Gambaran Kemiskinan Dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata

(1)

GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR

PELANGI KARYA ANDREA HIRATA

SKRIPSI

Oleh

RITA ARNITA LUBIS NIM 040701026

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

MEDAN


(2)

GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA

Oleh

Rita Arnita Lubis NIM : 040701026

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra dan telah disetujui oleh

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Drs. Gustaf Sitepu

NIP 131837565 NIP 131570495

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 1316764


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT. karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.” Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra, di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil pengumpulan data dari Perpustakaan Umum Sumatera Utara dan dari berbagai sumber.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara dan Pembantu Dekan I, II, dan III.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia.

3. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. dan Drs. Gustaf Sitepu selaku dosen Pembimbing I dan II penulis yang telah begitu sabar dalam membimbing penulis dan memberikan semangat, arahan dan juga banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Seluruh dosen di lingkungan Departemen Sastra Indonesia.

5. Orang tua penulis, Ayahanda Syahrul Lubis dan Ibunda Rostiati yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil. Skripsi ini Ananda persembahkan untuk Ayahanda dan Ibunda.

6. Saudara-saudara penulis, Kakanda Setio Rini Lubis, S.Pd. dan Adinda Febriansyah Putra Lubis serta Rizki Annisa Lubis yang sangat perhatian dan mendorong penulis agar tidak malas mengerjakan skripsi dan cepat wisuda.

7. Teman-teman penulis angkatan stambuk 2004, Julia Zahraini, Ratu Verawati, Prinsi Rigitta, Dwi Fevbianora, Ramayulis Eva Kartika, dan yang tidak disebutkan, yang selalu berbagi informasi dan saling membantu dalam mengerjakan skripsi ini.


(4)

8. Khususnya buat Masku “Mawardi” yang saat ini mendampingi penulis saat mengerjakan skripsi ini dan selalu memberikan semangat walaupun sekarang berada jauh di Pulau menuntut ilmu. Tetap semangat ya!

Skripsi ini belum sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Medan, 2008


(5)

GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR

PELANGI KARYA ANDREA HIRATA

OLEH

RITA ANITA LUBIS ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.” Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kemiskinan yang tergambar dalam novel Laskar Pelangi dan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel Laskar Pelangi. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Laskar Pelangi dengan menggunakan metode mambaca heuristik dan juga hermeneutik. Dari analisi data, diperoleh hasil bahwa:

1. Dalam novel Laskar Pelangi sangat banyak penggambaran kemiskinan baik dari segi pendidikan, status sosial, kesenjangan sosial dan juga lingkungan.

2. Faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat Belitong dalam novel Laskar Pelangi mencakup faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial dan pengelolaan alam.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa karya Andrea Hirata diciptakan atas dasar perjalanan hidupnya saat kanak-kanak dan masa remaja yang hidup dalam kemiskinan di tanah kelahirannya yaitu di Pulau Belitong.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 6

1.3 Batasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Metode Penelitian ... 8

1. 6. 1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 8

1. 6. 2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 9

1.6. 3 Bahan Analisis ... 9

1.7 Landasan Teori ... 13

BAB II GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI ... 20

2.1 Segi Pendidikan ... 26

2.2 Segi Status Sosial ... 32

2.3 Segi Kesenjangan Sosial ... 38

2.4 Segi Lingkungan ... 43

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI ... 54


(7)

3.1 Faktor Tingkat Pendidikan ... 56

3.2 Faktor Mata Pencaharian ... 59

3.3 Faktor Keterpencilan Sosial ... 64

3.4Faktor Pengelolaan Alam ... 69

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... 72

4.1 Simpulan ... 72

4.2 Saran ... 72


(8)

GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR

PELANGI KARYA ANDREA HIRATA

OLEH

RITA ANITA LUBIS ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Gambaran Kemiskinan dalam Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.” Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengungkapkan dan memaparkan kemiskinan yang tergambar dalam novel Laskar Pelangi dan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel Laskar Pelangi. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Laskar Pelangi dengan menggunakan metode mambaca heuristik dan juga hermeneutik. Dari analisi data, diperoleh hasil bahwa:

1. Dalam novel Laskar Pelangi sangat banyak penggambaran kemiskinan baik dari segi pendidikan, status sosial, kesenjangan sosial dan juga lingkungan.

2. Faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat Belitong dalam novel Laskar Pelangi mencakup faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial dan pengelolaan alam.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa karya Andrea Hirata diciptakan atas dasar perjalanan hidupnya saat kanak-kanak dan masa remaja yang hidup dalam kemiskinan di tanah kelahirannya yaitu di Pulau Belitong.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan wujud dari sebuah proses gejolak dan perasaan seorang pengarang terhadap realitas sosial yang merangsang kesadaran pribadinya. Dengan kedalaman imajinasi, visi, asumsi, dan kadar intelektualitas yang dimilikinya, seorang pengarang akan mencoba untuk menggambarkan realitas yang ada ke dalam karya ciptanya. Di dalam karya sastra tersebut tergambar tata kehidupan dan pola tingkah laku masyarakat tempat karya tersebut diciptakan.

Sebuah karya sastra tercipta berdasarkan imajinasi pengarang. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah suatu kenyataan bahwa seorang pengarang itu senantiasa hidup dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Di dalamnya ia akan senantiasa terlibat dengan berbagai permasalahan, Jabrohim (2003:157) mengatakan, "Dalam bentuk yang paling nyata, ruang dan waktu tersebut adalah masyarakat atau kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi." Dengan kalimat lain, konteks ini menyatakan bahwa suatu karya sastra bukanlah suatu karya yang bersifat otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu diciptakan.

“Sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan, dialami, diperenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan.” (Hardjana, 1981:10). Keadaan masyarakat, cara hidup masyarakat dapat menjadi


(10)

bahan bagi seorang sastrawan. Salah satu hakikat sastra adalah menggambarkan keadaan manusia dalam masyarakat. Adakalanya suatu karya sastra tidak dapat menggambarkan kehidupan masyarakat pada saat karya itu beredar. Namun, secara umum sastra akan tetap menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lalu dan masa sekarang, serta masa yang akan datang.

Swingewood (dalam Damono, 1984:13) mengatakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat, atau cermin suatu zaman. Karya sastra tidak pernah terlepas dari peristiwa dan suatu persoalan yang dihadapi masyarakat pada masa tertentu. Karya-karya yang lahir pada masa Balai Pustaka misalnya, berbeda dengan karya zaman Pujangga Baru dan angkatan ’45. Hal ini disebabkan oleh pengaruh keadaan masyarakat pada masa itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra adalah cermin kenyataan yang hidup dalam suatu masyarakat.

Karya sastra adalah ungkapan kesadaran pengarang, jadi bersifat subjektif. Karya sastra mengandung penilaian kehidupan nyata dalam bentuk pemikiran tertentu. Karya sastra adalah refleksi kesadaran pengarangnya tentang apa yang dialaminya, diketahuinya, sehingga realitas kehidupan menjadi realitas kesadaran pengarangnya. Sastra merupakan cerminan zamannya. "Pandangan ini beranggapan bahwa sastra merupakan cerminan langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain" (Damono, 1984:8-9).

Luxemburg, dkk. (1984:23) mengatakan, "Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu."


(11)

Sastra berhadapan dengan pemikiran, penghayatan, penilaian dan sikap hidup pengarangnya. Wellek dan Warren (1990:276) mengatakan,

Novel dianggap sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan), sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang dan zamannya. Tentu saja sastra harus bersifat menarik sastra harus memiliki struktur dan tujuan estetis, koherensi keseluruhan dan efek tertentu.

Pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra seorang pengarang mengandung kebenaran berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif, menarik dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman hidup manusia.

Damono (2002:1) menyatakan bahwa karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Wellek dan Warren (1990:112) juga mengatakan pengarang adalah "Warga masyarakat. Ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat pengarang tinggal dan berasal."

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan penafsiran kehidupan. Proses pengungkapan realita yang dilakukan


(12)

pengarang di dalam karya sastranya, tidak terlepas dari berbagai faktor yang secara sadar atau tidak sadar turut mempengaruhi ide, visi, atau sikap pengarangnya. Keseluruhan faktor tersebut berasal dari lingkungan masyarakat yang ditempati pengarang.

Novel Laskar Pelangi (selanjutnya disingkat LP) setebal 534 halaman ini merupakan sebuah novel yang telah mengalami cetak ulang sebanyak enam belas kali semenjak terbit pada September 2005 sampai dengan Januari 2008. Walaupun pengarang merupakan sastrawan pemula, tetapi karya-karyanya sudah menjadi

best seller. Laskar Pelangi merupakan buku pertama dari tetralogi Laskar

Pelangi. Buku berikutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah

Karpov. Menurut rencana, Laskar Pelangi akan diadaptasikan menjadi sebuah film. Film Laskar Pelangi akan diproduksi oleh Miles Productions dan Mizan Cinema dan digarap oleh sutradara Riri Rizal. Novel ini merupakan karya dari seorang pengarang Indonesia yang pernah menuntut ilmu di Sorbonne, Prancis. Novel ini bercerita tentang kehidupan sepuluh anak dari keluarga miskin yang bersekolah (SD dan SMP) di sekolah Muhammadiyah di pulau Belitong yang penuh dengan keterbatasan.

Menurut Hartono (2007), Novel LP penuh dengan taburan wawasan yang luas bak samudra dari pengarangnya yang paham betul tentang ilmu eksakta, seni budaya, dan humaniora. Ia juga menambahkan lagi bahwa novel ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan novel ini terletak pada sentilan humaniora tentang pentingnya pendidikan sekolah dan sekaligus kuatnya moral agama. Sedangkan kelemahan novel ini, terletak pada cara mengakhiri cerita. Seharusnya, novel ini sudah ditutup pada bab 33: Anakronisme, yang menceritakan kejatuhan


(13)

Bangka Belitung yang dulu bergelimang timah. Bab 34: Gotik, menjadi ekor cerita yang membingungkan karena penutur "Aku", Ikal tiba-tiba menjadi orang lain, bukan Ikal lagi. Bab 34 ini menjadi mubazir. Sama halnya dengan seorang pelukis yang seharusnya berhenti menguaskan catnya pada bidang lukisan yang sudah sempurna, tapi kemudian menjadi berantakan karena sebuah goresan yang tidak perlu.

Novel ini merupakan perjalanan hidup dari pengarang, mengenai masa kecil yang dihabiskannya di tanah kelahirannya yaitu pulau Belitong yang terkenal dengan timahnya. Budaya Melayu Belitong dan kemiskinan absolut masyarakat daerah pertambangan menjadi warna yang pekat melatarbelakangi kisah yang dituturkannya. Namun, dengan kepandaiannya bercerita, Andrea mampu menampilkan segala kekurangan dan keterbatasan hidup bukan hanya sebagai ironi dan tragedi, melainkan juga bisa berbentuk ria dan suka cita, angan dan kebahagiaan (Wikipedia Indonesia: 2008).

Pembaca yang membaca novel ini akan merasakan gambaran kemiskinan, seperti atap sekolah yang bocor, berdinding papan, berlantai tanah, dan pada malam hari sekolah Muhammadiyah dipakai untuk menyimpan ternak.

Bukan pertama kali kemiskinan dibahas, baik dalam skripsi maupun dalam jurnal. Antara lainnya "Kemiskinan dalam Novel Berkisar Merah karya Ahmad Tohari: Analisis Sosiologis oleh Kayad" dan "Tinjauan Terhadap faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Kelompok Etnis Tionghoa di Kecamatan Pemangkat Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat." Dalam Jurnal Ilmu Sosial Tentang Politik, Ekonomi, Hukum, dan Humaniora oleh Izhar Salim dkk.


(14)

Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial. Menurut Rampan (2008) "Pada dasarnya kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan atau kegeniusan. Sebagai penyakit sosial, kemiskinan harus diperangi dengan metode yang tepat guna." Karya sastra ini banyak berisikan tentang keadaan kehidupan masyarakat Belitong yang sebagian besar dalam keadaan melarat (miskin). Oleh sebab itu, penelitian ini menitikberatkan pada gambaran kemiskinan dan faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP karya Andrea Hirata.

1.2 Masalah

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah :

1.2.1 Bagaimanakah kemiskinan yang tergambar dalam novel LP?

1.2.2 Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan kemiskinan dalam novel LP?

1.3 Batasan Masalah

Karya sastra mengandung berbagai persoalan hidup dan kehidupan manusia. Dengan kalimat lain, karya sastra merupakan kompleksitas dalam kehidupan manusia. Di dalamnya tertuang berbagai bentuk kehidupan manusia. Untuk membahas permasalahan yang bersifat kompleks dalam sebuah karya sastra, diperlukan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai.

Berdasarkan judul penelitian ini, masalah penelitian dibatasi dengan hanya menggambarkan kemiskinan meliput i segi pendidikan, status sosial, kesenjangan


(15)

sosial, dan lingkungan. Selain menggambarkan kemiskinan tersebut, penelitian ini juga menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan seperti faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial, dan pengelolaan alam.

Pada akhirnya, semua ruang lingkup pembahasan ini merupakan sebuah deskripsi yang disertai analisis untuk memberikan pemahaman kepada pembaca terhadap novel LP.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1.4.1 Mengungkapkan dan memaparkan kemiskinan yang tergambar dalam novel LP.

1.4.2 Menguraikan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

Memperkaya pengkajian karya sastra Indonesia.

Menambah pengetahuan bagi mahasiswa Sastra Indonesia tentang nilai dan makna karya sastra.

Memperkaya bidang ilmu sastra dan mengembangkan lebih lanjut dengan mengkaji aspek lain dari sastra Indonesia.


(16)

1.6 Motode Penelitian

1.6.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research. Data dikumpul dari novel Laskar Pelangi. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode heuristik dan hermeneutik.

Pradopo (2003:80) menjelaskan,

Metode membaca heuristik pada cerita rekaan atau novel merupakan metode pembacaan berdasarkan tata bahasa ceritanya yaitu pembacaan novel dari awal sampai dengan akhir cerita secara berurutan, cerita yang memiliki alur sorot balik dapat dibaca secara alur lurus. Hal ini dipermudah dengan dibuatnya sinopsis cerita dari novel yang dibaca tersebut. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian cerita secara berurutan.

Menurut Nasution (2003:312),

Hermeneutik adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti dan lebih dipentingkan daripada mengambil jarak dari objeknya. Penghayatan, pemahaman, dan penafsiran terhadap objek merupakan ciri khas metode ini. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknya.

Sedangkan menurut Teeuw (1984:123), “Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.”

Selain itu, Teeuw (1984:123) juga mengatakan bahwa dalam praktik interpretasi sastra itu dipecahkan secara dialektik, bertangga, dan lingkaran dalam bentuk spiral.

Nasution (2003:312) juga menjelaskan lagi,

Seorang penafsir tidak boleh bersikap pasif, ia harus merekonstruksikan makna yang terdapat dalam sebuah karya dan berusaha menginterpretasikan pesan dan tujuan dari si pengarang. Penafsir sebaiknya melihat aspek dalam dan luar dari karya itu dengan tujuan agar sampai pada makna yang terkandung di dalamnya. Maka bukanlah sekedar


(17)

isyarat yang dibawa oleh suatu bahasa sebab bahasa sekaligus dapat menunjukkan dan menyembunyikan makna tersebut.

Teknik yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data adalah dengan mencatat pada kartu data. Kartu data dibuat sesuai dengan kebutuhan permasalahan penelitian.

1.6.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Data dianalisis dengan mendeskripsikan data yang sudah dicatat pada kartu data sesuai dengan masalah yang ditawarkan. Pendeskripsian dimulai dengan menggambarkan kemiskinan dan faktor-faktor penyebab kemiskinan dalam novel LP.

1.6.3 Bahan Analisis

Adapun yang menjadi bahan analisis adalah:

Judul : Laskar Pelangi

Pengarang : Andrea Hirata Penerbit : Bentang Pustaka Tebal Buku : 534 Halaman Ukuran : 13 cm x 20.5 cm Cetakan : Keenam belas

Tahun : 2008

Warna Sampul : warna hitam, merah, kuning, abu-abu, dan putih Gambar sampul : gambar beberapa anak yang melihat matahari terbenam Desain sampul : Andreas Kusumahadi


(18)

Sinopsis

Novel ini diawali dari penerimaan siswa baru SD Muhammadiyah. Pada hari terakhir yang mendaftar hanya sembilan orang yaitu: Ikal, Mahar, Lintang, Samson, Sahara, A-Kiong, Syahdan, Trapani, dan Kucai. Saat itu, seorang guru yang bernama Bu Mus dan kepala sekolah yang bernama Pak Harfan merasa gelisah karena pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah menetapkan peraturan yakni siswa baru minimal sepuluh orang. Kalau kurang dari sepuluh, maka sekolah itu akan ditutup. Pada akhirnya, sekolah itu tidak jadi ditutup karena Harun datang mendaftar, sehingga SD tersebut terselamatkan.

Sekolah Muhammadiyah adalah salah satu sekolah termiskin di Belitong. Bangunannya seperti akan roboh dan mirip gudang kopra. Selain itu, sekolah Muhammadiyah kekurangan guru dan hanya memiliki enam kelas dan ruangan kecil. Kalau pagi untuk SD dan sore untuk SMP.

Pada kegiatan belajar, kesepuluh siswa kelas satu itu mempunyai semangat belajar yang tinggi, walaupun orang tua mereka berat menyekolahkan karena beranggapan lebih baik bekerja membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari daripada sekolah.

Salah satu siswa yang mempunyai semangat membara adalah Lintang. Walaupun jarak antara sekolah dan rumahnya sangat jauh, kira-kira delapan puluh kilometer pulang dan pergi, tetapi Lintang tidak pernah bolos sekolah. Lintang menempuh jarak itu dengan mengendarai sepeda setiap hari. Lintang adalah siswa yang genius terutama di bidang eksakta. Selain Lintang, ada juga Mahar yang mempunyai bakat istimewa di bidang kesenian.


(19)

Walaupun kesepuluh siswa itu kehidupannya miskin, tetapi mereka sama dengan kebanyakan anak yang gemar bermain. Mereka mempunyai permainan tradisional yang tidak kalah menyenangkan. Permainan itu bernama “tarak” yang berasal dari buah karet. Cara permainan “tarak” yaitu dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tidak pecah adalah pemenangnya. Bu Mus menjuluki kesepuluh siswa itu Laskar Pelangi karena mereka suka melihat pelangi dari atas dahan-dahan pohon fillicium.

Pada setiap bulan Agustus biasanya diadakan perlombaan antarsekolah yang selalu dimenangkan oleh sekolah PN (Perusahaan Negara) Timah. Sekolah PN Timah adalah sekolah yang elit dan hanya orang kaya saja yang dapat sekolah di sana. Namun, bulan Agustus ini berbeda karena sekolah Muhammadiyah memenangkan perlombaan tersebut. Hal itu terjadi karena adanya ide Mahar. Mahar membuat koreografi massal suku Masai dari Afrika dan menggunakan aksesoris kalung yang terbuat dari buah aren yang masih hijau dan ditusuk dengan tali rotan yang kecil. Pada saat anggota Laskar Pelangi lainnya menari-nari dan bergerak dengan lincah, buah aren itu akan mengeluarkan getah. Getah ini menimbulkan rasa gatal. Akibat rasa gatal ini, para penari Masai bergerak membabi buta karena menahan rasa gatal. Di sinilah kunci kemenangan sekolah Muhammadiyah.

Setelah tamat dari SD Muhammadiyah, kesepuluh siswa tersebut melanjutkan ke SMP Muhammadiyah yang sama. Ketika diadakan perayaan Agustusan, di samping mengikuti perlombaan, mereka juga berekreasi. Namun, mereka hanya berekreasi ke pantai, yang jaraknya enam puluh kilometer dari kampung mereka, sedangkan siswa-siswa PN Timah berekreasi ke Jakarta.


(20)

Selanjutnya diceritakan Ikal jatuh cinta pada masa SMP dengan gadis Tionghoa yang bernama A-Ling, sepupu A-Kiong. Perjalanan cinta mereka hanya sebentar karena A-Ling pindah ke Jakarta untuk menemani bibinya.

Lalu kisah berlanjut, pada saat Mahar menemukan Flo yang tersesat di Gunung Selumar pada saat berkemah. Flo adalah siswa PN Timah dan anak orang kaya. Setelah beberapa hari Flo diselamatkan oleh Mahar, Flo pindah ke SMP Muhammadiyah. Pada saat itu juga, Flo resmi diangkat menjadi anggota Laskar Pelangi yang kesebelas dan perempuan kedua setelah Sahara.

Empat bulan sebelum menyelesaikan SMP, Lintang berhenti sekolah karena ayahnya meninggal dunia dan ia harus menggantikan posisi ayahnya menjadi tulang punggung keluarga dan menanggung nafkah ibu, adik-adik, kakek-nenek, dan paman-pamannya yang tidak berdaya. Ia tidak punya peluang untuk melanjutkan sekolah. Ia harus mengambil alih menanggung nafkah untuk empat belas orang. Sekolah Muhammadiyah kehilangan siswa yang super genius.

Dua belas tahun kemudian, Sahara akhirnya menikah dengan A-Kiong dan membuka toko kelontong. Ikal menjadi tukang pos dan dengan kerja kerasnya mampu mendapatkan beasiswa ke Jakarta dan kuliah di Universitas Indonesia. Lintang menjadi kuli karena kekurangan biaya dan harus menopang biaya hidup keluarganya, Trapani yang menderita penyakit mother complex, akhirnya sembuh. Samson akhirnya menjadi kuli di toko A-Kiong. Harun masih seperti dahulu. Bedanya, kalau dulu, anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa dan sekarang, orang dewasa yang terperangkap dalam alam pikiran anak kecil. Flo menjadi guru TK dan menikah dengan seorang petugas teller bank BRI. Mahar,


(21)

menjadi penulis artikel kebudayaan Melayu. Syahdan menjadi manager di perusahaan Multinasional, dan Kucai menjadi ketua salah satu fraksi di DPRD.

1.7 Landasan Teori

Sebuah penelitian perlu ada landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi tumpuan seluruh pembahasan.

Landasan teori yang dipergunakan untuk mengkaji novel LP dalam penelitian ini adalah teori Sosiosastra. Damono (1987:58) mengatakan, “Suatu pokok yang penting ditinjau dari segi sosiologis adalah pada mulanya para pengarang erat sekali hubungannya dengan pembaca, yakni pihak istana atau masyarakat. Mereka berbagi pandangan dunia sehingga tercapailah totalitas dalam karya mereka.”

Penulis memilih teori sosiosastra karena dengan menggunakan teori ini akan diketahui dengan jelas penggambaran suatu masyarakat di dalam sebuah karya sastra. Pradopo, (2002: 22) mengatakan “Sosiosastra berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis, yaitu masyarakat yang melingkungi penulis sebab sebagai anggotanya penulis tak dapat lepas darinya.” Selanjutnya Damono (1978: 56) menambahkan lagi bahwa “Sosiosastra mencakup kepada pengarang, buku, dan pembaca.”

Mahayana (2007: 225) berpendapat,

Karya sastra adalah produk pengarang yang hidup di lingkungan sosial. Dengan begitu, karya sastra merupakan dunia imajinatif pengarang yang selalu terkait dengan kehidupan sosial. Pengarang sebagai anggota masyarakat dilahirkan, dibesarkan, dan memperoleh pendidikan di tengah-tengah kehidupan sosial. Oleh karena itu, ia juga secara sadar atau tidak telah menjalankan peranannya sebagai anggota masyarakat sejak ia lahir.


(22)

Sedangkan Ratna (2003: 1) berpendapat, “Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.” Perbedaan antara sosiolog dengan sastrawan adalah apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi didominasi oleh emosionalitas. Oleh karena itu, apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektivitas sedangkan hakikat karya sastra adalah subjektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan masing-masing.

Sosiosastra dengan menggabungkan dua disiplin ilmu yang berbeda, sosiologi dan sastra secara harfiah harus didukung oleh dua teori yang berbeda yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Di dalam penelitian sosiosastra itu sendiri, karya sastra merupakan objek yang paling dominan, sedangkan ilmu-ilmu yang lain hanyalah sebagai ilmu pembantu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna, (2004:18) yang mengatakan,

Masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dominasinya dalam analisis sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat tercapai secara maksimal. Dalam sosiosastra yang mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer (pelengkap).


(23)

Ratna (2003:18) juga menambahkan,

Teori-teori sosiologi yang mendukung analisis sosiologi adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khusus dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, status sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, dan kesadaran sosial, yang semua berhubungan dengan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu gambaran bahwa kedua ilmu tersebut mempunyai satu objek penelitian yang sama yakni manusia.

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosiologi, tetapi jika kemiskinan itu dijadikan pembicaraan pada sebuah karya sastra, seperti pada LP, maka kemiskinan menjadi permasalahan sosiosastra. Oleh karena itu, konsep-konsep, kriteria-kriteria, dan definisi tentang kemiskinan itu perlu dikemukakan. Hal ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis kemiskinan dalam LP. Beberapa konsep kemiskinan yang dimuat pada website Feri’s Site (2008) di antaranya:

1. Menurut John Friedman

Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan

basis kekuasaan sosial, meliputi, modal yang produktif, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik (Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek sosial saja, tapi juga aspek natural material).

2. Menurut Wolf Scott

Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan (dalam

jumlah uang) ditambah dengan keuntungan nonmaterial yang diterima seseorang, cukup tidaknya memiliki aset seperti tanah, rumah, uang, emas dan lain-lain, di mana kemiskinan nonmaterial yang meliputi kebebasan hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak.


(24)

3. Menurut Bank Dunia

Bahwa aspek kemiskinan yaitu pendapatan yang rendah, kekurangan gizi atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah, kekurangan gizi atau keadaan kesehatan yang buruk serta pendidikan yang rendah.

Kemiskinan itu bersifat relatif, tergantung dari sudut mana memandangnya. Seperti yang dikatakan Penny (1990:44), “Kemiskinan merupakan suatu konsep yang bersifat relatif; masyarakat miskin adalah mereka yang berpenghasilan jauh kurang daripada yang lebih baik.”

Masalah kemiskinan telah ada sejak manusia hidup. Pada masa lalu, umumnya masyarakat miskin bukan karena kurang pangan tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan model pada masa kini, mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan,dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Dalam novel LP masalah kemiskinan sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka terutama masyarakat Melayu asli Belitong. Walaupun kekayaan alamnya sangat kaya tetapi masyarakatnya tidak hidup dengan layak baik kesehatan, pendidikan, pekerjaan maupun kemudahan-kemudahan lainnya.

Kemiskinan ialah satu keadaan di mana seseorang itu kekurangan bahan-bahan keperluan hidup. Dalam masyarakat modern, kemiskinan biasanya disamakan dengan kekurangan uang. Menurut Ath-Thawil (1985:36),

Kemiskinan dikenal sebagai tiadanya kemampuan untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan ini dianggap pokok karena ia menyediakan batas kecukupan minimum untuk hidup manusia, khalifah Allah di atas bumi yaitu kehidupan yang baik dengan tingkatan kemuliaan yang dilimpahkan Allah atas dirinya.


(25)

Menurut Yusniati (2007:13), “Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.”

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial-ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, namun juga dialami negara-negara maju seperti Inggris (tahun 1700-an) dan Amerika (tahun 1930-an).

Menurut Para Kontributor Wikipedia (2008),

Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subjektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin.”

Lebih lanjut Para Kontributor Wikipedia (2008) menjelaskan bahwa kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.

• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.


(26)

Yusniati menambahkan lagi (2007:13-15), “Kemiskinan adalah suatu kondisi di mana seseorang yang tidak sanggup memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental dan fisiknya dalam kelompok tersebut.”

Lebih lanjut Hadi (2008) berpendapat, kemiskinan banyak dihubungkan dengan:

• Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin; penyebab keluarga yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;

• Penyebab sub-budaya (“subkultural”), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;

• Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;

Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, dan politik. Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah rendah, dan daya tawar rendah, tabungan nihil. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan


(27)

kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, dan posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan.

Menurut Zulkarnain (2006:64) kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian yaitu:

1. Kemiskinan absolut, apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan pendidikan.

2. Kemiskinan relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan, namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.

3. Kemiskinan kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekali pun ada kuasa dari pihak lain untuk membantunya.


(28)

BAB II

GAMBARAN KEMISKINAN DALAM NOVEL LASKAR PELANGI

Novel LP menggambarkan kehidupan masyarakat Belitong yang hidup

dalam kemiskinan. Novel ini menceritakan tentang sepuluh anak Belitong yang lahir dan tumbuh di pulau kaya timah di Indonesia. Namun, pulau yang semestinya kaya raya itu ternyata justru penduduknya miskin tidak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga pendidikan. Masyarakat asli Belitong dalam novel LP termasuk dari kemiskinan absolut karena masyarakat Belitong miskin sejak dari leluhurnya dan bertahun-tahun hidup dalam kemelaratan. Sedangkan, yang menguasai perekonomian di Belitong adalah komunitas masyarakat Gedong PN Timah yang hidup dengan segala kemewahan dan fasilitas yang lebih dari cukup dan berasal dari luar pulau Belitong;

“Kekuatan ekonomi Belitong dipimpin oleh orang staf PN dan para cukong swasta yang mengerjakan setiap konsesi eksploitasi timah. Mereka menempati strata tertinggi dalam lapisan yang sangat tipis.” (LP: 55).

Walaupun mereka hidup dalam keadaan miskin, tetapi anak-anak Laskar Pelangi mempunyai semangat untuk sekolah. Kekurangan mereka tidak menyurutkan langkah untuk mencapai cita-cita. Di samping sekolah, mereka juga membantu orang tua mereka untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti menjadi kuli kopra, tukang parut, dan lain-lain.

Hal ini sejalan dengan pandangan Levitan (dalam Bayo Ala, 1981:3) yang mengatakan kemiskinan adalah “Kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak, karena standar hidup itu berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang


(29)

diterima secara universal.” Oleh karena itu, kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja tetapi juga menyangkut aspek-aspek nonmaterial seperti dikatakan oleh Wriggins (dalam Bayo Ala, 1981:4) bahwa menurut cerita lama, tidak seorang pun hanya hidup dari roti saja, maka kemiskinan absolut juga mempunyai dimensi nonmaterial di samping aspek material ini atau seperti yang disimpulkan oleh Scott (dalam Bayo Ala, 1981:3) yaitu:

1. Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan nonmaterial yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan didefinisikan meliput i kekurangan atau tidak memiliki pendidikan dan keadaan kesehatan yang buruk.

2. Kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki aset-aset seperti tanah, rumah, peralatan, uang, emas, dan lain-lain.

3. Kemiskinan nonmaterial meliputi berbagai macam kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga, dan kehidupan yang layak.

Novel ini menceritakan kisah nyata dari pengarangnya, memberikan informasi sosial dan budaya dari suatu daerah di Indonesia yang selama ini terabaikan. Andrea mengenalkan salah satu bagian Indonesia yang hanya dikenal sebagai penghasil timah, tetapi orang tidak pernah tahu arti tambang timah itu bagi penduduk pulau tersebut. Membaca novel ini menghasilkan perenungan bahwa masa kecil yang indah dan bahagia tidaklah harus bisa dicapai dengan


(30)

kecukupan atau kelimpahan materi, seperti tokoh Flo, putri seorang pejabat PN Timah, memilih meninggalkan sekolahnya yang elit dan bergabung dengan anak-anak miskin di sekolah Muhammadiyah untuk memenuhi rasa kosongnya di tengah-tengah limpahan harta benda dan hidup yang penuh kemudahan nyaris tanpa tantangan. Novel LP merupakan produk dari lingkungan tempat pengarangnya bermukim. Karya sastra sebagai produk dari masyarakat juga menggambarkan masyarakat tempat karya itu diciptakan. Sebagaimana dikatakan Sumardjo (1981:24) bahwa novel Indonesia masih bertumpu pada realisme formal yang bergantung di suatu masyarakat tertentu, penggambaran suatu masyarakat inilah yang dimaksudkan dengan penggambaran sosial. Maka, jelaslah bahwa novel yang ditulis oleh sastrawan Indonesia sebagian besar menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia dengan segala masalahnya, seperti pendidikan, kesehatan, politik, kemiskinan, dan sebagainya.

Andrea adalah seniman kata-kata yang mampu menampilkan deskripsi dengan detail yang kuat tentang sosial kemasyarakatan yang ada di Belitong, seperti menggambarkan kondisi ruang kelas yang minim dari benda-benda hiasan. Penggambaran kondisi ruang kelas itu dapat dilihat pada kutipan berikut;

“Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya terdapat di kelas-kelas Sekolah Dasar. Kami juga tidak memiliki kalender dan tak ada gambar presiden dan wakilnya, atau gambar seekor burung aneh berekor delapan helai yang selalu menoleh ke kanan itu. Satu-satunya tempelan di sana adalah sebuah poster, persis di belakang meja Bu Mus untuk menutupi lubang besar di dinding papan. Poster itu memperlihatkan gambar seorang pria berjenggot lebat. memakai jubah, dan ia memegang gitar penuh gaya. Matanya sayu tapi meradang, seperti telah mengalami cobaan hidup yang maha dahsyat. Dan agaknya ia memang telah bertekad bulat melawan segala bentuk kemaksiatan di muka bumi. Di dalam gambar tersebut sang pria tadi melongok ke langit dan banyak sekali uang-uang kertas serta logam berjatuhan menimpa wajahnya. Di bagian bawah poster itu terdapat dua baris kalimat yang tak kupahami. Tapi nanti setelah naik ke kelas dua dan sudah pintar membaca,


(31)

aku mengerti bunyi kedua kalimat itu adalah: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT!” (LP: 19-20).

Tidak hanya penggambaran kondisi ruang kelas yang minim, ada juga penggambaran keadaan fisik sekolah Muhammadiyah yang sangat sederhana. Berikut kutipannya;

“Sekolah kami tidak dijaga karena tidak ada benda berharga yang layak dicuri. Satu-satunya benda yang menandakan bangunan itu sekolah adalah sebatang tiang bendera dari bambu kuning dan sebuah papan tulis hijau yang tergantung miring di dekat lonceng. Lonceng kami adalah besi bulat berlubang-lubang bekas tungku. Di papan tulis itu terpampang gambar matahari dengan garis-garis sinar berwarna putih. Di tengahnya tertulis:

SD MD

Sekolah Dasar Muhammadiyah.” (LP: 18-19).

Kekuatan deskripsi Andrea juga tampil memukau saat menggambarkan tarian suku Masai Afrika dalam karnaval 17 Agustus, yang memainkan imajinasi pembaca. Metafor-metafor yang dipakainya indah dan sering kali tidak biasa, namun sangat memikat, seperti penggambarannya untuk sekawanan kupu-kupu yang sering mendatangi pohon-pohon fillicium di halaman sekolah mereka. Berikut kutipannya;

”Saat ratusan pasang danube clouded yellow berpatroli melingkari lingkaran daun-daun fillicium, maka mereka menjelma menjadi pasir kuning di Dermaga Olivir. Sayap-sayap yang menyala itu adalah fatamorgana pantulan cahaya matahari, berkilauan di atas butiran-butiran ilmenit yang terangkat abrasi. Sebuah daya tarik Belitong yang lain, pesona pantai dan kekayaan material tambang yang menggoda.” ( LP: 158).

Kemudian Andrea juga mampu mendeskripsikan keadaan rumah orang staf (Gedong) yang sangat mewah, indah, dan siapa pun ingin melihat secara langsung pendeskripsian tersebut. Dapat disimak pada kutipan di bawah ini;

“Setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar-selasar panjang. Itulah rumah utama sang majikan, rumah bagi


(32)

para pembantu, garasi, dan gudang-gudang. Selasar-selasar itu mengelilingi kolam kecil yang ditumbuhi Nymphae caereulea atau the blue waterlily yang sangat menawan dan di tengahnya terdapat patung anak-anak gendut semacam Manequin Pis legenda negeri Belgia yang menyemprotkan air mancur sepanjang waktu dari kemaluan kecilnya yang lucu.” (LP: 43).

Karena Andrea adalah seorang seniman kata-kata sehingga beliau pandai merangkai kata-kata dan paham betul dengan nama-nama Latin tumbuhan sehingga kata-katanya diolah dan dibaur dengan nama-nama Latin tumbuhan tersebut dan menghasilkan penggambaran yang indah. Ini terlihat pada deskripsi Gunung Selumar ketika anak-anak Laskar Pelangi mendaki gunung tersebut. Berikut kutipannya;

“Sandarkan tubuh berlama-lama di salah satu pokok pohon angsana tempat anak-anak tupai ekor kuning rajin bermain. Dengarkan orkestra daun-daun pohon jarum dan jeritan histeris burung-burung kecil matahari yang berebut sari bunga jambu mawar dengan kumbang hitam. Nikmati komposisi lanskap yang manis antara gunung, lembah, sungai, dan laut. Longgarkan kancing baju dan hirup sejuk angin selatan yang membawa aroma daun Anthurium andraeanum, yaitu bunga hati yang tumbuh semakin subur beranak pinak mengikuti ketinggian.” (LP: 287).

Selain itu, dengan kata-kata juga dapat menghilangkan rasa sedih dan menjadi obat penawar bagi yang membacanya. Ini terlihat pada tokoh Ikal yang patah hati karena ditinggal pergi oleh A-Ling. Sebagai pelipur lara, Ikal selalu membaca keindahan Edensor yang sangat memukau. Baca kutipan di bawah ini;

“Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling-guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua….Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah-lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan.” (LP: 333).

Di samping penggambaran ruang kelas, keadaan fisik sekolah, rumah orang Gedong, tarian suku Masai Afrika, keindahan Gunung Selumar, dan


(33)

Edensor, Andrea juga pandai dalam mendeskripsikan keadaan laut yang indah dan tenang, berubah seketika menjadi ganas ketika perjalanan anggota Societeit menuju Pulau Lanun untuk menemui dukun sakti Tuk Bayan Tula agar lulus ujian akhir. Pelukisan ini terlihat jelas pada kutipan berikut;

“Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersuka cita. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai terbanting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai mendung. Badai besar akan menghantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.” (LP: 407).

Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa karya sastra dapat diyakini sebagai gambaran kehidupan suatu masyarakat. Karya sastra adalah produk masyarakat zamannya. Obsesi sastrawan juga merupakan bahan untuk menciptakan karya sastra. Masyarakat dan karya sastra mempunyai hubungan yang kait-mengait bagaikan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan.

Gambaran kemiskinan yang ditampilkan dalam novel LP ini dapat diuraikan lebih terperinci dari beberapa segi, seperti segi pendidikan, status sosial, kesenjangan sosial, dan lingkungan. Keempat segi inilah yang akan dianalisis lebih terperinci sehingga kemiskinan itu betul-betul menjadi suatu gambaran yang dominan dalam novel tersebut.


(34)

2.1 Segi Pendidikan

Masyarakat asli Belitong dalam novel LP hidup dalam kemiskinan, dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup serba kekurangan. Pendidikan bagi mereka merupakan hal yang tabu dan hanya buang-buang waktu karena bagi mereka untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti makan pun susah apalagi sekolah. Menurut mereka dengan memasukkan anak ke sekolah akan menambah daftar pengeluaran dan tidak dapat menambah penghasilan. Oleh karena itu, orang tua banyak yang mengantarkan anaknya ke juragan pantai atau menjadikan anaknya sebagai kuli di pasar daripada mendaftarkan anaknya ke sekolah. Perhatikan kutipan berikut ini;

“Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikat diri pada biaya selama belasan tahun.” (LP: 2-3).

Para orang tua (penduduk asli) tidak menyadari bahwa sekolah ataupun pendidikan sangat penting bagi masa depan anak-anak mereka, karena pendidikan adalah modal utama bagi proses pembangunan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, sasaran yang ingin dicapai adalah untuk melahirkan generasi muda Indonesia yang penuh vitalitas, visi, serta persepsi yang luas di samping meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Selain ada orang tua yang tidak menyadari pentingnya pendidikan, tetapi ada juga orang tua yang menyadari bahwa pendidikan sangat penting. Salah satunya adalah orang tua Lintang. Sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini;


(35)

“Ayahnya, yang seperti orang Bushman itu, sekarang menganggap keputusan menyekolahkan Lintang adalah keputusan yang tepat, paling tidak ia senang melihat semangat anaknya menggelegak. Ia berharap suatu waktu di masa depan nanti Lintang mampu menyekolahkan lima orang adik-adiknya yang lahir setahun sekali sehingga berderet-deret rapat seperti pagar, dan lebih dari itu ia berharap Lintang dapat mengeluarkan mereka dari lingkaran kemiskinan yang telah lama mengikat mereka hingga sulit bernafas.” (LP: 95).

Kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua Lintang berharap dengan pendidikan dapat mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hamalik (2003: 2) yang mengatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.” Selanjutnya Hamalik (2003: 3) menambahkan lagi,

Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkannya untuk berfungsi secara adekwat dalam kehidupan masyarakat. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Hal ini dipertegas lagi oleh Hidayatulhaq (2008) yang mengutip pendapat Frederick J. Mc Donald yang mengatakan, “Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh seseorang.”

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir seseorang serta dapat membawa perubahan kepada seseorang ke arah yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan dan berguna bagi masyarakat di sekitarnya.


(36)

Inilah yang dilakukan orang tua Flo. Beliau adalah salah satu orang Melayu asli Belitong yang pintar dan menjadi orang staf. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut;

“Bapak Flo adalah orang hebat, seseorang yang amat terpelajar. Ia adalah insinyur lulusan terbaik dari Technische Universiteit Delf di Holland dari fakultas Werktuiqbouwkunde, Maritieme Techniek dan Technische Material wetenschappen, yang artinya kurang lebih: jago teknik. Ia adalah salah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampong yang mampu mencapai karier tinggi di jajaran elit orang staf karena kepintarannya.” (LP: 46-47).

Dari uraian petikan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang pintar yang punya pendidikan tinggi akan mengangkat harkat dan martabat seseorang di tengah-tengah masyarakat. Selain memiliki pendidikan yang tinggi, dengan keterampilan yang dimilikinya akan mempermudah seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ataupun karir yang bagus. Hal ini sejalan dengan pendapat Hidayatulhaq (2008) bahwa pendidikan merupakan jalan yang tepat untuk mengangkat manusia dari berbagai ketinggalan, termasuk dari lembah kemiskinan. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih untuk menjadi manusia yang bermoral. Melalui pendidikan, selain memperoleh kepandaian berupa ketrampilan berolah pikir, manusia juga memperoleh wawasan baru yang akan membantu mengangkat harkat hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anak dari suatu bangsa. Akan tetapi, pada kenyataan bahwa pendidikan dan sistem pendidikan, baik dari sudut isi maupun pelaksanaannya semakin lama semakin tidak relevan dan mahal sehingga orang miskin yang ingin memanfaatkan pendidikan bagi perbaikan kehidupan tidak bisa ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan kalimat


(37)

lain, pendidikan yang tinggi akan mengangkat harkat dan martabat seseorang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, tanpa pendidikan akan tetap menjadi orang yang bodoh.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadaan para anggota Laskar Pelangi hidup dalam keadaan miskin tetapi mereka tidak pernah merasa lelah. Malah, menambah semangat mereka untuk menimba ilmu sehingga mereka tumbuh menjadi anak yang cerdas. Salah satunya adalah Lintang yang tumbuh menjadi anak yang cerdas. Simak pada kutipan ini;

“Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.” (LP: 373).

Walaupun jarak antara sekolah dengan rumah Lintang sangat jauh dan sepanjang perjalanan banyak bahaya yang mengancam, tetapi dia tidak pernah bolos sekolah sekalipun karena dia menyadari bahwa pendidikan itu sangat penting dan dia juga haus ilmu pengetahuan. Berikut kutipannya;

“Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilometer pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya. Pada suatu hari rantai sepedanya putus, tapi ia tak menyerah. Dituntunnya sepeda itu puluhan kilometer dan sampai di sekolah, kami sudah bersiap-siap akan pulang. Tak tampak kelelahan di matanya yang berbinar jenaka. Setelah itu, ia pulang dengan menuntun sepedanya lagi sejauh empat puluh kilometer.” (LP: 93-94).

Dalam kurikulum pendidikan Muhammadiyah, selain mendapatkan pendidikan umum, anak-anak Laskar Pelangi juga diberikan pendidikan agama


(38)

agar mereka tetap menjadi anak-anak yang soleh dan sholeha. Misalnya ketika Samson memberikan rahasia keindahan tubuhnya dengan cara pintas menuju kesempurnaan penampilan seorang lelaki kepada Ikal yaitu menekankan secara paksa bola tenis ke dada Ikal. Serta merta Ikal meronta dan berhasil melarikan diri dari paksaan Samson. Tetapi akibat tekanan bola tenis yang ada di dada Ikal, meninggalkan bekas yaitu tanda bulat merah kehitam-hitaman. Pada saat Ibunya menanyakan tanda itu, dia tidak berani berbohong karena dia ingat pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan yang diajarkan Bu Mus. Berikut kutipannya;

“Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku tak berkutik, kerena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu.” (LP: 82).

Selain diajarkan pendidikan agama oleh Bu Mus, anak-anak Laskar Pelangi juga mendapatkan pelajaran agama dari Pak Harfan agar rajin salat, lewat kisah kaum Nabi Nuh yang ingkar kepada Allah dan tidak mau mengikuti ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Nuh yaitu tidak mau mengerjakan salat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut;

“Bapak yang jahitan kerah kemejanya telah lepas itu bercerita tentang perahu Nabi Nuh serta pasangan-pasangan binatang yang selamat dari banjir bandang. “Mereka yang ingkar telah diingatkan bahwa air bah akan datang…,”demikianlah ceritanya dengan wajah penuh penghayatan. “Namun, kesombongan membutakan mata dan menulikan telinga mereka hingga mereka musnah dilamun ombak….” Sebuah kisah yang sangat mengesankan. Pelajaran moral pertama bagiku: Jika tak rajin solat maka pandai-pandailah berenang.” (LP: 22).

Berbeda dengan Pak Harfan yang memberikan pelajaran agama lewat kisah-kisah para nabi, Bu Mus guru yang memiliki karisma tinggi dan sangat dihormati murid-muridnya secara tegas mengatakan kepada muridnya untuk salat


(39)

tepat waktu agar mendapat pahala lebih banyak. Berikut kutipannya yang menunjukkan hal tersebut;

“Shalatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami. Bukankah ini kata-kata yang diilhami surat An-Nisa dan telah diucapkan ratusan kali oleh puluhan khatib? Sering kali dianggap sambil lalu saja oleh umat. Tapi jika yang mengucapkannya Bu Mus kata-kata itu demikian berbeda, begitu sakti, berdengung-dengung di dalam kalbu. Yang terasa kemudian adalah penyesalan mengapa telah terlambat shalat.” (LP: 31).

Walaupun setiap hari anak-anak Laskar Pelangi mendapatkan pendidikan agama, tetapi tidak berpengaruh terhadap Mahar. Mahar memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal yang gaib dan menghabiskan waktu untuk kegiatan perdukunan yang membelakangi ayat-ayat Allah sehingga mulai menyimpang dari ajaran Islam. Hal ini membuat Bu Mus murka dan merasa kecewa dengan sikap Mahar. Untuk lebih jelasnya, simak kutipan berikut;

“Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama: “Hiduplah hanya dari ajaran Al-Qur’an, Hadist, dan Sunnatullah, itulah pokok-pokok tuntunan Muhammadiyah. Insya Allah, nanti setelah besar engkau akan dilimpahkan rezeki yang halal dan pendamping hidup yang sakinah. Disambung berita penting: “Klenik, ilmu ghaib, takhayul, paranormal, semuanya sangat dekat dengan pemberhalaan. Syirik adalah larangan tertinggi dalam Islam.” (LP: 350-351).

Dari petikan di atas, jelaslah bahwa penggambaran kemiskinan dalam bidang pendidikan dalam novel LP sangat kental. Bagi sebagian masyarakat Belitong, pendidikan hanya membuang waktu. Mereka lebih baik bekerja daripada sekolah, sehingga banyak sekali anak-anak yang seharusnya berada di sekolah menuntut ilmu tetapi malah berada di pasar dan dijadikan kuli untuk membantu orang tuanya mencari nafkah untuk membantu memenuhi kehidupan sehari-hari.


(40)

2.2 Segi Status Sosial

Status sosial dalam novel LP sangat kontras antara penduduk asli Belitong dengan komunitas Gedong. Adanya status sosial dalam masyarakat asli Belitong yang hidup dalam keadaan miskin dengan komunitas Gedong yang hidup jauh lebih baik dan kaya adalah sesuatu yang harus diterima. Sebab Setiap manusia yang masih bayi dilahirkan dalam status sosial yang dimiliki orang tuanya. Dalam kenyataannya, tidak ada seorang pun dapat memilih status sosialnya sendiri. Status dipaksakan oleh keadaan yang harus diterima, tidak peduli kemudian hari ia senang atau tidak senang, harus menerima kedudukan ayahnya, yang misalnya seorang petani atau buruh. Setiap orang menyandang nasib yang sama yakni ia tidak dapat memilih kualitas biologis dan sosiologis kedua orang tuanya sesuai dengan keinginannya sendiri. Sama halnya dengan kenyataan bahwa ia tidak dimintai persetujuannya, apakah mau dilahirkan atau tidak. Demikian juga, anak-anak Laskar Pelangi dalam novel LP juga tidak dapat memilih untuk memiliki orang tua yang kaya. Mereka hidup dalam kemiskinan turun-temurun. Orang tua anak-anak Laskar Pelangi bekerja sebagai nelayan dan buruh di PN Timah. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut;

“Seperti Lintang, Syahdan yang miskin juga anak seorang nelayan. Tapi bukan maksudku mencela dia, karena kenyataannya secara ekonomi kami, sepuluh kawan sekelas ini, memang semuanya orang susah. Ayahku, contohnya, hanya pegawai rendahan di PN. Timah. Penghasilan ayahku lebih rendah dibandingkan penghasilan ayah Syahdan yang bekerja di bagan dan gudang kopra, penghasilan sampingan Syahdan sendiri sebagai tukang dempul perahu, serta ibunya yang menggerus pohon karet. Kemudian bapaknya A-Kiong yang menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi juga amat miskin.” (LP: 67-68).


(41)

Namun setelah anak-anak tadi tumbuh dewasa baru dapat menilai situasi dan kondisinya sendiri serta keluarganya. Ia dapat menggunakan kebebasan yang ada padanya untuk menerima atau memperbaiki nasib itu. Kenyataan membuktikan bahwa tidak sedikit anak yang berhasil meraih kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada kedudukan orang tuanya.

Sama halnya dengan anak-anak Laskar Pelangi juga memiliki status sosial yang jauh lebih tinggi dari orang tua mereka. Walaupun untuk mencapai itu butuh perjuangan dan kerja keras, seperti yang dikatakan Hendropuspito (2004: 108-109), mengatakan status dapat diperoleh dari:

1. Achieved status diperoleh seseorang bukan secara kebetulan, melainkan

atas usaha sendiri. Misalnya si A adalah seorang anak petani. Berkat ketekunan dalam pelajaran di Sekolah Dasar sampai dengan perguruan tinggi, ia berhasil menjadi seorang insinyur.

2. Ascribed status diperoleh orang tanpa usaha sendiri. Seorang Sultan,

misalnya Hamengkubuwono IX, dapat menduduki jabatan sultan bukan semata-mata karena usahanya sendiri, melainkan karena keturunan.

Berdasarkan uraian di atas, dalam novel LP termasuk dari Achieved Status yaitu memperoleh status sosial yang tinggi atas usaha dan kerja keras mereka sendiri. Setelah dewasa anak-anak Laskar Pelangi tumbuh menjadi orang yang sukses dan berpendidikan, seperti Kucai menjadi ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong, dan gelar akademik yang paling tinggi di antara anak-anak Laskar Pelangi lainnya. Berikut kutipannya;

"Ada pula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA. dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami." (LP: 490).


(42)

Tidak hanya Kucai yang menjadi orang sukses, namun ada juga Syahdan yang tidak jauh sukses dengan Kucai. Setelah dewasa Syahdan menjadi manajer di salah satu perusahaan di Tangerang. Apabila Kucai yang paling tinggi gelar akademiknya di antara anggota Laskar Pelangi lainnya, maka Syahdan lebih sukses dari sudut material. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini;

“…Syahdan, pria liliput putra orang Melayu, nelayan, jebolan sekolah gudang kopra Muhammadiyah telah menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di perusahaan multinasional terkemuka yang berkantor di Tangerang. Dari sudut pandang material, Syahdan adalah anggota Laskar Pelangi yang paling sukses.” (LP: 479).

Selain Kucai dan Syahdan yang status sosialnya lebih baik dari orang tuanya, ada juga A-Kiong yang lebih baik dari pekerjaan orang tuanya yaitu dengan menghidupi keluarga dari sebidang kebun sawi yang sangat miskin, tetapi setelah dewasa A-Kiong dapat memperbaiki kehidupan keluarganya dengan membuka toko kelontong dan menikah dengan Sahara. Baca kutipan berikut;

“Sekarang mereka sudah punya anak lima dan membuka toko kelontong dengan judul Sinar Perkasa tadi.” (LP: 466).

Selain Kucai, Syahdan, dan A-Kiong, ada juga Lintang yang walaupun pekerjaannya tidak lebih baik dari anggota Laskar Pelangi lainnya, setidaknya dia dapat memenuhi permintaan ayahnya untuk tidak jadi nelayan seperti pekerjaan ayahnya, tetapi menjadi supir truk. Dapat disimak pada kutipan berikut;

“Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan.” (LP: 472).

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kehidupan masyarakat di Belitong dalam novel LP sangat kontras status sosialnya antara masyarakat asli Belitong dengan komunitas Gedong. Adanya kedudukan sosial seseorang dalam


(43)

masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Hendropuspito (2004: 105-107), yang memaparkan faktor-faktor yang menentukan kedudukan sosial adalah:

1. Kelahiran dalam suatu keluarga dianggap sebagai pangkal yang meneruskan kedudukan keluarga itu pada keturunannya. Kelahiran dalam keluarga yang kurang menguntungkan, baik dalam arti moral maupu n ekonomi dan sosial, ternyata tidak dapat membebaskan keturunannya dari “hukum karma” itu. Misalnya, anak-anak dari keluarga G30 S/PKI yang tidak bersalah dalam pemberontakan itu, ternyata ikut menderita “dosa warisan” itu.

Hal ini jelas terjadi pada masyarakat Belitong karena mereka hidup miskin sejak dari leluhurnya karena Belitong dikuasai oleh penduduk pendatang (Komunitas Gedong). Jadi, para anak-cucu penduduk asli mendapat warisan bukan berupa uang atau kedudukan yang tinggi tetapi kemiskinan yang turun-temurun.

2. Unsur-unsur biologis seperti jenis kelamin ikut menentukan kedudukan sosial, baik individual maupun kategorial.

Kedudukan jenis kelamin yang tinggi adalah pria karena pria merupakan tulang punggung dan sebagai imam bagi keluarganya. Tanggung jawabnya pun lebih besar daripada wanita. Begitu juga dalam novel LP, seperti tokoh Lintang yang harus berhenti sekolah karena menggantikan posisi ayahnya untuk mencari nafkah untuk keluarganya karena ayahnya meninggal dunia.


(44)

3. Harta kekayaan juga merupakan faktor yang ikut menentukan kedudukan sosial, baik perorangan maupun kategorial. Golongan orang kaya di mana-mana mendapat kedudukan lebih tinggi daripada golongan orang miskin. Faktor yang ketiga ini, dalam novel LP sangat kontras karena orang kaya (Komunitas Gedong) mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari penduduk asli Belitong. Ini terlihat dari masyarakat Gedong mendapatkan kemudahan-kemudahan baik dari pendidikan maupun kesehatan. Sedangkan penduduk asli hidup terpinggirkan.

4. Pekerjaan juga ikut menentukan kedudukan sosial seseorang. Pekerjaan halus (otak/intelektual) umumnya dinilai lebih tinggi daripada pekerjaan kasar (tangan), sehingga yang pertama menghasilkan kedudukan lebih tinggi daripada yang kedua.

Pekerjaan juga menentukan kedudukan sosial seseorang, seperti orang staf yang bekerja di Belitong dengan otaknya atau ilmunya sehingga dapat menguasai Belitong. Sedangkan penduduk asli Belitong yang bodoh hanya bisa menjadi buruh rendah di PN Timah. Tetapi ada salah satu penduduk asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong karena kepintarannya yaitu bapaknya Flo dan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi daripada penduduk asli Belitong lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, sangat jelas kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat tidak ditentukan oleh satu faktor saja. Dapat pula terjadi beberapa faktor bersama-sama menentukan kedudukan sosial seseorang atau suatu golongan. Dalam hal demikian, sulit menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kedudukan sosial.


(45)

Akibat kontrasnya status sosial yang terjadi dalam masyarakat asli Belitong dengan komunitas Gedong dapat terlihat pada pemilihan sekolah. Anak-anak dari orang staf, sekolah di PN Timah yaitu sekolah yang paling elit di Pulau Belitong dan hanya boleh dimasuki oleh orang-orang kaya. Sedangkan anak-anak penduduk asli Belitong hanya dapat sekolah di sekolah kampung, salah satunya adalah sekolah Muhammadiyah. Sekolah yang paling miskin di Belitong. Di sinilah anak-anak Laskar Pelangi didaftarkan oleh orang tuanya. Ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini;

“Adapun sekolah ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampong yang paling miskin di Belitong. Ada tiga alasan mengapa para orang tua mendaftarkan anaknya di sini. Pertama, karena sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun. Para orang tua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena sifat firasat, anak-anak mereka dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus mendapat pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak diterima di sekolah mana pun.” (LP: 4).

Patokan yang menentukan status sosial seseorang dalam memilih sekolah, dapat ditegaskan lagi pada kutipan berikut;

“Murid PN umumnya anak-anak orang luar Belitong yang bapaknya menjadi petinggi di PN. Sekolah ini juga menerima anak kampung seperti Bang Amran, tapi tentu saja yang orang tuanya sudah menjadi orang staf. Mereka semua bersih-bersih, rapi, kaya, necis,dan pintar-pintar luar biasa.” (LP: 59).

Andrea juga mampu mendeskripsikan status sosial yang terjadi pada masyarakat Belitong dengan detail yang kuat yaitu orang staf yang tinggal di Gedong dan adanya pembatas antara rumah orang staf dengan penduduk asli yang tinggal di pinggiran. Berikut kutipannya;

“Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan


(46)

peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.” Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililiti empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwits. Namun, tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol dari Utara. Di Belitong tembok yang angkuh dan berkelak-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan sebuah dominasi dan perbedaan status sosial.” (LP: 36).

Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa status sosial seseorang berubah, kuncinya adalah impian dan kerja keras. Itulah yang dilakukan oleh anak-anak Laskar Pelangi, kemiskinan tidak menjadi alasan untuk tidak bersekolah dan menuntut ilmu tetapi sebagai suatu dorongan untuk ke arah yang lebih baik lagi.

2.3 Segi Kesenjangan Sosial

Novel merupakan hasil dari kreativitas pengarang. Dalam hal ini, novel LP menampilkan tentang kesenjangan sosial yang sangat kental antara orang staf dan buruh yang hidup berdampingan. Kesenjangan dapat diartikan pembatas antara seseorang dengan orang lain atau satu kelompok dengan kelompok lain. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi dkk. 2005: 1038) kesenjangan berarti :

1. Perihal (yang bersifat, bercita) senjang; ketidakseimbangan: ketidaksimetrisan;

2. Jurang pemisah: antara si kaya dan si miskin semakin lebar," jadi, kesenjangan sosial adalah adanya jurang pemisah antarindividu-individu atau kelompok masyarakat baik tanpa kedudukan sosial maupun materi yang terjadi dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat.

Akibat dari kesenjangan sosial adalah kemiskinan karena terjadinya pembatas antara si kaya dan si miskin, sehingga si kaya tidak memperdulikan atau


(47)

membantu si miskin, ini sangat jelas bahwa si kaya tetap kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini yang terjadi pada masyarakat asli Belitong dalam novel LP.

Semua anggota Laskar Pelangi kecuali Flo adalah anak-anak karyawan golongan rendah PN Timah yang umumnya orang-orang Melayu asli Belitong, penduduk asli pulau penghasil timah terbesar (pada zamannya) itu. Orang-orang Melayu Belitong ini tinggal terpisah dari mereka yang disebut "orang staf", yaitu para pegawai yang menduduki posisi tinggi di PN Timah. Orang staf menempati areal perumahan eksklusif yang disebut "Gedong". Seperti halnya perkebunan, PN Timah yang juga sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) peninggalan Belanda, masih menyisakan budaya kolonial di dalamnya. Para karyawannya terbagi ke dalam dua golongan yaitu "staf" dan "nonstaf". Kelompok yang disebut orang "staf" berada jauh di atas kelompk orang "nonstaf", dari segala hal jabatan, gaji, status sosial, ekonomi, dan pendidikan. Biasanya para staf ini direkrut dari luar wilayah pertambangan, misalnya Jakarta. Sedangkan para pribumi hanya kebagian posisi di level "nonstaf". Kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat pertambangan antara lingkungan orang staf PN Timah dan penduduk asli sangat kontras, seperti orang staf tinggal di tempat elit dan orang nonstaf tinggal di pinggiran. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini;

"Mereka, kaum borjuis ini bersemayam di kawasan ekslusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit put ih di wilayah Selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme di Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi peternalistik dari silsilah subkultur, atau privilese yang dianugrahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi diberbagai tempat lain." (LP: 42).


(48)

Berikutnya kutipan tentang kekontrasan tempat tinggal antara orang staf dan buruh rendah yang sangat kontras dan terlihat kesenjangan sosial antara keduanya;

"Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi, berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era pencerahan revolusi industri. Di luar tembok feodal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampong Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah-rumah panggung yang renta dalam berbagai ukuran. Rumah-rumah asli Melayu ini sudah ditinggalkan zaman keemasannya. Pemiliknya tak ingin merubuhkannya karena tak ingin berpisah dengan kenangan masa jaya, atau karena tak punya uang." (LP: 50).

Kesenjangan sosial yang terjadi antara orang staf dan buruh dapat dipertegas lagi dengan kutipan berikut;

“Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa ini berdiri tembok tinggi yang panjang dan di sana sini tergantung papan peringatan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK.” Di atas tembok ini tidak hanya ditancapi pecahan-pecahan kaca yang mengancam tapi juga dililitkan empat jalur kawat berduri seperti di kamp Auschwitz.” (LP: 36).

Orang staf yang kaya menjadi lebih kaya karena di kawasan Gedong tertimbun kekayaan alam Belitong yang berada di sana. Sehingga orang staf dapat mengolah dan menguasai Belitong. Ini dilihat pada kutipan di bawah ini;

“Tak disangsikan, jika di zoom out, kampong kami adalah kampong terkaya di Indonesia. Inilah kampong tambang yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi….Namun, jika di zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong.” (LP: 49).

Karena kekayaan alam Belitong tertimbun di kawasan Gedong, sehingga tempat ini dijaga khusus oleh Polisi Khusus yang berjaga 24 jam. Apabila ada penduduk asli yang tidak memiliki hak untuk masuk ke dalam Gedong, maka


(49)

Polisi Khusus tersebut akan mengamankan dan menginterogasi orang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut;

“Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap, menginterogasi, lalu interogasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal kompeni.” (LP: 43).

Dari kutipan di atas, sangat jelas bahwa kesenjangan sosial yang dibuat oleh komunitas Gedong pada orang Melayu asli Belitong, juga terlihat perbedaan tempat tinggal antara orang staf yang tinggal di Gedong sedangkan karyawan rendah atau penduduk asli tinggal di pinggiran.

Selain kesenjangan sosial pada tempat tinggal penduduknya juga terjadi pada sekolah. Orang tua anak-anak Laskar Pelangi hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah, sekolah miskin di Belitong karena orang tua mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya di sekolah PN Timah. Berikut kutipan kemewahan sekolah PN;

"Di dalam kelas-kelas itu puluhan siswa brilian bersaing ketat dalam standar mutu yang sangat tinggi, sekolah-sekolah ini memiliki perpustakaan, kantin, guru BP, laboratorium, perlengkapan kesenian, kegiatan ekstrakurikuler yang bermutu, fasilitas hiburan, dan sarana olah raga, termasuk sebuah kolam renang yang masih disebut dalam bahasa Belanda: Zwembad. Di depan pintu masuk kolam renang ini tentu saja terpampang peringatan tegas, "DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK." (LP: 58).

Kutipan di atas menunjukkan fasilitas dan perlengkapan sekolah yang lengkap sehingga murid yang sekolah di PN Timah menjadi anak-anak yang pintar dan dapat belajar dengan nyaman. Berbeda halnya dengan sekolah Muhammadiyah yang sangat minim dan serba kekurangan baik tenaga pengajar,


(50)

seragam sekolah, maupun fasilitasnya. Ini dapat disimak pada kutipan di bawah ini;

"Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammdiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam, kami juga tak punya kotak P3K. jika kami sakit, sakit apa pun; diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat seperti kancing jas hujan yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa merasa kenyang. Pada pil itu ada tulisan besar APC, itulah pil APC yang legendaris dikalangan rakyat pinggiran Belitong, obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit." (LP: 18).

Selain minimnya atau terbatasnya sekolah Muhammadiyah, murid-muridnya juga dalam keadaan miskin. Sehingga sekolah Muhammadiyah tidak menetapkan atau memberatkan murid dalam bentuk materi. Sedangkan para gurunya, hanya digaji dengan 15 kg beras oleh pihak pemerintah daerah, itu pun sering telat diberikan, tetapi para guru yang mengajar di Muhammadiyah, seperti Bu Mus dan Pak Harfan, mengajar dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab. Berikut kutipannya;

“Ia paham betul kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga tak pernah membuat kebijakan apa pun yang mengandung implikasi biaya. Ia selalu membesarkan hati kami. Kupandangi juga sembilan teman sekelasku, orang-orang muda yang luar biasa. Sebagian mereka sekolah hanya memakai sandal, sementara yang bersepatu selalu tampak kebesaran sepatunya. Orang tua kami yang tak mampu memang sengaja membeli sepatu dua nomor lebih besar agar dapat dipakai dalam dua tahun ajaran.” (LP: 84).

Dari petikan di atas, sangat jelas sekali adanya kesenjangan sosial, terlihat pada tulisan yang terpampang, "dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak." Tulisan ini ditujukan untuk orang-orang miskin atau penduduk asli Belitong yang tidak boleh masuk ke kawasan Gedong tersebut. Oleh karena itu, penduduk asli Belitong terjajah di rumahnya sendiri. Ini terlihat pada kutipan berikut;


(51)

"Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi." (LP: 38-39). Dari uraian di atas, sangat jelas sekali gambaran kemiskinan dalam novel LP dilihat dari sudut kesenjangan sosialnya yang membuat jarak antara si miskin dengan si kaya.

2.4Segi Lingkungan

Dalam novel LP Pulau Belitong selain lingkungan pesisir juga lingkungan pertambangan sehingga penduduknya banyak yang menjadi nelayan ataupun buruh di PN Timah, seperti yang dikatakan Sembiring (2005: 1), “Lingkungan adalah uraian umum tentang apa-apa yang ada di sekitar manusia, yaitu bisa meliput i bumi, planet, bintang, laut, dan segala isinya.” Sedangkan menurut Purwowibowo (2008), secara harfiah "Lingkungan berarti keadaan sekitar atau kondisi sekitar." Lingkungan ekonomi misalnya juga menunjuk kondisi sekitar yang berhubungan dengan fungsi ekonomi, yang berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Inilah yang dialami oleh masyarakat Belitong yang sebagian penduduknya menggantungkan hidup dengan bekerja di PN Timah. PN Timah merupakan pabrik terbesar di Belitong juga terbesar di Indonesia pada saat itu. Pemerintah juga banyak mendapatkan royalti dari PN Timah ini.

Belitong adalah pulau yang kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi masyarakatnya hidup dalam keadaan miskin. Belitong adalah salah satu pulau di Indonesia yang kaya. Selain di Belitong, pulau-pulau yang ada di Indonesia juga


(52)

sangat kaya, tetapi mengapa Indonesia masih tergolong negara yang penduduknya hidup dalam kemiskinan?

Apabila diperhatikan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk kemiskinan struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Ini juga tergambar dalam novel LP lingkungan yang sangat kontras antara lingkungan Gedong dengan perumahan penduduk asli Belitong. Lingkungan Gedong yang sangat elit dan mewah mewarnai kekontrasan dengan penduduk asli Belitong yang tinggal di lingkungan kumuh dan terpinggirkan. Lingkungan rumah penduduk asli jauh dari kriteria rumah sehat. Oleh karena itu, Amsyari (1995: 47– 50), mengatakan masalah lingkungan dapat dibagi dalam tiga kelompok dasar yaitu:

2.4.1 Lingkungan Rumah Tangga

Lingkungan rumah tangga menyangkut sandang, pangan, dan papan. Pada segi papan atau tempat tinggal dalam novel LP banyak dibicarakan antara orang staf dan penduduk asli.

Rumah penduduk asli Belitong sangat jauh dari kriteria rumah sehat seperti keadaan rumah tokoh Lintang yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat


(1)

Kemudian Bapaknya Lintang yang seorang buruh nelayan karena tidak memiliki perahu, bekerja dengan mengandalkan tenaganya. Gaji yang dia dapatkan, bukan berasal dari banyaknya hasil tangkapan tetapi memperoleh upah atas kekuatan fisiknya.

Selain menjadi nelayan yang mengandalkan alat-alat sederhana dan tenaga yang kuat, pekerja yang bekerja sebagai pendulang timah juga menggunakan alat tradisonal karena mereka tidak memiliki keahlian untuk menggunakan kapal keruk dan mereka menggunakan kedua tangannya untuk memisahkan biji-biji timah.

Salah satu orang asli Belitong yang pandai dan menguasai teknologi ataupun ahli teknik yaitu Bapaknya Flo. Dia adalah salah satu orang Melayu asli yang berhak tinggal di Gedong karena kepintarannya. Kutipannya di bawah ini;

"Ia adalah satu dari segelintir orang Melayu asli Belitong yang berhak tinggal di Gedong dan orang kampong yang mampu mencapai karir tinggi di jajaran elit orang staf karena kepintarannya, sebagai Mollen Bas beliau sanggup mengendalikan shift ribuan karyawan, memperbaiki kerusakan kapal keruk yang tenaga-tenaga ahli asing sendiri sudah menyerah, dan mengendalikan aset produksi milyaran dolar." (LP: 46-47).

Karena penduduk Belitong tidak bisa menguasai teknologi ataupun tidak mahir dalam menggunakan alat-alat sehingga pada masa kebangkrutan Bangka Belitong, penduduk asli Belitong menjarah Gedong dan banyak barang-barang yang penting tetapi tidak dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga menjadi sampah atau sia-sia, berikut kutipannya,

"Rumah Kepala Wilayah Produksi PN yang berdiri amat megah seperti istana di Manggar, puncak Bukit Samak--dengan pemandangan spektakuler laut lepas dan sebuah generator listrik terbesar se-Asia Tenggara--di jarah sehingga rata dengan tanah. Rumah Sakit PN yang hebat juga tak luput dari anarkisme. Obat-obatan dihamburkan ke jalan, meja dan kursi roda dibawa pulang atau dihancurkan. Sepintas aku masih mencium amis darah di atas brankar dan bau cairan kompres yang


(2)

tergenang dalam piring piala ginjal, suatu bau busuk kekayaan yang dikumpulkan dalam pundi-pundi ketidakadilan tanpa belas kasihan pada rakyat kecil.”(LP: 484).

Hal ini dipertegas lagi dengan kutipan berikut, banyak sekali benda-benda yang berharga tidak dimanfaatkan dan malah dijadikan besi kiloan, yang kemudian dijual. Padahal kalau penduduk asli pandai memanfaatkan benda-benda itu, dapat digunakan untuk mendulang timah ataupun dapat digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Berikut kutipannya di bawah ini;

"Bentang kawat telepon digulung. Kabel listrik yang masih dialiri tegangan tinggi dikampak sehingga menimbulkan bunga api seperti asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk di gergaji menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili kedigayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah. " (LP: 484).

Dapat disimpulkan bahwa nilai menguasai alam yang dimiliki oleh penduduk asli Belitong, pada umumnya masih rendah karena dalam bekerja hanya menggunakan peralatan (teknologi) seadanya atau sederhana, sehingga pendapatan mereka rendah. Berikut kutipannya;

"Saat ini diperkirakan tak kurang dari 9.000 orang bekerja mendulang timah di Belitong, mereka menggali tanah dengan sekop dan mendulang tanah itu dengan kedua tangannya untuk memisahkan biji-biji timah.” (LP: 486).

Dengan demikian, rendahnya nilai menguasai alam merupakan salah satu faktor penyebab masyarakat asli Belitong menjadi miskin. Rendahnya nilai menguasai alam disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, sehingga penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah pula. Rendahnya penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan produktivitas kerja menjadi rendah, produksi rendah dan pendapatan rendah.


(3)

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

Dengan menggunakan teori sosiosastra akan diketahui dengan jelas penggambaran suatu masyarakat di dalam sebuah karya sastra. Dalam novel Laskar Pelangi sangat jelas sekali penggambaran masyarakat asli Belitong hidup dalam keadaan miskin dan tertindas yang dilakukan oleh komunitas Gedong (penduduk pendatang).

Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan dalam novel LP meliputi faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial, dan pengelolaan alam.

4.2 Saran

Saran dalam penelitian ini adalah:

4.2.1 Bagi mahasiswa Sastra Indonesia dapat mengembangkan lebih lanjut pengkajian sastra dari aspek lain, tidak hanya dari segi intrinsik saja seperti mengkaji alur, penokohan, sudut pandang, dan stilistika.

4.2.2 Bagi pemerintah dapat lebih intropeksi diri, khususnya dalam menangani bidang pendidikan karena masih banyak rakyat Indonesia yang tergolong miskin tidak dapat sekolah. Padahal pendidikan itu penting guna membangkitkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 4.2.3 Bagi peneliti berikutnya dapat menganalisis faktor-faktor lain yang

menyebabkan kemiskinan dalam novel Laskar Pelangi, selain faktor tingkat pendidikan, mata pencaharian, keterpencilan sosial, dan pengelolaan alam.


(4)

Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Puasaka.

Amsyari, Fuad. 1995. Dasar-Dasar dan Metoda Perencanaan Lingkungan dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Widya Medika.

Ath-Thawil, Nabil Subhi. 1985. Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-Negara Muslim. Bandung: Mizan.

Bayo Ala, Andre. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty.

Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembimbingan dan Pengembangan Bahasa.

___________2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Feri’s Site. 2008. “Beberapa Konsep Kemiskinan.”

Hadi, Sugih. 2008. “Forum Pemerintah Kabupaten Bogor: Miskin.”

Hamalik, Oemar. 2003. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pt Gramedia. Harsojo. 2000. Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta.

Hartono. 2007. “Laskar Pelangi. Diakses tanggal 22 Oktober.

Hendropuspito. 2004. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius.

Hidayatulhaq. 2008. "Definisi Pendidikan." Diakses 1 Agustus.

Indosiar News. 2008. "Seabad Indonesia Menuju Kemiskinan."

Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.

Koentjaraningrat. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.


(5)

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasution, Ikhwanuddin. 2003. “Hermeneutik: Sebuah Metode Penelitian Sastra” dalam Studia Kultura Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya. Tahun 2 No. 4. Agustus. Fakultas Sastra USU, halaman 311-317.

Para Kontributor Wikipedia. 2008. “Kemiskinan.” Wikipedia,

Penny, D.H. 1990. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Jakarta: UI Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” dalam Jabrohim. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, halaman 91-106.

__________2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purwowibowo. 2008. "Pengantar Ilmu Lingkungan."

Diakses 14 Agustus.

Rampan, Korrie Layun. 2008. “Pujian untuk Laskar Pelangi.” Dalam Andrea Hirata. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_____________2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sembiring, Syawalina. Pengetahuan Lingkungan. Buku Pegangan Kuliah

Mahasiswa UISU. Medan. 2005.

Sumardjo, Jacob. 1981. Segi Sosiologi Novel Indonesia. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

Wikipedia Indonesia, “Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia.” 2008.

Wikipedia Indonesia. 2008. "Lingkungan Hidup." lingkungan hidup. Diakses 1 Agustus.

Yusniati, Niniek Sri Wahyuni. 2007. Manusia dan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo.


(6)

Zulkarnain, Wan. 2006. Permukiman Kumuh di Perkotaan. Medan: USU Press.