1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia bisnis dan usaha sekarang ini sudah sangat pesat. Ditunjang dengan kemajuan ilmu teknologi yang canggih dan sumber daya
manusia yang mumpuni, membuat perusahaan melakukan inovasi-inovasi baru untuk terus meningkatkan usahanya.
Perusahaan yang go public, laporan keuangannya sudah tentu menjadi tolok ukur yang digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan pimpinan
perusahaan, pemegang saham, pemerintah, kreditur dan masyarakat lainnya dalam pengambilan keputusan. Laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen
itu harus dilakukan audit oleh auditor yang telah ditunjuk oleh manajemen. Auditor harus memberikan pendapat opini atas laporan keuangan tersebut,
apakah telah disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan SAK yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia IAI.
Audit atas laporan keuangan sangat diperlukan, terutama bagi perusahaan berbadan hukum berbentuk perseroan terbatas yang bersifat terbuka PT Tbk..
Dalam bentuk badan usaha ini, perusahaan dikelola oleh manajemen profesional yang ditunjuk oleh para pemegang saham sebagai pemilik
perusahaan dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas dana yang dipercayakan kepada mereka. Para pemegang saham akan meminta
pertanggungjawaban manajemen dalam bentuk laporan keuangan.
2
Profesi dan professional dapat dibedakan secara konseptual seperti di kemukakan oleh Lekatompessy 2003 dalam jurnal Arleen Herawaty dan
Yulius Kurnia S. 2008. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut
individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi
tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesinya untuk berperilaku semestinya.
Kepercayaan yang besar dari masyarakat khususnya dari pemakai laporan keuangan auditan terhadap jasa yang diberikan akuntan publik
mengharuskan akuntan publik memberikan laporan keuangan yang akurat dan bebas dari slah saji yang dapat menimbulkan bias oleh pemakai. Maraknya
kasus manipulasi akuntansi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan besar diluar maupun didalam negeri membuat kepercayaan masyarakat mulai
menurun dan mempertanyakan kembali keberadaan akuntan publik sebagai pihak independen yang memberikan penilaian atas kewajaran laporan
keuangan. Kasus manipulasi pembukuan yang terjadi pada Enron Corp. merupakan
salah satu contoh kasus yang melibatkan akuntan publik. Laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh kantor akuntan
Arthur Anderson yang merupakan salah satu KAP yang termasuk dalam jajaran big five,
secara mengejutkan dinyatakan pailit pada 2 Desember 2001. Sebagian pihak menyatakan kepailitan tersebut salah satunya karena Arthur
3
Anderson memberikan 2 jasa sekaligus, yaitu sebagai auditor dan konsultan bisnis. Pada awal tahun 2001 patner KAP Andersen melakukan evaluasi
terhadap kemungkinan mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan, mengingat resiko yang sangat tinggi berkaitan dengan praktek
akuntansi dan bisnis enron. Dari hasil evaluasi di putuskan untuk tetap mempertahankan Enron sebagai klien KAP Andersen. Salah seorang eksekutif
Enron dilaporkan telah memepertanyakan praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan kekhawatiran berkaitan dengan hal
tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen pada pertengahan 2001. CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk melakukan investigasi
atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan penasehat hukum untuk mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi akuntansi yang
dipersoalkan. Hasil investigasi oleh penasehat hukum tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada hal-hal yang serius yang perlu diperhatikan. Pada tanggal 16
Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga. Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi 393
juta, naik 100 juta dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron, Kenneth Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan
prospek yang sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya akuntansi khusus special accounting chargeexpense
sebesar 1 miliar yang sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi 644 juta. Para analis dan reporter kemudian mencari
tahu lebih jauh mengenai beban 1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari
4
transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron. Pada tanggal 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan
perusahaan ke pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang tidak di laporkan senilai lebih dari satu
milyar dolar. Dengan pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang di tahan retained earning berkurang dalam jumlah yang sama. Enron dan KAP
Andersen dituduh telah melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan investigasi atas kebangkrutan Enron
penghambatan terhadap proses peradilan dari jurnal
DR. Dedi kusmayadi SE, M.si,
Ak http:dedik68.blogspot.com200906kasus-enron-dalam-perspektif-
etika.html
. Kasus Enron ini secara kasat mata telah melakukan pencorengan atas
profesi akuntan publik, pertama KAP Andersen yang termasuk the Big Six tahun 2001 tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan Enron, KAP
Andersen telah melakuklan tindakan yang tidak etis dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Arthur
Andersen memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan.
Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan kredibilitas
Arthur Andersen hancur. Disini Andersen telah ingkar dari sikap profesionalisme sebagai akuntan independen dengan melakukan tindakan
5
knowingly and recklessly yaitu menerbitkan laporan audit yang salah dan
meyesatkan deception of information. Kedua,
Adanya praktik
discrimination of
informationunfair discrimination
, melalui suburnya praktik insider trading, dimana hal ini sangat diketahui oleh Board of Director Enron, dengan demikian dalam praktik bisnis
di Enron sarat dengan collusion. Kondisi ini diperkuat oleh Bussines Round Table BRT
, pada tanggal 16 Pebruari 2002 menyatakan bahwa : a. Tindakan dan perilaku yang tidak sehat dari manajemen Enron berperan besar dari
kebangkrutan perusahaan; b. Telah terjadi pelanggaran terhadap norma etika corporate governance
dan corporate responsibility oleh manajemen perusahaan; c. Perilaku manajemen Enron merupakan pelanggaran besar-
besaran terhadap kepercayaan yang diberikan kepada perusahaan. Ketiga, Adanya Deception Information, yang dilakukan pihak manajemen
Enron maupun KAP Arthur Andersen, mereka mengetahui tentang praktek akuntansi dan bisnis yang tidak sehat. Tetapi demi trust dari investor dan
publik kedua belah pihak merekayasa laporan keuangan mulai dari tahun 1985 sampai dengan Enron menjadi hancur berantakan.Bahkan CEO Enron saat
menjelang kebangkrutannya masih tetap melakukan Deception dengan menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek
yang sangat baik. KAP Andersen tidak mau mengungkapkan apa sebenarnya terjadi dengan Enron, bahkan awal tahun 2001 berdasarkan hasil evaluasi
Enron tetap dipertahankan, hal ini dimungkinkan adanya coercion atau bribery, karena pihak Gedung Putih termasuk Wakil Presiden Amerika Serikat juga di
6
indikasikan terlibat
dalam kasus
Enron ini
Ak http:dedik68.blogspot.com200906kasus-enron-dalam-perspektif-etika.html
. . KAP Andersen sebagai pihak yang seharusnya menjungjung tinggi
independensi, dan profesionalisme telah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar dari tanggungjawab terhadap profesi maupun masyarakat
diantaranya melalui Deception, discrimination of information, coercion, bribery.
Akhirnya KAP Andersen ditutup disamping harus mempertanggung jawabkan tindakannya secara hukum.
Kondisi ini membuat masyarakat mempertanyakan kredibilitas profesi akuntan publik. Erosi kepercayaan terhadap profesi akuntansi semakin
meningkat, padahal eksistensi profesi sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Perdagangan opini auditor menjadi
hal yang “wajar” ketika independensi dan objektivitas sudah terabaikan Murniati dan Purnamasari, 2002 dalam jurnal Vena Purnamasari 2006.
Kepercayaan masyarakat perlu dipulihkan dan hal itu sepenuhnya tergantung pada praktek profesional yang dijalankan para akuntan. Profesionalisme
mensyaratkan tiga hal utama yang harus dimiliki oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian, pengetahuan, dan karakter. Karakter menunjukkan personality
kepribadian seorang profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap etis dan tindakan
etis Mar’ie, 2002 dalam Chrismastuti dan Purnamasari, 2003. Sikap dan tindakan etis akuntan publik akan sangat menentukan
posisinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya Machfoed, 1997 dalam Vena Purnamasari 2006.
7
Akuntan memiliki hubungan yang unik dengan pengguna jasanya jika dibandingkan dengan profesi lainnya. Profesi lain mendapatkan penugasan dari
pengguna jasa dan bertanggung jawab juga kepadanya, sementara akuntan mendapat penugasan dan memperoleh fee dari perusahaan yang menerbitkan
laporan keuangan, namun bertanggung jawab kepada pengguna laporan keuangan. Hubungan yang unik ini sering kali menempatkan akuntan pada
situasi-situasi dilematis, oleh sebab itu sangat penting bagi akuntan untuk melaksanakan audit dengan kompeten dan tidak bias Arens dan Loebbecke,
2000 dalam Vena Purnamasari 2006. Keunikan hubungan profesi akuntan dengan pengguna jasa profesionalnya serta dampak luas dari pelanggaran etika
profesi akuntan pada kepercayaan publik atas jasa profesionalnya, menjadikan masalah etika dan indepedensi auditor sebagai isu yang menarik untuk
didiskusikan dan dikaji secara ilmiah khususnya mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap independensi dan sensitivitas etika akuntan.
Kasus manipulasi di Indonesia seperti yg terjadi pada PT. Kimia Farma, yaitu pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma
melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta Mustofa HTM. Akan tetapi, Kementerian
BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober
2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali restated, karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang
baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih
8
rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7 dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa
overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa
overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar
Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma,
melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan master prices pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari
ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan
penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang
tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan
keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak
terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut David Parsaoran,
2009 dari
jurnal http:davidparsaoran.wordpress.com20091104skandal-manipulasi-laporan-
keuangan-pt-kimia-farma-tbk .
9
Selanjutnya diikuti
dengan pemberitaan
di harian
Kontan http:davidparsaoran.wordpress.com20091104skandal-manipulasi-laporan-
keuangan-pt-kimia-farma-tbk yang menyatakan bahwa Kementerian BUMN
memutuskan penghentian proses divestasi saham milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan
overstated dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002. Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang
Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 – Khusus huruf m – Perubahan
Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3 Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
“Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan
interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian. Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan
mendasar harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali restatement untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan
melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan apabila
dianggap tidak praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan standar akuntansi keuangan baru”.
Kasus yang menimpa PT. Kimia Farma dimana auditor yang mengaudit dalam hal ini adalah KAP Hans Tuanakotta Mustofa HTM, tidak mampu
atau berhasil dalam mendeteksi terjadinya penggelembungan nilai persediaan
10
dan pencatatan ganda penjualan yang dilakukan oleh direktur produksinya. Seperti yang dilansir dari harian kontan seperti yang telah dijabarkan
sebelumnya bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma seharusnya bisa dideteksi oleh KAP HTM selaku pemberi jasa audit, dalam
kasus tersebut KAP HTM dianggap lalai mendeteksi kesalahan dan kecurangan yang dilakukan oleh manajemen PT. Kimia Farma.
Auditor tidak dapat mendeteksi pencatatan ganda atas penjualan karena auditor tidak melakukan sampling pada unit-unit tersebut. Kesalahan oleh
auditor ini mungkin saja dikarenakan akibat dari keahlian yang kurang sebagai bekal dalam melakukan audit. Auditor yang memiliki keahlian yang memadai
sebagai auditor dapat tidak mungkin mengabaikan hal-hal terkecil dalam mengaudit, tentu keahlian yang dimiliki oleh auditor didapat dari pengalaman
auditor dalam tugasnya yang dibekali dengan pengetahuan yang cukup sebagai seorang auditor.
Keahlian audit berkaitan erat dengan struktur kemandirian dalam bekerja yang dimiliki auditor karena adanya pengetahuan yang berbeda dapat
menyebabkan perbedaan pendapat audit terhadap suatu kasus tertentu. Keahlian auditor yang baik diharapkan mampu menganalisa secara tepat atas
laporan keuangan auditan perusahaan. Pemahaman terhadap karakteristik keahlian auditan harus dimiliki oleh para auditor, sehingga mereka akan selalu
berupaya mencapai karakteristik tepat dan tidak mengandung unsur kesalahan. Pengalaman auditor dalam mengaudit laporan keuangan berbeda satu
dengan yang lainnya. Auditor yang mempunyai lebih banyak pengalaman
11
dalam audit sangat mungkin dapat menemukan item-item yang tidak umum atypical, di bandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman. Dalam
beberapa kasus, pengalaman auditor mempunyai dampak yang signifikan terhadap kinerja. Abdolhammadi dan Wright 1987 dalam Sri Murtini dan Edi
Wijayanto 2003 yang menyatakan bahwa pengalaman mungkin penting bagi keputusan yang kompleks, tetapi tidak untuk keputusan yang sifatnya rutin dan
terstruktur. Pengaruh pengalaman akan signifikan setiap tugas yang dilakukan semakin kompleks.
Pengalaman audit sebagai pengukur keahlian yang dimiliki oleh auditor, sangat ditunjang dengan pengetahuan yang dimiliki oleh auditor tersebut, hasil
penelitian Ashton 1991 dalam Sri Murtini dan Edi Wijayanto 2003 menunjukan bahwa perbedaan pengetahuan auditor mengenai error effect pada
berbagai tingkatan pengalaman mengaudit pada industri tertentu, atau jumlah klien yang sudah mereka audit. Selain itu, pengetahuan audit yang mempunyai
tingkat pengalaman yang sama mengenai sebab dan akibat, menunjukan perbedaan yang besar. Sehingga, keahlian yang dimiliki oleh seorang auditor
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki. Pengetahuan yang luas tanpa pengalaman yang memadai kurang dapat
menghasilkan audit yang baik, begitu pun dengan pengalaman yang banyak tetapi minim pengetahuan juga tidak lebih baik dalam menghasilkan audit yang
kompeten.Kelebihan pengetahuan auditor berpengalaman dijelaskan antara lain Tubbs 1992 dalam jurnal Sri Sularso dan Ainun Naim 1999 bahwa auditor
12
berpengalaman akan memperlihatkan adanya experiental learning melebihi pengetahuan auditor yang belum berpengalaman.
Auditor bertanggung jawab untuk menemukan suatu errors yang mungkin beberapa sangat sulit di ukur. Ukuran tersebut yang di temukan dalam
laporan keuangan dapat material atau tidak material, tergantung darimana diukurnya.
Materialitas merupakan
unsur yang
mengharuskan auditor
mempertimbangan baik keadaan yang berkaitan dengan entitas maupun kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan
keuangan auditan. Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak
terpengaruh oleh salah saji. Pertimbangan materialitas diperlukan dalam menentukan bukti yang
harus dikumpulkan atau kecukupan bukti, bagaimana bukti itu akan diperoleh dan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi bukti tersebut. Kecukupan
bukti audit digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat auditor atas laporan keuangan yang diaudit seperti tersebut dalam standar
pekerjaan laporan ketiga. Berdasarkan uraian di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan
penelitian ini karena pertama, dalam menjalankan tugasnya auditor eksternal dituntut untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan kode etik yang berlaku
agar tidak bias dalam melaksanakan kinerja mengaudit lapoaran keuangan. Hal ini, diharapkan dapat memperbaiki kemampuan auditor dalam menjalankan
13
profesinya. Kedua, dalam penelitian sebelumnya tentang materialitas terhadap kinerja auditor masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Ketiga, selama
menyelesaikan penelitian ini peneliti belum menemukan penelitian yang sama dengan menggunakan variabel-variabel dependen yang peneliti lakukan.
Mengacu pada latar belakang penelitian yang telah disampaikan, maka peneliti
mengambil judul sebagai berikut: “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertimbangan Tingkat Materialitas Laporan Keuangan
”.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh. Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia
Susanto 2009 dan Reni Yendrawati 2008. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, yaitu: Variabel yang digunakan peneliti terdahulu
adalah Profesionalisme, Etika Profesi, Pengetahuan Auditor Mendeteksi Kekeliruan, dan Materialitas laporan keuangan yang diduga mempengaruhi
auditor dalam memeriksa laporan keuangan tidak bias dari salah saji. Sedangkan, dalam penelitian ini, peneliti menambahkan variabel keahlian dan
pengalaman auditor, dimana variabel-variabel tersebut peneliti anggap memiliki peranan yang sama yang dibutuhkan auditor dalam melakukan audit
terhadap laporan keuangan dan dianjurkan dalam penelitian sebelumnya.
14
B. Perumusan Masalah