mampu menyekolahkan mereka. Seperti keluarga Bapaknya Lintang, diingatnya dari generasi keluarganya, hanya Lintang yang sekolah. Berikut kutipan yang
memperjelas pernyataan tersebut; Aku mengerti bahwa pria yang tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya
itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai drop out saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik: biaya atau
tuntutan nafkah. Bagi beliau pendidikan adalah enigma, sebuah misteri, dari empat garis generasi yang diingatnya, baru Lintang yang sekolah.
LP: 13.
Alasan yang terpenting mengapa orang tua penduduk asli Belitong tidak menyekolahkan anaknya karena mereka beranggapan, sekolah tidak akan
mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan. Berikut kutipannya; Para orang tua ini sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang
hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. LP: 3.
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP, pada masyarakat Belitong adalah tingkat pendidikan yang
rendah.
3.2 Faktor Mata Pencaharian
Belitong adalah daerah pertambangan yang kaya akan timahnya. Tetapi sumber daya alam yang kaya tidak membuat penduduknya hidup dengan makmur.
Mata pencaharian juga mempunyai pengaruh terhadap kemiskinan yang terjadi di Belitong. Hal ini disebabkan kekayaan yang seharusnya mereka dapatkan, malah
dikuasai oleh penduduk pendatang dari luar Belitong karena masyarakat asli Belitong tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Sehingga masyarakat asli
Belitong hanya bekerja sebagai buruh rendah di PN Timah. Walaupun mempunyai kekayaan alam akan tetapi jika alat kerja yang digunakan masih sederhana, hasil
Universitas Sumatera Utara
yang dicapai tidak memuaskan. Bagi produksi yang penting adalah adanya kerja yang efektif. Oleh karena itu, Sebagian besar penduduk Belitong mata
pencahariannya adalah sebagai karyawan rendah di PN Timah. Simaklah kut ipan berikut;
PN merupakan penghasil timah Nasional terbesar yang mempekerjakan tak kurang dari 14.000 orang, ia menyerap hampir seluruh angkatan kerja
di Belitong dan menghasilkan devisa jutaan dolar, lahan eksploitasinya tak terbatas. Lahan itu disebut kuasa penambang dan secara ketat
dimonopoli. LP: 40.
Selain menjadi buruh di PN Timah, mata pencaharian masyarakat Belitong adalah sebagai nelayan karena Belitong juga kaya akan hasil lautnya. Seperti
bapaknya Lintang yang bekerja sebagai kuli nelayan karena dia tidak memiliki perahu dan beliau mendapatkan uang bukan dari presentase dari hasil tangkapan
tetapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya. Karena pekerjaan sebagai nelayan ini musiman maka, pendapatannya pun tidak menentu. Tergantung orang yang
meminta bantuan kepadanya. Berikut kutipannya; Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan, lalu beliau
bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung Pelintang pulau mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar
di puncak pohon ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka
hasil melaut tak pernah memadai. LP: 10-11.
Selain mata pencaharian penduduk Belitong menjadi buruh di PN Timah dan nelayan, ada juga yang bekerja sebagai tukang pos. Seperti Ikal yang bekerja
sebagai tukang pos tukang sortir tetapi tidak di Belitong, melainkan di Bogor karena dia merantau ke ke sana. Ini disebabkan karena di Belitong tidak ada
lapangan pekerjaan sedangkan pendidikan Ikal pun hanya sampai di SLTA pada
Universitas Sumatera Utara
saat itu. Tetapi pekerjaannya ini tidak membawa perubahan bagi hidupnya yang tetap hidup dalam keadaan miskin. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut;
“Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang bekerja pada
sektor jasa. Mengkonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap hari dan berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian akrab
sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi. Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di antara garis miskin itu….Tapi
singkatnya begini saja, aku adalah bagian dari 57 rakyat miskin yang ada di republik ini.” LP: 441-442.
Kekayaan alam yang dimiliki Belitong tidak dapat mengeluarkan masyarakat Belitong dari kemiskinan. Mata pencaharian menjadi faktor utama
penyebab kemiskinan, karena masyarakat Belitong tidak pandai mengolah kekayaan alamnya sendiri. Sedangkan, mata pencaharian itu harus didukung oleh
bahan-bahan yang disediakan alam dan juga harus dapat mengolahnya. Seperti yang dikatakan Harsojo 2000: 210–211, mata pencaharian yang terdapat pada
masyarakat dibagi dalam dua kategori: a
Mata pencaharian hidup yang intinya bersifat mengumpulkan bahan-bahan makanan yang sudah disediakan oleh alam.
b Mata pencaharian hidup yang intinya menghasilkan produksi artinya
masyarakat mengolah alam sebagaimana adanya dan menghasilkan kebutuhan untuk hidup.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mata pencaharian
pada dasarnya jalan untuk mendapatkan uang dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mata pencaharian ini dapat diperoleh dari alam dan manusialah yang
mengolahnya. Karena di Belitong adalah daerah pertambangan sehingga daerah
Universitas Sumatera Utara
ini tidak dapat ditanami padi. Padi tidak akan tumbuh karena tempat ini tidak cocok untuk menanam padi. Perhatikan kutipan berikut ini;
Ha? Apa dia kira kami bangsa petani? Kami adalah buruh-buruh tambang yang bangga, padi tak tumbuh di atas tanah-tanah kami yang kaya material
tambang” LP: 37.
Padi memang tidak akan tumbuh di Belitong karena Belitong kaya akan material tambang, sehingga orang-orang luar yang datang ke Belitong tidak
membawa padi ataupun rempah-rempah yang biasa tumbuh di tanah Indonesia yang terkenal dengan rempah-rempahnya melainkan membawa barang-barang
yang penting seperti timah yang akan mereka olah lagi di tempat mereka. Berikut kutipannya;
“Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja.” LP: 277.
Telah dibicarakan sebelumnya bahwa Belitong sangat kaya akan material tambangnya. Ini dibuktikan dengan adanya pabrik terbesar di Belitong yaitu PN
Timah. Dengan hanya merogohkan tangan ke lapisan dangkal aluvium maka akan mendapatkan tangan yang dilumuri timah kosong. Simak kutipan di bawah ini;
Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya
berkilauan karena dilumuri ilmenit atau timah kosong. Bermil-mil dari pesisir, Belitong tampak sebagai garis pantai kuning berkilauan karena
biji-biji timah dan kuarsa yang disirami cahaya matahari. LP: 37.
Belitong dianugerahi dengan kekayaan alamnya berupa timah. Ini merupakan mercusuar bagi penduduk pulau ini dan seharusnya bersyukur dengan
apa yang dimilikinya, tetapi masih banyak juga orang-orang yang tidak mau bersyukur terhadap rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sehingga Tuhan
murka dan memberikan peringatan kepada masyarakat Belitong dengan
Universitas Sumatera Utara
bangkrutnya PN Timah yang terbesar di Pulau Belitong tersebut. Berikut kutipannya di bawah ini;
Tuhan memberkahi Belitong dengan timah bukan agar kapal yang berlayar ke pulau itu tidak menyimpang ke laut Cina Selatan, tetapi timah
dialirkan-Nya ke sana untuk menjadi mercusuar bagi penduduk pulau itu sendiri. Adakah mereka telah semena-mena pada rezeki tuhan sehingga
nanti terlunta-lunta seperti di kala Tuhan menguji bangsa Lemuria? LP:37-38.
Kemiskinan di Belitong bukan disebabkan faktor alam tetapi disebabkan karena penduduknya tidak memiliki pendidikan, sehingga pekerjaanya pun hanya
sebagai buruh, nelayan, dan tukang sortir. Masyarakat Belitong hanya sebagian kecil yang mempunyai pendidikan, sehingga pekerjaan sebagai guru pun sangat
sedikit. Seperti Bu Mus dan Pak Harfan yang bekerja sebagai guru di Muhammadiayah. Walaupun mereka digaji dengan 15 kg beras dan itu pun sering
telat digaji oleh pemerintah daerah, tetapi ini tidak menyurutkan langkah mereka untuk tetap mengajar dengan penuh keihklasan. Berikut kutipannya;
“N. A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP Sekolah
Kepandaian Putri, namun beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya K. A. Abdul Hamid….Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak
terkira, karena kami kekurangan guru. Lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kg setiap bulan? Maka selama enam tahun di SD
Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran. Setelah seharian mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan
sampai larut malam untuk mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adiknya.” LP: 30.
Ternyata kekayaan alam Belitong tidak dapat menghapuskan kemiskinan dari kampung tersebut. Kemiskinan sudah mendarah daging pada masyarakat
Belitong. Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak
mampu terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. LP: 11.
Universitas Sumatera Utara
Faktor Keterpencilan Sosial
Dalam novel LP, keterpencilan tempat tinggal tidak hanya menimbulkan keterpencilan sosial yang dialami oleh penduduk asli Belitong yang dilakukan
oleh komunitas Gedong. Selama bertahun-tahun penduduk asli Belitong hidup dalam keterpencilan sosial, baik tempat tinggal, pekerjaan dan kehidupan
bermasyarakat. Keterpencilan tempat tinggal selama turun-temurun dialami oleh penduduk
asli Belitong. Keterpencilan ini dilakukan oleh komunitas Gedong. Jika komunitas Gedong tinggal di perumahan elit dan mewah sedangkan pendudk asli Belitong
tinggal di pemukiman kumuh. Kedua tempat ini dibatasi oleh tembok tinggi yang memisahkan antara kedua tempat tersebut. Berikut kutipannya;
“Hanya beberapa jengkal di luar lingkungan tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi
tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkungan tembok
Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak.
Di luar Tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. “LP:
49750.
Seperti tempat tinggal rumah Lintang yang sangat terpencil. Medan menuju ke rumahnya harus melewati rawa-rawa yang banyak buayanya. Inilah
yang harus dilalui Lintang setiap hari jika menuju ke sekolah, kira-kira jaraknya 80 km yang ditempuhnya sejak subuh. Berikut kutipannya;
“Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Menuju ke sana harus melewati empat kawasan pohon nipah,
tempat rawa-rawa yang dianggap seram di kampung kami….Kampung pesisir itu secara geografis dapat dikatakan sebagai wilayah paling timur di
Sumatera, daerah minus nun jauh masuk ke pedalaman Pulau Belitong. Bagi Lintang, kota kecamatan, tempat sekolah kami ini, adalah
metropolitan yang harus ditempuh dengan sepeda sejak subuh.” LP: 11.
Universitas Sumatera Utara
Hidup dalam wilayah kepulauan terpencil bukanlah hal yang menyenangkan, secara ekstrem kehidupan masyarakat kepulauan terpencil dalam
beberapa segi dapat dianalogikan dengan kehidupan seseorang yang terdampar di suatu pulau, terisolasi dari kehidupan sosial dan ekonomi modern. Masyarakat
kepulauan terpencil harus hidup dengan keterbatasan dan ketidakpastian. Kepulauan tersebut dikelilingi oleh laut yang dalam. Musim tertentu menunjukan
keganasannya dengan angin topan dan ombak besar. Dalam jangka waktu lama mampu menghentikan hampir seluruh aktivitas ekonomi rakyat yang tinggal di
pulau itu. Akibatnya membatasi interaksi penduduk dengan dunia luar dan membatasi kesempatan penduduk untuk memperoleh pelayanan yang memadai
dari pihak pemerintah. Hal tersebut menunjukan bahwa keterpencilan adalah sama dengan keterbelakangan dan kemiskinan. Keterpencilan yang dihadapi oleh
masyarakat kepulauan terpencil tidak hanya berbatas pada keterpencilan geografis, tetapi juga menimbulkan keterpencilan lain yang secara bersama
menciptakan keterbelakangan dan kemiskinan di kalangan masyarakat yang hidup di wilayah tersebut.
Inilah yang dialami oleh penduduk asli Melayu Belitong yang tinggal di pedalaman. Selama bertahun-tahun penduduk asli Belitong hidup tertindas, tetapi
akhirnya bangkit disaat pulau Belitong bangkrut karena harga timah dunia turun drastis dan kehidupan taraf penduduk asli Belitong lama kelamaan membaik
karena bisa menggali kekayaan alam mereka sendiri. Perhatikan kutipan di bawah ini;
“Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi
Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar. Sekarang mereka bebas
Universitas Sumatera Utara
menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi jalar.” LP: 485–486.
Setelah PN Timah bangkrut, maka berontaklah penduduk asli Belitong dan menjarah Gedong. Dengan demikian, penduduk asli Belitong mendulang timah
dengan bebas karena tidak ada lagi yang melarang mereka. Mereka mendulang timah dengan alat tradisional, tetapi mendapatkan hasil lebih banyak
dibandingkan dengan menggunakan kapal keruk. Berikut kutipannya di bawah ini; “Jumlah itu lebih tinggi dari produksi PN Timah dengan 16 buah kapal
keruk, tambang-tambang besar, dan open pit mining, serta dukungan miliaran dolar aset. Satu lagi bukti kegagalan metanarasi kapitalisme.
Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Suatu profesi yang dulu dihukum
sangat keras seperti pelaku subversi.” LP: 486.
Dengan penindasan yang dilakukan orang Gedong selama bertahun-tahun membuat penduduk asli Belitong memendam dendam yang mendalam. Kemudian
pada saat PN Timah bangkrut karena harga timah merosot tajam. Di sinilah kesemptan mereka balas dendam. Apalagi orang staf melakukan PHK besar-
besaran, sehingga kemarahan mereka semakin besar. Kemarahan mereka lakukan dengan penjarahan ke Gedong. Sehingga kawasan Gedong yang dahulu indah
tiba-tiba berubah menjadi tempat yang menyeramkan. Berikut kutipannya; “Pulau Belitong yang dulu biru berkilauan laksana jutaan ubur-ubur
Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapung-apung tak tentu arah, gelap, dan sendirian.” LP: 483.
Ketika pabrik terbesar di Belitong bangkrut, tidak ada yang mau membantu perekonomian Belitong terutama pemerintah pusat. Padahal,
pemerintah pusat selalu mendapatkan royalti dari PN Timah semasa jayanya.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi setelah PN Timah bangkrut, mereka seperti tidak pernah mengenal Pulau Belitong. Berikut kutipannya;
“Mereka memalingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit menuntut ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang.
Jargon persatuan dan kesatuan menjadi sepi ketika ayam petelur telah menjadi mandul.” LP: 482.
Kemarahan penduduk asli Belitong karena menahan sakit hati karena kesenjangan dan keterpencilan selama puluhan tahun. Penduduk asli dikucilkan
dan ditempatkan di pinggiran sedangkan penduduk pendatang tinggal di tempat yang mewah. Berikut kutipan kemarahan penduduk asli menyerbu Gedong.
“Dalam waktu singkat Gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun, dan
yang agak sedikit picik, menyerbu Gedong. Para Polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus tak
bertuan itu. Laksana kaum proletar membalas kesemena-menaan borjuis, mereka merubuhkan dinding, menariki genteng, menangkapi angsa dan
ayam kalkun, mencabuti pagar, mencuri daun pintu dan jendela, mencongkel kusen, memecahkan setiap kaca, mengungkil tegel, dan
membawa lari gorden. Tanda-tanda peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” diturunkan dan dibawa pulang
untuk dijadikan koleksi seperti cenderamata pecahan batu tembok Berlin. Sebagian penjarah yang marah duduk sebentar di sofa besar chesterfield
dengan makan di meja terracotta yang mahal, berpura-pura menjadi orang staf sebelum mereka beramai-ramai menjarahnya.” LP: 483.
Akibat penjarahan yang dilakukan penduduk asli Melayu Belitong, Gedong ditinggalkan oleh orang-orang staf yang tinggal di sana. Kawasan yang
indah pada masa kejayaannya berubah menjadi seperti tempat drakula. Kutipannya sebagai berikut;
“Rumah-rumah Victoria di kawasan Gedong, negeri dongeng tempat puri dan Cinderella bersuka ria langsung berubah menjadi Bukit Carphatian
tempat kastil keluarga Dracula. Jika malam kawasan itu gelap gulita.” LP: 483.
Universitas Sumatera Utara
Akibat kebangkrutan PN Timah dan Gedong dijarah oleh penduduk Belitong maka banyak orang staf lari ke Jakarta ataupun ke kota lain. Ada juga
yang terkena penyakit stroke dan penyakit jantung karena tidak dapat menerima kenyataan dan biasa hidup mewah. Berikut kutipannya;
“Karena tak terbiasa hidup susah dan ditambah dengan anak-anak yang tak mau berkompromi dalam menurunkan standar hidup---sementara mereka
tengah kuliah di universitas swasta mahal---membuat orang-orang staf stres berkepanjangan. Tak jarang masalah mereka berakhir dengan stroke,
penyakit jantung, mati mendadak, drop out massal, dan lilitan utang.” LP: 484.
Karena tidak dapat menerima kenyataan PN Timah telah bangkrut dan langsung jatuh miskin, maka orang staf banyak yang stres, gila, dan pada akhirnya
menjadi penghuni Zaal Batu Runah Sakit Jiwa. Dapat dilihat pada kutipan berikut;
“Mereka seperti tersedak sendok perak. Yang tak mampu menerima kenyataan dan hidup menipu diri sendiri didera post power syndrome,
biasanya tak bertahan lama dan segera check in di Zaal batu. Komidi berputar berbalik arah dalam kecepatan tinggi, penumpangnya pun
terjungka l.” LP: 485.
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa adanya gap atau pembatas antara penduduk asli dengan penduduk pendatang selama bertahun-tahun membuat
dendam dan sakit hati yang mendalam yang dirasakan penduduk asli. Kebangkrutan Belitong membuat keterpencilan sosial yang dialami Pulau
Belitong. Jika dahulu keterpencilan yang dilakukan orang staf dengan penduduk asli Belitong, tetapi sekarang berbeda, Belitong dikucilkan oleh pemerintah pusat
karena tidak menghasilkan royalti lagi. Berikut kutipannya; “Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran
rupiah tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil itu. Mereka memalingkan muka ketika rakyat Belitong menjerit menuntut
Universitas Sumatera Utara
ketidakadilan kompensasi atas PHK massal. Habis manis sepah dibuang.” LP: 482.
3.4 Faktor Pengelolaan Alam