Sosiologi Pendidikan 001

(1)

STRATIFIKASI PENDIDIKAN PADA PENERAPAN

UANG KULIAH TUNGGAL MENGGUNAKAN

ANALISIS MICHEL FOUCAULT DAN EMILE

DURKHEIM

Makalah

Di tujukan untuk tugas mata kuliah Academic Writing

Oleh: Tri Muryani

Nim: 15720018

Program Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA 2016


(2)

STRATIFIKASI PENDIDIKAN PADA PENERAPAN UANG

KULIAH TUNGGAL MENGGUNAKAN ANALISIS

MICHEL FOUCAULT DAN EMILE DURKHEIM

1. Pendahuluan

Pendidikan di era globalisasi sudah barang tentu menjadi penentu bagi kemajuan sebuah bangsa. Sumber daya manusia yang dilahirkan dari kaum terdidik (baca: Sekolah) diharapkan mampu menjadi penopang kehidupan. Tidak terkecuali di Indonesia.

Di Indonesia, fungsi serta tujuan pendidikan di atur dalam undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam bab II pasal 3 tentang dasar, fungsi, dan tujuan yang berbunyi bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Memang seharusnya pendidikan bertujuan untuk membangun sebuah bangsa menjadi lebih baik. Namun, hal ini dilhat berbeda oleh salah satu tokoh sosiologi pendidikan michel Foucault. Menurutnya, pendidikan tidak lain adalah sebuah kekuasaan. Pendidikan menerapkan kurikulum dan mengatur sedemikian rupa sistem supaya output dari kurikulum tersebut sesuai dengan keinginan sang penguasan. Inilah yang menurutnya bahwa pendidikan tidak lain sama dengan tangan kanan dari sebuah kekuasaan.

Foucault menyatakan bahwa, penggunaan kekuasaan tidak selalu hanya terkait dalam hal penggulingan institusi, organisasi, birokrasi atau negara. Penggunaan kekuasaan juga melalui proses redistribusi pengaruh serta kemampuan mengubah cara berpikir seseorang. Kemudian memberikan waktu dan keadaan yang tepat, sehingga memungkinkan perubahan kelembagaan (Oliver, 2010).


(3)

Sedangkan menurut Emile Durkheim, pendidikan sangatlah penting dimiliki oleh para pemuda. Ia menggambaarkan betapa generasi muda memerlukan bantuan pendidikan untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan ditengah masyarakat yang memiliki tata nilai tertentu. Persiapan itu perlu, karena pemuda pada dasarnya belum siap memasuki kehidupan masyarakat. Sasaran pendidikan lalu adalah mengembangkan kekuatan fisik, intelektual dan moral yang dibutuhkan oleh lingkungan masyarakat politik maupun keseluruhan lingkungan dimana mereka berada (zainuddin maliki, 2008).

Sesuai dengan pendapat dari Faocault dan Durkheim, bahwa pendidikan merupakan sebuah kekuasaan baru di era glibalisasi demi terciptanya bangsa dengan sumber daya manusia yang memadai. Kekuasaan dalam pendidikan akan melahirkan realitas sosial sesuai dengan kurikulum yang ada. Baik dalam bentuk fisik, intelektual, moral bahkan stratifikasi dikalangan masyarakat.

Masyarakat yang sekolah atau mengenyam pendidikan akan merasa lebih tinggi dari pada mereka yang tidak sekolah. Tidak hanya dikalangan masyarakat saja, penerapan uang kuliah tunggal (UKT) juga memiliki dampak tersendiri bagi masyarakat terutama dikalangan mahasiswa. dampak dari penerapan UKT ini salah satunya adalah stratifikasi atau kastanisasi sosial yang semakin jelas dan transparan.

2. Kerangka Dasar Analisis

2.1) Konsep Pendidikan

Di Indoensia pendidikan telah dikonsep sedemikian rupa dengan tujuan untuk membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Mampu bersaing dengang dunia internasional serta mampu melahirkan sumber daya manusia yang memadai. Sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 2003 tentang pendidikan Nasional bahwa pendidikan di Indonesai bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di era globalisasi pendidikan dituntut mampu bersaing melahirkan sumber daya manusia yang memadai. Dalam hal ini kriteria yang dijadikan landasan bahwa sumber daya manusia tersebut memadai ditetapkan oleh pemegang kekuasaan. Apabila tingakatannya di Indonesia, pendidikan di konsep oleh menteri pendidikan


(4)

serta pemerintah yang berhak menentukan kurikulum mana yang akan diterapkan di semua institusi pendidikan.

Standardisasi sebagai wujud bekerjanya kekuasaan dalam pendidikan dapat dilihat melalui mekanisme ujian nasional (UN). Di Indonesia, kebijakan UN menuai banyak kritik. Banyak masyarakat dan praktisi pendidikan menolak kebijakan UN karena dianggap telah menyuburkan praktik kecurangan dalam proses ujian.

Selain UN, sistem UKT yang diterapkan oleh juga telah membuat realitas baru dikalangan masyarakat terutama mahasiswa. kebijakan UKT membuat stratifikasi terhadap mahasiswa. kelas-kelas sosial mahasiswa ini semakin tajam ketika kebijakan UKT ini diterapkan. Dengan dalih subsidi silang, kebijakan ini akan mudah melahirkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya.

Di area global, pendidikan berada ditangan para penguasa dunia. Terutama organisasi-organisasi yang mengklaim dirinya sebagai pejuang pemdidikam. Ada lima bidang pendidikan yang menjadi fokus dunia secara global. Antara lain: tujuan pendidikan, struktur sistem, pendidik, penilaian hasil dan peran pemerintah dalam mengatur sistem pendidikan (Hallak, 1998).

Perubahan praktik pendidikan secara global ini berada di bawah kendali organisasi Internasional, di antaranya: World Bank (Bank Dunia), OECD (Organitation for Economic Coorperation and Development), WTO (World Trade Organitation), GATE (General Agreement on Trade in service), UN (United Nation), UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization) dan organisasi internasional lainnya (Dale, 1999;Henry, et.al., 2011;Rinne and Ozga,2011; Spring, 2009). Lembaga-lembaga tersebut sekarang telah menjadi penentukebijakan utama yang mempengaruhi kebijakan pendidikan di tingkat nasional dan regional, terutama dalam masalah sistem evaluasi (Carnoy and Rhoten, 2008; Rizvi and Lingrad, 2010; Nanang, 2014)1.

1 Martono, nanang. 2014. “Sosiologi Pendidikan Michel Foucault”. Jakarta. PT RajaGrafindo persada, Hal: 70


(5)

2.2) Analisis Michel Foucault Terhadap Pendidikan

Menurut Foucault, pendidikan sebagai kekuasaan baru di era globalisasi. Sekolah sebagai sarana penanaman nilai-nilai moral yang berada di bawah kendali gereja. Kemudian, sampai periode awal, belum ada kepastian bahwa sekolah akan menjadi perantara utama antara keluarga dan dunia kerja. Seolah ia masih menjadi lembaga yang berdiri sendiri di samping institusi keluarga. Sekolah bukan satu-satunya lembaga yang menawarkan pendidikan (Nanang Martono: 2014)

Dalam pendidikan yang kompetitif, sekolah secara langsung muncul sebagai lembaga pelatihan. Penyelamat, tempat rehabilitasi, penyembuhan, dan pengajaran moral. Kemudian, dalam kurun waktu yang cukup lama, sebagian sekolah bersifat membatasi dan berdampak negatif. Ia lebih banyak menuai masalah sosial dari pada mempromosikan isu pembangunan sosial. Hanya sedikit sekali sekolah yang menunjukan penguasaan mereka yang khas mengenai teknik disiplin tertentu untuk mengelola individu. Sekolah kemudian muncul sebagai salah satu sarana berkompetisi (Deacon, 2006).

Namun pada akhirnya, pendidikan melalui sekolah justru menjadi subjek kekuasaan baru dalam masyarakat modern. Pendidikan melakukan hegemoni kekuasaan dalam proses produksi pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini seluruh mekanisme produksi pengetahuan akan dikontrol dan dikendalikan institusi pendidikan. Ada beberapa wujud kekuasaan didalam pendidikan. Faocault mencontohkan bahwa pendidikan telah menetapkan berbagai bentuk standardisasi dalam proses pendidikan.

Standardisasi merupakan instrumen yang digunakan sekolah untuk mengelompokkan dan mengategorikan siswa dalam beberapa golongan. Melalui


(6)

standardisasi ini, sekolah mempunyai hak untuk menentukan apakah seseorang (siswa) dapat memasuki kelas atau tingkat tertentu atau tidak. Apakah ia termasuk kategori siswa “bodoh” atau “cerdas”; apakah mereka layak masuk kebidang ilmu tertentu atau tidak; dan akhirmya, sekolah akan memiliki hak untuk menentukan “nasib” dan “masa depan” seorang individu. Foucault menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakan pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau program studi yang kemudian berdampak pada masa depan individu (nanang martono, 2014).

2.3) Analisis Emile Durkheim terhadap pendidikan

Dalam perspektif Durkheimian, yang juga dikenal sebagai perspektif struktural fungsional, konsensus, harmoni dan juga teori ekuilibrium ini, memandang masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya, seperi pendidikan, kesehatan, agama, politik dan lain-lain, merupakan bagian yang saling bergantung. Masing-masing menjalankan fungsinya, dan memberikan sumbangan bagi terwujudnya masyarakat yang harmoni. Pendidikan adalah bagian penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat.

Sebagai guru besar pedagody di Sorbone di Paris, Durkheim, sebelum sosiologi menjadi bidang studi yang mengedepan, dialah yang pertama mengajukan agar sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam studi tentang pendidikan. bahkan sosiologi masuk perancis, bermula dari pendidikan. Durkheim membekali mahasiswa pendidikan dengan kajian sosiologis (Zainudin maliki, 2008).

Menurutnya, anak-anak muda sebagai generasi penerus akan menjadi seperti sistem pendidikan yang diinginkan. Disini sang penguasa (baca: Guru) sangat


(7)

menentukan kesadaran seperti apa yang akan dimiliki siswa-siswinya. Kesadaran yang ditanamkan oleh seorang guru kepada muridnya tidak lain adalah kesadaran kolektif yang dimiliki oleh masyarakat sekitar. Posisi seorang guru hanyalah sebagai peng hipnotis muridnya. Mereka menghipnotis nilai-nilai kolektif yang terkandung didalam masyarakat. Pendidikan dengan demikian tiada lain merupakan sebuah proses otoritas guru atas muridnya.

Dalam konsep Durkheim, perubahan solidaritas mekanik di sekolah menjafi mode solidaritas organik, tidak lain merupakan hasil dorongan dari praktek mode solidaritas organik yang terjadi di masyrakat. Masalahnya, masyarakat terintegrasi karena adanya kesepakatan diantara anggota masyarakat terhadap nilai-nilai masyarkat tertentu. Nilai-nilai kemasyarakatan ini oleh Durkheim disebut dengan kesadaran kolektif. (collective conciousness). Keasadaran kolektif ini berada di luar individu (exterior), namun memiliki daya pemaksa terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat.

Sumbangan Durkheim sangat besar dalam memperbaiki metode berpikir sosiologis berdasarkan pemikiran-pemikiran filosofis menjadi ilmu pengetahuan yamg benar berdasarkan fakta-fakta yang dapat diobservasi. Dia menganjurkan agar ilmuwan sosial menghindari sikap reduksionis sehingga gejala sosial, termasuk dalam menjelaskan tentang pendidikan, diperlakukan sebagai gejala psikologis individual semata. Dia menganjurkan untuk lebih memperlakukan fenomena sosial secara sui generis. Dengan semangatnya yang sui generis, ia kemudian merekomendasikan studi sosial, termasuk studi tentang pendidikan dilakukan menurut standar-standar empirik, dengan fakta sosial sebagai fokus perhatian utama.


(8)

3) Stratifikasi Pendidikan pada Penerapan Uang Kuliah

Tunggal

Standardisasi didalam pendidikan menciptakan kelas sosial baru dalam sistem pendidikan. Termasuk didalamnya adanya penerapan uang kuliah tunggal (UKT). Penerapan UKT melahirkan stratifikasi sosial ditengah masyarakat. Penyekatan antara si miskin dan si kaya terlihat jelas dengan adanya sistem subsidi silang di dalam penerapan UKT.

Di beberapa Universitas, UKT di bagi menjadi beberapa golongan dengan biaya yang berbeda di setiap fakultas dan setiap program studi. Pembagian dalam UKT sering disebut dengan golongan-golongan. Golongan ini terdiri dari golongan satu, dua serta tiga. Banyaknya biaya yang harus dibayarkan pada masing-masing golongan tergantung pada seberapa bagus fasilitas serta keperluan di masing-masing program studi.

Semisal di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora sesuai dengan keputusan Menteri Agama No. 124 tahun 2015 bahwa bagi mahasiswa angkatan 2015 telah diberlakukan sistem UKT dengan 3 golongan, satu, dua dan tiga. Dengan biaya per masing-masing program studi berbeda seuai dengan kebutuhan dan keperluan program studi tersebut.

Di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, program studi Psikologi di bagi menjadi 3 golongan. Golongan satu sebesar Rp. 400.000, kemudian golongan dua Rp. 1.600.000, golongan tiga Rp. 1.750.000. Sedangkan untuk program studi Sosiologi berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 124 tahun 2015 ditetapkan biaya sebesar Rp. 400.000 untuk golongan satu, Rp. 1.085.000 untuk golongan dua, serta Rp.


(9)

1.170.000 untuk UKT golongan tiga. Kemudian untuk program studi Ilmu Komunikasi UKT golongan satu sebesar Rp. 400.000, UKT dua Rp. 1.100.000, UKT tiga Rp. 1.120.000. ini meliputi seluruh biaya satu semester termasuk perpustakaan, Sosialisasi pembelajaran, OPAK dan lain-lainnya.

Tidak hanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora saja, UKT juga berlaku di semua Fakultas Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. selain itu, beberapa Universitas Negeri juga menerapkan sistem UKT dengan dalli subsidi silang untuk mereka yang kurang mampu.

Penerapan UKT kemudian menimbulkan stratifikasi dikalangan mahasiswa. tentu ini berdampak pada elemen-elemen pendidikan yang ada, terutama realitas dikalangan mahasiswa. semakin jelas sekat antara siapa yang miskin dan siapa yang kaya. Stratifikasi pun terjadi, walaupun sejauh ini belum terlihat jelas siapakah yang lebih merasa berkuasa di dalam realitas pendidikan. apakah si kaya yang memberi subsidi kepada si miskin yang golongan UKT nya satu, akan merasa ia menempati kelas sosial yang lebih tinggi?. Atau sebaliknya, mereka yang mendapatkan UKT satu akan merasa dirinya lebih rendah kelas sosialnya di banding yang UKT dua atau tiga?. Yang jelas bahwa stratifikasi telah diciptakan melalui sistem UKT. Stratifikasi ini yang kemudian memperjelas kelas-kelas sosial di dalam pendidikan, terutama di kalangan mahasiswa.

4) KESIMPULAN

Praktik-praktik kekuasaan dapat dijumpai dalam dunia pendidikan. Standardisasi pengentahuan dan kemampuan individu adalah wujud nyata. Melalui standardisasi ini, kekuasan memaksakan sekaligus mengotak-kotakkan berbagai


(10)

pengetahuan yang diterima individu. Melalui standardisasi ini, sekolah menjadi subjek yang memiliki kekuasaan untuk mengelompokkan individu menurut kriteria tertentu. Sekolah adalah lembaga yang berkuasa mengelompokan individu dalam beberapa kelompok; “cerdas-tidak cerdas”, “pandai-bodoh”, “normal-abnormal”, dan berbagai pengelompokan lainnya.

Standardisasi juga d peruntukan bagi institusi sekolah. Setiap sekolah harus melalui masa pengujian melalui mekanisme evaluasi atau akreditasi. Melalui mekanisme ini, sekolah juga akan di kelompokan menurut “kualitasnya”. Sekolah yang berkualitas berhak menyandang predikat sebagai “sekolah terakreditasi”. Standarsisasi juga diberlakukan di level internasional., ketika kualitas pendidikan seluruh negara dibandingkan dan diurutkan satu dengan yang lainnya. Standardisasi ini pun telah mengakibatkan ketimpangan sosial di masyarakat ketika sekolah-sekolah berkualitas hanya dapat dinikmati segelintir orang di dunia

Termasuk dalam hal ini penerapan UKT dengan malahirkan beberapa golongan kelas mahasiswa. pengelompokan kelas yang terjadi lambat laun akan menambah kesenjangan dikalangan masyarakat. Karena dengan penerapan UKT semakin jelaslah siapa yang miskin dan siapa yang kaya. Siapa yang mampu memberi subsidi dan siapa yang menerima subsidi.

Sistem subsidi silang yang diterapkan menjadi salah satu sitem pendidikan seperti UKT memang menjadi solusi baru untuk menarik anak bangsa yang kurang mampu dalam bentuk ekonomi untuk mengenyam pendidikan. namun, ia juga melahirkan fenomena baru atas realitas yang ada. Sistem yang diterapkan semakin memperjelas kelas-kelas sosial di tengah-tengah masyarakat kita. Dengan kata lain


(11)

secara tidak langsung, kelas-kelas sosial yang tercpta dari sistem ini telah menciptakan kastanisasi di dalam dunia pendidikan.

Daftar Pustaka:

 Hidayat,Rahmat. 2014. “Sosiologi pendidikan Emile Durkheim”. Jakarta. PT RajaGrafindo persada

 Martono,Nanang. 2014. “Sosiologi Pendidikan Michel Foucault”. Jakarta. PT RajaGrafindo persada

 Maliki,Zainuddin. 2008. “Sosiologi pendidikan”. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press


(1)

standardisasi ini, sekolah mempunyai hak untuk menentukan apakah seseorang (siswa) dapat memasuki kelas atau tingkat tertentu atau tidak. Apakah ia termasuk kategori siswa “bodoh” atau “cerdas”; apakah mereka layak masuk kebidang ilmu tertentu atau tidak; dan akhirmya, sekolah akan memiliki hak untuk menentukan “nasib” dan “masa depan” seorang individu. Foucault menjelaskan bahwa sekolah dalam masyarakat modern telah mengotak-kotakan pengetahuan dalam beberapa kategori yang “saling terpisah”. Mereka memisahkan subjek, mata pelajaran, jurusan atau program studi yang kemudian berdampak pada masa depan individu (nanang martono, 2014).

2.3) Analisis Emile Durkheim terhadap pendidikan

Dalam perspektif Durkheimian, yang juga dikenal sebagai perspektif struktural fungsional, konsensus, harmoni dan juga teori ekuilibrium ini, memandang masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya, seperi pendidikan, kesehatan, agama, politik dan lain-lain, merupakan bagian yang saling bergantung. Masing-masing menjalankan fungsinya, dan memberikan sumbangan bagi terwujudnya masyarakat yang harmoni. Pendidikan adalah bagian penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat.

Sebagai guru besar pedagody di Sorbone di Paris, Durkheim, sebelum sosiologi menjadi bidang studi yang mengedepan, dialah yang pertama mengajukan agar sosiologi dijadikan sebagai pendekatan dalam studi tentang pendidikan. bahkan sosiologi masuk perancis, bermula dari pendidikan. Durkheim membekali mahasiswa pendidikan dengan kajian sosiologis (Zainudin maliki, 2008).

Menurutnya, anak-anak muda sebagai generasi penerus akan menjadi seperti sistem pendidikan yang diinginkan. Disini sang penguasa (baca: Guru) sangat


(2)

menentukan kesadaran seperti apa yang akan dimiliki siswa-siswinya. Kesadaran yang ditanamkan oleh seorang guru kepada muridnya tidak lain adalah kesadaran kolektif yang dimiliki oleh masyarakat sekitar. Posisi seorang guru hanyalah sebagai peng hipnotis muridnya. Mereka menghipnotis nilai-nilai kolektif yang terkandung didalam masyarakat. Pendidikan dengan demikian tiada lain merupakan sebuah proses otoritas guru atas muridnya.

Dalam konsep Durkheim, perubahan solidaritas mekanik di sekolah menjafi mode solidaritas organik, tidak lain merupakan hasil dorongan dari praktek mode solidaritas organik yang terjadi di masyrakat. Masalahnya, masyarakat terintegrasi karena adanya kesepakatan diantara anggota masyarakat terhadap nilai-nilai masyarkat tertentu. Nilai-nilai kemasyarakatan ini oleh Durkheim disebut dengan kesadaran kolektif. (collective conciousness). Keasadaran kolektif ini berada di luar individu (exterior), namun memiliki daya pemaksa terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat.

Sumbangan Durkheim sangat besar dalam memperbaiki metode berpikir sosiologis berdasarkan pemikiran-pemikiran filosofis menjadi ilmu pengetahuan yamg benar berdasarkan fakta-fakta yang dapat diobservasi. Dia menganjurkan agar ilmuwan sosial menghindari sikap reduksionis sehingga gejala sosial, termasuk dalam menjelaskan tentang pendidikan, diperlakukan sebagai gejala psikologis individual semata. Dia menganjurkan untuk lebih memperlakukan fenomena sosial secara sui generis. Dengan semangatnya yang sui generis, ia kemudian merekomendasikan studi sosial, termasuk studi tentang pendidikan dilakukan menurut standar-standar empirik, dengan fakta sosial sebagai fokus perhatian utama.


(3)

3) Stratifikasi Pendidikan pada Penerapan Uang Kuliah

Tunggal

Standardisasi didalam pendidikan menciptakan kelas sosial baru dalam sistem pendidikan. Termasuk didalamnya adanya penerapan uang kuliah tunggal (UKT). Penerapan UKT melahirkan stratifikasi sosial ditengah masyarakat. Penyekatan antara si miskin dan si kaya terlihat jelas dengan adanya sistem subsidi silang di dalam penerapan UKT.

Di beberapa Universitas, UKT di bagi menjadi beberapa golongan dengan biaya yang berbeda di setiap fakultas dan setiap program studi. Pembagian dalam UKT sering disebut dengan golongan-golongan. Golongan ini terdiri dari golongan satu, dua serta tiga. Banyaknya biaya yang harus dibayarkan pada masing-masing golongan tergantung pada seberapa bagus fasilitas serta keperluan di masing-masing program studi.

Semisal di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora sesuai dengan keputusan Menteri Agama No. 124 tahun 2015 bahwa bagi mahasiswa angkatan 2015 telah diberlakukan sistem UKT dengan 3 golongan, satu, dua dan tiga. Dengan biaya per masing-masing program studi berbeda seuai dengan kebutuhan dan keperluan program studi tersebut.

Di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, program studi Psikologi di bagi menjadi 3 golongan. Golongan satu sebesar Rp. 400.000, kemudian golongan dua Rp. 1.600.000, golongan tiga Rp. 1.750.000. Sedangkan untuk program studi Sosiologi berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 124 tahun 2015 ditetapkan biaya sebesar Rp. 400.000 untuk golongan satu, Rp. 1.085.000 untuk golongan dua, serta Rp.


(4)

1.170.000 untuk UKT golongan tiga. Kemudian untuk program studi Ilmu Komunikasi UKT golongan satu sebesar Rp. 400.000, UKT dua Rp. 1.100.000, UKT tiga Rp. 1.120.000. ini meliputi seluruh biaya satu semester termasuk perpustakaan, Sosialisasi pembelajaran, OPAK dan lain-lainnya.

Tidak hanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora saja, UKT juga berlaku di semua Fakultas Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. selain itu, beberapa Universitas Negeri juga menerapkan sistem UKT dengan dalli subsidi silang untuk mereka yang kurang mampu.

Penerapan UKT kemudian menimbulkan stratifikasi dikalangan mahasiswa. tentu ini berdampak pada elemen-elemen pendidikan yang ada, terutama realitas dikalangan mahasiswa. semakin jelas sekat antara siapa yang miskin dan siapa yang kaya. Stratifikasi pun terjadi, walaupun sejauh ini belum terlihat jelas siapakah yang lebih merasa berkuasa di dalam realitas pendidikan. apakah si kaya yang memberi subsidi kepada si miskin yang golongan UKT nya satu, akan merasa ia menempati kelas sosial yang lebih tinggi?. Atau sebaliknya, mereka yang mendapatkan UKT satu akan merasa dirinya lebih rendah kelas sosialnya di banding yang UKT dua atau tiga?. Yang jelas bahwa stratifikasi telah diciptakan melalui sistem UKT. Stratifikasi ini yang kemudian memperjelas kelas-kelas sosial di dalam pendidikan, terutama di kalangan mahasiswa.

4) KESIMPULAN

Praktik-praktik kekuasaan dapat dijumpai dalam dunia pendidikan. Standardisasi pengentahuan dan kemampuan individu adalah wujud nyata. Melalui standardisasi ini, kekuasan memaksakan sekaligus mengotak-kotakkan berbagai


(5)

pengetahuan yang diterima individu. Melalui standardisasi ini, sekolah menjadi subjek yang memiliki kekuasaan untuk mengelompokkan individu menurut kriteria tertentu. Sekolah adalah lembaga yang berkuasa mengelompokan individu dalam beberapa kelompok; “cerdas-tidak cerdas”, “pandai-bodoh”, “normal-abnormal”, dan berbagai pengelompokan lainnya.

Standardisasi juga d peruntukan bagi institusi sekolah. Setiap sekolah harus melalui masa pengujian melalui mekanisme evaluasi atau akreditasi. Melalui mekanisme ini, sekolah juga akan di kelompokan menurut “kualitasnya”. Sekolah yang berkualitas berhak menyandang predikat sebagai “sekolah terakreditasi”. Standarsisasi juga diberlakukan di level internasional., ketika kualitas pendidikan seluruh negara dibandingkan dan diurutkan satu dengan yang lainnya. Standardisasi ini pun telah mengakibatkan ketimpangan sosial di masyarakat ketika sekolah-sekolah berkualitas hanya dapat dinikmati segelintir orang di dunia

Termasuk dalam hal ini penerapan UKT dengan malahirkan beberapa golongan kelas mahasiswa. pengelompokan kelas yang terjadi lambat laun akan menambah kesenjangan dikalangan masyarakat. Karena dengan penerapan UKT semakin jelaslah siapa yang miskin dan siapa yang kaya. Siapa yang mampu memberi subsidi dan siapa yang menerima subsidi.

Sistem subsidi silang yang diterapkan menjadi salah satu sitem pendidikan seperti UKT memang menjadi solusi baru untuk menarik anak bangsa yang kurang mampu dalam bentuk ekonomi untuk mengenyam pendidikan. namun, ia juga melahirkan fenomena baru atas realitas yang ada. Sistem yang diterapkan semakin memperjelas kelas-kelas sosial di tengah-tengah masyarakat kita. Dengan kata lain


(6)

secara tidak langsung, kelas-kelas sosial yang tercpta dari sistem ini telah menciptakan kastanisasi di dalam dunia pendidikan.

Daftar Pustaka:

 Hidayat,Rahmat. 2014. “Sosiologi pendidikan Emile Durkheim”. Jakarta. PT RajaGrafindo persada

 Martono,Nanang. 2014. “Sosiologi Pendidikan Michel Foucault”. Jakarta. PT RajaGrafindo persada

 Maliki,Zainuddin. 2008. “Sosiologi pendidikan”. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press