Manipulasi Fotothermal Dalam Memacu Pematangan Gonad Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps)

(1)

MANIPULASI FOTOTHERMAL DALAM MEMACU

PEMATANGAN GONAD IKAN SENGGARINGAN

(

Mystus nigriceps

)

AFRIZAL HENDRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Manipulasi Fotothermal Dalam Memacu Pematangan Gonad Senggaringan (Mystus nigriceps) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Afrizal Hendri NRP.C151070141


(3)

ABSTRACT

AFRIZAL HENDRI. Photothermal Manipulation on Advance of Gonadal Maturation in the Senggaringan (Mystus nigriceps). Under direction of KUKUH NIRMALA and ISDY SULISTYO.

Photothermal has been considered one of the most important factors triggering puberty, as well as reproduction, in several fish species, including Senggaringan. Senggaringan is one of the wild fish living in the Klawing river and high economic value and in the future it is expected to become one of aquaculture commodities. As the activity of fishing has done constantly and begun to cause fish habitat damage, the fish has been rare in the market even catches by fishermen tend to decrease. To maintain the existence of this fish, there needs domestication efforts ultimately leading to conservation. This research was laboratory experiment using completely randomized factorial design to apply nine different photothermal treatments, namely: 1) natural temperature and duration of natural lighting (T0L0), 2) natural temperature and duration of lighting 10L:14D (T0L1), 3) natural temperature and duration of lighting 14L:10D (T0L2), 4) temperature of 25oC and duration of natural lighting (T1L0), 5) temperature of 25oC and duration of exposure 10L:14D (T1L1), 6) temperature of 25oC and duration of exposure 14L:10D (T1L2), 7) temperature of 30oC and duration of natural lighting (T2L0), 8) temperature of 30oC and duration of exposure 10L:14D (T2L1) and 9) temperature of 30oC and duration of exposure 14L:10D (T2L2). Results showed among the photothermal treatments tested that there were two treatments supporting the development of the fish ovary. The first, the GSI values in T0L1 treatment continuously increased until the end of the experiment from 5.7% to 15% (highest). However, statistically there was no significantly different among treatments (P>0.05, P=0.077). The results of this research also showed that an increase in GSI value of 15% (T0L1) caused to lower values for HSI 1.3% (P>0.05, P=0.061) and VSI 1.6% (P>0.05, P=0.058). The second, in T1L0 treatment, highest GSI value was achieved in August by 13.3% from 7.1%. There also occurred a decrease in HSI value of 1.2% and value VSI of 2.6%. The value of the GSI before photothermal was 3.7%. This profile showed the negative relationship between the GSI and HSI, and also negative relationship between GSI and VSI with the meaning which the increase in the GSI values declined in values of HSI and VSI. Based on the proportion of oogenesis phase cells showed that late vitellogenesis stage for the highest was achieved about 41.2% in the treatment T1L0. However, based on statistical tests there was no significant difference among the treatments (P>0.05, P=0.2). The value of final vitellogenesis before photothermal was 10.2%. Thus, it can be concluded that the gonadal development of the fish female under the photothermal manipulation has not shown maximum performance. It seems that there is needed to extent exposure of lighting to affect its gametogenesis.

Keyword; Mystus nigriceps, Photothermal, Gonadosomatic index, Hepatosomatic index, Viserasomatic index, Oogenesis.


(4)

RINGKASAN

AFRIZAL HENDRI. Manipulasi fotothermal dalam memacu pematangan gonad ikan senggaringan (Mystus nigriceps). Dibimbing oleh Kukuh Nirmala dan Isdy Sulistyo.

Fotoperiode, temperatur dan curah musim hujan adalah beberapa faktor lingkungan yang sangat penting dalam mengatur siklus reproduksi ikan. Di alam, faktor lingkungan menentukan sebagain besar pemilihan waktu reproduksi dan strategi reproduksi jenis ikan- ikan tertentu. Beberapa penelitian terhadap spesies subtropis memperlihatkan adanya dampak positif terhadap reproduksi ikan. Scott (1979) menambahkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi perkembangan gonad adalah temperatur dan makanan termasuk periode pencahayaan dan musim, kemudian ditambahkan bahwa periode penyinaran yang rendah dan temperatur yang tinggi dapat mempercepat pematangan gonad.

Namun, ternyata hal ini tidak berlaku umum bagi ikan-ikan tropis, karena di daerah tropis ternyata masih terdapat ikan-ikan liar yang pemijahannya secara alami masih sukar dilakukan, sehingga populasinya di alam bisa terancam punah. Salah satu contohnya adalah ikan senggaringan, sehingga tidak menutup kemungkinan fototermal juga bisa berdampak positif terhadap spesies ini. Evaluasi perkembangan dan pematangan gonad ikan tersebut diamati melalui indeks morfoanatomi yaitu indeks gonadosomatik (IGS), indeks hepatosomatik (IHS) dan indeks visceralsomatik (IVS), karena parameter tersebut menggambarkan organ-organ reproduksi ikan selama masa perkembangan gonad seperti hati, visceral dan ovarium/testis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan fotothermal dalam memacu pematangan gonad ikan senggaringan baik betina maupun jantan yaitu melihat bagaimana perubahan IGS, IHS, IVS, histologi dan sex steroidnya sebelum dan sesudah fotothermal. Kemudian perlakuan fotothermal mana yang mampu mendukung proses perkembangan gonadnya.

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium dengan metode rancangan acak lengkap faktorial (RAL faktorial) dengan mengaplikasi 9 perlakuan fotothermal yang berbeda yaitu 1) temperatur dan durasi pencahayaan alami (T0L0), 2) temperatur alami dan durasi pencahayaan 10T:14G (T0L1), 3) temperatur alami dan durasi pencahayaan 14T:10G (T0L2), 4) temperatur 25oC dan durasi pencahayaan alami (T1L0), 5) temperatur 25oC dan durasi pencahayaan 10T:14G (T1L1), 6) temperatur 25oC dan durasi pencahayaan 14T:10G (T1L2), 7) temperatur 30oC dan durasi pencahayaan alami (T2L0), 8) temperatur 30oC dan durasi pencahayaan 10T:14G (T2L1) dan 9) temperatur 30oC dan durasi pencahayaan 14T:10G (T2L2) dan sebagai ulangannya adalah individu ikan. Penelitian berjalan selama 4 bulan (Juni – September 2009).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara perlakuan fotothermal yang dicobakan terlihat ada 2 perlakuan yang mendukung untuk proses perkembangan ovarium ikan senggaringan. Yang pertama, T0L1 yaitu dapat diketahui dari pencapaian nilai IGS yang terus mengalami peningkatan hingga akhir percobaan yaitu dari 5,7% mencapai 15% (tertinggi). Namun secara statistik menunjukkan tidak adanya signifikansi yang berbeda antara perlakuan (P>0,05, P=0,077). Dari penelitian ini juga terlihat kenaikan nilai IGS 15% (T0L1) mengakibatkan penurunan nilai IHS sebesar 1,3% (P>0,05, P=0,061) dan nilai IVS sebesar 1,6% (P>0,05,


(5)

P=0,058). Kemudian yang kedua, T1L0 yaitu nilai IGSnya tertinggi dicapai pada bulan Agustus sebesar 13,3% dari 7,1%. Juga memperlihatkan adanya penurunan nilai IHS sebesar 1,2% dan nilai IVS sebesar 2,6%. Sedangkan nilai IGS sebelum fotothermal yaitu 3,7%. Profil ini memperlihatkan hubungan antara IGS, IHS dan IVS yang bersifat negatif artinya kenaikkan nilai IGS berdampak pada penurunan nilai IHS dan IVS. Kumudian berdasarkan nilai proporsi sel-sel tahapan oogenesisnya memperlihatkan bahwa sel-sel tahapan vitellogenesis akhir tertinggi dicapai sebesar 41,2% pada perlakuan T1L0, artinya ovari ikan senggaringan telah mencapai oogenesis yang tinggi. Namun uji statistik terlihat tidak adanya signifikansi yang berbeda diantara perlakuan (P>0,05, P=0,2). Sedangkan nilai vitellogenesis akhir sebelum fotothermal adalah 10,2%. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa kinerja reproduksi ikan senggaringan betina dibawah manipulasi fotothermal belum menampakkan performance yang maksimal, dengan katalain perlu waktu untuk mempengaruhi gametogenesisnya. Nilai fekunditas tertinggi dicapai sebesar 50787 butir dan 35782 butir pada perlakuan T0L1 dan T1L0. Sedangkan pengukuran sex steroidnya didapatkan perlakuan T1L2 (Juli) menghasilkan konsentrasi estradiol tertinggi yaitu 930,6 ng/mL.

Untuk ikan jantan, nilai IGS sebelum fotothermal sebesar 0,3%. Jika dibandingkan dengan setelah perlakuan fotothermal dimana nilai tertinggi dicapai pada perlakuan T1L1 bulan Juni sebesar 1,4%. Dengan katalain dapat diartikan bahwa selama pemaparan fotothermal telah terjadi kemajuan perkembangan gonad. Walaupun dari hasil analisis secara statistik menyebutkan bahwa perbedaan fotothermal tersebut tidak signifikan (P>0,05, P=0,6). Tingginya nilai IGS ikan senggaringan jantan pada bulan Juni (T1L1), diduga bawaan dari habitatnya. Ini terbukti dari semakin rendahnya nilai IGS yang didapat pada bulan-bulan berikutnya yaitu 0,8% dari 1,4%. Namun jika dilihat diantara perlakuan fotothermal yang dicobakan, perla kuan T1L0 terlihat lebih mendukung untuk proses perkembangan gonad, dimana nilai IGSnya terus mengalami peningkatan dari Juni – Agustus yaitu 0,5% ke 0,9%. Walaupun secara statistik menyebutkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (P>0,05).

Dalam kaitanya dengan IGS ikan jantan, bahwa nilai IHS dan IVS secara umum memperlihatkan adanya penurunan pada beberapa perlakuan hingga akhir waktu percobaan. Ini diduga ada kaintannya dengan proses perkembangan gonad ikan itu sendiri. Sementara tingginya IHS dan IVS pada awal percobaan diasumsikan kondisi ikan saat itu berada pada tingkat konsumsi pakannya tinggi, yang selanjutnya akan disimpan sebagai deposit energi guna mendukung perkembangan gonad selanjutnya.

Kata kunci : Mystus nigriceps, fotothermal, Indeks gonadosomatik, Indeks hepatosomatik, Indeks viserasomatik, Oogenesis.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

MANIPULASI FOTOTHERMAL DALAM MEMACU

PEMATANGAN GONAD IKAN SENGGARINGAN

(

Mystus nigriceps

)

AFRIZAL HENDRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Manipulasi Fotothermal Dalam Memacu Pematangan Gonad Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps)

Nama : Afrizal Hendri

Nomor Pokok : C151070141

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc Dr. Ir. Isdy Sulistyo, DEA

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar N, MS


(9)

PRAKATA

Segala puji hanya bagi Allah Azzawajalla yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan atas ridho-Nya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Manipulasi Fotothermal Dalam Memacu Pematangan Gonad Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps)” dapat diselesaikan dengan baik.

Ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan secara khusus kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, MSc sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Isdy Sulistyo, DEA sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan, ketulusan, kesabaran, waktu, kepercayaan, arahan serta masukan mulai dari rencana penelitian hingga penulisan tesis ini dan mohon maaf atas segala kealpaan baik yang sengaja ataupun karena lupa.

Penyusunan tesis ini juga tidak lepas input dari berbagai pihak, karena itu penulis menghaturkan terimakasih yang tulus kepada :

1. Kedua orang tua penulis Bapak H. Rizalmi dan Ibu Harnida, Kakanda Januardi, Uni Nofia Rizanti, Uni Risda Neli dan Adinda Fitri Isnani.

2. Keluarga besar Bapak Drs. Yulius Mansur dan Ibu Ir. Nur’aini Hs dan seluruh keluarga di Pekanbaru atas support materil, moril dan doa.

3. Ibu Ir. Nuraini, MS dan Bapak Prof. Dr. Sukendi atas dorongan dan rekomendasi. 4. Keluarga besar Ibu Ernawati, SPd atas doa dan support selama penulis di

Purwokerto.

5. Sahabat-sahabat penelitian AKU; Pak Ilyas, Buk Pur, Pak Adang, Pak Limin, Buk Ami, Pak Ujang, Pak Dasu, Buk Sur, Buk Mul, Indra, Deni, Ririn, Dian, Mirna, Prama dan lainnya, atas kebersamaan dan kerjasamanya, maaf atas segala kealpaan.

6. Bapak Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku penguji luar komisi atas segala masukan dan arahan.

7. Staf dan pegawai di Departemen BDP FPIK IPB, khususnya Bapak Prof. Dr. Daniel Djokosetiyanto, Bapak Dr. Eddy Supriyono.

8. sahabat S2 dan S3 Ilmu Akuakultur 2006, 2007, 2008 serta Sahabat-sahabat penelitian di UNSOED; Mas Eko, Mbak Rika, Diah, Imam, Indra, Juniar, Hendri, Adip, Rizka, dan lainnya atas kerjasamanya.

9. Civitas akademika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor sebagai tempat penulis menimba ilmu.

Semoga ”Zat Yang Maha Kaya Ilmu” membalas setiap limpahan pemikiran Bapak, Ibu, Authors, Sahabat semuanya. Penulis menyadari bahwa saran dan kritikan yang konstruktif masih diperlukan demi penyempurnaan tesis ini. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Airbangis, Propinsi Sumatera Barat pada tanggal 24 Agustus 1983, putra keempat dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Rizalmi dan Ibu Harnida.

Tahun 2002 penulis lulus dari SLTA Negeri 6 Pekanbaru. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Pekanbaru dan lulus tahun 2007.

Penulis pernah dipercaya sebagai laboran laboratorium hatchery Jurusan Budidaya Perairan Universitas Riau, dan kemudian tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Strata Dua pada Program Ilmu Akuakultur Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Dua pada tahun 2010 dengan judul tesis ”Manipulasi Fotothermal Dalam Memacu Pematangan Gonad Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps)”.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Ikan Senggaringan ... 6

2.2. Peranan Fotothermal Terhadap Reproduksi Ikan ... 8

2.3. Hormonal ... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ... 14

3.2. Bahan dan Alat ... 14

3.3. Metode Penelitian ... 15

3.3.1. Ikan Uji ... 15

3.3.2. Wadah Penelitian ... 15

3.3.3. Padat Tebar ... 15

3.3.4. Pengaturan Temperatur ... 16

3.4. Parameter Yang Dievaluasi ... 16

1. Ukuran Morfologis ... 16

2. Koleksi Plasma Darah ... 16

3. Indeks Gonadosomatik ... 16

4. Indeks Hepatosomatik ... 17

5. Indeks Viscerasomatik ... 17

6. Histologi ... 18

-Penghitungan Proporsi Oosit ... 18

7. Analisa Kadar Hormon ... 18

8. Fekunditas ... 18

3.5. Analisis Data ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 4.1. Ikan Betina ... 20

1. Gambaran Morfologis ... 20

2. Indeks Gonadosomatik ... 20

3. Indeks Hepatosomatik ... 22

4. Indeks Viseralsomatik ... 23


(12)

4.2. Ikan Jantan ... 24

1. Gambaran Morfologis ... 24

2. Indeks Gonadosomatik ... 24

3. Indeks Hepatosomatik ... 25

4. Indeks Viseralsomatik ... 26

4.3. Pengamatan Gametogenesis ... 26

4.3.1. Proporsi Oosit ... 26

4.4. Analisa Kadar Hormon Estradiol ... 34

4.5. Fekunditas ... 36

4.6. Kualitas Air ... 36

Pembahasan ... 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perlakuan fotothermal yang dicobakan ... 15

2. Nilai rataan berat ikan senggaringan betina pada fotothermal yang

berbeda ... 20

3. Nilai rataan berat ikan senggaringan jantan pada fotothermal yang

berbeda ... 24

4. Nilai proporsi oosit ikan senggaringan betina yang diperlihara pada

fotothermal ... 30

5. Nilai rataan fekunditas ikan senggaringan sebelum dan sesudah

fotothermal ... 36

6. Parameter kualitas air (Temperatur) pada masing-masing bak

fotothermal yang berbeda ... 36

7. Parameter kualitas air (O2 dan CO2) pada masing-masing bak


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Bagan alir pendekatan masalah ... 5

2. Morfologi ikan senggaringan ... 6

3. Proses vitellogenesis pada ikan ... 12

4. Nilai rataan indeks gonadosomatik ikan senggaringan betina sebelum dan sesudah fotothermal ... 21

5. Nilai rataan indeks hepatosomatik ikan senggaringan betina sebelum dan sesudah fotothermal ... 22

6. Nilai rataan indeks viseralsomatik ikan senggaringan betina sebelum dan sesudah fotothermal ... 23

7. Nilai rataan indeks gonadosomatik ikan senggaringan jantan sebelum dan sesudah fotothermal ... 24

8. Nilai rataan indeks hapatosomatik ikan senggaringan jantan sebelum dan sesudah fotothermal ... 25

9. Nilai rataan indeks viseralsomatik ikan senggaringan jantan sebelum dan sesudah fotothermal ... 26

10. Proporsi tahapan oogenesis pada gonad ikan senggaringan sebelum dan sesudah fotothermal ... 29

11. Foto preparat ovarium ikan senggaringan (Mei-Juni) ... 31

12. Foto preparat ovarium ikan senggaringan (Juni-September) ... 32

13. Foto preparat ovarium ikan senggaringan (September) ... 33

14. Uji paralelism plasma darah ikan senggaringan betina untuk hormon estradiol ... 34


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur pengukuran kualitas air ... 50

2. Analisis histologi ovari ... 52

3. Prosedur pengukuran kadar steroid ... 53

4. Berat ikan senggaringan betina ... 54

5. Panjang ikan senggaringan betina ... 55

6. Rataan nilai indeks gonadosomatik ikan senggaringan betina ... 56

7. Rataan nilai indeks hepatosomatik ikan senggaringan betina ... 56

8. Rataan nilai indeks viseralsomatik ikan senggaringan betina ... 56

9. Fekunditas ikan senggaringan betina ... 57

10. Berat ikan senggaringan jantan ... 58

11. Panjang ikan senggaringan jantan ... 59

12. Rataan nilai indeks gonadosomatik ikan senggaringan jantan ... 60

13. Rataan nilai indeks hepatosomatik ikan senggaringan jantan ... 60

14. Rataan nilai indeks viseralsomatik ikan senggaringan jantan ... 60

15. Analisis ragam IGS ikan senggaringan betina ... 61

16. Analisis ragam IHS ikan senggaringan betina ... 61

17. Analisis ragam IVS ikan senggaringan betina ... 61

18. Analisis ragam IGS ikan senggaringan jantan ... 61

19. Analisis ragam IHS ikan senggaringan jantan ... 62

20. Analisis ragam IVS ikan senggaringan jantan ... 62

21. Analisis ragam oosit ikan senggaringan betina ... 63

22. Kadar estradiol ikan senggaringan betina selama percobaan ... 64

23. Analisa ragam kadar estradiol ikan senggaringan betina ... 64


(16)

26. Nilai indeks morfoanatomi ikan senggaringan jantan ... 76

27. Wadah aklimatisasi dan percobaan ... 86

28. Wadah Kontrol dan pengukuran bobot/panjang ... 87

29. Sampling organ morfoanatomi dan bahan-bahan yang digunakan ... 88

30. Instrumen pengamatan preparat dan pengukuran kualitas air ... 89

31. Laboratorium Perikanan Jurusan Perikanan dan Kelautan UNSOED .. 90


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan senggaringan (Mystus nigriceps) merupakan salah satu ikan liar yang hidup di sungai Klawing Jawa Tengah yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, ikan ini menjadi perhatian para peneliti dan dimasa mendatang diharapkan menjadi salah satu komoditi yang berkontribusi untuk meningkatkan produksi akuakultur. Namun aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus dan mulai terganggunya habitat hidup menyebabkan ikan ini sudah jarang ditemui dipasaran dan hasil tangkapan cenderung menurun. Putro (2003) melaporkan bahwa antara tahun 1998 hingga 2002 hasil perolehan tangkapan di sungai Klawing untuk ikan senggaringan menurun dari 14,3 ton menjadi 8,9 ton. Kondisi ini bila dibiarkan terus menerus dan tanpa ada upaya maka kemungkinan besar populasi jenis ikan ini di alam akan berkurang dan tidak tertutup kemungkinan dapat punah.

Untuk menjaga keberadaan ikan ini diperlukan upaya budidaya, yang kelak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan-ikan tersebut, serta mendapatkan stok untuk usaha restoking diperairan umum yang ada untuk menjaga keberadaan dihabitat aslinya. Ikan ini termasuk ikan yang memiliki fase bertelur dalam waktu yang cukup panjang, sehingga cukup potensial jika bisa di budidayakan. Penelitian terdahulu tentang ikan senggaringan yang dilakukan oleh Sulistyo dan Setijanto (2002), dan Rukayah et al. (2003) hanya mampu menyajikan informasi terbatas tentang aspek reproduks i terdiri atas indeks morfoanatomi dan fekunditas, tetapi belum mampu menentukan musim pemijahannya. Upaya pembudidayaan serta usaha pembenihan ikan ini belum berhasil, karena masih sering mengalami kegagalan.

Ikan di alam sangat dipengaruhi oleh musim dalam melakukan proses reproduksi, sedangkan dalam sistem budidaya kita menginginkan intervensi musim tersebut dihilangkan. Serta di alam juga, ikan menerima berbagai sinyal-sinyal lingkungan yang kemudian sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke otak, hypothalamus, hypofisa, hati, gonad. Salah satu sinyal lingkungan yang dicobakan adalah fotothermal. Fotothermal merupakan salah satu bentuk manipulasi


(18)

lingkungan terkontrol yaitu dengan mengatur ritme intensitas cahaya (gelap dan terang per harinya) dan temperatur media.

Manipulasi fotothermal memiliki kesamaan dengan fotoperiod yaitu salah satu cara yang digunakan untuk mengontrol waktu kematangan gonad dan pemijahan pada sejumlah ikan.Respon fotoperiod merupakan salah satu bentuk adaptasi lingkungan yang biasa dicobakan untuk hewan dengan tujuan untuk memprediksi perubahan di dalam tubuh hewan dan respon fisiologisnya (Gwinner, 1986 dalam Dahl dan Petitclerc, 2003). Kebanyakan respon fisiologis akibat fotoperiod mempengaruhi status musim reproduksi, selain itu juga mempengaruhi bobot tubuh, komposisi dan perubahan kulit. Sedangkan temperatur merupakan salah satu dari faktor lingkungan yang dapat mempercepat vitellogenesis, jika fluktuasi harian temperatur air tidak tinggi dan jumlah nutrisi tersedia. Beberapa penelitian terhadap ikan subtropis memperlihatkan adanya dampak dari fotothermal terhadap reproduksi ikan. Skjaeraasen et al. (2004) melaporkan bahwa ikan atlantic cod (Gadus morhua L) yang diberi pencahayaan singkat (short day=8T:16G) terjadi peningkatan yang lebih tinggi kadar plasma testosteron (T), 11-keto-testosterone (11-KT, ? ) dan estradiol (E2, ? ) dari pada pencahayaan normal (normal day=pencahayaan alami). Kemudian ditambahkan fotoperiod juga memberikan pengaruh terhadap kematangan ikan cod, dimana rata-rata tertinggi nilai GSInya 10,6% diantara perlakuan pencahayaan singkat. Ini berarti ada respon dari ritme pencahayaan terhadap timing siklus maturasi. Amano et al. (2000) juga melaporkan bahwa ikan jantan salmon (Oncorhynchus masou) dengan fotoperiodik pendek 8T:16G telah memacu kematangan testis dan menghambat perkembangannya pada fotoperiod 16T:8G. Kemudian Bromage et al. (1984) dan Scott et al. (1984) menyebutkan ikan rainbow dengan pencahayaan panjang dapat mempercepat pemijahan. Davies et al. (1999) menemukan bahwa kombinasi panjang/pendek fotoperiod 18T:6G/6T:18G dapat mempercepat atau menghambat kematangan dan pemijahan ikan rainbow betina. Selanjutnya ditambahkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mempengaruhi perkembangan gonad adalah temperatur dan makanan termasuk periode cahaya dan musim (bagi daerah subtropis), kemudian ditambahkan bahwa periode penyinaran yang pendek dan temperatur yang tinggi dapat mempercepat


(19)

pematangan gonad. Namun bagi beberapa spesies ikan tropis, musim penghujan atau banjir dapat mempengaruhi perkembangan gonad, tetapi belum jelas apakah karena pertukaran kimia air, aliran air atau pasokan pakan akibat banjir yang menyebabkan perkembangan gonad.

Sebagai daerah tropis, kita hanya mengenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Menurut Davie (2005) pada kondisi ini sebenarnya sangat menguntungkan karena aktivitas memakan dan reproduksi dapat dilakukan kapan saja. Tidak seperti daerah sub-tropis yang mengenal empat musim (semi, panas, gugur dan dingin), sehingga kebanyakkan ikan memanfaatkan musim panas untuk menimbun cadangan energi yang akan mendukung gametogenesis pada musim gugur, sehingga ikan bisa memijah kembali pada musim dingin. Namun, ternyata hal ini tidak berlaku umum bagi ikan-ikan tropis, karena di negara tropis ternyata masih terdapat ikan- ikan liar yang pemijahannya secara alami masih sukar dilakukan, sehingga populasinya di alam bisa terancam punah. Salah satu contohnya adalah ikan senggaringan, sehingga tidak menutup kemungkinan fototermal juga bisa berdampak positif terhadap spesies ini.

Berdasarkan hal-hal diatas penulis tertarik melakukan riset tentang fotothermal, dengan harapan adanya dampak positif terhadap proses pematangan gonad ikan senggaringan.

1.2. Perumusan Masalah

Kajian-kajian dasar tentang ikan apalagi ikan-ikan lokal yang berpotensi dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi yang kelestariannya mulai terancam sangat diperlukan, ditambah lagi Indonesia mempunyai spesies air tawar yang cukup tinggi namun belum begitu banyak yang diekspos. Dalam kaitanya dengan pengembangbiakan ikan (budidaya ataupun ikan liar) kenda yang sering muncul dalam prakteknya adalah terhambatnya perkembangan gonad ikan terutama ikan betina.

Kemudian dalam menghadapi tuntutan akuakultur kedepannya, dimana produksi tidak lagi bergantung pada alam, maka kajian reproduksi mutlak diperlukan. Zairin (2003) menyebutkan bahwa kegiatan budidaya ikan tidak bisa


(20)

(disediakan secara massal dan terlepas dari musim). Untuk mencapai hal tersebut kontrol terhadap siklus reproduksi ikan di dalam sistem budidaya sangat diperlukan.

Disisi lain, tingginya tingkat pemanfaatan ikan dari perairan umum dikhawatirkan akan menyebabkan kepunahan populasi sedangkan kestabilan populasi sangat ditentukan oleh siklus reproduksi untuk melestarikan keturunannya. Pada proses reproduksi ikan terdapat perubahan-perubahan yang terjadi baik dari segi morfologi (panjang dan berat), anatomi (gonad, hati dan visceral) serta fisiologi seperti kandungan hormon steroid dalam plasma darah. O’Malley dan Scott (1999) menyebutkan profil reproduksi ikan didukung oleh adanya kerja internal organ-organ reproduksi (hati, gonad dan visceral) dan pendukung lainnya dalam gametogenesis dan kerja hormon. Dari beberapa riset telah dilaporkan bahwa fotoperiod dan pengaturan termperatur air dapat memberikan rangsangan terhadap ikan dalam hal pematangan gonad khususnya ikan-ikan subtropis. Selain itu fotoperiod diduga dapat memacu peningkatan frekuensi pemijahan atau menggeser pemijahan diluar musim.

Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk melihat pematangan gonad ikan senggaringan adalah dengan manipulasi fotothermal, yaitu dengan mengevaluasi indeks gonadosomatik (IGS), indeks hepatosomatik (IHS) dan indeks visceralsomatik (IVS). Parameter tersebut menggambarkan organ-organ reproduksi ikan selama masa perkembangan gonad seperti hati, visceral dan ovarium/testis (Sulistyo et al. 2008).

1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pematangan gonad ikan senggaringan baik betina maupun jantan, yaitu dengan melihat bagaimana perubahan indeks morfoanatomi seperti IGS, IHS dan IVS pada saat sebelum dan setelah perlakuan fotothermal yang berbeda. Kemudian dilihat juga perlakuan fotothermal mana yang mampu mendukung proses perkembangan gonad ikan senggaringan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar pendekatan dalam usaha budidaya ikan ini dan sebagai dasar strategi konservasi sumberdaya perairan (in situ dan ex situ).


(21)

Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps)

-Ikan liar air tawar

-Bernilai ekonomis cukup tinggi -Adanya degradasi lingkungan ; -Pabrik tapioca

-Limbah pertanian -Bahan galian C

-Penangkapan terus menerus -Belum berhasilnya dibudidayakan -Kandidat komoditi akuakultur

Perlu upaya domestikasi/konservasi -Informasi lengkap siklus sangat reproduksi diperlukan

-Aktivitas akuakultur sebisa mungkin terlepas dari intervensi alam

Diperlukannya modifikasi kontrol siklus reproduksi : Fotothermal

Kinerja reproduksi yang dievaluasi ; -Morfoanatomi ;

-Ovarium : IGS -Hati : IHS -Visceral : IVS

-Gametogenesis : Histologi -Hormon steroid : Estradiol (? )

√Konservasi

√Budidaya

Untuk ikan2 subtropis fotothermal mampu :

-Mengontrol kematangan, -Siklus pemijahan

(mempercepat/menghambat)

Tidak penutup kemungkinan berdampak + thd ikan tropis : Senggaringan (? dan ? )


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Ikan Senggaringan (Mystus nigriceps)

Ikan Senggaringan dilihat dari morfologisnya termasuk dalam kelompok ikan bersungut dari ordo Siluriformes, sub ordo Siluroidei, famili Bagridae, genus Mystus, spesies Mystus nigriceps (Saanin 1986, Kottelat et al. 1993).

Jenis ikan yang termasuk genus Mystus terdapat di perairan umum Indonesia ditaksir tidak kurang dari 11 jenis. Jenis tersebut selain M. nemurus adalah M. baramensisi, M. bimaculatus, M. gulio, M. microcanthus, M. nigriceps, M. olyroides, M. planiceps, M. sabanus, M. wolffi dan M. wyckii (Kartamihardja, 2002).

Gambar 2. Morfologi ikan senggaringan (tampak atas dan samping)

Ikan senggaringan tergolong ikan yang bertulang sejati (teleostei). Ikan teleostei mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ memanjang dan kompak, terdapat didalam rongga perut, berisi oogonium, oosit dengan sel-sel folikel yang mengitarinya, jaringan penunjang atau stroma, jaringan pembuluh


(23)

Di India, Mijkherjee et al. (2002) melaporkan beberapa genus Mystus terancam keberadaannya sebagai akibat eksploitasi yang berlebih, polusi pestisida di perairan, penyakit, pemasukan ikan eksotik yang tidak terkontrol, industrialisasi yang mengganggu habitat dan pemanfaatan air secara berlebihan.

Penyebaran ikan senggaringan meliputi daerah Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di berbagai daerah jenis Mystus nigriceps dikenal dengan nama ikan keting atau kating dan di Jawa Tengah dikenal dengan nama ikan Senggaringan (Saanin, 1986). Sulistyo dan Setijanto (2002), Rukayat et al. (2003) dan Putro (2003) menyebutkan ikan ini dijumpai di sungai Klawing dan Serayu. Sungai Klawing merupakan salah satu dari banyak sungai yang cukup besar/penting di Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah), sungai ini banyak dimanfaatkan selain oleh nelayan juga oleh penambang pasir (bahan galian C) dan pabrik tapioka.

Ikan Senggaringan merupakan ikan yang bersifat omnivora tetapi cenderung karnivora yaitu menyukai makanan berupa crustacea dan insekta air (Sulistyo dan Setijanto, 2002). Heltonika (2009) menambahkan dari hasil analisis isi lambung baik pada TKG I-V jenis makanan yang dominan ditemui adalah serpihan tumbuhan dan serpihan hewan, sedangkan plankton relatif kecil. Sedangkan karakter istika habitat yang disukai meliputi daerah perairan yang dangkal maupun dalam, terlindung, berarus lemah (0,08-0,16 m/s). Substrat dasar biasanya berupa campuran pasir, kerikil dan batuan, terkadang ditumbuhi lumut (Sulistyo dan Setijanto, 2002). Selanjutnya ditambahkan Sulistyo et al. (2008) bahwa ikan ini terbagi kedalam 2 zona tempat hidup yaitu daerah dangkal (<0,5 meter) untuk ikan muda dengan ukuran yang ditemui lebih pendek dan daerah dalam (>1 meter) untuk ikan dewasa dengan ukuran lebih panjang.

Rukayah et al. (2003) melaporkan bahwa strategi reproduktif ikan Senggaringan ditinjau dari fekunditas mutlak berkisar antara 10005-39621 butir, sedangkan proporsi ukuran diameter telur pada musim kemarau masih didominasi oleh ukuran 50-100 µm. Hubungan nilai fekunditas dan diameter telur menunjukkan bahwa ikan senggaringan termasuk ikan yang total spawning pada saat pemijahannya (Heltonika, 2009). Selanjutnya Sulistyo et al. (2007) melaporkan bahwa dilihat dari nilai GSInya, ikan ini cenderung mengalami peningkatan menjelang musim penghujan (Agustus-Januari). Hal ini karena pada


(24)

bulan-bulan tersebut ditemui nilai maksimum IGS, dan minimum pada bulan April- Mei.

Sebagian besar dari ikan- ikan teleost bertelurnya bersifat musiman hingga beberapa keturunan secara terus-menerus. Selama musim bertelur, ada variasi yang lebar waktunya (tahun) ketika perkawinan tiba. Ikan-ikan zona air tawar memijah/bertelur di musim semi dan awal musim panas, sedangkan yang lainnya seperti salmonids melakukannya di dalam musim gugur. Ikan- ikan air tawar di sungai Murray- Darling dari New South Wales, Australia, dirangsang untuk memijah ketika perairan banjir (Lake, 1967). Kemudian ikan- ikan air tawar dari danau-danau dataran banjir Amazon memijah selama musim hujan (Schwassmann, 1978). Didalam anak-anak benua India, mayoritas ikan air tawar memijah selama angin monsun mencapai puncaknya (ketika curah hujan tinggi) (Jhingran, 1975). Waktu pembiakan dari tiap jenis adalah sangat tergantung pada waktu dan lingkungan yang tepat sehingga nener yang dihasilkan dalam siklus reproduksi maksimal survival.

2.2. Peranan Fotothermal Dalam Reproduksi

Fotothermal berkaitan dengan periode pencahayaan dan temperatur. Cahaya dengan segala aspek yang dikandungnya (intensitas dan panjang gelombang) akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap tingkahlaku/pergerakan ikan. Tubuh mengetahui perubahan lingkungan karena dilengkapi alat penerima rangsang/indra, baik fisik maupun kimia. Seperti halnya mata bertugas merekam perubahan cahaya, linea lateral merekam perubahan arus dan gelombang. Perubahan lingkungan yang direkam alat indra tersebut dilaporkan ke otak untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan cara perubahan tingkah laku atau metabolisme untuk mengatasi gangguan keseimbangan (Fujaya, 2004).

Fotoperiode, temperatur dan curah musim hujan adalah beberapa faktor lingkungan yang sangat penting dalam mengatur siklus reproduksi ikan. Di alam, faktor lingkungan menentukan sebagain besar pemilihan waktu reproduksi dan strategi reproduksi jenis ikan- ikan tertentu. Karena itu mengetahui pengaruh dari faktor lingkungan terhadap respon biologi reproduksi suatu jenis ikan adalah dasar


(25)

Pengaturan fotoperiod, temperatur yang sesuai dan didukung ketersediaan makanan yang cukup, ini dapat mempengaruhi pola reproduksi pada kebanyakan ikan teleosts.

Teoritisnya, mekanisme pengaruh fotothermal terhadap kinerja reproduksi ikan sebagai berikut; 1) fotoperiode (periode pencahayaan) akan diterima oleh fotoreseptor yang terdapat pada retina ikan, kemudian disampaikan melalui saraf menuju hipotalamus dan kelenjar pineal kompleks (pineal gland), khususnya bagian suprachiasmatic nucleus (SCN). Selanjutnya, kelenjar pineal ini akan mensekresikan hormon indoleamin dan melatonin ke dalam cairan cerebrospinal dan plasma darah. Melatonin merupakan antigonadotropin, sehingga jika kadar melatonin dalam darah tinggi, maka perkembangan gonad akan berhenti (Mustonen, 2003). Lebih lanjut, menurut Gern et al. (1978) dalam Davie (2005) melaporkan bahwa hormon melatonin akan menurun pada suatu fase pencahayaan yang tinggi, dan sebaliknya akan meningkat pada fase gelap. 2) temperatur perairan dapat langsung mempengaruhi kondisi gonad, khususnya pada reaksi enzimatisnya. Wilbraham dan Matta (1992) dalam Warsito (2007) menyatakan bahwa laju reaksi enzim meningkat seiring dengan kenaikan suhu dan akhirnya enzim kehilangan semua aktifitas jika protein menjadi rusak akibat panas setelah temperatur optimum. Banyak enzim berfungsi optimal dalam batas-batas temperatur antara 25-37oC. Temperatur optimum yang mampu untuk mendukung aktivitas reproduksi ikan yaitu berkisar antara 25-30oC. Kisaran temperatur ini umumnya bisa lebih dijamin pada negara tropis (Sutisna dan Sutarmanto, 1995).

Peristiwa terakhir dari siklus reproduksi adalah pelepasan telur dan sperma ke media inilah yang kita dikenal istilah pemijahan. Faktor lingkungan telah menunjukkan peranan cukup penting terhadap siklus reproduksi seperti: fotoperiode, temperatur air, kualitas air (seperti DO, pH, hardness, salinitas, alkalinitas), genangan air dan arus air; pasang dan siklus bulan, siklus cuaca (seperti tekanan atmosfer, curah hujan), substrat pemijahan (seperti tumbuhan air, ranting-ranting, kerikil, liang- liang dalam tanah), nutrisi, dan kehadiran ikan lain. Faktor-faktor diatas tidak berfungsi sendiri-sendiri tetapi saling berhubungan. Pengaturan mekanisme internal terhadap proses reproduksi ikan adalah dimulai dari otak – hypothalamus – pituitary – gonad (Rottmann et al. 1991).


(26)

Reproduksi pada ikan berada dibawah kontrol poros hypothalamus, hypofisis dan gonad. Ketiga jenis kelenjar hormon tersebut mengeluarkan hormon-hormon yang berperan sebagai media perantara bagi sinyal lingkungan ke organ reproduksi (hormon-hormon ini bekerja secara bertingkat; hypofisis– gonad–hati). Effendie (2002) menyebutkan kematangan gonad pada ikan umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Effendie (2002) melaporkan bahwa pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10%. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin besar. Kuo et al. (1979) juga menyatakan bahwa kematangan gonad pada ikan dicirikan dengan perkembangan diameter rataan telur dan pola distribusi ukuran talur.

Kebanyakan kematangan gonad ikan senggaringan dimulai apabila telah mencapai bobot 50 gram dengan panjang lebih kurang 200 mm (Sulistyo dan Setijanto, 2002). Heltonika (2009) melaporkan ikan senggaringan mempunyai letak dan bentuk mulut dengan tipe subterminal dan dilengkapi dengan gigi yang tajam. Ukuran lebar bukaan mulut berkisar 1 – 1,9 cm dengan kisaran panjang total tubuh 14,6 – 22,5 cm. Serta mendapatkan ukuran pertama kali matang gonad adalah 148 mm. Ikan ini termasuk ikan yang memiliki hubungan panjang dan berat yang normal.

Secara garis besar perkembangan gonad ikan dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap I berlangsung mulai ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap II dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi masih tetap berjalan normal (Lagler et al. 1979). Lebih lanjut dikatakan bahwa kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor luar (seperti temperatur


(27)

dan adanya lawan jenis) dan faktor dalam (seperti perbedaan spesies, umur dan sifat-sifat fisiologi lainnya).

Arroyo et al. (2004) melaporkan kontrol reproduksi ikan Chirostoma humboldtianum dengan siklus fotothermal buatan terhadap reproduksi ikan jantan dan betina, dimana pada percobaan pertama; didapatkan bahwa induk ikan jantan terangsang photothermal 19°C dan 12T/12G, sedangkan induk betina tidak bereaksi terhadap rangsangan pertama ini. Pada percobaan kedua, ikan betina terangsang pada 19°C dan 12T/12G yang didapatkan pemijahan ganda (betina dan jantan sama-sama memijah). Selanjutnya Mc Cleare dan Kleckner (1982) menyebutkan beberapa manfaat dari manipulasi fotoperiod adalah meningkatkan performan, profit dan kelangsungan aktivitas budidaya.

2.3. Hormonal

Kebanyakan ikan teleosts seperti ikan atlantik cod (Gadus morhua) memijah pada suatu periode yang spesifik (Bye, 1984; Brander, 1994), sedangkan waktu pematangan gonad ikan teleost dikontrol oleh ritme endogenous (Bromage et al. 2001). Salah satu isyarat lingungan yang perlu dipertibangkan adalah fotoperiode, karena dengan pedekatan ini akan didapatkan sinkronisasi pemijahan ikan dari tiap-tiap populasi mendekati waktu yang sama (seragam) setiap tahunnya. Otak mengintegrasikan dan menyampaikan masukan dari internal dan eksternal ke pituitary mengatur sintesa dan mensekresikan gonadotropin (GtHs). GtHs mengatur dua aktivitas utama dari gonad; hormon dan sel nutfah produksi (germcell production). Pada ikan teleosts betina, termasuk ikan cod, testosteron (T) dan 17β-estradiol (E2) adalah hormon kelamin (sex steroid) yang dominan di dalam plasma selama oogenesis, sedangkan T dan 11-ketotestosterone (11-KT) adalah yang perperan selama spermatogenesis pada ikan jantan (Nagahama, 1994, 2000; Dahle et al. 2003; Norberg et al. 2004 dalam Skjæraasen, 2004).

Hormon yang berperan dalam seksual maturasi adalah 17β-Estradiol (E2) untuk betina, testosteron dan 11-KT untuk jantan. Hormon adalah zat yang disintesis pada kelenjar tanpa saluran dan disekresikan kedalam aliran darah untuk dikirim kebagian organ target (Djojosoebagio, 1990). 17β-Estradiol (E2) adalah salah satu hormon steroid turunan kolesterol, yang berperan penting dalam proses


(28)

vitelogenesis (Cerda et al. 1996 dalam Utia, 2006). E2 merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. E2 mengalami peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan meningkatnya ukuran diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi E2 dalam darah akan memacu hati melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan gonad. Karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari pematangan gonad (Zairin et al. 1992). Singh dan Singh (1990) menyebutkan bahwa pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir maka sintesis E2 akan menurun karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen terhadap hormon yang menstimulasi sintesis E2. Selanjutnya Mylonas dan Zohar (2001)

dalam Utia (2006) menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon E2 tinggi pada fase vitelogenesis dan mencapai puncaknya pada fase mGV (germinal vesicle migration) dan kemudian mengalami penurunan pada fase pGV (germinal vesicle peripheral) (Gambar 4).

Gambar 4. Proses vitelogenesis pada ikan (Aida et al. 1991)

Pada ikan betina, ovari berespons terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin dengan meningkatkan secara tidak langsung produksi estrogen, yakni E2. E2 ?beredar menuju hati, memasuki jaringan dengan cara difusi dan secara spesifik merangsang sintesis vitelogenin (Ng dan Idler, 1983). Aktivitas vitelogenesis ini menyebabkan nilai indeks hepatosomatik (IHS) dan indeks gonadosomatik (IGS) ikan meningkat (Cerda et al. 1996).


(29)

Pada ikan atlantik cod betina yang diatur dengan pencahayaan alami dan temperatur air yang diatur juga mempengaruhi durasi vitellogenesis ikan betina (VTG) seperti periode pertumbuhan oosit yang cepat (Kjesbu, 1994 dalam Skjaeraasen et al. 2004). Kemudian ditambahkan bahwa perkiraan waktu dimulainya spawning dari awal vitellogenesis (diameter telur 300 µm) pada bulan Agustus (pencahayaan singkat), spawning pada awal Oktober. Dengan demikian terlihat totoperiode dapat mempengaruhi jangka waktu VTG (Norberg et al. 2004 dalam Skjaeraasen et al. 2004).

Peningkatan kadar E2 (pencahayaan singkat) pada ikan betina menandai adanya penambahan (percepatan) maturiti, jangka waktu VTG mungkin lebih singkat, dan untuk kadar plasma testosteron betina lebih rendah dari E2, dan juga lebih rendah dari jantan. Ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu studi tentang periode pemijahan ikan kakap, atlantik halibut dan ikan cod (Prat et al. 1990; Methven et al. 1992; Norberg et al. 2004). Peningkatan yang signifikan terhadap bobot ovarium maupun dalam pembentukan oosit kuning telur dapat diekspos fotoperiode dari LD 12:12 atau 14:10 selama 36 hari (temperatur air 15,5-17°C), dan tempo vitellogenesis meningkat pada temperatur yang lebih tinggi.


(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai September 2009. Penelitian meliputi penanganan dan preservasi sampel dilakukan di Laboratorium Budidaya Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto Jawa Tengah. Histologi dilakukan di Laboratorium Struktur Pengembangan Hewan Fakultas Biologi UNSOED. Sedangkan penentuan kadar steroid dilakukan di Laboratorium Hormon Unit Reproduksi dan Kebidanan FKH IPB Bogor.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan singgaringan betina dengan kisaran bobot 32,50 – 69,50 g dan jantan dengan kisaran 27,17 – 49,67 g, berasal dari sungai Clawing Kab. Purbalingga yang merupakan hasil tangkapan dari alam, minyak cengkeh untuk anestesi ikan sehingga memudahkan dalam pengambilan darah/mengurangi stres, ethylene diamine tetra acetic acid (EDTA) sebagai antikoagulan, larutan bouin-hollande untuk preparasi histologi, larutan hematosiklin eosin menjadi preparat, pakan berupa cacing darah beku, H2SO4 pekat, akuades, MnSO4, Na2S2O3, indikator phenolphtalein, koh KI untuk titrasi O2/CO2 dan kit EIA Estradiol (E2).

Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 9 bak kayu dengan ukuran (150x80x60 cm) yang dilapisi terpal biru, heater (T ± 1oC), lampu PE 20 Watt (intensitas cahaya 12 lux) (Lampiran 27), lux meter untuk mengukur intensitas cahaya lampu, serok, aerasi, pompa air, timer sebagai pengatur pencahayaan, plastik penutup bak perlakuan kedap cahaya, disetting set, cawan petri, timbangan analitik (ketelitian ± 0,001 g), baki, gelas ukur, serta mikrotom. Mikroscop kamera untuk mengamati preparat, pengukuran bobot menggunakan timbangan elektrik dan timbangan Ohaus (ketelit ian 0,1 g, milimeter blok untuk pengukuran panjang tubuh, tabung eppendorf tempat plasma darah, freezer (-20oC) sebagai tempat penyimpanan sampel segar, sentrifuge, dan enzym linked immunoasorbent assays (ELISA).


(31)

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (2 kombinasi perlakuan yaitu foto dan thermal = fotothermal), yang terdiri atas 9 perlakuan, sebagai ulangan 3 individu ikan diambil setiap sampling. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Perlakuan fotothermal yang dicobakan

Kode Perlakuan Keterangan

T0 L0 Temperatur dan durasi pencahayaan alami

T0 L1 Temperatur alami dan durasi pencahayaan 10T :14G T0 L2 Temperatur alami dan durasi pencahayaan 14T :10G T1 L0 Temperatur 25oC dan durasi pencahayaan alami T1 L1 Temperatur 25oC dan durasi pencahayaan 10T:14G T1 L2 Temperatur 25oC dan durasi pencahayaan 14T:10G T2 L0 Temperatur 30

o

C dan durasi pencahayaan alami T2 L1 Temperatur 30

o

C dan durasi pencahayaan 10T:14G T2 L2 Temperatur 30oC dan durasi pencahayaan 14T:10G

3.3.1. Ikan Uji

Ikan uji diperoleh dengan bantuan nelayan setempat menggunakan perahu (kondisi hidup), dikumpulkan dalam keramba kecil, jika jumlah sampel telah mencukupi kemudian dibawa ke laboratorium, untuk selanjutnya diaklimatisasi dan diadaptasikan kedalam bak penampung sebelum dimasukkan kedalam bak penelitian.

3.3.2. Wadah Penelitian

Wadah penelitian yang digunakan adalah bak kayu yang telah dilapisi terpal plastik, masing-masing ditutupi dengan plastik polybag, satu perlakuan memerlukan satu wadah, dan temperatur air distabilkan dengan menggunakan heater kecuali untuk T0, wadah dipasang sebuah lampu (sumber cahaya) kecuali L0, lampu digantungkan dengan ketinggian 1,5 m dari permukaan air. Bak percobaan diisi air hingga kedalaman 40 cm (kapasitas 500 L), dengan sistem resirkulasi tertutup agar tidak perlu dilakukan pergantian air.

3.3.3. Padat Tebar

Padat tebar ikan 12 ekor/wadah (rasio betina : jantan = 1:1), dengan asumsi tidak turut memberi pengaruh positif terhadap perkembangan gonad ikan,


(32)

ikan diberi pakan blood worm dengan jumlah yang sama, frekuensi pemberian 3 kali sehari (pagi, siang dan sore) secara adlibitum.

3.3.4. Pengaturan Temperatur

Sebelum ikan dimasukkan kedalam wadah perlakuan, terlebih dahulu dilakukan aklimatisasi. Temperatur air media dipertahankan sesuai perlakuan yang diinginkkan dengan heather dan semua perlakuan fotoperiode yang berbeda diatur dengan timer (mulai jam 08.00 pagi). Selanjutnya sebagai pendukung dilakukan pengukuran fisika dan kimia air seperti temperatur, oksigen terlarut dan karbondioksida bebas (Lampiran 1).

3.4. Parameter yang dievaluasi 1) Ukuran Morfologis

Sebelumnya ikan sebagai sampel diambil secara acak masing-masing 3 ekor, kemudian dipingsankan, dan diukur bobot tubuh (g) dan panjang total (cm).

2) Koleksi Plasma Darah

Darah diambil dari bagian bawah sirip punggung/diatas sirip dada menggunakan spuit injeksi 1 mL yang sudah diisi antikoagulan. Darah yang diperoleh ditampung di dalam tabung reaksi, dimasukkan kedalam icebox, disentrifugasi dengan kecepatan rendah (3000 rpm selama 15 menit), kemudian plasmanya ditampung dalam tabung ependorf dan diberi label sesuai dengan nomor sampel dan jenis perlakuan, disimpan dalam freezer (-20oC) hingga waktunya dianalisis. Langkah selanjutnya ikan sampel dibedah untuk melihat indeks morfoanatomi seperti ;

3) Indeks Gonadosomatik (IGS)

Gonad yang didapat ditimbang, dan selanjutnya dikalkulasikan untuk mendapatkan persentase. IGS individu ikan dihitung dengan persamaan (Effendie, 1997) ;

Bobot Gonad (g) IGS (%) = x 100


(33)

Indeks ini mencerminkan perkembangan gamet (ovarium/testis), di mana jika nilainya semakin tinggi maka perkembangan gonadnya juga semakin maju (De Vlaming et al. 1982 dalam Sulistyo et al. 2008).

4) Indeks Hepatosomatik (IHS)

Hati yang didapat ditimbang, kemudian dikalkulasikan untuk mendapatkan persentase). IHS individu ikan dihitung dengan persmaan (Sulistyo et al. 2000) ;

Bobot Hati (g) IHS (%) = x 100

Bobot Tubuh (g)

Evaluasi ini dilakukan karena diduga ada keterkaitan organ hati (khususnya pada ikan betina) sebagai sumber materi pada proses vitellogenesis. Sheikh-Eldin et al. (1995) menjelaskan bahwa organ hati merupakan organ penimbun cadangan energi dan akan dibongkar untuk mendukung perkembangan oosit. Cadangan energi dalam hati ini selanjutnya baru akan dipergunakan untuk mendukung kegiatan pemijahan jika deposit energi pada organ lain tidak mencukupi. Selain itu, tingginya nilai IHS ini juga dikarenakan adanya akumulasi steroid Estradiol-17ß pada organ hati yang berfungsi untuk mensintesis vitellogenin selama masa vitellogenesis.

5) Indeks Viscerasomatik (IVS)

Organ visceral (selain hati dan gonad) yang didapat ditimbang, selanjutnya dikalkulasikan. IVS individu ikan dihitung dengan persamaan (Sulistyo et al. 1998) ;

Bobot Visceral (g) IVS (%) = x 100

Bobot Tubuh (g)

Menurut Sulistyo (1998) bahwa visceral adalah organ dalam ikan selain gonad dan hati. Evaluasi ini dilakukan karena diduga ada kaitan organ visceral (jaringan lemak) sebagai sumber utama energi untuk mendukung perkembangan gonad.


(34)

6) Histologi

Pembuatan preparat histologi dilakukan dengan metode parafin (Kiernan, 1990). Proses pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom, dimana untuk preparat jaringan testis dipotong dengan ketebalan 6 mikron (Lampiran 2). -Penghitungan proporsi setiap tahapan perkembangan oosit

Tahapan perkembangan oosit pada ovarium senggaringan ditentukan menurut Wijayanti et al. (2004). Secara garis besar oosit dik lasifikasikan ; tahap previtellogenesis, vitellogenesis awal, vitellogenesis pertengahan, vitellogenesis akhir dan maturasi. Jumlah oosit pada masing-masing tahap perkembangan dihitung dengan mengevaluasi histologi ovarium bagian anterior, median dan posterior, untuk setiap preparat diamati dalam 3 lapang pandang, setiap lapang pandang dihitung jumlah setiap tahapan sel pada oogenesis. Oosit pada masing-masing tahapan kemudian dipresentasekan terhadap jumlah total oosit yang diamati. Proporsi oosit pada masing-masing tahapan perkembangan (X) dihitung dengan rumus :

oosit pada tahap tertentu

X = x 100% oosit yang diamati

∑ ∑ 7) Analisa Kadar Hormon

Analisis kadar hormon dalam plasma darah dilakukan dengan metode ELISA sesuai protokol yang terdapat dalam kit estradiol produk GB (Lampiran 3).

8) Fekunditas

Gonad yang telah didapat, fekunditasnya dihitung dengan cara mengambil sebagian gonad yang telah disimpan dalam larutan gilson, kemudian ditimbang dan dicatat, selanjutnya dihitung jumlah telur didalamnya. F dihitung dengan pendekatan (Cerda et al. 1994) ;

Wg x S

F = Ws

dimana ; F : fekunditas mutlak, Wg : berat gonad (g), ∑S : jumlah telur sebagian, Ws : berat gonad sebagian (g).

Merupakan satu mata rantai penghubung satu generasi dengan generasi berikutnya dan terkait persoalan stock rekrutmen serta produksi.


(35)

3.5. Analisis Data

Data kuantitatif berupa nilai IGS, IHS, IVS (betina dan jantan), dan kadar hormon E2 (? ) pada masing-masing perlakuan dianalisis dengan one waysAnova. Data disajikan sebagai rataan ± standard error (SE), dan termasuk proporsi oosit pada setiap tahapan dengan menggunakan program SPSS seri 17. Jika terdapat perbedaan yang signifikan (95%) antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut Tukey’s multipel comparison test.


(36)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

4.1. Ikan Betina

1. Gambaran Morfologis

Morfologis yang dievaluasi yaitu berat tubuh ikan baik betina maupun jantan. Selanjutnya data rataan berat tubuh ikan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Sampling awal (sebelum fotothermal) dilakukan pada bulan Mei dengan mengambil ikan secara acak masing-masing 3 ekor (? dan ?), ini tujuannya sebagai pembanding ketika ikan dikenai perlakuan fotothermal. Tabel 2. Nilai rataan (±S.E) berat ikan senggaringan betina yang digunakan pada

perlakuan fotothermal yang berbeda.

Perlakuan Berat (g)

Mei Juni Juli Agustus September

T0L0 60,33 69,17±4,97 36,50±6,27 52,00±11,64 45,49±0,74 T0L1 60,33 51,17±10,84 58,00±6,06 69,50±6,51 46,00±2,02 T0L2 60,33 39,17±6,74 52,17±7,80 35,67±1,69 43,17±4,21 T1L0 60,33 52,67±2,77 46,00±5,13 57,67±2,62 47,74±0,67 T1L1 60,33 58,67±7,42 47,83±5,34 45,67±7,12 51,16±2,04 T1L2 60,33 52,67±11,12 58,00±8,54 64,50±8,05 57,00±8,01 T2L0 60,33 39,50±8,05 35,00±6,83 46,50±6,11 45,52±8,32 T2L1 60,33 32,50±4,01 43,00±1,04 36,83±5,10 41,33±4,15 T2L2 60,33 36,67±3,35 37,67±2,05 50,33±16,48 49,57±0,97 Sedangkan untuk rataan panjang ikan betina berkisar 15,80 - 21,60 cm. Sebagai ikan yang populasinya di alam sudah mulai terancam, maka sangat sulit untuk mendaptkan stok ikan, termasuk kehomogenan ukuran, dan juga rentannya ikan uji ini ketika dalam proses aklimatisasi dan adaptasi di laboratorium. Kemudian untuk mengevaluasi pematangan gonad ikan ini, diamati melalui indeks morfoanatomi seperti IGS, IHS, dan IVS.

2. Indeks Gonadosomatik (IGS) (%)

Evaluasi yang dilakukan yaitu berdasarkan morfologi dan histologi. Secara morfologi lebih mudah dilakukan yaitu dengan membandingkan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan. Eveluasi ini penting dilakukan karena merupakan indikator kematangan gonad ikan. Selanjutnya data rataan IGS ikan senggaringan


(37)

yang diekspos pada perlakuan fotothermal yang berbeda hingga akhir percobaan disajikan pada Gambar 5.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

IGS (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Gambar 5. Nilai rataan IGS ikan senggaringan betina sebelum dan sesudah fotothermal.

Pada Gambar 5 terlihat bahwa perkembangan IGS ikan betina memiliki pola yang terus meningkat hingga akhir waktu percobaan. Nilai IGS yang terendah ditemui pada sampling awal/sebelum percobaan (Mei) yaitu 3,71%, sedangkan nilai IGS pada awal bulan percobaan adalah 5,7% dan nilai tertinggi ditemui pada akhir percobaan (September) sebesar 15% yaitu pada perlakuan T0L1. Kemudian perlakuan lain memperlihatkan nilai IGS yang cukup tinggi yaitu T1L0, dimana IGSnya dicapai pada bulan Agustus sebesar 13,3% dari 7,1%. Jika dilihat dari per waktu sampling, dapat diartikan bahwa gonad ikan senggaringan betina terus mengalami perkembangan pada masing-masing perlakuan jika dibandingkan dengan non fotothermal. Namun hasil analisis secara statistik menyebutkan bahwa perbedaan perubahan antar perlakuan tersebut tidak signifikan (P>0,05, P=0,077) (Lampiran 15).

Kenaikan nilai IGS sangat terkait dengan pertumbuhan gonad, dimana semakin tinggi nilai IGS maka dapat diartikan gonad semakin maju perkembangannya. Pertumbuhan ini dapat diamati secara visual melalui berat dan panjang gonad. Selanjutnya untuk melihat kinerja organ lain yang diduga berperan dalam mendukung perkembangan gonad, maka dilakukan evaluasi organ hati dan visceral.


(38)

3. Indeks Hepatosomatik (IHS) (%)

0 0.5 1 1.5 2 2.5

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

IHS (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Gambar 6. Nilai rataan IHS ikan senggaringan betina sebelum dan sesudah fotothermal.

Hasil pengamatan memperlihatkan nilai IHS berada pada kisaran 0,7459%– 2,8985%. Nilai IHS maksimum terdapat pada perlakuan T2L1 pada bulan Juli sebesar 2,06%. Namun jika dikaitkan dengan nilai IGS diatas terlihat adanya pola kenaikan nilai IGS 15% (T0L1) mengakibatkan penurunan nilai IHS sebesar 1,3% (P>0,05, P=0,061). Kemudian pada T1L0 nilai IGSnya bulan Agustus sebesar 13,3% dari 7,1%, juga memperlihatkan adanya penurunan nilai IHS sebesar 1,2%. Sedangkan nilai IHS sebelum fotothermal adalah 1,4%.

Gambar 6 menunjukkan tingginya IHS pada awal pengamatan diduga pada saat itu, ikan berada pada tahap pengumpulan material energi yang cukup besar, yang kemudian akan digunakan sebagai deposit energi dalam mendukung perkembangan ovari. Rendahnya nilai IHS hingga menjelang akhir pengamatan diduga telah terjadi penurunan energi pada hati, penurunan ini terjadi karena majunya perkembangan gonad hingga tingkat perkembangan akhir.


(39)

4. Indeks Visceralsomatik (IVS) (%)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

IVS (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Gambar 7. Nilai rataan IVS ikan senggaringan betina sebelum dan sesudah fotothermal.

Gambar 7 memperlihatkan profil nilai IVS yang cenderung semakin rendah seiring berakhirnya waktu pengamatan. Perkembangan nilai IVS ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pada organ visceral selama tahapan reproduksi.

Nilai IVS ikan betina berada pada kisaran 1,6 – 3,5%. Dalam kaitannya dengan perkembangan gonad ikan senggaringan betina, dapat dilihat bahwa ketika nilai IGS mencapai maksimum 15% (T0L1), diiringi dengan adanya penurunan nilai IVS dari 3,01% ke 1,6%. Untuk T1L0 nilai IGS sebesar 13,3% juga memperlihatkan adanya penurunan nilai IVS sebesar 2,6% (P>0,05, P=0,058). Dari data diatas diduga ikan senggaringan betina lebih kondusif pada temperatur alami di laboratorium (kisaran 23-26oC).

Jika dilihat dari hasil penelitian ini, terlihat tingginya nilai IVS pada awal peningkatan nilai IGS, ini diduga erat kaitanya dengan penggunaan materi sebagai sumber energi utama untuk dimanfaatkan bagi proses pematangan gonad.


(40)

4.2. Ikan Jantan

1. Gambaran Morfologis

Tabel 3. Nilai rataan (±S.E) berat ikan senggaringan jantan pada perlakuan fotothermal yang berbeda.

Perlakuan Berat (g)

Mei Juni Juli Agustus September

T0L0 45 45,67±2,20 33,00±2,75 44,33±6,55 38,83±1,76 T0L1 45 29,40±2,05 41,50±0,76 49,00±3,28 30,50±3,51 T0L2 45 27,17±2,32 34,17±5,37 42,83±3,19 40,50±4,27 T1L0 45 38,50±2,85 43,50±6,66 43,17±4,00 34,83±4,87 T1L1 45 36,79±2,40 39,17±7,37 30,83±2,13 35,26±0,53 T1L2 45 44,33±8,73 46,17±10,46 53,33±5,93 38,83±4,23 T2L0 45 29,50±4,04 34,50±0,76 37,50±3,40 41,00±1,73 T2L1 45 49,67±0,67 41,17±2,59 40,50±1,44 38,00±0,29 T2L2 45 49,50±5,11 41,67±5,09 38,50±1,61 29,17±4,76 Untuk rataan panjang ikan jantan berkisar 16,23 - 19,70 cm. Secara umum kesehatan ikan selama 4 bulan (Juni–September) pelaksanaan penelitian cukup baik, ini bisa dilihat tingkah laku ikan saat diberi pakan bloodworm, ikan langsung bergerak untuk makan selain itu juga respek terhadap adanya rangsangan dari lingkungan misalnya saat penyifonan dasar bak ikan aktif bergerak. Selanjutnya untuk melihat pengaruh fotothermal terhadap pematangan gonad ikan jantan, maka juga dilakukan evaluasi indeks morfoanatomi.

2. Indeks Gonadosomatik (IGS) (%)

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

IGS (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Gambar 8. Nilai rataan IGS ikan senggaringan jantan sebelum dan sesudah fotothermal.


(41)

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa nilai IGS ikan senggaringan jantan sebelum diekspos fotothermal menunjukkan nilai yang cukup rendah yaitu 0,3% jika dibandingkan dengan setelah perlakuan fotothermal dimana nilai tertinggi dicapai pada perlakuan T1L1 bulan Juni sebesar 1,4%. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa selama pemaparan fotothermal telah terjadi kemajuan perkembangan gonad. Walaupun dari hasil analisis secara statistik menyebutkan bahwa perbedaan akibat fotothermal tersebut tidak signifikan (P>0,05, P=0,6) (Lampiran 18).

3. Indeks Hepatosomatik (IHS) (%)

0 0.5 1 1.5 2 2.5

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

IHS (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Gambar 9. Nilai rataan IHS ikan senggaringan jantan sebelum dan sesudah fotothermal.

Pada Gambar 9 terlihat bahwa nilai IHS ikan senggaringan jantan tertinggi dicapai sebesar 2,25% yaitu sebelum diekspos fotothermal, dibandingkan dengan perlakuan dimana nilai yang cukup tinggi dicapai sebesar 2,016% pada perlakuan T1L2 pada awal percobaan, terendah dicapai sebesar 0,94% pada perlakuan T2L1. Namun analisis statistik memperlihatkan tidak adanya perbedaan signifikan antar perlakuan tersebut (P>0,05, P=0,5).

Jika dikaitkan dengan perkembangan gonadnya, profil nilai IHS pada ikan senggaringan jantan tidak begitu jelas terlihat gambaran penurunan nilai IHS dengan kenaikan nilai IGS, dan pada beberapa perlakuan terlihat konstan.


(42)

4. Indeks Visceralsomatik (IVS) (%)

0 1 2 3 4 5 6

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

IVS (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Gambar 10. Nilai rataan IVS ikan senggaringan jantan sebelum dan sesudah fotothermal.

Dari Gambar 10 dapat dilihat nilai IVS maksimum dicapai sebesar 4,5% (T0L2) pada bulan Juni kemudian diikuti T0L1 sebesar 3,4% (P>0,05, P=0,1). Pada ikan senggaringan jantan tidak begitu jelas terlihat gambaran penurunan nilai IVS dengan kenaikan nilai IGS, kalaupun ada tetapi terlihat kecil profilnya.

Selanjutnya untuk mendukung pengamatan indeks morfoanatomi diatas, dilakukan evaluasi histologi gonad yaitu dengan menghitung proporsi tahapan sel-selnya.

4.3. Pengamatan Gametogenesis 4.3.1. Proporsi Oosit

Berdasarkan pengamatan nilai IGS ikan senggaringan betina terlihat adanya beberapa perlakuan yang cenderung lebih mendukung kinerja reproduksinya, karena itu untuk melihat peranannya terhadap peningkatan IGS tersebut perlu dievaluasi juga proporsi sel-sel tahapan oogenesisnya, hal ini juga untuk melihat pertumbuhan oosit dalam ovarium.


(43)

0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T0L0 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T0L1 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T0L2 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T1L0 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt


(44)

0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T1L1 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T1L2 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T2L0 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt 0% 20% 40% 60% 80% 100% Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T2L1 Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt


(45)

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Proporsi (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

Waktu T2L2

Vit Kir Vit Teng Vit Awl Previt

Gambar 11. Proporsi tahapan oogenesis pada gonad ikan senggaringan sebelum dan sesudah fotothermal. Previt = previtellogenesis, Vit awl = vitellogenesis awal, Vit teng = vitellogenesis pertengahan, Vit kir = vitellogenesis akhir.

Pengamatan terhadap nilai rataan proporsi sel-sel tahapan oogenesis pada gonad ikan senggaringan terlihat pada Gambar 11. Oosit yang didapatkan diidentifikasikan berdasarkan tahapan vitellogenesisnya. Berdasarkan tahapan tersebut oosit dibagi dalam 4 tahap. Tahap I adalah tahapan previtellogenesis yang ditunjukkan dengan oosit berukuran kecil yang belum terdapat globula lemak. Tahapan II adalah vitellogenesis awal yang ditunjukkan dengan mulai munculnya globula lemak yang terdapat pada oosit. Tahapan III adalah vitellogenesis pertengahan pada oosit mulai berukuran cukup besar dengan globula lemak yang sangat banyak dan sudah terdapat granula lemak. Tahapan IV adalah vitellogenesis akhir sitoplasma oosit berukuran besar dengan sedikit globula lemak namun granula lemaknya meningkat (Wijayanti et al. 2004).

Ditinjau dari proporsi tahapan sel-sel diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa ovari ikan senggaringan betina didominasi oleh tahapan vitellogenesis awal (69,05%). Dominasi tahapan ini menunjukkan bahwa ikan senggaringan betina belum mencapai tingkat oogenesis yang tinggi, ini terbukti dari rataan nilai IGSnya masih relatif rendah. Kemudian diikuti tahapan previtelogenesis (42,11%), vitelogenesis akhir (41,38%) dan vitelogenesis pertengahan (33,34%). Walaupun demikian analisis statistik memperlihatkan bahwa tidak tampak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) (Lampiran 21).


(46)

Tabel 4 Nilai proporsi oosit ikan senggaringan betina yang dipelihara pada fotothermal berbeda

Perlakuan Tahapan Proporsi Oosit (%)

Mei Juni Juli Agus Sept

T0L0 I 62,66 7,13 32,2 19,07 20

II 18,92 51,59 36,56 60,45 50

III 8,25 16,77 16,06 7,41 10

IV 10,21 24,51 15,19 13,09 20

T0L1 I 62,66 13,68 38,04 19,88 16,94

II 18,92 29,78 34,2 43 43,96

III 8,25 29,74 11,85 7,21 15,85

IV 10,21 30,68 15,93 29,91 23,26

T0L2 I 62,66 14,34 18,73 30,26 38,1

II 18,92 31,73 46,26 43,56 35,79

III 8,25 27,7 12,25 15,76 7,3

IV 10,21 26,25 22,78 10,42 18,81

T1L0 I 62,66 25,65 25,45 16,13 13,79

II 18,92 32,24 36,76 29,03 34,48 III 8,25 18,69 14,03 25,81 10,34 IV 10,21 23,45 22,02 29,03 41,38

T1L1 I 62,66 18,65 26,78 42,11 25,49

II 18,92 33,93 19,9 44,74 32,81

III 8,25 15,48 13,05 13,16 9,72

IV 10,21 33,53 40,27 0 31,99

T1L2 I 62,66 19,2 17,71 9,53 18,96

II 18,92 43,73 49,31 69,05 40,5

III 8,25 21,42 14,89 4,76 10,48

IV 10,21 15,66 20,18 16,67 30,06

T2L0 I 62,66 9,94 23,16 14,29 21,43

II 18,92 48,48 43,56 42,86 57,14

III 8,25 14,58 7,82 33,34 7,14

IV 10,21 26,99 30,84 9,52 14,29

T2L1 I 62,66 31,18 23,69 19,97 14,31

II 18,92 34,52 35,73 44,64 45,96

III 8,25 14,88 15,11 9,4 6,74

IV 10,21 19,44 25,47 25,99 33

T2L2 I 62,66 20,62 29,4 38,49 40,63

II 18,92 37,13 43,43 45 31,25

III 8,25 12,56 11,46 8,31 3,13

IV 10,21 36,65 15,71 2,94 25

Proporsi sel-sel tahapan oogenesis diatas telah jelas menunjukkan adanya variasi menurut waktu pengamatan, dan ini didukung oleh foto-foto preparat histologi seperti Gambar 12,13 dan 14.


(47)

F

10µm A

10µm 10µm

B

10µm C

10µm D

10µm E

Gambar 12. Foto preparat ovarium ikan senggaringan, A : bulan Mei ; sampling awal, B : bulan Juni ; T0L0, C : bulan Juni ; T0L1, D : bulan Juni ; T0L2, E : bulan Juni ; T1L0, F : bulan Juni ; T1L1. 1 : oosit tahap previtellogenesis, 2 : oosit tahap vitellogenesis, 3 : oosit tahap vitellogenesis pertengahan, 4 : oosit tahap vitellogenesis akhir. Perbesaran 100X

3 2

4 1

4 3 2

1

4

3 2

1

3 2

4

4 2

3

4

2 3


(48)

10µm G

10µm H

10µm I

10µm J

10µm K

10µm L

Gambar 13. Foto preparat ovarium ikan senggaringan, G : bulan Juni ; T1L2, H : bulan Juni ; T2L0, I : bulan Juni ; T2L1, J : bulan Juni ; T2L2, K : bulan September ; T0L0, L : bulan September ; T0L1. 1 : oosit tahap previtellogenesis, 2 : oosit tahap vitellogenesis, 3 : oosit tahap vitellogenesis pertengahan, 4 : oosit tahap vitellogenesis akhir. Perbesaran 100X

3

4

2

4

2

3

4

2

4 3 2 1

4 3

4

3 2


(49)

10µm M

10µm N

10µm P

10µm O

10µm Q

10µm R

Gambar 14. Foto preparat ovarium ikan senggaringan, M : bulan September ; T0L2, N : bulan September ; T1L1, O : bulan September ; T1L2, P : bulan September ; T2L0, Q : bulan September ; T2L1, R : bulan September ; T2L2. 1 : oosit tahap previtellogenesis, 2 : oosit tahap vitellogenesis, 3 : oosit tahap vitellogenesis pertengahan, 4 : oosit tahap vitellogenesis akhir. Perbesaran 100X

4

3 2

1

4 2

4

3

4

2

3 1

4

3 2

1

4 2


(50)

Selanjutnya untuk mendukung profil tahapan oogenesis diatas perlu dilakukan analisis konsentrasi steroid seksual yaitu hormon estradiol (E2).

4.4. Analisa Kadar Estradiol-17β

Dalam aplikasi metode analisa hormon untuk setiap spesies baru, harus dilakukan validasi terhadap analisa hormon yang digunakan apakah sesuai atau tidak. Karena itu dibuat uji parallelism dalam pengenceran berseri menggunakan larutan penyangga. Tes ini dilakukan terhadap plasma darah bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa analisis yang dilakukan sesuai dengan hormon yang diukur. Berdasarkan hasil parallelism ini didapatkan kadar pengenceran 1:4. Tes ini menunjukkan bahwa antibodi yang digunakan dalam kit estradiol bersifat imunoreaktif terhadap target metabolik hormon yang diukur, dan menghasilkan gambaran yang paralel terhadap standar estradiol (Gambar 15).

0 0.5 1 1.5 2 2.5

1 2 3 4 5 6 7

Faktor Pengenceran

Delta OD-Blank

Standard T0L2 T2L1 T0L1 T0L0

Gambar 15. Uji parallelism plasma darah ikan senggaringan betina untuk hormon estradiol.

Pada Gambar 15 terihat, semakin tinggi pengenceran antibodi yang digunakan maka kadar hormon yang terukur akan semakin kecil. Dari profil Gambar 15 ini maka dapat dilakukan analisa hormon estradiol.


(51)

0 200 400 600 800 1000 1200

T0L0 T0L1 T0L2 T1L0 T1L1 T1L2 T2L0 T2L1 T2L2

Perlakuan

Konsentrasi (ng/mL)

Juni Juli Agus

Gambar 16. Nilai rataan kadar hormon estradiol ikan senggaringan betina pada perlakuan fotothermal yang berbeda.

Dilakukannya pengukuran konsentarsi hormon ini karena terkait aktivitas vitellogenesis, dan jika konsentrasinya meningkat dapat memacu aktivitas vitellogenesis sehingga mempercepat perkembangan dan kematangan ovari. Hasil analisa konsentrasi hormon estradiol menunjukkan bahwa nilai rataannya berada pada kisaran 142,8 – 930,6 ng/mL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan fotothermal sangat nyata (P<0,01, P=0,001) (Lampiran 22) mempengaruhi konsentrasi E2 dalam plasma darah ikan senggaringan betina. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan T1L2 (Juli) menghasilkan konsentrasi E2 tertinggi 930,6 ng/mL. Angka ini tidak berbeda pada perlakuan T2L1 (Juli), tetapi berbeda pada perlakuan lain (Juni- Agustus) (Lampiran 23).


(52)

4.5. Fekunditas Mutlak

Table 5. Nilai rataan (±S.E) fekunditas ikan senggaringan sebelum dan sesudah fototermal.

Perlakuan Fekunditas (butir)

Mei Juni Juli Agustus September

T0L0 14166 11739±4531 18923±14689 24036±12428 19966±8402

T0L1 14166 2641±514 20639±7160 43198±6150 50787±22142

T0L2 14166 3909±1843 30255±7727 19691±1036 22991±2057

T1L0 14166 9628±841 15995±1123 35782±4965 28369±0.000

T1L1 14166 18303±2844 28895±4824 19227±13085 25998±2535

T1L2 14166 12294±1606 24018±3264 16746±6820 21145±5282

T2L0 14166 9303±3969 17676±4895 25623±12260 29691±9102

T2L1 14166 11517±6101 17591±2984 19844±1737 21143±4447

T2L2 14166 4961±952 11018±3812 19302±15169 35238±6868

Hasil pengamatan memperlihatkan nilai fekunditas ikan betina berada pada kisaran 618-94.857 butir dengan kisaran rata-rata 2641-50787 butir. Nilai fekunditas tertinggi terdapat pada T0L1 sebesar 50787 butir, ini terkait dengan tingginya nilai IGS yang dicapai pada kondisi tersebut. Hasil ini lebih tinggi dari apa yang dilaporkan Heltonika (2009) dari 25 sampel di dapat rataan nilai fekunditasnya adalah 20710 butir dengan kisaran antara 3025–50018 butir.

4.6. Kualitas Air

Tabel 6. Parameter kualitas air pada masing-masing bak perlakuan fotothermal yang berbeda (Temperatur).

Perlakuan

Temperatur (oC)

Maret April Mei Juni Juli Agus Sept

T0L0 24±0,09 25±0,08 24±0,20 23.5±0,12 22±0,21 23±0,11 24±0,05 T0L1 25±0,04 26±0,06 26±0,16 25±0,14 24±0,15 24±0,10 25±0,09 T0L2 25±0,04 26±0,06 25±0,17 25±0,12 24±0,15 24±0,09 25±0,09 T1L0 25±0,09 25±0,06 25±0,18 24±0,10 23±0,15 24±0,10 24±0,05 T1L1 25±0,06 25±0,10 25.5±0,19 24±0,10 24±0,14 24±0,10 25±0,06 T1L2 25±0,06 26±0,07 26±0,17 25±0,12 24±0,15 24±0,09 25±0,10 T2L0 29±0,09 30±0,06 29±0,21 28±0,14 27±0,20 27±0,18 28±0,11 T2L1 29±0,08 29±0,07 29±0,18 28±0,14 26.5±0,19 27±0,15 28±0,10 T2L2 29±0,09 29±0,07 29±0,18 28±0,14 26.5±0,20 27±0,15 28±0,10 Data merupakan rataan ± S.E


(53)

Tabel 7. Parameter kualitas air pada masing-masing bak perlakuan fotothermal yang berbeda (O2 dan CO2).

Perlakuan Parameter Ket

O2 (ppm) CO2 (ppm)

T0L0 8,8±0,47 3,1±0,52 -Metode winkler

-Metode titrimetri

T0L1 8,5±0,38 3,5±0,52

T0L2 8,8±0,63 3,6±0,49

T1L0 8,8±0,51 2,7±0,56

T1L1 8,4±0,59 2,0±0,19

T1L2 8,8±0,40 3,2±0,53

T2L0 8,6±0,39 3,7±0,88

T2L1 8,5±0,55 3,9±1,19

T2L2 8,5±0,44 3,5±0,61

Data merupakan rataan ± S.E

Table 5 memperlihatkan bahwa kinerja heater dengan ketelitian alat ±1oC dalam mempertahankan temperature perlakuan yang diinginkan cukup baik. Jika melihat suhu rata-rata dihabitatnya berkisar antara 23-29oC. Kemudian berdasarkan kondisi oksigen pada Tabel 6 terlihat bahwa sudah cukup baik untuk mendukung kehidupan/kelangsungan ikan senggaringan, mengingat dihabitatnya ikan ini cukup mampu bertahan hidup pada kekeruhan yang tinggi 0,7 - 42 NTU (Sulistyo et al. 2008), serta kandungan oksigen terlarut yang terukur di sungai Klawing berkisar 6-8 ppm.

Jika dilihat kondisi CO2 media pemeliharaan berada pada level yang baik

yaitu berada pada kisaran 1-7 ppm. Effendi (2003) menyebutkan CO2 berada

dibawah 10 mg/L cukup baik, namun lebih baik jika berada dibawah 5 mg/L. sedangkan Sulistyo (2008) melaporkan CO2 ikan ini berkisar antara 1,8 - 8,6 ppm, pH 6,5 - 7,5 dan alkalinitas 70,56 - 87,49 mg CaCO3/L.


(54)

Pembahasan

Profil reproduksi ikan didukung oleh adanya kinerja internal organ-organ reproduksi (gonad, hati, visceral). Indeks gonadosomatik merupakan evaluasi untuk melihat perubahan yang terjadi pada gonad ikan. Besar atau kecilnya kenaikan nilai IGS tersebut berkaitan dengan pertumbuhan gonad. Pertumbuhan ini dapat diamati secara visual melalui berat dan panjang gonad, selain itu pertumbuhannya juga di pengaruhi oleh mulai banyaknya material penyusun sel telur sampai tahap pematangan. Pazos et al. (2003) menyebutkan perkembangan gonad didukung oleh material energi yang disimpan pada otot dan saluran pencernaan, hati dan viseral. Makarova (1973) dan Kirillov dan Akhremenko (1982) menambahkan dimana nilai IHS dan IVS mencerminkan pemanfaatan cadangan energi untuk perkembangan gonad. Ini kaitanya bahwa organ visceral dan hati merupakan bagian tubuh yang banyak menyimpan timbunan energi.

Dari nilai IGS yang diterdapat pada T0L1 bulan September sebesar 15% (Gambar 5), ini lebih tinggi dari apa yang dilaporkan Sulistyo et al. (2007) yaitu 10% pada sampling yang dilakukan selama bulan Januari dan Agustus di sungai Klawing. Kemudian IGS terendah didapati pada bulan April–Mei yaitu 4%. Selanjuntya Heltonika (2009) menambahkan nilai IGS ikan senggaringan betina yang didapati di sungai Klawing selama periode Maret–Oktober berkisar antara 0,02% - 14,98%. Dari hal diatas dapat disimpulkan sementara bahwa ikan senggaringan betina dengan nilai IGS 15% sudah termasuk tahap perkembangan akhir. Sebagaimana yang dilaporkan Suryanti (2008) bahwa nilai IGS >12% mencirikan ikan dalam fase tingkat perkembangan gonad akhir. Kemudian Effendie (1997) menambahkan nilai IGS 19% mencirikan ikan akan mampu mengeluarkan telurnya.

Penelitian lain seperti Arockiaraj et al. (2004) telah melaporkan bahwa nilai IGS yang berhasil dicapai tertinggi sebesar 15,98% pada ikan catfish air tawar M. montanus di bulan Desember. Dengan demikian dari pencapaian nilai IGS oleh Arockiaraj et al. (2004) dengan nilai IGS pada percobaan fotothermal ini masih jauh lebih rendah, dan memiliki kesamaan dengan apa yang temukan di alam oleh Heltonika (2009).


(1)

Lampiran 31. Laboratorium Perikanan Jurusan Perikanan dan Kelautan UNSOED

dan aktivitas di sungai Klawing

Foto laboratorium perikanan Unsoed

Foto ELISA reader, EIA kit Estradiol 96 well produk GB

12


(2)

Lampiran 32. Pengukuran temperatur harian

Perlakuan R Maret April Mei Juni Juli Agus Sept

T0L0 1 24 25 25 23,5 23,5 23 24

2 25 24 25 23 23,5 23 24

3 24 24,5 26 23 23,5 21,5 24

4 24 24,5 25 23 23 22,5 24

5 24,5 25 24,5 23 23 23 24

6 24 25 25 23 22 23 24

7 24 24,5 24,5 23 21 23 24

8 24,5 24,5 24,5 24,5 22 23 24

9 24,5 24,5 23 24 22,5 23 24

10 24,5 25 23 24 22 23 24

11 24 25 23 - 21,5 23,5 24,5

12 24,5 25 23,5 - 23 23,5 24,5

13 24 25 24 24,5 23 23 24,5

14 24 24,5 23,5 24 22 23,5 23,5

15 24 25 25 23,5 21 23 24

16 25 25 25 23 21 23 24

17 24,5 25 25 23 21,5 22 24

18 25 24 24,5 23,5 21 23 24

T0L1 1 24,5 26 26 25 24,5 24 25

2 25 25,5 26 25 24 24 25,5

3 25 26 27 25 24,5 24 25,5

4 25 26 26 25 24,5 24 26

5 25 26 26 24,5 24,5 24 25,5

6 25 26 26 24,5 24 24 25

7 25 26 26 24,5 23 24 25

8 25,5 26 26 25 23,5 24,5 25

9 25 26 24,5 25 24 24 25

10 25,5 26 24,5 25,5 23,5 24 25,5

11 25 26 25 - 23 25 25,5

12 25 26 25 - 24 24,5 26

13 25 26 25 26 25 25 26

14 25 26 25 25,5 23,5 25 24,5

15 25 26 26 25,5 23 24 25

16 25 26 26 24 23 24 25,5

17 25 26 26,5 24 23 23.5 25,5

18 25 25 26,5 24 23 24 25

T0L2 1 24,5 26 26 25 24,5 24 25


(3)

3 25 26 27 25 24,5 24 25,5

4 25 26 26 25 24,5 24 26

5 25 26 26 24,5 24,5 24 25,5

6 25 26 26 24,5 24 24 25

7 25 25.5 26 24,5 23 24 25

8 25,5 26 25 25 24 24,5 25

9 25 26 24,5 25 24 24 25

10 25,5 26 24,5 25 24 24 25,5

11 25 26 24,5 - 23 25 25,5

12 25 26 25 - 24 24,5 26

13 25 26 25 26 25 25 26

14 25 26 25 26 23,5 25 24,5

15 25 26 26 25,5 23 24 25

16 25 26 26 24 23 24 25,5

17 25 26 26,5 24,5 23 24 25,5

18 25 25 26,5 24 23 24 25

T1L0 1 24 25 25,5 24 24 24 24,5

2 25 25 25 25 24 24 24,5

3 24,5 25 26 23,5 24 23 24,5

4 25 25 25 24 24 24 24

5 24,5 25 25 24 23.5 24 24.5

6 24 25 25 24 23 24 24.5

7 25 25 25 24.5 23 24 24.5

8 25 25 25 24,5 23 24 24,5

9 24,5 25 23,5 24,5 23,5 24 24,5

10 25 25 23,5 24,5 23 24 24,5

11 24 25 24 - 23 25 24,5

12 24,5 25 24 - 24 24,5 25

13 24,5 25 24,5 25 24 24 25

14 24,5 25 24 25 23 25 24,5

15 25 25 25,5 24 22 24 24,5

16 25 26 26 24 22 24 24,5

17 25 25 25,5 24 23 24 25

18 25 24,5 25 24 22,5 24 24,5

T1L1 1 24 25 26 25 24,5 24 25

2 25 25 26 25 24 24 25

3 25 25 27 25 24,5 23 25

4 25 25 26 24,5 24 24 25

5 25 25 26 24 24 24 25,5


(4)

7 25 25 25 24 23 24 24,5

8 25 26 25 25 23.5 24,5 24,5

9 25 25,5 24 25 24 24 24,5

10 25 25 24 25 24 24 25

11 25 25,5 24,5 - 23 25 25

12 25 25,5 25 - 24 24,5 25

13 24,5 25 25 24,5 25 24 25

14 25 26 25 25 23,5 25 24,5

15 24,5 26 26 25 23 24 25

16 25 26 26 24 23 24 25

17 25 26 26 24 23 24 25

18 25 25 26 24 23 23,5 25

T1L2 1 24,5 26 26 25 24,5 24 25

2 25 25 26 25 24 24 25,5

3 25 26 27 25 24,5 23 25

4 25 26 26 25 24 24 26

5 25 25.5 26 24,5 24 24 25,5

6 25 26 26 24,5 24 24 25

7 25 26 26 24,5 23 24 25

8 25,5 26 25,5 25 23,5 24,5 25

9 25 26 24,5 25 24 24 24,5

10 25,5 26 24,5 25 23,5 24 25

11 25 26 24,5 - 23 24 25,5

12 25 26 25 - 24 24,5 26

13 24,5 26 25 26 25 24 26

14 25 26 25 25,5 24,5 25 24,5

15 25 26 26 25.5 23 24 25

16 25,5 26 26 24 23 24 25

17 25 26 26,5 24 23 24 25

18 25 25 26,5 24 23 23,5 25

T2L0 1 29 30 30 29 28,5 28 28,5

2 29 29,5 30 28 28 28 29

3 29,5 29,5 30 28,5 28 26 28,5

4 29 30 29,5 28 27 26,5 29

5 29,5 30 29 28 26,5 26,5 28,5

6 29 30 29 28 26 26,5 28

7 30 29,5 29 28 26 26,5 28

8 30 30 29 28 27 26,5 29

9 29,5 30 27,5 28 27 26 28


(5)

11 29 30 28 - 26 27 29

12 29,5 30 28 - 27,5 26,5 29

13 29 30 28 29.5 27 27,5 29,5

14 29 30 28 29 26,5 28 28

15 30 30 30 28 25 27 29

16 30 30 30 28 26,5 29 29

17 29,5 30 30 27 26,5 27 29

18 30 29 29 27 26 27 28,5

T2L1 1 28 29 29 29 27 28 29

2 29 29 29 28,5 27 28 29

3 29 29 30 28,5 28 26 28

4 29 29 29,5 28 26,5 26,5 28

5 29 29 29 27 25,5 26,5 28,5

6 29 29 29 27 25 26,5 28

7 29 29 28,5 28 26 26,5 28

8 29 29 29 28 27 26,5 28

9 29 29 28 28 27 26 28

10 29 29 28 28 27 27 28

11 29 29 28 - 26 27 28,5

12 29 29 28 - 27 26,5 29

13 29 29 28 29 27,5 27,5 29

14 29 29 28 28,5 26,5 28 28

15 29 29,5 30 28 25 27 28

16 29 29,5 30 28 26,5 28 28

17 29 30 30 27 26 27 28,5

18 30 28,5 29 27 26 27 28

T2L2 1 28 29 29 29 27 28 29

2 28 29 29 28 27 28 29

3 29 29 30 28,5 28 26 28

4 29 29 29,5 28 26,5 26,5 29

5 29 29 29 27 25,5 26,5 28,5

6 29 29 29 27 25 26,5 28

7 29 29 28,5 28 26 26,5 28

8 29 29 29 28 27 26,5 28

9 29 29 28 28 27 26 28

10 29 29 28 28 27 27 28

11 29 29 28 - 26 27 28,5

12 29 29,5 28 - 27 26,5 29

13 29 29,5 28 29 27,5 27,5 29


(6)

15 29 29,5 30 28 25 27 28

16 29 29,5 30 28 25,5 28 28

17 29 30 30 27 26,5 27 28,5