BAB III
WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
C. Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan 1. Jaminan
Pada hakekatnya hak-hak jaminan kebendaan tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri, melainkan selalu merupakan accessoire dari suatu perikatan
pokok. Walaupun hanya merupakan accessoire, hak-hak jaminan kebendaan itu bagi yang berhak kreditur sangat berperan karena memberikan preferensi
voorang, pendahuluan dalam hal ia melakukan verhaal atas benda-benda tertentu dari harta kekayaan debitur guna menutup shulld si debitur kepadanya.
14
Ada kemungkinan seorang debitur mempunyai utang pada beberapa kreditur, karena itu harus berpedoman pada Pasal 1132 KUH Perdata. Oleh karena itu
menurut R. Subekti
15
14
Purwahid Patrik dan Kashadi. 2002. Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. hal. 4
15
R. Subekti. Jaminan-Jaminan Untuk Pembayaran Kredit Menurut Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, 1991, hal 12
, Pasal 1132 tersebut di atas mengatakan bahwa ada kemungkinan Undang-undang memberikan kedudukan istimewa atau privilege
atau preferensi kepada kreditur-kreditur tertentu. Kreditur-kreditur seperti itu didahulukan pembayarannya.
Hak-hak yang bersifat memberikan jaminan secara khusus diatur dalam Bab-Bab XIX, XX, dan XXI dari Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
KUH Perdata. Hak-hak mana adalah privilege, gadai dan hipotik.
16
Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan yang mencabut sebagian ketentuan
hipotik, maka hak istimewa ini juga di atur. Mengenai Hak Tanggungan ini Mochammad Djai’is,
17
a. Utang yang telah ada; atau
mengemukakan bahwa “menurut ketentuan Hukum Jaminan, suatu jaminan selalu merupakan accessoire dari perjanjian pokok”. Hal
demikian juga diatur dalam UUHT. Dalam Pasal 1 butir 1 UUHT dinyatakan antara lain bahwa “Hak
Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu”. Jenis utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan, diatur dalam Pasal 3 ayat 1,
dinyatakan bahwa:
b. Utang yang diperjanjikan dengan jumlah tertentu; atau
c. Utang yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan
dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang
bersangkutan. Accesoire disini dimaksudkan sebagai perjanjian tambahan atau ikutan
dari perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Berkaitan dengan preferensi dalam Hak Tanggungan, dikemukakan oleh
Purwahid Patrik dan Kashadi bahwa :
18
16
Purwahd Patrik dan Kashadi. Loc.cit.
17
Mochammad Dja’is. “Peran Sifat Accesoire Hak Tanggungan Dalam Mengatasi Kredit Macet”. Masalah-Masalah Hukum. Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Semarang. Edisi Khusus Tahun XXV. 1997, hal 54.
18
Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. hal 53-54.
Universitas Sumatera Utara
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan piutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dalam arti, bahwa apabila debitur cidera janji wanprestasi maka kreditur pemegang Hak Tanggungan
berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dengan hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi
piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Maksudnya walaupun seseorang menjadi kreditur peringkat pertama preferen harus menyelesaikan lebih dahulu piutang negara bila ada, termasuk
yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata tentang hak didahulukan yang dilekatkan pada barang tertentu dan Pasal 1149 KUH Perdata tentang hak
didahulukan atas segala barang bergerak dan barang tetap pada umumnya.
2. Pengertian dan Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas
pinjaman yang diterima
19
19
H. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005 hal 95.
. Istilah yang sering dipakai adalah agunan. Pengertian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UUHT yang dinyatakan bahwa :
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Universitas Sumatera Utara
Selain pengertian Hak Tanggungan dalam UUHT, Budi Harsono mengartikan Hak Tanggungan adalah
20
Penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan
dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam undang-undang ini
dinyatakan bahwa, pembebanan Hak Tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula :
“Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan
untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau
sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya”.
Definisi yang dikemukakan Budi Harsono ini menekankan pada penguasaan hak atas tanah oleh kreditur sebagai agunan yang secara fisik tetap
dikuasai pemiliknya, namun baru dijual lelang bila debitur cedera janji. Mengenai pengertian Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT di atas, latar belakangnya
diuraikan dalam Penjelasan Umum ayat 6 : Hak Tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya
adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya seringkali terdapat adanya benda-benda berupa bangunan,
tanaman dan hasil karya, yang secara tetap merupakan kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Hukum Tanah Nasional didasarkan
kepada Hukum Adat yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Dalam rangka asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan
kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum
mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda- benda tersebut.
20
Budi Harsono yang dikutip H. Salim HS., Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah , 2005 hal 97.
Universitas Sumatera Utara
meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut sudah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktek, sepanjang benda-benda
tersebut merupakan suatu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaan dijadikan jaminan, dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki pihak lain. Bangunan yang digunakan ruang bawah tanah yang secara fisik tidak ada
hubungannya dengan bangunan yang berada di atas permukaan bumi di atasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai Hak Tanggungan menurut
undang-undang ini. Oleh sebab itu undang-undang ini diberi judul: “Undang- Undang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan Tanah, dan dapat disebut Undang-Undang Hak Tanggungan UUHT, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996. Dari uraian dan paparan di atas,
dapatlah dikemukakan ciri Hak Tanggungan. Ciri Hak Tanggungan adalah:
21
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference. b.
Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek itu berada atau disebut dengan droit de suite. Keistimewaan ini ditegaskan
dalam Pasal 7 UUHT. Biarpun objek Hak Tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap
21
H. Salim HS, Op.cit. hal 98.
Universitas Sumatera Utara
masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cidera janji;
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;dan
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam UUHT memberikan
kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi. Ciri-ciri di atas selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio
bahwa :
22
1 Hak jaminan;
ciri-ciri Hak Tanggungan bisa dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang- Undang Hak Tanggungan, suatu pasal yang hendak memberikan perumusan
tentang Hak Tanggungan yang antara lain dinyatakan cirinya:
2 Atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
kesatuan dengan tanah yang bersangkutan; 3
Untuk pelunasan suatu hutang; 4
Memberikan kedudukan yang diutamakan. Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka
ciri yang ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 UUHT sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.
22
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002, hal 278.
Universitas Sumatera Utara
3. Asas-asas Hak Tanggungan
Mengenai asas-asas Hak Tanggungan banyak pakar yang memberikan pendapat. Asas-asas dari Hak Tanggungan ini meliputi asas publisitas, asas
spesialitas dan asas tidak dapat dibagi-bagi. Asas publisitas ini dapat diketahui dari Pasal 13 ayat 1 UUHT yang
menegaskan bahwa : “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan”. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan tersebut terhadap pihak ketiga.
Asas spesialitas ini dapat diketahui dari Penjelasan Pasal 11 ayat 1 yang menyatakan bahwa : “ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk
sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT. Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT mengakibatkan akta yang
bersangkutan batal demi hukum”. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subjek, objek maupun utang
yang dijamin. Asas tidak dapat dibagi-bagi ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 1, bahwa
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam APHT sebagaimana dimaksud pada ayat 2.
23
Selain tiga asas yang diketengahkan di atas, H. Salim HS, juga mengemukakan asas-asas sebagai berikut:
24
23
Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. hal 55.
24
H. Salim HS. Op.cit. hal 102-103
Universitas Sumatera Utara
a. Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak
Tanggungan Pasal 1 ayat 1 UUHT; b.
Tidak dapat dibagi-bagi Pasal 2 ayat 1 UUHT; c.
Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada Pasal 2 ayat 2 UUHT;
d. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut Pasal 4 ayat 4 UUHT; e.
Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baruakan ada di kemudian hari Pasal 4 ayat 4 UUHT. Dengan syarat
diperjanjikan secara tegas; f.
Sifat perjanjian adalah tambahan accesoir Pasal 10 ayat 1, Pasal 18 ayat 1 UUHT;
g. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada Pasal 3 ayat 1
UUHT; h.
Dapat menjamin lebih dari satu utang Pasal 3 ayat 2 UUHT; i.
Mengikuti objek dalam tangan siapa pun objek itu berada Pasal 7 UUHT; j.
Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan; k.
Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu Pasal 8, Pasal 11 ayat 1 UUHT;
l. Wajib didaftarkan Pasal 13 UUHT;
m. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
n. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu Pasal 11 ayat 2
UUHT;
Universitas Sumatera Utara
Mengenai sita yang disebutkan di atas tetap dilaksanakan sesuai prosedur di Pengadilan Negeri.
4. Objek Hak Tanggungan
Pada dasarnya tidak setiap hak atas tanah dapat dijadikan jaminan utang,tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
25
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang;
b. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi
syarat publisitas; c.
Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan, karena apabila debitur cidera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum; dan
d. Memerlukan penunjukan oleh undang-undang.
Berkaitan dengan syarat di atas, Purwahid Patrik dan Kashadi mengemukakan bahwa yang dijadikan objek dari hak tanggungan meliputi:
26
1 Yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 :
a Hak Milik ;
b Hak Guna Usaha ;
c Hak Guna Bangunan
2 Yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat 2 :
Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar, menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
25
Ibid. hal. 104
26
Patrik, Purwahid dan Kashadi. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.2002. hal 61.
Universitas Sumatera Utara
3 Yang disebutkan dalam Pasal 27 :
a Rumah susun yang berdiri di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, dan
hak pakai yang diberikan oleh negara ; b
Hak milik atas satuan rumah susun, yang bangunannya berdiri di atas tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh
negara. Selain objek Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas, Ignatius
Ridwan Widyadharma juga menambahkan bahwa:
27
1 Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman dan hasil karyanya yang telah ada atau akan ada dan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut Pasal 4 ayat 4
UUHT. Kemungkinan dalam kenyataan, ada bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 ayat 4 UUHT tersebut di atas
tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
Penand atanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya
dengan akta autentik Pasal 4 ayat 5 UUHT.
Objek Hak Tanggungan dapat meliputi tanah dan bangunan di atasnya serta tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada. Objek Hak
Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan, sehingga akan terjadi peringkat Hak Tanggungan.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 5 UUHT :
2 Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak
Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahannya.
27
Ignatius Ridwan Widyadharma,. Sedikit Tentang Hukum Jaminan Di Indonesia. Semarang: Tanjung Mas, 1999. hal 10
Universitas Sumatera Utara
3 Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama
ditentukan menurut tanggal pembuatan APHT yang bersangkutan.
5. Subjek Hak Tanggungan
Subjek dalam hal ini adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan.
28
Subjek di sini dapat berarti orang pribadi atau badan hukum. Seperti setiap perjanjian yang lain, dalam perjanjian pemberian hak tanggungan
ada 2 dua pihak yang saling berhadapan, yaitu kreditur, yang setelah pemberian Hak Tanggungan akan disebut pemegang Hak Tanggungan dan pihak pemberi
Hak Tanggungan, yang bisa debitur sendiri atau pihak- ketiga, sehingga mereka akan disebut debitur pemberi Hak Tanggungan atau pihak-ketiga pemberi Hak
Tanggungan.
29
Subjek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UUHT. Dalam kedua pasal itu dinyatakan bahwa yang dapat menjadi subjek
hukum dalam pembebanan Hak Tanggungan adalah pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan dapat perorangan atau
badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan terdiri dari
perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang. Biasanya dalam praktek pemberi Hak Tanggungan disebut dengan debitur, yaitu
orang yang meminjam uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak
28
Kashadi. Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000, hal 27.
29
J. Satrio. 2002 Op.cit. hal 286.
Universitas Sumatera Utara
Tanggungan disebut dengan istilah kreditur, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.
30
Pasal 8 UUHT disebutkan bahwa “pemberi Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan”. Pemberi Hak Tanggungan bisa debitur sendiri, bisa pihak lain dan bisa juga debitur bersama
pihak lain. Pihak lain tersebut bisa pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan namun juga bisa pemilik bangunan, tanaman dan atau hasil karya yang
ikut dibebani Hak Tanggungan.
31
Proses pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 UUHT. Pasal 10 mengatur tata cara pemberian Hak Tanggungan secara langsung,
sedangkan Pasal 15 mengatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak tangungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada penerima kuasa. Proses
pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu : Keterlibatan pihak lain sebagai pemberi Hak
Tanggungan karena dibutuhkan debitur dan sudah ada kesepakatannya tersendiri. Pasal 9 UUHT dinyatakan bahwa : “Pemegang Hak Tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang”.
6. Proses Pembebanan Hak Tanggungan
32
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya APHT oleh PPAT,
yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin ;
30
H. Salim HS. Op.cit. hal 103-104.
31
Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. hal 63
32
Kashadi. Op.cit. hal 31-32
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Perjanjian utang piutang sebagai tahap yang mendasari tahap pemberian
Hak Tanggungan dapat dibuat secara notariil atau dibawah tangan. 1
Tahap Pemberian Hak Tanggungan Dalam Pasal 10 UUHT ditentukan bahwa : “Pemberian Hak Tanggungan
didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian yang menimbulkan utang tersebut”.
H. Salim HS
33
a Didahului janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan
pelunasan utang tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang.
, prosedur pemberian Hak Tanggungan, dengan cara langsung disajikan berikut ini:
b Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan APHT
oleh PPAT sesuai peraturan perundangan yang berlaku. c
Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum
dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
33
H. Salim HS. Op.cit. hal 146
Universitas Sumatera Utara
Mariam Darus Badrulzaman
34
juga mengemukakan bahwa, bentuk perbuatan hukum dari perjanjian pemberian Hak Tanggungan ini adalah Akte
Pemberian Hak Tanggungan APHT yang dibuat PPAT Pasal 10 ayat 2 jo. Pasal 17 UUHT. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, PPAT
adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya
ditetapkan sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukannya
sebagai yang disebutkan di atas, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik
35
Dalam pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi Hak Tanggungan dan penerima Hak Tanggungan dan disaksikan oleh
dua orang saksi. Jika tanah yang dijadikan jaminan belum bersertifikat yang wajib bertindak sebagai saksi adalah Kepala Desa dan seorang anggota pemerintahan
dari desa yang bersangkutan. Pasal 25 PP. 10 Tahun 1961. . Dikatakan otentik karena dibuat oleh pejabat yang
berwenang dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
36
34
Mariam Darus Badrulzaman. Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan Bandung: Mandar Maju, 2004, hal 62
35
Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. hal 65
36
Ibid. hal 65-66
Kepala Desa dan anggota pemerintahan desa dianggap lebih mengetahui riwayat tanah tersebut. Dengan demikian, PPAT wajib menolak permintaan untuk
membuat APHT jika tanah yang bersangkutan diketahui masih dalam perselisihan sengketa. Mengenai isi dari APHT diatur dalam Pasal 11 UUHT yang
menyebutkan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
1 Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan :
a Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b Domisili para pihak, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di
luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan apabila di dalam APHT domisili pilihan itu tidak
dicantumkan kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih.
c Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 Ayat 1. nilai tanggungan d
uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. 2
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain :
a Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan objek Hak Tanggungan danatau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa danatau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan
persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. b
Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
c Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan apabila debitur betul-betul cidera janji.
d Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi
objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
e Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji.
f Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa
objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan. g
Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan. h
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan
umum. i
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.
Universitas Sumatera Utara
j Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak
Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. k
Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat 4. Berkaitan dengan isi APHT sebagaimana tersebut di atas, menurut Mariam
Darus Badrulzaman, UUHT menentukan isi APHT dalam tiga jenis yaitu:
37
1 Isi Wajib
Isi wajib, isi fakultatif dan isi dilarang.
Jika isi wajib ini tidak dicantumkan selengkap-lengkapnya maka APHT ini batal demi hukum. Ketentuan ini berkaitan dengan asas spesialitas dari Hak
Tanggungan, yaitu mengenai subyek, objek, dan utang yang dijamin Pasal 11 ayat 1 UUHT dan Penjelasannya.
2 Isi fakultatif
Isi fakultatif ini tidak bersifat limitative, tetapi enumeratif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akte. Pihak-pihak bebas menentukan
apakah isi tersebut dicantumkan atau tidak di dalam APHT janji-janji yang dimuat itu dan kemudian APHT nya didaftarkan pada Kantor Pertanahan,
memperoleh sifat kebendaan dan mengikat pihak ketiga Pasal 11 ayat 2 UUHT dan penjelasannya.
3 Janji yang dilarang
Pasal 12 UUHT mengatakan sebagai berikut:
37
Mariam Darus Badrulzaman. Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan Bandung: Mandar Maju. 2004.hal 69-70
Universitas Sumatera Utara
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi
hukum. Janji yang dilarang ini merupakan pengecualian terhadap janji-janji yang
dapat dimuat dalam APHT. a.
Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan Dalam Pasal 13 UUHT ditegaskan bahwa :
1 Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada kantor Pertanahan.
2 Selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja setelah penandatanganan akte
pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 2, PPAT wajib mengirimkan akte pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan dan Warkah lain yang di perlukan kepada kantor Pertanahan. 3
Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimanan dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh kantor pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak
Tanggungan dan mencatatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. 4
Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 adalah tanggal hari ketujuh penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.
5 Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku-tanah Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud pada ayat 4.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian di dalam Pasal 14 UUHT disebutkan bahwa: 1
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 2
Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimanan dimaksud pada ayat 1 memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. 3
Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
4 Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 13 ayat 3 dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan. 5
Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.
Tahap pendaftaran dibuktikan dengan diterbitkannya sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-rah seperti disebutkan dalam Pasal 14 ayat 2
UUHT. Jadi irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertifikat
Hak Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji wanprestasi siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
Universitas Sumatera Utara
kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata.
38
Eksekusi Hak Tanggungan adalah jika debitur cidera janji maka objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk
pelunasan piutangnya, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur yang lain.
Parate eksekusi adalah eksekusi penjualan secara langsung melalui pelelangan umum tanpa melalui pengadilan sedangkan Peraturan Hukum Acara
perdata yang dimaksud adalah HIRRBg.
7. Eksekusi Hak Tanggungan
39
Syarat dan cara eksekusi dikemukakan oleh Ignatius Ridwan Widyadharma, bahwa apabila debitur cidera janji dapat ditempuh eksekusi Hak
Tanggungan lewat dua kemungkinan yaitu :
40
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut.
b. Titel eksekutorialnya yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan yang
memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
38
Purwahid Patrik dan Kashadi. Op.cit. hal 67-68
39
Ibid. hal 85
40
Ignatius Ridwan Widyadharma. Op.cit. hal 54
Universitas Sumatera Utara
Pendapat di atas didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 20 ayat 1 UUHT selengkapnya Pasal 20 menegaskan :
1 Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan :
a hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b
Titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat 2, objek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungan dengan mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya ; 2
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian
itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak ; 3
Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 satu bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihakpihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 dua surat
kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan ;
4 Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang
bertentangan dengan ketentuan pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, batal demi hukum ;
Universitas Sumatera Utara
5 Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah
dikeluarkan. Adanya janji untuk menjual sendiri di atur dalam Pasal 6 UUHT yang
menentukan bahwa : Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.
Penjelasan Pasal 6 UUHT menyatakan : Hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri,
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak
Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh
pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Hak dari pemegang Hak Tanggungan untuk melaksanakan haknya berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut adalah
hak yang semata-mata diberikan oleh undang-undang. Walau demikian tidaklah berarti hak tersebut demi hukum ada, melainkan harus diperjanjikan terlebih
dahulu oleh para pihak dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan atas hak atas
Universitas Sumatera Utara
tanah.
41
Menurut J. Satrio Kalau hak ini tidak diperjanjikan dalam APHT, maka eksekusinya tidak
dapat dilaksanakan berdasar Pasal 6 UUHT.
42
Harap diingat, bahwa hak parate eksekusi yang diberikan dalam Pasal 6 UUHT, sama seperti juga yang diperjanjikan melalui Pasal 1178 ayat 2 KUH
Perdata, adalah kewenangan yang bersyarat, yaitu hak tersebut baru ada kalau debitur sudah wanprestasi.
, bahwa yang namanya “menjual atas kekuasaan sendiri” adalah parate eksekusi. Pada lembaga hipotik, hak kreditur untuk menjual
objek hipotik di depan umum atas dasar parate eksekusi, didasarkan atas Pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata, yang menimbulkan banyak polemik, sehubungan
dengan redaksi Pasal 1178 ayat 2, yang mendasarkan kepada kuasa mutlak yang diberikan oleh pemberi hipotik kepada pemegang hipotik. Kuasa mutlak di sini
adalah kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasanya.
43
41
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Harta Kekayaan Hak Tanggungan. Jakarta: Prenada Media, 2004, hal 248
42
J. Satrio. Op.cit. hal 285
43
Ibid. hal 286.
Debitur wanprestasi kalau sudah dinyatakan lalai dalam memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian yang dibuktikan dengan adanya surat somasi dari
kreditur. Lembaga parate eksekusi eks Pasal 1178 2 K.U.H. Perdata dalam praktek sering mengalami hambatan. Hal ini karena dimandulkan oleh lembaga
peradilan. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 3210 KPdt1984 tanggal 30 Januari 1984 menyatakan, parate eksekusi yang dilakukan tanpa meminta
persetujuan pengadilan negeri meski didasarkan pada Pasal 1178 2 K.U.H.
Universitas Sumatera Utara
Perdata merupakan perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan adalah batal. Putusan MA tersebut menjungkirbalikkan lembaga parate eksekusi
yang sejak awal dimaksudkan untuk memudahkan kreditur memenuhi piutangnya manakala debitur wanprestasi.
44
Dalam ketentuan Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Hak Tanggungan bahkan ditegaskan bahwa Sertifikat Hak Tanggungan adalah Grosse Akta
Hypotheek. Dengan adanya putusan MA No. 3210 KPdt1984 ini, maka Kantor lelang
Negara KP2LN tidak berani melakukan pelelangan umum sampai sebelum keluarnya UUHT.
Mengenai titel eksekutorial yang terdapat dalam Pasal 14 ayat 2 dipertegas dalam ayat 3 UUHT, selengkapnya kedua ayat tersebut menyatakan :
2 Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. 3 Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte
hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
45
44
M. Khoidin. Dimensi Hukum Hak Tanggungan Atas Tanah. Bandung: Citra Aditya Bakti.2005, hal 85.
45
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja. Op.cit. hal 253.
Disamakannya sertifikat Hak Tanggungan dengan Grosse Akta Hypotheek, karena eksekusi Hak Tanggungan didasarkan pada Pasal 224 HIR258
RBg. yang mengatur eksekusi Grosse Akta Hypotheek. Mengenai eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan, di dalam Pasal 26 UUHT ditentukan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai
eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
Dalam bagian penjelasan Pasal 26 UUHT disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasal
ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941- 44 dan
Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en
Madura, Staatsblad 1927-227 Ketentuan dalam Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti
adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertipikat Hak Tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai pengganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang disebut di atas.
Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum ayat 9, ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan
tersebut, ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertipikat Hak Tanggungan sebagai dasar
pelaksanaannya. Ketentuan Pasal 6 merupakan eksekusi parate yang menunjuk lansung ke pelelangan umum sedangkan Pasal 14 ayat 2 jo. Pasal 26 UUHT
mengatur titel eksekutorial melalui Pengadilan Negeri dan bila ada kesepakatan
Universitas Sumatera Utara
dari para pihak, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat 2 UUHT.
D. Wanprestasi 4. Pengertian Wanprestasi