MAKALAH PANCASILA Menuntas Kasus Pelangg

MENUNTAS KASUS PELANGGARAN HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA DALAM
KONTEKS PANCASILA
Makalah ini Dibuat untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pancasila
Dosen Rehnalemken Ginting, S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Ayu Ningrum Susanti
E0014057

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan
segala rahmat dan anugrah-Nya, tidak lupa shalawat serta salam kita ucapkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sehingga pada kesempatan ini
penyusun mampu mengerjakan tugas yang diberikan tentang “ Menuntas
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Pancasila ” dengan sebaikbaiknya.

Di mana tugas ini dibuat atas perintah dari dosen mata kuliah Pancasila
yaitu Bapak Rehnalemken Ginting S.H.,M.H. telah memberikan bimbingan
kepada penyusun tentang Menuntas Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam
Konteks Pancasila.
Makalah ini memuat beberapa materi tentang penuntasan kasus HAM bila
dinilai dari konteks Pancasila yang sekiranya penyusun ketahui, maka dari itu
penyusun mohon maaf jika ada kekurangan yang sejatinya ini dibuat dari proses
belajar sang penyusun. Sehingga penyusun sadar bahwa makalah ini tidak jauh
dari segala bentuk kekurangan.
Terima kasih atas perhatiannya, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita
semua dalam mendukung proses belajar.

Surakarta, 11 Desember 2014

Penyusun,

Ayu Ningrum Susanti

i


Daftar Isi
Cover…………………………………………………………..
Halaman Judul………………………………………………..
Kata Pengantar……………………………………………….

i

Daftar Isi………………………………………………………

ii

Bab

1

(Pendahuluan)
1.1 Latar Belakang…………………………………………

1


1.2 Rumusan Masalah……………………………………..

2

1.3 Tujuan Penyusunan……………………………………

2

1.4 Manfaat Penyusunan…………………………………..

3

1.5 Metode Yang Ditempuh……………………………….

3

Bab

2


(Pembahasan)
2.1 Konseptualisasi dan Rekonstruksi HAM
dalam konteks Pancasila…………………………………

1

2.2 Hubungan HAM dalam Kehidupan
Bermasyarakat……………………………………………

7

2.3 Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan
dengan Masalah Pelanggaran HAM di Indonesia ……….
Bab

11

3

(Penutup)

3.1 Kesimpulan ……………………………………………

16

3.2 Saran…………………………………………………...

17

Daftar Pustaka……………………………………………… ..

18

Artikel yang Berkaitan dengan Ham……………………… ..

19

ii

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang
Mahakuasa. Oleh karena itu, wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Nilai-nilai
persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam HAM dapat
mendorong terciptanya masyarakat egaliter yang menjadi ciri civil society.
Oleh karena itu, penegakan HAM merupakan prasyarat dalam menciptakan
masyarakat yang madani.
Kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya perlindungan
hak-hak asasi manusia (HAM) sangat meningkat dalam tempo lebih dari 18
tahun terakhir ini. Suatu arus perubahan global telah meninggalkan otokrasiotokrasi politik dan mengisolasikan bagaikan para pelaut yang berada pada
bagian bawah dari gelombang air pasang. Semenjak tahun 1989, sejumlah
besar negara di berbagai belahan dunia dan benua, telah melaksanakan
reformasi, dan bergerak ke arah kategori kemunculan dan kemunculan
kembali demokrasi, dan memproklamirkan dukungan terhadap HAM
internasional dengan tulus.
Berbagai perkembangan di dunia internasional dalam bidang HAM
juga memiliki pengaruh yang signifikan di Indonesia. Pada saat-saat ini
bangsa Indonesia sedang berada dalam masa transisi politik menuju

demokrasi,. Salah satu hal yang harus dituntaskan dalam masa transisi
politik tersebut adalah penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di masa lalu, yaitu seperti pelanggaran HAM berat pada tahun 1998
dan kasus Munir serta kasus pelanggaran HAM lainnya.
Terlepas

dari

belum

1
berhasilnya

Indonesia

menyelesaikan

pelanggaran-pelanggaran HAM—khususnya pelanggaran-pelanggaran

HAM berat—secara tuntas, sebagai salah satu pasyarat pokok untuk

melewati masa transisi dengan sukses, isu-isu HAM telah menjadi salah satu
isu penting yang muncul dalam kosakata Indonesia.
Mengingat semakin pentingnya pemahaman tentang isu-isu HAM ini
pada masa yang akan datang, terutama melaui mekanisme pendidikan dari
tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi dengan ditinjau melalui
konteks sila-sila yang terkandung dalam Pancasila.

1.2 Rumusan Masalah
1.

Bagaimana konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks

2.

Pancasila?
Bagaimana

3.

masyarakat?

Apa saja peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

hubungan

Hak

Asasi

Manusia

dalam

kehidupan

masalah pelanggaran HAM di Indonesia?

1.3 Tujuan Penyusunan
1.

Menjelaskan tentang konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau


2.

dari konteks Pancasila,
Memaparkan hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan

3.

masyarakat,
Membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pelanggaran HAM di indonesia.

2

1.4 Manfaat Penyusunan
1.

Memahami konseptualisasi dan rekonstruksi HAM ditinjau dari konteks

2.

3.

Pancasila,
Mengerti hubungan Hak Asasi Manusia dalam kehidupan masyarakat,
Mengetahui peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang
masalah pelanggaran HAM di Indonesia.

1.5 Metode yang Ditempuh


Melalui metode studi pustaka
Yaitu dengan bantuan dari berbagai macam referensi yang kita dapatkan
melalui media bacaan (internet/ buku).

3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konseptualisasi dan Rekonstruksi HAM dalam Konteks
Pancasila
Kasus tewasnya Munir yang hingga kini belum terungkap siapa
pelaku utamanya adalah satu dari sekian buruknya potret perlindungan
HAM bagi para pembela HAM di Indonesia. Kita bangga dengan hadirnya
para pembela HAM. Kita mengapresiasikan kerja-kerja kemanusiaan terus
ditorehkan sebagai upaya sadar membangun bangsa yang beradab. Pikiran
picik

dan

simplistik

atas

karya-karya

pmbela

HAM

merupakan

pengingkaran terhadap kebenarann dan hati nurani. Inilah puncak dari
pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran jamak masyarakat Indonesia,
terutama pemerintah, untuk menghormati dan melindungi hak dan tanggung
jawab pembela HAM dalam kerja-kerja kemanusiaan. Kita, secara pribadi
dan kelompok, berhak dan bertanggungjawab melindungi dan memajukan
HAM. Mari kita lakukan kerja-kerja HAM itu dengan dasar kejujuran,
keikhlasan, dan kebenaran.
Wacana HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran
manusia atas hak dan kewajiban yang dimilikinya. Begitu derasnya
kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang
diidentifikasikan melanggar dan mengabaikan HAM, dengan sekejap mata
di belahan bumi ini memberikan respons.

4
Terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi kuasa
memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan
sebagainya.

1. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan hak kodrati yang melekat pada
manusia. Hak asasi melambangkan kemanunggalan hidup manusia
dengan dimensi instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah
isu universal sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu
digelindingkan dalam konteks Pancasila. Yang jelas muatan dan pesan
aktualnya merupakan representasi kehidupan jamak manusia.

2. HAM; Antara Wacana dan Realita
Bagi Indonesia, wacana HAM masuk dengan indah ke dalam
benak-benak anak bangsa. Dalam konteks reformasi, pemikiran ke arah
bentuk jaminan HAM yang lebih kokoh semakin mendapatkan
momentumnya. Perubahan UUD 1945 adalah fakta sejarah sekaligus
diyakini sebagai titik mulai bagi penguatan demokrasi Indonesia yang
berbasis perlindungan HAM.
Begitupun dalam tataran realitas, kemajuan normativitas HAM
belum berjalan dengan maksimal. Pelanggaran HAM masih terjadi
secara masif. Eforia reformasi menyisakan problematika tersendiri.
HAM berubah menjadi “dua sisi dari sebuah mata pisau.” Pada
satu sisi mengedepankan dimensi humanitas manusia, tetapi pada sisi
yang lain HAM dipandang terlalu menakutkan bagi setiap orang
terlebih bagi pengambil kebijakan karena di dalamnya sarat dengan
hegemoni dan kooptasi.

5

3. Rekonstruksi Instrumen Hukum HAM
Persoalan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia
diharapkan lebih banyak dikembalikan kepada kemauan politik dan
keberanian politik masing-masing pimpinan negara untuk menghukum
siapa saja, termasuk warga negaranyayang telah melanggar HAM yang
ada. Untuk mengefektifkan harapan tersebut hubungan antarpimpinan
negara dalam skala internasional ditingkatkan terus.
Secara logika, semakin banyak negara yang menganut sistem
demokrasi yang berarti semakin memihak kepada rakyat, lebih-lebih

dengan memerhatikan dan berpatokan pada persamaan filosofi
dasarnya, akan memperkuat rasa saling menghormati dan saling
membantu untuk menegakkan HAM. Hal ini dapat mempercepat upaya
meraih keadilan dan kemakmuran rakyat.
Namun, dalam perwujudannya banyak mengalami hambatan.
Faktor perbedaan politik menjadi kendala utama, sehingga hak asasi
adalah milik manusia/rakyat belum dapat terwujud dengan baik. Lebihlebih bila demokrasi yang berarti dari rakyat, namun dalam praktik
belum untuk rakyat, dapat “menjauhkan” cita-cita penghormatan HAM.
4.

HAM dalam konteks Pancasila
Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban
manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang
menentukan

jalannya

sejarah

bangsa

Indonesia

sepatutnya

dipertanyakan dan direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama
sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Berbagai tindakan dan perilaku
yang sangat bertentangan dengan sila perikemanusiaan tidak sepatutnya
mewarnai kebijakan dan perilaku aparatur negara dalam kehidupan
publik.

6
Kekerasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan hidup
merupakan kenyataan yang sungguh bertentangan dengan rasa keadilan
dan kemanusiaan, dan oleh karena itu harus dihapuskan dari
perikehidupan bangsa.
Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan
yang serius dalaam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa
indonesia. Yang menjadi komitmen penegakan HAM tidak terbatas
pada pemuliaan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan
hak ekonomi, sosial dan budaya. Para pendiri bangsa telah merumuskan
apa yang disebut sebagai “tiga generasi HAM”, yang mengindikasikan
bahwa kepedulian bangsa kita terhadap hak-hak asasi manusia sudah
bergerak jauh ke depan. Kenyataan ini mestinya memberi motivasi

kepada bangsa Indonesia untuk senantiasa berada di barisan terdepan
dalam memuliakan hak-hak asasi manusia dalam kehidupaan nasional
dan internasional dii tengahpusaran arus globalisasi yang mengandung
potensi dehumanisasi.

2.2 Hubungan Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Manusia
1. Hubungan Sistem Hukum dan Sistem Politik dari Sudut
Pandang HAM
Hidup bermasyarakat bagi warganya berarti siap/mau mengikuti
pola hubungan antarindividu dalam kelompok yang telah ada
sebelumnya. Adanya pola tingkah laku sama yang dipertahankan dan
dikembangkan terus oleh warganya, sehingga tercipta/terjalin interaksi
sosial.

7
Dalam interaksi yang terjaga dengan baik akan terjalin semangat
kerja sama yang baik pula. Ketika ada anggota masyarakat yang
bertindak di luar pola yang telah diakui, tidak jarang mengakibatkan
terjadinya konflik.
Adanya organisasi sosial kuat dan menghormati kesepakatankesepakatan yang ada serta mampu membangun tradisi demokrasi yang
kuat akan mampu mengatur dan menanganimasalah sosial yang ada.
Kemungkinan terjadinya konflik internal akan dapat diminimalisasikan.
Adanya konflik yang dapat mengakibatkan disfungsinya tugas/tujuan
sosial akan menggangu kehidupan anggota masyarakat itu sendiri.
Karenanya, konflik dalam masyarakat, lebih-lebih dalam masyarakat

yang semakin modern dan kompleks, campur tangan hukum sangat
diperlukan/dirasakan pentingnya. Dengan cara dan teknik tersebut,
diharapkan penyelesaiaannya semakin proporsional, adil, dan rasional.
Perkembangan pemikiran tersebut dilihat dariide dan pemikiran HAM
merupakan rangkaian proses dan langkah-langkah untuk menghormati
hak asasi manusia itu sendiri. Sebab, bermasyarakat jujur harus diakui
adalah untuk kebahagiaan/kepuasaan bersama.

2. HAM dalam Transisi Politik Sentralisasi ke Sistem Politik
Demokratis
Bicara sistem politik pada intinya bicara pilihan sistem politik.
Sistem politik diktator/otoriter/sentralistik/absolutisme atau sistem
politik demokratis/populis/kerakyatan, walau dalam peraktik terdapat
varian diantara kedua sistem tersebut. Dalam kedua sistem tersebut
sistem politik mempunyai hubungan timbal balikdengan hukum serta
berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap
HAM.
8
Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak
represif, mempertahankan status quo, mempertahankan kepentingan
penguasa. Dalam sistem hukum yang berwatak represif/reaktif, dapat
dipastikan hak-hak rakyat terabaikan, terutama HAM tidak pernah
mendapat prioritas. Pemerintah diktator memiliki kekuasaan mutlak dan
sentralistis, aparat dan pejabat negara dibawah kontrol/kendali penguasa.
Dalam sistem tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak, dan kalau ada
lebih sebagai aksesoris politik saja.
Sebaliknya dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang
dihasilkan bersifat responsif, akomodatif. Substansi hukum yang
tertuang

di dalam beragam

peraturan

perundangan yang

ada

menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi
salah satu ukuran penegakan hukum. Dalam sistem tersebut terjalin

komunikasi serasi antara opini publik lewat wakil-wakilnya, juga media
massa, agamawan, cendikiawan, dan LSM dengan pemerintah. Dengan
demikian hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency,
openness, predictability, dan stability. Semua warga negara mempunyai
kedudukan yang sama di depan hukum. Ciri inilah yang disebut rule of
law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya
menekankan pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi
demokrasi yaitu mewujudkan kehendak rakyat, yang dibuktikan dari
perjuangan wakil-wakilnya di DPR.
Penguasa/pemerintah
di

dalam

menjalankan

roda

pemerintahannya lewat keputusan dan kebijaksanaan yang ditempuh,
memiliki kekuasaan dan kewenangan, yang dipakai sebagai alat/sarana,
baik dalam menjalankan tugas maupun menyelesaikan konflik yang ada.
Sebenarnya, pilihan sistem politik diktator atau demokratis suatu negara
tidak dapat dilepaskan dari politik hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya.
9
Politik hukum yang dituangkan di dalam undang-undang dasar
suatu negara merupakan pedoman/dasar utama serta pilihan yang harus
dilaksanakan oleh para pejabat negara.
Indonesia menentukan politik hukum sebagaimana tertuang di
dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain menciptakan masyarakat adil,
makmur, bersatu , dan berdaulat yang harus diaplikasikan oleh para
pejabat, politisi, birokrat dalam semua strata yang ada. Dengan
demikian, politik selalu terkait dengan tujuan dari seluruh masyarakat
dan bukan tujuan pribadi. Lagi pula politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan orang per orang
(individu).
Kalau kepentingan nasional menjadi ukuran/egangan, ditambah
adanya kemauan politik dan keberanian politik penguasa sendiri untuk
memperbaiki diri dan “kembali” ke politik hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya, kalau memang banyak terjadi penyelewengan/KKN

misalnya, maka penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan politik
yang ada, menjadi prioritas utama untuk diberantas, sehingga KKN
dapat dikurangi secara bertahap.
Karena itulah, dalam masyarakat yang paternalistik sebagaimana
peran para intelektual, budayawan, idealis, agamawan tetap diharapkan.
Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran
kelompok-kelompok

tersebut.

Selain

itu,

salah

satu

kunci

mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik lebih lanjut,
selain para pimpinan formal mampu memantapkan niat untuk
mewujudkan politik hukum yang sudah ditetapkan, diikuti langkah
konkret dengan mengangkat taraf hidup, kesejahteraan dan ketentraman
semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang
beruntung.
10
Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk kemiskinan
kultural yang harus diperangi, dan tidak menambah jumlah kemiskinan
struktural, hal ini sangat terkait dengan penegakan HAM.
Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga
seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas
dan selalu menghormati norma-norma hukum yang ada. Terciptanya
kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran hukum sangat
diharapkan dalam waktu yang relatif bersamaan. Kesadaran politik
tinggi berarti kesadaran bernegara cukup tinggi, sehingga pada saatnya
kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.
Hal ini akan menunjang sistem politik yang sehat dan
demokratis. Dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan
Pancasila dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga
negaranya. Lewat pendidikan politik dan Pancasila yang objektif,
terbuka, dan dialogis akan menciptakan/memantapkan kultur politik
serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada, dan pada

akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, negara, dan
kemanusiaan.

2.3 Peraturan Perundang-undangan yang Berkaitan dengan
Pelanggaran HAM di Indonesia
Usaha untuk melindungi hak asasi manusia atau HAM sudah
diperdebatkan sejak waktu menyusun rancangan UUD 1945 di BPUPKI
antara Sukarno-Supomo di satu pihak dan Hatta-Muh.Yamin di lain pihak.
Menurut Sukarno-Supomo, negara yang hendak didirikan berdasar paham
kekeluargaan, sedang HAM adalah buah dari paham individualisme,
sehingga HAM tidak perlu dimasukkan ke dalam UUD. Tetapi menurut
Hatta-Muh.Yamin, untuk menjaga agar negara yang hendak didirikan tidak
menjadi negara kekuasaan, maka HAM perlu dimasukkan ke dalam UUD.
11
Terlepas dari penilaian hasil perdebatan tersebut, ketika rancangan
UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, di dalam
Batang Tubuh dari UUD 1945, HAM hanya dimuat pada Pasal 27, Pasal 8,
Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 34 saja, sedang untuk pelaksanaan
dari Pasal 28, Pasal 30 dan Pasal 31masih harus ditetapkan dengan undangundang. HAM yang dimuat dalam UUD 1945 mendahului HAM seperti
yang dimuat dalam Universal Declaration of Human Right atau Deklarasi
Hak Asasi Manusia PBB, karena deklarasi tersebut baru tanggal 10
desember 1948 ditetapkan oleh Sidang Umum PBB di Paris.
Oleh karena itu, tidak pada tempatnya jika sampai dibandingkan
kelengkapannya antara HAM yang dimuat di dalam Batang Tubuh dari
UUD 1945 dengan HAM yang dimuat di dalam Deklarasi HAM-PBB.
Tetapi pada waktu berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, masingmasing adalah satu-satunya konstitusi atau UUD di seluruh dunia yang telah
berhasil memasukkan HAM seperti yang dimuat di dalam Deklarasi HAMPBB ke dalam Konstitusi atau UUD.
Pada waktu Konstituante menyusun UUD untuk menggantikan
UUDS 1950, sebenarnya Konstituante sudah berhasil menyusun HAM yang

akan dimuat dalam UUD, tetapi keburu Konstituante dibubarkan dengan
Dekrit Presiden RI/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959
dan memberlakukan kembali UUD 1945. Setelah ditetapkan UUD 1945
berlaku kembali, baik jaman Orde Lama maupun Orde Baru, banyak sekali
dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang isisnya merupakan
pelanggaran HAM.

12
Misalnya jaman Orde Lama telah dikeluarkan Penetapan Presiden
Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian
dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan,
Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai, sedang pada jaman Orde Baru
telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golongan Karya yang kemudian diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1985.
Karena banyak sekali terjadi pelanggaran HAM, maka banyak sekali
pula tekanan-tekanan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri agar
ada perlindungan HAM di Indonesia. Untuk menanggapi tekanan-tekanan
tersebut, dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 telah dibentuk
KOMNAS HAM yang kegiatannya antara lain adalah memantau dan
menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan pendapat, pertimbangan,
dan saran kepada badan pemerintahan negara mengenai pelaksanaan HAM.
Setelah jaman Orde Baru diganti dengan jaman Orde Reformasi,
MPR baru berhasil membuat ketetapan mengenai HAM, yaitu TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang naskahnya
disusun sebagai berikut:
1.
Pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM.
2.
Piagam HAM.
Pada Pasal 44 Piagan HAM ditentukan bahwa untuk menegakkan
dan melindungi HAM sesuai dengan pinsip negara hukum yang demokratis,

maka pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 44
Piagam HAM tersebut, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
disebutkan antara lain:
a.

13
Pengaturan mengenai HAM ditentukan dengan berpedoman pada
Deklarasi HAM-PBB, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi PBB terhadap Hakhak Anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur

b.

mengenai HAM.
UU No.39 Tahun 1999 adalah merupakan payung dari seluruh
peraturan perundang-undangan tentang HAM, sehingga pelanggaran,
baik langsung ataupun tidak langsung atas HAM dikenakan sanksi
pidana, perdata dan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Oleh karena itu, sudah tepat jika Pasal 2 TAP MPR Nomor

XVII/MPR?1998 menugaskan kepada Presiden RI dan DPR untuk
meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan adanya Penjelasan Umum UU No.39 Tahun 1999 maka
akibatnya disamping semua peraturan perundang-undangan tentang atau
berkaitan dengan HAM yang sudah ada harus disesuaikan atau ditafsirkan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun
1999, juga semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan
dengan HAM yang akan ditetapkan, harus berdasar dan tidak boleh
bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999.
Sesudah ditetapkan UU No.39 Tahun 1999 pada sidang Umum MPR
tahun 2000, MPR atas dasar Pasal 37 UUD 1945, telah mengadakan
perubahan Kedua UUD 1945, yaitu dengan menambah Bab X A tentang
HAM yang terdiri dari Pasal 28 a sampai dengan Pasal 28 j.

14
Jadi, untuk mengetahui ketentuan-ketentuan tentang HAM di
Indonesia, tidak cukup hanya mengetahui ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam UU No.39 Tahun 1999 saja, tetapi juga harus mengetahui ketentuanketentuan yang terdapat dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan
UUD 1945 dengan perubahannya, meskipun harus diakui terdapat adanya
tumpang-tindih ketentuan. Misalnya, ketentuan yang terdapat dalam Pasal
10 Ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 terdapat juga dalam 2 TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 dan Pasal 28b Ayat (1) UUD 1945.
Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa untuk
mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di
lingkungan Peradilan Umum. Atas dasar ketentuan yang terdapat di dalam
Pasal 104 Ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tersebut, ditetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Ternyata Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1999 ini tidak mendapat persetujuan dari DPR untuk menjadi
undang-undang dan sebagai gantinya ditetapkan undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mulai berlaku
pada tanggal 23 November 2000 dengan mencabut dan menyatakan tidak
berlaku Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
disebutkan bahwa dengan adanya undang-undang ini diharapkan dapat
melindungi HAM, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi
dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman, baik
bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran HAM yang
berat.

15

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa Hak Asasi Manusia
merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia. Hak asasi
melambangkan

kemanunggalan

hidup

manusia

dengan

dimensi

instrinsiknya. Kelahiran dan kemunculan HAM adalah isu universal
sekalipun dalam kurun waktu tertentu isu itu digelindingkan dalam konteks
Pancasila. Yang jelas muatan dan pesan aktualnya merupakan representasi
kehidupan jamak manusia.
Persoalan hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi tantangan yang
serius dalaam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa indonesia. Yang
menjadi komitmen penegakan HAM tidak terbatas pada pemuliaan hak-hak
sipil dan politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, sosial dan
budaya. Para pendiri bangsa telah merumuskan apa yang disebut sebagai
“tiga generasi HAM”, yang mengindikasikan bahwa kepedulian bangsa kita
terhadap hak-hak asasi manusia sudah bergerak jauh ke depan.
Dengan adanya Penjelasan Umum UU No.39 Tahun 1999 maka
akibatnya disamping semua peraturan perundang-undangan tentang atau
berkaitan dengan HAM yang sudah ada harus disesuaikan atau ditafsirkan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.39 Tahun
1999, juga semua peraturan perundang-undangan tentang atau berkaitan
dengan HAM yang akan ditetapkan, harus berdasar dan tidak boleh
bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999.

16

3.2 Saran

Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban
manusia dan bangsa Indonesia. Masalah-masalah nasional yang menentukan
jalannya

sejarah

bangsa

Indonesia

sepatutnya

dipertanyakan

dan

direfleksikan dalam kerangka Pancasila, terutama sila kemanusiaan yang
adil dan beradab. Berbagai tindakan dan perilaku yang sangat bertentangan
dengan sila perikemanusiaan tidak sepatutnya mewarnai kebijakan dan
perilaku aparatur negara dalam kehidupan publik, seperti halnya
pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang
mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati
norma-norma hukum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama
dengan kesadaran hukum sangat diharapkan dalam waktu yang relatif
bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegara cukup
tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi
pula.Hal ini akan menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari
sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan Pancasila dan seterusnya
partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik
dan

Pancasila

yang

objektif,

terbuka,

dan

dialogis

akan

menciptakan/memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyarakat
terhadap sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat meningkatkan
rasa cinta tanah air, negara, dan kemanusiaan.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan
untuk dapat menambah pengetahuan dalam hal penegakan Hak Asasi
Manusia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dan juga penulis mengharapkan adanya sumbangsih kritik dan saran yang
bersifat membangun guna penyusunan makalah berikutnya yang lebih
sempurna lagi.

17

Daftar Pustaka

Effendi, A. Masyhur. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM): Proses
Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2005.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Yudilatif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

18

KUTIPAN ARTIKEL TERKAIT ISU TERHANGAT
MENGENAI HAK ASASI MANUSIA

Koran Kompas, edisi Selasa, 2 Desember 2014

PRESIDEN TETAP BERKOMITMEN
Didesak, Pembatalan Pembebasan Pollycarpus
JAKARTA, KOMPAS- Presiden Joko Widodo masih berkomitmen
menuntas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti janji
saat kampanye pemilihan presiden. Dalam waktu dekat, Menko
Polhukam, Menkumham, dan Jaksa Agung akan bertemu dan
membahas langkah pemerintahan.
Komitmen presiden dalam penuntasan kasus HAM diragukan publik
setelah pemerintah menyetujui pembebasan bersyarat Pollycarpus, terpidana
pembunuhan aktivis HAM Munir. Namun menurut Andi Wijayanto, Sekretaris
Kabinet menegaskan bahwa komitmen masih dipegang. Segera akan ada
koordinasi antara Menkumham, Jaksa Agung, dan Menko Polhukam untuk
mempelajari yang bisa dilakukan dalam kasus pelanggaran HAM. Tapi, semua
rekomendasi dari aktivis termasuk Komnas HAM sudah diterima dan akan
menjadi pertimbangan. Untuk menyikapi usul ataupun rekomendasi itu,
pemerintah perlu berhati-hati dnegan mempertimbangkan peraturan perundangundangan....
Terkait pembebasan bersyarat Pollycarpus semua prosedur hukum sudah
dilakukan. Secara prosedural Pollycarpus sudah bisa bebas bersyarat 2012. Tidak
ada hal-hal legal yang bisa digunakan untuk menahan lebih lama.
19

Jadi guna menghormati prinsip-prinsip itu pemerintah tidak mencampuri
yang sudah berlaku. Adapun Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah
berupaya menuntaskan kasus Munir. Namun, keputusan akhir terhadap kasus itu
juga bergantung proses di pengadilan. Karena pemerintah tidak bisa
mengintervensi pengadilan.
Terkait pembebasan bersyarat Pollycarpus yang dikritik karena dinilai
tidak memenuhi rasa keadilan, itu bisa diuji apakah sesuai UU atau tidak.
Seseorang juga berhak untuk menjalani hukuman sesuai UU. Jika UU
membolehkan seseorang dibebaskan bersyarat, tetapi hak itu tidak diberikan,
justru pemerintah bisa dinilai menlanggar hak asasi. Selain itu, pembebasan
bersyarat Pollycarpus diberikan karena telah memenuhi persyaratan administrasi
dan substantif.
Sejumlah pegiat masyarakat sipil juga terus mempertanyakan komitmen
pemerintah terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. LSM-LSM itu
antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras),
Imparsial, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), dan Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional. Wakil Koordinator Kontras Bidang Mobilisasi dan
Jaringan Krisbianto mengatakan, mulai terlihat gejala pemerintahan Jokowi tidak
serius menangani pelanggaran HAM. Sejak awal tidak ada agenda khusus
pembahasan HAM di Rumah Transisi, padahal berkas-berkas kasus Munir sudah
diserahkan ke Joko widodo, juga kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Direktur Imparsial Al Araf menambahkan, pembebasan bersyarat ini kuat
diindikasikan sebagai skandal politik, juga skandal ekonomi. Ada tangan-tangan
politik yang bermain sejak lama untuk mempercepat pembebasan bersyarat
Pollycarpus. Dalam pernyataan sikapnya, Kasum juga mendesak Presiden untuk
segera memerintahkan pembatalan keputusan pembebasan bersyarat Pollycarpus
dan memerintahkan Kepala polri untuk menghidupkan kembali Tim Munir untuk
melakukan penyidikan terhadap kasus Munir.
20