Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan

(1)

MOCHAMMAD RIYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

RESPONS PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus

fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN BUATAN

MOCHAMMAD RIYANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian Tesis ini.

Bogor, Juli 2008

Mochammad Riyanto


(4)

ABSTRACT

MOCHAMMAD RIYANTO. Olfaction Response of Grouper (Epinephelus fuscogutattus) to Artificial Bait. Under the supervision of Ari Purbayanto and Budy Wiryawan.

The use of bait in fishing operation attached to a fishing gear has function to attract or stimulate fish, so as to increase the fishing effectiveness. Response study on fish behavior especially for olfactory organ function represents the important roles in order to know the effectiveness of bait. The objectives of this study were to formulate the artificial bait in different composition, to analysis olfaction response of grouper (Epinephelus fuscogutattus) to artificial bait, to analysis soaking time of the artificial bait that effectively to attract grouper, and to measure the effectiveness of the artificial baits to catch grouper by using basket pot. The laboratory and fishing experiment methods were used in this study. The formula of artificial bait that showed a high effectiveness was the bait of B (composed of 35% fish oil). The effect of different bait indicated insignificantly different to the grouper catch. The use of the artificial bait in different soaking time (day and night) has not significantly different to the grouper catch. The use of natural bait (shrimp and trash fish), however was more effective than the artificial bait to catch grouper.


(5)

fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan. Di bawah bimbingan Ari Purbayanto dan Budy Wiryawan.

Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umumnya ditangkap dengan menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun (potasium sianida). Kedua cara penangkapan yang disebutkan terakhir merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap) (Brandt, 1984) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang. Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan dengan bubu dan pancing. Umpan digunakan dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimilikinya agar dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Membuat formulasi umpan buatan (artificial bait) yang efektif bagi penangkapan ikan karang, (2) Mengetahui respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan buatan, (3) Menganalisis waktu perendaman umpan buatan yang efektif sebagai pemikat (attractor) ikan kerapu, dan (4) Mengukur efektivitas umpan buatan dalam penangkapan ikan kerapu dengan bubu.

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan (September 2007-Maret 2008). Pengamatan terhadap respons penciuman ikan kerapu dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Ujicoba penangkapan dilakukan di sekitar perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen laboratorium (laboratory experiment) dan uji coba penangkapan (fishing experiment). Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tingkah laku ikan mendekati umpan, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai umpan, komposisi bahan umpan buatan, kandungan proksimat (air, protein, lemak) dari formulasi umpan buatan, komposisi hasil tangkapan, dan panjang serta berat hasil tangkapan.

Analisis proksimat umpan buatan menunjukkan bahwa kandungan kimia utama yang berpengaruh terhadap respons penciuman ikan adalah protein, lemak dan asam amino. Komposisi protein yang tertinggi terdapat pada umpan D (331,8 mg/g), diikuti oleh umpan A (152,9 mg/g), umpan B (135,7 mg/g) dan umpan C (134,4 mg/g). Umpan kontrol memiliki nilai kadar protein terendah yaitu 40,3 mg/g. Kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan C (283,9 mg/g), umpan B, D, dan A berturut-turut 231,9 mg/g, 92,5 mg/g dan 54,3 mg/g. Kandungan air tertinggi terdapat pada umpan kontrol yaitu sebanyak 399,6 mg/g.

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji klasifikasi satu arah (one way


(6)

berbeda nyata seperti ditunjukkan dengan nilai F hitung ( 2,96) < F tabel (3,23). Waktu rata-rata searching umpan buatan berpengaruh nyata seperti ditunjukkan dengan nilai F hitung (3,65) > F tabel (3,23). Waktu rata-rata finding umpan buatan tidak berbeda nyata sebagaimana ditunjukkan dengan nilai F hitung (0,52) < F tabel (3,23). Umpan buatan C memberikan waktu rata-rata searching yang lebih cepat dibandingkan umpan D, B, dan A.

Hasil tangkapan rata-rata dan galat baku pada siang hari adalah 302,61±3,78 gram dan malam hari adalah 405,72±4,16 gram. Penggunaan umpan pada siang hari tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan karang sebagaimana ditunjukkan dengan nilai sig. 0,187 > α 0,05. Waktu perendaman malam hari dengan umpan yang berbeda ditunjukkan dengan nilai sig. 0,073 > α 0,05 tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan ikan karang.

Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan adalah sebesar 44,60% sedangkan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan alami adalah sebesar 55,40%. Perbandingan efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan perbedaan umpan berdasarkan jumlah hasil tangkapan didapatkan bahwa efektivitas terbaik adalah umpan udang yaitu sebesar 71,46% diikuti oleh umpan rucah sebesar 67,92%, bulu babi dan umpan A memiliki efektivitas yang sama yaitu sebesar 62,50% serta umpan B sebesar 45,83%.


(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyertakan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kuliah atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin dari IPB


(8)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan Buatan

Nama : Mochammad Riyanto

NRP : C451060101

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal, pada tanggal 25 Oktober 1982. Penulis merupakan putra pertama dari tujuh bersaudara pasangan Bapak Sugri dan Ibu Siyuningsih. Pada tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Tegal, kemudian diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan program Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, SPs-IPB.

Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai CPNS dan saat ini bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB. Penulis aktif pada berbagai kegiatan kemahasiswaan IPB dan Organisasi Mahasiswa Daerah antara lain menjadi Ketua Departemen Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (HIMAFARIN) periode 2003-2004, Ketua Ikatan Mahasiswa Tegal Periode 2002-2003, dan Wakil Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana Teknologi Kelautan (Formula) Periode 2007-2008.

Penulis berhasil menyelesaikan studi dan dinyatakan lulus dalam Sidang Ujian Tesis yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana IPB pada tanggal 12 Juni 2008 dengan judul tesis ”Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan”.


(11)

Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis yang berjudul: “Respon Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelusfuscoguttatus) Terhadap Umpan Buatan”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam peningkatan efektivitas dan efisiensi penangkapan ikan karang konsumsi dengan bubu.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas bantuan yang tak ternilai kepada Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc, Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, perhatian dan pemikirannya dalam penyelesaian tesis ini, serta Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Beni Pramono, M.Si, Eddi Husni, ST, M.Si, Adi Susanto, S.Pi, Indra Supiyono, S.Pi, Aristi Dian Purnama Fitri, S.Pi, M.Si, Deka B Sejati, S.Pi, Angga Nugraha, S.Pi, Deby Sofiana, S.Pi atas bantuan dan kolaborasinya. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan PS TKL 2006 dan teman-teman sejawat di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atas bantuan dan dukungannya.

Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu dan Bapak serta adik-adikku tercinta atas segala doa, kesabaran, dorongan, dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada Ayu Dwi Martini atas perhatian dan dorongan semangatnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Juli 2008


(12)

DAFTAR ISTILAH

Artificial bait (umpan buatan) Umpan buatan dari hasil formulasi berbagai jenis bahan seperti minyak ikan, tepung ikan, tepung tapioka yang digunakan untuk memikat ikan mendekati suatu alat tangkap yang menggunakan umpan tersebut

Alat penangkap ikan Sarana dan perlengkapan atau

benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan

Attractor (pemikat ikan) Alat bantu untuk memikat/menarik perhatian ikan sehingga mendekati obyek pemikat

Bubu Alat penangkap ikan yang termasuk

dalam klasifikasi perangkap dengan disain khusus untuk menangkap ikan dan krustase

Crepuscular Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif diantara waktu siang dan malam hari

Chemoreception Rangsangan yang diterima oleh ikan karena bahan kimia

Dead bait (umpan mati) Umpan yang digunakan dalam keadaan mati

Diurnal Sifat dan tingkah laku ikan yang

memiliki pergerakan aktif pada siang hari

Efektivitas Tingkat pencapaian hasil terhadap

suatu tujuan

Feeding habits (kebiasaan makan) Tingkah laku makhluk hidup dalam mencari makanan

Fish behavior (tingkah laku ikan) Tingkah laku ikan dalam hidupnya, dipelajari untuk kegiatan perikanan

Fishing ground (daerah penangkapan ikan) Daerah yang menjadi tujuan penangkapan ikan


(13)

Hauling (pengangkatan) Proses pengangkatan alat tangkap ke atas kapal dalam operasi

penangkapan ikan

Natural bait (umpan alami) Umpan yang berasal dari bahan alam

Nokturnal Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif

pada malam hari

Olfaction response (respons penciuman) Respons ikan terhadap rangsangan yang diterima dengan menggunakan organ penciuman

Setting (pemasangan) Pemasangan alat tangkap

Thigmotaxis (thigmotaksis) Sifat ikan yang selalu ingin tahu terhadap benda asing

Trap(perangkap) Alat tangkap ikan yang prinsip

kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat dengan bantuan atraktor tertentu

Umpan Salah satu bentuk rangsangan berupa

fisik maupun kimiawi yang dapat memberikan respons ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Manfaat ... 4

1.5 Hipotesis ... 5

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu Macan ... 7

2.2 Tingkah Laku Ikan Kerapu Macan ... 8

2.3 Organ Penciuman Ikan (Olfactory Organ) ... 9

2.4 Umpan ... 14

2.5 Unit Penangkapan Bubu ... 15

2.6 Efektivitas Alat Tangkap Bubu... 18

3 METODE PENELITIAN... 19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2 Metode Penelitian ... 19

3.2.1 Alat dan bahan penelitian... 21

3.2.2 Pengumpulan data ... 25

3.3 Analisis Data ... 30

3.3.1 Respons penciuman ikan terhadap umpan ... 30

3.3.2 Respons penciuman ikan terhadap umpan buatan ... 30

3.3.3 Pengaruh perbedaan umpan ... 32

3.3.4 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan ... 33

4 HASIL PENELITIAN ... 34

4.1 Hasil Eksperimen Laboratorium ... 34

4.1.1 Formulasi umpan buatan... 34

4.1.2 Respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan 38 4.1.3 Pengaruh perbedaan komposisi umpan buatan terhadap waktu respons penciuman ... 40

4.2 Hasil Eksperimen Lapangan ... 41

4.2.1 Komposisi hasil tangkapan ... 41

4.2.2 Pengaruh perbedaan jenis dan waktu perendaman umpan... 47

4.2.3 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan ... 48


(15)

5.2 Hubungan Perbedaan Umpan dengan Waktu Respons Ikan... 53

5.3 Komposisi dan Distribusi Hasil Tangkapan Bubu... 57

5.4 Pengaruh Perbedaan Jenis dan Waktu Perendaman Umpan .. 59

5.5 Efektivitas Penangkapan Ikan Kerapu dengan Umpan Buatan 61 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 62

6.1Kesimpulan ... 62

6.2Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Peralatan laboratorium yang digunakan dalam penelitian ... 22

2 Peralatan penelitian lapangan lainnya yang digunakan dalam penelitian... 25

3 Komposisi bahan umpan buatan (artificial bait) ... 28

4 Analisis ragam untuk pengaruh perbedaan umpan buatan ... 32

5 Perhitungan efektivitas tangkapan kerapu dengan bubu berumpan... 33

6 Analisis ragam berdasarkan waktu arousal... 41

7 Analisis ragam berdasarkan waktu searching... 41


(17)

Halaman

1 Diagram alir kerangka pemikiran ... 6

2 Ikan kerapu macan ... 7

3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya ... 10

4 Bagian otak dorsal (gambar atas), lateral (gambar tengah), longitudinal (gambar bawah) ... 11

5 Sistem penciuman (olfactory) pada ikan ... 12

6 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon... 12

7 Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 20

8 Bak pemeliharaan ikan... 21

9 Bak percobaan... 21

10 Pembagian fase respons ikan terhadap umpan... 27

11 Kandungan proksimat umpan alami ... 34

12 Kandungan lemak pada umpan alami ... 35

13 Kandungan asam amino umpan alami ... 35

14 Kandungan proksimat pada umpan buatan ... 36

15 Kandungan lemak pada umpan buatan ... 37

16 Kandungan asam amino yang terdapat pada umpan buatan ... 38

17 Perbandingan waktu rata-rata respons arousal antar jenis umpan buatan ... 39

18 Perbandingan waktu rata-rata respons searching antar jenis umpan buatan ... 39

19 Perbandingan waktu rata-rata respons finding antar jenis umpan buatan ... 40

20 Komposisi jumlah hasil tangkapan bubu tambun ... 42

21 Komposisi berat hasil tangkapan bubu tambun ... 42

22 Distribusi frekuensi panjang kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan ... 43

23 Distribusi frekuensi panjang kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan ... 44


(18)

24 Distribusi frekuensi panjang kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba

penangkapan ... 44

25 Distribusi frekuensi berat kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan ... 45

26 Distribusi frekuensi berat kerapu karet (Epinephelus fasciatus) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan ... 46

27 Distribusi frekuensi berat kerapu koko (Epinephelus merra) hasil tangkapan bubu tambun selama uji coba penangkapan ... 46

28 Perbandingan hasil tangkapan rata-rata siang dan malam hari . 47 29 Hasil tangkapan total ikan kerapu dengan perbedaan umpan dan waktu perendaman ... 48

30 Presentase hasil tangkapan ikan kerapu selama penelitian ... 49

31 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan dan alami ... 49

32 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu berumpan 50

33 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 1)... 55

34 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 2)... 56

35 Pola tingkah laku ikan mendekati umpan (pola 3)... 56


(19)

Halaman

1 Peta lokasi penelitian ... 70 2 Data waktu respons penciuman ikan kerapu macan ... 71 3 Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data

waktu arousal... 72 4 Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data

waktu searching... 73 5 Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk data

waktu finding... 74 6 Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan

rata-rata waktu arousal... 75 7 Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan

rata-rata waktu search... 76 8 Uji One-way ANOVA berdasarkan perbedaan umpan dan

rata-rata waktu finding... 78

9 Hasil uji statistik rancangan acak lengkap faktorial (anova two

factor with replication) ... 79 10 Foto alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 80 11 Konstruksi bubu dan pengoperasiannya ... 82 12 Komposisi jumlah dan berat hasil tangkapan bubu tambun ... 86 13 Foto ikan hasil tangkapan bubu ... 87 14 Hasil uji statistik non parametrik terhadap pengaruh umpan . 92 15 Data hasil tangkapan ... 94


(20)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan karang merupakan salah satu komoditi unggulan di sektor perikanan tangkap, dengan sumberdaya yang hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia. Ikan karang dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu ikan hias (ornamental fish) dan ikan konsumsi (food fish). Salah satu jenis ikan karang konsumsi adalah ikan kerapu yang termasuk kedalam genus Epinephelus antara lain kerapu lumpur (Epinephelus coroides), kerapu raksasa (Epinephelus lanceolatus) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kerapu macan ini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi di pasar internasional seperti pasar Singapura, Cina, Taiwan, Jepang dan Hongkong. Total ekspor ikan kerapu tahun 1998 mencapai 1.856 ton atau 0,285 persen dari total ekspor Indonesia yang mencapai 650.291 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Nilai ekonomis ikan ini sangat ditentukan oleh tingkat kesegaran ikan, dan dalam keadaan hidup harganya akan semakin tinggi.

Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) umumnya ditangkap dengan menggunakan bubu, pancing, tombak, bahan peledak, dan bahan kimia beracun seperti potasium sianida. Kedua cara penangkapan yang disebutkan terakhir merupakan cara yang efektif, namun menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya ikan yang ada di dalamnya. Selain itu hasil tangkapan memiliki mutu dan nilai jual yang rendah karena ikan dalam keadaan tidak sehat, bahkan sebagian tertangkap dalam keadaan mati.

Bubu merupakan salah satu jenis alat tangkap yang dioperasikan secara pasif sehingga dikategorikan sebagai alat tangkap yang pengoperasiannya sesuai dengan prinsip konservasi dan tanpa merusak kelestarian habitat ikan terutama pada daerah terumbu karang. Bubu termasuk kedalam jenis perangkap (trap) (Brandt, 1984) yang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan karang. Alat tangkap ini dapat mengurangi kerusakan hasil tangkapan karena bersifat mengurung ikan sehingga ikan tertangkap dalam keadaan hidup.


(21)

Menurut Subani dan Barus (1989), umpan merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan ikan, khususnya untuk alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing. Umpan digunakan dalam pengoperasian bubu berfungsi sebagai pemikat (attractor) dengan tujuan agar ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang dapat keluar dan tertarik untuk masuk ke dalam bubu. Umpan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait).

Efektivitas umpan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawi yang dimiliki agar dapat memberikan respons terhadap ikan-ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan. Jenis umpan yang biasanya digunakan oleh nelayan antara lain: ikan rucah, bulu babi, udang, terasi, ikan cucut dan ikan pari (Reiliza 1997; Mawardi 2001; Purbayanto et al. 2006). Penggantian umpan biasanya dilakukan setiap 2-3 kali

setting tergantung dari utuh atau tidaknya umpan. Selama proses perendaman umpan tidak diketahui seberapa besar proses kimiawi yang terjadi pada umpan tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan rangsangan kimia berupa bau yang ditimbulkan.

Menurut Mindiptiyanto dan Rahardjo (1988) diacu oleh Nurliani (1993), pada ikan karang organ yang berperan dalam mencari makan dan adaptasi terhadap lingkungan adalah organ penglihatan (visual organ) dan organ penciuman/pembau (olfactory organ). Nurliani (1993) menjelaskan bahwa indikator ikan bergerak masuk ke dalam alat tangkap karena terangsang oleh bau yang ditimbulkan oleh umpan. Organ penciuman berperan dalam mendeteksi keberadaan umpan. Penciuman lebih berperan pada saat obyek umpan berada pada batas toleransi penglihatan.

Penelitian lain terkait dengan organ penciuman yang telah dilakukan diantaranya adalah guanylyl cyclase sebagai visualisasi penyelenggara transgenik (Kusakabe dan Suzuki 2000), studi perbandingan sistem penciuman antara Pagrus major dan Acanthropagrus schegeli) yang berasal dari alam dan stok budidaya (Mana dan Kawamura 2002), neuronal oksida berisi nitrat synthase pada sistem penciuman ikan teleost Oreochromis mossambicus dewasa (Singru et al., 2003), dan peranan organ penciuman dan mata dalam perilaku “homing” pada ikan


(22)

3

terhadap umpan buatan (artificial bait) belum banyak dilakukan, sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih detail untuk mengetahui respons penciuman terhadap umpan buatan pada skala laboratorium maupun uji coba penangkapan di lapangan. Dalam penelitian ini dilakukan formulasi umpan buatan dalam berbagai komposisi bahan yang digunakan.

1.2 Perumusan Masalah

Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan memiliki fungsi sebagai pemikat (attractor). Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisi umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Hendrotomo 1983 dan Leksono 1989).

Penggunaan umpan dalam penangkapan ikan dengan bubu selama ini adalah jenis umpan alami. Umpan alami yang sering digunakan antara lain ikan rucah, bulu babi, udang, ikan cucut dan ikan pari (Reiliza 1997; Mawardi 2001; Purbayanto et al. 2006). Umpan buatan yang sudah dipakai oleh nelayan antara lain terasi dan pelet. Umpan buatan ini digunakan karena memiliki bau yang menyengat sehingga ikan diharapkan dapat tertarik dan masuk kedalam perangkap. Penggunaan umpan alami didasarkan pada pemahaman terhadap fungsi penglihatan dan fungsi penciuman ikan. Untuk fungsi penciuman yang paling berperan adalah bau yang ditimbulkan oleh umpan. Bau ini dikeluarkan oleh suatu umpan berdasarkan kandungan dari asam amino yang merupakan bagian dari rangkaian protein (Taibin 1984 diacudalam Syandri 1988).

Penggunaan umpan alami bila dilakukan secara terus menerus akan mengurangi bahkan dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang ada. Sebagai contoh penggunaan umpan bulu babi dan udang yang terus-menerus akan menurunkan jumlahnya di alam dan bahkan dapat berakibat pada kepunahan. Selain itu penggunaan umpan alami memiliki beberapa keterbatasan dalam penggunaannya antara lain: (1) keberadaan jenis umpan alami masih tergantung musim, (2) keefektifan umpan alami belum banyak diketahui, (3) penggunaan umpan alami masih berdasarkan pada kebiasaan atau pengalaman nelayan


(23)

setempat, dan (4) belum banyak diketahui komponen kimiawi umpan alami. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan membuat formulasi umpan buatan yang efektif untuk menangkap ikan karang dan dapat tersedia sepanjang musim.

Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

(1) Bagaimana respons tingkah laku ikan kerapu terhadap rangsangan kimiawi umpan buatan?

(2) Formulasi umpan buatan apa yang tepat sebagai pengganti umpan alami dalam penangkapan ikan dengan bubu?

(3) Bagaimana efektivitas umpan buatan hasil formulasi jika dibandingkan dengan umpan alami dalam penangkapan ikan menggunakan bubu?

(4) Apakah umpan buatan layak digunakan sebagai alternatif pengganti umpan alami dalam penangkapan ikan dengan bubu?

Diagram alir kerangka penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

(1) Membuat formulasi umpan buatan (artificial bait) yang efektif bagi penangkapan ikan kerapu.

(2) Mengetahui respons penciuman ikan kerapu macan terhadap umpan buatan (artificial bait).

(3) Menganalisis waktu perendaman (siang dan malam) umpan buatan (artificial bait) yang efektif sebagai pemikat (attractor) ikan kerapu.

(4) Mengukur efektivitas umpan buatan dalam penangkapan ikan kerapu dengan bubu.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

(1) Informasi tentang efektivititas umpan buatan dalam proses penangkapan ikan menggunakan bubu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengembangan perikanan bubu di Indonesia.


(24)

5

(2) Informasi tentang formulasi pembuatan umpan buatan yang dihasilkan dari penelitian ini.

(3) Sebagai bahan informasi dalam pembuatan kebijakan tentang penggunaan umpan buatan dalam penangkapan ikan dengan bubu yang ramah lingkungan.

(4) Sebagai bahan informasi dan acuan bagi penelitian lebih lanjut tentang respons tingkah laku penciuman ikan terhadap umpan alami dalam proses penangkapan ikan dengan bubu.

1.5 Hipotesis

(1) Masing-masing spesies ikan kerapu (Epinephelus sp) memiliki tingkah laku yang berbeda ketika merespons adanya umpan.

(2) Respons makan ikan kerapu (Epinephelus sp) disebabkan adanya rangsangan bau umpan.

(3) Terdapat perbedaan komposisi bahan kimia (proximat, asam amino, asam lemak dan amoniak) pada berbagai jenis umpan yang berbeda.

(4) Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan bubu pada siang hari sama dengan efektivitas penangkapan pada malam hari.


(25)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian Ikan Kerapu Macan

Respons Penciuman Penangkapan dengan

bubu

Umpan Alami (Jenis, Ukuran, Warna, dll)

Kandungan Kimia

Proksimat Asam Amino Asam Lemak

Formulasi Umpan Buatan Permasalahan:

1. Ketersediaan Umpan 2. Efektivitas Umpan 3. Kandungan Kimia 4. Kebiasaan Nelayan

Alternatif umpan buatan untuk penangkapan ikan kerapu

dengan bubu Efektif

Ya

Tidak

Faktor-faktor eksternal - Arus

- Kecerahan


(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan Kerapu Macan

Ikan kerapu yang termasuk kedalam famili Serranidae, sub famili Epinephelinae dan secara umum dikenal sebagai groupers, hinds dan sea basses

yang terdiri dari 15 genus yang mencakup 159 spesies (Heemstra dan Randal 1993). Klasifikasi kerapu macan menurut Heemstra dan Randal 1993 (Gambar 2): Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrate Kelas : Teleostei

Sub Kelas : Osteicanthopterygii (Actinopterygii) Ordo : Perciforma

Sub Ordo : Perciodea Famili : Serranidae

Genus : Epinephelus

Spesies : Epinephelus fuscoguttatus

Gambar 2 Ikan kerapu macan (Sumber: Heemstra dan Randal 1993)

Ikan kerapu memiliki bentuk badan yang memanjang pipih (compressed) atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geratan berderet dua baris, lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi-gigi yang terbesar. Sirip ekor umumnya membulat (rounded). Sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya,


(27)

jari-jari sirip yang berjumlah 6-8 buah, sedangkan sirip dubur (anal fin) berjumlah 3 buah. Jari-jari sirip ekor berjumlah 15-17 dan bercabang dengan jumlah 13-15. Warna dasar sawo matang. Perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik warna merah kecoklatan serta tampak pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga ke ekornya. Badannya ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki ciri-ciri loreng.

2.2 Tingkah Laku Makan Ikan Kerapu Macan

Heemstra dan Randal (1993) menyatakan ikan kerapu merupakan ikan predator pemangsa ikan-ikan lain, krustase, dan cephalopoda. Ikan ini bersembunyi diantara terumbu karang dan bebatuan untuk mendapatkan mangsa. Beberapa jenis kerapu seperti Paranthias spp dan Epinephelus undulus

merupakan pemakan plankton yang memiliki tapis insang yang panjang dan rapat. Sebagian besar jenis ikan predator (misalnya Serranidae) memiliki puncak aktivitas mencari makan pada waktu senja dan subuh hari (Gunarso 1985).

Ikan kerapu merupakan organisme yang bersifat nokturnal. Pada malam hari aktif bergerak di kolom perairan untuk mencari makan sedangkan pada siang hari lebih bersembunyi di liang-liang karang. Ikan kerapu memiliki kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari (Sudjiharno et al. 1989; Maryati 2004). Menurut Anonim (2004), kerapu termasuk ikan jenis ikan yang aktif diantara siang dan malam hari (crepuscular).

Kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Kerapu bersifat kanibalisme jika kekurangan makanan. Kanibalisme biasanya mulai terjadi pada larva umur 30 hari, pada saat itu ikan cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tertinggi (Maryati 2004)

Kerapu termasuk jenis karnivora, kerapu dewasa memakan ikan-ikan kecil, kepiting, udang-udangan, sedangkan pada saat larva memangsa larva moluska (trokofor), rotifer, mikro krustase, kopepoda dan zooplankton. Sebagai ikan karnivor, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air (Nybakken 1988).


(28)

9

2.3 Organ Penciuman Ikan (Olfactory Organ)

Dalam penerimaan rangsangan penciuman pada ikan seperti hewan lainnya yang berperan adalah olfactory bulb (Hoar dan Randall 1971). Secara umum olfaktori ikan serupa dengan organ nasal manusia, namun lubang/cuping hidung pada ikan jaring terbuka ke rongga mulut. Dasar bentuk hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros. Susunan bentuk dan tingkatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Fujaya 2004).

Organ penciuman ikan sangat berbeda dengan hewan lain, organ ini menggambarkan tingkat perkembangan dan habitat ekologis. Menurut Evans (1940) cyclostome pada ikan adalah monorhinal, yaitu mempunyai satu organ penciuman dengan satu lubang hidung. Pada spesies ikan teleostei antara organ pernapasan dan organ penciuman tidak berhubungan langsung. Selanjutnya Brown (1957) juga menyatakan bahwa kelompok ikan bertulang keras (teleost), kedua lubang olfaktori selalu berada di dorso-anterior bagian depan kepala ikan dan tidak berhubungan langsung dengan laju pernapasan. Selama ikan berenang, terutama pada saat air masuk ke mulut pada saat bernapas, air tersebut akan keluar melalui masing-masing lubang organ penciuman (olfactory sacs) (Brown 1957).

Secara umum olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia. Akan tetapi dari struktur bentuk dan sistematika fungsinya ada perbedaan antara manusia dan ikan. Lubang atau cuping hidung pada ikan jarang terbuka ke dalam rongga mulut. Dasar dari lubang hidung dibentuk oleh epitelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk ros (Hara 1993). Susunan bentuk dan lipatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies (Gambar 3).


(29)

Keterangan :

(a) Posisi cuping hidung teleostei, (b) epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan air masuk ke dalam hidung depan; (F) lamella

Gambar 3 Bentuk hidung ikan dan bagiannya (Sumber: Harder 1975

diacu dalam Fujaya 2004)

Pada sebagian besar hewan bertulang belakang, letak olfactory bulb

berdekatan dengan dinding rongga hidung dan bidang olfaktorinya pendek. Pada jenis ikan teleost (bertulang keras), letak olfactory bulb dipisahkan dari

telencephalon oleh bidang olfactoy yang panjang (Hoar dan Randall 1970) (Gambar 4)

Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman (Syandri 1988). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator dan spesies sendiri. Bau-bau tersebut melarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman (olfactory organ) ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut.

Organ penciuman sebagai alat bantu sensor untuk mengetahui banyaknya makanan yang tersedia di sekitar habitatnya (Wudianto et al. 1993). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Gunarso (1985) bahwa organ penciuman merupakan salah satu organ dari organ-organ penting lainnya pada tubuh ikan yang berhubungan untuk mempelajari tingkah laku alaminya (natural behaviour).


(30)

11

Gambar 4 Bagian otak dorsal (gambar atas), lateral (gambar tengah), longitudinal (gambar bawah). Keterangan : I: urat saraf penciuman; II: urat saraf penglihatan; Ac L: Acoustic Lobe dari medula oblongata; Cerb:

Cerebellum; Fac L: Facial Lobe dari medula oblongata; OB: Olfactory Bulb; OT: Optic Tectum; Sp C: Spinal Cord (urat saraf tulang belakang); Teg: Tegmentum; Tel: Telencephalon; Thal: Thalamus; Vag L Med: Vagal Lobe dari medula oblongata; VC: Valvula cerebelli

(Sumber: Hoar dan Randall 1970)

Reseptor pembau mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia, disebabkan oleh arus yang lemah yang melewati lamella, selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke sistem saraf pusat (Fujaya 2004). Brown (1957) menyatakan bahwa olfactory bulb dihubungkan oleh otak bagian depan (forebrain) oleh urat syaraf (tangkai olfaktori) yang berukuran panjang sekitar 2 cm (Gambar 5). Rangsangan kimiawi diteruskan ke otak oleh neuron reseptor penciuman melalui serangkaian molekuler yang teratur,

membraneous, dan neural events. Proses tersebut dimulai dengan adanya bau yang mengenai permukaan mukosa olfaktori (Hara 1993).


(31)

Gambar 5 Sistem penciuman (olfactory)pada ikan (Sumber: Schultz 2004) Ikan mendeteksi adanya reseptor pembau dalam bentuk stimuli kimia. Stimuli tersebut melalui lubang hidung (nostril) dan dirubah dalam bentuk signal

elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella

yang berbentuk rosette (bunga mawar). Sinyal yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon (Gambar 6).

Keterangan:

− Olfactory Bulb (OB), − Olfactory Tracts (OT), − Granule Cell Layer (GCL); − Glomerular Layer (GL); − Mitral Cell Layer (MCL); − Medial Olfactory Tract (MOT); − Median Raphe (MR);

− Olfactory Lamellae (OL); − Olfactory Nerve (ON); − Olfactory Nerve Layer (ONL); − Telencephalon (Tel).

Gambar 6 Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telencephalon (di lihat dari posisi dorsal) (Sumber: Mitamura et al. 2005)

Ikan mendeteksi stimuli kimia melalui sedikitnya dua saluran

chemoreception yang berbeda, yaitu: olfaction (bau) dan gustory (rasa). Pembedaan antara dua organ tersebut menurut perkiraan tidaklah selalu pada


(32)

13

semua hewan bertulang belakang, yang sebagian besar menggunakan organ

olfaction dan perasa. Olfaction digambarkan sebagai pendeteksian melalui hidung (air-borne molekul) yang berasal dari suatu jarak atau suatu pengertian jarak yang memungkinkan ikan untuk menempatkan dan menemukan makanan atau pasangan seksual atau untuk menghindari dari musuh pada suatu jarak yang lebih jauh (Hansen dan Reutter 2004).

Fungsi organ olfactory (penciuman) pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan organik maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, sosial, seksual dan perilaku yang berkenaan dengan maturity (Hara 1993).

Menurut Syandri (1988), Penciuman ikan sangat sensitif terhadap bahan-bahan organik maupun anorganik yang dapat dikenal melalui indera penciuman. Ikan dapat mengenal bau mangsanya, predator, dan spesies sendiri. Bau-bau melarut didalam air dan merangsang reseptor pada organ olfaktoris ikan, sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Percobaan secara fisiologis yang dilakukan oleh Syandri (1988) membuktikan bahwa:

(1) Apabila organ olfaktori pada ikan hiu dirusak, maka kemampuan ikan akan hilang untuk menangkap mangsanya.

(2) Apabila mata ikan ini dirusak sedangkan olfaktoris masih tetap baik, maka ikan hiu masih dapat menangkap dengan cepat mangsanya (mengenai lokasi mangsanya)

(3) Pada konsentrasi 0,0001 ppm ikan hiu sensitif terhadap bau.

(4) Pada manusia bau yang sangat sensitif bagi ikan hiu adalah darah dan bukan bau badan.

Percobaan lain yang dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara tingkah laku ikan dengan daya penciuman dihubungkan dengan migrasi tahunan maupun migrasi selama fase memijah. Percobaan yang dilakukan sebagai berikut:

(1) Apabila organ visual pada ikan salmon yang sedang memijah dirusak, maka ikan tersebut dapat kembali ke tempat lokasi semula walaupun telah mengalami migrasi berbulan-bulan atau bertahun-tahun.


(33)

(2) Apabila organ penciuman dirusak, ikan salmon yang akan memijah tidak dapat lagi ke tempat semula.

(3) Percobaan yang dilakukan di Washington University dengan menggunakan elektro encephalografi yaitu alat pencatat gelombang otak, ternyata ikan salmon mempunyai reaksi yang baik terhadap air yang berasal dari syarafnya.

Dari percobaan-percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa indera penciuman umumnya adalah yang paling sensitif bagi ikan. Indera penciuman inilah yang membantu ikan salmon menemukan kembali ke tempat asalnya.

2.4 Umpan

Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan berupa fisik maupun kimiawi yang dapat memberikan respons ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan (Hendrotomo 1989). Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan merupakan fungsi umpan sebagai pemikat (attractor). Penggunaan atraktor umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisi umpan dapat dibedakan ke dalam umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asalnya umpan dapat dibedakan ke dalam umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983).

Menurut Leksono (1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif terhadap jenis ikan sebagai umpan yaitu:

(1) Umpan harus dapat digunakan pada alat tangkap yang telah ada, (2) Umpan dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama

penangkapan,

(3) Umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik, (4) Lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah dalam penanganannya, dan (5) Biaya Pengadaan relatif murah.

Djatikusumo (1975) menyatakan bahwa umpan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut:

(1) Tahan lama (tidak cepat busuk),

(2) Mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan,


(34)

15

(4) Harga terjangkau,

(5) Mempunyai ukuran memadai, dan

(6) Disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

Kandungan kimia yang terkandung dalam umpan merupakan salah satu faktor penentu dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Perbedaan jenis umpan dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada bubu, hal tersebut disebabkan karena bau yang dikeluarkan oleh kandungan kimia dari umpan tersebut. Bau yang dikeluarkan oleh suatu umpan berdasarkan kandungan asam amino yang merupakan bagian dari rangkaian protein (Taibin 1984 diacu dalam Syandri 1988).

Reseptor penciuman (olfactory) pada ikan memiliki respons yang tinggi pada asam amino, tetapi asam amino relatif tidak efektif untuk respons pada indera perasa (gustatory). Kadar protein dan lemak yang tinggi akan menimbulkan bau yang menyengat dari umpan (Caprio 1982).

Kandungan alanin, glisin dan prolin pada asam amino yang merupakan komponen utama perangsang nafsu makan ikan semakin menurun (Fujaya 2004), sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan stimulator penciuman yang akan berakibat menurunnya respons makan pada ikan (Caprio 1982).

Pada jack mackerel (Trachurus japonica), red sea bream (Pagrus major), dan rainbow trout (Oncohynchus mykiss), campuran tirosin, phenilalanin, lisin, dan histidin serta triptophan dan valin, diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (Fujaya 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari kelompok nukleotide, inosine-5’-monophosphate (IMP), inosine, adenosine-5’-diphosphate (ADP), guaninosine-5’-monophosphate (GNP), dan uridine-5’-monophospate (UMP) juga diidentifkasi sebagai perangsang nafsu makan pada ikan.

2.5 Unit Penangkapan Bubu

Bubu merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam klasifikasi perangkap (traps), ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return devices) (Brandt 1984). Prinsip dasar dari semua jenis bubu


(35)

(pots) dan perangkap (traps) adalah menarik keinginan ikan untuk masuk ke dalam bubu dengan menyediakan pintu yang mudah dimasuki ikan dan sulit untuk keluar (Sainsbury 1996).

Bubu adalah alat penangkap ikan yang didesain untuk menangkap berbagai jenis ikan dan crustacea, dengan berbagai bentuk dan terbuat dari berbagai bahan. Bubu memiliki satu atau lebih bukaan mulut. Bubu biasanya dioperasikan di dasar perairan dengan sistem tunggal maupun rawai. Dalam pengoperasiannya bisa diberi umpan atau tidak. Bubu dilengkapi dengan tali pelampung untuk menghubungkan bubu dengan pelampung. Pelampung berfungsi untuk menunjukkan posisi pemasangan bubu (Nedelec dan Prado1990)

Secara umum bubu terdiri dari bagian-bagian rangka (frame) badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu masuk. Rangka biasanya terbuat dari bahan yang kuat seperti besi, besi behel, bambu atau kayu yang bentuknya disesuaikan dengan konstruksi bubu yang diinginkan. Rangka berfungsi untuk mempertahankan bentuk bubu selama pengoperasian di laut. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar, umumnya berbentuk seperti corong. Pintu bubu untuk mengambil hasil tangkapan dari dalam badan bubu (Subani dan Barus 1989).

Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan memiliki kelimpahan ikan target tangkapan yang tinggi (Martasuganda 2003). Lama perendaman bubu di perairan, ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai tiga hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai tujuh hari tujuh malam. Bubu dioperasikan di atas dasar perairan dengan umpan sebagai pemikat mangsa (Martasuganda 2003).

Prinsip pengoperasian bubu yaitu dipasang secara pasif menghadang dan merangkap ikan. Hal-hal yang membuat ikan tertarik pada bubu khususnya pada bubu yang tidak menggunakan umpan antara lain (Ferno dan Olsen 1994):

(1) Pergerakan acak ikan,

(2) Menganggap bubu sebagai tempat istirahat dan berlindung, (3) Tingkah laku sosial interspesies,


(36)

17

(4) Pemangsaan, dan

(5) Mencari pasangan (reproduksi).

Martasuganda (2003) menambahkan bahwa secara umum ikan masuk ke dalam bubu karena faktor-faktor berikut:

(1) Mencari makan,

(2) Mencari tempat berlindung, (3) Mencari tempat beristirahat, dan (4) Sifat thigmotaxis ikan.

Metode pengoperasian bubu ada dua cara yaitu sistem tunggal dan sistem rawai. Masing-masing cara disesuaikan dengan kedalaman pemasangan, jarak pemasangan, dan lokasi pemasangan. Adapun cara pemasangan bubu secara umum ada 4 tahap yaitu sebagai berikut (Sainsbury 1996):

(1) Pemasangan umpan

Pada perikanan bubu yang menggunakan umpan, sebelum bubu dipasang di perairan, umpan harus dipasang terlebih dahulu dalan bubu. Posisi umpan harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu menarik perhatian ikan baik dari bau maupun bentuknya. Biasanya umpan dipasang di tengah-tengah bubu, digantungkan dengan tali atau tempat umpan.

(2) Pemasangan bubu (setting)

Bubu yang telah siap, satu demi satu diturunkan baik dengan menggunakan tangan maupun mechanical line hauler. Sebagai penanda posisi pemasangan pada bubu dilengkapi dengan pelampung untuk memudahkan nelayan menemukan kembali bubunya.

(3) Perendaman bubu (soaking)

Lama perendaman bubu bervariasi tergantung dari jenis dan tingkah laku dari ikan yang ditangkap. Lama perendaman bubu berkisar beberapa jam sampai beberapa hari.

(4) Pengangkatan bubu (hauling)

Proses hauling pada bubu dapat dilakukan dengan tangan atau alat bantu (disesuaikan dengan ukuran bubu dan kedalaman pemasangan). Penggunaan alat bantu akan mempercepat dan mengefisienkan tenaga


(37)

selama proses hauling. Setelah bubu sampai di atas kapal, ikan dikeluarkan dan dilakukan penanganan.

Hasil tangkapan bubu merupakan ikan berkualitas tinggi dan dapat dipasarkan dalam keadaan hidup (Martasuganda 2003). Ikan yang banyak tertangkap oleh bubu adalah ikan kue (Caranx spp), beronang (Siganus spp), kerapu (Epinephelus spp), kakap (Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), ekor kuning (Caesio spp), ikan kaji (Diagramma spp) dan lencam (Lethrinus spp) (Subani dan Barus 1988).

2.6 Efektivitas Alat Tangkap Bubu

Efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil yang telah dicapai terhadap suatu tujuan. Efektivitas (Ef) sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen (Gibson et al. 1990). Efektivitas dapat pula diartikan perbandingan antara hasil dengan tujuan dalam persen, dimana apabila nilai efektivitasnya di atas 100% maka dapat dikatakan cukup efektif, sedangkan apabila nilai efektivitasnya di bawah 100% dapat dikatakan kurang efektif. Dengan kata lain bahwa efektivitas sama dengan hasil yang telah dicapai atau telah didapatkan dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan dinyatakan dalam persen.

Efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan. Nilai efektivitas alat tangkap bagan motor (lift net) dapat dikategorikan tiga, yaitu: apabila nilainya kurang dari 50% dapat dikatakan alat tangkap tersebut efektivitasnya rendah, nilai 50% - 80% dikatakan alat tangkap yang cukup efektivitasnya dan nilai 80% - 100% dikatakan alat tangkap yang efektivitasnya tinggi (Baskoro et al. 2006).

Menurut Fridman (1988) bahwa hasil tangkapan suatu alat tangkap dipengaruhi efektivitas alat dan efisiensi cara operasi. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa efektivitas alat tangkap secara umum tergantung pada faktor-faktor, antara lain: parameter alat tangkap itu sendiri (rancang bangun dan konstruksi), pola tingkah laku ikan, ketersediaan atau kelimpahan ikan dan kondisi oseanografi.


(38)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan dimulai dari bulan September 2007 hingga bulan Maret 2008. Penelitian pendahuluan dilakukan dari bulan September-Oktober 2007. Penelitian laboratorium untuk mengamati respons penciuman ikan kerapu dilakukan di Laboratorium Biologi dan Keanekaragaman Hayati Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB. Formulasi umpan dilakukan di Laboratorium Bio-Kimia Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK-IPB. Uji coba penangkapan dilakukan di 5 lokasi yaitu perairan Pulau Panggang, Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Karang Beras, dan Pulau Karang Sempit, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pengolahan data dilakukan di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK-IPB. Lokasi penelitian lapang disajikan pada Lampiran 1.

3.2Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji coba laboratorium (laboratory experiment) dan uji coba penangkapan (fishing experiment). Uji coba laboratorium dilakukan melalui observasi pada kondisi buatan (artificial condition) yang dibuat dan diatur sebagai kontrol melalui manipulasi fisik, seperti penggunaan cara dan alat ataupun kontrol dengan cara seleksi terhadap materi maupun terhadap obyek penelitian (Nazir 1988). Uji coba penangkapan (fishing experiment) dilakukan dengan mengoperasikan langsung unit penangkapan bubu pada beberapa lokasi penangkapan yang telah ditentukan. Diagram alir pelaksanaan penelitian disajikan pada Gambar 7.


(39)

Perikanan Bubu di Kep. Seribu

Identifikasi

Umpan alami Analisis kimia umpan alami

Proksimat: -As. Amino -As. Lemak -Amoniak

Eksperimen Laboratorium

Pemeliharaan ikan kerapu

Formulasi umpan buatan

(A, B, C, D, E, F, Kontrol) Analisis kimia umpan buatan

Proksimat: -As. Amino -As. Lemak -Amoniak Uji perlakuan umpan

terhadap ikan kerapu

Umpan buatan untuk uji lapangan

Eksperimen lapangan

Pemasangan bubu dengan umpan buatan hasil formulasi

Umpan buatan efektif

Analisis statistik

Penelitian Pendahuluan

Penelitian Laboratorium

Penelitian Lapangan

Waktu: September-Oktober 2007

Waktu: November 2007-Januari 2008

Waktu: Februari-Maret 2008 Analisis statistik


(40)

21

3.2.1 Alat dan bahan penelitian (1) Uji coba laboratorium

Pemeliharaan ikan dan aklimatisasi digunakan bak penampungan ikan yang terbuat dari fiber glass dengan ukuran (200 cm x 100 cm x 75 cm) yang dilengkapi dengan satu unit sistem aerasi dan sirkulasi air (Gambar 8). Pengamatan terhadap respons penciuman kerapu dilakukan pada bak percobaan dengan ukuran PxLxT (200 cm x 50 cm x 50 cm) (Gambar 9). Sistem aerasi dan sirkulasi ini dihubungkan ke akuarium, filter pipa dengan menggunakan pompa. Untuk menjaga agar suhu air dalam bak tetap dalam kondisi yang sesuai, dipasang pemanas (heater) sebanyak 7 buah. Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Gambar 8 Bak pemeliharaan ikan


(41)

Tabel 1 Peralatan laboratorium yang digunakan dalam penelitian

No Peralatan Kegunaan

1. 1 set alat sirkulasi air (aerator, jet pump, selang air)

Sirkulasi air

2. Skimmer Memisahkan bahan organik

(protein) yang berasal dari kotoran ikan dan sisa pakan 3. Heater (pemanas air) Mempertahankan kondisi suhu

air

4. Serok besar Memindahkan ikan

5. Saringan air (siphon) Mengambil sisa-sisa makanan dan kotoran ikan

6. Kertas pH Mengukur kadar pH air laut 7. Refraktometer Mengukur salinitas air 8. Sekat batas Menghalangi ikan dari alat-alat

sirkulasi

9. Sekat perlakuan Menghalangi ikan bergerak maju sebelum perlakuan dimulai

10. Kayu Tempat penggantungan umpan

buatan

11. Benang jahit Penggantungan umpan buatan 12. Kertas skala dari karton Skala pada akuarium perlakuan 13. Measuring board Pengukur panjang ikan

14. Termometer Pengukur suhu air

15. Timbangan digital Pengukur berat ikan dan umpan 16. Seperangkat alat perekam yang terdiri

dari:

1. Note book 2. TV Tunner

3. Handycam night shoot 4. Kaset DVD (60 menit)

Perekaman tingkah laku ikan

17. Kamera digital Dokumentasi

18. Stopwatch Pengukur waktu respons ikan

terhadap umpan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1) Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) hidup dalam keadaan sehat, sejumlah 6 ekor dengan panjang total (25-35 cm). Ikan yang digunakan berasal dari ikan hasil budidaya keramba jaring apung (KJA) di Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu. Alasan pemilihan ikan budidaya ini didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa ikan hasil tangkapan dari nelayan memiliki tingkat ketahanan hidup (survival rate) yang rendah,


(42)

23

sehingga ikan tidak dapat bertahan hidup lama. Berdasarkan hal tersebut maka digunakan ikan budidaya.

(2) Air laut sebagai media hidup ikan di laboratorium berasal dari Sea World Ancol Jakarta

(3) Umpan buatan (artificial bait) hasil formulasi

Komposisi umpan ini dibuat berdasarkan hasil uji kandungan yang terkandung dalam umpan alami yaitu ikan rucah (tembang), udang, dan gonad bulu babi. Kandungan kimiawi yang dipakai dalam pembuatan umpan buatan antara lain asam amino, asam lemak, dan amoniak. Bahan-bahan yang digunakan adalah: (1) Minyak ikan (fish oil) mewakili amoniak dan asam lemak

(2) Tepung ikan (fish meal) mewakili asam lemak dan amino (3) Tepung tapioka sebagai pelekat (emultan) dan stabilisator (4) Tepung terigu sebagai pelekat (emultan) dan stabilisator (5) Air sebagai bahan pencampur

Komposisi yang dipakai, disesuaikan dengan kebutuhan, dan dilakukan dalam beberapa komposisi bahan-bahan tersebut. Cara pembuatan umpan buatan adalah sebagai berikut:

(1) Bahan pembuat umpan dihitung sesuai bobot yang diperlukan (untuk pembuatan 100 gram umpan jumlah bahan yang dibutuhkan disesuaikan dengan formulasi yang diinginkan).

(2) Bahan-bahan yang memiliki bobot terkecil seperti tepung ikan dan tepung terigu dicampurkan terlebih dahulu dalam wadah hingga merata, kemudian pencampuran tepung tapioka sampai rata, dilanjutkan dengan minyak ikan. (3) Setelah merata, untuk menjadi pasta ditambahkan air tawar sesuai dengan

kebutuhan secara perlahan-lahan.

(4) Untuk bentuk kering, umpan yang telah jadi dikeringkan hingga kadar air sekitar 20 %.

(2) Uji coba lapangan

Bubu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubu tambun. Bubu ini dioperasikan pada kedalaman 0,5-1,5 m di perairan karang atau lebih tepatnya diantara karang, kemudian bagian atasnya ditimbun atau ditindih dengan batu maupun karang yang sudah mati. Pemasangan bubu dilakukan dengan sistem


(43)

tunggal dengan menggunakan umpan buatan (artificial bait) hasil formulasi dan umpan alami berupa ikan rucah, udang dan bulu babi (Diadema sp.) yang telah dihancurkan (digunakan gonadnya) dan dimasukkan ke dalam bubu.

Bubu tambun terbuat dari bambu, memiliki panjang total 70 cm, lebar 60 cm dan tinggi 20 cm. Ukuran mata anyaman bubu adalah 3 cm berbentuk segi enam. Bubu ini memiliki bentuk mulut yang bulat pada bagian luar dan mengecil terus ke bagian dalam dengan bentuk lonjong. Diameter mulut bubu bagian luar adalah 27 cm dan diameter mulut bubu bagian dalam adalah 20 cm. Desain bubu dengan bentuk mulut seperti ini sengaja dibuat dengan tujuan agar memudahkan ikan untuk masuk namun menyulitkan ikan untuk keluar sehingga ikan terperangkap dalam buba (Lampiran 11).

Bubu yang dipasang pada penelitian ini berjumlah 14 unit. Pemasangan bubu dibutuhkan waktu 1,5-2 jam dalam satu kali trip. Pengangkatan bubu dilakukan selama 45 menit. Total waktu yang diperlukan dalam operasi penangkapan bubu tambun selama 3-4 jam. Waktu perendaman dilakukan selama 8-10 jam yaitu setting pagi hari kemudian pada sore hari dilakukan hauling, sebaliknya setting sore hari paginya dilakukan hauling.

Alat bantu yang digunakan dalam pengoperasian bubu tambun antara lain: (1) pengait yang berfungsi untuk mengambil bubu dari dasar perairan karena bubu tambun tidak dilengkapi dengan tali pengikat maupun pelampung tanda, (2) bak penampung hasil tangkapan. Bak penampung ini terdiri dari dua jenis yaitu untuk ikan mati dan ikan hidup, (3) sepatu digunakan untuk menjaga keselamatan dalam pengoperasian bubu saat pemasangan dan penangkutan bubu nelayan biasanya berjalan di batu karang. Resiko terluka saat menginjak karang atau bahkan ikan beracun seperti ikan lepu (Scorpionidae) dapat diminimalisasi dan (4) kacamata selam digunakan pada saat perairan cukup dalam (laut pasang) sehingga pemasangan bubu lebih mudah dilakukan.

Perahu yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 5 GT menggunakan mesin inboard. Dimensi perahu dengan panjang total (LOA) 8 m, lebar 2 m, tinggi (depth) 1 m sedangkan tinggi dek (draft) 0,5 m. Mesin yang digunakan adalah mesin diesel dengan kekuatan 18 PK. Peralatan penelitian lapangan lainnya yang digunakan disajikan pada Tabel 2.


(44)

25

Tabel 2 Peralatan penelitian lapangan lainnya yang digunakan dalam penelitian

No Peralatan Kegunaan

1. GPS Menentukan posisi koordinat pemasangan bubu

2. Timbangan Pengukur berat hasil tangkapan

3. Flow meter Pengukur kecepatan arus

4. Measuring board Pengukur panjang ikan 5. Kamera digital Dokumentasi

6. Data sheet Pencatatan data hasil tangkapan

3.2.2 Pengumpulan data

Data primer yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) data tingkah laku ikan mendekati umpan, (2) waktu yang dibutuhkan untuk mencapai umpan, komposisi bahan umpan buatan, (3) komposisi hasil tangkapan, dan (4) panjang serta berat hasil tangkapan. Untuk menunjang data primer yang diperoleh pada saat penelitian, dilakukan juga studi literatur terhadap penelitian-penelitian terdahulu. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kandungan proksimat (air, protein, lemak) dari formulasi umpan buatan.

(1) Uji coba laboratorium (laboratory experiment)

Tahapan yang dilakukan dalam uji coba laboratorium meliputi: (1) Persiapan dan pemeliharaan ikan kerapu

Penelitian ini dimulai dari persiapan bak penelitian. Bak penelitian yang digunakan sedemikian rupa sehingga kondisinya mendekati kondisi di alam dan terkontrol. Bak yang sudah bersih kemudian diisi dengan air laut, selanjutnya dipasang jet pump untuk menciptakan arus dalam air sehingga terjadi suplai oksigen. Salinitas dan suhu air laut dalam bak setiap hari dikontrol agar tetap optimal pada kisaran 30-31 ppm dan 28-30 oC. Bak pemeliharaan ikan disirkulasi selama dua minggu sebelum ikan kerapu dimasukkan ke dalam bak. Suhu air optimum untuk pertumbuhan kerapu berkisar 22-28oC, jika suhu turun dibawah 15oC akan menyebabkan metabolisme tubuh ikan menurun, sehingga ikan tidak mau makan dan aktivitasnya akan berkurang. Jika suhu terlalu tinggi (panas) akan menyebabkan metabolisme respirasi berlangsung cepat dan proses metabolisme


(45)

terhenti. Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah 28-32oC. Pengukuran suhu dan salinitas dilakukan dari awal hingga akhir pengamatan.

Persiapan lain yang harus disiapkan adalah persiapan ruang gelap yang menutupi bak percobaan. Pembuatan ruang gelap dilakukan dengan menggunakan plastik mulsa berwarna hitam. Ruangan dibuat dengan ukuran P x L x T (200 cm x 250 cm x 200 cm). Perekaman dilakukan secara manual dengan menggunakan handycam night shoot.

Ikan yang digunakan diambil dari bak pemeliharaan. Ikan yang diambil untuk percobaan merupakan ikan yang dalam kondisi sehat dan terhindar dari stres. Ikan tersebut sudah diaklimatisasi selama tiga bulan (Juni-Agustus 2007) di bak penampungan. Selama aklimatisasi, ikan diberi makan dua kali sehari yaitu pagi antara pukul 08.00 hingga 09.00 WIB dan sore antara pukul 16.00 hingga 17.00 WIB. Makanan yang diberikan berupa potongan daging ikan layang/tembang/selar dan udang dengan ukuran disesuaikan dengan bukaan mulut ikan. Sisa-sisa makanan dan kotoran ikan diambil dengan menggunakan saringan (siphon). Penyiphonan bak dilakukan dua kali dalam seminggu atau bila terlalu banyak kotoran pada bak pemeliharaan. Penggantian air laut dilakukan dua minggu sekali sebanyak 25%.

(2) Starvasi ikan uji

Sebelum dilakukan percobaan ikan terlebih dahulu dipuasakan (starvasi) selama 2 x 24 jam. Starvasi bertujuan untuk mengkondisikan ikan dalam keadaan lapar, sehingga ikan benar-benar memberikan respons terhadap umpan. Ikan dimasukkan ke dalam bak percobaan untuk dilakukan penyesuaian di dalam bak percobaan untuk orientasi terhadap lingkungan dengan cara membiarkan ikan berenang bebas selama 5 menit. Setelah terbiasa dengan kondisi bak percobaan, ikan diletakkan pada salah salah satu sisi bak sebagai tanda awal (starting point) untuk mulai yang diberi sekat. Sekat ini berfungsi sebagai jarak awal antara ikan dan umpan. Selama pengujian ikan diberi makan selama dua hari dan kemudian dipuasakan sehari semalam untuk kemudian diberi perlakuan selanjutnya.

(3) Proses pengamatan dan pengambilan data

Pengamatan dilakukan setelah proses aklimatisasi. Percobaan dilakukan pada dua kondisi yaitu percobaan pada kondisi tanpa cahaya (dark condition)


(46)

27

menggunakan ruangan gelap (dark room). Hal ini dimaksudkan agar pada saat perlakuan, ikan hanya menggunakan organ penciumannya dalam merespons umpan. Ikan uji dipindahkan dari bak pemeliharaan kemudian dibiarkan berorientasi selama 5 menit. Setelah itu ikan uji digiring ke ujung akuarium (start area) dan sekat perlakuan dipasang. Umpan dipasang pada jarak 50 cm dari sekat dan 20 cm dari akuarium (Gambar 10). Selama perlakuan air stone dipasang pada jarak 100 cm dari sekat perlakuan, sehingga dapat membantu penyebaran bau dari umpan. Perlakuan pada malam hari, diamati dengan menggunakan handy cam night shoot. Percobaan kedua dilakukan pada ruang terang (siang hari) sebagai kontrol.

Arousal area

Finding area Searching area


(47)

Komposisi umpan buatan dibuat dalam 5 komposisi berdasarkan jumlah kandungan bahan penyusun utama yaitu minyak ikan dan tepung ikan. Formulasi umpan buatan (artificial bait) terdiri atas komposisi bahan sebagai berikut:

Tabel 3 Komposisi bahan umpan buatan (artificial bait) Jenis umpan No. Komposisi bahan

(gram) A B C D K

1. Minyak ikan 5 15 25 35 0

2. Tepung ikan 19 17 15 13 0

3. Tepung terigu 19 17 15 13 40

4. Tepung tapioka 57 51 45 39 60 Total Berat (gram) 100 100 100 100 100

Pengamatan dilakukan dengan melihat dan merekam aktivitas dan tingkah laku dalam mendekati umpan. Setiap perlakuan menggunakan satu ekor kerapu dengan 5 jenis umpan yang berbeda. Setiap setting dianggap sebagai satu ulangan dan tiap perlakuan dilakukan selama 1 jam. Setiap pergantian ulangan dilakukan pergantian air dalam bak agar kondisi air sama dengan kondisi awal penelitian. Data yang dikumpulkan dalam perlakuan adalah waktu ikan mendekati umpan yang terbagi ke dalam 3 fase yaitu:

(1) Arousal (menerima rangsangan), fase dimana ikan mulai beraksi karena adanya rangsangan bau,

(2) Searching (mencari), fase dimana ikan mulai mencari makanan (umpan) hanya menggunakan organ penciumannya, dan

(3) Finding (menemukan), ikan telah menemukan umpan dan melakukan uptake (mengambil/memakan umpan)

Perlakuan menggunakan formulasi umpan buatan. Waktu respons ikan dihitung setelah umpan dipasang dan sekat penutup dibuka, sampai ikan menemukan keberadaan umpan (finding) dengan batas waktu 1 jam.

Asumsi yang digunakan dalam eksperimen laboratorium ini antara lain: (1) Kondisi air dalam bak mendekati kondisi ideal,


(48)

29

Setelah perlakuan selesai, ikan dipindahkan ke bak pemeliharaan kemudian langsung diberi makan. Sebelum melakukan perlakuan selanjutnya, ikan diaklimatisasi selama dua hari, kemudian dipuasakan selama dua hari. Bila kondisi ikan menurun, aklimatisasi dilakukan lebih lama sebelum dipuasakan kembali. Parameter yang digunakan untuk melihat kondisi ikan dalam keadaan baik atau menurun adalah dengan melihat pola makannya. Jika selera makan ikan menurun atau tidak mau makan sama sekali, berarti kondisi kesehatan ikan menurun.

(2) Uji coba penangkapan (fishing experiment)

Uji coba penengkapan di lapangan dilakukan untuk menghitung efektivitas umpan buatan yang telah di uji di laboratorium. Pengoperasian bubu dilakukan di beberapa lokasi penangkapan antara lain: Pulau Panggang, Pulau Air, Pulau Semak Daun, Pulau Sempit, dan Pulau Karang Beras. Kondisi lingkungan perairan di sekitar lokasi pemasangan bubu memiliki karaktersitik yang sama, dengan kedalaman perairan berkisar 0,5-5 m, kecepatan arus 0,3 m/s, suhu 28-29

o

C, pH 8, dan salinintas 30 o/oo. Lokasi pemasangan bubu disajikan pada Lampiran

1.

Pengoperasian bubu dilakukan dengan sistem tunggal, bubu yang digunakan sebanyak 14 unit. Jarak pemasangan antar bubu dengan bubu lainnya adalah antara 1,5 m sampai 4 m (Hartsjuijker dan Nicholson 1981; Parrish 1982; Luckhurst dan Ward 1985 diacu dalam Ferno dan Olsen 1994). Pemasangan bubu dilakukan sebanyak 20 kali ulangan dengan rincian sebagai berikut:

1. Trip ke- 1, melakukan setting pada lokasi penempatan bubu.

2. Trip ke-2, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi. 3. Trip ke-3, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi 4. Trip ke-4, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi 5. Trip ke-5, melakukan hauling dan setting kembali pada masing-masing lokasi 6. Trip ke-6 dan seterusnya sampai


(49)

Adapun tahapan pengoperasian bubu terdiri dari persiapan, perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, pemasangan bubu, perendaman dan pengangkatan bubu.

Bubu tambun dioperasikan pada kedalaman 0,5 – 1,5 m di perairan karang atau lebih tepatnya diantara karang-karang atau bebatuan. Bubu tambun diletakkan diantara karang kemudian bagian atasnya ditimbun atau ditindih dengan karang yang sudah mati. Pemasangan bubu tambun dilakukan dengan sistem tunggal. Bubu tambun menggunakan umpan rucah, udang, bulu babi, dan artificial bait (umpan buatan B dan umpan buatan D). Pemilihan umpan buatan B dan D pada uji coba di lapangan didasarkan pada hasil penelitian laboratorium, dimana umpan tersebut memiliki respons tercepat untuk ikan kerapu macan mendekati umpan. Pemasangan bubu tambun membutuhkan waktu 1,5 jam dalam satu kali trip. Bubu yang dipasang berjumlah 14 unit, masing-masing 2-3 unit untuk dipasang jenis umpan yang berbeda. Pengangkatan bubu dilakukan selama 45 menit. Hauling dilakukan pada waktu pagi dan sore hari, total waktu yang dibutuhkan dalam operasi penangkapan bubu tambun selama 3-4 jam.

Ikan hasil tangkapan yang diperoleh untuk setiap pengangkatan dipisahkan berdasarkan jenis umpan yang digunakan dan kemudian setiap jenis ikan dihitung jumlah dan beratnya.

3.3Analisis Data

3.3.1 Respons penciuman ikan terhadap umpan

Analisis respons tingkah laku ikan mendekati umpan dilakukan secara deskriptif dengan menganalisis hasil rekaman tingkah laku ikan bagian-per bagian rekaman yang diputar (frame by frame). Respons yang dianalisis adalah pola tingkah laku makan ikan terhadap umpan, yaitu reaksi renang ikan mendekati umpan (umpan alami maupun buatan).

3.3.2 Respons penciuman ikan terhadap umpan buatan

Data mengenai waktu respons arousal, searching, dan finding terhadap umpan merupakan nilai rataan yang ditampilkan dalam bentuk grafik secara sederhana sesuai dengan jenis umpan. Data tersebut selanjutnya dibandingkan


(50)

31

untuk mengetahui besarnya pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons penciuman ikan kerapu macan dengan analisis ragam satu arah (ANOVA). Asumsi dasar yang penting untuk uji ANOVA ini adalah kondisi unit percobaan yang digunakan homogen dan sebaran data normal. Oleh karena itu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk dengan program SPSS (Lampiran 3-5).

Perancangan percobaan yang digunakan adalah analisis ragam klasifikasi satu arah sebagaimana dijelaskan dalam persamaan berikut :

ij i Yij=μ +λ +Σ dimana :

Yij : nilai pengamatan dari suatu percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j;

μ : nilai tengah umum;

λ : pengaruh perlakuan ke-i; dan

∑ : sisa dari perlakuan ke-i ulangan ke-j Hipotesis, cara pengambilan keputusan

Ho: τ1 = τ2 (tidak ada pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons)

H1 : τ1 ≠τ2 (terdapat pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons).

Bila F hitung > F tabel maka tolak Ho, artinya terdapat perbedaan jenis umpan secara signifikan terhadap waktu respons ikan. Bila F hitung < F tabel maka terima Ho, artinya perbedaan jenis umpan tidak signifikan terhadap waktu respons ikan.

Rumus hitung yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah sebagai berikut:

FK =

(

)

2

rt Yij

JKP = FK

r Yi

2

JKT =

Yij2−FK


(51)

Tabel 4 Analisis ragam untuk pengaruh perbedaan umpan buatan Sumber

keragaman db

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung

Perlakuan t – 1 JKP JKP/dbs KTP/KTS

Sisa t (r – 1) JKS JKS/dbs

Total rt – 1 JKT

3.4.3 Pengaruh perbedaan umpan

Ikan hasil tangkapan bubu dikelompokkan ke dalam selang kelas panjang. Jumlah selang kelas panjang dan interval kelas dihitung dengan menggunakan rumus distribusi frekuensi menurut Walpole (1995), yaitu :

K = 1 + 3,3 log n

K R i = dimana:

K : jumlah kelas; n : banyaknya data; i : interval kelas; dan

R : nilai terbesar – nilai terkecil.

Sebelum menganalisis data yang didapat, terlebih dahulu dilakukan uji homogenitas dan uji kenormalan data untuk melihat apakah data menyebar normal atau tidak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov pada software SPSS. Apabila data menyebar normal maka analisis dapat dilakukan, tetapi apabila data tidak normal maka pengujian dilakukan dengan menggunakan analisis statistik non parametrik dengan uji nilai tengah (Median). Dari data yang dianalisis didapatkan bahwa data tidak menyebar normal dan homogen, sehingga digunakan analisis non parametrik dengan uji nilai tengah (Median) (Lampiran 14) dengan hipotesis pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

Ho: tidak ada perbedaan antara jenis umpan H1: ada perbedaan antara jenis umpan Jika asymp sig > α (0,05), maka Ho diterima


(52)

33

Jika asymp sig < α (0,05), maka Ho ditolak

3.4.3 Efektivitas penangkapan ikan kerapu dengan umpan buatan

Pengukuran efektivitas penggunaan umpan pada penangkapan ikan kerapu dengan bubu dilakukan dengan menghitung perbandingan bubu dengan umpan tertentu yang menangkap ikan kerapu dengan jumlah total bubu yang digunakan. Metode yang ditujukkan untuk mengukur efektivitas penggunaan umpan pada bubu untuk menangkap ikan kerapu (Ef), yaitu banyaknya bubu yang menangkap ikan kerapu dengan menggunakan umpan (Ku) dibandingkan dengan total bubu yang digunakan (TB) dinyatakan dalam persen. Perhitungan efektivitas tangkapan kerapu dengan bubu berumpan disajikan dalam Tabel 6.

TB Ku

Ef = x 100%

Tabel 6 Perhitungan efektivitas tangkapan kerapu dengan bubu berumpan

Umpan-1 Umpan-2 Umpan-3 Efektivitas Total Bubu Umpan

ΣBubu TBB1 TB2 TB2 ΣTBi

ΣBubu isi

kerapu Ku1 Ku2 Ku3 ΣKui

Setting ke-1 Ku1-1/TB1 Ku2-1/TB2 Ku3-1/TB3 ΣKui-1 /ΣTBi-1 Setting ke-2 Ku1-2/TB1 Ku2-2/BB2 Ku3-2/TB3 ΣKui-2 /ΣTBi-2

Setting ke-3 - - - -

Setting ke-4 - - - -

Setting ke-n Ku1-n/TB1 Ku2-n/TB2 Ku3-n/TB3 ΣKui-n/ΣTBi-n Total Setting Σ(Ku1-n/TB1) Σ (Ku2-n/TB2) Σ (Ku3-n/TB3) Σ (ΣKui-n/ΣTBi-n) Efektivitas

Rata-rata

Σ(Ku1-n/TB1)x 100 n

Σ (Ku2-n/TB2) x 100 n

Σ (Ku3-n/TB3) x 100 n

Σ (ΣKuin/ΣTBin) x 100 n


(53)

4.1 Hasil Eksperimen Laboratorium

4.1.1 Formulasi umpan buatan

Formulasi umpan buatan yang dibuat merupakan hasil dari analisis kimia terhadap umpan alami yang biasa digunakan oleh nelayan, seperti ikan rucah, udang dan gonad bulu babi. Kandungan kimia yang dominan terlebih dahulu ditentukan, kemudian dicari bahan yang memiliki kandungan serupa. Bahan-bahan tersebut adalah minyak ikan, tepung ikan, tepung terigu dan tepung tapioka sebagai bahan pengemulsi. Komposisi kimia yang terkandung dalam umpan alami disajikan pada Gambar 11.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

Lemak Protein Air

N

ila

i (

m

g

/g

)

Ikan Udang B.Babi

Gambar 11 Kandungan proksimat umpan alami

Berdasarkan Gambar 11 terlihat bahwa kandungan kimia utama yang berpengaruh terhadap respons penciuman ikan adalah protein, lemak dan asam amino. Komposisi protein yang tertinggi terdapat pada ikan (171,4 mg/g), diikuti oleh udang (138,2 mg/g) dan gonad bulu babi (83,2 mg/g). Komposisi lemak tertinggi terdapat pada gonad bulu babi (67,6 mg/g), diikuti ikan (15,6 mg/g) dan udang (8,4 mg/g).

Kandungan asam lemak terbesar pada umpan alami antara lain dari jenis miristat, palmitat dan oleat. Kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi yaitu sebesar (510,50 mg/g), diikuti ikan (93,30 mg/g) dan udang (66,39 mg/g). Kandungan palmitat tertinggi pada umpan udang (454,58 mg/g),


(1)

6 RUCAH 1 NORI MERAH 150 60

RUCAH 2 KEPE-KEPE 100 20

KEPE-KEPE 100 20

KEPE-KEPE 100 20

KUPAS-KUPAS 90 100

RUCAH 3 BETOK HITAM 150 80

KERAPU HITAM 270 325

RUCAH 4 KERAPU KOKO 240 220

KERAPU KOKO 220 160

KAKATUA HIJAU 190 80

KAKATUA HIJAU 240 220

KAKATUA HIJAU 240 220

KAKATUA HIJAU 240 220

KAKATUA HIJAU 240 220

KAKATUA HIJAU 240 220

KAKATUA HIJAU 240 220

KAKATUA PUTIH 170 80

MARMUT 110 50

MARMUT 110 80

KERAPU MERAH 180 80

SERSAN MAYOR

RUCAH 5 KAKATUA 140 40

UDANG 1 KERAPU LODI/SUNU 180 110

KERAPU KOKO 200 120

NORI 200 100

BETOK PUTIH 130 30

BETOK PUTIH 130 30

BETOK PUTIH 130 30

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

NORI 140 40

KUPAS-KUPAS 110 20

KUPAS-KUPAS 90 15

B. BABI 1 SERSAN MAYOR 130 50

SERSAN MAYOR 130 50

SERSAN MAYOR 130 50

SERSAN MAYOR 130 50

SERSAN MAYOR 130 50

SERSAN MAYOR 130 50

KERAPU KOKO 200 100

NORI 160 70

NORI 160 70

NORI 160 70

NORI 160 70

NORI 160 70

TIKUSAN 170 90

BETOK PUTIH 140 40

BETOK PUTIH 140 40

SERSAN MAYOR 100 15

MARMUT 120 40

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

B.BABI 2 KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80


(2)

KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80

KAKATUA 160 80

NORI 150 75

NORI 150 75

NORI 150 75

NORI 190 110

NORI 190 110

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 110 25

SERSAN MAYOR 110 25

SERSAN MAYOR 110 25

SERSAN MAYOR 110 25

KEA-KEA 150 50

KEA-KEA 150 50

KEA-KEA 150 50

A 1 SERSAN MAYOR 120 25

SERSAN MAYOR 120 25

BETOK 150 40

MARMUT 100 20

A 2 SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

KAKATUA 150 50

KAKATUA 150 50

KAKATUA 150 50

KERAPU KARET 190 100

KERAPU KOKO 250 225

SERSAN MAYOR 130 40

SERSAN MAYOR 130 40

SERAK 170 100

B 1 KERAPU KOKO 210 110

B 2 KERAPU KOKO 230 160

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

KAKATUA HIJAU 150 60

KAKATUA HIJAU 150 60

KAKATUA 170 75

KAKATUA 170 75

KAKATUA PUTIH 150 60

KAKATUA PUTIH 150 60

KAKATUA PUTIH 150 60

KAKATUA PUTIH 150 60

KAKATUA PUTIH 150 60

SERSAN MAYOR 90 10


(3)

Tanggal

24 Maret 2008

Trip ke

Pagi

Intensitas cahaya

88826

Posisi/lokasi

S 05 44.191'; E

106 35.781'

Ulangan ke

1

Suhu

29

Waktu

setting

15:30 Waktu

hauling

15:30

Kecepatan arus

0.3

Karang

Sempit

Ph

8

Salinitas

30

permil

7 RUCAH 1 KERAPU KOKO 190 75

KEPE-KEPE 90 10

KEPE-KEPE 90 10

KEPE-KEPE 90 10

KUPAS-KUPAS 90 10

KUPAS-KUPAS 90 10

UDANG 1 KERAPU HITAM 270 275

BESENG 160 60

UDANG 2 KERAPU HITAM 210 125

SWANGGI 150 90

MARMUT 110 40

KEPE-KEPE 70 10

KERAPU HITAM 270 225

UDANG 3 SWANGGI 150 50

KERAPU KARET 210 130

KAKATUA 220 160

BETOK 120 40

KUPAS-KUPAS 110 30

KUPAS-KUPAS 110 30

KUPAS-KUPAS 110 30

B. BABI 1 NORI MERAH 200 110

PASIR 140 31

B. BABI 2 NORI MERAH 200 125

NORI MERAH 200 125

NORI MERAH 240 200

NORI MERAH 240 200

NORI MERAH 160 60

NORI MERAH 160 60

NORI MERAH 160 60

NORI MONYONG 190 110

KERAPU KARET 210 100

MARMUT 100 30

BETOK HITAM 170 110

B. BABI 3 KERAPU KARET 200 100

KERAPU KARET 180 75

NORI MONYONG 160 60

NORI 150 50

NORI 150 50

NORI 170 80

NORI 170 80

BESENG 150 60

SERSAN MAYOR 130 40

MARMUT 100 25

A 1 KERAPU KARET 180 75

SERSAN MAYOR 140 40


(4)

BETOK HITAM 160 90

BETOK HITAM 160 90

BETOK HITAM 160 90

BETOK HITAM 130 40

MARMUT 120 40

MARMUT 10 25

MARMUT 10 25

A 3 BETOK 170 100

BETOK 170 100

BETOK 170 100

BETOK 170 100

BETOK 170 100

B 1 KERAPU KARET 200 110

NORI MERAH 160 75

B 2 KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

SERSAN MAYOR 140 50

NORI MONYONG 170 80

KEA-KEA 130 40

MARMUT 10 40

B 3 NORI 220 140

NORI 180 100

NORI 150 50

NORI 150 50

SERSAN MAYOR 100 25

SERSAN MAYOR 100 25

KERAPU KARET

HITAM 200 100

BETOK HITAM 170 90

Tanggal

23 Maret 2008

Trip ke

Pagi

Intensitas cahaya

78876

Posisi/lokasi

S 05 43.967'; E

106 34.259

Ulangan ke

1

Suhu

29

Waktu

setting

15:30 Waktu

hauling

15:30

Kecepatan arus

0.3

Semak

Daun

Ph

8

Salinitas

30

permil

8 RUCAH 1 EKOR KUNING 240 180

RUCAH 2 KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75


(5)

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 160 75

KAKATUA 180 90

JARANG GIGI 160 90

PELO 210 60

KEA-KEA 170 75

KAKATUA MERAH 200 150

LINKIS/BERONANG

SUSU 150 40

KUPAS-KUPAS 130 50

UDANG 1 SWANGGI 120 25

KERAPU HITAM 210 160

UDANG 2 KAKATUA PUTIH 160 60

KAKATUA PUTIH 160 60

KAKATUA PUTIH 160 60

KAKATUA PUTIH 160 60

KAKATUA PUTIH 160 60

KAKATUA HIJAU 160 75

KAKATUA HIJAU 160 75

KEA-KEA 150 50

LINKIS 140 50

LINKIS 140 50

BETOK PUTIH 140 30

JARANG GIGI 140 40

SERAK 190 90

B. BABI 1 JANGGUT 120 25

PELO SABUN 140 25

PELO 140 40

PELO 130 25

NORI 120 25

NORI 120 25

KAKATUA PUTIH 140 50

KAKATUA PUTIH 140 50

KAKATUA PUTIH 110 25

KAKATUA PUTIH 110 25

PASIR 130 50

KERAPU KARET

HITAM 150 50

BETOK 80 10

B. BABI 2 SWANGGI 150 60

KEPE-KEPE 70 10

MARMUT 110 25

BETOK 120 25

KERAPU KOKO 210 140

B.BABI 3 KOSONG

B.BABI 4 KOSONG

A 1 BESENG 150 60

BETOK 170 60

A 2 KERAPU KOKO 210 140

A 3 BETOK 140 75

KEPE-KEPE 80 10

B 1 KERAPU HITAM 210 160

BESENG 140 40

BETOK 110 25

B 2 BETOK 140 75

SERSAN MAYOR 120 25

B 3 BESENG 140 40


(6)

SERSAN MAYOR 70 10

SERSAN MAYOR 70 10

KEPE-KEPE 70 10

KEPE-KEPE 70 10

KEPE-KEPE 70 10

KEPE-KEPE 70 10