Keawetan Balok Laminasi dari Kayu Rakyat Terhadap Serangan Rayap Tanah.

(1)

E/THH

Durability of Glued Laminated Timber from Commnunity Wood to Subterranean Termite

Attack

By :

Hafidz Herbowo1), Muh. Yusram Massijaya2), Arinana 2)

INTRODUCTION :The utilization of community wood is one method to fulfill wood demand. It is because every year wood demand is increasing whereas the supply of wood from natural forest decreasing. Community wood have low quality of strength and durability, so to improve quality of strength is making Glued Laminated Timber (glulam). The adhesive is used to make glue laminated timber could be expected to improve durability of glulam. The objective of this research was to determine the effect on the isocyanate adhesive on the durability of glulam community wood to termites attack on the laboratory and grave yard test.

MATERIALS AND METHOD : This research used pine, acacia, jabon, manii, and sengon wood, while adhesives used to were isocyanates. Glulam types used is the combination of pine glulam, combination of glulam acacia, and similar glulam. Glulam durability testing conducted in laboratory scale refers to JIS K 1571-2004 standard where termites used was Coptotermes curvignathus while grave yard testing refers to ASTM D 1758-2006 standard. Responses measured in this test is divided into two, for laboratory scale testing and grave yard testing. Respon to laboratory scale testing of which is the value of which is the value of weight loss, mortality, and feeding rate while for grave yard testing is value of the weight loss, density, and the identification of subterranean termite attack.

RESULT AND DISCUSSION : The results showed that the weight loss values for laboratory-scale tests, glulam acacia-manii have the lowest weight loss with value of 1.16% belong to very resistant to termite attack and for glulam sengon- sengon have the greatest weight loss with value of 16.52% belong to the poor resistance to subterranean termite attack. While the weight loss grave yard testing, glulam pines have the lowest weight loss with a value of 21.90% and glulam jabon-jabon have the greatest weight loss with a value of 64.11%. Further to the value of mortality, acacia-manii glulam and glulam sengon-sengon have the greatest mortality of the value of the premises a value of 100% and glulam manii- manii have the lowest mortality value with the value of 58.89%. Feeding rate is the lowest value generated by acacia-manii glulam with a value of 23.92 µg/head/day and the largest value of feeding rate obtained by the acacia-jabon glulam with a value of 226.30 µg/head/day. Density values not affect the value of existing weight loss and identification of subterranean termite attack grave yard test found that, the termites that stroke the sample was Schedorhinotermes javanicus Kemner. Based on laboratory scale testing, isocyanate adhesives can improve the durability of glulam whereas for grave yard testing less influence to the level of glulam durability.

Keywords: glulam, community wood, Coptotermes curvignathus, Shedorhinotermes javanicus, isocyanates.

1)

Student of Forest Products Departement,, Faculty of Forestry, IPB 2)


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pemanfaatan kayu hutan rakyat merupakan salah satu metode untuk memenuhi kebutuhan kayu. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan kayu selalu meningkat setiap tahunnya, sedangkan persediaan kayu dari hutan alam semakin sedikit. Data statistik kehutanan menunjukkan bahwa keadaan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam pada tahun 1989/1990 sebesar 58,88 juta ha dan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 24,69 juta ha (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2001 dan 2010) sehingga kayu di hutan rakyat atau kayu rakyat menjadi solusi untuk permasalahan berkurangnya produksi kayu dari area hutan alam. Kebutuhan kayu dapat terpenuhi, namun muncul sebuah masalah baru yaitu sifat kekuatan dan keawetan kayu. Muslich dan Krisdianto (2006) diacu dalam Tutirin (2011) menyatakan bahwa hutan rakyat menghasilkan kayu yang umurnya relatif muda, berdiameter kecil, berat jenis rendah, dan keawetannya rendah sehingga mudah diserang organisme perusak.

Menurut Nandika et al. (1996),70-85% kayu yang diproduksi di dunia tergolong sangat rentan terhadap serangan organisme perusak. Dengan kata lain kayu yang dihasilkan di dunia, termasuk Indonesia mudah dirusak oleh faktor biologis.

Permasalahan kualitas kekuatan kayu yang berasal dari hutan tanaman rakyat dapat diatasi dengan menggunakan teknologi perekatan struktural kayu komposit seperti balok laminasi. Balok laminasi didefinisikan sebagai sebuah bahan yang terbuat dari papan kayu yang berbentuk lurus atau dibengkokan, dengan arah serat semua papan kayu sejajar ke sumbu longitudional (Moody et al. 1999). Balok laminasi biasanya digunakan untuk keperluan struktural berupa rangka, balok, kolom, dan kuda-kuda.

Di dalam balok laminasi terdapat perekat yang digunakan sebagai bahan rekat antar lamina. Diduga perekat dapat berfungsi untuk meningkatkan keawetan balok laminasi, yang telah diteliti oleh Islami, 2011 yang menyatakan bahwa


(3)

2

perekat isosianat dapat meningkatkan tingkat keawetan balok laminasi berbahan dasar kayu rakyat yaitu Rasamala, Mahoni, dan Mindi terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus secara laboratorium. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut keawetan balok laminasi dengan bahan dan jenis kayu yang lain baik secara laboratorium maupun lapangan.

1.2 Tujuan

Mengetahui pengaruh perekat isosianat pada balok laminasi berbahan kayu rakyat terhadap serangan rayap tanah pada skala laboratorium dan lapangan.

1. 3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai efektifitas perekat isosianat pada produk balok laminasi terhadap serangan rayap tanah.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balok Laminasi

Balok laminasi atau glulam pertama kali digunakan di Eropa pada konstruksi auditorium di Basel, Switzerland tahun 1893. Balok laminasi dipatenkan sebagai Sistem Hertzer dan penggunaan bahan perekat, untuk standarisasi penggunaan pada masa itu tidak tahan terhadap air. Dengan demikian, penggunaan balok laminasi terbatas hanya untuk kondisi penggunaan kering. Kemajuan bahan perekat semasa perang dunia I, menstimulasi penambahan daya tarik di Eropa mengenai penggunaan balok laminasi pada bingkai bangunan dan pesawat (Moody et al. 1999).

Balok laminasi adalah salah satu produk rekayasa perekatan kayu tertua. Balok laminasi adalah produk tekanan yang terdiri dari dua atau lebih lapisan kayu yang direkatkan menjadi satu dengan arah serat semua lapisan kayu. Balok laminasi didefinisikan sebagai sebuah bahan yang terbuat dari papan kayu yang berbentuk lurus atau dibengkokan, dengan arah serat semua potongan kayu sejajar ke sumbu longitudional. Ketebalan maksimum laminasi yang diperbolehkan adalah 50 mm dan standar ketebalan kayu untuk tipe laminasi 25 atau 50 mm. Balok laminasi merupakan kayu gabungan antara akhir dengan akhir, pinggir dengan pinggir, dan muka dengan muka (Moody et al. 1999).

Balok laminasi adalah salah satu komponen kayu komposit yang berfungsi untuk mengontrol atau mengatur sifat produk balok laminasi melalui desain yang telah dipraktekkan selama beberapa tahun. Struktur balok laminasi dibuat untuk meningkatkan penggunaannya di dalam struktur perencanaan (Bodig & Jayne 1993).

Ada beberapa jenis balok laminasi. Berdasarkan posisi pembebanan, balok laminasi dibedakan menjadi balok laminasi horizontal dan vertikal. Sedangkan berdasarkan penampangnya balok laminasi dibagi menjadi balok I, balok T, balok I ganda, balok pipa atau kotak, dan stressed skin panel (Bodig & Jayne 1993).


(5)

2.1.1 Kelebihan dan Kekurangan Balok Laminasi

Moody et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa kelebihan balok laminasi dibandingkan kayu gergajian serta bahan struktural lain adalah dalam hal ukuran, bentuk arsitektur, pengeringan, penampang lintang (cross section), efisiensi, dan ramah lingkungan. Sedangkan Canadian Wood Council (2000) menyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi elemen struktural yang besar dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Balok laminasi juga memiliki kelemahan yaitu jika kayu solid tersedia dalam ukuran yang diperlukan maka proses tambahan dalam pembuatan balok laminasi akan meningkatkan biaya produksinya melebihi kayu gergajian. Pembuatan balok laminasi memerlukan perakitan khusus, fasilitas pabrik, dan keahlian dalam pembuatannya dibandingkan dengan memproduksi kayu gergajian. Semua tahap dalam proses pembuatan memerlukan perhatian untuk menjamin produk akhir yang berkualitas tinggi. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam desain balok laminasi berukuran besar, lurus atau lengkung adalah penanganan dan pengapalan (Moody et al. 1999).

2.1.2 Penggunaan Balok Laminasi

Balok laminasi merupakan produk struktural yang digunakan untuk rangka, balok, kolom, dan kuda-kuda (Canadian Wood Council 2000). Moody dan Hernandez (1997) menyatakan bahwa meskipun penggunaan utama balok laminasi adalah pada sistem atap dari bangunan-bangunan komersial, namun balok laminasi juga sudah digunakan pada sistem atap dan lantai rumah. Berbagai penggunaan balok laminasi diantaranya adalah:

a. Bangunan-bangunan komersial dan rumah: sebagai balok persegi, balok lengkung, kuda-kuda, balok struktur, bangunan kayu bertingkat, kubah dan tiang.

b. Jembatan: untuk bagian-bagian dari struktur bagian atas seperti balok penopang dan decking.


(6)

c. Penggunaan struktur lain: untuk tower transmisi listrik, tonggak listrik dan penggunaan lain untuk memenuhi persyaratan ukuran dan bentuk yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan tiang kayu konvensional.

2.2 Perekat

Perekat (adhesive) adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk mengikat dua benda melalui ikatan permukaan (Blomquist et al. 1983; Forest Product Society 1999) diacu dalam Ruhendi et al. (2007).

Perekat isosianat berdasarkan pada perekat reaktifitas radikal, (-N=C=O). Isosianat bergabung dengan senyawa polar yang kuat sehingga menghasilkan senyawa radikal yang baik dan mempunyai potensi untuk membentuk ikatan kovalen subtrat yang memiliki hidrogen aktif. Isosianat yang biasa digunakan karena volatil yang rendah adalah diphenylmethane diisocyanate (MDI) (Marra 1992).

Kelebihan dari perekat isosianat diantaranya adalah membutuhkan lebih sedikit MDI untuk produk papan yang sama, dapat menggunakan suhu pengempaan rendah, siklus pengempaan lebih cepat, lebih toleran terhadap kadar air flake, energi yang diperlukan untuk pengeringan lebih sedikit dan tidak ada emisi formaldehida (Marra 1992).

2.3 Sifat Dasar Beberapa Jenis Kayu Rakyat

2.3.1 Manii (Maesopsis eminii Engl)

Kayu manii memiliki nama botanis Maesopsis eminii Engl. ini merupakan penghormatan kepada Emin Pasha (1840-1892) seorang penyidik Afrika, administratur dan sebagai seorang ahli botani (Gastan 2002). Kayu manii tumbuh alami pada 2o LS – 8o LS yang termasuk daerah tropis. Tempat tumbuh kayu manii aslinya di Afrika. Penyebaran kayu manii melalui Uganda, dan daerah Nyanza yang termasuk koloni Kenya, Tanganyika, Barat Laut melalui Kongo sampai ke teluk Guinea, dari Kamerun sampai Liberia dan juga terdapat di Fernando Po (Eggeling and Harris 1939 diacu dalam Gastan 2002).

Pada sebaran alami, jenis ini tumbuh di dataran rendah sampai hutan sub pegunungan sampai ketinggian 1800 mdpl. Penanaman biasanya dilakukan di


(7)

dataran rendah dan tumbuh baik pada ketinggian 600-900 mdpl. Cocok tumbuh pada daerah dengan curah hujan 1200-3600 mm/tahun dengan musim kering sampai 4 bulan (Direktorat Pembenihan 2002 diacu dalam Gastan 2002). Kayu manii tumbuh pada tanah dengan tekstur medium sampai ringan pada pH netral sampai asam serta bebas drainase dan lebih bagus pertumbuhannya pada tanah subur dengan solum yang dalam (Balai Teknologi Perbenihan, 2000 diacu dalam Gastan, 2002).

Kayu manii memiliki kerapatan 0,38 sampai 0,48 dan mudah digergaji. Selain itu kayu manii mempunyai kandungan kimia berupa kadar selulosa 47,19% dan kadar lignin 20,45%. Kegunaan kayu gergajinya adalah untuk konstruksi ringan, furniture, kotak dan lain-lain. Sedangkan kayu bulatnya dapat digunakan untuk tonggak bangunan, pulp serat pendek dan kayu veneer. Kayu manii termasuk kelas awet V dan kelas kuat III/IV, bertekstur kasar dan kayunya mudah menyerap zat-zat cair. Kayu ini banyak dimanfaatkan untuk konstruksi ringan di bawah atap, peti kemas, box, dan kayu lapis.

2.3.2 Jabon (Anthocephalus cadamba (Lamk.)

Kayu jabon memiliki nama botanis Anthocephalus chinensis (Lamk.) A. Rich. Ex Walp. syn. Anthocephalus cadamba Miq., Famili Rubiaceae, dengan nama daerah: jabon, jabun, hanja, kelampenyan, kelampaian (Jawa); galupai, galupai bengkal. Selain itu daerah penyebarannya meliputi seluruh Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, seluruh Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan Irian Jaya (Martawijaya et al. 2005).

Habitus: tinggi pohon dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter sampai 160 cm. Batang lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir dengan ketinggian 1,50 cm, kulit luar berwarna kelabu-cokelat sampai cokelat, sedikit beralur dangkal (Martawijaya et al. 2005).

Kayu jabon memiliki ciri umum pada warnanya, kayu teras memiliki warna putih semu-semu kuning muda, lambat laun menjadi kuning semu-semu gading, kayu gubal tidak dapat dibedakan dari kayu teras. Dari segi tekstur jabon memiliki teskur kayu yang agak halus sampai agak kasar. Kemudian jabon memiliki arah serat yang lurus, kadang-kadang agak berpadu dan memiliki kesan raba pada


(8)

permukaan kayu licin atau agak licin. Selain itu terdapat permukaan kayu yang mengkilap atau agak mengkilap (Martawijaya et al. 2005).

Sifat kimia yang dimiliki jabon berupa kadar selulosa sebesar 52,4%, lignin 25,4%, dan silika 0,1%. Sifat fisis yang dimiliki jabon untuk berat jenis rata-rata 0,42 dengan interval nilai 0,29 sampai 0,56 dan termasuk kedalam kelas kuat III- IV. Keawetan kayu jabon dimasukkan kedalam kelas awet V, demikian juga berdasarkan percobaan kuburan, jenis kayu ini termasuk kelas awet V. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas II dan keterawetan kayu jabon termasuk kelas sedang. Kegunaan kayu jabon dapat digunakan untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp, kelom, dan konstruksi darurat ringan (Martawijaya et al. 2005).

2.3.3 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn)

Kayu sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen syn) memiliki nama daerah jeunjing dan sengon laut untuk di Jawa. Sengon memiliki penyebaran di daerah Jawa, Maluku, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya. Habitus sengon memiliki tinggi pohon sampai 40 m dengan panjang batang bebas cabang 10-30 m, diameter sampai 80 cm, kulit berwarna putih atau kelabu, tidak berbanir, tidak beralur dan tidak mengelupas (Martawijaya et al. 2005). Sengon memiliki warna teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu kecokelatan atau putih merah kecokelatan pucat. Memiliki tekstur yang agak kasar sampai kasar, arah seratnya terpadu dan kadang-kadang lurus sedikit bercorak. Tingkat kekerasan yang dimiliki agak lunak dan beratnya ringan (Pandit dan Kurniawan 2008).

Sifat kimia dari kayu sengon mempunyai kandungan selulosa sebesar 49,4%, lignin 26,8%, dan silika 0,2%. Kayu sengon memiliki berat jenis rata-rata 0,33 dengan interval nilai antara 0,24 sampai 0,49. Kelas awet yang dimiliki termasuk kedalam kelas IV sampai V. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas III, sedangkan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-IV. Berdasarkan percobaan kuburan jenis kayu ini termasuk kelas awet IV-V. Keterawetan kayu jeunjing termasuk kelas sedang dan memiliki kelas kuat IV sampai V (Martawijaya et al. 2005)


(9)

Kayu sengon digunakan oleh penduduk Jawa Barat untuk bahan perumahan (papan, balok, tiang, kaso, dan sebagainya). Selain itu dapat juga digunakan untuk pembuatanpeti, venir, pulp, papan semen wol kayu, papan serat, papan partikel, korek api (tangkai dan kotak), kelom, dan kayu bakar. Dahulu di Maluku, kayu sengon biasa dipakai untuk perisai, karena ringan dan liat serta sukar tertembus (Martawijaya et al. 2005).

2.3.4 Pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vr)

Nama botanis; Pinus merkusii Jungh et de Vr., Famili Pinaceae. Nama daerah; damar batu, damar bunga, huyam, kayu sala, kayu sugi. Daerah penyebarannya meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, seluruh Jawa. Habitus tinggi pohon 20-40 cm dengan panjang batang bebas cabang 2-23 m, diameter sampai 100 cm, dan tidak berbanir. Kulit luar kasar berwarna cokelat- kelabu sampai cokelat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam. Ciri umum; warna: kayu berwarna cokelat-kuning muda dengan pita dan gambar yang berwarna lebih gelap, kayu yang berdamar berwarna cokelat atau cokelat tua. Kayu gubal berwarna putih atau putih kekuningan, tebal 6-8 cm. Sifat fisis : berat jenis dan kelas kuat : 0,55 (0,40-0,75); III. Keawetan : kayu pinus dimasukkan ke dalam kelas awet IV, namun berdasarkan percobaan kubur keawetannya termasuk kedalam kelas awet III-V. Daya tahan terhadap rayap kayu kering termasuk kelas V. Keterawetan: keterawetan kayu tusam termasuk kelas mudah (Martawijaya et al. 2005).

Sifat kimia dari kayu pinus mempunyai kadar selulosa sebesar 54,9%, lignin 24,3%, dan silika 0,2%. Venir: kayu pinus dapat dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan dengan sudut kupas 900, tebal venir 1,5 mm dengan hasil baik. Kayu lapis; perekatan venir kayu pinus dengan urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persayaratan standar Jerman. Kegunaan kayu tusam dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel kotak dan tangkai korek api, potlot (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan), papan wol kayu dan kayu lapis (Martawijaya et al. 2005).


(10)

2.3.5 Akasia (Acacia mangium Wiild)

Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), kayu akasia memiliki teras yang berwarna cokelat pucat sampai cokelat tua, kadang-kadang cokelat zaitun sampai cokelat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai jerami. Memiliki corak yang polos atau berjalur-jalur yang berwarna gelap dan terang yang bergantian pada bidang radial. Selain itu kayu akasia memiliki tekstur yang halus sampai agak kasar dan merata, arah serat yang lurus, kadang-kadang berpadu dan memiliki permukaan yang agak mengkilap dan licin.

Kayu akasia juga memiliki tingkat kekerasan dari agak keras sampai keras. Kemudian untuk nilai berat jenis yang dimiliki rata-rata 0,61 dengan interval nilai berkisar antara 0,43-0,66. Kelas awet kayu akasia memiliki nilai III dan untuk nilai kelas kuat berkisar antara kelas kuat II sampai III. Menurut Pasaribu dan Roliadi (1990) diacu dalam Malik et al. (2000) kandungan sifat kimia kayu akasia memiliki kandungan selulosa sebesar 46,39%, lignin 24,%, dan silika 0,24%. Kayu akasia memiliki kegunaan untuk bahan konstruksi ringan sampai berat, seperti rangka pintu dan jendela, almari, lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya, pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas, selain itu baik juga untuk kayu bakar dan arang (Pandit dan kurniawan 2008).

2.4 Keawetan Kayu

Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan (Martawijaya 1981).

Menurut Seng (1990) klasifikasi keawetan kayu di Indonesia terdiri dari lima kelas awet yaitu; kelas awet I, kelas awet II, kelas awet III, kelas awet IV, dan kelas awet V. Klasifikasi keawetan kayu Indonensia akan dijelaskan pada Tabel 1.


(11)

Tabel 1 Klasifikasi keawetan kayu Indonesia menurut Seng (1990) Kondisi tempat Kelas Awet

I

Kelas Awet II

Kelas Awet III

Kelas Awet IV

Kelas Awet V Selalu berhubungan dengan 8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat Sangat

tanah pendek pendek

Hanya dipengaruhi cuaca, 20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa Sangat

tetapi dijaga supaya tidak tahun pendek

terendam air dan tidak terendam udara

Dibawah atap, tidak Tidak Tidak Sangat Beberapa Pendek

berhubungan dengan tanah terbatas terbatas terbatas tahun lembab dan tidak kurang

udara

Seperti di atas tetapi Tidak Tidak Tidak 20 tahun 20 tahun dipelihara dengan baik dan terbatas terbatas terbatas

dicat teratur

Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat Sangat

Cepat cepat

Serangan bubuk kayu kering Tidak Tidak Hampir Tidak Sangat

tidak berarti cepat

Sumber : Seng (1990)

2.5 Rayap

Menurut Sigit dan Hadi (2006), rayap merupakan serangga primitif yang sangat dekat kekeluargaannya dengan kecoa. Di alam, rayap sangat berguna mengubah kayu mati dan bahan organik lainnya yang mengandung selulosa untuk dijadikan humus. Dari aspek tersebut, rayap merupakan serangga yang sangat berguna, namun apabila manusia mulai membangun gedung dengan komponen kayu sebagai bahan bakunya, maka rayap dapat merusak bangunan tersebut sebagai habitat dan makanannya. Rayap mempunyai mikroorganisme di dalam ususnya yang dapat mengubah selulosa menjadi bahan-bahan lain yang dapat dicerna oleh tubuh rayap.

Rayap merupakan serangga sosial, dan terdapat pembagian kerja di antara kastanya. Hampir setiap jenis rayap mempunyai kasta reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja yang mempunyai tugas yang sangat spesifik yaitu membangun sarang, mengumpulkan makanan dan memberi makan kasta reproduktif dan prajuritnya (Sigit dan Hadi 2006).

Menurut Nandika et al. (1996) dalam setiap koloni rayap pada umumnya terdapat tiga kasta yang diberi nama menurut fungsinya masing-masing yaitu


(12)

kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif yang terdiri atas kasta primer (raja dan ratu) serta kasta reproduktif suplementer:

a) Kasta pekerja mempunyai jumlah anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hipognat tanpa mata majemuk. Mandibelnya relatif kecil jika dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah mencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.

b) Kasta reproduktif primer terdiri dari serangga–serangga dewasa yang bersayap dan menjadi pendiri koloni (raja dan ratu). Masa bersialang (swarming) ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang imago (jantan dan betina) bertemu selanjutnya dengan segera menanggalkan sayapnya serta mencari tempat yang sesuai didalam tanah atau kayu. Pekerjaan semasa hidupnya hanya menghasilkan telur, sedangkan untuk makanannya dilayani oleh para pekerja. Seekor ratu dapat hidup 6 sampai 20 tahun, bahkan sampai berpuluh–puluh tahun.

c) Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya besar dengan penebalan kulit yang nyata. Anggota–anggota kasta ini mempunyai rahang (mandibel atau rostum) yang besar dan kuat. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar.

Selain itu, dalam hidupnya rayap memiliki beberapa sifat khusus seperti (Nandika et al. 2003):

1. Sifat Trofalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan.

2. Sifat Kriptobiotik, yaitu sifat rayap untuk menyembunyikan diri dan tidak menyenangi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana selama periode yang pendek dalam hidupnya memerlukan cahaya.

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini menonjol jika rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.


(13)

C. curvignatus mampu menyerang suatu bangunan melalui berbagai cara yaitu, (a) melalui lubang atau retakan kecil pada pondasi, celah-celah dinding dari semen/beton, lantai ubin/keramik, tiang-tiang, pipa-pipa saluran air maupun kabel (b) lewat bagian bangunan dari kayu yang berhubungan dengan tanah (c) rayap menembus penghalang fisik seperti plat logam, plastik dan lain-lain. Jenis ini merupakan rayap perusak dengan tingkat serangan paling ganas. Tidak mengherankan mereka mampu menyerang hingga ke lantai atas suatu bangunan bertingkat. Meskipun tidak bersentuhan langsung dengan tanah, selama sarang rayap sesekali memperoleh kelembaban misalnya lewat tetesan-tetesan air hujan dari atap bangunan yang bocor atau saluran air dekat instalasi pendingin ruangan, rayap perusak ini akan memperluas serangannya dengan membuat sarang yang cukup lembab, karena rayap perusak ini merupakan jenis rayap yang paling memerlukan air dan tanah (kelembaban yang cukup sebagai kebutuhan mutlak dalam koloninya) (Sigit dan Hadi 2006).

Menurut Nandika et al. (2003), rayap tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat; antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya, mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata; panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm; lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm; dengan panjang badan 5,5-6,0 mm; bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri; abdomen berwarna putih kekuningan.

Adanya rayap tanah dalam suatu bangunan kemungkinan tidak dapat di ketahui, hingga bagian-bagian kayu yang parah serangannya mulai terlihat adanya kerusakan. Namun ada juga tanda-tanda tertentu seperti terdapatnya saluran- saluran dari tanah pada fondasi-fondasi bata, batu, beton, pipa-pipa pemanas, atau sejenisnya, serta munculnya laron secara musiman menunjukkan adanya rayap tanah sebelum memimbulkan kerusakan yang lebih besar. Adanya rongga didalam tiang-tiang dan kayu-kayu besar lainnya yang terserang dapat diketahui dengan menurunnya resonansi kayu bila dipukul dengan palu atau alat sejenisnya (Hunt & Garrat 1986).


(14)

2.6 Berat Jenis

Berat jenis kayu merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air (air bersuhu 4,40C). Sebagian besar jenis kayu dalam keadaan kering terapung dalam air yang membuktikan bahwa sebagian volume dari kayu berisi rongga-rongga udara dan pori (Forest Product Laboratory Technical 1999).

Hubungan antara berat jenis dengan keawetan kurang berlaku umum dan juga kurang nyata dari hubungan antara berat jenis dengan kekuatan kayu. Hubungan itu umumnya terbatas pada jenis-jenis dalam suatu suku (genus) misalnya pada suku Shorea, Pterocarpus, Artocarpus, kadang-kadang batas itu diperluas sampai beberapa suku dari suatu keluarga (Famili) seperti lauraceace (Seng 1990).

Variasi dalam keawetan kayu dari jenis atau suku yang sama dapat disebabkan oleh : perbedaan banyaknya ekstraktif dan kerapatan kayu. Selain itu faktor yang mempengaruhi terjadinya variasi berat jenis adalah sebagai berikut; umur pohon, kecepatan tumbuh, pertumbuhan eksentrik (dari luar ke pusat), kayu cabang, dan terjadinya teras kayu (Seng 1990).


(15)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama lima bulan yaitu dari bulan Maret sampai dengan Juni dan dilanjutkan kembali bulan November sampai dengan Desember 2011 bertempat di Arboretum Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Biokomposit, dan Laboratorium Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah balok laminasi dari kayu rakyat, yaitu kayu pinus, akasia, jabon, manii, dan sengon. Susunan balok laminasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Susunan balok laminasi

Susunan Keterangan

PP Pinus-Pinus PJ Pinus-Jabon PM Pinus-Manii PS Pinus-Sengon AA Akasia-Akasia AJ Akasia-Jabon AM Akasia-Manii AS Akasia-Sengon JJ Jabon-Jabon MM Manii-Manii SS Sengon-Sengon

Sebagai kontrol digunakan kayu pinus, akasia, manii, jabon, dan sengon. Bahan lainnya adalah rayap tanah C. curvignathus, dental cement, alkohol, kapas, dan air mineral.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kaliper, pipa paralon dengan diameter 8 cm dan tinggi 6 cm, oven, desikator, jaring plastik, timbangan elektrik, nampan plastik, kamera digital, dan kain hitam. Berikut ini merupakan bentuk contoh uji kontrol dan balok laminasi (Gambar 1).


(16)

Garis rekat

Kontrol Balok laminasi

Gambar 1 Bentuk contoh uji kayu kontrol dan balok laminasi (2 x 2 x 1) cm3.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Uji Laboratorium JIS K 1571- 2004

A. Persiapan

a. Contoh uji berukuran (2 x 2 x 1) cm3 dioven selama 48 jam dengan suhu 60 ± 2 oC untuk mendapatkan nilai berat kayu sebelum pengujian (W1).

b. Wadah uji berupa pipa paralon dibuat dengan dasar dental cement dan jaring tipis diletakkan diatas dental cement. Wadah uji & jaring plastik harus dalam keadaan steril dengan cara di semprot dengan alkohol 70%.

c. Setiap pengujian dilakukan 3 kali ulangan.

B. Prosedur Kerja

a. Contoh uji dimasukkan ke dalam wadah uji dengan posisi bidang radial kayu menyentuh jaring tipis (Gambar 2). Satu wadah uji untuk pengujian 1 contoh uji.

Pipa Paralon D = 8cm T = 6 cm

Contoh Uji

Jaring Plastik

Gambar 2 Pengujian keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah berdasarkan standar JIS K 1571-2004.

b. Wadah uji dimasukkan 150 ekor rayap tanah C. curginathus dari kasta pekerja dan 15 ekor kasta prajurit. Selanjutnya wadah uji ditutup dengan


(17)

kain hitam yang diikat dengan karet dan ditempatkan dalam kontainer (wadah uji) yang telah dialasi kapas basah.

c. Wadah diletakkan di atas kapas basah, kemudian disimpan di tempat gelap selama 3 minggu. Selama pengujian diusahakan agar kelembaban botol uji tetap terjaga dan rayap tanah yang mati harus segera dikeluarkan dari wadah uji (Gambar 3).

Gambar 3 Pengujian keawetan balok laminasi terhadap serangan rayap tanah C. curvignathus berdasarkan standar JIS K 1571-2004.

d. Setelah 3 minggu wadah uji dibongkar, selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah rayap yang masih hidup untuk mengetahui nilai mortalitas rayap. Contoh uji dibersihkan, selanjutnya dioven selama 48 jam dengan suhu 60 ± 2o C dan ditimbang (W2). Persen kehilangan berat dihitung dengan menggunakan rumus:

x 100%

Keterangan:

WL = Kehilangan berat (%)

W1 = Berat kering oven kayu sebelum diumpankan (g) W2 = Berat kering oven kayu setelah diumpankan (g)

Mortalitas rayap yang diamati dalam standar ini hanya mortalitas dari rayap kasta pekerja. Mortalitas rayap dihitung dengan menggunakan rumus:


(18)

Keterangan:

MR = Mortalitas rayap (%)

D = Jumlah rayap yang mati (ekor)

150 = Jumlah rayap pekerja pada awal pengujian (ekor)

Selain itu dilakukan perhitungan Feeding Rate, yang menggambarkan kemampuan makan rayap per harinya. Hal ini dihitung dengan menggunakan rumus :

( )⁄

( )

Keterangan :

FR = Feeding rate (µ g/ekor/hari)

ΔW = Kehilangan berat kayu (µg)

R1 = Jumlah rayap pekerja awal yang digunakan (ekor)

R2 = Jumlah rayap pekerja pada akhir pengujian yang masih hidup (ekor)

T = Lama waktu pengujian (hari)

Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah secara lebih lengkap akan diuraikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah berdasarkan penurunan berat SNI 01. 7202-2006

Kelas Ketahanan Kehilangan Berat (%)

I Sangat Tahan < 3,52

II Tahan 3,52 – 7,50

III Sedang 7,50 – 10,96

IV Buruk 10,96 – 18,94

V Sangat Buruk 18,94 – 31,89

3.3.2 Uji Lapang (Grave Yard Test)

Pengujian lapangan dilakukan berdasarkan American Society for Testing and Material (ASTM) D 1758-06 dan dilaksanakan dari tanggal 27 Maret hingga 27 Juni 2011. Contoh uji yang digunakan berukuran (2 x 2 x 46) cm3 dan dilakukan ulangan sebanyak tiga kali selanjutnya dikeringkan dahulu di dalam oven pada suhu (103 ± 2) oC hingga beratnya konstan (B1). Selanjutnya contoh uji dikubur dengan peletakan di lapangan secara acak. Jarak kubur antar kolom


(19)

contoh uji adalah 30 cm dan antar garis sejauh 60 cm serta kedalaman contoh uji yang terkubur adalah ± 50% panjangnya (Gambar 4). Setelah tiga bulan contoh uji dicabut dari tanah dan dibersihkan, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu (103 ± 2) oC hingga beratnya konstan (B2). Masing-masing ulangan untuk kontrol sebanyak 3 kali kecuali untuk kayu pinus, pengulangan dilakukan sebanyak 20 kali, karena mengacu dari metode ASTM D 1758-06.

Gambar 4 Pengujian lapangan contoh uji di Arboretum Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Kehilangan berat contoh uji setelah tiga bulan penguburan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

( )

Keterangan:

B1 = Berat contoh uji kering tanur sebelum diumpankan (g) B2 = Berat contoh uji kering tanur setelah diumpankan (g)

Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran berat jenis contoh uji lapangan. Berat jenis diukur dengan menggunakan rumus:


(20)

Keterangan:

BJ = Berat jenis contoh uji

BKT = Berat kering tanur contoh uji (g) V = Volume contoh uji (cm3)

ρAir = Kerapatan air = 1 g/cm3

3.3.3 Identifikasi serangan rayap

Setelah dibongkar dan dibersihkan, contoh uji diamati apakah terdapat serangan rayap atau tidak. Kerusakan oleh rayap diukur dari tingkat kedalaman rayap membuat lubang pada contoh uji terhadap tebal atau lebar dari contoh uji yang dinyatakan dalam persen diuraikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penilaian kerusakan oleh rayap pada pengujian lapangan

Nilai Kondisi serangan

10 Tidak ada serangan

9 Serangan 3 % dari cross section

8 Serangan 3-10 % dari cross section

7 Serangan 10-30 % dari cross section

6 Serangan 30-50 % dari cross section

4 Serangan 50-75 % dari cross section

0 Serangan > 75 % dari cross section  Kerusakan oleh rayap :

Keterangan :

B = kedalaman lubang kerusakan (cm) A = tebal atau lebar dari contoh uji (cm)

Selain itu, dilakukan juga identifikasi terhadap jenis rayap yang menyerang contoh uji tersebut. Identifikasi jenis rayap mengacu pada Tho (1992).


(21)

3.4 Analisis Data

Pengolahan data penelitian ini menggunakan Microsoft Excel dan SPSS 16.0 for Windows Evaluation Version. Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian ini adalah faktorial RAL (Rancangan Acak Lengkap). Analisis data kehilangan berat dua faktor, yaitu faktor A (jenis kayu) dan faktor B (tipe balok laminasi) dengan masing-masing 3 kali ulangan. Model rancangan percobaan statistik yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan :

Yijk = Nilai pengamatan pada jenis kayu ke-i, tipe balok laminasi ke-j dan

ulangan ke- k

µ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama jenis kayu pada taraf ke-i (pinus, akasia, jabon, manii,

dan sengon)

βj = Pengaruh utama tipe balok laminasi pada taraf ke-j (tipe balok laminasi

sejenis dan campuran)

(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara jenis kayu ke-i dan tipe balok laminasi ke-j

εijk = Pengaruh acak pada perlakuan jenis ke-i, tipe balok laminasi ke-j dan

ulangan ke-k

Perlakuan yang dinyatakan berpengaruh terhadap respon dalam analisis sidik ragam, kemudian diuji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test.


(22)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kehilangan Berat

Kehilangan berat dapat menjadi indikasi respon serangan rayap terhadap contoh uji yang diberi perlakuan dalam hal ini berupa balok laminasi. Perhitungan nilai kehilangan berat kayu solid dan balok laminasi dilakukan pada pengujian laboratorium dan pengujian lapangan.

4.1.1 Pengujian Laboratorium

Hasil pengujian skala laboratorium, memperlihatkan bahwa jenis kayu solid pinus memiliki nilai kehilangan berat sebesar 11,84%, sehingga apabila diklasifikasikan dalam nilai ketahanan terhadap serangan rayap menurut SNI 01. 7202-2006 termasuk kedalam nilai yang buruk. Selanjutnya untuk jenis kayu pinus, jenis balok laminasi pinus-sengon menghasilkan nilai kehilangan berat terbesar dengan nilai 15,25%, apabila diklasifikasikan dalam nilai ketahanan terhadap serangan rayap menurut SNI termasuk kedalam nilai yang buruk. Hal ini disebabkan, zat ekstraktif pada sengon (saponin) kurang memberikan dampak mencegah rayap untuk memakan contoh uji sehingga rayap lebih cenderung memakan sengon dibandingkan pinus, selain itu diduga kadar saponin pada sengon sudah berkurang sehingga menghasilkan kerusakan balok laminasi yang berdampak pada nilai kehilangan berat sedangkan untuk nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-jabon dengan nilai kehilangan berat sebesar 6,51% dan termasuk kedalam ketahanan yang tahan. Pada balok laminasi pinus-jabon memiliki nilai yang rendah dikarenakan terdapat pengaruh dari penggunaan perekat isosianat, sehingga rayap tidak dapat memakan balok laminasi dan semua nilai kehilangan berat pengujian diuraikan pada Gambar 5.

Kayu lain yang digunakan dalam penelitian adalah akasia. Kayu solid akasia menghasilkan nilai kehilangan berat 8,82%, sehingga jika diklasifikasikan kedalam nilai ketahanan serangan rayap menurut SNI termasuk dalam nilai yang sedang. Selanjutnya jenis balok laminasi kayu akasia, nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi akasia-manii dengan nilai 1,16%. Hal ini


(23)

disebabkan, rayap menyerang bagian garis rekat antar lamina sehingga menghasilkan nilai kehilangan berat yang rendah. Pada keadaan yang luar biasa rayap juga bersifat kanibal di dalam koloninya, tetapi bukan predator (Nandika et al. 2003). Selain itu dalam proses makan, rayap kasta pekerja memberikan makan ke kasta lain dengan cara melalui mulut atau melaui anus (Nandika et al. 2003) sehingga kandungan perekat membuat rayap keracunan.

Sedangkan nilai kehilangan berat terbesar dihasilkan oleh balok laminasi akasia-jabon. Nilai kehilangan berat balok laminasi akasia-jabon sebesar 13,72% dan jika diklasifikasikan dalam ketahanan terhadap serangan rayap menurut SNI termasuk kedalam nilai yang buruk. Hal ini disebabkan bagian yang diserang atau dimakan oleh rayap tanah berada pada bagian kayu jabon dari jenis balok laminasi akasia-jabon.

Selain kayu solid pinus dan akasia, kayu solid jabon juga digunakan dalam penelitian ini. Kayu solid jabon menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 21,90%, dan jika diklasifikasikan terhadap serangan rayap menurut SNI termasuk kedalam ketahanan yang sangat buruk dan untuk balok laminasi jabon-jabon menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 11,96% dan termasuk kedalam ketahanan yang buruk. Dari hasil kehilangan berat antara kayu solid jabon dengan balok laminasi jabon-jabon terjadi penurunan nilai kehilangan berat. Hal ini disebabkan bentuk serangan yang ada pada balok laminasi jabon-jabon dan diduga akibat pengaruh perekat isosianat dalam menghambat rayap untuk memakan contoh uji.

Selanjutnya hasil dari pengujian kayu solid manii, kayu solid manii menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 14,77% dan jika diklasifikasikan kedalam ketahanan serangan rayap menurut SNI termasuk kedalam ketahanan yang buruk dan balok laminasi manii-manii sebesar 12,34% juga termasuk kedalam ketahanan yang buruk. Pada kayu solid dengan balok laminasi terdapat penurunan nilai kehilangan berat. Hal ini disebabkan, bentuk serangan rayap balok laminasi manii-manii terletak pada bagian garis rekat antar lamina, diduga pengaruh dari perekat isosianat yang menghambat rayap dalam menyerang contoh uji dan untuk kayu terakhir yang dijadikan contoh uji adalah kayu sengon. Kayu solid sengon menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 12,36% dan jika


(24)

K ehil a n ga n B e ra t( %)

diklasifikasikan ketahanan kayu terhadap rayap tanah termasuk kedalam ketahanan yang buruk dan balok laminasi sengon menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 16,52% (Gambar 5) juga termasuk kedalam ketahanan yang buruk.

30

25

20

15 11.84

10

5

0

10.22 6.51

13.29 15.25

8.82

11.97 13.72

1.16 13.50 21.90 11.96 14.77 12.34 12.36 16.52

18,94-31,96 (Sangat Buruk) 10,96-18,94 (Buruk)

7,50-10,96 (Sedang) 3,52- 7,50 (Tahan) < 3,52 (Sangat Tahan)

Kayu GPP GPJ GPM GPS Kayu GAA GAJ GAM GAS Kayu GJJ Kayu GMM Kayu GSS

Solid Solid Solid Solid Solid

Pinus Akasia Jabon Manii Sengon

Gambar 5 Kehilangan berat contoh uji pada pengujian secara laboratorium terhadap rayap tanah C. curvignathus, dimana P = Pinus, A = Akasia, J = Jabon, M = Manii, S = Sengon, dan G = Balok laminasi.

Secara keseluruhan kehilangan berat kayu solid terbesar dihasilkan oleh kayu jabon dengan nilai kehilangan berat 21,90%. Kayu solid jabon memperoleh kehilangan berat terbesar dan sesuai dengan strandar JIS K 1571-2004 kehilangan berat contoh uji kontrol harus lebih besar dari 15%. Hal ini disebabkan, jabon memiliki kadar selulosa sebesar 52,4%, lignin 25,4%, dan silika 0,1%. Selain itu kayu solid jabon termasuk kedalam kelas awet V (Martawijaya et al. 2005). Sedangkan untuk nilai kehilangan berat terendah dihasilkan kayu solid akasia 8,82%. Kayu solid akasia memperoleh nilai kehilangan berat yang tidak sesuai dengan standar JIS K 1571-2004. Karena pada kayu akasia memiliki nilai kehilangan berat dibawah nilai 15%. Hal ini diduga kayu akasia memiliki zat ekstratif yang dapat mempengaruhi proses makan rayap sehingga rayap menjadi enggan untuk memakan kayu akasia. Menurut Supriana (1983b) satu jenis kayu mungkin sangat peka terhadap satu jenis rayap dan menimbulkan respon yang relatif kuat dibandingkan dengan jenis kayu lainnya karena adanya karakteristik sifat anatomi, fisik dan kimia kayu. Semakin tinggi tingkat kekerasan kayu, maka aktivitas makan akan berkurang.


(25)

Menurut Pasaribu dan Roliadi (1990) diacu dalam Malik et al. (2000), akasia memiliki sifat kimia seperti kandungan selulosa sebesar 43,85%, lignin 24,89%, dan silika 0,99%. Menambahkan keawetan alami kayu sangat dipengaruhi pula oleh kandungan senyawa ekstraktif di dalamnya yang memiliki sifat sebagai racun terhadap serangga. Umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat (Wistara 2002).

Jenis balok laminasi yang memiliki nilai kehilangan terbesar dihasilkan balok laminasi sengon-sengon dengan nilai kehilangan sebesar 16,52% sedangkan nilai kehilangan terendah dihasilkan balok laminasi akasia-manii dengan nilai 1,16% yang diuraikan pada Gambar 5. Hal ini dipengaruhi oleh jenis campuran balok laminasi antara kayu akasia-manii yang memiliki zat ekstraktif yang baik dan pengaruh perekat isosianat, perekat isosianat membuat rayap tersebut mati dan dapat dikatakan balok laminasi akasia-manii memiliki tingkat keawetan yang terbaik dari semua balok laminasi yang diujikan.

Bagian yang pertama kali dimakan oleh rayap pada balok laminasi sengon- sengon adalah bagian yang tidak mengandung perekat, sehingga balok laminasi kayu sengon mengalami kehilangan berat terbesar. Sesuai dengan sifat dasarnya sengon merupakan kayu yang memiliki nilai keawetan yang rendah. Jika dilihat dari kehilangan berat, pengaruh dari balok laminasi merupakan tingkatan keawetan yang rendah.

Hasil analisis ragam terhadap nilai kehilangan berat untuk contoh uji pada pengujian secara laboratorium dengan faktor jenis kayu, jenis balok laminasi dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat. Hasil uji lanjut interaksi menunjukkan bahwa nilai kehilangan berat balok laminasi akasia-manii tidak berbeda nyata dengan balok laminasi pinus-jabon. Namun balok laminasi akasia-manii berbeda nyata terhadap jenis kayu dan balok laminasi lainnya. Nilai rata-rata kehilangan berat balok laminasi akasia-manii paling kecil yaitu 1,16%.

4.1.2 Pengujian Lapangan

Hasil pengujian lapangan, memperlihatkan bahwa nilai kehilangan berat untuk kayu solid pinus sebesar 21,83%. Sedangkan untuk balok laminasi pinus,


(26)

nilai kehilangan berat terbesar dihasilkan oleh balok laminasi pinus-sengon dengan nilai kehilangan berat sebesar 45,79% dan nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-pinus dengan nilai kehilangan berat sebesar 21,90% yang diuraikan pada Gambar 6. Nilai kehilangan berat antara pengujian laboratorium dengan pengujian lapangan memiliki nilai yang sama yaitu dihasilkan oleh balok laminasi pinus-sengon. Namun untuk nilai kehilangan berat terendah antara pengujian laboratorium dengan pengujian lapangan dihasilkan oleh jenis balok laminasi yang berbeda. Pada pengujian laboratorium nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-jabon sedangkan pada pengujian lapangan nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-pinus.

Kayu lain yang digunakan adalah kayu akasia, kayu solid akasia menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 31,41%, balok laminasi akasia-jabon menghasilkan nilai kehilangan berat terbesar dengan nilai sebesar 49,52%, dan nilai kehilangan balok laminasi akasia-manii menghasilkan nilai kehilangan berat terendah dengan nilai sebesar 27,98% yang diuraikan pada Gambar 6. Jika dibandingkan nilai kehilangan berat antara pengujian skala laboratorium dengan skala lapangan, nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh jenis balok laminasi yang sama yaitu balok laminasi akasia-manii. Sedangkan untuk nilai kehilangan berat terbesar dihasilkan oleh jenis balok laminasi yang sama yaitu balok laminasi akasia-jabon.

Selain jenis kayu pinus dan akasia, penelitian ini juga menggunakan jenis kayu jabon. Kayu solid jabon menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 85,65% dan balok laminasi jabon-jabon menghasilkan nilai kehilangan berat sebesar 64,11% yang diuraikan pada Gambar 6. Pada pengujian lapangan dan laboratorium memiliki nilai kehilangan yang sama, pada kehilangan berat laboratorium kayu solid jabon memiliki nilai kehilangan berat yang lebih besar dibandingkan jenis balok laminasi jabon-jabon. Hasil nilai kehilangan berat seperti ini juga dihasilkan kayu solid manii dan balok laminasi jabon dan kayu solid sengon beserta balok laminasi sengon-sengon.

Berdasarkan hasil nilai kehilangan berat, nilai pengujian lapangan menghasilkan nilai kehilangan berat yang lebih besar dibandingkan dengan


(27)

pengujian skala laboratorium, karena waktu pengumpanan yang dilakukan berbeda. Jika pada pengujian lapangan waktu pengumpanan yang dilakukan selama 3 bulan sedangkan untuk pengujian skala laboratorium memiliki waktu yang lebih pendek yaitu hanya 3 minggu, namun jika dilihat dari hasil kehilangan berat antara uji kubur dengan uji laboratorium kehilangan berat terbesar dihasilkan kayu yang sama yaitu solid jabon. Hal ini sesuai dengan sifat keawetan kayu jabon yang tergolong rendah.

Secara keseluruhan kayu solid yang memiliki nilai kehilangan berat terendah antara pengujian skala lapangan dengan pengujian skala laboratorium, memiliki hasil yang berbeda. Pada pengujian skala laboratorium nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh kayu solid akasia sedangkan pengujian skala lapangan dihasilkan oleh kayu solid sengon.

Pada pengujian kayu solid sengon memiliki nilai kehilangan berat terendah. Hal ini diduga, karena letak pengujian (kubur) kayu solid sengn berada jauh dari sarang rayap tanah. Pada habitat aslinya, rayap mempunyai sifat mencari makanan dengan jenis kayu yang memiliki kandungan selulosa yang besar dan tidak mengandung zat ekstraktif yang dapat mematikan rayap dan aktifitas makan rayap berhubungan dengan daya jelajah rayap untuk mencari makan. Menurut Tarumingkeng (1992) diacu dalam Husni et al. (1999) bahwa bila di sekitar koloni rayap banyak terdapat makanan maka rayap akan memilih tipe makanan yang paling sesuai yaitu yang cukup mengandung selulosa, mudah digigit dan dikunyah. Diduga kayu yang berada didekat rayap memiliki kandungan selulosa yang baik. Sehingga rayap tidak sulit untuk mencari makan. Jika sumber makanan yang diperlukan rayap berada pada jarak yang jauh, kemungkinan kayu sengon dapat hancur terserang oleh rayap tanah. Selain itu dalam pengujian lapangan, kayu dan balok laminasi yang dijadikan contoh uji memiliki nilai keawetan yang rendah dan cenderung untuk dikonsumsi oleh rayap. Selain itu sengon memiliki zat ekstraktif berupa saponin, diduga zat ekstraktif tersebut beracun terhadap rayap (Atmosuseno 1994 diacu dalam Rudi 1999) sehingga menghasilkan nilai kehilangan berat yang rendah.

Sedangkan untuk jenis balok laminasi, pada pengujian skala lapangan dengan skala laboratorium nilai kehilangan berat terendah memiliki hasil yang


(28)

K ehil a n ga n B e ra t (%) K ayu S o li d G P P G P J G P M G P S K ayu S o li d

GAA GAJ GAM GAS

K ayu S o li d G JJ K ayu S o li d G M M K ayu S o li d G S S

berbeda. Pada pengujian skala laboratorium nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi akasia-manii dan untuk pengujian skala lapangan nilai kehilangan berat terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-pinus.

Nilai kehilangan berat terbesar pada pengujian skala laboratorium dihasilkan oleh balok laminasi sengon-sengon sedangkan untuk pengujian skala lapangan balok laminasi jabon-jabon menghasilkan nilai kehilangan berat terbesar. Hal ini disebabkan sifat keawetan dari kayu jabon termasuk kedalam kualitas keawetan yang rendah. Nilai kehilangan berat secara pengujian lapangan diuraikan pada Gambar 6.

90 80 70 60 50 40

30 21.83 21.90

20 10 0 45.00 30.07 45.79 31.41 38.80 49.52 27.98 30.83 85.65

64.11 69.26

26.32

5.62 27.45

Pinus Akasia Jabon Manii Sengon

Gambar 6 Kehilangan berat contoh uji pada pengujian secara lapangan terhadap rayap tanah dimana P = Pinus, A = Akasia, J = Jabon, M = Manii, S = Sengon, dan G = Balok laminasi.

Hasil analisis ragam terhadap nilai kehilangan berat untuk contoh uji pada pengujian lapangan dengan faktor jenis kayu, jenis balok laminasi dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kehilangan beratnya. Hasil uji lanjut Duncan, interaksi menunjukkan bahwa nilai kehilangan berat balok laminasi akasia-manii berbeda nyata dengan balok laminasi jabon-jabon, kayu solid manii, kayu solid jabon, dan kayu solid sengon, selain itu balok laminasi akasia-manii tidak berbeda nyata dengan jenis kayu dan balok laminasi lainnya.

Pengujian terhadap kehilangan berat pada skala lapangan dihitung dari nilai kerusakan oleh serangan rayap. Pada pengujian lapangan, jenis kayu dan balok laminasi yang memiliki nilai kondisi serangan lebih besar dari 75% dari bagian cross section adalah jenis balok laminasi pinus-jabon, akasia-akasia, akasia-jabon, jabon-jabon, dan kayu jabon. Selanjutnya untuk contoh uji yang mendapat


(29)

B e ra t J eni s K ay u S o li d G PP GPJ GPM GPS K ay u S o li d

GAA GAJ GAM GAS

K ay u S o li d GJJ K ay u S o li d GMM K ay u S o li d GSS

serangan rendah dihasilkan oleh dua jenis kayu yaitu : kayu akasia dan sengon dengan nilai serangan 3-10% dari bagian cross section contoh uji dan 10-30% dari cross section contoh uji.

Pada pengujian lapangan dilakukan perhitungan nilai berat jenis contoh uji. Kayu solid pinus memiliki nilai berat jenis sebesar 0,55 dan untuk jenis balok laminasi pinus ialah sebagai berikut; balok laminasi pinus-manii memiliki berat jenis terbesar dengan nilai 0,53 dan balok laminasi pinus-sengon menghasilkan nilai berat jenis terendah dengan nilai 0,39 (Gambar 7). Jenis balok laminasi pinus-manii dan balok laminasi pinus-sengon menghasilkan nilai kehilangan yang berbeda. Hal ini disebabkan, balok laminasi berasal dari jenis kayu yang berbeda sehingga sifat anatomi kayunya pun berbeda. Jika sifat anatominya berbeda menghasilkan berat jenis yang berbeda juga.

Pada kayu solid akasia memiliki nilai berat jenis sebesar 0,61 dan untuk jenis balok laminasi akasia memiliki nilai berat jenis sebagai berikut; balok laminasi akasia-akasia menghasilkan nilai berat jenis terbesar 0,55 dan balok laminasi akasia-sengon menghasilkan nilai berat jenis terendah 0,40. Selanjutnya, kayu jabon menghasilkan nilai berat jenis 0,42 dan balok laminasi jabon-jabon menghasilkan nilai berat jenis 0,36.

Untuk kayu solid manii memiliki nilai berat jenis 0,43 dan untuk balok laminasi manii-manii menghasilkan nilai berat jenis 0,52. Sedangkan untuk kayu sengon berat jenisnya adalah 0,33 dan balok laminasi sengon-sengon memiliki nilai berat jenis sebesar 0,27. Berat jenis secara lengkap diuraikan pada Gambar 7.

1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

0.55 0.52 0.49 0.53

0.39 0.61

0.55 0.44

0.53

0.40 0.42 0.36 0.43

0.52 0.33

0.27

Pinus Akasia Jabon Manii Sengon

Gambar 7 Berat jenis contoh uji pada pengujian secara lapangan terhadap rayap tanah dimana P = Pinus, A = Akasia, J = Jabon, M = Manii, S = Sengon dan G = Balok laminasi.


(30)

Secara keseluruhan nilai berat jenis kayu solid lebih besar dari nilai berat balok laminasi sejenis. Hal ini dipengaruhi oleh sifat anatomi kayu dan kerapatan yang ada pada contoh uji. Contoh uji yang memiliki nilai berat jenis kayu solid lebih besar dari balok laminasi sejenis, adalah kayu solid pinus dengan balok laminasi pinus-pinus, kayu akasia dengan balok laminasi akasia-akasia, kayu jabon dengan balok laminasi jabon-jabon, dan kayu sengon dengan balok laminasi sengon-sengon.

Berat jenis tidak berpengaruh terhadap nilai kehilangan berat. Hal ini dibuktikan dengan berat jenis kayu pinus yang tergolong sedang memiliki nilai kehilangan yang cukup besar. Penelitian ini memperkuat simpulan Seng (1990) bahwa hubungan antara berat jenis dengan keawetan kurang berlaku umum.

4.2 Mortalitas Rayap Tanah

Perhitungan mortalitas rayap memiliki peranan yang sangat penting untuk mengetahui pengaruh perekat sebagai bahan pengawet pada jenis balok laminasi. Mortalitas pada kayu solid pinus menghasilkan nilai 65,78% dan nilai mortalitas jenis balok laminasi pinus yang terbesar dihasilkan oleh balok laminasi pinus- pinus dengan nilai 90,89% dan untuk nilai mortalitas terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-manii dengan nilai mortalitas sebesar 65,78% yang diuraikan pada Gambar 8. Balok laminasi pinus-manii memiliki nilai mortalitas yang sama dengan kayu solid akan tetapi hasil dari kehilangan berat yang dihasilkan berbeda. Balok laminasi pinus-manii memiliki nilai kehilangan berat yang lebih besar dari kayu solid pinus.

Pengujian mortalitas juga dilakukan pada kayu akasia dan jenis balok laminasinya. Kayu solid akasia menghasilkan nilai mortalitas sebesar 84,67%. Pada balok laminasi akasia-manii memiliki nilai mortalitas rayap yang besar yaitu 100% sedangkan untuk nilai mortalitas terendah dihasilkan oleh balok laminasi akasia-akasia 84,44% yang diuraikan pada Gambar 8. Pada balok laminasi akasia- manii, memiiki nilai yang berbanding terbalik antara mortalitas dengan kehilangan berat, sehingga nilai mortalitas yang besar akan menghasilkan nilai kehilangan berat yang kecil. Pada balok laminasi akasia-manii terdapat perekat. Diduga perekat isosianat bekerja dengan baik sehingga tidak disukai oleh rayap


(31)

dan juga dapat menyebabkan kematian pada rayap. Selain itu, di dalam akasia dan manii juga terdapat zat ekstraktif, dimana hal tersebut kemungkinan dapat berpengaruh terhadap tingkat kematian rayap atau mortalitas rayap.

Selanjutnya pengujian juga dilakukan pada kayu jabon dan balok laminasi jabon-jabon. Kayu solid jabon memiliki nilai mortalitas yang rendah dari balok laminasi jabon-jabon. Kayu solid sengon memiliki nilai mortalitas 76,67% dan balok laminasi sengon-sengon 100% yang diuraikan pada Gambar 8. Nilai mortalitas yang berbeda dihasilkan oleh kayu manii dan balok laminasi manii- manii. Nilai mortalitas kayu manii lebih besar dari nilai mortalitas balok laminasi manii-manii. Hal ini diduga, karena rayap pada pengujian tidak mampu menyesuaikan diri, sehingga menyebabkan kematian (Supriana 1983b). Selain itu faktor suhu, kebutuhan kadar air dan kelembaban dapat berpengaruh dalam mortalitas pada pengujian laboratorium Raffiuddin et al. (1991) diacu dalam Rudi (1999).

Secara keseluruhan kayu solid yang memiliki nilai mortalitas terbesar ialah kayu akasia. Hal ini disebabkan, karena pada solid akasia memiliki kandungan zat ekstraktif yang dapat menyebabkan kematian rayap. Selanjutnya nilai mortalitas terendah dihasilkan oleh kayu solid jabon. Jabon merupakan tanaman yang memiliki nilai keawetan terendah dan tidak mempunyai zat ekstraktif yang dapat menyebabkan rayap mati. Lesari dan Pari (1990) diacu dalam Yanti (2008) menambahkan kayu yang berkadar ekstraktif tinggi diperkirakan lebih tahan terhadap serangan organisme perusak kayu dibandingkan yang berkadar ekstraktif rendah. Tetapi faktor ketahanan kayu lebih bergantung kepada senyawa-senyawa bio-aktif yang terdapat pada zat ekstraktif tersebut. Selain faktor zat ekstraktif, ketahanan alami dipengaruhi oleh jumlah dan tipe lignin (Zabel dan Morrel 1992) diacu dalam Yanti (2008).

Pada contoh uji balok laminasi, nilai mortalitas terbesar dihasilkan balok laminasi akasia-manii dan balok laminasi sengon-sengon. Hal ini dikarenakan pada balok laminasi akasia-manii memiliki sifat anatomi dan fisis yang berbeda dengan yang lainnya, selain itu juga terdapat pengaruh dari perekat isosianat. Sementara itu pada balok laminasi sengon-sengon pada awalnya rayap hanya memakan bagian yang tidak ada perekatnya, namun selanjutnya rayap memakan


(32)

M o r ta lit a s (%)

bagian yang mengandung perekat isosianat, sehingga mortalitas rayap pada balok laminasi tipe sengon-sengon memiliki nilai terbesar. Mortalitas rayap pada jenis balok laminasi sengon-sengon berjalan dengan lambat namun pada akhir pengujian seluruh rayap mati.

Selanjutnya nilai mortalitas terendah dari contoh uji balok laminasi adalah balok laminasi tipe manii-manii. Hal ini dikarenakan, rayap pada contoh uji balok laminasi manii-manii tidak memakan bagian yang ada jenis perekatnya dan walapun memakan bagian yang mengandung perekat, itu hanya dalam jumlah yang sedikit. Selain itu pengaruh dari zat ekstraktif pada kayu manii tidak memiliki sifat zat beracun. Sehingga nilai mortalitas dari balok laminasi manii- manii menjadi rendah. Nilai mortalitas secara lengkap akan diuraikan pada Gambar 8. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 65.78 90.89 79.11 65.78 75.78

84.67 84.44

93.78 100.00

88.00 56.44 97.56 71.78 58.89 76.67 100.00

Kayu GPP GPJ GPM GPS Kayu GAA GAJ GAM GAS Kayu GJJ Kayu GMM Kayu GSS

Solid Solid Solid Solid Solid

Pinus Akasia Jabon Manii Sengon

Gambar 8 Mortalitas rayap tanah C. curvignathus, dimana P = Pinus, A = Akasia, J = Jabon, M = Manii, S = Sengon, dan G = Balok laminasi.

Hasil analisis ragam terhadap nilai mortalitas untuk contoh uji pada pengujian laboratorium dengan faktor jenis kayu berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap, namun jenis balok laminasi dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan, jenis kayu menunjukkan bahwa nilai mortalitas balok laminasi manii berbeda nyata dengan jenis balok laminasi sengon dan jenis balok laminasi akasia. Namun jenis kayu manii tidak berbeda nyata dengan jenis kayu pinus dan jabon.


(33)

4.3 Feeding Rate

Pada penelitian ini, pengujian feeding rate hanya dilakukan pada pengujian contoh uji laboratorium JIS K 1571-2004. Feeding rate dihasilkan dari nilai kehilangan berat, jumlah rayap yang hidup dan waktu pengujian kayu.

Feeding rate untuk jenis kayu solid pinus menghasilkan nilai 207,92 µg/ekor/hari, feeding rate yang terbesar dihasilkan oleh balok laminasi pinus- manii sebesar 201,74 µg/ekor/hari, dan feeding rate terendah dihasilkan oleh balok laminasi pinus-jabon sebesar 80,13 µ g/ekor/hari yang diuraikan pada Gambar 9. Feeding rate yang dihasilkan oleh balok laminasi pinus-jabon berbanding lurus dengan nilai kehilangan berat.

Pada kayu solid akasia feeding rate sebesar 137,52 µg/ekor/hari, feeding rate terbesar dihasilkan oleh balok laminasi akasia-jabon sebesar 226,30 µg/ekor/hari, dan feeding rate terendah dihasikan oleh balok laminasi akasia- manii sebesar 23,92 µg/ekor/hari yang diuraikan pada Gambar 9. Hal ini terjadi karena, pada balok laminasi akasia-jabon rayap memakan bagian kayu jabon sehingga menghasilkan feeding rate yang besar. Rayap tidak dapat memakan bagian yang terdapat garis rekat, untuk bagian yang terdapat pada garis rekat tidak dapat dimakan oleh rayap, namun pada balok laminasi akasia-manii bagian yang diserang atau dimakan oleh rayap terletak dekat dengan garis rekat balok laminasi sehingga menyebabkan rayap mati dan rayap mulai enggan untuk memakan balok laminasi tersebut sehingga menyebabkan sifat kanibal yang timbul pada rayap. Supriana (1983b) diacu dalam Rudi (1999) menambahkan bahwa dalam keadaan uji laboratorium rayap dihadapkan kepada suatu pilihan atau keadaan terpaksa. Dalam keadaan terpaksa tersebut, rayap memakan bahan yang diberikan.

Rayap yang tidak mampu untuk menyesuaikan diri akan mati. Rayap yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan yang disediakan akan melakukan orientasi makan. Orientasi semacam ini dapat berlangsung secara acak dan dapat pula berlangsung karena pengaruh tertentu, misalnya oleh sejenis bau yang berasal dari makanan yang diberikan. Selanjutnya rayap akan mencoba mencicipi makanan yang diberikan dengan jalan menggigit bagian permukaan makanan, bila bagian tersebut tidak cocok mereka akan beralih ke bagian lain sampai menemukan bagian yang sesuai dan memenuhi syarat sebagai makanan. Jika


(34)

makanan tersebut sesuai, rayap akan meneruskan proses memakannya, sebaliknya jika tidak memenuhi syarat sebagai makanan, rayap akan meninggalkan makan dan memilih berpuasa (Supriana 1983b) diacu dalam Rudi (1999).

Kayu solid jabon memiliki feeding rate sebesar 126,95 µ g/ekor/hari dan balok laminasi jabon-jabon menghasilkan feeding rate sebesar 189,44 µg/ekor/hari. Selanjutnya untuk kayu solid manii menghasilkan feeding rate sebesar 169,06 µg/ekor/hari dan balok laminasi manii-manii sebesar 179,90 µg/ekor/hari yang diuraikan pada Gambar 9. Pada jenis kayu jabon dan manii, feeding rate kayu solid lebih rendah daripada feeding rate balok laminasi akan tetapi antara nilai kehilangan berat kayu solid dan balok laminasi, kayu solid memiliki nilai yang lebih besar dari balok laminasi.

Kayu solid sengon memiliki feeding rate sebesar 82,99 µg/ekor/hari dan balok laminasi sengon-sengon sebesar 198,94 µg/ekor/hari yang diuraikan pada Gambar 9. Jika dilihat dari kehilangan berat, maka kehilangan berat memiliki sifat berbanding lurus dengan feeding rate.

Jika dilihat secara keseluruhan feeding rate terbesar dihasilkan oleh balok laminasi akasia-jabon sebesar 226,30 µg/ekor/hari. Feeding rate pada balok laminasi akasia-jabon memiliki nilai yang cukup besar, karena pada balok laminasi akasia-jabon bagian yang dimakan adalah pada bagian jabon sedangkan bagian akasia lebih sedikit yang dimakan. Feeding rate terendah dihasilkan oleh balok laminasi tipe akasia-manii sebesar 23,92 µg/ekor/hari . Hal ini disebabkan pada balok laminasi akasia-manii bagian yang rayap makan terletak dekat dengan garis rekat sehingga rayap mati. Selain itu, perbedaan sifat kayu dan ambang rasa rayap menimbulkan preferensi makan yang berbeda pada setiap jenis rayap pada berbagai jenis kayu. Oleh karena itu, sifat fisik, dan kimia berpengaruh terhadap tingkat kerusakan kayu oleh rayap (Supriana 1983a).

Pada kayu solid, feeding rate terbesar dihasilkan oleh jenis kayu pinus dengan nilai 207,92 µg/ekor/hari , hal ini dikarenakan tingkat kematian dari pinus tergolong rendah. Selain itu, kayu pinus merupakan salah satu jenis kayu yang disukai oleh rayap. Menurut Suhesti et al. 2002 diacu dalam Nandika et al. 2003 bahwa pinus merupakan kayu yang disukai oleh rayap. Menambahkan kayu pinus memiliki kandungan zat ekstraktif yang tinggi namun zat ekstraktif tersebut tidak


(35)

Fe e di n g r at e g /e k o r/ h a ri)

beracun terhadap rayap, sehingga rayap memiliki sifat preferensi makan yang tinggi terhadap kayu pinus (Atmosuseno 1994 diacu dalam Rudi 1999). Sedangkan nilai feeding rate terendah dihasilkan oleh kayu solid sengon dengan nilai 82,99 µg/ekor/hari. Hal ini diduga, karena sengon memiliki zat ekstraktif dengan bau yang khas dan diduga bersifat racun (saponin) terhadap rayap (Atmosuseno 1994 diacu dalam Rudi 1999). Sehingga rayap cenderung untuk tidak memakan bagian kayu solid sengon dan cenderung untuk berpuasa sehingga dapat menyebabkan kematian pada rayap. Feeding rate akan diuraikan secara lengkap pada Gambar 9.

250 200 150 207.92 194.51 201.74 138.34 137.52 222.68 226.30 188.43 126.95 189.44 169.06179.90 198.94

100 80.13 82.99

50

23.92

0

Kayu GPP GPJ GPM GPS Kayu GAA GAJ GAM GAS Kayu GJJ Kayu GMM Kayu GSS

Solid Solid Solid Solid Solid

Pinus Akasia Jabon Manii Sengon

Gambar 9 Feeding rate C. curvignathus (µg/ekor/hari) ,dimana P = Pinus, A = Akasia, J = Jabon, M = Manii, S = Sengon, dan G = Balok laminasi.

Hasil analisis ragam terhadap feeding rate untuk contoh uji pada pengujian laboratorium dengan faktor jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap feeding rate, namun jenis balok laminasi dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata. Hasil uji lanjut interaksi menunjukkan bahwa feeding rate balok laminasi akasia-manii tidak berbeda nyata dengan balok laminasi pinus-jabon dan kayu solid sengon. Balok laminasi akasia-manii berbeda nyata dengan jenis kayu dan balok laminasi lainnya.

4.4 Identifikasi Serangan Rayap

Berdasarkan hasil identifikasi pada pengujian lapangan dari contoh balok laminasi dan kayu solid yang diuji lapangan, diketahui bahwa jenis rayap yang menyerang adalah Schedorhinotermes javanicus Kemner (Gambar 10).


(36)

Gambar 10 Rayap tanah Schedorhinotermes javanicus Kemner yang menyerang contoh uji dilapangan.

S. javanicus termasuk rayap tanah yang paling luas penyebarannya dan dapat mencapai ketinggian hingga 1000 m dari permukaan laut. Tarumingkeng (1971), S. javanicus termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae, sub famili Rhinotermitinae dan genus Schedorhinotermes. Tho (1992) menyatakan bahwa jenis rayap dari genus Schedorhinotermes masih sulit dibedakan secara detail dengan rayap tanah lainnya, juga terdapat beberapa jenis yang secara morfologi mirip tetapi telah dipisahkan berdasarkan perbedaan yang sangat kecil diacu dalam Ginting (2008).

Rayap ini memiliki dua tipe kasta prajurit, yaitu kasta prajurit yang berukuran besar (major) dan kasta prajurit berukuran kecil (minor). Karakterisktik morfologi kasta prajurit yang berukuran besar adalah sebagai berikut : kepala berwarna kuning muda, panjang kepala dengan mendibel 1.47-1.57 mm. Lebar maksimum kepala 1.37-1.47 mm, dan jumlah segmen antena sebanyak 16 segmen. Panjang labrum 0.40-0.45 mm dan lebarnya 0.16-1.17 mm. Postmentum berukuran panjang 0.47-0.56 mm. Sedangkan kasta prajurit kecil mempunyai kepala beserta mendibel 1.09-1.21 mm, lebar kepala 1.61-1.66 mm dan jumlah segmen antena 15 segmen (Nandika et al. 2003).

Menurut Krisna & Weesner (1970) diacu dalam Rismayadi, (1999) rayap S.javanicus dijumpai hampir di semua daerah pulau jawa terutama di daerah dengan ketinggian di bawah 1000 m dari permukaan laut. Haris (1971) menyatakan bahwa rayap tersebut menyerang tungak-tungak kayu di hutan, log yang sudah busuk dan juga merusak kayu konstruksi.

4.5 Kondisi Serangan Rayap Tanah pada Pengujian Lapangan

Aktivitas jelajah merupakan bagian dari perilaku rayap untuk mencari sumber makanannya. Pada ruang-ruang yang merupakan aktivitas jelajah rayap ini


(37)

ditandai dengan pembentukan liang-liang kembara rayap yang melindungi aktivitasnya dari cahaya langsung (Nandika et al. 2003). Pada pengujian lapangan (kubur) mulai terlihat adanya kegiatan rayap tanah dalam mencari makan dan memakan pada satu minggu setelah penguburan menapakkan setelah penguburan kayu tepatnya tanggal 3 April 2011 dan yang pertama kali diserang adalah kayu solid jabon (J1) , setelah itu rayap tanah menyerang kayu solid jabon (J3) yang diuraikan pada Lampiran 1. Pada kedua jenis kayu solid jabon, kayu jatuh ke tanah setelah satu minggu pengujian, hal ini diduga akibat bagian kayu yang berada di dalam tanah sudah habis dimakan oleh rayap sehingga kayu pada bagian atas permukaan tanah jatuh.

Tanggal 12 April 2011 rayap tanah menyerang dua contoh uji lapangan (kubur) yaitu balok laminasi pinus-sengon (PS1) dan kayu solid jabon (J2). Rayap menyerang balok laminasi pinus sengon dengan menunjukkan tunel-tunel tanah. Begitu juga dengan kayu solid jabon (J2) mendapat serangan yang sama berupa tunel tanah. Selanjutnya pada tanggal 24 April kayu solid manii (M3) diserang rayap tanah, yang ditandai dengan posisi kayu yang sudah jatuh ke tanah.

Tanggal 2 Mei 2011 balok laminasi jabon-jabon (JJ2) diserang oleh rayap dan pada tanggal 14 Mei 2011 rayap kembali contoh uji pengujian lapangan yaitu balok laminasi akasia-sengon (AS1) dan balok laminasi sengon-sengon (SS2) yang diuraikan pada Lampiran 1, hal ini ditunjukkan dengan adanya tunel rayap pada balok laminasi tersebut.

Aktivitas jelajah rayap dalam mencari sumber makanan di lapangan terjadi secara acak. Rayap pekerja akan menyebar dari pusat sarang sampai menemukan sumber makanan yang sesuai dan kembali ke pusat sarang. Menurut Nandika et al. (2003), proses penemuan sumber makanan pada beberapa jenis serangga phytophagus terjadi melalui proses visual yaitu pengenalan bentuk, ukuran dan warna serta akibat adanya rangsangan kimiawi (attractant compound) yang terkandung pada sumber makanan sehingga serangga tersebut mengubah orientasi geraknya menuju sumber makanan, sehingga pada rayap proses penemuan sumber makanan tidak melalui proses visual mengingat rayap memiliki mata yang vestigial (tidak berkembang). Oleh karena itu, rayap akan berjelajah secara acak. rayap pekerja menyebar dari pusat sarang sampai menemukan sumber makanan


(38)

yang sesuai dan kembali ke pusat sarang sambil meletakkan feromon penanda jejak (trail laying pheromones) sehingga rayap pekerja lain dapat menuju sumber makanan baru yang ditemukan. Selama tidak ada gangguan atau sumber makanan lain yang lebih disukai, rayap akan tetap menggunakan sumber makanan tersebut hingga hampir habis.

Proses menemukan makanan dijelaskan oleh Supriana (1983a) diacu dalam Rismayadi (1999) sebagai berikut; pada tahap awal komponen kimia kayu akan merangsang syaraf perasa olfaktori rayap dan tahap berikutnya syaraf perasa gustatori rayap akan mulai bekerja pada saat rayap mulai makan. Jika sumber makanan tersebut cocok maka rayap akan meneruskan proses makannya.

Setelah pembongkaran contoh uji kubur, kayu dan balok laminasi diketahui mendapat serangan dari rayap tanah Schedorhinotermes javanicus Kemner dan semua contoh uji mendapat serangan pada bagian yang terkubur di dalam tanah. Besar kerusakan dari balok laminasi contoh uji kubur sangat berbeda-beda, kerusakan dari balok laminasi tersebut berbeda karena faktor jenis kayu yang ada pada balok laminasi. Namun pada solid kayu sengon tidak mengalami kerusakan yang besar. Hal ini mungkin saja terjadi karena jarak penanaman kayu sengon jauh dari sarang rayap, sedangkan di dekat sarang sendiri memiliki kayu atau balok laminasi yang memiliki kandungan selulosa yang banyak sehingga rayap tidak sampai menyerang kayu sengon yang ada.

4.6. Bentuk Serangan Rayap

Bentuk serangan rayap tanah C. curvignathus memiliki letak lubang sarang yang sangat beragam. Pada pengujian skala laboratorium kayu solid pinus, kayu sengon, kayu jabon, kayu manii dan kayu akasia memiliki serangan yang menyebar pada semua bagian kayu seperti pada bagian tepi kayu dan tengah kayu. Berikut ini merupakan bentuk serangan rayap tanah pada pengujian skala laboratoium dapat dilihat pada Gambar 11.


(39)

Gambar 11 Bentuk serangan rayap tanah C. curvignathus pada kayu jabon.

Kayu solid jabon merupakan kayu yang mendapat serangan terbesar dari rayap tanah C. curvignathus, hal ini dapat dilihat dari jenis serangan yang terdapat pada kayu jabon.

Menurut Krisna et al. (1971) diacu dalam Rismayadi (1999) rayap akan cenderung memilih makanan yang mengandung banyak selulosa, mudah digigit dan dihancurkan. Sedangkan pada contoh balok laminasi bentuk serangan yang terjadi cenderung tidak mendekati garis rekat namun pada balok laminasi yang bentuk serangan mendekati garis rekat balok laminasi menyebabkan tingkat mortalitas yang cukup tinggi pada rayap tanah. Contoh bentuk serangan rayap yang letaknya pada garis rekat terjadi pada balok laminasi sengon-sengon menghasilkan nilai mortalitas 100% dan balok laminasi jabon-jabon menghasilkan nilai mortalitas 97,56%. Bentuk serangan yang diterima oleh balok laminasi sengon-sengon dan balok laminasi jabon-jabon dapat dilihat pada Gambar 12.

A B

Gambar 12 Bentuk serangan (A) balok laminasi sengon-sengon & (B) balok laminasi jabon-jabon.

Selanjutnya bentuk serangan rayap yang letaknya jauh dari dengan garis rekat menghasilkan nilai mortalitas yang rendah seperti pada balok laminasi pinus-manii 65,78% dan pada balok laminasi manii-manii 58,89%. Serangan


(1)

Lampiran 5 Uji lanjut interaksi dengan jenis balok laminasi terhadap kehilangan berat pengujian skala laboratorium

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kehilangan_Berat

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 910.766a 15 60.718 4.382 .000

Intercept 7214.129 1 7214.129 520.698 .000

perlakuan 910.766 15 60.718 4.382 .000

Error 443.351 32 13.855

Total 8568.247 48

Corrected Total 1354.117 47 a. R Squared = ,673 (Adjusted R Squared = ,519) Kesimpulan

 Faktor perlakuan antara jenis kayu dengan jenis balok laminasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat karena p < 0,05.

Post Hoc Tests Interaksi_Jenis_Kayu_Jenis_Balok laminasi Homogeneous Subsets

Duncan

Kehilangan_Berat

perlakuan N

Subset

1 2 3 4 5

Akasia-Manii 3 1.1654

Pinus-Jabon 3 6.5132 6.5132

Kayu Solid Akasia 3 8.8229 8.8229

Pinus-Pinus 3 10.2168 10.2168 10.2168 Kayu Solid Pinus 3 11.8396 11.8396 11.8396 Jabon-Jabon 3 11.9555 11.9555 11.9555 Akasia-Akasia 3 11.9718 11.9718 11.9718 Manii-Manii 3 12.3449 12.3449 12.3449 Kayu Solid Sengon 3 12.3638 12.3638 12.3638 Pinus-Manii 3 13.2900 13.2900 13.2900 Akaia-Sengon 3 13.5048 13.5048 13.5048 Akasia-Jabon 3 13.7227 13.7227 13.7227 Kayu Solid Manii 3 14.7661 14.7661 Pinus-Sengon 3 15.2508 15.2508

Sengon-Sengon 3 16.5195 16.5195 Kayu Solid Jabon 3 21.9034 Sig. .088 .052 .083 .089 .086

Kesimpulan :

 Berdasarkan hasil uji Duncan, balok laminasi akasia-manii tidak berpengaruh nyata terhadap balok laminasi pinus-jabon. Namun berpengaruh nyata terhadap jenis yang lain.


(2)

Lampiran 6 Analisis keragaman mortalitas rayap pengujian skala laboratoium

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Mortalitas_rayap

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 8305.182a 15 553.679 1.964 .053

Intercept 228377.737 1 228377.737 810.276 .000

Jenis_balok laminasi 1933.489 4 483.372 1.715 .171

Jenis_kayu 3025.790 4 756.447 2.684 .049

Jenis_balok laminasi *

Jenis_kayu 3198.875 7 456.982 1.621 .165

Error 9019.257 32 281.852

Total 325271.292 48

Corrected Total 17324.439 47 a. R Squared = ,479 (Adjusted R Squared = ,235)

Kesimpulan :

 Faktor jenis balok laminasi dan jenis kayu berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap karena p < 0,05.

 Faktor interaksi antara jenis balok laminasi dengan jenis kayu tidak berpengaruh nyata karena p > 0,05.

Post Hoc Tests Jenis_kayu Homogeneous Subsets

Duncan

Mortalitas_rayap

Jenis_kayu N

Subset

1 2

manii 6 65.3333

Pinus 15 75.4666 75.4666

Jabon 6 77.0000 77.0000

sengon 6 88.3333

Akasia 15 88.5777

Sig. .202 .166

Kesimpulan :

 Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, mortalitas jenis kayu manii berpengaruhnya terhadap jenis kayu sengon dan akasia.


(3)

Lampiran 7 Analisis keragaman feeding rate balok laminasi pengujian skala laboratorium

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Feeding_Rate

Source

Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 155171.673a 15 10344.778 5.445 .000

Intercept 810336.335 1 810336.335 426.555 .000

Jenis_kayu 11368.129 4 2842.032 1.496 .227

Jenis_balok laminasi 47027.900 4 11756.975 6.189 .001 Jenis_kayu * Jenis_balok

laminasi 104357.438 7 14908.205 7.848 .000

Error 60791.146 32 1899.723

Total 1447650.273 48

Corrected Total 215962.819 47 a. R Squared = .719 (Adjusted R Squared = .587)

Kesimpulan :

 Faktor jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap feeding rate karena p > 0,05.

 Faktor interaksi antara jenis kayu dan jenis balok laminasi memiliki hubungan yang nyata karena p < 0,05.

Post Hoc Tests Jenis_Balok laminasi Homogeneous Subsets

Feeding_Rate

Duncan

Jenis_balok

laminasi N

Subset

1 2 3

Manii 6 1.0994E2

Kayu Solid 15 1.4489E2 1.4489E2

Jabon 6 1.5321E2 1.5321E2 1.5321E2

Sengon 6 1.6339E2 1.6339E2

Sejenis 15 1.9710E2

Sig. .070 .434 .066

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 1899.723. Kesimpulan :

 Berdasarkan pengujian lanjut uji Duncan feeding rate jenis balok laminasi manii berpengaruh nyata pada jenis balok laminasi sengon


(4)

Lampiran 8 Analisis keragaman kehilangan berat pengujian skala lapangan

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Kehilangan_Berat

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 22342.390a 15 1489.493 10.580 .000

Intercept 64413.086 1 64413.086 457.529 .000

Jenis_kayu 13076.406 4 3269.101 23.221 .000

Jenis_balok laminasi 2064.998 4 516.249 3.667 .011

Jenis_kayu * Jenis_balok

laminasi 5096.668 7 728.095 5.172 .000

Error 6898.452 49 140.785

Total 106139.498 65

Corrected Total 29240.842 64 a. R Squared = .764 (Adjusted R Squared = .692)

Kesimpulan :

 Faktor jenis kayu berpengaruh nyata terhadap nilai kehilangan berat karena p < 0,05.

 Faktor jenis balok laminasi berpengaruh nyata terhadap nilai kehilangan berat karena p < 0,05.

 Faktor interaksi antara jenis kayu dan jenis balok laminasi berpengaruh nyata terhadap nilai kehilangan berat karena p < 0,05.


(5)

Post Hoc Tests Interaksi_Jenis_Kayu_Jenis_Balok laminasi Homogeneous Subsets

Kehilangan_Berat

Duncan

Perlakuan N

Subset

1 2 3 4 5 6 7

Kayu Solid Sengon 3 5.6243

Kayu Solid Pinus 20 21.8294 21.8294 Pinus-Pinus 3 21.9047 21.9047

Manii-Manii 3 26.3187 26.3187

Sengon-Sengon 3 27.4510 27.4510 27.4510 Akasia-Manii 3 27.9830 27.9830 27.9830 Pinus-Manii 3 30.0697 30.0697 30.0697 Akaia-Sengon 3 30.8257 30.8257 30.8257 Kayu Solid Akasia 3 31.4127 31.4127 31.4127 Akasia-Akasia 3 38.7963 38.7963 38.7963

Pinus-Jabon 3 44.9953 44.9953 44.9953 Pinus-Sengon 3 45.7850 45.7850 45.7850

Akasia-Jabon 3 49.5177 49.5177 49.5177

Jabon-Jabon 3 64.1087 64.1087

Kayu Solid Manii 3 69.2637 69.2637

Kayu Solid Jabon 3 85.6520

Sig. .109 .133 .085 .050 .069 .052 .088

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 140,785.

Kesimpulan :

 Berdasarkan pengujian uji lanjut Duncan, kayu solid sengon berpengaruh tidak nyata terhadap jenis kayu solid pinus dan balok laminasi pinus-pinus. Tetapi berpengaruh nyata terhadap jenis kayu dan balok laminasi yang lainnya.


(6)

iii

RINGKASAN

Hafidz Herbowo. E24070002. Keawetan Balok Laminasi dari Kayu Rakyat

Terhadap Serangan Rayap Tanah. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Muh. Yusram Massijaya, MS dan Arinana, S.Hut., M.Si

Pemanfaatan kayu rakyat merupakan salah satu metode untuk memenuhi kebutuhan kayu. Hal ini disebabkan kebutuhan akan kayu selalu meningkat setiap tahunnya sedangkan persediaan kayu di hutan alam semakin sedikit. Kayu rakyat memiliki sifat kekuatan dan keawetan yang rendah, sehingga untuk meningkatkan kekuatannya dapat dilakukan dengan pembuatan balok laminasi. Perekat yang digunakan dalam pembuatan balok laminasi diduga dapat berfungsi untuk meningkatkan kualitas keawetan balok laminasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perekat isosianat pada balok laminasi terhadap serangan rayap tanah pada skala laboratorium dan lapangan.

Penelitian ini menggunakan kayu pinus, akasia, jabon, manii, dan sengon, sedangkan perekat yang digunakan adalah perekat isosianat. Jenis balok laminasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah balok laminasi kombinasi pinus, balok laminasi kombinasi akasia, dan balok laminasi sejenis. Pengujian keawetan balok laminasi dalam skala laboratorium mengacu pada standar JIS K 1571-2004 dimana rayap tanah yang digunakan adalah Coptotermes curvignathus sedangkan pengujian lapangan mengacu pada standar ASTM D 1758-2006. Respon pengujian skala laboratorium ialah nilai kehilangan berat, mortalitas & feeding

rate sedangkan untuk pengujian skala lapangan adalah nilai kehilangan berat,

berat jenis, dan identifikasi serangan rayap tanah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kehilangan berat untuk pengujian skala laboratorium balok laminasi akasia-manii memiliki nilai kehilangan berat terendah (1,16%) dan termasuk ke dalam ketahanan sangat tahan terhadap serangan rayap tanah sedangkan untuk balok laminasi sengon-sengon memiliki nilai kehilangan berat yang terbesar (16,52%) dan termasuk ke dalam ketahanan buruk terhadap serangan rayap tanah. Nilai kehilangan berat pengujian lapangan balok laminasi pinus-pinus memiliki nilai kehilangan berat terendah dengan nilai 21,90% dan balok laminasi jabon-jabon memiliki nilai kehilangan berat terbesar dengan nilai 64,11%. Nilai mortalitas balok laminasi akasia-manii dan balok laminasi sengon-sengon memiliki nilai mortalitas terbesar dengan nilai 100% dan balok laminasi manii-manii memiliki nilai mortalitas terendah dengan nilai 58,89%. Feeding rate terendah dihasilkan oleh balok laminasi akasia-manii dengan nilai 23,92 µg/ekor/hari dan feeding rate terbesar dihasilkan oleh balok laminasi akasia-jabon dengan nilai 226,30 µg/ekor/hari. Nilai berat jenis tidak mempengaruhi nilai kehilangan berat dan hasil identifikasi terhadap serangan rayap tanah pada pengujian lapangan ditemukan rayap yang menyerang contoh uji pada saat pembongkaran ialah Schedorhinotermes javanicus Kemner. Berdasarkan pengujian skala laboratorium, perekat isosianat dapat meningkatkan tingkat keawetan balok laminasi sedangkan untuk pengujian skala lapangan kurang memberikan pengaruh terhadap tingkat keawetan balok laminasi.

Kata Kunci : balok laminasi, kayu rakyat, Coptotermes curvignathus,