Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami
seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi. LP: 38-39.
Dari uraian di atas, sangat jelas sekali gambaran kemiskinan dalam novel LP dilihat dari sudut kesenjangan sosialnya yang membuat jarak antara si miskin
dengan si kaya.
2.4 Segi Lingkungan
Dalam novel LP Pulau Belitong selain lingkungan pesisir juga lingkungan pertambangan sehingga penduduknya banyak yang menjadi nelayan ataupun
buruh di PN Timah, seperti yang dikatakan Sembiring 2005: 1, “Lingkungan adalah uraian umum tentang apa-apa yang ada di sekitar manusia, yaitu bisa
meliput i bumi, planet, bintang, laut, dan segala isinya.” Sedangkan menurut Purwowibowo 2008, secara harfiah Lingkungan berarti keadaan sekitar atau
kondisi sekitar. Lingkungan ekonomi misalnya juga menunjuk kondisi sekitar yang berhubungan dengan fungsi ekonomi, yang berhubungan erat dengan
pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Inilah yang dialami oleh masyarakat Belitong yang sebagian penduduknya menggantungkan hidup dengan
bekerja di PN Timah. PN Timah merupakan pabrik terbesar di Belitong juga terbesar di Indonesia pada saat itu. Pemerintah juga banyak mendapatkan royalti
dari PN Timah ini. Belitong adalah pulau yang kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi
masyarakatnya hidup dalam keadaan miskin. Belitong adalah salah satu pulau di Indonesia yang kaya. Selain di Belitong, pulau-pulau yang ada di Indonesia juga
Universitas Sumatera Utara
sangat kaya, tetapi mengapa Indonesia masih tergolong negara yang penduduknya hidup dalam kemiskinan?
Apabila diperhatikan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural buatan karena sebenarnya secara alamiah Indonesia
mempunyai potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur
yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta
terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Ini juga tergambar dalam novel LP lingkungan yang sangat kontras antara
lingkungan Gedong dengan perumahan penduduk asli Belitong. Lingkungan Gedong yang sangat elit dan mewah mewarnai kekontrasan dengan penduduk asli
Belitong yang tinggal di lingkungan kumuh dan terpinggirkan. Lingkungan rumah penduduk asli jauh dari kriteria rumah sehat. Oleh karena itu, Amsyari 1995: 47–
50, mengatakan masalah lingkungan dapat dibagi dalam tiga kelompok dasar yaitu:
2.4.1 Lingkungan Rumah Tangga
Lingkungan rumah tangga menyangkut sandang, pangan, dan papan. Pada segi papan atau tempat tinggal dalam novel LP banyak dibicarakan antara orang
staf dan penduduk asli. Rumah penduduk asli Belitong sangat jauh dari kriteria rumah sehat
seperti keadaan rumah tokoh Lintang yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat
Universitas Sumatera Utara
karena perbandingan antara luas bangunan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya. Berikut kutipannya;
Gubuk itu beratap daun sagu dan berdinding lelak dari kulit pohon meranti, apa pun yang dilakukan orang di dalam gubuk itu dapat dilihat
dari luar karena dinding kulit kayu yang telah berusia puluhan tahun merekah pecah seperti lumpur musim kemarau. Ruangan di dalamnya
sempit dan berbentuk memanjang dengan dua pintu di depan dan di belakang. Seluruh pintu dan jendela tidak memiliki kunci jika malam
mereka ditutup dengan cara diikatkan pada kusennya. Benda di dalam rumah itu ada enam macam beberapa helai tikar lais dan bantal, sajadah
dan Al-Quran, sebuah lemari kaca kecil yang sudah tidak ada lagi kacanya, tungku dan alat-alat dapur, tumpukan cucian, dan enam ekor kucing yang
dipasangi kelintingan sehingga rumah itu bersuara gemerincing sepanjang hari.” LP: 98-99.
Berbeda dengan keadaan rumah Lintang yang sangat sederhana dan tidak memenuhi kriteria rumah sehat, rumah orang staf sangat nyaman, besar, mewah,
dan tertata dengan indah. Apalagi kebanyakan orang staf hanya memiliki dua atau tiga anak, tidak seperti orang tua Lintang yang mempunyai banyak anak dan
rumah yang kecil. Selanjutnya kutipan rumah orang staf; Kawasan warisan Belanda ini menjunjung tinggi kesan menjaga jarak,
dan kesan itu diperkuat oleh jajaran pohon-pohon saga tua yang menjatuhkan butir-butir buah semerah darah di atas kap mobil-mobil
mahal yang berjejal-jejal sampai keluar garasi. Di sana, rumah-rumah mewah besar bergaya Victoria memiliki jendela-jendela kaca lebar dan
tinggi dengan tirai yang berlapis-lapis laksana layar bioskop. Rumah- rumah itu ditempatkan pada kantor yang agak tinggi sehingga kelihatan
seperti kastil-kastil kaum bangsawan dengan halaman terpelihara rapi dan danau-danau buatan. Di dalamnya hidup tenteram sebuah keluarga kecil
dengan dua atau tiga anak yang selalu tampak damai, temaram, dan sejuk. LP: 43.
Seperti keadaan rumah Lintang yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, pada hal kualitas rumah pada dasarnya sangat besar peranannya untuk kondisi
kesehatan penghuninya. Persyaratan rumah sehat bahkan sudah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia dalam Amsyari, 1995: 47, menyebutkan antara lain
Universitas Sumatera Utara
perlu memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan sosial–budaya, pemerintah juga telah menetapkan ukuran baku untuk perumahan penduduk, yakni 10 m
2
per orang penghuni dengan perbandingan antara luas tanah dengan luas bangunannya
1:1. Oleh sebab itu, masalah perumahan perlu menjadi masalah lingkungan dan bahkan perlu dijadikan sebagai salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat.
Kemudian dari segi pangan makanan yang dikonsumsi juga banyak diceritakan dalam novel LP. Bagaimana susahnya masyarakat asli Belitong
mendapatkan makanan yang bergizi sehingga banyak anak yang terkena gizi buruk dan rentan terkena penyakit, seperti rabun jauh dan juga polio. Berikut
kutipannya; Kucai sedikit tak beruntung, kekurangan gizi yang parah ketika kecil
mungkin menyebabkan ia menderita miopia alias rabun jauh. Selain itu, pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat. Maka jika
ia memandang lurus ke depan arahnya yang ia lihat adalah benda di samping benda yang ada persis di depannya dan demikian sebaliknya,
sehingga saat berbicara dengan seseorang ia tidak memandang lawan bicaranya tapi menoleh ke samping. LP: 69.
Kemudian berikut ini kutipan yang mempertegas masyarakat asli Belitong terkena gizi buruk, seperti ibu Lintang yang terkena polio karena waktu kecil tidak
mendapatkan asupan gizi yang cukup karena keadaan yang miskin; Meskipun buta huruf dan kurang beruntung karena waktu kecil terkena
polio sehingga salah satu kakinya tak bertenaga…. LP: 97.
Selanjutnya Lintang yang sudah dewasa juga masih kekurangan gizi. Pekerjaannya yang menjadi supir truk dengan gaji yang tidak mencukupi
kehidupannya dengan banyak adik dan ibunya, sehingga dia masih dalam lingkaran kemiskinan. Berikut kutipannya;
Universitas Sumatera Utara
“Pria yang kemarin menyapaku, yang menyetir tronton itu, salah satu dari puluhan sopir truk yang tinggal di bedeng ini, duduk di atas dipan, dekat
tungku, berhadap-hadapan denganku. Ia kotor, miskin, hidup membujang, dan kurang gizi, ia adalah Lintang.” LP: 468.
Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas penduduk asli Belitong dalam keadaan kurang gizi. Kemudian berikut ini, kutipan gambaran perbedaan yang
kontras, makanan yang dikonsumsi antara orang Gedong dengan penduduk asli. Orang Gedong makan dengan mematuhi table manner dan berbagai makanan
pembuka dan makanan penutup. Berikut kutipannya; “Di meja makan mewah dengan kayu cinnamon glaze, mereka duduk
mengelilingi makanan yang namanya bahkan belum ada terjemahannya. Pertama-tama perangsang lapar pumpkin and gorgonzola soup, lalu hadir
caesar salad. Menu utama chicken cordon bleu, vitello alla provenzale, atau….Pada bagian akhir sebagai makanan penutup adalah creamy
cheesecake topped with strawberry puree, buah-buah persik dan prem.” LP: 44.
Selanjutnya dipertegas lagi kutipan makanan yang dikonsumsi orang Gedong pada saat sarapan pagi dengan ruang makan yang berbeda. Pada saat
sarapan, ruangannya pun lebih terbuka tempatnya yaitu menghadap kebun sehingga orang yang di dalamnya merasa nyaman pada saat sarapan. Berikut
kutipannya; “Sarapan pagi disajikan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini terbuka,
menghadap ke kebun anggrek dan kolam renang dangkal dan biru. Mejanya juga berbeda yakni terracotta tile top oval yang lucu namun
berkelas. Di pagi hari mereka senang mencicipi omelet dan menyeruput teh Earl Grey atau cappuccino, lalu mereka melemparkan remah-remah
roti pada burung-burung merpati Inggris yang berebutan, rakus tapi jinak.” LP: 45.
Berbeda halnya dengan penduduk asli yang tidak mengenal table manner ataupun makanan pembuka maupun makanan penutup. Bisa makan saja
merupakan hal yang patut disyukuri. Berikut kutipannya;
Universitas Sumatera Utara
“Tidak seperti di Gedong, jika makan orang urban ini tidak mengenal appetizer sebagai perangsang selera, tak mengenal main course, ataupun
dessert. Bagi mereka semuanya adalah menu utama pada musim barat ketika nelayan enggan melaut, menu utama itu adalah ikan gabus. Para
kuli yang bernafsu makan besar sesuai dengan pembakaran kalorinya itu jika makan seluruh tubuhnya seakan tumpah ke atas meja. Agar lebih
praktis tak jarang baskom kecil nasi langsung digunakan sebagai piring. Di situlah diguyur semangkuk gangan, yaitu masakan tradisional dengan
bumbu kunir. Ketika makan mereka tak diiringi karya Mozart Haffner No. 35 in D Major tapi diiringi rengekan anak-anaknya yang minta dibelikan
baju pramuka.” LP: 53.
Kemudian kutipan makanan yang dikonsumsi penduduk asli yang sangat sederhana dan juga tidak memenuhi kriteria empat sehat lima sempurna. Ini yang
mengakibatkan penduduk asli Belitong kekurangan gizi dan rentan kena penyakit; Asap itu membuat penghuni rumah terbatuk-batuk, namun ia amat
diperlukan guna menyalakan gemuk sapi yang dibeli bulan sebelumnya dan digantungkan berjuntai-juntai seperti cucian di atas perapian. Gemuk
sapi itulah sarapan mereka setiap pagi. Sebelum berangkat para kuli itu tidak minum teh Earlgrey atau Cappuccino, melainkan minum air gula
aren dicampur jadam untuk menimbulkan efek tenaga kerbau yang akan digunakan sepanjang hari. Apabila persediaan gemuk sapi menipis dan
angin barat semakin kencang, maka menu yang disajikan sangatlah istimewa, yaitu lauk yang diasap untuk sarapan, lauk yang diasin untuk
makan siang, dan lauk yang dipepes untuk makan malam, seluruhnya terbuat dari ikan gabus. LP: 53-54.
Sanitasi makanan dalam arti kualitas makanan yang sehat baik dari segi bahan baku, proses memasak, menyimpan, dan menyajikan makanan adalah
penting diperhatikan dalam upaya memperbaiki kondisi lingkungan keluarga. Makanan yang dikonsumsi anggota keluarga selain harus memenuhi kebutuhan
secara kuantitatif dari segi energi, protein dan vitamin–mineralnya, juga harus dihidangkan dalam keadaan memenuhi syarat kesehatan agar tidak berakibat
merugikan bagi yang memakannya.
Universitas Sumatera Utara
Tidak hanya kekurangan pangan dan papan, masyarakat asli Belitong juga kekurangan sandang karena keadaan mereka yang miskin dan tidak mampu
membeli baju baru dan sepatu bagi anaknya yang sekolah, seperti anak-anak Laskar Pelangi yang dibelikan orang tuanya baju dan sepatu dua nomor lebih
besar agar bisa tetap digunakan sampai dua tahun berikutnya. Berikut kutipannya; “Orang tua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua
nomor lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.” LP: 83- 84.
Kemudian kutipan berikut yang mempertegas anak-anak Laskar Pelangi hanya memiliki seragam sekolah yang buruk;
“Tapi sandal dan bajuku buruk begini,” katanya lagi dengan polos dan tahu diri sambil melipat karung kecampang yang dipakainya sebagai tas
sekolah.” LP: 66.
Berbeda halnya dengan murid-murid PN Timah yang memiliki pakaian seragam yang bermacam-macam dan tidak akan kebesaran karena ketika
mendaftar sekolah langsung diukur badannya. Simak kutipan di bawah ini; “Ketika mendaftar, badan mereka langsung diukur untuk tiga macam
seragam harian dan dua macam pakaian olah raga….Seragam untuk hari Senin adalah baju biru bermotif bunga rambat yang indah.” LP: 60.
Tidak hanya murid-murid Muhammadiyah yang menggunakan pakaian sederhana, guru Muhammadiyah juga menggunakan pakaian yang seadanya,
seperti Pak Harfan yang pakaiannya sudah pudar warnanya karena terlalu sering dipakai dan dicuci. Berikut kutipannya;
“Hari ini Pak Harfan mengenakan baju takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini, warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau
masih kelihatan di baju itu.” LP: 21.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk asli Belitong sangat kekurangan, baik dari segi sandang, pangan, mapun papan, tetapi
kekurangan ini tidak membuat anak-anak Laskar Pelangi berhenti untuk berjuang menuntut ilmu, malah menambah semangat mereka meraih mimpi dan cita-cita.
2.4.2 Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja dalam novel LP merupakan daerah pertambangan. Otomatis daerah itu banyak zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan penduduk
setempat, seperti pekerjaan orang tua Ikal adalah buruh di PN Timah dan pekerjaannya sangat rentan dengan bahaya. Berikut kutipannya;
Ayahku contohnya, hanya pegawai rendahan di PN Timah. Beliau bekerja selama 25 tahun mencedok tailing, yaitu material buangan dalam
instalasi pencucian timah yang disebut wasserij. Selain bergaji rendah, beliau juga rentan pada resiko kontaminasi radio aktif dari monazite dan
senotim. LP: 67.
Selanjutnya kutipan buruh-buruh yang pergi ke tempat kerja, setelah mendengar bunyi sirine para buruh bergegas menuju ke tempat kerja masing-masing;
“Mereka menyerbu tempat kerja masing-masing, bengkel bubut, kilang minyak, gudang beras, dok kapal, dan unit-unit pencucian timah. Para kuli
yang bekerja shift di kapal keruk melompat berjejal-jejal ke dalam bak truk terbuka seperti sapi yang akan digiring ke penjagalan. Tepat pukul 7
kembali dibunyikan sirine kedua tanda jam resmi masuk kerja. Lalu tiba- tiba jalan-jalan raya, kampung-kampung, dan pasar kembali legang, sunyi
senyap.” LP: 52.
Kemudian kutipan tempat kerja tokoh Lintang yang seperti kandang ternak, kotor, dan tidak terawat. Di sinilah tempat para supir istirahat dan menunggu giliran.
Berikut kutipannya; “Esoknya aku berkunjung ke bedeng proyek pasir gelas sesuai undangan
supir kecil itu. Bedeng itu memanjang di tepi pantai, tak berpintu, lebih seperti kandang ternak. Inilah tempat beristirahat puluhan supir truk pasir
Universitas Sumatera Utara
yang bekerja siang malam bergiliran 24 jam untuk mengejar tenggat waktu mengisi tongkang. Tongkang-tongkang itu dimuati ribuan ton kekayaan
bumi Belitong, tak tahu dibawa ke mana, salah satu perbuatan kongkalikong yang mengangkangi hak-hak warga pribumi.” LP: 467.
Tempat kerja Lintang ini juga rentan dengan bahaya penyakit ataupun polusi, seperti adanya asap hitam yang mencemari udara dan dihirup oleh para
supir dan masyarakat sekitar. Berikut kutipannya; “Suara motor temple yang nendang menggetarkan tiang-tiang bedeng dan
asap hitam mengepul tebal. Gelombang halus yang ditimbulkan tugboat tersebut memecahkan tepian yang berkilat seperti permukaan kaca
berwarna-warni karena digenangi minyak.” LP: 469.
Berikut kutipan pekerjaan Lintang yang menjadi supir truk seperti kerja rodi karena kerja yang berat tetapi mendapatkan gaji yang kecil;
“Aku tak berkata apa-apa. Terlihat jelas ia kelelahan melawan nasib. Lengannya kaku seperti besi karena kerja rodi tapi tubuhnya kurus dan
ringkih. Binar mata kepintaran dan senyum manis yang jenaka itu tak pernah hilang walaupun sekarang kulitnya kering berkilat dimakan
minyak. Rambutnya semakin merah awut-awutan. Lintang dan keseluruhan bangunan ini menimbulkan rasa iba, iba karena kecerdasan
yang sia-sia terbuang.” LP: 468.
Uraian di atas banyak menyinggung tempat kerja dan permasalahannya. Permasalahan lingkungan kerja sudah banyak menjadi perhatian para pengusaha
dan sudah terkoordinir dalam praktik manajemen perusahaan. Pemerintah juga telah memberi bimbingan dalam masalah ini melalui Departemen Tenaga Kerja.
Namun, tidak jarang pula ditemui manajer perusahaanindustri yang begitu saja mengabaikan keselamatan para pekerja, menelantarkan kondisi lingkungan di
perusahaannya, bahkan menutup-nutupi kondisi lingkungan kerja yang berbahaya bagi para pekerja.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Lingkungan Luas
Keadaan lingkungan rumah dalam novel LP juga tidak sehat karena rumah-rumah padat dan bangunan yang dibuat tanpa perencanaan. Bagi mereka
yang penting memiliki tempat tinggal dan tidak mementingkan kesehatan tempat tinggalnya. Berikut kutipannya;
Adapun pekarangan rumah orang Melayu ditumbuhi jarak pagar, beluntas, beledu, kembang sepatu, dan semak belukar yang membosankan.
Pagar kayu saling-silang di parit bersemak di mana tergenang air mati berwarna cokelat, juga sangat membosankan. Entok dan ayam kampung
berkeliaran seenaknya. Kambing yang tak dijaga melalap tanaman bunga kesayangan sehingga sering menimbulkan keributan kecil. LP: 50-51.
Kemudian pada kutipan berikut, digambarkan keadaan pasar di kawasan tempat penduduk Belitong bermukim yang jorok dan kumuh;
Sesampainya di sana--di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang becek--jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau
lobak asin, tauco, kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi, jengkol, dan kacang merah yang
ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di depan toko. LP: 195.
Sebenarnya masalah lingkungan dalam kategori kelompok lingkungan luas adalah segala bentuk permasalahan yang menjadi problema suatu daerah secara
keseluruhan, tidak hanya terbatas pada lingkup keluarga atau lingkup industri. Masalah lingkungan dalam lingkup lingkungan luas akan berdampak pada hampir
seluruh penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Inilah yang dialami oleh masyarakat Belitong yang tinggal di luar Gedong. Lingkungan sekitarnya tidak
teratur dan asal jadi. Seperti lingkungan pasar sangat tidak teratur sehingga siapa pun yang pergi ke pasar tidak tahan berlama-lama. Padahal, pasar merupakan
salah satu tempat yang paling penting karena di sanalah tempat orang-orang
Universitas Sumatera Utara
berkumpul dan bertransaksi jual beli ataupun bertemunya pedagang dan pembeli. Berikut kutipannya;
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi sungai dengan maksud seluruh limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan
ke sungai. Tapi pasar ini berada di daratan rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan menghanyutkan kembali gunungan sampah
organik itu menuju lorong-lorong sempit pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan kaleng, pagar-pagar
yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota
yang canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau balau bukan main. LP: 199–200.
Dari uraian di atas, tampak jelas penggambaran lingkungan kampung Melayu Belitong yang dideskripsikan secara jelas dan memikat serta mengetahui
lingkungan masyarakat kampung Melayu Belitong yang hidup di bawah garis kemiskinan yang ternyata hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat
Gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup. Berikut kutipannya di bawah ini;
“Halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang
maknanya tak mudah dicerna orang awam. Hamparan rumput Manila di halaman menyentuh lembut bibir jalan raya dengan tinggi permukaan yang
sama. Ada daya tarik sendiri di situ. Tak ada parit, karena semua sistem pembuangan diatur di bawah tanah. Pekarangan ditumbuhi pinang raja,
bambu Jepang, pisang kipas, dan berjenis-jenis palem yang berselang- seling di antara taman-taman bunga umum, galeri, angsa-angsa besar yang
berkeliaran, kafe members only, patung-patung snooker bar, sudut-sudut tempat bermain anak-anak berisi ayam-ayam kalkun yang dibiarkan bebas,
trotoar untuk membawa anjing jalan-jalan, kolam-kolam renang, dan lapangan-lapangan golf. Tenang dan tidak berisik, kecuali sedikit bunyi,
rupanya anjing pudel sedang mengejar beberapa ekor kucing anggora.” LP: 45.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
Dalam novel LP penduduk asli Belitong digambarkan sebagai pekerja keras, sehingga tidak memikirkan untuk sekolah. Mereka lebih sibuk mencari
uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari daripada sekolah yang hanya akan menghabiskan uang. Belitong kaya sumber daya alamnya tetapi mereka tidak
dapat mengelola kekayaan alamnya itu. Sehingga yang mengelolanya adalah orang-orang pendatang orang Gedong. Masyarakat asli Belitong hidup dalam
kemiskinan. Bahkan kemiskinan yang sudah turun-temurun. Adanya kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pendapat para ahli ekonomi tentang masalah
kemiskinan, mengapa muncul kemiskinan dalam suatu masyarakat sangat berbeda. Menurut Koentjaraningrat, 1997:52, ada 5 konsep nilai budaya yang
cocok untuk pembangunan di Indonesia, agar bangsa Indonesia bangkit dari kemiskinannya yang meliput i: 1 Nilai hidup dipandang tinggi dan selalu
bersikap aktif bukan sebaliknya pasrah dengan nasib dan bersikap pasif; 2 Nilai hasil karya atau kerja tinggi, bukan hanya dilihat dari segi jumlah yang sesuai
target akan tetapi juga dari segi mutu yang tinggi; 3 Nilai Menguasai alam dengan syarat terlebih dahulu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; 4
Nilai masa depan yakni masa depan harus lebih baik dari masa sekarang; 5 Nilai kerjasama yakni sikap individu dapat bekerja sama dengan orang lain, setiap
individu diberi kesempatan untuk mengembangkan dirinya serta setiap individu punya rasa tanggung jawab masing-masing sesuai perannya dalam kerja sama.
Universitas Sumatera Utara
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor- faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya mempunyai peranan yang
sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tidak terselesaikan.
Tidak semestinya masyarakat Belitong hidup dalam kemiskinan karena Pulau Belitong kaya sumber daya alamnya. Tetapi pada kenyataannya Pulau
Belitong adalah salah satu pulau di Indonesia yang penduduknya miskin. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia
di tahun 2007 sebesar 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total negara miskin dari dunia. Prestasi minus yang membuahkan hasil berupa aliran dana segar dan
memantapkan posisi Indonesia dalam daftar negara penghutang, Indosiar News: 2008.
Hingga saat ini, kemiskinan menjadi gambaran kehidupan sebagian masyarakat di dunia, khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Miskin dan kaya adalah persoalan abadi yang banyak diperdebatkan selama berabad-abad dan tidak kunjung ada penyelesaiannya. Dilihat dari sudut pandang
ekonomi, kemiskinan selalu dikaitkan dengan masalah pendapatan. Max Net Ct all dalam Indosiar News, 2008 mendefinisikan kemiskinan Sebagai suatu
kondisi di mana tidak terpenuhinya kebutuhan dasar atau esensial individu sebagai manusia. Kemudian Chambers dalam Indonsiar News: 2008,
Kemiskinan terutama dipedesaan mempunyai lima karakteristik yang saling terkait yaitu kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan, kerentanan, dan
ketidakberdayaan.”
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dapat terjadi karena adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan kemiskinan. Dalam novel
LP faktor-faktor penyebab kemiskinan yang diuraikan meliputi faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial, dan pengelolaan alam.
Keempat faktor inilah yang akan dianalisis lebih terperinci.
3.1 Faktor Tingkat Pendidikan Dalam novel LP kebanyakan masyarakat Belitong asli yang mempunyai