PERILAKU SEKS BEBAS DI KALANGAN ANAK JALANAN (Studi pada Tempat-tempat Persinggahan Anak Jalanan di Bandar Lampung)

(1)

ABSTRACT

FREE SEX BEHAVIOR IN CIRCLES OF CHILD WHO WORK THE STREET

(Sudy at the places which the child usually rest in Bandar Lampung) This research is purpose to describe ang explain about behavior of free sex that happen in circles of child who work on the street in Bandar Lampung

Tipe of this research is descriptive, and the location of this research is places in Bandar Lampung city which the child usually stop in. The population of this research is the child with total sample 52 people that spread in five places. The sample is certained with Simple Random Sampling technique in a propotional manner for each places. Technique to take data use questionnaire, observation, and documentation, but for analysis the data use singular tabulation with analyze the data use description manner. The result show that behavior of free sex in the child circles is apprehensive, because level free sex in they circles is up to 46,2% already. They get the information of free sex is from they friends, up to 51,9%. Factors that influence they are do that free sex is family’s economy, unhermonic family up to 34,6%, level educated of their parent and themselves, and the latest is the child society.


(2)

i ABSTRAK

PERILAKU SEKS BEBAS DI KALANGAN ANAK JALANAN

(Studi pada Tempat-tempat Persinggahan Anak Jalanan di Bandar Lampung) Oleh

Ria Handayani

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang perilaku seks bebas yang terjadi di kalangan anak jalanan yang berada di Kota Bandar Lampung.

Tipe dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan lokasi penelitian yang berada pada tempat-tempat persinggahan anak jalanan di Kota Bandar Lampung. Populasinya adalah anak-anak jalanan dengan jumlah sampel sebanyak 52 orang yang tersebar di lima tempat. Sampel ditentukan dengan teknik Simple Random Sampling secara proposonal pada masing-masing tempat di lokasi penelitian. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, observasi, dan dokumentasi, sedangkan untuk menganalisis datanya dilakukan menggunakan tabulasi tunggal dengan cara menguraikan data tersebut secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan cukup memprihatinkan, karena di kalangan mereka perilaku berhubungan badan atau behubungan kelamin yang sudah mereka alami mencapai angka tertinggi yaitu 46,2%. Anak jalanan mendapatkan informasi tentang perilaku seks bebas terbesar melalui teman yaitu sebesar 51,9%. Faktor-faktor yang mendorong mereka melakukan perilaku seks bebas tersebut adalah faktor ekonomi keluarga atau penghasilan orangtua, keutuhan keluarga anjal yang rata-rata sudah tidak utuh sekitar 34,6%, tingkat pendidikan orangtua maupun anak jalanan sendiri, dan yang terakhir adalah pergaulan anak jalanan.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dasawarsa terakhir ini isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia, mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Hal tersebut juga dicerminkan dari banyaknya dokumen internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Sedikitnya terdapat 16 dokumen internasional yang terkait dengan permasalahan anak, beberapa diantaranya: United Nations Standard Minimum Rules For The Administration Of Juvenile Justice (Peraturan Administrasi Standar Minimum Persatuan Bangsa-bangsa Untuk Keadilan Anak), Resolusi MU PBB 1985: The Use of Children in The Illicit Traffi in Narcotic Drugs (Peran Anak-anak Dalam Perdagangan Obat-Obatan Narkotika), Resolusi MU-PBB 1988: Convention on The Right of The Child (Konvensi Hak Anak), Resolusi MU-PBB 1989: The Effects of Armed Conflicts on Children Lives (Efek Dari Penanganan Konflik Anak), Resolusi Komisi HAM PBB 1991: The Special Rapporteur on The Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Pelopor Perdagangan Anak, Prostusi Anak dan Pornograpi Anak), dan Resolusi Komisi HAM PBB 1994.

Salah satu isu kesejahteraan anak yang terus berkembang dan menjadi perhatian dunia adalah masalah anak jalanan. Banyak laporan tentang “Situasi Anak”


(4)

menyebutkan bahwa terdapat 30 juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan. Di Asia, saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun mendatang (Childhope,1991:40).

Demikian halnya di Indonesia, laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (2005) memberitakan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Penelitian tersebut menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan berasal dari keluarga tidak mampu. Dari 226 juta keluarga tidak mampu, sekitar 35,29% tak tamat SD, sekitar 34,22% tamat SD, dan sekitar 13,57% tamat SMP (www.scribd.com/anakjalanan).

Tetapi, hubungan kemiskinan dengan perginya anak ke jalan bukanlah hubungan yang sederhana. Diantaranya terdapat faktor-faktor intermediate (tingkat menengah) seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak, dan langkanya dukungan keluarga (family support) pada saat krisis keluarga di rumah manjadi penyebab anak pergi ke jalanan.

Hingga saat ini penanganan masalah anak jalanan masih terbatas. Tinjauan terhadap berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa secara konseptual penanganan anak jalanan dijamin oleh kebijakan yang ada, namun hasil survei Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia terhadap 100 anak menunjukkan, hanya 10% anak jalanan yang terjangkau oleh program penanganan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (YKAI,1994).


(5)

Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya manusia, terutama di perkotaan, penanganan yang serius terhadap masalah anak jalanan merupakan suatu isu kebijakan yang mendesak. Penanganan tuntas tentunya tidak hanya mencakup upaya-upaya yang bersifat rehabilitatif saja, tetapi juga mencakup usaha yang bersifat pencegahan dan pengembangan. Selain itu, kebijakan yang kurang tepat dan menyederhanaan permasalahan yang sesungguhnya hanya akan membuat usaha penanggulangan anak jalanan menjadi usaha tambal sulam karena kesalahan dalam melihat masalah yang sesungguhnya.

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasadepan jelas. Keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif, padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembangnya menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab, dan bermasa depan cerah akan lebih terjamin

Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”, artinya pemerintah mempunyai tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, yang juga telah dinyatakan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan


(6)

Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi, budaya (education, leisure, and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection) (www.depsos.go.id).

Mengamen di jalanan, itulah yang kita tahu tentang mereka. Padahal ada dunia tersendiri yang mereka geluti, yaitu menjalani kehidupan seks bebas pada usia sangat muda, baik yang dilakukan secara paksa maupun suka sama suka (semata agar bisa diterima sebagai anggota, dan juga perlindungan dari sesama teman jalanan karena kerasnya kehidupan dan persaingan di jalanan, dengan syarat melakukan hubungan seks sebagai imbalannya), dan berikut sedikit uraiannya. Sejak dahulu tema seksualitas merupakan tema yang selalu menarik dan menjadi kontroversi dalam masyarakat karena seksualitas merupakan sesuatu yang ditabukan, sehingga masyarakat (baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan) ingin mengetahui dan tertarik dengan tema dan permasalahan seksualitas. Dalam khasanah ilmu-ilmu sosial, seksualitas merupakan salah satu bidang kajian yang menempati posisi dasar dalam mengungkap konsepsi-konsepsi sosial budaya dan jaringan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat. Pada dasarnya pemikiran ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa seksualitas bukan semata-mata entitas biologis, melainkan suatu


(7)

entitas yang keberadaannya berkaitan erat dengan tatanan nilai, norma, dan sistem pengetahuan suatu masyarakat

Seksualitas selalu hadir dalam setiap sisi kehidupan manusia dan kehadirannyapun tidak luput dari makin banyaknya dan mudahnya mendapatkan pengetahuan tentang seks. Disamping itu, maraknya pornografi telah menjadi bagian keseharian remaja sehingga remaja menjadi iluisif (banyak berhayal), hidupnya diliputi bayang-bayang kosong, lebih suka melamun, meremehkan nilai-nilai sosial, bahkan pada taraf yang lebih buruk lagi, remaja menyalahgunakan seks. Kasus-kasus seks bebas, seperti casting iklan sabun mandi, adegan seks remaja di handphone, serta peredaran VCD porno oleh sepasang remaja atau mahasiswa, mengindikasikan bahwa perilaku seksual yang tidak sesuai dengan budaya dan norma-norma di masyarakat, telah menempati level mengkhawatirkan dan menjadi pemicu rusaknya moralitas generasi muda. Kondisi ini juga mengindikasikan kurangnya kontrol dan aturan hukum terhadap pengguna akses informasi yang akhirnya menyebabkan kecenderungan penyimpangan perilaku seksual remaja menjadi kuat. Hal ini sejalan dengan membanjirnya informasi mengenai perilaku seksual, mulai dari media cetak sampai elektronik, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kecenderungan terjadinya penyimpangan perilaku seksual pada remaja (id.wikipedia.org/wiki/anakjalanan).

Remaja dan seks bebas merupakan dua hal yang sejak dahulu sering diwacanakan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan, remaja merupakan masa dimana seseorang sedang mengalami fase perkembangan dari anak-anak menuju dewasa dan di saat inilah remaja mengalami fase perkembangan seksual sehubungan


(8)

dengan perubahan-perubahan fisik dan peran-sosial yang sedang terjadi padanya. Gejolak seksualitas yang terjadi pada akhirnya memicu keinginan remaja untuk melakukan hubungan seks, selain juga ditunjang minimnya pengalaman seksual. Maraknya remaja yang melakukan seks bebas saat ini dapat dilihat dari dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor ekstrnal. Faktor internal berasal dari dalam diri remaja itu sendiri, dimana seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa remaja adalah seseorang yang sedang mengalami peningkatan hasrat seksual dikarenakan perubahan fisik dan biologis yang sedang terjadi padanya. Faktor ini bertendensi membuat remaja ingin melakukan hubungan seks. Sementara faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri remaja, diantaranya adalah peer group (teman sepermainan) yang biasanya memiliki influence yang cukup besar dalam kehidupan remaja. Dimulai dari obrolan atau cerita mengenai pengalaman seksual diantara teman dan akhirnya mempengaruhi remaja untuk mencontoh perilaku seksual tersebut.

Selain itu media saat ini juga semakin marak menampilkan tayangan-tayangan yang bermuatan seksualitas sehingga dapat memicu remaja untuk melakukan perilaku seks bebas. Pergaulan remaja saat ini yang semakin bebas juga semakin membuka celah untuk melakukan perilaku seks bebas. Dan ini juga terjadi karena remaja masa kini sudah banyak menjadi konsumerisme budaya barat tanpa adanya penyaringan terlebih dahulu sehingga perilaku tersebut sangat tidak sesuai dengan norma dan aturan yang ada di negara kita (www.pendidikan.net/seksbebas). Dan di kalangan anak jalanann sendiri, akan lebih mudah untuk melakukan seks bebas karena lingkungan yang begitu bebas dan sangat minimnya pengawasan


(9)

dari keluarga atau orangtua, dan juga banyak faktor lain yang mendukung. Pada anak jalanan faktor eksternal lebih banyak mempengaruhi mereka dalam melakukan seks bebas tersebut. Sehingga membentuk perilaku-perilaku seks yang kurang baik pada mereka.

Anak jalanan memperoleh “pengetahuan” seksnya dari teman sebaya atau anak jalanan yang lebih tua, baik yang bersumber dari buku porno, film atau VCD porno, atau mengintip orang yang sedang melakukan hubungan seksual. Mudahnya memperoleh pengetahuan mengenai seks mempengaruhi sikap anak jalanan terhadap hubungan seksual. Terlebih, anak-anak jalanan terkadang memiliki anggapan, bahwa hubungan seksual di luar nikah sebagai hal yang wajar karena itu merupakan urusan dari anak jalanan itu sendiri dan tidak mengganggu kepentingan orang lain.

Kondisi ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang bebas di jalanan serta norma yang serba longgar. Selain itu, yang mendorong anak jalanan makin permisif terhadap perilaku seks bebas karena kemampuan mereka mencari nafkah secara mandiri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di Thailand yang menemukan bahwa remaja yang sudah bisa mencari nafkah sendiri, lebih permisif dalam urusan seksualitas daripada remaja yang masih sekolah (Sarwono, 1997).

B. Rumusan Masalah

Fokus utama permasalahan yang hendak diteliti adalah, “Bagaimana perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan dan apa saja faktor penyebabnya?”


(10)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan tentang perilaku anak jalanan dalam melakukan hubungan seks bebas di kalangan mereka dan faktor penyebabnya. 2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pengetahuan seputar perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan dan juga diharapkan dapat berguna bagi upaya pengembangan khasanah ilmu Sosiologi, khususnya Sosiologi Perilaku Menyimpang.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan pembaca (masyarakat) dan peneliti lain dalam mencari jalan pemecahan atas permasalahan anak jalanan, khususnya tentang faktor penyebab seks bebas di kalangan mereka, dan juga untuk mengembangkan pemecahan dalam permasalahan ini.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Anak Jalanan dan Permasalahannya

Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja di jalanan kawasan urban. UNICEF (1986) memberikan batasan sebagai “Children who work on the streets of urban areas, without reference to the time they spend there or the reasons for being there” (Anak yang bekerja di jalanan area kota, tanpa kejelasan waktu yang mereka habiskan atau alasan mereka berada disana). Mereka umumnya bekerja di sektor informal, sedangkan yang menyebabkan mereka menjadi anak jalanan adalah akibat kesulitan ekonomi; banyaknya orangtua yang melakukan urbanisasi dan menjadi pengemis di ibukota, kekacauan dalam kehidupan keluarga, perlakuan keras, penelantaran, menghindar dari penganiayaan, dan kemiskinan.

Komunitas ini sangat mudah ditemui, umumnya mereka bergerombol di perapatan lampu merah, pusat pertokoan, terminal bus, dan tempat-tempat keramaian yang memungkinkan mereka mendapatkan uang.

Berdasarkan latar belakang kehidupan dan motivasinya, mereka dibedakan atas: a. Golongan anak jalanan pekerja perkotaan, yakni mereka yang keberadaannya

di jalanan terutama untuk mencari nafkah bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.


(12)

b. Golongan anak jalanan “murni”, yakni yang menjalani seluruh aspek kehidupannya di jalanan. Mereka umumnya adalah pelarian dari keluarga bermasalah. Kehidupan jalanan membentuk subkultur tersendiri yang disebut budaya jalanan dengan nilai moralitas yang longgar, nilai perjuangan untuk bertahan hidup, penuh kekerasan, penonjolan kekuatan, ketiadaan figur orangtua, dan peranan kelompok sebaya yang besar (www.damandiri.or.id).

Sampai saat ini belum ada satu ketetapan mengenai definisi anak jalanan. Setiap orang mempunyai tanggapan yang berbeda tentang definisi anak jalanan, tergantung dari sudut pandang yang dianut. Namun demikian dapat diidentifikasi karakteristik yang menonojol dari anak jalanan, diantaranya adalah:

1. Nampak kumuh/kotor, baik kotor pada badan/tubuh, atau pada pakaian yang mereka pakai;

2. Memandang orang lain (di luar orang yang berada di jalanan) adalah orang yang bisa/dapat dimintai uang;

3. Mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau makan;

4. Muka/mimik yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan;

5. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi, bercakap, dan ngobrol dengan siapapun di jalanan;

6. Malas untuk melakukan kerja-kerja anak "rumahan", misalnya jadwal tidur selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian, atau menyimpan pakaian (www.damandiri.or.id).


(13)

UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai anak-anak yang pergi meninggalkan rumah, sekolah, dan lingkungan tinggalnya sebelum mencapai usia 16 tahun. Mereka berada di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum lainnya. Biasanya kelompok anak-anak ini mempunyai karakteristik dan gaya hidup yang serupa. Mereka kebanyakan berasal dari keluarga miskin yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan, kehidupan perkawinannya tidak stabil, peminum alkohol, dan lain lain. Kekerasan tampak merupakan cara yang biasa diterapkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan antar pribadi, mereka umumnya anak yang liar, dan tidak tersosialisasi dengan baik. Biasanya lembaga-lembaga yang mengurusi persoalan kesejahteraan umum menyatakan mereka sebagai “the most damaged and deprived” (Jurnal Psikologi Sosial No. 2/th I/Maret/1989).

Ada pula yang beranggapan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang meminta-minta di tempat-tempat umum, mengemis dengan pakaian kumal, badan kotor, dan penampilan tidak terawat. Meskipun ada perbedaan, secara umum fenomena yang diperlihatkan adalah sama, yakni bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan-jalan dan tempat umum lainnya dengan kisaran usia 9 –12 tahun (Jurnal Psikologi Sosial No. 2/Th I/Maret/1989). Anak jalanan bukanlah satu kelompok yang homogen, sekurang-kurangnya ia bisa dipilah ke dalam dua kelompok, yaitu anak yang bekerja di jalan dan anak yang hidup di jalan. Perbedaan diantaranya ditentukan berdasarkan kontak dengan keluarganya, anak yang bekerja di jalan biasanya masih memiliki kontak dengan orangtua, sedangkan anak yang hidup di jalan sudah putus hubungan dengan orangtua.


(14)

Seperti kita ketahui, corak kehidupan di jalanan sangatlah keras. Ketika pertamakali hadir di jalan, seorang anak harus beradaptasi dan mulai menerima cara-cara hidup yang berlaku di lingkungan yang baru tersebut. Salah satu bentuk penyesuaian dirinya adalah dengan mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya, sekaligus masuk dalam masa kekiniannya, anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan misalnya, mengganti namanya dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama "modern" yang diambil dari bintang sinetron atau yang biasa didengarnya, misalnya dengan nama Andi, Roy, dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama Nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan karena yang dilakukan di jalan umumnya merupakan tindakan haram.

Mereka juga harus membiasakan diri dengan berbagai macam bentuk kekerasan, baik dari anak jalanan yang lain, orang dewasa yang mengeksploitasi dan memanfaatkan mereka, maupun aparat keamanan. Bentuk kekerasan yang biasa mereka terima adalah dimintai uang dengan paksa, dipukuli, diperkosa ataupun bentuk pelecehan seksual lainnya. Namun tak jarang pula mereka yang menjadi pelaku kekerasan tersebut, misalnya meminta dengan paksa uang atau barang milik teman yang lebih lemah, pencurian kecil-kecilan, judi, dan perdagangan obat-obat terlarang.

Jika ditelaah lebih dalam, yang paling rentan terhadap kekerasan adalah anak jalanan perempuan. Seringkali mereka tidak bisa bertahan melawan kerasnya lingkungan dan terpaksa harus menerima segala perlakuan tersebut. Kekerasan


(15)

yang dimaksud adalah dalam bentuk pelecehan seksual dari yang tingkatnya paling ringan sampai dengan perkosaan. Seks bebas di kalangan mereka juga sudah menjadi hal yang lazim, mereka melakukannya dengan sesama anak jalanan dengan pola hubungan yang saling menguntungkan. Anak laki-laki sebagai manusia normal yang memiliki kebutuhan biologis, membutuhkan wanita sebagai “teman”, sementara anak jalanan wanita membutuhkan pria untuk melindungi dirinya.

Orang dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka anak-anak jalanan itu seperti disuruh melakukan hal yang sebaliknya. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya. Katanya, itu bagian dari indentitas pembangkangan, atau dalam kata lain menolak dianggap (anak) kecil terus. Di kalangan anak-anak jalanan, berkembang satu trend cara berpakaian yang cukup khas, yakni gaya berpakaian yang kotor dan kumal, karena dengan memakai pakaian kotor, justru banyak orang yang mau menyemirkan sepatu atau memberi uang. Dengan pakaian bersih tak banyak orang yang mau menyemirkan sepatunya atau memberikan uangnya. Hal ini menunjukkan adanya satu pertentangan, di satu sisi masyarakat umum menginginkan mereka tampil secara "bersih", namun bila tampil dengan cara semacam ini maka ia tidak mendapatkan uang yang cukup. Berbeda dengan bila ia menggunakan pakaian kumal, orang tidak menyukai tetapi menghasilkan uang yang cukup. Rambut panjang dan tato merupakan satu bentuk lain dari cara menampilkan diri. Beberapa anak mengatakan bahwa tato merupakan tanda dari "show of force" sekaligus lambang


(16)

"keras" dan jantan. Menenggak minuman keras dan pil adalah satu kebiasaan yang juga biasa dilakukan selama di jalan. Alasan yang diberikan adalah untuk melupakan masalah.

Beberapa studi mengenai anak jalanan secara gamblang menunjukkan berbagai tekanan yang dialami oleh anak jalanan. Secara ekonomi mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang, secara sosial ia diletakkan sebagai sampah masyarakat, secara hukum keberadaannya melanggar pasal 505 KUHP. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila mereka merasa tidak pernah merasa nyaman dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan-tindakan yang dipilih ini akan membawa anak-anak pada masalah hukum, karena semua tindakan ini dianggap melanggar hukum. Seorang anak jalanan memberikan alasan bahwa sebelum bekerja ia mabuk dulu untuk menghilangkan rasa malu. Karena sebetulnya ia gengsi kalau harus jadi pengamen. Dengan demikian selain sebagai strategi ekonomi, mabuk akhirnya menimbulkan sikap cuek (tidak peduli) dengan aturan hukum.

Secara umum, tindakan semacam ini sering dikatakan sebagai penyalahgunaan obat. Namun demikian, bila ditilik dari sisi lain akan terlihat sebaliknya. Dalam masyarakat modern, dengan mudah dikenali bahwa salah satu jalan keluar untuk mengatasi situasi-situasi yang menekan adalah dengan mengkonsumsi obat-obatan. Dengan demikian anak-anak jalanan itu sungguh melakukan satu cara yang sudah disediakan oleh sistem dalam masyarakatnya. Dalam hal ini ia betul-betul memanfaatkan obat untuk mengatasi berbagai tekanan yang menimbulkan


(17)

ketegangan dalam diri. Obat dianggap sebagai alat untuk mencapai satu kondisi nyaman (www.scribd.go.id).

Jumlah anak jalanan yang semakin meningkat tidak bisa dibiarkan begitu saja. Hal ini akan berdampak pada besarnya permasalahan yang menyangkut kesejahteraan sosial anak. Jika hal ini tidak segera ditangani, tentu akan berakibat ke berbagai aspek, seperti menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta meningkatnya tindak kenakalan, dan kriminal di masyarakat. Mengingat hal tersebut, maka, perlu dilakukan tindakan untuk mengatasinya, baik sebelum maupun setelah anak-anak tersebut turun ke jalan. Penanganan anak-anak jalanan ini harus bersifat terpadu, artinya tidak hanya melibatkan anak itu sendiri tetapi juga keluarga dan masyarakat.

Sebenarnya pemerintah sudah mengambil suatu langkah untuk mengatasi masalah anak jalanan ini. Salah satunya adalah dengan membuat rumah singgah. Rumah Singgah Anak Jalanan (RSAJ) adalah suatu model penanganan anak jalanan yang menggunakan rumah sebagai pusat kegiatan (centre based). Di RSAJ, anak dibimbing dan dibina dalam suasana kekeluargaan sehingga RSAJ seringkali dipandang sebagai tempat persinggahan bagi anak yang termasuk kategori homeless, dan tempat mereka mendapatkan berbagai kegiatan yang bermanfaat.

Meski sudah banyak upaya yang dilakukan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, namun pada kenyataannya usaha ini belum dapat memenuhi sasaran yang sebenarnya. Adanya rumah singgah ini hanya sekedar meminimalkan masalah saja. Bahkan sering terjadi bahwa adanya rumah singgah justru mengakibatkan jumlah anak jalanan semakin bertambah karena mereka


(18)

merasa ada tempat yang dapat mereka gunakan sebagai rumah. Selain itu, rumah singgah yang ada kebanyakan benar-benar berfungsi sebagai “tempat singgah” di siang hari saja. Artinya, mereka hanya dibenarkan beristirahat di rumah singgah setelah mereka selesai bekerja saja. Sedangkan pada malam hari, mereka harus mencari tempat lain karena rumah singgah tersebut tutup. Selain itu, di banyak rumah singgah seringkali tidak dilaksanakan pendidikan yang sebenarnya menjadi kebutuhan utama anak-anak tersebut.

Kelemahan lain dari penyelenggaraan RSAJ adalah pada agen-agen perubahan atau fasilitator yang kurang memiliki kesamaan dengan sasaran perubahan. Kondisi seperti ini mengakibatkan kurangnya kemampuan empati pada agen perubahan yang pada akhirnya berdampak pada komunikasi yang kurang efektif (www.pendidikan.co.id).

1. Kehidupan di Jalanan

Sebagai kelompok masyarakat yang berisiko tinggi, anak yang hidup di jalan menggunakan semua fasilitas jalan untuk ruang hidup, seperti tidur, mencari uang, dan berhubungan dengan sesama temannya. Mereka biasa tidur di taman, bangku-bangku penumpang, kolong jembatan, emperan toko, dan tempat lain yang mereka anggap aman. Mereka sebenarnya tidak bekerja serius, hanya ingin makan, dan umumnya dengan mengemis, mengamen, minta pada teman, atau mencuri. Mereka tinggal berkelompok yang anggotanya saling membantu satu sama lainnya dalam urusan makan, mencari uang, bermain, atau kencan dengan teman wanita. Mereka umumnya memiliki ikatan yang sangat kuat dan solidaritas kelompok yang tinggi, tetapi hubungan dengan kelompok lain sangat rapuh.


(19)

Mereka mudah saja berkelahi atau tersinggung, seperti dalam perebutan tempat mangkal atau lokasi mencari uang. Ciri-ciri mereka adalah liar, tertutup, tidak tergantung kepada orang lain, dan bebas. Mereka sangat mudah berpindah tempat dari kota yang satu ke kota yang lain. Kontrol orangtua tidak ada karena hubungan yang sudah terputus. Mereka mengembangkan gaya hidup sendiri untuk survive. Kebutuhan terhadap lembaga-lembaga formal yang semestinya menampung mereka, seperti lingkungan rumah, sekolah, dan kelompok bermain tidak lagi didapatkan. Anak-anak jalanan yang dibimbing di rumah singgah pun, setelah keluar tak jarang kembali lagi ke jalanan. Fenomena ini seringkali terjadi walapun pihak rumah singgah telah memberikan sekolah gratis, makanan gratis, dan atap untuk berlindung bagi mereka. Mengapa hal ini terjadi? Karena uang. Di jalanan, mereka dengan gampang bisa memperoleh uang, yang biasanya minimum mencapai Rp. 20.000 per hari. Berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh paling tidak Rp. 600.000. Jumlah ini tentu saja relatif besar bagi seorang anak di bawah umur 18 tahun dan hidup di jalanan.

Dengan gaya hidup itu mereka menganggap jalanan sebagai suatu lembaga yang membuatnya merasa eksis. Oleh karena itu, kehidupan anak jalanan dianggap sebagai suatu dunia yang bisa membantu untuk bisa berdiri sendiri dan dapat dibandingkan dengan dunia anak-anak normal lainnya. Kedudukan yang akan didapat dalam pekerjaan juga jelas, misalnya banyak para sopir bis atau taksi yang ketika anak-anak sampai remaja adalah tukang semir, pencuci bis, kenek, kondektur, dan supir bajai, pedagang informalpun banyak yang memulainya sejak anak-anak. Namun tidak sedikit pula yang menjadi preman, pencuri, atau penjahat. Seperti halnya sistem sekolah yang bergantung kepada kemampuan


(20)

anak-anak, maka sistem jalanan demikian pula. Jika nilai positif yang banyak diserap maka ia akan menjadi orang yang tangguh karena telah terbiasa latihan keras dan kebal sejak anak-anak.

Banyak pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat yang ditempa di jalanan. Sayangnya lebih banyak yang terpuruk ke perilaku negatif dan menjadi korban, oleh karenanya keberadaan anak jalanan selalu menjadi perhatian luas dari jenjang lokal sampai international. Dengan kondisi tersebut, maka jelas mereka mudah menerima berbagai masalah. Oleh aparat pemerintah dianggap pengganggu ketertiban sehingga sering dikejar-kejar dan terus dirazia, sementara itu oleh masyarakat setempat atau orang yang mengunakan jalan raya, dianggap mengganggu kenyamanan. Anak-anak yang berperilaku menyimpang dianggap tengah bersosialisasi dengan kejahatan (www.sabda.co.id).

2. Faktor-faktor Penyebab Timbul dan Tumbuhnya Gejala Anak Jalanan

Berikut ini ada 3 tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan secara umum (Depsos, 2001:25-26):

1. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarga.

2. Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada di masyarakat. 3. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur

messo.

Pada tingkatan mikro, faktor yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri sendiri, yakni:


(21)

1. Lari dari keluarga, antara lain karena disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus sekolah, bermain, atau diajak teman.

2. Dari keluarga terlantar, antara lain karena ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orangtua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orangtua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, dan keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis, dan sosial.

Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi:

1. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu meningkatkan penghasilan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang berakibat si anak tidak dapat mengenyam pendidikan secara optimal.

2. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan, dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.

3. Penolakan mayarakat dan anggapan bahwa anak jalanan adalah sebagai calon kriminal.

Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah: 1. Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu

membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama di jalanan dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.


(22)

2. Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang dikriminatif, dan kententuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.

3. Belum seragamnya unsur-unsur pemerintah dalam memandang anak jalanan sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan), dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach / pendekatan keamanan).

B. Pengertian Perilaku Seks Bebas

1. Pengertian Perilaku

Menurut Singgih (1990), perilaku adalah tindakan sosial dan merupakan tindakan yang dipergunakan sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan sehingga kebutuhan atau kehendak dipenuhi. Selain itu perilaku merupakan perwujudan dari sikap seseorang apakah sikap itu mempunyai arah yang positif atau arah yang negatif terhadap suatu objek. Sedangkan menurut Skiner (1939), perilaku adalah hasil hubungan antara peran seseorang (stimulus) dan tanggapan (respon).

Semua manusia dalam bertingkahlaku pada dasarnya dimotivasi oleh dua kebutuhan yang saling berkaitan satu sama lain, sebagai perwujudan dari adanya tuntutan-tuntutan dalam hidup bersama kelompok sosial sekitar. Dan berikut dua kebutuhan yang dimaksud:

1. Kebutuhan untuk diterima oleh kelompok atau oleh orang lain 2. Kebutuhan untuk menghindar dari penolakan orang lain.


(23)

2. Pengertian Seks

Seks merupakan masalah penting bagi kehidupan manusia dan dalam setiap agama dianggap sebagai sesuatu yang bertujuan untuk meneruskan ciptaan Tuhan. Ditinjau dari pengertiannya, seks, seksual, dan seksualitas mempunyai arti yang berbeda. Kata seks mempunyai arti jenis kelamin, sesuatu yang dapat dilihat dan ditunjuk. Seks ini memberikan kita pengetahuan tentang suatu sifat atau ciri yang membedakan laki-laki dan perempuan. Sedangkan arti seksual, yaitu yang ada hubungannya dengan seks atau yang muncul dari seks. Misalnya pelecehan seksual, yaitu menunjuk kepada jenis kelamin yang dilecehkan. Menurut Sarwono (1983), pengetian seks dibagi dalam dua bagian, yaitu:

1. Seks dalam arti sempit

Seks dalam arti sempit berarti jenis kelamin, yaitu alat kelamin itu sendiri; anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah yang membedakan laki-laki dan perempuan (misalnya: perbedaan suara, pertumbuhan kumis, pertumbuhan payudara); kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat kelamin; kehamilan dan kelahiran (termasuk pencegahan kehamilan atau lebih dikenal dengan istilah Keluarga Berencana). 2. Seks dalam arti luas

Dalam pengertian ini seks adalah segala sesuatu yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin, antara lain perbedaan tingkahlaku (lembut, kasar, genit, dan lain-lain), perbedaan atribut (pakaian, nama, dan lain-lain) perbedaan peran dan pekerjaan; hubungan antara pria dan wanita: tatakrama pergaulan, percintaan, pacaran, perkawinan atau pernikahan, dan lain-lain.


(24)

Dalam buku “Pendidikan Seks dan Cinta Remaja” yang ditulis Larose (1993) juga dimuat pengertian seks, yaitu: “Seks bukanlah urusan kelenjar saja, adakalanya seks juga diartikan sebagai suatu pantulan rasa cinta. Oleh karena itu hubungan seks sering terjadi antara dua orang yang saling mencintai. Lambat laun akan disadari bahwa seksualitas adalah sesuatu yang luas dan amatlah kompleks. Seks merupakan perpaduan antara perasaan-perasaan yang membara”.

Seks merupakan naluri fitri dan unsur orisinal yang dimiliki manusia. Gairahnya cukup kuat dan panas. Ibarat arus listrik, ia harus disalurkan dan dilepaskan. Jika tidak, ia akan memberontak sang “majikan” dengan kekuatan yang cenderung tak terbendung. Namun melepaskan kendali seks di luar kerangka sistem yang legal berarti “anarki” dan meluluhkan nilai terhadap seks itu sendiri.

Perilaku seks adalah segala bentuk tingkahlaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepuasan untuk mencari atau memperoleh kepuasan seks diluar institusi perkawinan yang tentunya melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bentuk tingkahlaku itu bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, sampai dengan tingkahlaku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Berbagai perilaku seksual pada remaja dalam menyalurkan kebutuhan seksualnya antara lain:

1. Masturbasi atau onani, yaitu suatu kebiasaan buruk berupa manipulasi terhadap alat genital dalam rangka menyalurkan hasrat seksual untuk pemenuhan kenikmatan yang seringkali menimbulkan goncangan pribadi dan emosi.


(25)

2. Berpacaran dengan berbagai perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan, sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual.

3. Berbagai kegiatan ysng mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunujukkan tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan positif yang sebenarnya masih dapat dikerjakan.

Perilaku seks yang diteliti pada anak jalanan dalam penelitian ini bukan hanya sekedar sebatas berhubungan kelamin antar lawan jenis, tetapi seperti yang di jelaskan oleh Sarlito perilaku seks ada beberapa jenis, diantaranya ialah:

1. Saling berpelukan 2. Saling berciuman 3. Meraba payudara, dan

4. Meraba alat kelamin atau meraba bagian sensitif lainnya. C. Remaja dan Hubungan Seks Bebas

Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Kata-kata bijak ini nampaknya juga berlaku bagi para remaja, kendati dalam hal ini ketidaktahuan tentang seks bukan berarti lebih tidak berbahaya. Data yang dikumpulkan Nugraha (ahli kebidanan dan penyakit kandungan pada RS Dharmais, 1998) menunjukkan, 16 - 20% dari remaja yang berkonsultasi kepadanya telah melakukan hubungan seks bebas. Dalam catatannya, jumlah kasus itu cenderung naik; awal tahun 1980-an angka itu berkisar 5 - 10%.


(26)

Pengetahuan seks yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi. Misalnya saja, berciuman atau berenang di kolam renang yang "tercemar" sperma bisa mengakibatkan kehamilan, mimpi basah dikira mengidap penyakit kotor, kecil hati gara-gara ukuran penis kecil, atau sering melakukan onani bisa menimbulkan impotensi.

Beberapa akibat yang tentunya memprihatinkan ialah terjadinya pengguguran kandungan dengan berbagai risikonya, perceraian pasangan keluarga muda, atau terjangkitnya penyakit menular seksual (termasuk HIV) yang kini sudah mendekam di tubuh ribuan orang di Indonesia.

Akhirnya, para pemuda mengalami penyalahgunaan seksual, mereka melakukan hubungan seks antar keluarga (incest), dan perkosaan. Mereka beranggapan mungkin jalan tersebut bisa lebih aman dan jauh dari resiko. Di banyak daerah, orang-orang muda terutama mereka yang miskin atau tunawisma dan yang tidak mepunyai keterampilan untuk bersaing dalam rangka mendapatkan pekerjaan, seringkali menjadi korban eksploitasi seksual guna memperoleh keuntungan finansial. Anak-anak kecil dan para remaja sering belajar tentang seks dari teman sebayanya, saudara kandungnya, para orangtua dan media, namun informasi yang mereka peroleh melalui saluran ini terbatas dan mungkin masih banyak terdapat salahnya. Petunjuk formal yang disesuaikan dengan umur dan latar belakang pemuda yang bersangkutan merupakan sumber informasi akurat yang penting mengenai hubungan seks, kehamilan, melahirkan anak, kontrasepsi, dan pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS).


(27)

Menurut Ramali (1987) hubungan seks bebas merupakan persetubuhan bebas dengan siapa saja. Secara lebih operasional seks bebas merupakan hubungan seks tanpa ada ikatan perkawinan. Menurut Barker (2005), seks bebas adalah hubungan seks antara dua individu tanpa ikatan perkawinan. Pendapat yang paling ekstrim menyatakan bahwa aktivitas apapun yang dilakukan asalkan pikiran mengarah ke hubungan seks termasuk melanggar norma agama, yang dengan demikian termasuk seks bebas.

D. Kekerasan Seksual Pada Anak Jalanan

Dimasa yang akan datang, tampaknya masyarakat akan dikejutkan lagi oleh keterkaitan anak jalanan dengan obat-obat terlarang, terkenanya mereka oleh virus HIV, berkembangnya sikap anti sosial, dan gaya hidup yang khas, yang selama ini baru berupa potensi. Semua itu tentu tidak diharapkan, tetapi di Brazil, anak jalanan adalah bagian dari rantai jaringan narkotika, yang menyebabkan mereka “dihabisi” di jalan-jalan. Di Philipina dan Thailand, ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru lagi.

Sodomi, pembunuhan, dan pelacuran anak-anak di bawah umur merupakan ancaman terhadap anak jalanan di seluruh dunia. Terkait dengan ini adalah penyebaran virus HIV, karena sodomi dan pelacuran merupakan perilaku yang beresiko tinggi untuk menyebarkan HIV. Jika mengacu pada kondisi anak jalanan di negara lain, bukan hal yang mustahil akan terjadi pula di Indonesia karena kondisinya yang tidak jauh berbeda.


(28)

Secara teoritis, ada tiga karakteristik anak-anak jalanan, pertama, adalah anak-anak yang hidup di jalanan, kedua, anak-anak-anak-anak yang bekerja di jalanan, dan ketiga anak-anak yang rentan menjadi anak jalanan. Faktor-faktor yang membedakan karakteristik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Perbedaan Karaktersitik Anak Jalanan

Faktor pembeda Hidup di jalanan Bekerja di jalanan Rentan menjadi anak jalanan

Lama di jalanan 24 jam 7-12 jam 4-6 jam

Hubungan Dengan

keluarga Putus hubungan

Tidak teratur pulang ke rumah

Masih tinggal dengan orangtua Tempat tinggal Di jalanan Mengontrak

(bersama-sama)

Bersama keluarga Pendidikan Tidak sekolah Tidak sekolah Masih sekolah Tabel di atas memperlihatkan bahwa anak yang hidup di jalanan merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap berbagai bahaya dibandingkan kelompok lain. Kelompok anak yang bekerja di jalanan relatif lebih aman karena umumnya mereka tinggal berkelompok dan sebagian bersama orangtua atau warga sekampungnya di daerah kumuh di kota-kota, sehingga mereka bisa saling mengontrol satu sama lainnya. Namun karena kebersamaan ini pula, gampang sekali tergerak pada perilaku negatif seperti pencurian, judi, seks bebas, dan lain-lain. Perilaku itu sebagian menjadi kebiasaan mereka sebagai refreshing jika uang mereka habis di meja judi, dan mereka berpikir uang akan mudah didapat lagi di jalan (www.indonesia.org). Dan pada penelitian ini, anak yang diteliti adalah anak jalanan yang 24 jam berada di jalanan.

Kelompok anak yang rentan menjadi anak jalanan lebih aman karena mereka hanya beberapa jam di jalanan, masih tinggal dengan orangtua, dan masih sekolah. Ancaman mereka adalah pengaruh teman yang kuat yang bisa menyeret


(29)

mereka lebih lama di jalan, meninggalkan rumah dan sekolah, dan memilih berkeliaran di jalan karena lebih banyak memberikan kebebasan dan kesenangan. Dayatarik ini dirasakan semakin kuat apabila di rumah hubungan dengan orangtua kurang harmonis, orangtua yang bekerja dari pagi sampai malam sehingga anak tidak terawasi, atau unsur eksploitasi dimana anak harus memberikan penghasilannya kepada orangtua, yang jika tidak maka akan menerima hukuman fisik.

Persoalan nyata yang dihadapi anak jalanan adalah adanya eksploitasi dalam kehidupannya, seperti seks, pekerjaan, dan kehidupan yang lebih luas. Eksploitasi ini bertingkat dari cara yang halus sampai yang sangat kasar. Sodomi, seks pada anak di bawah umur, pergaulan dengan Wanita Tuna Susila (WTS), dan kumpul kebo, merupakan eksploitasi yang bersifat seks, sedangkan eksploitasi pekerjaan bersifat penghisapan upah. Eksploitasi lainnya adalah si anak tinggal bersama preman dan menjadi anak asuhnya serta wajib melayaninya, termasuk sodomi. Di beberapa tempat, hampir setiap malam anak-anak jalanan didatangi kaum paedofil di tempat-tempat mereka biasa berkumpul. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran anak-anak jalanan terhadap orang baru yang mendekati mereka, pertama, takut diajak homo, kedua, takut dijual. Akibatnya, mereka selalu curiga kepada orang yang baru dikenalnya.

Kaum paedofil biasanya datang pada malam hari ketempat-tempat yang umumnya dikenal banyak anak jalanan, seperti terminal, stasiun, pasar, taman, dan kolong jembatan. Mereka biasanya mencermati mana di antara orang yang tidur itu anak-anak. Biasanya mereka langsung memegang alat vital anak-anak jika situasi di


(30)

sekitarnya tidak terlalu ramai. Jika anak itu terbangun, maka dia akan menenangkan anak lalu mencoba merayu dengan cara mengajak makan, menjanjikan membeli baju baru, dan membawanya kerumah. Anak lama dan telah memiliki pengalaman, biasanya berontak dan melawan, lalu sebisa mungkin menghindarinya dengan cara lari atau memanggil teman-temannya. Tetapi anak yang baru datang ke jalanan, tanpa pengalaman, dan masih kecil sehingga tidak mengetahui sedang diapakan, mereka menurut dan mau diajak kerumah. Anak-anak yang diincar bukan saja yang tidur, tetapi mereka yang bekerja atau sedang bermain di jalanan. Mereka pun dirayu dengan jenis rayuan yang sama dan dijanjikan diberikan uang. Bisa seribu rupiah atau bisa sampai puluhan ribu rupiah. Mereka yang menjadi korban adalah anak-anak yang memang membutuhkan uang.

Di rumah, anak itu lalu “digarap”, biasanya mereka dimandikan dulu karena hampir semua anak jalanan bertubuh dan berpakaian kotor, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Ada seorang anak yang bercerita, bahwa setelah mandi kemudian ia diberi baju yang bersih, diberi makan enak, lalu disuruh tidur. Ketika malam hari, dia terbangun karena si paedofil itu mengusap-usap pipi, menciuminya, lalu membelai-belai kemaluannya, anak tersebut berontak, lalu kabur. Jika anak menerima perlakuan ini maka terjadilah kekerasan seksual. Bagi sebagian anak, hal ini dianggap memberikan keuntungan karena bisa mendatangkan uang. Oleh karenanya ada yang sengaja menjual dirinya kepada paedofil. Mereka biasanya mangkal di tempat-tempat tertentu, bahkan ada yang sudah mempunyai langganan. Perilaku ini mungkin agak sulit diubah karena sudah merupakan kesenangan mereka, apalagi kalau melakukannya sudah dalam


(31)

kurun waktu yang lama. Perilaku seks yang lain adalah dimana anak tidak saja menjadi korban, melainkan sebagai pelaku seks, artinya dengan sadar ia melakukan hubungan-hubungan seks. Hubungan seks dengan Wanita Tuna Susila (WTS) atau paedofil tidak saja didasarkan pada motif seks, tetapi sebagian dianggap sebagai upaya menyalurkan kasih sayang, seperti halnya anak kepada orangtuanya. Akibat dari masalah ini adalah semakin rentannya anak terhadap virus HIV/AIDS. Di Indonesia anak jalanan masih belum dianggap sebagai kelompok dengan resiko tinggi terkena HIV/AIDS, padahal di Thailand, sekitar 40% dari puluhan pelacur anak-anak yang beroperasi di jalan-jalan di Bangkok mendapat vonis mati akibat tercemar virus HIV. Di Bombay terdapat sekitar 50.000 pekerja seks berusia di bawah 18 tahun. Di Brazil sekitar 250.000 anak terlibat prostitusi (Andri,1993).

E. Kerangka Pikir

Anak jalanan adalah anak laki-laki dan perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan tempat-tempat umum, seperti pasar, terminal bis, dan stasiun kereta api. Mengapa mereka tidak boleh hidup dijalanan, karena jalanan adalah bukan tempat yang nyaman buat mereka. Mereka seharusnya hidup bersama dengan orangtua dan keluarganya di rumah yang nyaman dan bersahabat. Mereka seharusnya mendapatkan kehidupan dan kasihsayang dari orangtua, dan dapat bermain atau belajar bersama teman-temannya di sekolah. Jalanan adalah tempat yang sangat berbahaya dan memiliki resiko yang besar buat anak-anak, sebab jalanan bukanlah lingkungan yang baik


(32)

untuk proses pertumbuhan anak dan merealisasikan petensi-potensi yang ada pada diri anak-anak.

Mereka kerap mengalami eksploitasi ekonomi oleh orang dewasa (termasuk orang tuanya); mereka rentan terhadap kekerasan fisik, sosial, dan seksual. Mereka juga sering dipaksa harus menjadi pengedar narkoba dan atau terlibat kejahatan lainnya. Pada umumnya anak jalanan tidak hidup dengan orangtuanya, tidak bersekolah, dan tidak memiliki orang dewasa atau lembaga yang merawat mereka. Kemiskinan diyakini sebagai faktor utama yang menimbulkan fenomena anak jalanan. Keluarga yang miskin cenderung menyuruh anak mereka bekerja, selain itu tidak sedikit anak-anak yang menjadi anak jalanan karena keluarga tidak harmonis, diterlantarkan oleh keluarganya, atau karena mengalami kekerasan dalam rumahtangga.

Karena umur anak jalanan berkisar antara 13-17 tahun, dimana pada umur tersebut seseorang sedang mengalami peningkatan hasrat seksual dikarenakan perubahan fisik dan biologis yang sedang terjadi padanya. Faktor ini bertendensi membuat mereka melakukan hubungan seks di kalangan mereka. Anak jalanan mengenal seks dari berbagai media, terutama dari pergaulan atau interaksi mereka dengan orang-orang sekitar mereka. Dengan umur yang masih sangat muda, mereka sudah banyak mengenal perilaku-perilaku seks bebas yang seharusnya belum pantas mereka lakukan. Dan disini akan dibahas bagaimana perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan tersebut, mulai dari mencium, meraba-raba bagian sensitif seseorang sampai dengan berhubungan badan atau berhubungan kelamin.


(33)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Hadari Nawawi, penelitian deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, masyarakat, lembaga, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (1991:63). Sedangkan menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1998:4), tujuan dari penelitian deskriptif adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu

b. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial.

B. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel

Definisi konseptual dan operasional variabel dalam penelitian ini bermanfaat untuk membatasi pengertian dalam pembahasan selanjutnya, konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut:


(34)

1. Perilaku Seks Bebas Anak Jalanan

Perilaku seks bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku seks di kalangan anak jalanan mulai dari berciuman, meraba-raba (payudara, alat kelamin), sodomi, sampai dengan hubungan kelamin atau hubungan badan yang disalahgunakan dan dilakukan tanpa adanya ikatan yang sah di dalamnya atau di luar institusi perkawinan.

2. Faktor Penyebab Perilaku Seks Bebas

Faktor-faktor penyebab yang dimaksud dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang menyebabkan anak-anak jalanan sampai terjerumus ke dalam perilaku seks bebas di kalangan mereka. Dalam penelitian ini, ada beberapa aspek yang akan diamati, antara lain sebagai berikut:

1. Motivasi dalam melakukan hubungan seks 2. Kondisi ekonomi keluarga

3. Keutuhan keluarga

4. Pola pengasuhan di dalam keluarga 5. Pendidikan orangtua

6. Pergaulan di kalangan anak jalanan C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Bandar Lampung, yaitu anak-anak jalanan yang berada di Lapangan Enggal, Stasiun Kereta Api, di bawah Mall Ramayana, lampu merah Rumah Sakit Abdul Muluk, dan Pasar Tengah, dimana tempat-tempat tersebut merupakan tempat mereka bermukim, walaupun tidak untuk menetap


(35)

dalam waktu yang lama. Peneliti memilih lokasi Bandar Lampung karena menurut peneliti lokasi ini merupakan tempat yang tepat untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan judul, dan selain itu dapat lebih meminimalisasikan baik waktu maupun materi dari peneliti.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (1995:52), populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang cirinya akan diduga. Berdasarkan tema penelitian, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak jalanan yang berada di Kota Bandar Lampung, tepatnya anak-anak jalanan yang berada di Lapangan Engggal, Stasiun Kereta Api, di bawah Mall Ramayana, lampu merah Rumah Sakit Abdul Muluk, dan Pasar Tengah.

Peneliti turun langsung ke lapangan dalam mengumpulkan data, karena anak jalanan selalu berpindah-pindah, sehingga data yang didapatkan dari LSM terkadang kurang tepat. Jadi dari berbagai tempat yang dikunjungi oleh peneliti didapat 106 orang anak jalanan. Dan 106 orang anak jalanan tersebut merupakan akumulasi dari tempat-tempat sebagai berikut:

1. Lapangan Enggal, terdapat 18 orang anak jalanan 2. Stasiun Kereta Api, terdapat 30 orang anak jalanan 3. Mall Ramayana, 21 orang anak jalanan

4. Lampu merah RS Abdul Muluk, 23 orang anak jalanan, dan 5. Pasar tengah, 14 orang anak jalanan.


(36)

2. Sampel

Sampel adalah perwakilan dari seluruh populasi yang akan dijadikan objek penelitian. Dalam menentukan banyaknya sampel penelitian terhadap populasi, digunakan rumus Yamane (dalam Jalaludin Rahmat, 1984:82) dengan rumus sebagai berikut: n= 1 2  Nd N Keterangan :

n = banyaknya sampel N = banyaknya populasi

d2 = taraf nyata, (ditentukan sebesar 0,1) 1 = bilangan konstanta

Jumlah dari keseluruhan anak jalanan tersebut 106 orang, maka akan dicari sampelnya berdasarkan rumus. Berdasarkan rumus di atas, maka diperoleh jumlah sampel sebagai berikut:

n = 1 ) 1 , 0 ( 106 106 2  n = 06 , 2 106

n = 51,456 (52)

Karena bilangan 51,456 adalah pecahan, maka dibulatkan menjadi 52 sampel (n=52 orang). Jadi sampelnya berjumlah 52 orang anak jalanan.

Karena ada di lima tempat yang berbeda, maka penulis harus mengalokasikannya secara proporsional sehingga sampel tersebut dapat mewakili keseluruhan


(37)

populasi yang ada. Untuk itu penulis menggunakan rumus area proporsional sebagai berikut:

n

i =

N Pi

x S Keterangan:

n

i = banyaknya sampel ke satu, dua, ...

S = banyaknya sampel keseluruhan Pi = banyaknya populasi kesatu, kedua, ...

N = banyaknya populasi keseluruhan (Henny Farida, 1999:30)

Jadi sampel yang diperoleh dari tiap-tiap tempat adalah sebagai berikut:

n

1 =

106 18

x 52 = 8,8 (9)

n

2 =

106 30

x 52 = 14,72 (15)

n

3=

106 21

X 52 = 10,3 (10)

n

4 = 106

23 x52

= 11,3 (11)

n

5 =

106 15

x 52 = 7,4 (7)

Berdasarkan sebaran populasi dan sampel penelitian, maka dapat dilihat jumlah sampel yang akan diambil dari masing-masing tempat seperti pada Tabel 2.


(38)

Tabel 2. Sebaran Populasi dan Sampel Anak Jalanan Di Tempat-tempat Persinggahan Anak Jalanan Di Kota Bandar Lampung

Lokasi Populasi

(Orang)

Sampel (Orang)

Lapangan Enggal 18 9

Stasiun Kereta Api 30 15

Mall Ramayana 21 10

Lampu Merah R.S Abdul M 23 11

Pasar Tengah 14 7

Jumlah 106 52

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

Penentuan responden yang dijadikan sampel penelitian pada masing-masing tempat dilakukan dengan cara simple random sampling melalui undian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini teknik yang dipakai untuk mengumpulkan data yang diperlukan adalah:

a. Kuesioner

Adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan yang ditujukan untuk memperoleh data atau informasi yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu tentang perilaku seks bebas di kalangan anak jalanan, dan apa saja faktor penyebabnya.

Kuesioner yang dipergunakan adalah kombinasi angket tertutup dan terbuka, angket yang bersifat tertutup yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dan disertai pilihan jawaban sehingga responden tinggal memilih jawaban yang dianggap paling tepat, sedangkan yang bersifat terbuka adalah pertanyaan-pertanyaan yang disertakan untuk melengkapi informasi atau keterangan dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat tertutup.


(39)

b. Wawancara

Teknik ini digunakan untuk memperoleh data tambahan dengan cara tanya-jawab sambil bertatapmuka secara langsung antara pewawancara dengan responden. c. Dokumentasi

Suatu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mencari atau mengumpulkan data sekunder yang berhubungan dengan masalah penelitian, dimaksudkan untuk melengkapi data primer yakni dengan cara mempelajari sumber-sumber sekunder, dan mencatat dokumen/arsip-arsip yang ada di lokasi penelitian.

F. Teknik Pengolahan Data

Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh, maka data penelitian diolah dengan melalui tahapan:

a. Editing

Dalam tahap ini, data yang diperoleh dari lapangan diperiksa kembali, dalam arti dilakukan pengecekan kembali terhadap kemungkinan kesalahan pengisian daftar pertanyaan dan ketidakserasian informasi.

b. Koding

Yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban responden menurut macammnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing jawaban dengan kode tertentu.


(40)

Tabulating yaitu memasukkan data ke dalam kolom-kolom tabel atau mengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa dengan teliti dan teratur. Kegiatan ini dilaksanakan sampai dengan terwujudnya tabel-tabel, yang selanjutnya digunakan untuk menganalisa data yang diperoleh.

G. Teknik Analisis Data

Menurut Singarimbun dan Effendi (1987:263), analisis data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan tipe penelitian yang digunakan.

Analisis ini didasarkan pada data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner, wawancara, dan dokumentasi yang didapat dari penelitian. Setelah semua data diolah, data kemudian disusun sedemikianrupa sehingga memudahkan analisisnya. Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, dibantu dengan tabel distribusi tunggal. Teknik analisis data dilakukan dengan cara memasukkan data yang diperoleh dari lapangan ke dalam tabel distribusi tunggal. Kemudian diinterprestasikan dengan menggunakan susunan kata (diperkuat melalui hasil observasi di lokasi penelitian) dan kalimat bermakna secara sistematis sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.


(41)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kota Bandar Lapung

1. Sejarah Singkat Kota Bandar Lampung

Sebelum tanggal 18 Maret 1964, Provinsi Lampung merupakan Keresidenan (sebagai tindaklanjut statusnya pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda dahulu) dengan sebutan Residentic der Lapoenghoe Districten. Sewaktu zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Keresidenan Lampung merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Namun, berdasarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1964, yang kemudian menjadi Undang-undang No. 14 tahun 1964, Keresidenan Lampung ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Lampung dengan ibukotanya Tanjung Karang-Teluk Betung. Sementara itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1983 Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjungkarang-Teluk Betung diganti menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung, dan sejak tahun 1999 berubah menjadi Kota Bandar Lampung. Dengan Undang-undang No. 5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1982 tentang Perubahan Wilayah, maka Kota Bandar Lampung diperluas dengan pemekaran dari 4 kecamatan dan 30 kelurahan menjadi 9 kecamatan dengan 58 kelurahan. Kemudian berdasarkan surat keputusan Gubernur No. G/185.B.111/Hk/1988 tanggal 6 Juli 1988, serta surat persetujuan Mendagri


(42)

nomor 140/1799/PUOD tanggal 19 Mei 1987 tentang Pemekaran Kelurahan di Wilayah Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung terdiri dari 9 kecamatan dan 84 kelurahan. Selanjutnya pada tahun 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 04, Kota Bandar Lampung diperluas lagi menjadi 13 kecamatan dengan 98 kelurahan.

Sejak tahun 1965 sampai saat ini, pimpinan Kota Bandar Lampung telah dijabat oleh beberapa Walikota/KDH Tingkat II, berturut-turut sebagai berikut:

1. Sumarsono Periode 1956-1957

2. H. Zainal Abidin Pagaralam Periode 1957-1963 3. Alimudin Umar, S.H. Periode 1963-1969 4. Drs. H. M. Thabrani Daud Periode 1969-1976 5. Drs. H. Fauzi Saleh Periode 1976-1981 6. Drs. H. Zulkarnain Subing Periode 1981-1986 7. Drs. H. A. Nurdin Murhayat Periode 1986-1995

8. Drs. H. Suharto Periode 1996-2005

9. Edy Sutrisno, S.Pd, M.Pd. Periode 2005 sampai sekarang (Sumber: Kota Bandar Lampung dalam Angka, 2008)

2. Keadaan Geografis dan Luas Wilayah

Kota Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung. Selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, Kota Bandar Lampung juga merupakan daerah transit kegiatan perekonomian di Provinsi Lampung. Kota Bandar Lampung yang terletak di wilayah yang sangat


(43)

strategis, juga merupakan daerah transit perekonomian antar pulau, yakni Sumatra dan Pulau Jawa sehingga menguntungkan bagi pertumbuhan dan pengembangan Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata.

Secara geografis, Kota Bandar Lampung terletak pada posisi 5°20’ sampai dengan 5°30’ Lintang Selatan dan 105°28’ sampai dengan 105°37’ Bujur Timur. Ibukota Provinsi Lampung ini berada di Teluk Lampung yang terletak di ujung Selatan Pulau Sumatera. Kota Bandar Lampung memiliki luas wilayah 197 km2 yang terdiri dari 13 kecamatan dan 98 kelurahan.

Secara administratif, batas wilayah Kota Bandar Lampung meliputi:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan, Ketibung Lampung Selatan dan Teluk Lampung.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran.

Seluruh kecamatan yang membatasi wilayah Kota Bandar Lampung ini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran. 3. Kondisi Topografi dan Demografi

Secara demografis penduduk Kota Bandar Lampung terdiri dari berbagai suku bangsa (heterogen), kepadatan penduduk pada tahun 2007 sebesar 382,29 jiwa per Km2 dengan laju pertumbuhan penduduk 2,22% pertahun. Pada tahun 2006


(44)

tingkat migrasi masuk di Kota Bandar Lampung sebesar 4,8%. Lampung menjadi tujuan transmigrasi utama pada awal tahun 1930. Penduduk meliputi sebagian besar atau lebih dari 70 persen keturunan migran dari Jawa, Madura, Bali, Sumatra Utara dan migran dari Sumatra Selatan, sementara sisanya adalah masyarakat suku asli Lampung.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk di Kota Bandar Lampung adalah sebanyak 809.860 jiwa, yang tersebar ke dalam 13 kecamatan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2008

Kecamatan Penduduk / Populasi (Jiwa)

Laki-laki Perempuan Jumlah

Teluk Betung Barat 27.485 27.485 54.505

Teluk Betung Selatan 55.607 54.669 110.276

Panjang 31.571 31.039 62.610

Tanjung Karang Timur 42.064 41.355 83.419

Teluk Betung Utara 33.443 32.884 66.327

Tanjung Karang Pusat 40.907 40.218 81.125

Tanjung Karang Barat 27.111 26.653 53.764

Kemiling 26.823 26.370 53.193

Kedaton 45.278 44.515 89.793

Rajabasa 16.334 16.057 32.391

Tanjung Seneng 14.748 14.499 29.247

Sukarame 27.416 26.953 54.369

Sukabumi 26.151 26.953 51.861

Jumlah / Total 414.938 407.942 822.880 Sumber: BPS Kota Bandar Lampung

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Teluk Betung Selatan, yaitu sebanyak 110.276 jiwa. Dengan luas wilayah 10,07 Km2, maka kepadatan penduduk di wilayah tersebut adalah sebesar 10.951 jiwa, berada di urutan kedua setelah Kecamatan kedaton yang tingkat


(45)

kepadatan penduduknya sebesar 8.253 jiwa. Secara demografis, jumlah populasi di kota Bandar Lampung dapat dikategorikan pula berdasarkan kelompok usia dari 0 tahun hingga 75 tahun ke atas, seperti yang dijabarkan dalam Tabel 5 berikut:

Tabel 4. Jumlah Penduduk Kota Bandar Lampung menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2008

Kelompok Usia Laki-laki Perempuan Jumlah

0-4 42.319 39.810 82.129

5-9 40.974 38.933 79.907

10-14 43.207 42.394 85.601

15-19 49.329 52.660 101.989

20-24 45.513 49.613 95.126

25-29 40.317 42.291 82.608

30-34 34.851 34.726 69.577

35-39 30.864 30.326 61.190

40-44 26.675 23.292 49.967

45-49 19.384 16.209 35.593

50-54 13.700 11.512 25.212

55-59 9.561 8.135 17.696

60-64 7.709 7.192 14.901

65+ 10.535 10.849 21.384

Jumlah/Total 414.938 407.942 822.880 Sumber: BPS Kota Bandar Lampung

Dari data tersebut diketahui bahwa golongan penduduk yang mendominasi di Kota Bandar Lampung adalah golongan umur 15-19 tahun sebanyak 101.989 jiwa dan golongan umur 20-24 tahun sebanyak 95.126 jiwa, sedangkan untuk usia anak 10-14 tahun sebanyak 85.601 jiwa.

Kota Bandar Lampung terletak pada ketinggian 0 sampai 700 meter di atas permukaan laut dengan topografi sebagai berikut:

a. Daerah pantai, yaitu sekitar Teluk Betung bagian Utara.

b. Daerah perbukitan, yaitu daerah sekitar Teluk Betung bagian Utara. c. Teluk Lampung dan pulau-pulau kecil bagian Selatan


(46)

d. Daerah dataran tinggi sedikit bergelombang, terdapat di sekitar Tanjung Karang bagian Barat yang dipengaruhi oleh Gunung Balau serta perbukitan Batu Serampak di bagian Timur Selatan.

Di tengah-tengah Kota Bandar Lampung mengalir beberapa sungai, diantaranya Way Halim, Way Balau, Wai Awi, dan Way Simpur di wilayah Tanjung Karang, Way Kuripan, Way Kupang, Way Garuntang, dan Way Kuwala yang mengalir di wilayah Teluk Betung. Daerah hulu sungai berada di bagian Barat, sedangkan daerah hilir berada di sebelah Selatan, yaitu di wilayah pantai. Sebagian wilayah Kota Bandar Lampung juga merupakan perbukitan yang diantaranya bernama Gunung Kunyit, Gunung Kelutum, Gunung Banten, Gunung Kucing, dan Gunung Kapuk.

4. Kondisi Perekonomian

Salah satu indikator kesejahteraan penduduk di suatu wilayah adalah tingkat perekonomian, yang secara konkret dapat dilihat dari pendapatan perkapita regional di wilayah tersebut. Begitu pula halnya di Kota Bandar Lampung, dengan melihat pendapatan perkapita, Kota Bandar Lampung memiliki total nilai PDRB menurut harga konstan yang dicapai daerah ini pada tahun 2006 sebesar 5.103.379 (dalam jutaan rupiah) dengan konstribusi terbesar datang dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran (19,12%), disusul kemudaian dari sektor bank/keuangan (17,50%), dan dari sektor industri pengolahan (17,22%). Total nilai ekspor non migas yang dicapai Kota Bandar Lampung hingga tahun 2006 sebesar 4.581.640 ton, dengan konstribusi terbesar datang dari komoditi kopi (140.295 ton), karet (15.005 ton), dan kayu (1524 ton). Daerah ini mempunyai potensi yang besar


(47)

untuk dikembangkan, antara lain di sektor perkebunan dengan komoditi utama yang dihasilkan berupa cengkeh, kakao, kopi robusta, dan kelapa hibrida. Kontributor utama perekonomian daerah ini adalah dari sektor industri pengolahan. Terdapat berbagai industri yang bahan bakunya berasal dari bahan tanaman dan perkebunan, industri tersebut sebagian besar merupakan industri rumahtangga yang mengolah kopi, pisang menjadi keripik pisang, dan lada. Hasil industri ini kemudian menjadi komoditi perdagangan dan ekspor. Perdagangan menjadi tumpuan matapencaharian penduduk di samping sektor industri dan jasa. Keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai lebih memudahkan para pedagang untuk berinteraksi sehingga memperlancar, baik arus barang maupun jasa. Daerah ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung, diantaranya terdapat beberapa pelabuhan utama yaitu Pelabuhan Teluk Betung dan Pelabuhan Khusus Tarahan. Selain itu, terdapat juga sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas, dan jaringan telekomunikasi.

B. Pendidikan di Kota Bandar Lampung

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan tingkat kemajuan masyarakat, makin tinggi tingkat pendidikan, maka gambaran kemajuan masyarakat makin tinggi.

Jenjang pendidikan dan sarana pendidikan yang dikelola oleh sekolah negeri dan swasta di Kota Bandar Lampung cukup berkembang. Pada setiap anggaran daerah, Pemerintah Kota Bandar Lampung senantiasa mengalokasikan anggaran untuk peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan, seperti rehabilitasi gedung sekolah, pembangunan ruang kelas baru maupun unit sekolah baru. Hal ini


(48)

dilakukan untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah serta meningkatkan daya tampung sekolah-sekolah sehingga dapat memberikan kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi masyarakat.

Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bandar Lampung Tahun 2005-2010, yaitu mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mencapai maksud tersebut, maka Walikota Bandar Lampung terus mengambil langkah-langkah strategis untuk merampungkan misi tersebut sehingga diakhir masa jabatannya dapat mewujudkan peningkatan sumberdaya manusia melalui peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan pendidikan untuk menjawab tantangan pembangunan sekarang dan masa yang akan datang.

Ada tiga pilar utama sektor pendidikan yang dikembangkan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, yakni:

1. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan anak usia dini, peningkatan angka partisipasi murni (APM) untuk jenjang SD, SMP, MTS, SMA, MA, dan SMK, serta peningkatan partisipasi dan perluasan jalur nonformal.

2. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing melalui pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), peningkatan pemahaman masyarakat terhadap hakekat dan fungsi pendidikan, dan peningkatan alokasi anggaran pendidikan.


(49)

3. Penguatan tatakelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik melalui dukungan fasilitas pembelajaran dan kualifikasi pendidikan guru, kompetensi mengajar guru, meminimalkan siswa mengulang, dan peningkatan prestasi akademik (hasil ujian nasional).

C. Mobilitas Sosial di Kota Bandar Lampung

Menurut para ahli, yang dimaksud dengan mobilitas sosial adalah suatu proses perpindahan, baik status sosial maupun tempat tinggal. Mobilitas sosial dapat terjadi dalam dua arah, yakni arah vertikal (tinggi-rendah) dan arah horizontal (ke samping). Tetapi yang dimaksud mobilitas sosial dalam penelitian ini, dibatasi hanya dalam pengertian berupa perpindahan penduduk dari satu lokasi ke lokasi lainnya, dalam hal ini dapat juga dikatakan dengan migrasi penduduk (www.ilmupedia.com).

Sejak zaman dahulu, menurut hasil observasi dari berbagai peneliti, Kota Bandar Lampung merupakan daerah tujuan para pendatang yang berasal dari berbagai daerah, baik berupa perpindahan dari desa ke kota (urbanisasi), maupun transmigrasi yang di canangkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu etnik yang ada di Kota Bandar Lampung bisa dikatakan sangat beragam. Hal tersebut terlihat dari keberagaman penduduk yang ada di berbagai wilayah di Kota Bandar Lampung. Dan Kota Bandar Lampung termasuk juga kota tujuan anak jalanan yang berasal dari berbagai daerah yang mencoba peruntungan mereka di Kota Bandar Lampung. Kebanyakan dari mereka merupakan anak-anak yang tidak memiliki keluarga, kondisi perekonomian keluarga yang buruk, dan ingin mencari uang untuk kebutuhan mereka sendiri ataupun keluarga.


(50)

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab V ini akan dibahas hasil analisis data yang diperoleh dari penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi tunggal. Dari penyajian tabel distribusi tunggal ini, diharapkan dapat menggambarkan kondisi yang nyata tentang keadaan responden yang meliputi identitas atau karakteristiknya, latar belakang dan motivasi menjadi anak jalanan, serta motivasi melakukan seks bebas.

A. Identitas Responden

Identitas responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, agama, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan anak jalanan yang berada di Kota Bandar Lampung.

1. Umur

Umur atau usia seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitasnya. Seseorang yang berada pada umur muda atau produktif memungkinkan bagi dirinya untuk bekerja lebih banyak dibandingkan dengan yang berumur tua atau tidak produktif, karena seseorang yang telah memasuki usia tua maka tingkat produktivitasnya akan menurun seiring dengan menurunnya kekuatan fisik. Demikian halnya anak jalanan dalam melakukan pekerjaannya, juga memerlukan


(51)

kekuatan fisik mengingat pekerjaan dan aktifitas mereka yang kebanyakan di jalanan. Selain itu, dalam umur yang relatif masih muda tersebut, mereka juga mencari jati diri dengan selalu ingin mencoba hal-hal baru, seperti misalnya mencoba obat-obatan terlarang dan zat-zat adiktif lainnya, juga seks bebas yang menjadi tema dalam penelitian ini. Dari mencoba-coba inilah kemudian kegiatan tersebut menjadi suatu kebutuhan bagi mereka.

Berdasarkan data yang terkumpul, diketahui umur responden yang terendah adalah 13 tahun dan yang tertinggi 17 tahun. Jumlah anak jalanan menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini:

Tabel 5. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur (Tahun)

Jumlah (Orang)

Persentase (%)

13 1 1,9

14 4 7,7

15 10 19,3

16 19 36,5

17 18 34,6

Jumlah 52 100,0

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

Dari Tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar anak jalanan tergolong dalam usia produktif, yang terbanyak adalah kelompok usia 16 tahun, yaitu sebesar 36,5%. Pada usia masih sangat muda tersebut mereka seharusnya berada di sekolah atau merasakan indahnya masa kecil, tetapi pada kenyataannya mereka berada di jalanan untuk bekerja.


(52)

2. Agama yang Dianut

Responden dalam penelitian ini beragama Islam dan Katolik, tetapi agama Islam lebih mendominasi karena penduduk di Kota Bandar Lampung mayoritas beragama Islam, dengan jumlah 43 orang (82,7%) dan Katolik berjumlah 9 orang (17,3%).

Distribusi responden berdasarkan agama bisa dilihat dalam Tabel 6 berikut ini: Tabel 6. Distribusi Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung

berdasarkan Agama

Agama Jumlah

(Orang)

Persentase (%)

Islam 43 82,7

Katolik 9 17,3

Jumlah 52 100,0

Sumber: Data Primer Hasil Penelitian Tahun 2009

Meskipun demikian, anak-anak jalanan yang mengaku memeluk agama, baik Islam maupun Katolik, jarang sekali atau tidak pernah samasekali menjalankan ibadah atau perintah agamanya masing-masing. Hal ini boleh jadi karena kondisi atau keadaan mereka yang tidak memungkinkan untuk melakukan ibadah. Dengan jarangnya mereka melakukan ibadah, secara tidak langsung sudah menjauhkan mereka dari Tuhan merekamasing-masing, sehingga rasa takut untuk melakukan hal-hal yang burukpun tidak ada lagi. Salah satunya melakukan seks bebas tersebut.


(1)

13

Pernah/tidak dapat kekerasan seksual

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak pernah 52 100.0 100.0 100.0

Apa contohnya jika pernah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Tidak menjawab 52 100.0 100.0 100.0

Pernah/tidak didatangi paedofil

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pernah 7 13.5 13.5 13.5

Tidak pernah 45 86.5 86.5 100.0

Total 52 100.0 100.0

Motivasi melakukan seks bebas

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pengaruh teman 26 50.0 50.0 50.0

Pelindungan 3 5.8 5.8 55.8

Refresing/kesenangan 22 42.3 42.3 98.1

Ingin tahu 1 1.9 1.9 100.0

Total 52 100.0 100.0

Apa seks bebas dijadikan kerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 1 1.9 1.9 1.9

Tidak 51 98.1 98.1 100.0

Total 52 100.0 100.0

Tempat biasanya melakukan seks

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Sebuah rumah 24 46.2 46.2 46.2

Di gang sepi 22 42.3 42.3 88.5

Gerbong kosong Toko kosong 2 4 3.8 7.7 3.8 7.7 92.3 100.0


(2)

14

Pernah melakukan dengan PSK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 7 13.5 13.5 13.5

Tidak 45 86.5 86.5 100.0

Total 52 100.0 100.0

Pernah kena penyakit kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 6 11.5 11.5 11.5

Tidak 46 88.5 88.5 100.0

Total 52 100.0 100.0

Jika pernah penyakit apa

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Spilis 6 11.5 11.5 11.5

Tidak menjawab 46 88.5 88.5 100.0

Total 52 100.0 100.0

Orang tua tau/tidak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ya 6 11.5 11.5 11.5

Tidak 46 88.5 88.5 100.0

Total 52 100.0 100.0

Apa tanggapan mereka jika tau

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Biasa saja 3 5.8 5.8 5.8

Marah 1 1.9 1.9 7.7

Tidak menjawab 48 92.3 92.3 100.0

Total 52 100.0 100.0

Pernahkah melakukn seks dipaksa pasangan

Frequen

cy Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pernah 6 11.5 11.5 11.5

Tidak pernah 46 88.5 88.5 88.5

Total


(3)

15

Pernahkah anda memaksa pasangan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pernah 19 36.5 36.5 36.5

Tidak pernah 33 63.5 63.5 100.0

Total 52 100.0 100.0

Pernah/tidak hamil/menghamilin pasangan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Pernah 3 5.8 5.8 5.8

Tidak pernah 49 94.2 94.2 100.0

Total 52 100.0 100.0

Apa yg dilakukan jika pernah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Melarikan diri 1 1.9 1.9 1.9

Tidak menjawab 51 98.1 98.1 100.0

Total 52 100.0 100.0

Adakah keinginan untuk berhenti

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ada 17 32.7 32.7 32.7

Ragu-ragu 25 48.1 48.1 80.8

Tidak 10 19.2 19.2 100.0


(4)

ABSTRACT

FREE SEX BEHAVIOR IN CIRCLES OF CHILD

WHO WORK THE STREET

(Sudy at the places which the child usually rest in Bandar Lampung)

This research is purpose to describe ang explain about behavior of free sex that

happen in circles of child who work on the street in Bandar Lampung

Tipe of this research is descriptive, and the location of this research is places in

Bandar Lampung city which the child usually stop in. The population of this

research is the child with total sample 52 people that spread in five places. The

sample is certained with Simple Random Sampling technique in a propotional

manner for each places. Technique to take data use questionnaire, observation,

and documentation, but for analysis the data use singular tabulation with analyze

the data use description manner. The result show that behavior of free sex in the

child circles is apprehensive, because level free sex in they circles is up to 46,2%

already. They get the information of free sex is from they friends, up to 51,9%.

F

actors that influence they are do that free sex is family’s economy, unhermonic

family up to 34,6%, level educated of their parent and themselves, and the latest is

the child society.


(5)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur kepada kekasih sejati Allah SWT, dengan segala

kerendahan hati kupersembahkan karya sederhana ini untuk orang-orang yang

menyayangi dan ku sayangi:

Orangtua ku yang tercinta Mamak dan Bapak.

Mamak, wanita hebat yang sudah melahirkan, membesarkan dan selalu menyebut

nama ku disetiap doa-doanya. Bapak, jagoan hebat yang selalu mendukung dan

memberikan kepercayaan kepada ku, juga tetasan keringatmu yang sangat berarti

bagi kami semua. Terimakasih atas segalanya yang telah kalian berikan, semua

jasa dan pengorbanan tanpa pamrih kalian yang mungkin tidak akan pernah

terbalas oleh ku.

Saudari-saudari ku Ayuk dan Adik ku

Yuk Pita dan Novia, terimakasih atas dukungan dan motivasi kalian yang tak

pernah putus kepada ku. Terimakasih untuk kehangatan yang kalian berikan

dalam hari-hari ku. Semoga persaudaraan ini selalu diberkahi oleh-Nya.

Kakek ku tersayang

Kakek, maaf atas keterlambatan dan semua kesalahan yang telah ku perbuat

kepada mu yang tak sempat ku perbaiki. Dengan setulus hati karya sederhana ini

ku persembahkan untukmu.

Almamater tercinta

Budi dan bakti dalam setiap langkah perjuanganku, tempatku belajar tentang

kehidupan dan kebersamaan, dan dalam pencapaian cita-cita dan impianku yang

setinggi-tingginya.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bukit Kemuning pada tanggal 15 Juli

1987, anak ke dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah hati

dari pasangan Bapak Shodikin Agus dan Ibu Siti Nursidah,

S,Pd. Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis

untuk pertamakali diawali pada Taman Kanak-kanak (TK)

Pertiwi di Bukit Kemuning pada tahun 1991, kemudian dilanjutkan ke Sekolah

Dasar Negerti (SDN) 1 Bukit Kemuning pada tahun 1993 dan diselesaikan pada

tahun 1999. Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri

(SLTPN) 1 Bukit Kemuning dan selesai pada tahun 2002. Kemudian dilanjutkan

lagi ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Bukit Kemuning yang

diselesaikan pada tahun 2005.

Kemudian pada tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa di Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung pada Jurusan Sosiologi melalui jalur

Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).