2.3 Pendidikan Keaksaraan
2.3.1 Pengertian
Pendidikan keaksaraan adalah salah satu bentuk layanan pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah bagi warga masyarakat yang belum
dapat membaca, menulis dan berhitung. Program pendidikan keaksaraan merupakan bentuk layanan pendidikan
luar sekolah untuk membelajarkan warga masyarakat penyandang buta aksara agar memiliki kemampuan menulis, membaca dan berhitung, mengamati dan
menganalisis yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitarnya, untuk meningkatkan
mutu dan taraf hidupnya. Tujuan pendidikan keaksaraan:
amembuka wawasan untuk mencari sumber-sumber kehidupan, b melaksanakan kehidupan sehari-hari secara efektif dan efisien, c
mengunjungi dan belajar pada lembaga pendidikan yang diperlukan, d memecahkan masalah keaksaraan dalam kehidupannya sehari-hari, e
menggali dan mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap pembaharuan untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya serta ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
2.3.2 Permasalahan Pendidikan Keaksaraan
Menurut Samosir 2006:5 dalam buku saku tutor keaksaraan menyatakan ada 3 permasalahan dalam pendidikan keaksaraan :
a. Warga belajar yang dinyatakan dengan bebas buta aksara sebenarnya
belum mencapai satandard kompetensi keaksaraan yang diharapkan. Pada tahun 2008 seluruh daerah di Indonesia telah mendeklarasikan
melek aksara. Tetapi kenyataan di lapangan berkata lain. Pada suatu
kesempatan, Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal PNFI yang sekarang menjadi Dirjen PAUDNI menyatakan bahwa mendiknas pada
waktu itu pernah mencoba melakukan tes pada warga belajar pendidikan keaksaraan. Hasilnya 3 dari 5 warga belajar gagal
menunjukkan bahwa mereka melek aksara. Selain itu banyak hal di lapangan yang ditemukan berkaitan dengan pendidikan keaksaraan
yang hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. b.
Warga belajar belum mampu memanfaatkan keaksaraannya setelah program pembelajarannya selesai, sehingga ada kecenderungan mereka
buta aksara kembali. Hal ini terjadi karena setelah selesai mendapatkan pendidikan tentang keaksaraan mereka cenderung tidak memanfaatkan
ilmu mereka lagi. Bisa dibilang minat baca mereka yang kurang membuat mereka malas untuk membaca buku ataupun hal-hal lain yang
berhubungan dengan keaksaraan. Kebanyakan warga buta aksara adalah golongan masyarakat miskin yang kegiatan sehari-harinya tidak
berhubungan dengan kegiatan keaksaraan. c.
Pemeliharaan tingkat keaksaraan warga belajar belum optimal dilaksanakan karena keterbatasan dana, sarana, dan prasarana.
Kurangnya dana untuk pendidikan keaksaraan sendiri menjadi salah satu faktor permasalahan dalam pendidikan keaksaraan. Ditunjukkan
dari kurangnya sarana prasana untuk pelaksanaan pendidikan keaksaraan yang menyebabkan warga belajar kurang nyaman dalam
melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini berimbas pada tidak optimalnya proses belajar mengajar.
2.3.3 Rambu-rambu Pendidikan Keaksaraan
Samosir 2006:7 menyatakan hal-hal yang perlu diperhatikan oleh tutor dalam proses pembelajaran dalam kelompok belajar keaksaraan agar lebih
terarah, yaitu: 2.3.3.1
Tutor perlu memperhatikan karakteristik, sifat-sifat atau
kebiasaanperilaku peserta didikwarga belajar. 2.3.3.2
Tutor harus dapat menghargai perbedaan pendapat siantara sesama peserta didikwarga belajar dengan tutor.
2.3.3.3 Tutor diharapkan dapat menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran orang
dewasa. 2.3.3.4
Dalam proses pembelajaran tutor harus memperhatikan : a
konteks lokal yaitu mempertimbangkan minat dan kebutuhan peserta didikwarga belajar, b daerah lokal yaitu proses pembelajaran
merupakan respon tanggapan minat dan kebutuhan peserta didikwarga belajar, c proses partisipatif yaitu pembelajaran yang
melibatkan peserta
didikwarga belajar secara
aktif dengan memanfaatkan keterampilan keaksaraan yang sudah dimilikinya, d
fungsionalisasi hasil belajar adalah hasil belajar yang diperoleh dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan sikap positif dalam rangka
meningkatkan mutu dan taraf hidup peserta didikwarga belajar.
2.4 Efektivitas Pembelajaran