalisis dengan menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM) pada permukaan kayu yang tidak dimakan

dan dimakan oleh rayap. Selain itu juga dilakukan analisis tanah di sekitar plot
sebanyak dua kali (sebelum dan sesudah pengumpanan) meliputi analisis tekstur
dan kualitas tanah yaitu pH, karbon organik, nitrogen total, rasio C/N, P2O5 tersedia,
dan kapasitas tukar kation (KTK). Analisis pertama dilakukan pada tanah yang
dikomposit dari lima belas plot menjadi satu pada setiap lokasi sebagai tanah
kontrol. Analisis kedua dilakukan pada tanah yang dikompositkan dari tiga ulangan
setiap jenis kayu. Data persentase kehilangan berat kayu dianalisis dengan
menggunakan Two-way ANOVA dan diuji lanjut dengan menggunakan uji Tukey’s
HSD. Data peubah lingkungan ditampilkan dalam nilai rata-rata dan data respirasi

tanah dianalisis dengan menggunakan t-test.
Empat spesies rayap subterranean ditemukan di dua lokasi yaitu
Schedorhinotermes javanicus, Pericapritermes mohri, Microtermes insperatus, dan
Macrotermes gilvus. Rayap M. gilvus merupakan rayap dengan jumlah terbanyak
ditemukan pada dua lokasi. Empat spesies rayap ditemukan di Arboretum sebagai
habitat hutan dan hanya dua spesies rayap yang ditemukan di Cikabayan sebagai
habitat non-hutan. Hal ini diduga karena Arboretum memiliki tutupan kanopi pohon
yang menutupi tanah menyebabkan kelembapan tanah lebih tinggi, sehingga
memberikan mikrohabitat yang lebih baik bagi rayap dengan kondisi lembap dan
intensitas cahaya yang rendah.
Aktivitas makan rayap pada kayu monokotil membentuk pola galeri tersebar,
sedangkan pada kayu dikotil membentuk pola galeri kayu lurus. Hal ini dikarenakan
C. nucifera memiliki variasi kandungan lignin pada batang yang diakibatkan oleh
susunan jaringan pembuluh yang menyebar. Analisis SEM menunjukkan tidak ada
kerusakan jaringan parenkim pada permukaan kayu yang tidak dimakan oleh rayap.
Namun, kerusakan parenkim tertinggi terjadi pada A. chinensis dan terendah pada
T. grandis pada permukaan kayu yang dimakan oleh rayap. Persentase kehilangan
berat kayu dari lima jenis kayu menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
signifikan antara dua lokasi, namun menunjukkan perbedaan signifikan antara jenis
kayu. Persentase kehilangan berat kayu tertinggi adalah A. chinensis di dua lokasi.

Hal ini dikarenakan A. chinensis memiliki densitas kayu yang rendah sehingga lebih
mudah dimakan oleh rayap.
Analisis tanah menunjukkan peningkatan pH di dua lokasi, pH 4.2 menjadi
4.5 di Arboretum dan di Cikabayan pH 4.6 menjadi 5.2. Hasil pengukuran respirasi
tanah juga menunjukkan terjadi peningkatan nilai respirasi tanah pada dua lokasi.
Pada hari ke-0 dan ke-15 terdapat perbedaan signifikan antara Arboretum dan
Cikabayan, sedangkan pada hari ke-30 tidak menunjukkan perbedaan signifikan.
Karbon organik tanah menurun pada dua lokasi, sedangkan nitrogen total, P2O5
tersedia, dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah menunjukkan perubahan yang
bervariasi. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya jumlah kehadiran individu
dan aktivitas makan rayap dan mikroorganisme tanah selama periode dekomposisi
kayu. Tekstur tanah tidak berubah yaitu lempung berpasir sebelum dan setelah
dekomposisi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu satu bulan belum mengubah
tekstur tanah, namun dalam waktu satu bulan kehadiran rayap memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kualitas tanah.
Kata kunci: dekomposer, Macrotermes gilvus, pola galeri kayu, kayu monokotil,
Tectona grandis, respirasi tanah

SUMMARY
FEBRI AYU. Differential Decomposition of Wood Types by Natural Termite

Assemblages and Changes Soil Quality. Supervised by RIKA RAFFIUDIN and
TRIADIATI.
Termites are one of the important decomposer in terrestrial ecosystems,
especially in tropical areas. They have the ability to convert the complex organic
compound lignocellulose from part of plants and dead woods into soil nutrients
using the lignocellulose-degrading enzymes from the symbiotic organisms in the
gut. This soil nutrients will enhance the soil fertility. The present of termites
especially termites that live in underground (subterranean termite) also improve
the soil structure by excavating galleries in the ground.
Termites decompose low-density wood (low lignin content) and high-density
wood (high lignin content) derived from the monocot and dicot plants. Stem of the
monocot has scattered of vascular bundle, while dicot has concentric circles of
vascular bundle, thus there is the difference of wood fiber between the monocot and
dicot woods. Those differences might cause differential of wood gallery pattern and
wood weight loss by termite, and also influence the contribution of termite feeding
activity in soil quality.
Termites distribute in the forest and non-forest habitats that both habitats have
different environmental factors. Two locations, Arboretum and Cikabayan, in the
Bogor Agricultural University were chosen for forest and non-forest habitats,
respectively, to study the feeding activity and contribution of termites in soil quality

by using one type of monocot wood (Cocos nucifera) and four dicot woods
(Tectona grandis, Shorea sp., Albizzinia falcataria and Anthocephalus chinensis).
The objectives of this studies were to analyses (1) species number of subterranean
termites in both locations, (2) the differential gallery patterns on monocot and dicot
woods and also analyse parenchyma tissue damage of wood that were consumed by
termites, (3) the weight loss of the five wood types by subterranean termites, and
(4) the contribution of feeding activity of subterranean termites on soil quality.
This study was conducted by using baiting technique with five wood types
that were formed to wood blocks which in size of 13 x 5 x 3 cm3 with a hole 13 x 2
x 1.5 cm3 in the center. Woods were dried at 80 °C to attain dry weight and
subsequently labelled. Seven blocks of each wood type were placed in a tin (three
replications) and buried in the soil for one month in fifteen plots with a distance of
5 m in both locations. During observations were carried out measurements of
temperature and humidity of air and soil with interval three days of measurement
(n = 10), also conducted three time measurements of soil respiration on the day-0,
day-15, day-30 of observations. After one month, subterranean termites were
collected from the woods and woods were measured the percentage of wood weight
loss. All woods were photographed to analyse wood gallery patterns by termites.
One sample of wood block with the most damage is used to observe the wood
damage of parenchyma tissue by termites and analyzed using Scanning Electron

Microscope (SEM) on the wood surface that uneaten and eaten by termites. The soil
analyses also conducted with two time analyses on soil surrounding plot (prior and
after baiting periods) i.e the soil texture and quality: pH, organic carbon, total

nitrogen, C/N ratio, P2O5, and cation-exchange capacity (CEC). The first analysis
was conducted on the soil composed from fifteen plots into one in each location as
soil control. The second analysis was carried out on the soil composited of three
replications from each type of wood. Data percentage of wood weight loss were
analysed using Two-way ANOVA and post hoc tests were carried out using
Tukey’s HSD test. Data of environmental parameters were displayed in the average
value and data of soil respiration were analyzed using t-test.
Four species of subterranean termites i.e. Schedorhinotermes javanicus,
Pericapritermes mohri, Microtermes insperatus, and Macrotermes. Termite M.
gilvus was the highest number found in twelve plots in both locations while the
others three species were collected in seven plots in the both locations. The four
species of termites were collected in the Arboretum as the forest habitat and only
two species of termites were found in Cikabayan as the non-forest habitat. This is
due to the Arboretum has closed canopy of trees that cover the ground producing
the high soil humidity, thus favor the microhabitat for termites with humid
conditions and low light intensity.

The termite feeding activity on monocot wood contructed scattered of wood
gallery pattern, while dicot woods had straight patterns. This presumably C.
nucifera has gradient lignification in the parenchyma tissue produced by the
scattered of vascular bundle. The SEM analyses showed no sign of parenchyma
tissue damage at the uneaten area by termite. However, the highest of parenchyma
tissue damage was A. chinensis and the least was T. grandis at the eaten area by
termites. The percentage of wood weight loss of five wood types which was not
significantly different between the both locations, however those showed
significantly different between wood types. The highest percentage of weight loss
was A. chinensis in both locations. This might be due to A. chinensis is the lowdensity wood which is preferenced by termites.
The soil analyses showed increasing of soil pH from 4.2 up to 4.5 in
Arboretum and from 4.6 up to 5.2 in the Cikabayan. The soil respiration
measurements also showed increasing in both locations. In the day-0 and day-15,
there were significantly different between soil respiration in the Arboretum and
Cikabayan, while the day-30 was not significantly different. The soil organic carbon
was decreased in both locations and the soil total nitrogen, P2O5, and cation
exchange capacity (CEC) showed in variation of changes. This might be due to by
the increase of number individual and feeding activity of termites and soil
microorganisms during wood decomposition. The soil texture, sandy loam, did not
change before and after decompositions. This presumably that one month has not

been enough to change the soil texture. These study reveal that the presence of
termites in one month period contributes to improve of soil quality.
Keywords: decomposer, Macrotermes gilvus, wood gallery pattern, monocot wood,
Tectona grandis, soil respiration

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

VARIASI DEKOMPOSISI DARI BEBERAPA JENIS KAYU
DAN PERUBAHAN KUALITAS TANAH OLEH RAYAP

FEBRI AYU

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Esa, atas terselesainya Tesis
Magister ini berjudul Variasi Dekomposisi dari Beberapa Jenis Kayu dan
Perubahan Kualitas Tanah oleh Rayap. Penelitian dilakukan pada bulan April
hingga Juli 2015. Penelitian ini didukung oleh Beasiswa Pendidikan Pascasarjana
Dalam Negeri (BPPDN) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia
(DIKTI) no. 1094 / E4.4 / 2013.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Rika Raffiudin, MSi dan Dr
Dra Triadiati, MSi selaku komisi pembimbing atas saran, masukan dan revisi dalam
penyelesaian tesis ini dan juga terimakasih atas nasihat selama studi. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi sebagai penguji
dan terimakasih kepada bapak Dr Berry Juliandi, SSi, MSi sebagai perwakilan dari
Program Studi Biosains Hewan pada saat ujian tesis. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada ibu Dr Ir RR Dyah Perwitasari, MSc sebagai Kepala Program
Studi Biosains Hewan, Departemen Biologi. Terima kasih kepada staf laboratorium
departemen Biologi pak Adi Surahman, Ibu Tini Wahyuni, Mbak Maysaroh, Ibu
Retno Triuntari SSi, dan pak Asep atas bantuan menyediakan peralatan di
laboratorium. Penulis juga berterima kasih kepada staf laboratorium Scanning
Electron Microscope (SEM) di Divisi Zoologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Cibinong atas bantuan analisis SEM kayu dan berterima kasih
kepada laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) di
Bogor untuk analisis tanah. Ucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar
program magister Biosains Hewan (BSH) atas ilmu yang diberikan. Terimakasih
tak terbatas kepada orang tua penulis bapak Baharuddin dan ibu Sudarmiati, kakak
Elvira Harmia SST dan adik Utharia Dharmayanti SPd yang selalu menjadi
motivator selama penyelesaian studi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua teman-teman BSH 2013, Ibu Dharmawaty M. Taher, MSi, Syamsul Bachry
H SSi, MSi, Desmina Kristiani Hutabarat MSi, Rosi Fitri Ramadani MSi, Cut
Ferawati MSi, Rena Tri Hernawati MSi, Sister Sianturi MSi, Mihwan Sataral MSi
atas bantuannya selama proses penelitian. Terima kasih kepada teman-teman
alumni jurusan Biologi di Universitas Riau yang sama-sama berjuang di Program
Magister Departemen Biologi IPB, Dendi Sukma Haryadi MSi, Melda Yunita MSi,
Dian Novita Dia Anggraini MSi, Yeni Rahayu, M. Muchlis, Desi Maria Panjaitan
MSi, Vebrita Sari MSi, dan Fandri Sofyana. Terakhir, terimakasih kepada seluruh
mahasiswa bimbingan ibu Rika Raffiudin.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016
Febri Ayu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi rayap: sistem kasta dan pembagian tugas pada koloni rayap
Sistematika dan distribusi geografi rayap
Peran rayap pada proses dekomposisi dan kontribusi rayap terhadap
kualitas tanah
Perilaku dan siklus hidup rayap
Pengelompokan rayap secara ekologi
Rayap di habitat hutan dan non-hutan
Rayap dan substrat kayu: kayu monokotil dan dikotil dengan densitas
rendah dan densitas tinggi
3 METODE
Tempat dan waktu penelitian
Dekomposisi kayu: persentase kehilangan berat kayu oleh rayap di
Arboretum dan Cikabayan
Identifikasi morfologi rayap subterranean dari Arboretum dan
Cikabayan
Pengamatan pola galeri kayu dan analisis Scanning Electron
Microscope (SEM) pada permukaan kayu yang telah dimakan oleh
rayap
Pengukuran peubah iklim mikro tanah dan lingkungan serta analisis
kualitas tanah pada Arboretum dan Cikabayan
Pengukuran respirasi tanah selama proses dekomposisi kayu oleh
rayap
Analisis data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Spesies rayap subterranean yang ditemukan pada umpan kayu di
Arboretum dan Cikabayan
Kehilangan berat kayu oleh rayap subterranean di Arboretum dan
Cikabayan
Variasi pola galeri yang dibentuk oleh rayap subterranean pada kayu
monokotil dan dikotil serta kerusakan jaringan parenkim kayu
Dekomposisi kayu oleh rayap subterranean: peningkatan pH dan
respirasi tanah
Pembahasan
Habitat hutan dan non-hutan: jumlah spesies rayap subterranean dan
kondisi lingkungan di Arboretum dan Cikabayan

vii
vii
vii
1
1
2
2
2
2
4
4
6
6
6
7
7
7
8
9
9
10
11
12
12
12
12
13
18
19
22
22

Variasi pola galeri, kerusakan jaringan parenkim dan kehilangan berat
kayu oleh aktivitas makan rayap subterranean di Arboretum dan
Cikabayan
Kontribusi aktivitas makan rayap subterranean pada dekomposisi kayu
dan kualitas tanah di Arboretum dan Cikabayan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

23
24
26
26
27
27
30
33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Spesies-spesies rayap yang ditemukan pada lima jenis kayu di Arboretum
dan Cikabayan
Morfologi kasta pekerja dan prajurit dan identifikasi rayap subterranean
yang ditemukan pada dua lokasi berdasarkan kasta prajurit
Persentase kehilangan berat kayu yang didekomposisi oleh rayap
subterranean selama satu bulan
Perubahan kualitas tanah selama satu bulan dekomposisi kayu oleh rayap
subterranean di Arboretum dan Cikabayan
Peubah iklim mikro tanah dan lingkungan di Arboretum dan Cikabayan

14
15
17
20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Morfologi rayap secara umum dan perbedaan morfologi setiap kasta
rayap
Produksi enzim Endo-β-1,4-glucanase pada saluran pencernaan rayap
Diagram skematik kontribusi rayap dalam dekomposisi bahan organik
dan memperkaya unsur hara tanah bagi pertumbuhan tumbuhan
Peta dan foto lokasi penelitian
Profil skematik balok kayu yang digunakan sebagai umpan rayap
subterranean dan desain peletakkan umpan pada plot penelitian.
Pengukuran respirasi tanah di setiap plot pada lokasi penelitian selama
dekomposisi kayu oleh rayap subterranean
Persentase kehilangan berat dari lima jenis kayu yang didekomposisi oleh
empat spesies rayap subterranean selama satu bulan
Profil kayu setelah didekomposisi oleh rayap subterranean selama satu
bulan di Arboretum dan Cikabayan
Respirasi tanah selama satu bulan proses dekomposisi kayu oleh rayap
subterranean pada Arboretum dan Cikabayan

3
5
5
8
9
12
17
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Kriteria kualitas tanah berdasarkan pada sifat umum secara empiris
Tabel analisis Two way ANOVA antara lokasi dan jenis kayu
terhadap respon kehilangan berat kayu

31
32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada ekosistem hutan terdapat unsur-unsur hara yang terikat di bagian
tumbuhan terutama pada kayu mati yang mengandung senyawa organik kompleks
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Richards 1996).
Unsur hara tersebut dapat kembali ke tanah ketika adanya proses dekomposisi oleh
organisme dekomposer yang mengurai senyawa kompleks menjadi unsur hara
makro tanah seperti karbon, nitrogen, dan fosfat dan unsur hara mikro tanah (Lee
dan Wood 1971). Terdapat tiga kelompok organisme dekomposer pada tanah yaitu
mikrofauna (< 0.2 mm) kelompok Protozoa, mesofauna (0.2 - 1 mm) terdiri dari
Colembolla dan Acarina, dan makrofauna (> 1 mm) yang terdiri dari dua kelompok
dominan yaitu cacing tanah dan arthropoda (rayap dan semut) (Lavelle 1996).
Rayap (Blattodea: Termitoidea) merupakan makrofauna tanah yang berperan
penting dalam dekomposisi kayu karena memiliki kemampuan mencerna
lignoselulosa dengan menggunakan enzim lignoselulase yang dihasilkan oleh
organisme simbion di dalam ususnya (Noirot dan Noirot-Timothée 1969). Feses
dari proses percernaan rayap kaya kandungan unsur hara makro yang kemudian
digunakan dalam membangun sarang oleh rayap. Hal ini dapat meningkatkan
kesuburan tanah di sekitar sarang rayap (Lee dan Wood 1971; Holt dan Lepage
2000). Selain itu, rayap terutama yang hidup di bawah permukaan tanah
(subterranean) juga berperan penting dalam memperbaiki stuktur tanah dengan
membuat jalur berupa liang (galeri) di dalam tanah (Lavelle 1996).
Rayap subterranean memakan berbagai jenis kayu baik dari tumbuhan
monokotil maupun dikotil. Tumbuhan monokotil memiliki kayu dengan serat kayu
saling silang karena jaringan pembuluh ikatannya menyebar, sedangkan tumbuhan
dikotil memiliki kayu dengan serat lurus karena jaringan ikat pembuluhnya tersusun
dalam satu lingkaran (Stern et al. 2006). Rayap Coptotermes acinaciformis dan
Masrotermes darwiniensis di Queensland selatan, Australia lebih banyak memakan
kayu monokotil Cocos nucifera pada bagian yang berdensitas rendah daripada
densitas tinggi (Peters et al. 2014). Kayu dengan densitas rendah yaitu kurang dari
0.5 g/cm3 (Reyes et al. 1992) memiliki kandungan lignin yang rendah (Nuopponen
et al. 2006), sedangkan kandungan lignin tinggi (Nuopponen et al. 2006) terdapat
pada kayu dengan densitas tinggi yaitu lebih dari 0.5 g/cm3 (Reyes et al. 1992).
Penelitian pada agro-eco yang berbeda di kawasan tropis dan subtropis India
menyatakan bahwa rayap subterranean memakan dua belas jenis kayu dikotil
termasuk Tectona grandis dan Shorea dari Indonesia yang digolongkan kedalam
grup II yaitu kayu dengan tingkat resistensi tinggi terhadap rayap (Shanbhag dan
Sundararaj 2013).
Perbedaan jenis kayu serta densitas kayu diduga mempengaruhi preferensi
rayap terhadap kayu. Hal ini diduga mempengaruhi aktivitas makan rayap yang
menyebabkan adanya variasi pola galeri (pola makan), kerusakan jaringan
parenkim dan kehilangan berat kayu oleh rayap. Untuk menganalisis pengaruh
preferensi rayap terhadap dekomposisi kayu, pada penelitian ini digunakan lima
jenis kayu dengan satu jenis kayu monokotil kelapa (C. nucifera) dan empat kayu
dikotil dengan densitas berbeda yaitu jati (T. grandis), meranti (Shorea sp.) dengan

2

densitas tinggi yaitu lebih dari 0.50 g/cm3, dan sengon (Albizzinia falcataria) dan
jabon (Anthocephalus chinensis) dengan densitas rendah yaitu kurang dari 0.50
g/cm3 (Reyes et al. 1992). Perbedaan preferensi makan rayap pada kayu juga diduga
mempengaruhi pelepasan unsur hara ke tanah setelah kayu didekompsisi oleh rayap.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai kaitan perbedaan serat kayu
monokotil dan dikotil serta perbedaan densitas dari lima jenis kayu terhadap
preferensi makan rayap dan kontribusi rayap pada kualitas tanah di dua lokasi di
Institut Pertanian Bogor yaitu Arboretum (hutan yang berfungsi sebagai
laboratorium lapangan) dan Cikabayan (kebun percobaan untuk praktikum dan
penelitian Agronomi dan Hortikultura) sebagai habitat hutan dan non-hutan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) jumlah spesies rayap
subterranean yang berperan dalam dekomposisi kayu di Arboretum dan Cikabayan.
(2) variasi pola galeri antara kayu monokotil dan dikotil serta analisis kerusakan
parenkim kayu setelah dimakan oleh rayap subterranean (3) kehilangan berat dari
lima jenis kayu yaitu C. nucifera (monokotil), T. grandis, Shorea sp., A. falcataria
dan A. chinensis (dikotil) yang dimakan oleh rayap subterranean (4) kontribusi dari
aktivitas makan rayap subterranean pada kualitas tanah pada habitat hutan
(Arboretum) dan non-hutan (Cikabayan).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi ilmiah mengenai
peran rayap subterranean dalam memperkaya unsur hara tanah dan meningkatkan
kualitas tanah melalui proses dekomposisi di alam. Selain itu, informasi yang
diperoleh pada penelitian ini juga dapat digunakan untuk lebih memahami proses
dekomposisi oleh rayap pada berbagai jenis kayu yaitu monokotil dan dikotil
dengan berbagai densitas.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi rayap: sistem kasta dan pembagian tugas pada koloni rayap
Morfologi rayap secara umum terdiri dari tiga bagian tubuh yaitu kepala,
thoraks dan abdomen (Gambar 1A) (Weesner 1969). Pada bagian kepala terdapat
sepasang mata oceli, sepasang antena moniliform, labrum (bibir atas), sepasang
mandibula (mandible), sepasang maksila (maxillae), dan labium (bibir bawah).
Thoraks rayap terbagi menjadi tiga bagian yaitu pronotum, mesonotum, dan
metanotum yang masing-masing bagian tersebut terdapat sepasang kaki. Abdomen
terdiri dari 10 segmen dan segmen terakhir dengan cercus (Gambar 1A) (Roowal
1969; Weesner 1969).
Rayap adalah serangga sosial yang hidup berkoloni dengan pembagian kasta,
setiap kasta memiliki morfologi dan tugas yang berbeda (Gambar 1B). Pembagian
kasta didasarkan pada kemampuan reproduksi yaitu kasta reproduktif dan kasta
non-reproduktif (sterile castes) (Lee dan Wood 1971). Rayap kasta reproduktif

3

terdiri dari individu-individu fertil yang mampu bereproduksi secara seksual yaitu
laron (Gambar 1B.a), ratu, dan raja. Laron adalah calon raja dan ratu yang memiliki
dua pasang sayap yang sama panjang pada mesonotum dan metanotum (Weesner
1969) (Gambar 1B.a) yang digunakan untuk terbang meninggalkan sarang untuk
membangun koloni baru. Laron melepaskan sepasang sayapnya ketika sudah
menemukan pasangan, sehingga menjadi ratu dan raja pada koloni baru. Ratu
bertugas untuk memproduksi telur yang telah dibuahi raja (Lee dan Wood 1971).
Rayap non-reproduktif terdiri dari kasta prajurit (Gambar 1B.b.i-ii) dan
pekerja (Gambar 1B.c) yang merupakan individu-individu rayap jantan dan betina
steril yang tidak dapat bereproduksi karena organ reproduksinya tidak berkembang
dengan baik. Dua kasta ini tidak memiliki sayap dan juga tidak bisa melihat seperti
kasta reproduktif karena mata oceli mengalami reduksi sebagai adaptasi hidup di
lingkungan gelap (Weesner 1969). Rayap kasta prajurit (Gambar 1Bb.i-ii) bertugas
untuk mempertahankan sarang dan menjaga individu-individu kasta lain dari
gangguan luar koloninya serta melindungi kasta pekerja saat mencari makan
(Noirot 1969). Rayap kasta prajurit memiliki kepala yang mengalami sklerisasi
yang jelas dan termodifikasi dengan mandibula yang besar dan kuat (Gambar
1B.b.i) atau nasus (Gambar 1B.b.ii) yang merupakan modifikasi dari labrum
(Weesner 1969). Setiap spesies rayap memiliki prajurit dengan bentuk mandibula
yang berbeda (Tho 1992). Pada beberapa spesies rayap, terdapat polimorfik pada
kasta prajurit dengan memiliki prajurit mayor dan minor dengan bentuk mandibula
yang berbeda (Weesner 1969). Modifikasi mandibula atau nasus menyebabkan
rayap kasta prajurit tidak dapat mencari makan sendiri (Weesner 1969). Rayap
kasta pekerja (Gambar 1B.c) tidak mengalami modifikasi mandibula seperti kasta
prajurit sehingga memungkinkan rayap pekerja untuk mencari makan. Individu
kasta ini merupakan jumlah individu terbesar dari kasta lain di dalam koloni rayap
yang bertugas mencari makan dan memberi makan kepada kasta reproduktif dan
prajurit, membangun sarang, serta merawat telur dan larva (Lee dan Wood 1971).
Mandibula

Labrum
Antena

Kepala

Tungkai
depan
Pronotum

Tungkai
tengah
Tungkai
belakang

Mesonotum

Abdomen:
10 segmen

Metanotum
Cercus

A
Gambar 1 Morfologi rayap secara umum dan perbedaan morfologi setiap kasta
rayap. (A) morfologi tubuh rayap secara umum (Roonwal 1969),
(B) Kasta-kasta pada rayap; (a) kasta reproduktif: laron (Weener
1969), (b) kasta prajurit; (i) prajurit dengan mandibula membesar
(Roonwal 1969), (ii) prajurit dengan nasus, (c) pekerja (Noirot 1969).

4

Sistematika dan distribusi geografi rayap
Rayap merupakan serangga yang lebih dikenal termasuk ordo Isoptera yang
mengacu pada kasta reproduktif yang memiliki dua pasang sayap dengan bentuk
dan ukuran yang sama (Gambar 1B.a) (Weesner 1969). Studi dilanjutkan
ke bidang molekuler karena terdapat cercus (Gambar 1A) pada rayap yang juga
ditemukan pada kecoak yang merupakan anggota dari ordo Blattodea (Inward et al.
2007). Analisis molekuler menemukan bahwa rayap berkerabat dekat dengan
kecoak pemakan kayu Cryptocercus punctulatus, sehingga menyimpulkan bahwa
rayap termasuk ke dalam ordo Blattodea dengan superfamili Blattoidea.
Penggolongan rayap sebagai bagian dari ordo Blattodea mengakibatkan ordo
Isoptera tidak digunakan lagi dalam taksonomi rayap dan untuk mengantisipasi
penurunan takson dari famili menjadi subfamili diusulkan dengan menambahkan
epifamili Termitoidea di antara superfamili dan famili rayap (Inward et al. 2007).
Terdapat 2.600 spesies rayap dengan 281 genus tersebar di dunia yang terdiri
dari tujuh famili: Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae,
Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae (Kambhampati dan Eggleton
2000). Penyebaran rayap di dunia dipengaruhi oleh kondisi iklim, rayap tersebar di
kawasan tropis dan sub-tropis yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Neotropikal,
Indo-Malayan, dan Ethiopian (Eggleton et al. 1994). Rayap cenderung lebih banyak
ditemukan pada kawasan hutan hujan tropis. Indonesia termasuk ke dalam wilayah
tropis Indo-malayan (Eggleton et al. 1994) yang memiliki tiga ratus spesies rayap
(Nandika et al. 2015).
Peran rayap pada proses dekomposisi dan kontribusi rayap terhadap
kualitas tanah
Rayap merupakan salah satu organisme dekomposer yang dapat mencerna
senyawa komplek lignoselulosa (lignin, selulosa, hemiselulosa) dari bagian
tumbuhan dengan bantuan organisme simbion di dalam saluran pencernaannya.
Rayap dibagai menjadi dua tingkatan berdasarkan organisme simbion yaitu rayap
tingkat rendah dan rayap tingkat tinggi. Rayap tingkat rendah bersimbiosis dengan
protozoa seperti flagelata (Noirot dan Noirot-Timothee 1969). Pada rayap tingkat
rendah Coptotermes curvignathus (Rhinotermitidae) ditemukan tiga genus
flagellata yaitu Pseudotrichonympha, Holomastigotoides, dan Spirotrichonympha
(Raffiudin 1991). Enam famili rayap Mastotermitidae, Kalotermitidae,
Termopsidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, dan Serritermitidae merupakan
rayap tingkat rendah. Rayap tingkat tinggi bersimbion dengan bakteri (Noirot dan
Noirot-Timothee 1969) seperti bakteri selulolitik Paracoccus yeei yang ditemukan
pada usus rayap Macrotermes gilvus (Termitidae) berdasarkan analisis molekuler
dengan menggunakan gen 16S rRNA (Ferbiyanto et al. 2015). Famili Termidae
merupakan satu-satunya famili dari rayap tingkat tinggi (Noirot 1969).
Organisme simbion tersebut berada pada usus tengah dan belakang rayap
(Gambar 2). Organisme ini mengeluarkan enzim yang membantu rayap mencerna
lignoselulosa yang terdiri dari komponen terbesar selulosa berupa polisakarida β-1,
4-linked D-glucopyranosyl (Ni dan Tokuda 2013). Terdapat dua enzim yang
berperan dalam mencerna selulosa yaitu enzim dari rayap sendiri yaitu Endo-β-1,
4-glucanase GHF 9 (Nakashima et al. 2002) dan enzim dari simbion protozoa
GHF3BG, 7, 45EG (Gambar 2A) dan bakteri GHF1, 3BG. GHF 5, 8, 9, 44, 45, 51,

5

Endo-β-1,4-glucanase (EG) (GHF9)
yang menghidrolisis selulosa amorf

Selulase dari Protista: terutama
selobiohydrolase GHF3BG, GHF5,
7, 45EG, dan GHF7 yang aktif
menghidrolisis selulosa kristalin

Endo-β-1,4-glucanase
(EG)
(GHF9) yang menghidrolisis
selulosa amorf

Pencernaan
selulosa (pada
lumen usus
tengah dan sel
Protista)
β-Glucosidase (BG) (GHF1) yang
menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa

A

β-Glucosidase (BG) (GHF1) yang
menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa

Selulase dari Bakteria:
GHF1, 3BG, GHF5, 8,
9, 44, 45, 51, dan 74
EG, yang aktif
menghidrolisis selulosa
kristalin

Pencernaan
selulosa (pada
lumen usus tengah
dan belakang)

B

Gambar 2 Produksi enzim Endo-β-1,4-glucanase pada saluran pencernaan rayap.
(A) rayap tingkat rendah, (B) rayap tingkat tinggi (Ni dan Tokuda 2013).
dan 74 EG (Gambar 2B) (Ni dan Tokuda 2013).
Bahan organik dari bagian tumbuhan yang telah dicerna menjadi feses oleh
rayap, kemudian digunakan untuk membangun sarang (Gambar 3). Tanah sarang
ini mengandung karbon organik, nitrogen, dan fosfor (Lee dan Wood 1971; Holt
dan Lepage 2000). Selain kaya kandungan unsur hara, tanah sarang rayap juga
mengandung banyak mikroorganisme yang memanfaatkan unsur hara tanah sebagai
sumber energi (Lavelle 1996; Holt 1998). Unsur tersebut dimineralisasi oleh
mikroorganisme yang melimpah pada tanah sarang hingga menjadi nitrat dan fosfat
yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tumbuhan (Holt dan Lepage 2000)
(Gambar 3). Rayap juga berkontribusi terhadap siklus karbon melalui respirasi
dengan melepaskan karbon dioksida ke udara (Holt dan Lepage 2000). Dengan
demikian unsur tersebut dapat kembali ke siklus unsur hara. Selain itu, kegiatan
mencari makan (foraging) juga membantu memperbaiki struktur tanah melalui jalur
(galeri) yang digali oleh rayap. Galeri ini memberikan ruang pada struktur tanah,
sehingga memudahkan air masuk ke sela tanah (Holt dan Lepage 2000). Hal ini
menunjukkan bahwa rayap berperan dalam perubahan kualitas tanah.
PERTUMBUHAN
TUMBUHAN

HUJAN

GUNDUKAN SARANG RAYAP:
KANDUNGAN UNSUR HARA
TINGGI
BAHAN ORGANIK
EROSI DARI SARANG
YANG DITINGGALKAN;
PENGEMBALIAN UNSUR
HARA KE TANAH;
SEBAGIAN HILANG
MELALUI PERPINDAHAN
PARTIKEL DAN
LAECHING

SERASAH
KOTORAN

FORAGING
PENINGKATAN
KECEPATAN
INFILTRASI AIR

TANAH

TANAH YANG TELAH
DIUBAH OLEH RAYAP KANDUNGAN UNSUR
HARA SEDANG

SERAPAN HARA

LAPISAN LEBIH DALAM:
KANDUNGAN UNSUR HARA RENDAH

Gambar 3 Diagram skematik kontribusi rayap dalam dekomposisi bahan
organik dan memperkaya unsur hara tanah bagi pertumbuhan
tumbuhan (Holt dan Lepage 2000).

6

Perilaku dan siklus hidup rayap
Rayap memiliki beberapa perilaku yaitu trophallaxis yaitu memberi makan
anggota kasta lain, dan kanibalisme yaitu memakan anggota koloni yang lemah.
Perilaku kanibalisme pada rayap berperan untuk mempertahankan energi dan
sebagai pengaturan keseimbangan kehidupan koloni (Lee dan Wood 1971). Salah
satu sifat yang khas lain dari rayap adalah perilaku menjauhi cahaya. Namun, sifat
ini tidak terjadi pada kasta reproduktif pada waktu swarming yaitu penerbangan
mencari pasangan untuk melakukan kopulasi (Lee dan Wood 1971).
Rayap terdiri dari empat tahap perkembangan: telur, larva, nimfa, dan tahap
dewasa, atau imago (Lee dan Wood 1971). Nimfa terdiri dari beberapa tahapan
instar dan tumbuh menjadi imago. Pembentukan kasta rayap sebagai kasta pekerja,
prajurit atau laron dimulai pada tahap instar tertentu yang diatur oleh feromon dasar
ratu. Koloni rayap didirikan oleh sepasang laron dan menghasilkan telur. Pada
awalnya, telur hanya menjadi kasta pekerja dan prajurit hingga koloni berkembang
baik yaitu ketika jumlah anggota koloni mencapai maksimum kemudian koloni
menghasilkan laron seperti pada rayap Cubitermes fungifaber (Noirot et al. 1986).
Pengelompokan rayap secara ekologi
Rayap dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan makannya. (1) Wood
feeder merupakan rayap yang memakan pohon yang masih hidup dan kayu mati,
serta cabang mati yang masih melekat pada pohon. (2) Soil feeder adalah rayap
yang memakan tanah yang banyak mengandung bahan-bahan organik yang berasal
dari pelapukan kayu yang kaya akan selulosa dan lignin. (3) Wood-soil interface
feeder merupakan rayap pemakan kayu mati yang berada di permukaan tanah atau
perakaran pohon mati. (4) Litter feeder adalah rayap yang memakan serasah atau
serpihan kayu berukuran kecil. (5) Minor feeding group merupakan rayap pemakan
jamur, alga, lumut dan ganggang yang melekat pada pohon serta rayap yang
mencari makan dari sarang spesies lain (Jones dan Brendell 1998).
Rayap juga dapat dikelompokkan menjadi empat berdasarkan tempat mereka
membangun sarang. (1) rayap yang bersarang di pohon (arboreal termite); (2) rayap
yang bersarang atau membuat gundukan tanah di permukaan tanah (epigeal
termite); (3) rayap yang bersarang di dalam tanah (subterranean termite) yang
biasanya membangun koloni di bawah permukaan tanah atau di bawah tunggultunggul pohon mati; dan (4) rayap yang bersarang di dalam kayu (wood termite),
kelompok ini dapat dibagi menjadi dua yaitu rayap kayu kering (dry wood termite)
dan rayap kayu basah (damp wood termite). Rayap kayu kering merupakan rayap
yang beraktivitas dan bersarang di dalam kayu kering, baik pada pohon mati
maupun pada bangunan dari kayu, sedangkan rayap kayu basah adalah rayap yang
hidup dan memakan jaringan pada pohon yang masih hidup (Lee dan wood 1971).
Rayap di habitat hutan dan non-hutan
Hutan merupakan sumber keanekaragaman spesies, termasuk rayap (Tho
1992). Hutan memberikan habitat tertutup karena adanya stratifikasi kanopi pohon
yang memberikan tutupan pada permukaan tanah. Tutupan kanopi pohon menjaga
kelembapan tinggi dan suhu rendah karena menghalangi cahaya matahari ke tanah.
Keadaan tersebut memberikan mikrohabitat yang baik untuk kelangsungan hidup

7

serangga tanah seperti rayap yang menyukai tempat lembap dan menghindari
cahaya matahari (Lee dan Wood 1971). Keanekaragaman rayap tinggi pada semua
tipe hutan di Sabah, Malaysia timur dengan 40 spesies pada hutan primer, 43 spesies
hutan sekunder tua dan 38 spesies pada hutan sekunder muda (Eggleton et al. 1997).
Kondisi tersebut dapat berubah ketika terjadi deforestasi yang mengubah
habitat hutan menjadi habitat non-hutan yang merupakan daerah cukup terbuka
tanpa stratifikasi kanopi pohon atau berupa ekosistem buatan seperti perkebunan
monokultur. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perubahan dari habitat hutan
menjadi non-hutan mempengaruhi keragaman rayap. Keanekaragaman rayap
menurun dalam sistem tanam monokultur. Jumlah spesies rayap di hutan primer
mencapai 34 spesies dan hanya satu spesies yang ditemukan di kebun singkong di
Sumatera tengah (Jones et al. 2003). Jumlah rayap tinggi pada hutan primer juga
ditemukan di Amazonia tengah dengan 47 spesies rayap, sedangkan pada home
garden 31 spesies dan hanya dan 23 spesies di palm-based agroforets (Ackerman
et al. 2009). Penelitian tersebut telah membuktikan bahwa spesies rayap lebih tinggi
di habitat hutan daripada ekosistem yang telah dibuat oleh manusia (Jones et al.
2003). Hilangnya tutupan kanopi menyebabkan perubahan mikrohabitat sehingga
mempengaruhi keberadaan rayap yang menyukai kondisi lembap.
Rayap dan substrat kayu: kayu monokotil dan dikotil dengan densitas
rendah dan densitas tinggi
Aktivitas makan rayap dipengaruhi oleh jenis kayu yang dimakan oleh rayap.
Kayu dapat berasal dari tumbuhan monokotil dan dikotil. Monokotil memiliki
jaringan pembuluh pada batang yang tersebar, sedangkan dikotil memiliki jaringan
pembuluh pada batang yang tersusun dalam dalam lingkaran konsentris (Stern et al.
2006). Kayu yang berasal dari monokotil benilai ekonomis adalah kelapa (C.
nucifera) yang sebenarnya bukan merupakan tumbuhan berkayu sejati seperti
tumbuhan dikotil. Namun, pada kayu C. nucifera mengalami lignifikasi pada
beberapa bagian jaringan parenkim sehingga memberi struktur kuat dan
membentuk batang berkayu (Fathi et al. 2014).
Kayu dari tumbuhan monokotil dan dikotil dapat dikelompokkan menjadi
kayu dengan densitas rendah dan tinggi. Kayu densitas rendah merupakan kayu
yang berasal dari pohon cepat tumbuh (fast growing tree) yang memiliki kandungan
lignin rendah dan tinggi kadar air dengan nilai densitas kurang dari 0.50 g/cm3
seperti A. falcataria (0.25 g/cm3) dan A. chinensis (0.36 g/cm3). Kayu densitas
tinggi berasal dari pohon yang tumbuh lambat (low growing tree) yang ditandai
dengan kandungan lignin tinggi dan kadar air rendah dengan densitas lebih dari
0.50 g/cm3 seperti C. nucifera (0.50 g/cm3), T. grandis (0.05 - > 0.55 g/cm3), dan
Shorea sp. (0.48 hingga 0.50 g/cm3) (Reyes et al. 1992).

3 METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada April hingga Juli 2016 di dua lokasi yaitu
Arboretum (06° 33’ 27.0” S, 106° 43’ 46.7” E) sebagai habitat hutan dan Kebun

8

Percobaan Cikabayan (06° 33’ 01.4” S, 106° 42’ 54.6” E) sebagai habitat non-hutan
pada kampus Institut Pertanian Bogor (Gambar 4a-b). Dua habitat ini memiliki
tekstur tanah lempung berpasir.
Dekomposisi kayu: persentase kehilangan berat kayu oleh rayap di
Arboretum dan Cikabayan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan faktorial yaitu jenis kayu dan lokasi. Lima jenis kayu yang
terdiri dari satu jenis kayu monokotil (C. nucifera) dan empat jenis kayu dikotil (T.
grandis, Shorea sp., A. falcataria, A. chinensis) dengan tiga ulangan digunakan
sebagai umpan rayap subterranean. Kayu dipotong menjadi balok kayu yang
berukuran 13 x 5 x 3 cm3 dengan lubang di bagian tengah berukuran 13 x 2 x 1.5
cm3 (Gambar 5A). Balok kayu dikeringkan pada suhu 80 °C hingga mencapai berat
kering konstan dan ditimbang sebagai berat kering awal serta diberi label. Balok
kayu dimasukkan ke dalam sebuah kaleng yang diisi dengan tujuh balok kayu dari
setiap jenis kayu. Kaleng diletakkan dengan cara dibalik sehingga kayu menyentuh
tanah dan dikubur selama satu bulan pada lima belas plot dengan jarak 5 m (Gambar
5B) di dua lokasi: Arboretum dan Cikabayan. Setelah satu bulan, kayu dikeringkan
pada suhu 80 °C, dan ditimbang sebagai berat kering akhir. Persentase kehilangan
berat kayu dihitung berdasarkan rumus oleh Sornnuwat et al. (1995).

a

b

Gambar 4 Peta dan foto lokasi penelitian. (a) habitat non-hutan Cikabayan
(b) habitat hutan Arboretum.

9

A

B
Gambar 5 Profil skematik balok kayu yang digunakan sebagai umpan rayap
subterranean dan desain peletakkan umpan pada plot penelitian.
(A) balok kayu, (B) desain peletakkan umpan; (Cn) C. nucifera,
(Tg) T. grandis, (Ss) Shorea sp., (Af) A. falcataria, (Ac) A.
chinensis, (1, 2, 3) ulangan.
��ℎ� �� � ��

% = � − � /�

%

Keterangan: W0 = berat kering awal kayu (g), W1 = berat kering kayu setelah
pengumpanan (g)
Identifikasi morfologi rayap subterranean dari Arboretum dan Cikabayan
Rayap kasta prajurit dan pekerja dikoleksi dari balok kayu umpan di dua
lokasi dan diawetkan dalam etanol 70%. Morfologi rayap diamati dengan
menggunakan mikroskop stereo (Nikon type SMZ442, Japan), dan difoto
menggunakan kamera digital mikroskop (OptiLab advance, Japan). Rayap kasta
prajurit digunakan untuk identifikasi hingga tingkat spesies dengan karakter jumlah
artikel antena, panjang kepala dengan mandibula, panjang kepala tanpa mandibula,
dan lebar kepala yang diukur dengan software OptiLab Image Raster di
laboratorium Biosistematika dan Ekologi Hewan (BEH) Departemen Biologi IPB.
Kasta ini diidentifikasi menggunakan kunci morfologi oleh Ahmad (1958) dan
gambar skematik morfologi rayap oleh Tho (1992).
Pengamatan pola galeri kayu dan analisis Scanning Electron Microscope
(SEM) pada permukaan kayu yang telah dimakan oleh rayap
Setelah satu bulan, semua balok kayu difoto untuk analisis perbedaan pola
galeri antara kayu monokotil dan dikotil. Analisis Scanning Electron Microscope
(SEM) juga dilakukan untuk mengamati kerusakan jaringan parenkim kayu pada
penampang membujur oleh rayap subterranean. Satu balok kayu dari setiap jenis

10

kayu dengan kerusakan paling besar dipotong berukuran 7 x 6 x 3 mm3. Potongan
kayu ini terdiri dari bagian yang tidak dimakan dan bagian yang dimakan oleh rayap
subterranean. Spesimen kayu di mounting pada stub berdiameter 10 mm, divakum
untuk mengeringkan dan di coating dengan material konduktif emas (Au) pada ion
counter (Goldstein et al. 1992) dan diamati pada SEM (JSM-5310LV, Japan) di
laboratorium SEM Zoologi di Lembaga Ilmu dan Penelitian Indonesia (LIPI).
Pengukuran peubah iklim mikro lingkungan dan tanah serta analisis
kualitas tanah pada Arboretum dan Cikabayan
Peubah iklim mikro meliputi intensitas cahaya, kelembapan dan temperatur
udara dan tanah diukur sebanyak sepuluh kali (n = 10) dengan interval tiga hari
selama tiga puluh hari (satu bulan). Intensitas cahaya diukur dengan lux meter
(Lutron LX-101 A, China). Kelembapan dan temperatur udara diukur dengan
thermo-hygrometer (Haar-Synth TFA Dostmann, Germany). Kelembapan tanah
diukur dengan soil tester (Takemura DM-15, Japan) dan temperatur tanah diukur
dengan menggunakan termometer tanah.
Analisis tekstur dan kualitas tanah yaitu pH, karbon organik (C-organik),
nitrogen total (N-total), rasio C/N, P2O5 tersedia, dan kapasitas tukar kation (KTK)
tanah dianalisis dua kali yaitu sebelum (analisis pertama) dan sesudah perlakuan
pengumpanan dengan lima jenis kayu selama satu bulan (analisis dua). Analisis
pertama, tanah dari lima belas plot (lima jenis kayu dengan tiga ulangan)
dikomposit menjadi satu pada setiap lokasi sebagai tanah kontrol sehingga terdapat
dua sampel tanah kontrol. Analisis kedua, tanah dikompositkan berdasarkan jenis
kayu pada setiap lokasi dengan total sepuluh sampel. Total terdapat dua belas tanah
komposit yang dianalisis di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (BALITTRO) di Bogor.
Karbon organik tanah dianalisis menurut metode Black dan Walkey (Sobek
et al. 1978; Balittanah 2005). Sebanyak 0.1 g tanah ditempatkan dalam labu ukur
bervolume 100 ml. Dua larutan disiapkan yaitu larutan standar dengan kadar karbon
organik 0 ppm hingga 250 ppm dicampurkan dengan tanah. Setiap larutan
ditambahkan dengan K2Cr2O7 1 N sebanyak 5 ml dan ditambah dengan 7 ml larutan
H2SO4. Setiap sampel diencerkan dengan air deionisasi dan dikocok hingga
homogen dan dibiarkan semalam. Kemudian diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 561 nm. Nilai karbon organik ditentukan dengan menggunakan
kurva standar (Sobek et al. 1978; Balittanah 2005).
Nitrogen total tanah diukur dengan metode Kjeldahl (Sobek et al. 1978;
Balittanah 2005). Sampel tanah sebanyak 0.25 g dimasukkan ke dalam labu ukur,
ditambah 1 g selenium, ditambahkan 2.5 g asam sulfat (H2SO4) dan ditinggalkan
semalam dan kemudian dipanaskan. Larutan didinginkan dan diencerkan dengan
air deionisasi hingga 50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan semalam.
Ekstrak sampel sebanyak 10 ml dituangkan ke dalam labu ukur, ditambahkan asam
borat 1% sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan dua tetes indikator Conway
merah. NaOH 40% 10 ml ditambahkan dan distilasi dilakukan hingga larutan
berwarna hijau dengan volume 50 hingga 75 ml. Larutan distilasi dititrasi dengan
H2SO4 0.050 N sampai berwarna merah muda (pink) (Sobek et al. 1978; Balittanah
2005).

11

P2O5 tersedia tanah dianalisis berdasarkan metode Bray I. Sebanyak 2.5 g
tanah ditambahkan 25 ml Bray dan Kurt I extractors dan diaduk selama 5 menit.
Sampel disaring maksimal selama 5 menit. Ekstrak bening dipipet sebanyak 2 ml
ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 10 ml reagen pewarna fosfat, dikocok
dan ditinggalkan selama 30 menit kemudian diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 889 nm (Balittanah 2005).
KTK tanah diukur dengan distilasi 2.5 g tanah ditambahkan ke gelas ukur 50
ml. Sampel ditambahkan pasir kuarsa sebanyak 5 hingga 7.5 g dan dicampurkan
sampai homogen. Campuran tersebut di tempatkan pada tabung perkolasi
(penyaringan) dengan saringan pulp di bagian bawah, dicuci dengan 100 ml etanol
dan diperkolasi dengan 50 ml NaCl 10%. Dua puluh ml hasil perkolasi dimasukkan
ke dalam erlenmeyer berukuran 50 ml dan ditambahkan 80 ml air deionisasi, parafin
cair dan batu mendidih. Distilat dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 10
ml asam borat 1% dan diteteskan dengan 3 tetes indikator Conway. Distilat dititrasi
dengan larutan standar H2SO4 0.05 N sampai warna hijau berubah menjadi merah
muda (Balittanah 2005).
Pengukuran respirasi tanah selama proses dekomposisi kayu oleh rayap
Respirasi tanah pada lima belas plot diukur menggunakan metode
karbondioksida (CO2) absorpsi (Freijer dan Bouten 1991) dengan modifikasi
menggunakan KOH 0.2 N sebagai pengikat CO2 dan HCl 0.1 N sebagai larutan
titrasi. Respirasi tanah diukur dari 300 g tanah yang diisi ke dalam pipa PVC
berdiameter 5 cm dan panjang 25 cm, kecuali pada bl