Ketahanan Kayu yang Diawetkan dengan Pengasapan dari Serangan Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi sumber daya alam hutan saat ini sangat memprihatinkan yang disebabkan oleh deforestasi maupun degradasi hutan yang semakin marak dari waktu ke waktu. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan kayu terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai konsekuensi dari suatu pembangunan dalam negara yang sedang berkembang seperti di Indosesia. Kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang semakin meningkat saat ini menimbulkan kekhawatiran karena untuk mencukupi kebutuhan tersebut, akan memaksa masyarakat untuk memenuhinya dari hutan alam secara ilegal.
Salah satu cara untuk mengurangi konsumsi kayu adalah dengan mengggunaan kayu secara efisien. Pengawetan kayu merupakan salah satu cara efektif yang dapat menghemat penggunaan kayu sehingga kayu dapat digunakan dengan efisien. Melalui pengawetan kayu, jenis kayu yang kurang awet dapat digunakan dalam waktu relatif lama.
Berdasarkan penelitian Hadi (2008), pemberian asap dari pengarangan kayu akasia selama empat jam terhadap kayu mindi dan sugi dapat meningkatkan tingkat ketahanan kayu yang ditandai dengan rendahnya tingkat serangan rayap, rendahnya pengurangan berat, dan meningkatnya kelas keawetan dibandingkan kontrol. Kayu mindi yang memiliki kelas awet IV-V meningkat kelas keawetannya menjadi kelas awet III. Oleh karena itu, melalui penelitian ini dilakukan pengasapan dengan jangka waktu relatif lebih lama dari penelitian sebelumnya yaitu tiga minggu pada tiga jenis kayu rakyat yang berbeda.
Supriana (1999) menyatakan bahwa metode pengasapan merupakan metode tradisional yang sudah lama digunakan di Indonesia untuk mengawetkan kayu. Kayu diletakan di atas asap kayu dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga kayu akan lebih kering dan lebih tahan terhadap serangan biodeteorasi. Menurut Stolyhwo dan Skorski (2005), asap kayu mengandung polycyclic
(2)
aromatic hydrocarbons dalam jumlah yang banyak yang komposisinya sebagian besar terdiri dari phenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol, eter, hidrokarbon dan berbagai senyawa heterocyclic.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengasapan dari proses pengarangan limbah kayu akasia selama tiga minggu terhadap ketahanan kayu pulai, sengon, dan mindi dari serangan rayap tanah dan rayap kayu kering.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan informasi keawetan kayu dari kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan selama tiga minggu.
(3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengawetan Kayu
Pengawetan kayu didefinisikan sebagai seni dalam melindungi struktur kayu dari gangguan mikroorganisme perusak kayu. Secara umum, pengawetan kayu adalah suatu tindakan memasukkan bahan kimia beracun kedalam kayu dengan tujuan agar umur pemakaian (life service) kayu menjadi lebih lama. (Weiss 1916).
Tujuan utama dari pengawetan kayu adalah untuk memperpanjang umur pemakaian bahan dalam konstruksi yang permanen maupun semi permanen. Dengan demikian, pengawetan kayu akan mengurangi biaya akhir dari produk itu dan menghindari penggantian yang terlalu sering. Penghematan yang diperoleh dari pemakain kayu yang diawetkan dalam setiap bentuk konstruksi kayu didapat dari pengurangan biaya tahunan pemeliharaan bangunan (Hunt & Garratt 1986).
Pengawetan kayu dapat memanfaatkan jenis kayu yang kurang awet yang tadinya tidak atau kurang dimanfaatkan dengan baik. Hal ini berarti dapat memanfaatkan SDA secara efisien. Sedangkan dari sisi industri, pengawetan kayu memungkinkan bertambahnya kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran.
Secara ekonomi kayu yang diawetkan lebih menguntungkan daripada yang tidak diawetkan meskipun pada awalnya biaya yang dikeluarkan terasa lebih tinggi karena kondisi tertentu. Meskipun demikian, kayu yang diawetkan dapat bertahan lama sehingga tidak perlu ada penggantian kayu yang terlalu sering. Hal tersebut dapat mengurangi biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lainnya. Sehingga dapat dikatakan porsi biaya pengawetan relatif kecil dari seluruh investasi yang ditanamkan.
Supriana (1999) menyatakan bahwa metode pengasapan merupakan metode tradisional yang sudah lama digunakan di Indonesia untuk mengawetkan kayu. Kayu diletakan di atas asap kayu dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga kayu akan lebih kering dan lebih tahan terhadap serangan biodeteorasi.
(4)
2.2 Keawetan Kayu
Keawetan kayu merupakan daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagi faktor perusak kayu seperti faktor biologis yaitu jamur, serangga, dan cacing laut. Keawetan kayu ditentukan oleh genetik kayu tersebut seperti berat jenis, kandungan zat ekstraktif, dan umur pohon (Weiss 1961).
Menurut Martawijaya (1981), keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan. Keawetan kayu ditetapkan dengan mempergunakan data yang terdapat dalam etiket herbarium yang dicatat pada waktu pengumpulan jenis kayu yang bersangkutan di berbagai wilayah hutan. Data tersebut dicocokan secara kritis dengan pengalaman umum yang ada mengenai sifat kayu yang bersangkutan dan dicocokan juga dengan data yang terdapat dalam berbagai sumber pustaka. Berdasarkan semua data tersebut ditetapkan kelas awet jenis kayu yang bersangkutan dengan mempergunakan metode klasifikasi seperti dapat dilihat dalam Tabel 1:
Tabel 1. Penggolongan kelas keawetan kayu
Keadaan Kelas Awet
I II III IV V • Selalu berhubungan
dengan tanah lembab
8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat pendek
Sangat pendek • Hanya dipengaruhi
cuaca, tetapi dijaga supaya tidak direndam air dan tidak kekurangan udara 20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa tahun Sangat pendek
• Dibawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara Tidak terbatas tidak terbatas sangat lama Beberapa tahun Pendek
• Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan dicat dengan teratur
Tidak terbatas tidak terbatas tidak terbatas
20 tahun 20 tahun • Serangan rayap tanah Tidak Jarang Cepat Sangat
cepat
Sangat cepat • Serangan bubuk kayu
kering
Tidak Tidak hampir tidak
Tidak berarti
Sangat cepat
(5)
5
2.3. Bahan Pengawet Kayu
Suatu bahan pengawet kayu yang baik untuk penggunaan komersial umumnya harus beracun terhadap perusak-perusak kayu, permanen, mudah meresap, aman untuk digunakan, tidak merusak kayu dan logam, banyak tersedia, dan murah. Untuk mengawetkan kayu-kayu bangunan, barang-barang kerajinan, atau untuk tujuan-tujuan khusus lainnya bahan pengawet harus bersih, tidak berwarna, tidak berbau, dapat dicat, tidak mengembangkan kayu, tahan api, atau mempunyai kombinasi-kombinasi tertentu dari sifat-sifat tersebut. Keefektifan suatu bahan pengawet tergantung pada daya resapnya serta kemampuan menjadikan kayu itu beracun terhadap organisme-organisme perusak kayu (Hunt & Garratt 1986).
2.4 Proses Pengasapan
Proses pengasapan dihasilkan dari proses pengarangan kayu. Asap kayu mengandung polycyclic aromatic hydrocarbons dalam jumlah yang banyak yang komposisinya sebagian besar terdiri dari phenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol, eter, hidrokarbon dan berbagai senyawa heterocyclic (Stolyhwo & Skorski 2005). Asap mengandung gas dan partikel kecil yang dikenal sebagai PM 2.5. PM 2.5 merupakan kepanjangan dari “Particulate Matter less than 2.5 Microns in Diameter” (Knight 2009).
Apabila kayu dipanaskan di atas kira-kira 100oC maka tejadi penguraian komponen-komponen kayu. Uap air akan keluar bersama-sama dengan karbon dioksida dan sejumlah karbon monoksida. Kayu berangsur-angsur akan rusak dan mengalami piroslisis. Pirolisis adalah pemanasan tanpa adanya oksigen. Pada saat pirolisis, energi panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang komplek terurai sebagian besar menjadi karbon atau arang. Pirolisis untuk pembentukan arang terjadi pada suhu 150 - 300oC. Pembentukan arang tersebut disebut sebagai pirolisis primer. Pirolisis bertambah cepat dari 260 sampai 350oC. Pada suhu ini gas-gas yang dapat menyala keluar. Apabila dipanaskan dengan hadirnya oksigen (udara) gas-gas ini dapat terbakar, baik dari sumber pembakaran seperti suatu nyala atau akan terbakar sendiri apabila suhu menjadi cukup tinggi.
(6)
Arang dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi karbon monoksida, gas hidrogen dan gas-gas hidrokarbon. Peristiwa tersebut disebut sebagai pirolisis sekunder (Haygreen et al. 2003).
Arang yang dihasilkan dari proses pengasapan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Arang merupakan salah satu komoditi ekspor yang dapat memberikan sumbangan devisa negara (Dephut 2007). Di Jepang, arang digunakan sebagai kondisioner tanah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman (Ogawa 1994, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Para peneliti juga melaporkan bahwa penambahan arang ke tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, daya simpan, dan ketersediaan hara yang lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kapasitas tukar kation, luasan permukaan,
serta penambahan unsur hara secara langsung oleh arang (Glaser et. al. 2002,
diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Selain itu, arang juga dilaporkan mampu meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan kesuburan tanah (Kishimoto
et. al. 1985; Siregar 2002, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005).
Pengaruh aplikasi arang pada pertumbuhan tanaman telah dilaporkan dengan hasil yang positif. Chidumayo (1994) diacu dalam Iskandar dan Santoso (2005) melaporkan bahwa pada umumnya perkecambahan benih pada tanaman berkayu menjadi lebih baik (meningkat 30 %), tinggi pucuk 24 %, serta produksi biomasa meningkat 13 % setelah diberi arang pada tanah Alfisols dan Ultisols.
Pohon sugi (Cryptomeria japonica) yang ditanam pada tanah berliat lempung
setelah berumur 5 tahun meningkat tingginya sebesar 1,26 - 1,35 kali dan produksi biomasanya meningkat 2,31 - 2,36 kali setelah diberi arang sebanyak 0,5 Mg ha -1 (Kishimoto & Sugiura 1985, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005).
Ishii et. al. (1994) diacu dalam Iskandar & Santoso (2005) juga melaporkan
bahwa berat basah akar, pucuk dan keseluruhan bagian pohon mandarin pada umur 1 tahun mengalami peningkatan setelah diberi arang dengan konsentrasi 2 % (w/w).
Selain asap, proses pengarangan juga menghasilkan cuka kayu sebagai hasil sampingannya. Cuka kayu adalah cairan organik berwarna kuning sampai hitam, baunya menyengat, mengandung berbagai macam jenis komponen kimia yang dikelompokkan pada senyawaan asam, phenol, alkohol dan netral. (Dephut,
(7)
7
2007). Menurut Velmurugan et al. (2008), cuka kayu mengandung lebih dari 200 unsur termasuk phenolic, polyphenolic, organic acids, dan carcinogenic agents seperti woodcreosote, benzo[a]pyrene, benzo[a]anthracene, dan 3-methylcholanthrene (3-MCA).
Penggunaan cuka kayu sudah dilakukan dalam beberapa tujuan seperti untuk produk industri, peternakan, rumah tangga, dan pertanian. Cuka kayu juga dapat meningkatkan kualitas tanah, membunuh tikus, serta dapat mempercepat, mengatur, atau memperlambat pertumbuhan tanaman. Selain itu, cuka kayu dapat mempercepat pertumbuhan akar, tangkai, bunga, dan buah. Penelitian menunjukan bahwa setelah mengaplikasikan cuka kayu pada perkebunan buah, pohon buah menghasilkan buah yang terus meningkat (Pangnakorn 2008). Cuka kayu yang sudah dinetralisasi sehingga memilikai Ph 7 dapat dijadikan sebagai bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan (Velmurugan et al 2008). Namun pada pemakaian secara berlebih, cuka kayu justru dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Pangnakorn 2008).
2.5 Rayap
Rayap adalah serangga pemakan selulosa yang termasuk ke dalam ordo Isoptera, tubuhnya berukuran kecil sampai sedang, hidup dalam kelompok sosial dengan sistem kasta. Dalam setiap koloni rayap, umumnya terdapat tiga kasta, yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (Borror et al. 1992) Menurut Supriana (1994), kasta pekerja umumnya berjumlah paling banyak dalam koloni dan berfungsi sebagai pencari dan pemberi makan bagi seluruh anggota reproduktif (raja atau ratu) yang berfungsi untuk berkembang biak, dan kasta serdadu berfungsi untuk menjaga koloni dari serangan musuh, seperti semut. Makanan dari kasta pekerja disampaikan kepada kasta serdadu dan kasta reproduktif melalui anus atau mulut.
Rayap dikelompokkan ke dalam tujuh famili yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodoteritidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae, dan Termitidae. Enam keluarga pertama sebagai rayap tingkat rendah dan keluarga Termitidae sebagai rayap tingkat tinggi. Di dalam usus belakang rayap tingkat rendah terdapat protozoa yang berperan sebagai sejawat (simbion) dalam
(8)
proses penghancuran selulosa. Di dalam keluarga rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri (Supriana 1994).
Perilaku rayap dalam kegiatan makan di laboratorium menunjukkan bahwa dalam keadaan lingkungan tinggal yang terpaksa, rayap akan memakan bahan yang diberikan. Pada taraf awal rayap melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang disediakan. Pada tahap ini aktivitas rayap untuk makan masih rendah, rayap yang tidak mampu menyesuaikan diri akan mati. Rayap yang berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan akan melakukan orientasi makan. Jika makanan yang disediakan itu sesuai, rayap akan meneruskan makan, tetapi jika tidak sesuai rayap akan memilih berpuasa. Rayap yang lemah akan berangsur-angsur mati dan menjadi makanan bagi yang kuat (Supriana 1994). Rayap dalam hidupnya dihadapkan pada keadaan banyak pilihan makanan. Pada kondisi ini rayap akan memilih tipe makanan yang paling sesuai, bukan saja tipe makanan yang mengandung selulosa, tetapi juga tipe makanan yang paling mudah digigit dan dikunyah (Krisna & Weesner 1969)
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), di dalam hidupnya rayap mempunyai 4 sifat yang khas, yaitu:
1. Trophalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan melalui anus dan mulut.
2. Cryptobiotic, yaitu sifat menyembunyikan diri, menjauhkan diri dari cahaya dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap. 3. Cannibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan sesamanya yang telah
lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam kedaan kekurangan makanan. 4. Necrophagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya 2.5.1 Rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
Ada 2 famili rayap tanah di Indonesia, yaitu Rhinotermitidae dan Termtidae. Rayap tanah mudah menyerang kayu sehat atau kayu busuk yang ada di dalam atau di atas tanah lembab, juga dapat membentuk saluran-saluran yang terlindung pada pondasi-pondasi atau penghalang-penghalang lain yang tidak dapat ditembus serta dapat mendirikan sarang berbentuk seperti menara langsung dari tanah. Saluran-saluran dan menara-menara yang terbuat dari tanah yang halus dan kaya akan dicerna sebagian, kemudian direkatkan bersama dengan ekskresi
(9)
9
serangga, memungkinkan rayap tersebut menciptakan kondisi kelembaban dalam kayu yang cocok; jika tidak, kayu akan kering sehingga tahan terhadap serangan dari jenis rayap ini. Jika rayap ini bekerja dalam suatu bangunan yang jauh dari tanah atau sumber-sumber kelembaban lainnya, rayap tanah ternyata juga dapat membentuk tabung-tabung yang menggantung pada kayu itu, nampaknya untuk mencari hubungan yang lebih dekat dengan tanah. Apabila rayap tanah dapat mencapai suatu bangunan, rayap akan memperluas kerjanya sampai cukup tinggi, dan sering mencapai tingkat kedua atau ketiga dari bangunan-bangunan bertingkat (Hunt & Garratt 1986).
Adanya rayap tanah dalam suatu bangunan mungkin tidak ketahuan, sampai bagian-bagian kayu yang parah serangannya mulai memperlihatkan kerusakan. Namun ada juga tanda-tanda tertentu seperti terdapatnya saluran-saluran dari tanah pada fondasi-fondasi bata, batu, beton, pipa-pipa pemanas, atau semacamnya, serta munculnya laron secara musiman menunjukan adanya rayap tanah sebelum menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Adanya rongga di dalam tiang-tiang dan kayu-kayu besar lainnya yang terserang dapat diketahui dengan menurunnya resonansi kayu bila dipukul dengan palu atau alat sejenisnya (Hunt & Garratt 1986).
Rayap tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat; antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya; mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata; panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm; lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm; panjang badan 5,5-6,0 mm; bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri; abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika et al. 2003).
Rayap C. Curvignathuhus merupakan rayap perusak yang menimbulkan tingkat serangan yang paling ganas. Rayap ini mampu menyerang hingga ke lantai tiga suatu bangunan bertingkat. Rayap akan masuk ke dalam kayu sampai bagian tengah yang memotong sejajar dengan serat kayu melalui lubang kecil yang ada di permukaan kayu (Prasetyo & Hadi 2005).
(10)
2.5.2 Rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Ligth
Rayap kayu kering termasuk ke dalam famili Kaloritermitidae dari genus Cryptotermes. Menurut Tarumingkeng (1971), rayap kayu kering yang telah dideskripsikan di Indonesia yaitu: Cryptotermes cynocephalus Ligth, Cryptotermes domesticus Haviland, Cryptotermes dudleyi Banks dan Cryptotermes sumatranus.
Serangga-serangga dari kelompok ini berbeda dengan rayap tanah karena rayap ini seluruhnya menghuni kayu, tidak pernah memasuki tanah, dan tidak memerlukan lembab selain yang dapat diperoleh dari kayu itu. Pada saat pemunculannya, laron-laronnya dari udara langsung masuk ke dalam kayu yang sehat dan kering. Setiap pasang dari laron mencari celah, retak, atau lubang alami yang kecil lainnya pada kayu, atau suatu retak pada bangunan bagian atas dari gedung-gedung. Kemudian dari tempat itu mulai membuat terowongan di dalam kayu dan segera menutup kembali tempat-tempat masuknya dengan remukan kunyahan kayu. Dalam menggali saluran-salurannya, rayap kayu kering mengeluarkan butir-butir kotoran yang halus kemudian dibuang sebagai lapisan pelindung bagian luar kayu. Timbunan dari butiran-butiran khas ini memberikan bukti yang meyakinkan tentang adanya rayap tersebut (Hunt & Garratt 1986).
Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10 sampai 12 persen atau mungkin lebih rendah. Oleh karena itu rayap kayu kering dapat ditemukan dalam kayu yang benar-benar telah kering udara dan dalam kerangka kayu pada bagian-bagian atau gebung-gedung maupun dalam bahan-bahan yang lebih lembab. Rayap ini dilaporakan sebagai penyebab kerusakan d bagian atas tanah dari tiang-tiang yang diawetkan bagian pangkalnya (Hunt & Garratt 1986).
Serangan rayap kayu kering menyebabkan rongga-rongga yang tidak teratur di dalam kayu dan meninggalkan lapisan tipis di permukaan kayu, sehingga serangannya jarang terlihat dari luar. Tanda serangannya akan terlihat dari luar apabial ada tanda berupa keluarnya ekskremen berdiameter (0,6-0,8) mm berwarna kecoklatan yang dikeluarkan dari lubang bekas serangan dalam jumlah besar (Tarumingkeng 1971).
(11)
11
2.6Deskripsi Kayu yang Digunakan 2.6.1 Akasia (Acacia mangium Willd)
Nama botanis : Acacia mangium Willd, famili Leguminous-Fabaceae (Mandang & Pandit 1997).
Nama daerah : kasia, kihia (Sunda); acacia, mangium (berlaku umum) (Mandang & Pandit 1997).
Nama lain : Northern black wattle (standar nama perdagangan Australia); akasia kuning (Malaysia); papua wattle (Papua New Guenia); japanese acacia (Jepang); auri (Filipina) (Mandang & Pandit 1997).
Penyebaran : Australia, Indonesia, Papua New Guenia (Mandang & Pandit 1997).
Ciri umum : kayu teras berwarna coklat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami; corak polos atau berjalur-jalur berwarna gelap dan terang bergantian pada bidang radial; tekstur halus sampai agak kasar dan merata; arah serat biasanya lurus, kadang-kadang berpadu; permukaan agak mengkilap; kesan raba licin; kekerasan agak keras sampai keras (Mandang & Pandit 1997).
Sifat Kayu : Berat Jenis 0,69 (0,49-0,84); kelas kuat III-II (Mandang & Pandit 1997).
Kegunaan : Bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu, jendela, perabot rumah tangga, lantai, papan dinding, tiang pancang, gerobak, dan roda (Mandang & Pandit 1997).
2.6.2 Pulai (Alstonia scholaris R.Br.)
Nama botanis : Alstonia scholaris R.Br., famili Apocynaceae (Martawijaya et al. 1981).
Nama daerah : Gabus, ginti, pelaik, pelawai, pulai, pule, tuturan (Smt); ampalai, binthung, jelentik, kubita, pelai, pelantan (Klm); gabusan, lame, polay, pule (Jw); Kasidula, lingaru, loi, montoti, talanggilala, tongkoya, rita (Slw); angar, bintang, hange, leleko, pule, puli, susu (Mlk); lete, pela, pera (NT); bengui, agera, setaka, susuh (IJ) (Martawijaya et al. 1981).
(12)
Nama lain : Basong (Mly); dita (PI); chatian, shaitanwood (Ind); milky, white cheese wood (Aust); mo cua (Vn); margelang (Swk); shaitan (Fr, Sp, It, Nl, Gm) (Martawijaya et al. 1981).
Penyebaran : Seluruh Indonesia (Martawijaya et al. 1981).
Ciri umum : kayu teras berwarna putih krem, kayu gubal berwarna hampir sama dan sukar dibedakan dengan kayu teras; tekstur kayu agak halus sampai hampir kasar; arah serat lurus atau agak bergelombang, kadang-kadang agak berpadu; permukaan kayu keset sampai licin; permukaan kayu mengkilap (Martawijaya et al. 1981).
Struktur : Pori hampir seluruhnya atau sebagian besar bergabung 2-7 dalam arah radial, diameter 50-300 µ, frekuensi 2-5 per mm2, bidang perforasi sederhana (Martawijaya et al. 1981).
Sifat kayu : Berat jenis 0,30 (0,27-0,49); kelas kuat IV-V; termasuk kelas awet V, mudah diserang jamur biru dan bubuk kayu kering; daya tahan terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynochephalus Light termasuk kelas III; termasuk kelas mudah diawetkan. Keterawetan termasuk kelas mudah (Martawijaya et al. 1981).
Kegunaan : Kayu pulai dapat dipakai untuk peti, korek api, cetakan beton, serta untuk barang kerajinan seperti kelom, wayang golek, topeng, dan lain-lain (Martawijaya et al. 1981). Akar pulai yang dikunyah dengan pinang dapat menghilangkan segala pedih dalam sisi badan dan dada. Getahnya dimanfaatkan untuk mematikan kuman, obat mematangkan bengkak, obat sakit telinga, dan menghasilkan permen karet berkualitas tinggi. Daunnya berkhasiat untuk mengobati penyakit sipilis dan beri-beri. Kulitnya yang mengandung alkaloid bermanfaat untuk mengobati demam, memperkuat lambung dan isi perut, membersihkan lambung dari lendir, menambah nafsu makan, mengempiskan perut kembung dan limfa yang membengkak, panas dalam, malaria, kencing manis, wasir, penyakit kulit, juga untuk splash cologne (Dephut 2007)
(13)
13
2.6.3 Sengon (Paraserianthes falcatria (L) Nielson)
Nama botanis : Parahserianthes falcataria (L) Nielson., Famili Leguminosae (Pandit & Kurniawan 2008).
Nama daerah : Jeunjing (Sunda); sengon laut (Jawa); sengon sebrang, sika, wahagom (Pandit & Kurniawan 2008).
Ciri umum : warna teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu keecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat; tekstur agak kasar sampai kasar, arah serat terpadu dan kadang-kadang lurus, sedikit bercorak; agak lunak dan beratnya ringan (Pandit & Kurniawan 2008). Struktur : Pori berbentuk bulat sampai oval, tersebar, soliter dan gabungan pori yang terdiri darii 2-3 pori; frekuensi 4-7 per mm2, diameter tangensial sekitar 160-340 µ dan bidang proforasi sederhana (Pandit & Kurniawan 2008).
Sifat Kayu : Berat jenis 0,33 (0,24-0,49); kelas awet IV-V dan kelas kuat IV-V (Pandit & Kurniawan 2008).
Kegunaan : bahan bangunan perumahan terutama di pedesaan, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan kertas, dan barang kerajinan lainnya (Pandit & Kurniawan 2008). Daun sengon merupakan pakan ternak yang sangat baik dan mengandung protein tinggi. Sistem perakaran sengon banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyedia unsur nitrogen dalam tanah. Dengan demikian pohon sengon dapat membuat tanah di sekitarnya menjadi lebih subur (Lablink 2006)
2.6.4 Mindi (Melia azedarach L.)
Nama botanis : Melia azedarach L., famili Meliaceae (Martawijaya et al. 1989).
Nama daerah : Geringging, mementin, mindi (Jw); jempinis (NTB); belile, bere, embora, kemel, lamoa, lemua, menga, mera (NTT) (Martawijaya et al. 1989).
(14)
Nama lain : Paternostertree, persian lilac (UK, USA); arbe de paternoster (Fr); arbor de faternosfer, paraiso (Sp); albero di paternoster (It); paterostertrad (Sw); paternoster boom (Ni); paternosterbaum (Gm) (Martawijaya et al. 1989).
Penyebaran : Seluruh jawa (tanaman), Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur (Martawijaya et al. 1989).
Ciri umum : Kayu teras berwarna merah-coklat muda semu-semu ungu, kayu gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras; tekstur kayu sangat kasar; arah serat lurus atau agak berpadu; permukaan kayu agak licin; permukaan kayu mengkilap rendah (Martawijaya et al. 1989).
Struktur : Pori sebagian besar soliter, tetapi terdapat juga pori yang bergabung 2-3 dalam arah radial, diagonal, atau kadang-kadang tangensial, diameter 30-360 µ, frekuensi 1-50 per mm2, berisi zat berwarna coklat sampai hitan, bidang perforasi sederhana (Martawijaya et al. 1989). Sifat Kayu : Berat Jenis 0,53 (0,42-0,65); kelas kuat III-II; kelas awet IV-V, berdasarkan percobaan kuburan termasuk kelas awet V, daya tahan terhadap jamur pelapuk kayu termasuk kelas II-III; keterawetan termasuk kelas sukar (Martawijaya et al. 1989).
Kegunaan : Kayu mindi dapat digunakan untuk peti teh, papan dan bangunan di bawah atap, panil, venir hias, mebel, dan sortimen yang berat (Martawijaya et al. 1989). Menurut Seputra (2008), kulit akar dan kulit kayu mindi (ku lian pi) berkhaiat untuk membersihkan panas dan lembab, peluruh kencing (diuretik), pencahar (laksatif), perangsang muntah, dan peluruh cacing usus (anthelmintik). Buah mindi berkhasiat sebagai peluruh cacing usus (anthelmintik), mengaktifkan energi vital guna meredakan nyeri, dan sebagai obat luar berkhasiat anti jamur. Daun berkhasiat sebagai peluruh kencing (diuretik) dan peluruh cacing.
(15)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Labolatorium Pengawetan Kayu, Pusat Penelitian dan Pengembangan (PUSLITBANG) Kehutanan Gunung Batu Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Desember 2008 sampai bulan Mei 2009.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Alat untuk pengasapan kayu, yang terdiri dari dua buah drum dan satu ruang pengasapan.
2. Termometer untuk mengukur suhu
3. Gergaji bundar (circular saw) untuk membuat contoh uji 4. Oven untuk mengeringkan contoh uji sampai kadar air tertentu 5. Desikator sebagai tempat penyimpanan contoh uji setelah dioven 6. Timbangan untuk menimbang berat contoh uji
7. Semprong (gelas dari kaca) untuk uji rayap kayu kering
8. Alat penyaring pasir untuk mendapatkan ukuran pasair yang diinginkan. 9. Jampot isi 350 gram untuk pengujian rayap tanah
10.Wadah untuk menyimpan jampot
11.Kantong keresek hitam untuk menutup jampot dalam wadah 12.Amplas 80 grit untuk menghaluskan permukaan contoh uji
13.Cutter untuk merapihkan contoh uji
14.Alat tulis menulis untuk mencatat data hasil penelitian 15.Kaliper untuk mengukur contoh uji
16.Penggaris untuk membuat garis guna mengukur dimensi contoh uji
17.Kalkulator dan komputer untuk mengolah data dan perhitungan hasil pengujian
(16)
3.2.2 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pasir open, lilin, kapas, kayu dan rayap. Kayu yang digunakan adalah kayu akasia (Acacia mangium
Willd), kayu mindi (Melia azedarach L.), kayu sengon (Paraserianthes falcataria
(L) Nielson) dan kayu pulai (Alstonia scholaris R.Br ) yang diperoleh dari kayu hutan rakyat Jawa Barat. Sedangkan rayap yang digunakan adalah rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Ligth).
3.2.3. Sifat-sifat yang diteliti/diuji
Pada penelitian ini sifat yang akan diuji adalah sebagai berikut : a Kondisi suhu pengasapan
b Penambahan berat setelah kayu diawetkan melalui proses pengasapan c Derajat proteksi (ketahanan terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah) d Mortalitas (kematian rayap tanah dan rayap kayu kering)
e Penurunan berat contoh uji setelah diumpankan ke rayap tanah dan rayap kayu kering
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan dan proses pembuatan contoh uji
Contoh uji kayu mindi, sengon, dan pulai berasal dari daerah Jawa Barat. Ukuran contoh uji yang digunakan untuk pengujian dengan menggunakan rayap kayu kering adalah 2 cm x 5 cm x 0,8 cm. Sedangkan untuk pengujian yang menggunakan rayap tanah berukuran 2 cm x 2 cm x 0,5 cm. Semua contoh uji dipotong dengan menggunakan gergaji dan permukaannya dirapikan dengan menggunakan cutter, dan amplas. Ukuran contoh uji untuk pengujian rayap tanah mengacu pada Sumarni dan Roliadi (2002) sedangkan untuk pengujian rayap kayu kering mengacu pada Sumarni et al. (2003). Contoh uji untuk pengujian rayap tanah dapat dilihat dalam Gambar 1 sedangkan untuk pengujian rayap kayu kering dapat dilihat dalam Gambar 2.
(17)
17
0,5 cm 2 cm 2 cm
Gambar 1. Contoh uji untuk pengujian rayap tanah.
0,8 cm 2 cm 5 cm
Gambar 2. Contoh uji untuk pengujian rayap kayu kering.
3.3.2 Proses pengasapan
Dalam penelitian ini, proses pengasapan menggunakan ruang pengasapan dan dua buah drum. Contoh uji diawetkan dengan cara disimpan dalam ruang pengasapan yang dikondisikan agar dapat menyalurkan asap. Asap yang digunakan dalam proses pengawetan pada penelitian ini adalah asap dari proses pengarangan limbah kayu akasia (Acacia mangium Willd) selama 21 hari. Pengarangan dilakukan dalam drum pengarangan, lalu asap yang dihasilkan disalurkan ke dalam drum dua untuk mengkondensasi asap dan uap panas. Asap yang sudah dingin akan disalurkan ke ruang pengasapan, tempat contoh uji disimpan. Proses pengasapan dapat dilihat dalam Gambar 3.
(18)
1 2 3 9 5
4
6 7 8
Gambar 3. Bagan poses pengasapan. Keterangan Gambar :
1. Lubang untuk mengukur suhu asap pada drum 1 setinggi ± 30 cm dengan diameter ± 3,3 inchi (ditutup selama proses pengasapan berlangsung).
2. Drum 1 untuk membakar kayu, memiliki ukuran tinggi ± 90 cm, diameter ± 55 cm, dan diberi ganjal setinggi ± 7cm dengan batu bata mengelilingi drum.
3. Drum 2 untuk menyalurkan asap dan merendam panas (ukuran drum sama dengan drum 1). 4. Ruang pengasapan tempat penyimpanan contoh uji.
5. Saluran untuk membuang asap (diameter 1 inchi).
6. Api untuk membakar kayu, hanya dilakukan saat membakar kayu pada awal proses pengsasapan untuk menyalakan bahan kayu didalam drum 1. Apabila kayu sudah menyala, api dimatikan dan lubang disekitar ganjal batu bata ditutup dengan pasir dengan menyisakan lubang ± 5 x 5 cm.
7. Saluran untuk menyalurkan asap (diameter ± 3 inchi). 8. Saluran untuk membuang cuka kayu (diameter 3/4 inchi).
9. Saluran untuk menyalurkan asap dar drum 1 ke wood smoke kiln (diameter ± 3 inchi).
Setiap hari suhu asap pada drum satu, drum dua, dan open dicatat setiap 3 jam sekali mulai pukul 8.00 s.d 16.00 WIB menggunakan termometer. Setelah selesai proses pengasapan, kayu didiamkan selama ± 4 minggu untuk pengkondisian sebelum diumpankan kepada rayap tanah dan rayap kayu kering.
(19)
19
3.3.3 Penambahan berat
Penambahan berat contoh uji dilakukan untuk mengtahui jumpah zat yang dihasilkan selama proses pengasapan yang menempel pada kayu. Beberapa contoh uji diambil untuk mengetahui kadar airnya sehingga diketahui BKT estimasi dari contoh uji tersebut. Penambahan berat kayu dapat dihitung menggunakan persamaan:
% 100 2
) 2 1 (
x W
W W
M = −
Keterangan :
M = Persentase penambahan berat (%) kayu uji
W1 = Berat kering tanur estimasi (BKTest) kayu setelah diasapi (g) W2 = Berat kering tanur estimasi (BKTest) kayu sebelum diasapi (g) BKT estimasi digunakan untuk memprediksi berat kering tanur ketika kadar air (KA) kayu diketahui. BKT estimasi dapat dihitung menggunakan persamaan:
BKTest =
) 100 / ( 1 KA
BB +
Sumber: Haygreen et.al. (2003)
Nilai KA dihitung menggunakan persamaan:
KA kondisi basah = ( )x100%
BKT BKT BB−
Sumber: Haygreen et.al. (2003)
Keterangan:
BB = Berat basah (g) KA = Kadar air
(20)
3.3.4 Prosedur pengujian ketahanan contoh uji terhadap rayap
Setelah didiamkan selama empat minggu dari proses pengasapan berakhir, contoh uji yang telah diawetkan dan kontrol diumpankan kepada rayap tanah dan rayap kayu kering. Jumlah contoh yang diamati sesuai dengan kayu uji yang disiapkan yaitu 5 contoh uji untuk masing-masing jenis kayu pada setiap jenis yang telah diawetkan dan kontrol.
Prosedur pengujian rayap tanah dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh Sumarni dan Roliadi (2002). Sebanyak 200 gram pasir kering berukuran 60 mesh dimasukan ke dalam jampot. Kemudian air ditambahkan ke dalam jampot yang berisi pasir tersebut sehingga kadar air pasir 7% di bawah kapasitas menahan air (water holding capacity). Water holding capacity adalah persentase air yang dibutuhkan untuk menjenuhkan pasir. Untuk mengetahui besarnya water holding capacity dapat dihitung melalui persamaan:
WHC = ×100%
BP BA
Sumber : Bureau (2005) Keterangan:
WHC = Water holding capacity (%)
BA = Berat air untuk menjenuhkan pasir (g) BP = Berat pasir (g)
Jadi jumlah air yang diperlukan untuk melembabkan pasir dapat dihitung melalui persamaan:
JA = WHC 200g
100 7
× −
Sumber : Bureau (2005) Keterangan:
JA = Jumlah air yang ditambahkan untuk mencapai kadar air pasir 7% di bawah kapasitas menahan air (g)
WHC = Water holding capacity (%)
Setelah air dimasukan kedalam jampot, campuran pasir dan air diaduk sehingga kelembabannya merata. Setelah kelembabannya rata, contoh uji
(21)
21
dimasukan ke dalam jampot yang telah berisi pasir lembab tersebut dengan posisi bagian contoh uji paling lebar menempel pada dinding jampot. Kemudian sebanyak 200 ekor rayap tanah pekerja yang sehat dan aktif dimasukan ke dalam jampot. Jampot ditimbang dan dimasukan ke dalam wadah plastik, lalu ditutup dengan kantong keresek hitam untuk mengurangi penguapan air. Wadah disimpan dalam ruangan gelap pada suhu kamar selama 4 minggu. Setiap minggu aktivitas rayap dalam jampot diamati dan masing-masing jampot ditimbang. Jika kadar air pasir turun dua persen atau lebih, air ditambahkan secukupnya pada jampot tersebut sehingga kadar airnya kembali seperti semula. Pengujian rayap tanah dapat dilihat dalam Gambar 4.
Jampot
Rayap tanah Pasir
Contoh uji
Gambar 4. Pengujian rayap tanah.
Proses pengujian rayap kayu kering mengacu pada Sumarni et al. (2003). Pada salah satu sisi yang terlebar pada contoh uji dipasang semprong kaca berdiameter 18 mm dan tingggi 35 mm yang direkatkan menggunakan lilin agar menempel pada kayu. Ke dalam semprong kaca tersebut dimasukkan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Ligth sebanyak 50 ekor rayap pekerja yang sehat dan aktif, kemudian semprong ditutup dengan kapas. Contoh uji tersebut disimpan di tempat gelap selama 12 minggu. Pengujian rayap kayu kering dapat dilihat dalam Gambar 5.
(22)
18 mm
Kapas
35 mm
Semprong/Gelas kaca Rayap 8 mm
20 mm
Sampel uji kayu
50 mm
Gambar 5. Pengujian rayap kayu kering.
3.3.5 Pegamatan
Pengamatan dilakukan pada contoh uji setelah mencapai waktu akhir pengujian, untuk rayap kayu kering setelah 12 minggu dan rayap tanah setelah 4 minggu. Pada akhir pengujian ditetapkan derajat serangan, mortalitas (persen kematian rayap), dan kehilangan berat (weight loss).
Respon utama yang diukur dalam pengujian ini adalah derajat serangan setiap kayu uji. Derajat serangan rayap dilakukan dengan menggunkan skala yang mengacu kepada Padlinurjaji et al. (1988). Penentuan derajat serangan dilakuakan secara manual menggunakan pengamatan langsung terhadap tingkat kerusakan kayu. Tingkat derajat serangan dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Derajat serangan rayap Tingkat
(level) Kondisi contoh uji (Sample condition)
Nila (Score)
A Utuh, tidak ada serangan (no damage on surface area) 0 B Ada bekas gigitan rayap (slightly attaced) 0 - 20
C Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar
(moderatly attacked) 21 - 40
D Serangan verat, berupa saluran yang dalam dan lebar
(heavily attacked) 41 - 60
E Kayu hancur, kurang lebih 50% kayu habis dimakan rayap
(very heavily attacked) 61 - 80
Sumber : Padlinurjaji et al. (1988).
Data mortalitas dan kehilangan berat ditetapkan untuk menentukan klasifikasi kelas keawetan kayu. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan
(23)
23
rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dapat dilihat dalam Tabel 3. Sedangkan klasifikasi ketahan kayu terhadap serangan kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 3. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
Kelas Jumlah Kematian (Mortalitas), % Penurunan Berat (Weight loss), % Ketahanan (resistance)
I > 63,300 <3,52 Sangat tahan (very resistance)
II 50,600 – 63,300 3,52 – 7,5 Tahan (resistance)
III 33,100 – 50,600 7,5 - 10,96 Sedang (moderate)
IV 20,818 – 33,100 10,96 - 18,94 Buruk (poor)
V <20,818 18,94 – 31,89 Sangat buruk (very poor)
Sumber : Sumarni dan Roliadi (2002)
Tabel 4. Klasifikasi ketahan kayu terhadap serangan kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light
Kelas Jumlah Kematian
(Mortalitas), %
Penurunan Berat
(Weight loss), % Ketahanan (Resistance)
I >89,24 <2,303 Sangat tahan (very resistance)
II 89,24-76,64 2,303-4,406 Tahan (resistance)
III 76,64-64,48 4,406-8,158 Sedang (moderate)
IV 64,48-50,40 8,158-28,096 Buruk (poor)
V <50,40 >28,096 Sangat buruk (very poor)
Sumber: Sumarni et al. (2003)
Mortalitas rayap kayu kering, dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
% 100
x N Mij
Kij= Sumber: Kompes Deptan (1995)
Keterangan :
Kij = Persentase mortalitas rayap pada kayu uji ke-j dan perlakuan ke-i Mij = Jumlah rayap yang mati pada kayu uji ke-j dan perlakuan ke-i
N = Jumlah rayap yang diberikan (50 untuk uji rayap kayu kering; 200 untuk uji rayap tanah)
(24)
Penurunan berat (weight loss) dapat dihitung mengggunakan persamaan sebagai berikut:
Sumber: Kompes Deptan (1995) Keterangan :
Pij = Persentase penurunan berat (%) pada kayu uji dengan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
(W1)ij = Berat kayu sebelum diumpankan (g) pada kayu uji dengan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
(W2)ij = Berat kayu setelah diumpankan (g) pada kayu uji dengan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
3.4 Metode Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam menganalisis penambahan berat contoh uji yang diawetkan dengan metode pengasapan adalah analisis faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu jenis kayu (pulai, sengon, mindi). Setiap perlakuan terdiri dari lima kali ulangan.
Model persamaan yang digunakan sebagai berikut:
Yij = µ + τi + Eij
Keterangan :
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j µ = Nilai rata-rata pengamatan
i = Taraf faktor perlakuan pengawetan j = Jenis kayu
τi = Pengaruh sebenarnya taraf ke-i faktor jenis kayu Eij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Sedangkan analis data untuk pengujian keawetan kayu pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yaitu jenis kayu (pulai sengon, mindi), dan perlakuan (kontrol dan pengasapan selama tiga minggu). Setiap contoh uji terdiri dari lima kali ulangan.
(25)
25
Model persamaan yang digunakan sebagai berikut :
Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Eijk
Keterangan:
Yijk : Respon percobaan pada unit percobaan yang dikenai perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
i : Taraf faktor perlakuan pengawetan j : Jenis kayu
k : Ulangan
µ : Nilai rata-rata pengamatan
Ai : Pengaruh sebenarnya taraf ke-i faktor pengawetan Bj : Pengaruh sebenarnya taraf ke-j faktor jenis kayu
(AB)ij : Pengaruh interaksi dari unit percobaan yang mendapatkan kombinasi
perlakuan sebenarnya taraf ke-1 faktor pengawetan dan taraf ke-j faktor jenis kayu
Eijk : Kesalahan (galat) percobaan pada taraf ke-i faktor pengawetan dan taraf
ke-j faktor jenis kayu.
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan program M.S. Excel dan analisis statistika menggunakan program SAS 6.12. Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan, jenis kayu serta interaksi antara perlakuan dan jenis kayu maka dilakukan analisis keragaman dengan menggunakan uji F pada tingkat kepercayaan 95% (nyata) dan 99% (sangat nyata).
Adapun hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut : Pengaruh utama faktor perlakuan (faktor A) :
H0 : α1 = … = αa = 0 (faktor A tidak berpengaruh)
H1 : paling sedikit ada satu i dimana αi≠ 0
Pengaruh utama faktor jenis kayu (faktor B) :
H0 : β1 = … = βb = 0 (faktor B tidak berpengaruh)
H1 : paling sedikit ada satu i dimana βi≠ 0
Pengaruh sederhana (interaksi) faktor A dengan faktor B :
H0 : (αβ)11 = … = (αβ)ab = 0 (interaksi faktor A - faktor B tidak berpengaruh)
(26)
Kriteria uji yang digunakan adalah jika Fhitung lebih kecil atau sama dengan
Ftabel maka perlakuan tidak berpengaruh nyata pada suatu tingkat kepercayaan
tertentu dan jika Fhitung lebih besar dari Ftabel maka perlakuan berpengaruh nyata
pada tingkat kepercayaan tertentu. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh nyata dan sangat nyata dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji beda Duncan.
(27)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberhasilan usaha pengendalian rayap tergantung kepada kemampuan mengendalikan hubungan antara serangan hama (pest insect), inang (host), dan lingkungan (environment). Aktivitas hidup rayap dapat dihambat dengan mengubah lingkungan hidupnya, dari keadaan yang menguntungkan menjadi keadaan yang tidak menguntungkan. Cara lain adalah dengan mengubah kondisi inang, dalam hal ini mengubah kondisi kayu yang menjadi makanan rayap. Kayu yang semula dimakan rayap diubah menjadi tidak dapat dimakan atau beracun bagi rayap. Usaha ini dikenal sebagai pengawetan kayu.
4.1Proses Pengasapan
Dalam penelitian ini, proses pengasapan menggunakan ruang pengasapan dan dua buah drum. Ruang pengasapan berfungsi sebagai tempat menyimpan contoh uji dan menampung asap yang dihasilkan dari proses pengarangan kayu. Drum yang pertama berfungsi sebagai tungku (drum kiln), yaitu sebagai tempat pengarangan kayu. Sedangkan drum kedua berfungsi sebagai peredam panas untuk mengkondensasi asap dan uap panas.
Asap dari proses pengarangan kayu menjadikan warna permukaan kayu yang diawetkan berwarna hitam. Partikel asap dapat menempel pada permukaan kayu dan masuk ke dalam lumen karena ukuran partikel asap lebih kecil dari pada diameter pori-pori kayu. Menurut Knight (2009), partikel asap berukuran lebih kecil dari 2,5 µ. Sedangkan ukuran diameter pori pada penampang melintang kayu berukuran 20-400 µ (Martawijaya et al. 1989).
Proses pengasapan selama tiga minggu menggunakan bahan kayu sebanyak 602 kg. Limbah yang dihasilkan sebanyak 46 kg arang serta 135 liter cuka kayu. Arang dihasilkan selama proses pirolisis pada suhu 100-300oC. Sedangkan cuka kayu dihasilkan dari proses kondensasi uap panas.
Arang yang dihasilkan dari proses pengasapan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Arang kayu merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan sumbangan devisa negara (Dephut 2007). Di Jepang, arang
(28)
digunakan sebagai kondisioner tanah untuk mempercepat pertumbuhan tanaman (Ogawa 1994, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Para peneliti juga melaporkan bahwa penambahan arang ke tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, daya simpan, dan ketersediaan hara yang lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya kapasitas tukar kation, luasan permukaan,
serta penambahan unsur hara secara langsung oleh arang (Glaser et. al. 2002,
diacu dalam Iskandar & Santoso 2005). Selain itu, arang juga dilaporkan mampu
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan kesuburan tanah (Kishimoto et
al. 1985; Siregar 2002, diacu dalam Iskandar & Santoso 2005).
Cuka kayu yang merupakan hasil sampingan proses pengarangan juga memilki berbagai manfaat. Cuka kayu digunakan dalam beberapa tujuan seperti untuk produk industri, peternakan, rumah tangga, dan pertanian. Cuka kayu juga dapat meningkatkan kualitas tanah, membunuh tikus, serta dapat mempercepat, mengatur, atau memperlambat pertumbuhan tanaman. Selain itu, cuka kayu dapat mempercepat pertumbuhan akar, tangkai, bunga, dan buah. Penelitian menunjukan bahwa setelah mengaplikasikan cuka kayu pada perkebunan buah, pohon buah menghasilkan buah yang terus meningkat (Pangnakorn 2008). Cuka
kayu juga dapat dipakai sebagai insektisida serta herbisida (Dephut 2007). Cuka
kayu yang sudah dinetralisasi sehingga memilikai Ph 7 dapat dijadikan sebagai bahan pengawet kayu yang ramah lingkungan (Velmurugan et al. 2008).
4.1.1 Kondisi suhu pengasapan
Pengukuran suhu asap dilakukan setiap 3 jam sekali mulai pukul 8.00 s.d 16.00 WIB menggunakan termometer. Pengukuran dilakukan pada bagian lubang yang telah disiapkan sebelumnya yaitu pada drum 1, drum 2, dan ruang pengasapan. Pengukuran suhu pengasapan dilakukan untuk mengetahui suhu asap yang dihasilkan selama proses pengarangan berlangsung pada masing-masing tempat.
Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa selama tiga minggu, suhu pada masing-masing drum 1, drum 2, dan ruang pengasapan relatif stabil. Nilai rata-rata suhu asap pada drum 1 adalah 108oC sedangkan setelah melewati drum kedua,
suhu asap mulai menurun menjadi 61oC dan suhu asap pada ruang pengasapan
(29)
29
pirolisis untuk menghasilkan arang yang memerlukan suhu yang sangat tinggi sekitar 150-300oC. Suhu pada drum 2 lebih rendah dari pada suhu pada drum 1 karena pada drum 2 terjadi kondensasi untuk menurunkan suhu asap dan uap panas serta dapat menghasilkan cuka kayu. Suhu pada ruang pengasapan hampir sama dengan suhu lingkungan sekitarnya dengan tujuan agar tidak merusak sifat fisik kayu yang diawetkan.
Gambar 6. Kondisi suhu asap selama proses pengasapan.
4.1.3 Penambahan berat contoh uji setelah proses pengasapan
Setelah melalui proses pengasapan, contoh uji mengalami penambahan berat. Penambahan berat terjadi karena adanya partikel asap yang menempel pada permukaan kayu dan masuk ke dalam lumen melalui pori-pori kayu. Hal tersebut mungkin terjadi karena ukuran asap lebih kecil dari pada diameter pori-pori kayu. Menurut Knight (2009), partikel asap berukuran lebih kecil dari 2,5 µ. Sedangkan ukuran diameter pori pada penampang melintang kayu berukuran 20-400 µ (Martawijaya et al. 1989). Partikel asap yang menempel pada permukaan kayu dan mengisi lumen dapat menyebabkan penambahan berat.
Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa semua contoh uji mengalami penambahan berat akibat proses pengasapan. Penambahan berat terbesar terjadi pada kayu sengon dan terkecil pada kayu mindi. Untuk mengetahui pengaruh jenis kayu terhadap nilai penambahan berat dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 5.
(30)
16.45 18.65 7.99 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00
Pulai Sengon Mindi
Jenis Kayu P en am b ah an B er at ( %)
Gambar 7. Penambahan berat contoh uji setelah melalui proses pengasapan selama tiga minggu.
Tabel 5. Analisis ragam penambahan berat contoh uji setelah pengasapan tiga minggu Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit
Ftabel 0,05 0,01 jenis kayu Galat Total 2 12 24 587.536 592.599 1180.135 293.768 49.383
5.95 4.75* 6.93
Keterangan : * = nyata pada tingkat kepercayaan 95%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa jenis kayu memberikan pengaruh nyata terhadap penambahan berat. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(5,95)>Ftabel(4,75) pada tingkat kepercayaan 95%. Karena
jenis kayu menunjukan pengaruh yang nyata terhadap penambahan berat pada tingkat kepercayaan 95%, maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Tabel 6. Uji Duncan penambahan berat contoh uji setelah pengasapan tiga minggu Duncan Grouping Penambahan berat rata-rata (%) Jenis
A A B 20,7 19,6 6,9 Pulai Sengon Mindi
Hasil uji lanjut Duncan dalam Tabel 6 menunjukan bahwa jenis kayu pulai dan kayu sengon memiliki nilai rata-rata penambahan berat yang tidak berbeda nyata. Sedangkan jenis kayu mindi memiliki nilai rata-rata penambahan berat yang nyata jika dibandingkan kayu pulai dan sengon. Hal tersebut terjadi karena kayu mindi memiliki berat jenis (0,53) lebih besar dari pada berat jenis kayu pulai
(31)
31
(0,3) dan sengon (0,33). Semakin tinggi berat jenis, maka semakin kecil rongga sel. Rongga sel yang kecil menyebabkan partikel asap yang masuk akan sedikit pula.
4.2 Sifat Anti Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat anti rayap tanah adalah derajat serangan, mortalitas, dan kehilangan berat. Derajat serangan ditentukan untuk mengetahui tingkat kerusakan kayu akibat serangan rayap. Sedangkan nilai mortalitas dan kehilangan berat ditentukan untuk mengetahui kelas keawetan kayu.
Penentuan nilai derajat serangan dilakukan melalui pengamatan langasung dan hasilnya dimasukan dalam skala yang mengacu kepada Padlinurjaji et al. (1988) yang disajikan dalam Tabel 2. Kelas keawetan kayu ditentukan berdasarkan nilai mortalitas dan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren yang mengacu pada Sumarni dan Roliadi (2002) yang disajikan dalam Tabel 3.
4.2.1 Derajat serangan
Gambar 8 menunjukan adanya perbedaan tingkat derajat serangan antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata derajat serangan rayap tanah untuk contoh uji kontrol yang tidak diawetkan berkisar antara 49 hingga 78 sedangkan untuk contoh uji dengan pengasapan selama 3 minggu nilai derajat serangan rata-rata berkisar antara 2 hingga 4. Derajat serangan terbesar untuk contoh uji kontrol terjadi pada kayu pulai yaitu 78 dan yang terkecil pada kayu mindi yaitu 49.
Derajat serangan contoh uji yang melalui proses pengasapan semuanya berada pada pada level B, artinya serangan rayap hanya berupa ada bekas gigitan rayap (slightly attacked). Sedangkan untuk contoh uji kontrol, kayu pulai dan sengon memiliki derajat serangan pada level E, artinya serangan rayap ditandai dengan kayu hancur; kurang lebih 50% kayu habis dimakan rayap (very heavily attacked). Sedangkan kayu mindi kontrol memiliki tingkat derajat serangan pada level D, artinya serangan rayap merupakan serangan berat; berupa saluran yang dalam dan lebar (heavily attacked).
(32)
78
73
49
4 2 4
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Pulai Sengon Mindi
Jenis kayu Deraj a t S e ran g a n Kontrol
Pengasapan tiga minggu
Gambar 8. Derajat serangan rayap tanah C. curvignathus Holmgren terhadap kayu pulai, sengon, dan mindi.
Serangan rayap tanah terhadap contoh uji kontrol dapat dilihat dalam Gambar 9.
Gambar 9. Kerusakan akibat serangan rayap tanah pada pengujian kontrol terhadap kayu pulai (1), sengon (2), dan mindi (3).
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai derajat serangan rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Analisis ragam derajat serangan rayap tanah Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit
Ftabel 0,05 0,01 Perlakuan Jenis Perlakuan¤Jenis Galat Total 1 2 2 24 29 30083.333 1145.000 1271.667 500.000 33000.000 30083.333 572.500 635.833 20.833 1444 27.48 30.52 4.26 3.4 3.4 7.82** 5.61** 5.61**
(33)
33
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan rayap tanah dikarenakan Fhit(1444)>Ftabel(7,82) pada tingkat kepercayaan
99%. Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(27,48)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu
dan Fhit(30,52)>Ftabel(5,61) untuk faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu
pada tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Hasil uji lanjut Duncan dalam Tabel 8 menunjukan bahwa untuk kayu kontrol, derajat serangan kayu pulai dan sengon tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan kayu mindi. Hal tersebut terjadi karena kayu mindi memiliki zat berwarna coklat sampai hitam dalam pori-porinya. Zat tersebut diduga menjadi penghambat serangan rayap tanah pada kayu mindi sehingga nilai derajat serangannya lebih kecil dari pada kayu sengon dan pulai. Setelah melalui pengasapan selama tiga minggu, nilai derajat serangan ketiga kayu tidak berbeda nyata. Jenis kayu tidak berpengaruh terhadap nilai derajat serangan pada kayu yang diasapi selama tiga minggu.
Tabel 8. Uji Duncan derajat serangan rayap tanah
Duncan Grouping Derajat serangan rata-rata Interaksi A
A B C C C
78 73 49 4 4 2
kontrol ¤ pulai kontrol ¤ sengon kontrol ¤ mindi asap ¤ mindi asap ¤ pulai asap ¤ sengon
4.2.2 Mortalitas
Nilai mortalitas ditentukan berdasarkan jumlah rayap yang mati selama proses pengumpanan contoh uji. Semakin banyak rayap yang mati, maka semakin tinggi mortalitas. Gambar 10 menunjukan adanya perbedaan mortalitas antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata mortalitas rayap tanah contoh uji kontrol berkisar antara 18,8% (pulai) hingga
(34)
61,3% (mindi). Untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu, nilai rata-rata mortalitasnya sebesar100%. Artinya semua rayap mati pada saat proses pengujian selesai dilakukan selama 4 minggu.
18.80 24.20
61.30
100 100 100
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00
Pulai Sengon Mindi Jenis Kayu
M
o
rt
al
it
as
(
%
)
Kontrol
Pengasapan tiga minggu
Gambar 10. Mortalitas rayap tanah C. curvignathus Holmgren pada pengujian keawetan kayu pulai, sengon, dan mindi.
Dari nilai mortalitas, maka dapat ditentukan kelas keawetan kayu yang dikelompokan berdasarkan kriteria Sumarni dan Roliadi (2002) yang disajikan dalam Tabel 3. Kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan, semuanya masuk dalam kelas awet I, artinya memiliki ketahanan sangat tahan (very resistance). Sedangkan kayu yang tidak diawetkan memiliki kelas keawetan V (sangat buruk) untuk kayu pulai, kelas awet IV (buruk) untuk kayu sengon, dan kelas awet II (tahan) untuk kayu mindi.
Kematian rayap tanah pada kayu yang diasapi sebagian besar terjadi karena kelaparan dan sebagian kecil karena keracunan. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai derajat serangan dan kehilangan berat (Lampiran 5). Nilai derajat serangan menunjukan bahwa hanya sedikit contoh uji yang diserang rayap tanah dan tingkat serangannya pun sangat rendah. Diduga, rayap lebih memilih mati atau makan sesama rayap dari pada makan kayu yang diasapi. Sedangkan berdasarkan nilai kehilangan berat yang sangat kecil, maka dapat diduga bahwa hanya sebagian kecil rayap yang makan kayu. Rayap yang makan asap pada permukaan kayu akan mati keracunan karena zat yang terkandung dalam butiran asap bersifat racun terhadap rayap tanah.
(35)
35
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai mortalitas rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Analisis ragam mortalitas rayap tanah Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah Fhit
Ftabel 0,05 0,01 Perlakuan Jenis Perlakuan¤Jenis Galat Total 1 2 2 24 29 31980.675 2650.050 2650.050 328.800 37609.575 31980.675 1325.025 1325.025 13.700 2334.36 96.72 96.72 4.26 3.4 3.4 7.82** 5.61** 5.61**
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah dikarenakan Fhit (2334,36)>Ftabel(7,82) pada tingkat kepercayaan 99%.
Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(96,72)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu dan
Fhit(96,72)>Ftabel(5,61) untuk faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada
tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 10. Uji Duncan mortalitas rayap tanah
Duncan Grouping Mortalitas rata-rata (%) Interaksi A A A B C D 100,0 100,0 100,0 61,1 24,2 18,8
asap ¤ mindi asap ¤ pulai asap ¤ sengon kontrol ¤ mindi kontrol ¤ sengon kontrol ¤ pulai
Hasil uji lanjut Duncan dalam Tebel 10 menunjukan bahwa mortalitas rayap tanah pada kayu yang diasapai tidak berbeda nyata. Sedangkan mortalitas rayap tanah pada kayu yang tidak diasapi berbeda nyata. Jenis kayu hanya memberikan pengaruh nyata terhadap nilai mortalitas pada kayu kontrol. Namun setelah melalui pengasapan selama tiga minggu, jenis kayu tidak berpengaruh
(36)
nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah. Hal tersebut terjadi karena setelah melalui proses pengasapan, semua kayu mengandung zat anti rayap yang sama pada permukaannya.
4.2.3 Kehilangan Berat
Nilai kehilangan berat ditentukan berdasarkan penurunan berat yang terjadi selama proses pengumpanan contoh uji. Semakin banyak kayu yang dimakan rayap selama proses pengumpanan, maka semakin tinggi kehilangan berat. Gambar 11 menunjukan adanya perbedaan kehilangan berat antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata kehilangan berat akibat serangan rayap tanah untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu tidak terlalu berbeda antara yang satu dengan lainnya yaitu berkisar antara 0.58% - 0,68%. Sedangkan untuk contoh uji kontrol yang tidak diasapi, nilai rata-rata kehilangan berat berkisar antara 10,34% hingga 37,32%. Nilai rata-rata penurunan berat terbesar pada contoh uji kontrol sebesar 37,32% pada kayu sengon dan terkecil 10,34% pada kayu mindi.
36.39 37.32
10.34
0.68 0.85 0.58
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00
Pulai Sengon Mindi
Jenis Kayu
Pe
nu
ru
na
n
B
e
ra
t (
%
)
Kontrol
Pengasapan tiga minggu
Gambar 11. Penurunan berat kayu pulai, sengon, dan mindi akibat serangan rayap tanah C. curvgnathus Holmgren.
Dari nilai rata-rata kehilangan berat, maka dapat ditentukan kelas keawetan kayu yang dikelompokan berdasarkan kriteria Sumarni dan Roliadi (2002) yang disajikan dalam Tabel 3. Untuk kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan, semuanya masuk dalam kelas awet I, artinya memiliki ketahanan sangat tahan (very resistance). Sedangkan kayu yang tidak diawetkan memiliki
(37)
37
kelas keawetan V (sangat buruk) untuk kayu pulai dan sengon, serta kelas awet III (sedang) untuk kayu mindi.
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 11.
Tabel 11. Analisis ragam kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah Fhit
Ftabel 0,05 0,01 Perlakuan Jenis Perlakuan¤Jenis Galat Total 1 2 2 24 29 5595.136 1189.975 1156.185 553.219 8494.516 5595.136 594.987 578.093 23.051 242.73 25.81 25.08 4.26 3.4 3.4 7.82** 5.61** 5.61**
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah dikarenakan Fhit(242,73)>Ftabel(7,82) pada
tingkat kepercayaan 99%. Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(25,81)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu dan Fhit(25,08)>Ftabel(5,61) untuk
faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 12. Uji Duncan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Duncan Grouping Weight loss rata-rata (%) Interaksi
A A B D D D 37,3 36,4 10,3 0,8 0,7 0,6
kontrol ¤ sengon kontrol ¤ pulai kontrol ¤ mindi asap ¤ sengon asap ¤ pulai asap ¤ mindi
Hasil uji lanjut Duncan dalam Tabel 12 menunjukan bahwa pada pengujian kontrol, kehilangan berat kayu sengon dan pulai tidak berbeda nyata.
(38)
Kehilangan berat kayu sengon dan pulai berbeda nyata dengan kayu mindi. Hal tersebut terjadi karena rayap tanah lebih menykai kayu sengon dan pulai yang memiliki berat jenis lebih rendah dari pada kayu mindi. Namun setelah kayu diasapi tiga minggu, jenis kayu tidak memberikan pengaruh nyata karena setiap kayu memiliki zat anti rayap yang sama. Zat tersebut bersifat racun terhadap rayap tanah sehingga menyebabkan kematian apabila rayap tetap mengkonsumsi zat tersebut.
4.3 Sifat Anti Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Ligth
Parameter yang digunakan untuk menentukan sifat anti rayap kering sama dengan parameter yang digunakan untuk menentukan sifat anti rayap tanah, yaitu derajat serangan, mortalitas, dan kehilangan berat. Derajat serangan rayap dilakukan dengan menggunkan skala yang mengacu kepada Padlinurjaji et al. (1988) yang disajikan dalam Tabel 2. Sedangkan kelas keawetan berdasarkan nilai mortalitas dan kehilangan berat akibat serangan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren mengacu pada Sumarni et. al. (2003) yang disajikan dalam Tabel 4.
4.3.1 Derajat serangan
Nilai rata-rata derajat serangan rayap kayu kering dapat dilihat pada Gambar 12.
40
59
27
2 2.4 0.8
0 10 20 30 40 50 60 70
Pulai Sengon Mindi
Jenis Kayu
D
e
ra
ja
t S
e
ra
n
g
a
n
Kontrol
Pengasapan tiga minggu
Gambar 12. Derajat serangan rayap kayu kering C. cynocephalus Light terhadap
(39)
39
Gambar 12 menunjukan adanya perbedaan tingkat derajat serangan antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata derajat serangan rayap kayu kering untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu berkisar antara 0,8 (mindi) hingga 2 (pulai) sedangkan untuk contoh uji kontrol nilai derajat serangan rata-rata berkisar antara 27 (mindi) hingga 59 (sengon).
Derajat serangan contoh uji yang melalui proses pengasapan semuanya berada pada pada level B, artinya serangan rayap hanya berupa ada bekas gigitan rayap (slightly attacked). Sedangkan untuk contoh uji kontrol kayu sengon, derajat serangan berada pada level D (serangan berat, berupa saluran yang dalam dan lebar (heavily attacked)). Sedangkan derajat serangan kayu pulai dan mindi kontrol berada pada level C (Serangan ringan berupa saluran yang tidak dalam dan lebar (moderatly attacked)).
Serangan rayap kayu kering terhadap contoh uji kontrol dapat dilihat dalam Gambar 13.
Gambar 13. Kerusakan akibat serangan rayap tanah pada pengujian kontol terhadap kayu pulai (1), sengon (2), dan mindi (3).
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, serta interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai derajat serangan akibat serangan rayap kayu kering dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 13.
(40)
Tabel 13. Analisis ragam derajat serangan rayap kayu kering Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah Fhit
Ftabel 0,05 0,01 Perlakuan Jenis Perlakuan¤Jenis Galat Total 1 2 2 24 29 12160.533 1422.467 1174.467 460.000 15217.467 12160.533 711.233 587.233 19.167 634.46 37.11 30.64 4.26 3.4 3.4 7.82** 5.61** 5.61**
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel 13 menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan akibat serangan rayap kayu kering dikarenakan Fhit(634,46)>Ftabel(7,82)
pada tingkat kepercayaan 99%. Pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu juga memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai derajat serangan akibat serangan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(37,11)>Ftabel(5,61) untuk faktor jenis kayu dan Fhit(30,64)>Ftabel(5,61) untuk
faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada tingkat kepercayaan 99%. Karena ketiga sumber keragaman menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 99%.
Tabel 14. Uji Duncan derajat serangan rayap kayu kering Duncan Grouping Derajat serangan rata-rata Interaksi
A B C D D D 59,0 40,0 27,0 2,0 2,4 0,8
kontrol ¤ sengon kontrol ¤ pulai kontrol ¤ mindi asap ¤ mindi asap ¤ pulai asap¤ sengon
Hasil uji lanjut Duncan Dalam Tabel 14 menunjukan bahwa pada pengujian kontrol jenis kayu sengon, pulai, dan mindi memiliki perbedaan nilai derajat serangan yang berbeda nyata. Sedangkan setelah melalui proses pengasapan selama tiga mingggu, jenis kayu tidak memiliki perbedaan nyata terhadap nilai derajat serangan.
Pada pengujian kontrol, derajat serangan rayap tanah lebih tinggi dari pada rayap kayu kering. Hal tersebut terjadi karena rayap tanah memakan kayu dari bagian luar sehingga serangannya dapat dilihat lebih jelas sedangkan rayap kayu
(41)
41
kering makan bagian dalam kayu sehingga serangan kurang terlihat jelas. Lebih lanjut, data derajat serangan diperoleh melalui pengamatan langsung yang subjektif. Selain itu, rayap tanah memiliki jumlah bakteri pencernaan yang lebih banyaksehingga proses pencernaannya lebih cepat.
4.3.2 Mortalitas rayap kayu kering
Nilai rata-rata mortalitas rayap kayu kering dapat dilihat dalam Gambar 14.
37.6 38 43.2
100 100 100
0 20 40 60 80 100 120
Pulai Sengon Mindi
Jenis Kayu
M
o
rt
a
lit
a
s
(
%
)
Kontrol
Pengasapan tiga minggu
Gambar 12. Mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus Light pada pengujian keawetan kayu pulai, sengon, dan mindi
Gambar 14 di atas menunjukan adanya perbedaan mortalitas antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata mortalitas rayap tanah untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu adalah 100%. Artinya semua rayap mati pada saat proses pengujian selesai dilakukan selama 12 minggu. Sedangkan untuk contoh uji kontrol nilai mortalitas rata-rata berkisar antara 37,6% (pulai) hingga 43,2% (mindi).
Dari nilai mortalitas, maka dapat ditentukan kelas keawetan kayu yang dikelompokan berdasarkan kriteria Sumarni et al. (2003) yang disajikan dalam Tabel 4. Untuk kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan, semuanya masuk dalam kelas awet I, artinya memiliki ketahanan sangat tahan (very resistance). Sedangkan kayu yang tidak diawetkan semuanya memiliki kelas awet V, artinya memiliki kelas awet sangat buruk (very poor).
(42)
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara factor perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai mortalitas rayap tanah, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 15.
Tabel 15. Analisis ragam mortalitas rayap kayu kering Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat
Tengah Fhit
Ftabel 0,05 0,01 Perlakuan Jenis Perlakuan¤Jenis Galat Total 1 2 2 24 29 19.167 48.800 48.800 840.000 28298.800 27361.200 24.400 24.400 35.000 781.75 0.70 0.70 4.26 3.4 3.4 7.82** 5.61 5.61
Keterangan : ** = sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99%
Hasil analisis ragam dalam Tabel di atas menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah dikarenakan Fhit (781,75)>Ftabel(7,82) pada tingkat kepercayaan 99%.
Sedangkan pengaruh jenis kayu serta interaksi antara faktor perlakuan dan jenis kayu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai mortalitas rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Fhit(0,7)>Ftabel(3,4) untuk faktor jenis kayu dan
Fhit(0,7)>Ftabel(3,4) untuk faktor interaksi antara perlakuan dan jenis kayu pada
tingkat kepercayaan 95%. Karena hanya faktor perlakuan yang menunjukan pengaruh yang sangat nyata, maka uji lanjut Duncan hanya dilakukan pada faktor perlakuan pada tingkat kepercayaan 99%.
Penyebab kematian rayap kayu kering hampir sama dengan rayap tanah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai derajat serangan yang rendah dan kehilangan berat yang rendah pula (lampiran 6). Berbeda dengan pengujian rayap tanah, jenis kayu tidak berpengaruh terhadap mortalitas rayap kayu kering. Mekipun mortalitas rayap kayu kering pada kayu mindi lebih besar dibandingkan pada kayu sengon dan pulai, namun berdasarkan analisis keragaman hal tersebut masih berada dalam taraf tidak berbeda nyata.
4.3.3 Kehilangan Berat
Nilai rata-rata kehilangan beat akibat serangan rayap kayu kering dapat dilhat dalam Gambar 15.
(43)
43
10.12
7.92
6.19
0.99 1.63 0.84
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00
Pulai Sengon Mindi
Jenis Kayu
P
e
nur
una
n B
e
ra
t (
%
)
Kontrol
Pengasapan tiga minggu
Gambar 15. Penurunan berat kayu pulai, sengon, dan mindi akibat serangan rayap kayu kering C. cynocephalus Light
Gambar 15 di atas menunjukan adanya perbedaan kehilangan berat antara contoh uji kontrol dan contoh uji yang diasapi selama 3 minggu. Nilai rata-rata kehilangan berat akibat serangan rayap tanah untuk contoh uji yang diawetkan dengan pengasapan selama 3 minggu berkisar antara 0.84% - 1,63%. Sedangkan untuk contoh uji kontrol nilai rata-rata kehilangan berat berkisar antara 6,19% (mindi) hingga 10,12% (pulai).
Dari nilai rata-rata kehilangan berat, maka dapat ditentukan kelas keawetan kayu yang dikelompokan berdasarkan kriteria Sumarni et al. (2003). Untuk kayu yang diawetkan dengan metode pengasapan, semuanya masuk dalam kelas awet I, artinya memiliki ketahanan sangat tahan (very resistance). Untuk kayu yang tidak diawetkan, kayu pulai memiliki kelas keawetan IV, artinya memiliki ketahanan kayu buruk (poor). Sedangkan kayu pulai dan sengon yang tidak diawetkan memiliki kelas awet III, artinya memiliki ketahanan sedang (moderate).
Untuk mengetahui pengaruh antara perlakuan, jenis kayu, dan interaksi antara perlakuan dan jenis kayu terhadap nilai kehilangan berat contoh uji akibat serangan rayap kayu kering, dilakukan analisis ragam yang hasilnya disajikan dalam Tabel 16.
Hasil analisis ragam dalam Tabel 16 menunjukan bahwa perlakuan pengasapan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap nilai kehilangan berat akibat serangan rayap tanah dikarenakan Fhit(80,29)>Ftabel(7,82) pada tingkat
(1)
Tanggal
Jumlah
kayu
bakar (kg)
Suhu
Oven
(
oC)
Suhu
drum 1
(
oC)
Suhu
drum 2
(
oC)
Waktu
Keterangan
Desember
26
20
28
100
55
7.15
Jumat, cuaca
cerah
2008
30
115
70
9.15
30
115
70
10.30
15
30
120
70
13.00
cuaca berawan
30
120
75
15.00
30
120
75
16.00
Desember
27
22
27
100
55
7.15
Sabtu, cuaca
cerah, panas
2008
28
90
65
9.15
30
105
70
11.15
2
30
120
65
13.20
30
120
65
16.00
Desember
28
21
20
100
60
8.15
Minggu, cuaca
cerah, panas
2008
30
105
70
10.15
9
31
115
70
12.15
31
115
69
13.15
31
120
75
16.15
Desember
29
17
28
120
55
5.30
Senin, cuaca
cerah
2008
30
120
60
13.30
3
30
120
60
14.30
30
120
60
16.15
Desember
30
22
25
125
5
7.20
Selasa, cuaca
berawan
2008
28
100
50
9.20
30
120
58
11.20
hujan
6
31
120
60
13.20
cuaca panas
31
120
60
15.45
Desember
31
16
25
90
40
7.15
Rabu, cuaca
hujan
2008
27
100
55
9.15
30
100
70
11.15
30
125
65
13.15
31
125
65
15.45
Januari
1
18
28
100
60
8.00
Kamis
2009
30
100
65
10.00
cuaca berawan
30
100
65
12.00
siang panas
pukul 13.30
9
31
100
55
14.30
(2)
Tanggal
Jumlah
kayu bakar
(kg)
Suhu
Oven
(
oC)
Suhu
drum 1
(
oC)
Suhu
drum 2
(
oC)
Waktu
Keterangan
Januari
2
9
27
90
40
7.30
Jumat
2009
30
100
60
9.30
cuaca
cerah/panas
30
120
70
11.15
8
31
120
55
13.30
31
120
66
15.15
Januari
3
10
25
85
40
7.15
Jumat, cuaca
cerah
2009
29
90
50
9.00
6
30
110
55
11.00
30
110
55
13.00
31
125
60
15.00
Januari
4
16
25
85
45
7.15
Minggu, cuaca
cerah, panas
2009
29
95
55
9.15
30
95
60
11.15
30
100
60
13.15
31
125
60
15.15
Januari
5
26
120
48
7.15
Senin
2009
29
120
58
9.15
30
130
58
11.00
Jumlah kayu bakar minggu ke-1
264
kg
Jumlah kayu bakar minggu ke-2
198
kg
Jumlah kayu bakar minggu ke-3
140
kg
Jumlah total kayu bakar
602
kg
Rata-rata suhu oven minggu ke-1
28
oC
Rata-rata suhu oven minggu ke-2
29
oC
Rata-rata suhu oven minggu ke-
29
oC
Rata-rata suhu oven minggu ke-1,2,3
29
oC
Rata-rata suhu drum 1 minggu ke-1
106
oC
Rata-rata suhu drum 1 minggu ke-2
108
oC
Rata-rata suhu drum 1 minggu ke-3
110
oC
Rata-rata suhu drum 1 minggu ke-1,2,3
108
oC
Rata-rata suhu drum 2 minggu ke 1
62
oC
Rata-rata suhu drum 2 minggu ke 2
65
oC
Rata-rata suhu drum 2 minggu ke 3
56
oC
Rata-rata suhu drum 2 minggu ke 1,2,3
61
oC
Jumlah arang drum 1
20
kg
Jumlah arang drum 2
26
kg
Jumlah cuka kayu
135
liter
(3)
Lampiran 4. Penambahan berat contoh uji untuk pengujian rayap tanah setelah
diasapi 3 minggu
Jenis
kayu
Ulangan
Berat
awal (g)
Berat setelah
diasapi 3 minggu
(g)
Penambahan
Berat (%)
Rata‐rata
penambahan
berat (%)
Pulai
1
1.2900
1.5145
17.40
16.45
2
1.2326
1.4430
17.07
3
1.2567
1.4777
17.58
4
1.3911
1.5969
14.79
5
1.3155
1.5181
15.40
Sengon
1
0.9155
1.0529
15.01
18.65
2
0.8395
0.9743
16.06
3
0.8878
1.0271
15.69
4
0.8691
1.1174
28.57
5
0.9054
1.0675
17.90
Mindi
1
2.0503
2.1104
2.93
7.99
2
2.0143
2.2282
10.62
3
1.8538
2.2030
18.84
4
1.9559
2.2612
15.61
5
2.2242
2.0453
‐8.04
(4)
Lampiran 5. Derajat serangan, mortalitas, dan persentase penurunan berat setelah
pengujian rayap tanah selama empat minggu
Perlakuan Jenis
Kayu Ulangan
Derajat Serangan
Jumlah rayap
mati
Jumlah rayap hidup
Mortalitas (%)
Berat awal
(g)
Berat setelah uji (g)
Penurunan Berat (%)
Kontrol
Pulai
1 80 45 155 22.5 1.1065 0.6747 39.02
2 80 37 163 18.5 1.2577 0.6978 44.52
3 75 30 170 15 1.2154 0.8967 26.22
4 80 40 160 20 1.2300 0.7656 37.76
5 75 36 164 18 1.2069 0.7913 34.44
Sengon
1 65 55 145 27.5 2.7243 1.7204 36.85
2 75 58 142 29 2.5333 1.4025 44.64
3 80 23 177 11.5 2.4242 1.4001 42.24
4 80 46 154 23 2.0870 1.2218 41.46
5 65 60 140 30 2.9846 2.3459 21.40
Mindi
1 50 125 75 62.5 1.9576 1.7957 8.27
2 50 110 90 55 1.7678 1.6292 7.84
3 45 132 68 66 1.8410 1.6045 12.85
4 55 127 73 63.5 1.8325 1.6106 12.11
5 45 119 81 59.5 1.8516 1.6549 10.62
Pengsapan tiga minggu
Pulai
1 10 200 0 100 1.5145 1.4954 1.26
2 0 200 0 100 1.4430 1.4393 0.26
3 5 200 0 100 1.4777 1.4687 0.61
4 0 200 0 100 1.5969 1.5885 0.53
5 5 200 0 100 1.5181 1.5064 0.77
Sengon
1 0 200 0 100 1.0529 1.0488 0.39
2 0 200 0 100 0.9743 0.9624 1.22
3 5 200 0 100 1.0271 1.0251 0.19
4 0 200 0 100 1.1174 1.0983 1.71
5 5 200 0 100 1.0675 1.0599 0.71
Mindi
1 0 200 0 100 2.1104 2.0901 0.96
2 5 200 0 100 2.2282 2.2241 0.18
3 5 200 0 100 2.2030 2.1917 0.51
4 0 200 0 100 2.2612 2.2507 0.46
(5)
Lamiran 6. Derajat serangan, mortalitas, dan persentase penurunan berat setelah
pengujian rayap kayu kering selama 12 minggu
Perlakuan Jenis
Kayu Ulangan
Derajat Serangan
Jumlah rayap
mati
Jumlah rayap hidup
Mortalitas (%)
Berat awal (g)
Berat setelah
uji (g)
Penurunan Berat (%)
Kontrol
Pulai
1 40 15 35 30 2.8613 2.4899 12.98
2 40 24 26 48 3.236 3.0042 7.16
3 40 17 33 34 3.181 2.8029 11.89
4 40 18 32 36 3.0934 2.9087 5.97
5 40 20 30 40 2.9417 2.5713 12.59
Sengon
1 65 19 31 38 2.3874 2.3116 3.18
2 50 25 25 50 2.8989 2.5201 13.07
3 60 21 29 42 2.6064 2.4005 7.90
4 50 13 37 26 2.7677 2.5229 8.84
5 70 17 33 34 2.2242 2.0774 6.60
Mindi
1 25 19 31 38 4.6938 4.4136 5.97
2 25 26 24 52 4.2441 4.0203 5.27
3 30 23 27 46 4.4297 4.0523 8.52
4 30 15 35 30 4.2541 4.0751 4.21
5 25 25 25 50 3.9389 3.6634 6.99
Pengsapan tiga minggu
Pulai
1 5 50 0 100 4.2992 4.243 1.31
2 0 50 0 100 3.3660 3.3305 1.05
3 5 50 0 100 3.4508 3.421 0.86
4 0 50 0 100 4.1968 4.1589 0.90
5 0 50 0 100 4.6553 4.6179 0.80
Sengon
1 0 50 0 100 2.8611 2.8143 1.64
2 0 50 0 100 2.5937 2.5467 1.81
3 2 50 0 100 2.6842 2.6512 1.23
4 0 50 0 100 3.8665 3.8073 1.53
5 10 50 0 100 3.2022 3.1427 1.86
Mindi
1 0 50 0 100 4.8501 4.8146 0.73
2 2 50 0 100 4.6878 4.6655 0.48
3 2 50 0 100 5.5479 5.4515 1.74
4 0 50 0 100 5.3073 5.2961 0.21
(6)
Lampiran 7. Kelas keawetan kayu
Jenis Kayu
Keawetan alami berdasarkan
litelatur
Keawetan setelah pengujian
Rayap Tanah Rayap kayu Kering
Derajat
Serangan Mortalitas
Kehilangan Berat
Derajat
Serangan Mortalitas
Kehilangan Berat
Pulai
Kontrol V E V V C V IV Pengasapan
3 minggu B I I B I I
Sengon
Control IV-V E IV V D V III
Pengasapan
3 minggu B I I B I I
mindi
Control IV-V D II III C V III
Pengasapan