Tuberkulosis Etambutol Hidroklorida Ditjen POM, 1995

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis, singkatnya TBC, adalah suatu penyakit menular yang paling sering sekitar 80 terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil Gram- positif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yakni Mycobacterium tuberculosis dr. Robert Koch, 1882. Gejala TBC antara lain batuk kronik, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernapasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir mucoid, purulent, atau mengandung darah. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam gelembung paru alveoli berlangsung reaksi peradangan setempat dengan timbulnya benjolan benjolan kecil tuberkel Tjay dan Rahardja, 2002. Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi. Menurut Zubaidi 2001, faktor yang mempersulit pengobatan ialah : 1. Kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria. 2. Kurangnya daya bakterisid obat yang ada. 3. Timbulnya resistensi kuman terhadap obat. 4. Masalah efek samping obat. Universitas Sumatera Utara

2.2 Etambutol Hidroklorida Ditjen POM, 1995

CH 2 OH H CH 3 CH 2 C NHCH 2 CH 2 NH C CH 2 CH 3 .2HCl H CH 2 OH Gambar 1. Struktur rumus bangun etambutol +-2,2’-Etilenadiimino- di-1- butanol dihidroklorida [1070-11-7] Rumus Molekul : C 10 H 24 N 2 O 2 .2HCl BM : 277,23 Pemerian : Serbuk hablur, putih Kelarutan : Mudah larut dalam air, larut dalam etanol, sukar larut dalam eter dan dalam kloroform Derivat etilendiamin ini berkhasiat spesifik terhadap M. Tuberculosa, tetapi tidak terhadap bakteri lain. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel Tjay dan Rahardja, 2002. Etambutol diabsorbsi dengan baik dari usus. Setelah menelan obat ini 25 mgkg, kadar puncak obat dalam darah berkisar 2-5 µgml yang dicapai dalam waktu 2-4 jam. Lebih kurang 20 dari obat ini diekskresikan dalam tinja dan 50 di urin dalam bentuk utuh. Ekskresi obat ini diperlambat pada penyakit gagal ginjal. Pada meningitis, etambutol dalam cairan serebrospinalis lebih dari 10-40 dari kadarnya di serum Jawetz, 1998. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit Universitas Sumatera Utara dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma Zubaidi, 2001. Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Dosis harian sebesar 15 mgkgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2 penderita akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Efek samping lain ialah pruritis, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening, bingung, dan mungkin juga halusinasi. Rasa kaku dan kesemutan di jari sering terjadi Zubaidi, 2001. Efek sampingnya yang terpenting adalah neuritis optica radang saraf mata yang mengakibatkan gangguan penglihatan, antara lain kurang tajamnya penglihatan dan buta warna terhadap merah–hijau. Reaksi toksis ini baru timbul pada dosis besar di atas 50 mgkghari dan bersifat reversibel bila pengobatan segera dihentikan, tetapi dapat menimbulkan kebutaan bila pemberian obat dilanjutkan. Sebaiknya, jangan diberikan kepada anak kecil, karena kemungkinan gangguan penglihatan visus sulit dideteksi. Dianjurkan untuk memeriksakan mata secara periodik, terutama kepekaannya terhadap warna Tjay dan Rahardja, 2002.

2.3 Monitoring Terapi Obat