ANALISIS SEJARAH KRONOLOGI KASUS PELANGG

(1)

ANALISIS SEJARAH KRONOLOGI KASUS PELANGGARAN HAK

ASASI MANUSIA DI TANJUNG PRIOK TAHUN 1984

MAKALAH

Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Dan Ham dibawah bimbingan Dosen Bapak. Eko Wahyudi, SH,. MH,

Oleh :

ADITYA PRANATA (1271010039) DEO FALDI RISWANDA (1271010038)

RIZKY RIZAL TRI (1271010023)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

PROGAM STUDI ILMU HUKUM 2014


(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…...1

KATA PENGANTAR...2

BAB I PENDAHULUAN...3

1 1. Latar Belakang ...3

1.2. Perumusan Masalah ………...………..……...5

1.3. Manfaat Penulisan ………...5

BAB II PEMBAHASAN ...6

2.1. Gambaran Masyarakat Tanjung Priok...6

2.2. Tindakan Politik Yang Melahirkan Peristiwa Tragedi Tanjung Priok...7

2.3. Kronologi Peristiwa Tanjung Priok Versi Abdul Qadir Djaelani...12

2.4. Kronologi Peristiwa Tanjung Priok Versi Resmi Pemerintah Orde Baru...16

2.5. Proses Peradilan Kasus Tanjung Priok ...18

2.5.1 Persidangan 4 Orang Terdakwa...18

2.5.2 Penolakan terhadap Saksi Pembela...20

2.5.3 Persidangan 28 Orang Korban Pembantaian...20

2.5.4 Vonis Pengadilan...22

BAB III PENUTUP...24


(3)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang karenanyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tanpa beberapa kesulitan yang berarti.. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Kami dengan mata kuliah HUKUM DAN HAM, yang kami sajikan berdasarkan pencarian dalam berbagai sumber-sumber. Makalah ini di susun oleh para penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri para penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun agar pembaca juga mengetahui mengenai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984 yang berakibat banyaknya korban yang meninggal dan salah tangkap akibat peradilan yang memihak pemerintahan pada waktu itu. Dalam makalah ini kami memberikan informasi tentang kronologis kejadian pada saat peristiwa tersebut berlangsung, serta faktor – faktor dan sebab – sebab terjadinya peristiwa tersebut hingga proses peradilannya

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan karena para penyusun hanyalah seorang manusia biasa yang tidak sempurna maka oleh karena itu. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya demi kemajuan dari makalah kami. Terima kasih.

Sidoarjo, 15 Desember 2014


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semua komponen anak bangsa secara bersama-sama sejak awal berjuang bahu membahu untuk memperjuangkan kemerdekaan, melawan penindasan dan mengisi kemerdekaan tersebut. Pengalaman sejarah bangsa melawan penjajah menunjukkan adanya benang merah perjuangan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM). Kemerdekaan memberikan makna kebebasan diantaranya bebas dari rasa takut, bebas untuk berkumpul dan berpendapat, bebas untuk memeluk agama dan kebebasan lainnya yang ada sebagai hak kodrati manusia itu sendiri. Dengan lahirnya UU No.39 Tahun 1999 diharapkan dapat membantu dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.

Penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan salah satu isu penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang masih ragu-ragu akan penegakan HAM tersebut. Penegakan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 A-J UUD 1945 dan dipertegas lagi pada Pasal 71-72 UU No.39 Tahun 1999. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini serta peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang HAM yang diakui oleh Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk menegakkan dan melindungi HAM adalah melahirkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini merupakan hukum formil dari UU No.39 Tahun 1999.

Diharapkan dengan adanya UU Pengadilan HAM dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM diIndonesia. Namun, tidak semua pelanggaran HAM dapat diselesaikan pada Pengadilan HAM, hanya kasus-kasus tertentu yang menjadi kewenangan dari Pengadilan HAM dan menggunakan hukum acara sebagaimana yang diatur pada undang-undang tersebut. Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law


(5)

Sistem atau Sistem Hukum Islam. Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat diketahui dari sejarah perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, yaitu ketika amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat pasal-pasal HAM. Seperti halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD 1945 amandemen juga memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik pada saat penyusunannya di awal era Reformasi.

Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok adalah kasus yang tidak bisa ditempatkan sebagai suatu kejahatan biasa (ordinary crime), tapi kasus ini lahir dari satu rangkaian yang tak dapat dilepaskan dari situasi dan watak politik rezim orde baru yang sarat dengan muatan dan motif mempertahankan kekuasaan. Sebagai salah satu kejahatan kekuasaan (extra ordinary crime), kasus Tanjung Priok adalah kasus yang sangat mungkin dapat menjelaskan rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi sesudahnya. Pengungkapan kasus ini juga akan bermanfaat bagi upaya preventif terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih terjadi. Dalam konteks tersebut, desakan dan tuntutan masyarakat untuk diselidikinya kasus pelanggaran HAM ini tidak cukup mendapat respon yang baik dan serius oleh Komnas HAM, sehingga penyelidikan Komnas HAM belum bisa dijadikan satu bahan yang dapat menjelaskan kasus tersebut secara utuh. Peristiwa berdarah Tanjung Priok pada tahun 1984, merupakan satu peristiwa yang masih terkenang dalam benak masyarakat indonesia, sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terkejam di indonesia, dalam makalah ini, kami akan menjelaskan kronologi – kronologi kejadian peristiwa pelanggaran HAM di Tanjung Priok serta faktor – faktor yang menyebabkan peristiwa tersebut.


(6)

1. Bagaimana penjelasan kronologis kasus pelanggaran ham yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984 ?

2. Alasan – alasan sebab terjadinya tragedi pelanggaran ham berat di Tanjung Priok pada tahun 1984 ?

3. Bagaimana proses peradilan yang dilaksanakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi di Tanjung Priok di tahun 1984 ?

1.3 Manfaat Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah dan kronologi peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada tragedi di Tanjung Priok.

2. Untuk mengetahui sebab dan alasan terjadinya pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.

3. Untuk mengetahui jalan proses peradilan dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok di tahun 1984.

BAB II

PEMBAHASAN


(7)

2.1 Gambaran Masyarakat Tanjung Priok

Gambaran situasi politik nasional saat itu terlihat juga di dalam kehidupan seharihari masyarakat. Dengan menggunakan lembaga-lembaga yang dimilikinya, masyarakat ikut memberikan respon terhadap kebijakan pemerintah pada saat itu. Termasuk di dalamnya adalah pengajian-pengajian dan tablightabligh, seperti yang banyak dilakukan di Tanjung Priok.

GAMBARAN KOMUNITAS

1. Koja, sebuah lokasi dimana peristiwa Tanjung Priok berawal merupakan daerah hunian kaum buruh galangan kapal, buruh–buruh pabrik, bangunan dan buruh-buruh harian yang dikenal sebagai “pekerja serabutan“. Ada yang menjadi buruh nelayan, buruh jasa transportasi, dan juga berdagang. Rumah-rumah tak tertata, berhimpitan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh lorong-lorong kecil. Kondisi geogerafis ini menyebabkan intertaksi antar penduduk menjadi sangat tinggi. Jalan raya di daerah ini setiap hari dipadati oleh kendaraan-kendaraan besar yang keluar-masuk pelabuhan sehingga menjadikan daerah ini terlihat sangat sibuk.

2. Penduduk Tanjung Priok selain terdiri dari buruh-buruh pelabuhan juga banyak yang bekerja di sektor jasa dan sektor informal. Karena letaknya dekat dengan pelabuhan maka banyak pendatang dari luar Jakarta maupun dari luar pulau Jawa bekerja dan menetap disana.

3. Di Tanjung Priok, masjid menjadi tempat berkumpulnya orang-orang tua dan anak– anak serta tempat melepaskan lelah dari kepenatan kerja. Segala keruwetan masalah kehidupan sehari-hari menjadi pusat pembicaraan di antara jama’ah masjid.

4. Dalam kondisi demikian tabligh-tabligh dan ceramah-ceramah sering dijadikan tempat untuk menumpahkan persoalan sehari-hari termasuk kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintah. Pada saat itu, kebijakan pemerintah yang sering mendapatkan kritik adalah penerapan asas tunggal, P4 dan larangan menggunakan Jilbab bagi siswa sekolah.

2.2 Tindakan Politik Yang Melahirkan Peristiwa Tragedi Tanjung Priok A. GAGASAN ASAS TUNGGAL


(8)

1. MPR pada Sidang Umum tahun 1978, mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan, yang mengarah menjadi tafsir tunggal dari Pancasila. Tap MPR No. II/MPR/1978 ini mendapat reaksi keras dari Partai Persatuan Pembangunan dengan melakukan walk out.

2. Presiden Soeharto pada Rapat Pimpinan ABRI di gedung Dang Merdu, Pekanbaru -Riau, 27/03/1980 menyatakan dalam pidato tanpa naskah:

a) “…tentunya kita harus sepaham dan sepakat Pancasila yang mana yang akan kita pertahankan dan juga akan kita bela dan tidak akan dirubah itu…”

b) “….sebenarnya bagi ABRI mengenai Pancasila dan UUD 1945 telah mengikat janji & mengikat diri, tidak ingin merubah nya. Semuanya sudah tercantum dalam sapta marga…”

c) “… oleh karena ABRI sudah menghendaki tidak ingin perobahan dan kalau ada perobahan wajib menggunakan senjata… daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 45 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang dari pada dua pertiga yang ingin mengadakan perubahan…”

d) “Hanya kenyataannya bahwa salah satu konsensus yang memang kita perjuangkan agar supaya semua partai politik atau golongan karya itu mendasarkan kepada satu ideologi ialah Pancasila nyatanya belum berhasil, sehingga masih ada daripada kekuatan partai politik untuk menambahkan di samping azas Pancasila juga azas lainnya. Ini tentunya sangat menunjukkan tanda tanya kepada kita apa sebabnya mereka belum mempercayai Pancasila sebagai satu ideologi..”

e)“….kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan memilih dari pada partner, kawan teman yang benar-benar mempertahankan Pancasila dan tidak sedikitpun ragu - ragu terhadap pancasila itu….”

3. Pada kesempatan lain di Cijantung dalam Hari Ulang Tahun KOPASANDHA, 16/04/1980, Presiden Soeharto menyampaikan pidato tanpa naskah yang intinya mengatakan :

a) membantah berbagai isyu yang negatif yang ditujukan kepada diri dan keluarganya serta menyatakan hal itu sebagai usaha untuk merongrong Pancasila dan UUD 45 dengan terlebih dahulu menyingkirkan dirinya.


(9)

b) Presiden Soeharto mengingatkan usaha-usaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain tersebut tidak semata-mata dengan kekuatan senjata tetapi juga dengan kekuatan subversi, infiltrasi, bahkan sampai kepada menghalalkan segala macam cara. Diantaranya dengan melontarkan berbagai isyu seperti yang ditujukan kepada dirinya dengan maksud untuk mendiskreditkan Pemerintah dan para pejabat. Dan bahkan ini akan selalu terjadi bilamana kita mendekati pelaksanaan pemilu.

4. Kedua pidato tanpa naskah itu mendapatkan respon dari berbagai kalangan. Letjen (purn) Sutopo Juwono, Gubernur Lemhanas, mempertanyakan pidato tersebut kepada Jend. M. Yusuf. M, Menhankam/ Pangab. M. Yusuf menyatakan dengan tegas apa yang disampaikan oleh Presiden dalam Rapim ABRI bukan sebagai representasi ABRI. Melalui surat pribadi Letjen (purn) A.Y. Mokoginta menyatakan “keprihatinannya” atas amanat Presiden di Pekanbaru. Hal senada juga disampaikan Forum Komunikasi dan Studi (FKS) Purna Yudha (d/h Fosko AD), melalui surat kepada KSAD Jend. Poniman. Surat tersebut ditandatangani oleh Jend. (purn) Sudirman selaku ketua presidium dan Letjen (purn) H.R. Dharsono.

Petisi 50 (anggotanya antara lain: Letjen. Marinir (purn) Ali Sadikin, Jend. (purn) A.H. Nasution, Jend. (purn) Hoegeng, Muh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin harahap, A.M. Fatwa, dll) mengirim surat kepada DPR sebagai bentuk kekecewaan rakyat atas dua pidato di atas dan meminta DPR untuk memanggil Presiden untuk klarifikasi.7 Dalam suratnya Petisi 50 menyatakan:

a) Keprihatinan atas amanat tambahan Presiden di Rapim ABRI Pekanbaru karena :

� Pernyataan soeharto dapat menimbulkan konflik di masyarakat.

� Perbedaan pendapat soal Pancasila dijadikan sebagai sarana ancaman terhadap lawan politik

� Tindakan terencana penguasa untuk melumpuhkan UUD 1945, padahal Sapta Marga tidak berada di atas UUD 1945.

� Mengajak ABRI untuk memihak kawan dan lawan berdasarkan penilaian sepihak penguasa saja.

b) Keprihatinan atas sambutan Presiden pada HUT Ke-28 Kopassandha karena :

� Mempersonafikasi dirinya dengan Pancasila, sehingga setiap kabar angin tentang dirinya diartikan sebagai sikap anti Pancasila.


(10)

� Menuduh adanya usaha-usaha persiapan bersenjata, subversi, infiltrasi dan usaha-usaha bathil lainnya dalam menyongsong pemilu yang akan datang. 5. DPR pada 14 Juli 1980 menggunakan Hak Interplasi berkaitan dengan permasalahan

yang disampaikan Petisi 50. Atas pertanyaan DPR tersebut, presiden memberikan jawaban secara tertulis pada 1 Agustus 1980 dalam sidang Pleno DPR.

6. Beberapa anggota DPR tidak puas dengan jawaban presiden, bahkan mempertanyakan adanya perbedaan antara transkrip yang diterbitkan Departemen Hankam yang telah terlebih dahulu diberitakan oleh suratsurat kabar dengan transkrip yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara sebagai lampiran dari Jawaban presiden.

7. Dilakukan pelarangan, penangkapan dan penyiksaan terhadap para mubalig / pendakwah yang kerap melakukan kritik terhadap pemerintah termasuk rencana kebijakan pemberlakuan asas tunggal.

8. Selanjutnya Mendikbud Daud Yusuf, pada tahun ajaran baru awal bulan tahun 1981, memasukkan program PMP dalam kurikulum SD, SMP, dan SMA. Pada sidang DPR 13 Juni 1981, PPP mengutarakan keberatan terhadap buku-buku PMP tersebut. Reaksi keras juga datang dari Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, A.M. Fatwa, Abdul Qodir Djaelani dan Tony Ardhi.

9. Presiden Soeharto, dalam satu kesempatan pada bulan Agustus 1982, menanggapi peristiwa kerusuhan di lapangan Banteng antara pendukung Partai Persatuan Pembangunan dan Golkar, mengatakan : “… telah terjadi ledakan kekerasan selama pelaksanaan pemilu dan hal ini terjadi karena tidak semua konstestan pemilu menerima Pancasila sebagai ideologi untuk ditegakkan oleh seluruh kelompok sosial politik.”

Tidak berselang lama, pada Pidato Kenegaraan Tahunan di MPR/DPR, 16/08/1982, Presiden mengajukan gagasan tentang penyatuan asas bagi seluruh partai politik.

B. FORMALISASI ASAS TUNGGAL

10.Sidang Umum MPR pada tahun 1983 mengeluarkan satu Ketetapan MPR No.II/1983 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bab IV D pasal 3 : “… demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai


(11)

Politik dan Golongan karya harus benar – benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas…”

11. Dalam pidato pertanggungjawaban di hadapan SU MPR 1 Maret 1983, presiden mengatakan,”Dengan memperhatikan pengalaman gerakorganisasi-organisasi sosial selama ini, maka dalam rangka perampungan dan pemantapan pembaharuan kehidupan politik itulah saya telah mengajukan gagasan agar semua kekuatankekuatan sosial politik menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik.”

12.Pada tatap muka dengan tokoh-tokoh pemuda di gedung PWI Manado, 11 April 1984, Menteri Pemuda dan Olah Raga, Dr. Abdul Gafur mengingatkan, bahwa pemerintah sekarang sedang menyusun undang – undang keormasan yang akan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ormas kemasyarakatan. “Organisasi masyarakat yang tidak berasaskan Pancasila ia akan berhadapan dengan negara.”

13.Pada pembukaan acara Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma se-Indonesia di Wantilan Kesari Mandala I Wantilan Kesari Mandal Pura Besakih, Denpasar-Bali, 23 April 1984, Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam mengatakan, “Penafsiran Pancasila yang berbeda-beda dapat mengakibatkan kegoncangan di negara Indonesia.

14.Pada Rapat Kerja Paripurna ke-V Departemen Penerangan, 25 April 1984, Jenderal. LB. Moerdani, Pangab/Pangkopkamtib, memberikan pengarahan yang sebagai berikut: “..kenali sifat dan kegiatan musuh Pancasila serta halangi kondisi yang memungkinkan musuh Pancasila untuk mengembangkan diri..” Pangab/Pangkopkamtib menekankan kembali perlunya kewaspadaan terhadap semua sumber yang mengancam Pancasila, baik yang berasal dari paham komunis dan liberalis, maupunyang bersumber dari apa yang disebut golongan ekstrim kanan. 15.Pada 30 Mei 1984 Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, mengajukan paket lima

RUU Politik kepada DPR RI, yang diantaranya mengatur Partai Politik dan Golkar serta Keormasan menjadikan Pancasila sebagai asasnya.

16.Pada 16 Juni 1984 petisi 50 mendatangi Mahkamah Agung dan mengatakan bahwa RUU tersebut menggoyahkan Indonesia sebagai negara hukum.

17.Pada Kongres PGRI, 19 Juli 1984 Jend. LB. Moerdani, Pangab/ Sebuah Laporan Investigasi Kasus Tanjung Priok Pangkopkamtib, memberikan pengarahan sebagai berikut:


(12)

a) “..PGRI harus menguatkan dan memantapkan P4 di lingkungan pendidikan dan perguruan di tengah ancaman marxsisme, liberalisme dan ektrim kanan…

b) “..adanya pandangan-pandangan yang memutarbalikan dan menyalahgunakan agama untuk mendiskreditkan Pancasila..”

18.Soeprapto, Gubernur DKI Jakarta, dalam sambutan pada acara halal bilhalal bersama tiga kekuatan sosial politik DKI Jakarta pada 22 Juli 1984, mengatakan,

“Pembangunan politik memasuki tahapan paling mendasar dan mungkin sulit, namun sangat menentukan bagi kelangsungan pembangun nasional berlandaskan UUD 1945. Tahapan tersebut, ialah penerapan satu-satunya asas Pancasila bagi organisasi kekuatan politik dan kemasyarakatan, yang secara konstitusional sudah ditetapkan MPR, tapi dalam proses perwujudannya masih merupakan perjuangan. Sampai sekarang masih ada sikap ragu-ragu di beberapa kalangan masyarakat.”

19.Eddie Nalapraya,Wakil Gubenur DKI Jakarta pada 26 Juli 1984, mengundang dan memberitahu A.M Fatwa, bahwa dia akan diamankan, karena ia berada dalam lingkaran, yang di dalamnya banyak jenderal purnawirawan serta tokoh politik yang berbeda paham dengan pemerintah yang dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas nasional, maka perlu “diamankan”, sekaligus masalahnya diselesaikan secara hukum.


(13)

Versi Abdul Qadir Djaelani

Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

1. Sabtu, 8 September 1984

Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa'adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang.

2. Ahad, 9 September 1984

Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa'adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin.


(14)

Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa'adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa'adah.

4. Selasa, 11 September 1984

Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

5. Rabu, 12 September 1984

Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa'adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, "Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum – oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya." Selanjutnya, Amir Biki berkata, "Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).


(15)

Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim. Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, "Mundur-mundur!" Teriakan "mundur-mundur" itu disambut oleh jamaah dengan pekik, "Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, "Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!" Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir - pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah – darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih. Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang


(16)

antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.

Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk - tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak – teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.

Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang – bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas. Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.


(17)

Versi resmi peristiwa Tanjung Priok dikeluarkan sekitar sepuluh jam setelah peristiwa ini terjadi. Keterangan resmi pemerintah Orde Baru dikemukakan oleh Pangab/Pangkopkamtib L.B. Moerdani didampingi oleh Menteri Penerangan Harmoko, Pangdam V/Jaya Try Soetrisno, dan Kapolda Metro Jaya Drs. Soedjoko. Keterangan resmi peristiwa Tanjung priok diterima publik diuraikan oleh Pangab sebagai berikut.

Di sekitar Masjid Rawabadak terpasang pamflet dan poster yang menghasut bersifat SARA. Karena imbauan petugas agar pamflet-pamflet dan poster - poster itu dihapus atau dicabut tidak dihiraukan, seorang petugas.

Pada hari jumat tanggal 7 September 1984, menutup tulisan-tulisan yang bersifat menghasut itu dengan warna hitam.

Pada hari senin, 10 September 1984, seorang petugas yang sedang menjalankan tugasnya di daerah Koja, dihadang dan kemudian dikeroyok oleh sekelompok orang. Petugas keamanan berhasil menyelamatkan diri, tetapi sepeda motornya dibakar oleh para penghadang. Aparat keamanan pun menangkap empat orang pelakunya untuk keperluan pengusutan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Pada hari Rabu, 12 September 1984, pukul 19.30 WIB, di Masjid Rawabadak berlangsung ceramah agama tanpa izin dan bersifat menghasut. Penceramahnya antara lain Amir Biki (tewas tertembak), Syarifin Maloko (tertangkap setelah semua sidang perkara Tanjung Priok selesai), M. Nasir (bukan M. Natsir mantan Perdana Menteri dan ketua DDII), tidak pernah diketahui keberadaannya setelah peristiwa malam itu. Pukul 22.00 WIB aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang berisi


(18)

ancaman pembunuhan dan perusakan apabila keempat tahanan tidak dibebaskan. Sekitar pukul 23.00 WIB ancaman telepon diulang lagi. Setelah itu, sekitar 1.500 orang menuju Polres dan Kodim. Lima belas orang petugas keamanan menghambat kerumunan atau gerakan massa tersebut. Regu keamanan berusaha membubarkan massa dengan secara persuasif, namun dijawab dengan teriakan-teriakan yang membangkitkan emosi dan keberingasan massa. Massa terus maju mendesak satuan keamanan sambil mengayun-ayunkan dan mengacung-acungkan celurit. Dalam jarak yang sudah membahayakan, regu keamanan mulai memberikan tembakan peringatan dan tidak dihiraukan. Tembakan diarahkan ke tanah dan kaki penyerang, korban pun tidak dapat dihindari. Setelah datang pasukan keamanan lainnya, barulah massa mundur, tetapi mereka membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan apotek. Sekitar tiga puluh menit kemudian gerombolan menyerang kembali petugas keamanan, sehingga petugas keamanan dalam kondisi kritis dan terpaksa melakukan penembakan-penembakan untuk mencegah usaha perusuh merebut senjata dan serangan-serangan dengan celurit dan senjata tajam lainnya.

Hari Kamis, 13 September 1984, pukul 00.00 WIB, pasukan keamanan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya berhasil mengendalikan situasi, menguasai keadaan, dan membubarkan massa. Menurut Pangab dalam versi ini, 9 orang meninggal dan 53 luka-luka.


(19)

Untuk mengadili terdakwa Kasus Tanjung Priok, telah berlangsung beberapa kali persidangan. Pertama, menyidangkan 4 orang yang ditangkap pada tanggal 10 September. Kedua, persidangan terhadap 28 orang yang dituduh ikut dalam demonstrasi. Mereka ini menjadi korban penembakan. Delapan orang lagi diadili dalam tiga kali persidangan terpisah. Mereka dituduh sebagai orang-orang yang bertanggung jawab melakukan pengrusakan sewaktu terjadinya demonstrasi. Selain persidangan tersebut, di Jakarta juga berlangsung peradilan diberbagai tempat terhadap orang yang dituduh melakukan provokasi dan menyebarkan selebaran-selebaran yang berisikan kasus Tanjung Priok, mengkonter keterangan Beny Murdani yang sangat bertentangan dengan fakta sebenarnya.

2.5.1. Persidangan 4 Orang Terdakwa

Persidangan pertama dilakukan terhadap 4 orang terdakwa yang ditahan pada tanggal 10 September, yaitu :

1. Nama : Syarifuddin Rambe. 2. Nama : Sofyan Sulaeman. 3. Nama : Ahmad Sahi 4. Nama : Mohammad Nur

Orang-orang ini diadili dengan maksud untuk menguatkan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan Beny Murdani, bahwa sebenarnya tokoh-tokoh masyarakat setempatlah yang mula-mula menimbulkan kekacauan sehingga terjadinya demonstrasi pada tanggal 12 September. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bantahan, bahwa apa yang tertulis pada selebaran atau pamflet yang menuduh Babinsa setempat masuk ke tempat suci tanpa melepas sepatu dan menyiraminya dengan air comberan, tidak seluruhnya benar. Issu ini disebarkan dengan sengaja untuk membakar emosi dan membangkitkan kemarahan massa. Dan Rambe serta Sulaeman dituduh menyerang petugas keamanan.

Persidangan - persidangan ini sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya mengungkapkan penyebab terjadinya kasus Priok, tapi ternyata dalil-dalil yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menyeret para terdakwa ke pengadilan,


(20)

penasehat hukum yang sama sekali tidak menggunakan haknya dalam membela klien, terutama dalam mengejar keterangan para saksi, apakah sesuai fakta atau tidak.

Persidangan empat orang terdakwa ini selesai hanya dalam dua kali sidang saja. Rambe dan Sulaeman divonis dalam waktu bersamaan. Sedangkan dua orang lainnya divonis sendiri - sendiri. Ketiga persidangan ini berlangsung dalam waktu yang sama. Pada hari itu juga masing-masing terdakwa mengajukan banding di ruangan yang sama dan dihadapan majelis hakim yang sama pula. Masing-masing terdakwa kemudian dijadikan saksi untuk kasus temannya yang lain.

Adapun saksi-saksi rekayasa yang dihadirkan di persidangan semua-nya adalah anggota militer, baik yang masih aktif atau pun pensiunan. Dua saksi utama adalah dua orang anggota militer yang menodai kesucian tempat ibadah. Meskipun tuduhan pokoknya, adalah para tertuduh telah menyebarkan selebaran gelap, namun ternyata bahwa keterangan anggota militer dengan jelas mengakui, bahwa pamflet yang menempel di mushalla memang disiram dengan air comberan. Saksi militer ini beralasan: ”Karena pamflet-pamflet itu ditulis dengan pilox yang tidak bisa dihapus, dan tidak ada peralatan ditempat itu untuk dipakai menghapusnya, maka tidak ada cara lain kecuali menyiramnya dengan air comberan”.

Hermanu, seorang yang pertama kali mengetahui adanya pamflet, adalah petugas Babinsa yang telah dua kali berkunjung ke mushalla. Dia mengaku, ”tidak mencopot sepatu dalam kunjungan kedua kalinya ke mushalla. Sebab, katanya, dia hanya masuk di halaman saja”. Ringkas-nya semua rekayasa ini, gagal untuk dijadikan sebagai alasan menyanggah kebenaran issu-issu yang beredar tentang Tanjung Priok. Selain itu, ada tertuduh yang dinyatakan bersalah karena kejahatannya menyebar-kan issu-issu yang kebenarannya kurang dapat dipertanggungjawabkan, bahkan ada issu-issu yang sama sekali tidak benar.


(21)

Persekongkolan dan kolusi antara hakim dan jaksa penuntut umum sangat nyata dalam persidangan kasus Tanjung Priok ini. Mereka telah bersepakat untuk menolak keterangan para saksi yang diajukan pena-sehat hukum terdakwa. Dalam persidangan kasus Rambe dan Sulaeman, misalnya, para pembela bermaksud menghadirkan saksi mata yang ikut hadir di mushalla ketika Hermanu dan sejumlah tentara datang ketempat tersebut untuk kedua kalinya. Ketika nama-nama saksi mulai dipanggil, jaksa malah berdiri dan berteriak lantang: “Mereka ini buronan yang sengaja disembunyikan pembela”.

Jaksa penuntut umum dengan gigih menggunakan segala upaya untuk mementahkan serta mendeskreditkan keterangan para saksi, tapi para pembela tetap memaksa mereka untuk mendengarkan. Saksi per-tama bernama Shaleh. Orangnya telah lanjut usia, berumur 65 tahun, pekerjaan tukang batu. Sebelum saksi ini diajukan ke persidangan, para pembela meminta jaminan keamanan bagi keselamatan saksi. Tapi Hakim yang menyidangkan hanya bersedia memberikan jaminan keselamatan selama berada di ruang sidang saja. Sedangkan di luar ruang pengadilan, hakim menolak untuk bertanggungjawab. 2.5.3 Persidangan 28 Orang Korban Pembantaian

Menjelang selesainya persidangan 4 orang terdakwa seperti telah diuraikan di atas, pengadilan mulai menyidangkan 28 orang pemuda lainnya. Sebagian besar terdakwa adalah korban pembantaian Tanjung Priok. Ketika terdakwa menyampaikan keterangan tentang pristiwa yang telah dialaminya, sebagian besar dari mereka memperlihatkan dengan jelas, bekas-bekas penganiayaan sewaktu berada dalam perawatan di RS militer. Persidangan ini berlangsung beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok.

Sebagian terdakwa benar-benar tersiksa oleh derita akibat penganiaya an petugas, sehingga untuk datang ke persidangan saja mereka harus dipapah. Para pengunjung sebagian besar merasa iba terhadap korban yang malang itu, sehingga membuat jalannya persidangan seringkali terganggu karena tiba-tiba terdengar teriakan histeris pengunjung. Nampak dengan jelas, bahwa ke 28


(22)

orang terdakwa hanya dijadikan sample di antara sejumlah besar korban pembantaian.

AM. Fatwa, seorang muballigh dan anggota petisi 50 yang telah disidangkan kasusnya pada akhir tahun 1985, di depan sidang pengadilan bercerita:

”Saat berada dalam tahan militer di Cimanggis, ditempat tersebut terdapat kurang lebih 200 orang tahanan berkaitan dengan kasus Tanjung Priok. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda yang menjadi korban tindakan berutal saat demonstrasi terjadi. Ia menceritakan bahwa keadaan para tahanan tersebut sangat menyedihkan karena diperlakukan dengan buruk dan minimnya perawatan atas kondisi kesehatan mereka. Selanjutnya Fatwa bercerita: ”Para tahanan remaja ini tangannya penuh balutan karena luka parah akibat tembakan. Penjaga tahanan tidak membolehkan anak-anak ini mengganti pembalut luka mereka. Pembalut diganti dua hari kemudian setelah luka-luka berubah jadi borok. Tahanan yang mengalami derita semacam ini bernama Lili Ardiansah, dan tahanan lain bernama Maskun yang menderita 39 luka di tubuhnya akibat pemukulan sadis. Luka-luka ini membusuk dan bernanah hingga satu bulan. Karena nasib baik saja, luka tersebut sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi meninggalkan bekas di tubuh mereka untuk selamanya. Tahanan lain bernama Syarifuddin, mengalami kelumpuhan separuh badan akibat tekanan darah tinggi, dan dibiarkan menderita demikian selama dua hari. Sekalipun dokter telah dihubungi melalui telpon pada saat korban jatuh sakit, tetapi dokter baru datang dua hari kemudian”.

Persidangan 28 orang di atas berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Semua tertuduh dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman antara dua hingga tiga tahun. Tuduhan pokok yang didakwakan kepada mereka, yaitu ikut serta melakukan perlawanan terhadap ABRI dengan kekerasan. Mereka dikatakan membawa senjata berupa pisau, pentungan besi, clurit dan jerigen berisi bensin, untuk melakukan pembakaran. Mereka tidak memperdulikan peringatan bahkan melakukan serangan terhadap petugas keamanan dengan pentungan dan lemparan batu.


(23)

2.5.4 Vonis Pengadilan

Berikut ini akan dipaparkan beberapa keputusan yang dimuat oleh sementara koran yang terbit disaat itu, menyangkut ke 28 terdakwa di atas. Terdakwa yang divonis paling berat adalah Hendra Safri, 22 tahun, seorang mahasiswa AKUBANK. Hendra sama sekali tidak mengalami cedera karena memang dia tidak berada di tempat demonstrasi. Hal ini berbeda dengan terdakwa lainnya. Karena Hendra ditangkap di Sumatera, bukan di Jakarta, pada tanggal 20 September. Ia menyatakan pada pengadilan pada tanggal 12 September, tengah bermain kartu dengan teman - temannya, berjarak 2 km dari lokasi terjadinya demonstrasi.

Selain itu ia adalah teman dekat Amir Biki. Jaksa menuntut dia hukuman 5 tahun, sementara yang bersangkutan menolak semua tuduhan yang dikenakan kepadanya. Tiga orang tertuduh lainnya masing-masing dikenai hukuman 27 bulan, yaitu:

1. Nama : Muslih bin Marzuki. 2. Nama : Marwoto.

3. Nama : Thahir bin Sarwi.

Tiga orang terdakwa lainnya, masing-masing dijatuhi hukuman 21 bulan : 1. Nama : Dudung bin Supian

2. Nama : Amir bin Bunari. 3. Nama : Armin bin Mawi.

Tiga Orang Terdakwa Dijatuhi 18 Bulan Penjara, diantaranya : 1. Nama : Wasjad bin Sukarma.

2. Nama : Nasrun bin Sulaemanah. 3. Nama : Suherman bin Surnata Tujuh Terdakwa Dihukum 10 Bulan

1. Nama : Damsirwan bin Nurdin. 2. Nama : Ita Sumirta bin Amin 3. Nama : Sardi bin Wage.

4. Nama : Budi Santoso bin Suparto. 5. Nama : April bin Mansur.


(24)

Sebelas Terdakwa Duhukum 1 Tahun

1. Nama : Ferdinan M. Silalahi, 2. Nama : Yusran bin Zaenuri. 3. Nama : Misdi bin Sufian.

4. Nama : Amir Mahmud bin Dulkasan. 5. Nama : Ismail bin Abdul Hamid. 6. Nama : Syafrizal bin Sufiyan. 7. Nama : Maksudi bin Irsad. 8. Nama : Cecep Basuki bin Wagi. 9. Nama : Asep Safruddin bin Suhendri. 10.Nama : Iuscon bin Ilyas.


(25)

BAB III

PENUTUP

Dari uraian pada bab terdahulu maka kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

3.1 KESIMPULAN

1. Tentang Latar Belakang, bahwa kami menemukan petunjuk berupa kebijakan politik Pemerintah Orde Baru yang berkaitan dengan mono idelogisasi yang dilakukan sejak tahun 1978 adalah penyebab dari peristiwa Tanjung Priok. Sejak dimulainya kebijakan politik tersebut Pemerintah Orde Baru melakukan usaha-usaha untuk memusnahkan seluruh aliran politik yang berbeda dengan Pemerintah Orde Baru. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan ancaman secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Presiden pada waktu itu dalam pidato di Riau dan Ulang Tahun Kopassandha pada tahun 1980 yang mempersonifikasi dirinya dengan Pancasila dan negara sebagai motif untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dengan demikian terdapat adanya upaya yang sistematis dan terencana dalam berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok adalah merupakan bentuk dari upaya rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dengan melanggar HAK Azasi Manusia.

2. Dari hasil investigasi lapangan KontraS yang kami baca, menemukan bahwa di wilayah Tanjung Priok banyak beredar pamflet-pamflet dan acara tablig akbar yang mengkritik kebijakan Pemerintah yang melakukan mono ideologisasi tersebut. Atas kritik tersebut aparat keamanan pada level terrendah, yaitu Babinsa setempat telah melakukan pelarangan terhadap penempelan pamflet-pamflet tersebut. Terhadap penceramah yang melakukan kritik dalam acara tablig tersebut dilakukan penangkapan, penahanan dan penyiksaan. Dari rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum meletusnya peristiwa penembakan pada tanggal 12 September 1984 tersebut, jelas-jelas bahwa pemerintah pada waktu itu mengkategorikan kritik-kritik yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Tanjung Priok sebagai pihak yang menentang kebijakan politik pemerintah. Sebagai aparat pelaksana adalah aparat-aparat di jajaran institusi militer mulai dari level terendah hingga


(26)

ke panglima ABRI/Pangkopkamtib pada waktu itu. Rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap masyarakat tersebut, yang berlanjut hingga terjadinya peristiwa 12 September 1984, atau yang dikenal dengan kasus Tanjung Priok, adalah merupakan kelanjutan dari kebijakan negara yang berkaitan dengan

mono ideologisasi.

3. Tentang penanggungjawab, Kami melihat dari keseluruhan rangkaian peristiwa yang terjadi berkaitan dengan Tanjung Priok, baik sebelum peristiwa 12 September maupun setelah peristiwa 12 September, pemerintah Orde Baru telah menggunakan seluruh instrumen-instrumen negara mulai dari institusi militer, institusi pengadilan dan institusi medis sebagai bagian dari rangkaian tindakan pelanggaran HAM tersebut. Juga patut diduga bahwa mantan Presiden Soeharto turut bertanggung jawab dalam peristiwa ini mengingat ancamannya untuk menggunakan senjata dan menculik orang demi mempertahankan asas tunggal.

4. Tindakan pemerintah Orde Baru pada waktu itu dalam peristiwa Tanjung Priok adalah satu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis, terencana dan berdampak meluas. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan politik tentang azas tunggal, telah melahirkan tindakantindakan represif berganda dari instrumen negara dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berkembang. Tindakan-tindakan represif yang merupakan pelaksanaan berganda tersebut adalah, pelarangan menyampaikan pendapat dan pikiran baik secara lisan maupun tulisan, memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik, pembunuhan kilat, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Peristiwa 12 September oleh pemerintah orde baru telah juga digunakan sebagai alasan bagi penangkapan terhadap pihak-pihak yang dianggap lawan oleh pemerintah orde baru pada waktu itu.


(1)

Persekongkolan dan kolusi antara hakim dan jaksa penuntut umum sangat nyata dalam persidangan kasus Tanjung Priok ini. Mereka telah bersepakat untuk menolak keterangan para saksi yang diajukan pena-sehat hukum terdakwa. Dalam persidangan kasus Rambe dan Sulaeman, misalnya, para pembela bermaksud menghadirkan saksi mata yang ikut hadir di mushalla ketika Hermanu dan sejumlah tentara datang ketempat tersebut untuk kedua kalinya. Ketika nama-nama saksi mulai dipanggil, jaksa malah berdiri dan berteriak lantang: “Mereka ini buronan yang sengaja disembunyikan pembela”.

Jaksa penuntut umum dengan gigih menggunakan segala upaya untuk mementahkan serta mendeskreditkan keterangan para saksi, tapi para pembela tetap memaksa mereka untuk mendengarkan. Saksi per-tama bernama Shaleh. Orangnya telah lanjut usia, berumur 65 tahun, pekerjaan tukang batu. Sebelum saksi ini diajukan ke persidangan, para pembela meminta jaminan keamanan bagi keselamatan saksi. Tapi Hakim yang menyidangkan hanya bersedia memberikan jaminan keselamatan selama berada di ruang sidang saja. Sedangkan di luar ruang pengadilan, hakim menolak untuk bertanggungjawab.

2.5.3 Persidangan 28 Orang Korban Pembantaian

Menjelang selesainya persidangan 4 orang terdakwa seperti telah diuraikan di atas, pengadilan mulai menyidangkan 28 orang pemuda lainnya. Sebagian besar terdakwa adalah korban pembantaian Tanjung Priok. Ketika terdakwa menyampaikan keterangan tentang pristiwa yang telah dialaminya, sebagian besar dari mereka memperlihatkan dengan jelas, bekas-bekas penganiayaan sewaktu berada dalam perawatan di RS militer. Persidangan ini berlangsung beberapa bulan setelah peristiwa Tanjung Priok.

Sebagian terdakwa benar-benar tersiksa oleh derita akibat penganiaya an petugas, sehingga untuk datang ke persidangan saja mereka harus dipapah. Para pengunjung sebagian besar merasa iba terhadap korban yang malang itu, sehingga membuat jalannya persidangan seringkali terganggu karena tiba-tiba terdengar teriakan histeris pengunjung. Nampak dengan jelas, bahwa ke 28


(2)

orang terdakwa hanya dijadikan sample di antara sejumlah besar korban pembantaian.

AM. Fatwa, seorang muballigh dan anggota petisi 50 yang telah disidangkan kasusnya pada akhir tahun 1985, di depan sidang pengadilan bercerita:

”Saat berada dalam tahan militer di Cimanggis, ditempat tersebut terdapat kurang lebih 200 orang tahanan berkaitan dengan kasus Tanjung Priok. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak muda yang menjadi korban tindakan berutal saat demonstrasi terjadi. Ia menceritakan bahwa keadaan para tahanan tersebut sangat menyedihkan karena diperlakukan dengan buruk dan minimnya perawatan atas kondisi kesehatan mereka. Selanjutnya Fatwa bercerita: ”Para tahanan remaja ini tangannya penuh balutan karena luka parah akibat tembakan. Penjaga tahanan tidak membolehkan anak-anak ini mengganti pembalut luka mereka. Pembalut diganti dua hari kemudian setelah luka-luka berubah jadi borok. Tahanan yang mengalami derita semacam ini bernama Lili Ardiansah, dan tahanan lain bernama Maskun yang menderita 39 luka di tubuhnya akibat pemukulan sadis. Luka-luka ini membusuk dan bernanah hingga satu bulan. Karena nasib baik saja, luka tersebut sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi meninggalkan bekas di tubuh mereka untuk selamanya. Tahanan lain bernama Syarifuddin, mengalami kelumpuhan separuh badan akibat tekanan darah tinggi, dan dibiarkan menderita demikian selama dua hari. Sekalipun dokter telah dihubungi melalui telpon pada saat korban jatuh sakit, tetapi dokter baru datang dua hari kemudian”. Persidangan 28 orang di atas berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Semua tertuduh dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman antara dua hingga tiga tahun. Tuduhan pokok yang didakwakan kepada mereka, yaitu ikut serta melakukan perlawanan terhadap ABRI dengan kekerasan. Mereka dikatakan membawa senjata berupa pisau, pentungan besi, clurit dan jerigen berisi bensin, untuk melakukan pembakaran. Mereka tidak memperdulikan peringatan bahkan melakukan serangan terhadap petugas keamanan dengan pentungan dan lemparan batu.


(3)

2.5.4 Vonis Pengadilan

Berikut ini akan dipaparkan beberapa keputusan yang dimuat oleh sementara koran yang terbit disaat itu, menyangkut ke 28 terdakwa di atas. Terdakwa yang divonis paling berat adalah Hendra Safri, 22 tahun, seorang mahasiswa AKUBANK. Hendra sama sekali tidak mengalami cedera karena memang dia tidak berada di tempat demonstrasi. Hal ini berbeda dengan terdakwa lainnya. Karena Hendra ditangkap di Sumatera, bukan di Jakarta, pada tanggal 20 September. Ia menyatakan pada pengadilan pada tanggal 12 September, tengah bermain kartu dengan teman - temannya, berjarak 2 km dari lokasi terjadinya demonstrasi.

Selain itu ia adalah teman dekat Amir Biki. Jaksa menuntut dia hukuman 5 tahun, sementara yang bersangkutan menolak semua tuduhan yang dikenakan kepadanya. Tiga orang tertuduh lainnya masing-masing dikenai hukuman 27 bulan, yaitu:

1. Nama : Muslih bin Marzuki. 2. Nama : Marwoto.

3. Nama : Thahir bin Sarwi.

Tiga orang terdakwa lainnya, masing-masing dijatuhi hukuman 21 bulan : 1. Nama : Dudung bin Supian

2. Nama : Amir bin Bunari. 3. Nama : Armin bin Mawi.

Tiga Orang Terdakwa Dijatuhi 18 Bulan Penjara, diantaranya : 1. Nama : Wasjad bin Sukarma.

2. Nama : Nasrun bin Sulaemanah. 3. Nama : Suherman bin Surnata Tujuh Terdakwa Dihukum 10 Bulan

1. Nama : Damsirwan bin Nurdin. 2. Nama : Ita Sumirta bin Amin 3. Nama : Sardi bin Wage.

4. Nama : Budi Santoso bin Suparto. 5. Nama : April bin Mansur.

6. Nama : Sudarso bin Raise. 7. Nama : Umar bin Sundu.


(4)

Sebelas Terdakwa Duhukum 1 Tahun

1. Nama : Ferdinan M. Silalahi, 2. Nama : Yusran bin Zaenuri. 3. Nama : Misdi bin Sufian.

4. Nama : Amir Mahmud bin Dulkasan. 5. Nama : Ismail bin Abdul Hamid. 6. Nama : Syafrizal bin Sufiyan. 7. Nama : Maksudi bin Irsad. 8. Nama : Cecep Basuki bin Wagi. 9. Nama : Asep Safruddin bin Suhendri. 10.Nama : Iuscon bin Ilyas.


(5)

BAB III

PENUTUP

Dari uraian pada bab terdahulu maka kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :

3.1 KESIMPULAN

1. Tentang Latar Belakang, bahwa kami menemukan petunjuk berupa kebijakan politik Pemerintah Orde Baru yang berkaitan dengan mono idelogisasi yang dilakukan sejak tahun 1978 adalah penyebab dari peristiwa Tanjung Priok. Sejak dimulainya kebijakan politik tersebut Pemerintah Orde Baru melakukan usaha-usaha untuk memusnahkan seluruh aliran politik yang berbeda dengan Pemerintah Orde Baru. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan ancaman secara terbuka seperti yang dilakukan oleh Presiden pada waktu itu dalam pidato di Riau dan Ulang Tahun Kopassandha pada tahun 1980 yang mempersonifikasi dirinya dengan Pancasila dan negara sebagai motif untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Dengan demikian terdapat adanya upaya yang sistematis dan terencana dalam berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok adalah merupakan bentuk dari upaya rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dengan melanggar HAK Azasi Manusia.

2. Dari hasil investigasi lapangan KontraS yang kami baca, menemukan bahwa di wilayah Tanjung Priok banyak beredar pamflet-pamflet dan acara tablig akbar yang mengkritik kebijakan Pemerintah yang melakukan mono ideologisasi tersebut. Atas kritik tersebut aparat keamanan pada level terrendah, yaitu Babinsa setempat telah melakukan pelarangan terhadap penempelan pamflet-pamflet tersebut. Terhadap penceramah yang melakukan kritik dalam acara tablig tersebut dilakukan penangkapan, penahanan dan penyiksaan. Dari rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum meletusnya peristiwa penembakan pada tanggal 12 September 1984 tersebut, jelas-jelas bahwa pemerintah pada waktu itu mengkategorikan kritik-kritik yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Tanjung Priok sebagai pihak yang menentang kebijakan politik pemerintah. Sebagai aparat pelaksana adalah aparat-aparat di jajaran institusi militer mulai dari level terendah hingga


(6)

ke panglima ABRI/Pangkopkamtib pada waktu itu. Rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap masyarakat tersebut, yang berlanjut hingga terjadinya peristiwa 12 September 1984, atau yang dikenal dengan kasus Tanjung Priok, adalah merupakan kelanjutan dari kebijakan negara yang berkaitan dengan mono ideologisasi.

3. Tentang penanggungjawab, Kami melihat dari keseluruhan rangkaian peristiwa yang terjadi berkaitan dengan Tanjung Priok, baik sebelum peristiwa 12 September maupun setelah peristiwa 12 September, pemerintah Orde Baru telah menggunakan seluruh instrumen-instrumen negara mulai dari institusi militer, institusi pengadilan dan institusi medis sebagai bagian dari rangkaian tindakan pelanggaran HAM tersebut. Juga patut diduga bahwa mantan Presiden Soeharto turut bertanggung jawab dalam peristiwa ini mengingat ancamannya untuk menggunakan senjata dan menculik orang demi mempertahankan asas tunggal.

4. Tindakan pemerintah Orde Baru pada waktu itu dalam peristiwa Tanjung Priok adalah satu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis, terencana dan berdampak meluas. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan politik tentang azas tunggal, telah melahirkan tindakantindakan represif berganda dari instrumen negara dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berkembang. Tindakan-tindakan represif yang merupakan pelaksanaan berganda tersebut adalah, pelarangan menyampaikan pendapat dan pikiran baik secara lisan maupun tulisan, memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik, pembunuhan kilat, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Peristiwa 12 September oleh pemerintah orde baru telah juga digunakan sebagai alasan bagi penangkapan terhadap pihak-pihak yang dianggap lawan oleh pemerintah orde baru pada waktu itu.