115.3± 310.1± Andrografolid paling banyak terdapat di daun dan dapat dengan mudah

Tabel 4 Hasil evaluasi histopatologi limpa ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H 5 N 1 Ngk2003 dosis 10 6 EID 50 0.1 ml per ekor Kelompok Luas Pulpa Putih µm 2 Jumlah Sel Kepadatan Sel sel 10 4 µm 2 Lesio Kontrol 15401.64± 782.68 174.80±

40.34 115.3±

0.98 d Nekrosa folikel limfoid, splenitis, dan kongesti. Formula 5 12166.72± 5218.64 313.80± 133.18 259.2± 0.93 b Edema subcapsular, kongesti ringan, dan hipertrofi arteriol sentral. Formula 7.5 8983.58± 3135.06 279.00±

98.44 310.1±

0.78 a Pendarahan subcapsular, edema subcapsular, kongesti, folikel limfoid sekunder banyak, dan splenitis. Formula 10 10289.27± 3753.59 192.80± 41.10 194.7± 2.83 c Kongesti parah, edema subcapsular, deplesi, hipertrofi arteriol sentral, folikel limfoid sekunder sedikit, dan splenitis. Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata P0.05 Hasil pengamatan pulpa putih limpa memperlihatkan bahwa semua kelompok perlakukan memiliki kepadatan sel pada pulpa putih yang berbeda nyata p0.05. Kepadatan sel pulpa putih pada semua kelompok perlakukan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol Gambar 8. Nilai tertinggi terdapat pada kelompok formula 7.5, diikuti oleh kelompok formula ekstrak 5, kelompok formula ekstrak 10, dan paling rendah pada kontrol. Tingginya kepadatan sel pada pulpa putih formula 7.5 menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada pulpa putih limpa kelompok tersebut. Proliferasi pulpa putih merupakan salah satu tanda aktifnya limpa dalam pendewasaan sel-sel limfosit. Sel-sel limfosit memiliki peran dalam imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral maupun seluler mempunyai peranan yang sangat penting dalam menahan infeksi virus influenza. Antibodi dapat mengurangi jumlah virus yang menginfeksi sel dan menahan terjadinya infeksi ulang. Sel T sitotoksik berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan menekan jumlah sitokin Hilleman 2002. Infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya deplesi folikel limfoid dan nekrosa pada limpa Swayne Jackwood 2008. Tingginya kepadatan sel limfoid pulpa putih limpa pada kelompok formula 5, formula 7.5, dan formula 10 dibandingkan dengan kelompok kontrol menandakan bahwa pemberian formulasi tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat 5, 7.5, dan 10 berperan dalam menghambat deplesi dan nekrosa pada limpa ayam perlakuan. Hambatan deplesi dan nekrosa pada limpa diduga akibat aktivitas bahan aktif sambiloto, bahan aktif adas anetol, dan bahan aktif sirih merah piperin dalam formula. Piperin memiliki aktivitas sitoprotektif sel-sel limpa Pathah Khandelwal 2007, anetol memiliki kemampuan antiviral Astani et al. 2011, sedangkan bahan aktif yang terdapat pada ekstrak sambiloto memiliki peranan dalam menghambat perlekatan virus AI pada sel Taha 2009. Pengamatan pada pulpa putih limpa memperlihatkan bahwa formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5 memperlihatkan aktivitas yang baik dalam mencegah terjadinya nekrosa dan deplesi pada limpa dibandingkan dengan konsentrasi 5 dan 10. Pengamatan mikroskopik pada limpa formula 5 memperlihatkan lesio yang lebih ringan dibandingkan dengan kelompok lainnya. Lesio yang diamati pada limpa formula 5 berupa edema subcapsular, kongesti ringan, dan hipertrofi arteriol sentral. Edema adalah penimbunan cairan yang berlebihan di antara sel-sel tubuh atau dalam rongga tubuh. Edema terjadi karena adanya kenaikan tekanan hidrostatik dalam mikrosirkulasi dan kenaikan permeabilitas pembuluh darah. Edema seringkali terjadi bersamaan dengan kongesti. Edema dan kongesti merupakan tanda terjadinya reaksi peradangan akut Price Wilson 2006. Hipertrofi arteriol sentral juga terjadi karena proses peradangan. Menurut Swayne dan Jackwood 2008, infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya peradangan pada limpa. Peradangan disebabkan oleh replikasi virus AI yang terjadi pada sel endotel pembuluh darah. Lesio peradangan yang terjadi pada limpa ayam kelompok formula 5 memperlihatkan tingkat keparahan yang lebih rendah dibandingkan dengan lesio yang terjadi pada kelompok lainnya. Hal ini menandakan aktivitas formulasi tanaman obat dengan konsentrasi 5 lebih baik dalam mengurangi keparahan peradangan pada limpa yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5 dan 10. Gambar 8 Histopatologi limpa broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H 5 N 1 Ngk2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10, 7 hari p.i. 1. Nekrosa folikel limfoid, 2. Kongesti, 3. Deplesi folikel limfoid, 4. Splenitis, pewarnaan HE. Evaluasi histopatologi pada limpa memperlihatkan hasil yang beragam. Kepadatan sel tertinggi pada pulpa putih limpa terdapat pada kelompok formula 7.5. Hal ini menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 7.5 memiliki aktivitas paling baik dalam menghambat nekrosa dan deplesi folikel limfoid serta meningkatkan proliferasi sel limfoid pada pulpa putih dibandingkan dengan formulasi ekstrak 5 dan 10. Tingkatan lesio yang paling ringan terdapat pada kelompok formulasi 5, yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 5 memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada limpa yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5 dan 10. A B C D 1 2 2 3 4 Bursa Fabricius Bursa Fabricius merupakan organ limfoid primer yang bertugas dalam memproduksi sel limfosit B. Sel limfosit B bertugas dalam membentuk antibodi. Bursa Fabricius terdiri atas plika yang berisi folikel limfoid. Folikel limfoid terdiri dari korteks dan medula yang dipisahkan oleh membran basal. Evaluasi histopatologi pada bursa Fabricius dilakukan pada bagian yang berperan dalam menghasilan sel-sel limfoid yaitu folikel limfoid. Folikel limfoid tersebut terdapat di dalam plika. Pengamatan dilakukan pada 2 plika yang dipilih secara acak. Kepadatan folikel limfoid yang tinggi berarti terjadinya proliferasi pada sel-sel limfoid bursa Fabricius yang menandakan aktifnya bursa Fabricius dalam memproduksi sel limfosit B. Pemeriksaan lesio pada bursa Fabricius dilakukan dengan mengamati preparat histopatologi bursa Fabricius secara keseluruhan. Hasil pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil evaluasi histopatologi bursa Fabricius ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H 5 N 1 Ngk2003 dosis 10 6 EID 50 0.1 ml per ekor Kelompok Luas Plica µm 2 Luas Folikel Limfoid µm 2 Persentase Kepadatan Folikel Limfoid Lesio Kontrol 1370225.60± 365812.25 495671.17± 113385.59 36.37±1.44 bc Peradangan parah, nekrosa, dan deplesi folikel limfoid. Formula 5 1716509.80± 540698.51 573248.18± 170019.65 33.50±0.65 c Kongesti, edema ringan, peradangan, dan banyak kista. Formula 7.5 3118693.67± 710503.35 1712650.88± 669123.63 53.87±9.19 a Edema, peradangan, dan tedapat sedikit kista. Formula 10 1675141.57± 244844.10 826434.28± 150576.64 48.93±2.19 ab Kongesti, edema ringan, peradangan ringan, dan deplesi folikel limfoid. Persentase kepadatan folikel limfoid= luas folikel limfoid luas plika x 100 Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata P0.05 Hasil pengamatan pada bursa Fabricius memperlihatkan bahwa persentase kepadatan folikel limfoid berbeda nyata p0.05 antar kelompok perlakuan. Kelompok formula 5 memiliki persentase kepadatan folikel limfoid terkecil, diikuti oleh kelompok kontrol, kelompok formula 10, dan yang paling besar adalah kelompok formula 7.5. Kepadatan folikel limfoid pada kelompok formula 5 memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 dengan kontrol, dan kepadatan folikel limfoid kelompok formula 7.5 memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 dengan kelompok formula 10. Rendahnya kepadatan sel limfoid pada bursa Fabricius kelompok formula 5 menandakan rendahnya proliferasi sel-sel limfoid pada bursa Fabricius. Tingkat proliferasi yang rendah terjadi karena organ limfoid sekunder seperti limpa telah mampu menyediakan sel limfosit B yang dibutuhkan tubuh untuk menghadapi infeksi. Kemampuan limpa yang mencukupi dalam menghasilkan sel-sel limfoid yang dibutuhkan tubuh terlihat pada kepadatan sel yang tinggi pada pulpa putih limpa kelompok formula 5. Rendahnya kepadatan folikel limfoid pada kelompok kontrol disebabkan karena sel-sel limfoid pada bursa Fabricius tidak mampu lagi melakukan proliferasi akibat organ ini terlalu sering memproduksi sel-sel limfoid. Bursa Fabricius yang tidak mampu menghasilkan sel-sel limfoid terlihat dari sedikitnya cadangan sel limfoid pada organ limfoid sekunder seperti limpa. Kepadatan sel pada pulpa putih limpa ayam kontol memperlihatkan hasil yang kecil. Kepadatan folikel limfoid bursa Fabricius yang besar pada kelompok formula 7.5 dan kelompok formula 10 menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada bursa Fabricius. Hal ini merupakan indikasi aktifnya bursa Fabricius untuk memproduksi sel limfosit B. Aktifasi pada organ limfoid primer terjadi karena organ limfoid sekunder kekurangan cadangan sel-sel limfoid. Sel-sel limfoid yang berasal dari organ limfoid primer akan mengisi cadangan sel limfoid pada organ limfoid sekunder. Sel-sel limfoid pada organ limfoid sekunder kemudian akan mengalami pematangan sehingga siap dilepaskan ke sirkulasi Price Wilson 2006. Bursa Fabricius pada ayam yang terinfeksi virus AI akan mengalami hemoragi, nekrosa, dan deplesi Swayne Jackwood 2008. Pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius kontrol memperlihatkan terjadinya peradangan, nekrosa, dan deplesi folikel limfoid, sedangkan lesio yang diamati pada kelompok formula 5, formula 7.5, dan formula 10 memperlihatkan tingkat kerusakan yang lebih ringan dibandingkan dengan kelompok kontrol Gambar 9. Kerusakan yang terjadi pada kelompok formula 5, formula 7.5, dan formula 10 didominasi oleh kongesti, edema, dan peradangan. Tingkat kerusakan bursa Fabricius yang lebih ringan pada kelompok formula 5, formula 7.5, dan formula 10 dibandingkan dengan kelompok kontrol menandakan pemberian tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat 5, 7.5, dan 10 berperan dalam menghambat kerusakan yang terjadi pada bursa Fabricius. Hambatan kerusakan bursa Fabricius oleh formulasi tanaman obat berkemungkinan disebabkan oleh andrografolid dan anetol yang terdapat pada formulasi tanaman obat. Andrografolid berperan dalam menghambat perlekatan virus AI pada sel Taha 2009, dan anetol memiliki kemampuan antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel Astani et al. 2011. Lesio bursa Fabricius paling ringan diamati pada kelompok formula 5. Pengamatan mikroskopik pada bursa Fabricius kelompok formula 5 memperlihatkan adanya lesio berupa edema, kongesti, peradangan, dan kista. Kista yang terdapat pada bursa Fabricius terbentuk karena adanya proses kematian sel-sel limfoid bursa. Ruangan yang tersisa setelah kematian sel kemudian diisi oleh cairan sehingga terbentuklah kista pada bursa Fabricius. Proses pembentukan kista adalah proses normal yang dilalui sel-sel limfoid saat bursa Fabricius mengalami atrofi. Pengamatan mikroskopik pada bursa Fabricius kelompok formula 5 yang memperlihatkan adanya edema dan kongesti menandakan terjadinya peradangan akut pada organ ini. Terjadinya peradangan pada organ ini juga didukung dengan terdapatnya sel-sel radang pada jaringan interstisial, baik jaringan interstisial yang terdapat dibawah epitel bursa Fabricius maupun diantara folikel limfoid. Peradangan disebabkan oleh infeksi virus AI. Virus bereplikasi pada sel endotel pembuluh darah sehingga kerusakan tersebar di berbagai organ Swayne Jackwood 2008. Gambar 9 Histopatologi bursa Fabricius broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1Ngk2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10, 7 hari p.i. 1. Peradangan, 2. Deplesi folikel limfoid, 3. Kista, 4. Edema, pewarnaan HE. Evaluasi histopatologi pada bursa Fabricius memperlihatkan bahwa kepadatan folikel limfoid terendah terdapat pada kelompok formula 5 yang menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 5 memiliki aktifas paling baik dalam menghambat terjadinya aktivasi pada organ limfoid primer yaitu bursa Fabricius. Tingkatan lesio yang paling ringan juga terdapat pada kelompok formula 5, yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 5 memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada bursa Fabricius yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 7.5 dan 10. A B C D 1 2 3 4 2 Timus Timus merupakan organ limfoid primer pada unggas. Timus terdiri dari sejumlah lobus yang terdiri dari korteks dan medula. Korteks terdiri dari sel limfosit timosit yang padat. Timus berfungsi sebagai sumber limfosit asal timus limfosit T Pathak Palan 2005 yang terdiri dari sel T CD8+ sitotoksik, sel T helper CD4+, dan sel T CD8+ supresor Price Wilson 2006. Ketika terjadi infeksi virus AI sel T sitotoksik berperan dalam menghancurkan sel yang terinfeksi virus dan menekan pembentukan sitokin. Respon sel T CD8+ sitotoksik biasanya muncul dalam 3-4 hari sesudah infeksi. Sel T sititoksik CD8+ mendeteksi dan melisis sel yang terifeksi virus dan spesifitasnya ditujukan terhadap antigen inti pada epitop HA, NP, M, dan PB2. Sedangkan sel T helper CD4+ merupakan sinyal yang sangat penting dalam memfasilitasi respon imun seluler maupun humoral. Selain itu, sel T helper CD4+ juga mempunyai efek sitotoksik Hilleman 2002. Evaluasi histopatologi pada timus dilakukan pada korteks, sedangkan pemeriksaan lesio dilakukan pada semua bagian timus. Evaluasi histopatologi timus dilakukan pada korteks karena bagian inilah yang berperan dalam menyediakan sel-sel limfoid. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase luas korteks pada 3 lobus yang dipilih secara acak. Timus yang memiliki korteks yang luas menandakan tingginya tingkat proliferasi sel-sel limfoid pada timus, hal ini berarti timus berada pada keadaan aktif untuk menghasilkan sel-sel limfoid. Hasil pengamatan histopatologi pada timus disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil evaluasi histopatologi timus ayam yang diberi formulasi ekstrak tanaman obat selama 21 hari sebelum uji tantang virus AI, divaksin dan diuji tantang virus AI strain H 5 N 1 Ngk2003 dosis 10 6 EID 50 0.1 ml per ekor Kelompok Luas Lobus µm 2 Luas Korteks µm 2 Persentase Luas Korteks Lesio Kontrol 1160860± 628997.14 371289.2± 248820.35 63.15±12.55 a Kongesti parah. Formula 5 629814.1± 258136.50 175902.4± 101910.03 26.79±4.24 b Kongesti dan korteks menipis. Formula 7.5 1481830± 287013.42 539997.3± 192933.45 35.67±5.97 b Kongesti ringan dan korteks menipis. Formula 10 886052.9± 397508.32 623338.6± 304570.95 69.60±2.52 a Tidak terdapat lesio yang spesifik. Persentase luas korteks = luas korteks luas lobus x 100 Huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata P0.05 Hasil pemeriksaan histopatologi pada timus memperlihatkan bahwa persentase luas korteks paling rendah diamati pada kelompok formula 5, diikuti oleh kelompok formula 7.5, kelompok kontrol, dan nilai tertinggi terdapat pada kelompok formula 10 Gambar 10. Persentase luas korteks kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 dengan kelompok formula 10, demikian juga dengan kelompok formula 5 yang memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 dengan kelompok formula 7.5. Rendahnya persentase luas korteks timus pada kelompok formula 5 dan kelompok formula 7.5 menandakan tingkat proliferasi sel limfoid yang rendah pada timus. Selama organ limfoid sekunder yaitu limpa masih memiliki cadangan sel limfosit T maka timus tidak akan terinduksi untuk berproliferasi. Limpa pada ayam kelompok formula 5 dan kelompok formula 7.5 berada dalam keadaan baik ditandai dengan kepadatan sel yang relatif tinggi. Limpa kelompok formula 5 dan kelompok formula 7.5 mampu menyediakan kebutuhan sel limfosit T yang bertugas dalam melakukan perlawanan terhadap infeksi, sehingga sel limfoid timus tidak perlu melakukan proliferasi. Persentase luas korteks timus pada kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang tinggi. Hal ini menandakan tingginya tingkat proliferasi sel limfoid pada timus untuk menyediakan sel T yang dibutuhkan tubuh. Persentase luas korteks timus pada kelompok kontrol memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata p0.05 dengan kelompok formula 10, hal ini berkemungkinan karena pemberian tanaman obat dengan dosis yang terlalu tingggi 10 berakibat toksik pada ayam. Timus pada hampir semua perlakuan mengalami kongesti kecuali pada kelompok formula 10. Kongesti adalah berlimpahnya darah dalam pembuluh darah di regio tertentu. Kapiler-kapiler yang terdapat pada daerah yang mengalami kongesti terlihat melebar dan penuh berisi darah. Kongesti dapat terjadi karena peningkatan aliran darah lokal sehingga mengakibatkan dilatasi arteriol yang sering ditemukan pada keadaaan peradangan akut Price Wilson 2006. Kongesti yang terjadi pada timus ini disebabkan oleh keberadaan virus pada organ tersebut. Swayne dan Jackwood 2008 mengatakakan bahwa replikasi virus AI terjadi pada sel endotel pembuluh darah. Proses ini akan menginduksi terjadinya peradangan sehingga terjadilah kongesti. Formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 10 memperlihatkan kemampuan paling efektif dalam menghambat terjadinya kongesti pada timus. Hal ini diduga kerena kandungan andrografolid dan anetol dalam formula, andrografolid memiliki kemampuan melawan infeksi virus influenza H 5 N 1 dengan cara menghambat pelekatan haemaglutinin virus dengan reseptor yang ada pada sel Chen et al. 2009, sedangkan anetol memiliki aktivitas sebagai antiviral melalui interaksi dengan partikel virus bebas sebelum perlekatan virus dengan sel Astani et al. 2011. Kandungan bahan-bahan yang terdapat pada formula ekstrak tanaman obat 10 memiliki konsentrasi paling baik dalam menghambat terjadinya peradangan pada organ timus. Menurut Swayne dan Jackwood 2008, infeksi virus AI mengakibatkan terjadinya hemoragi, nekrosa, dan deplesi pada timus. Namun lesio yang diamati pada timus semua kelompok perlakuan memperlihatkan tingkat kerusakan yang lebih ringan. Hal ini menandakan bahwa pemberian formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi bertingkat 5, 7.5, dan 10 yang dikombinasikan dengan pemberian vaksin dan pemberian vaksin secara tunggal memiliki peranan dalam mengurangi tingkat keparahan kerusakan timus akibat infeksi virus AI. Hambatan kerusakan timus pada kelompok perlakuan yang diberikan formulasi tanaman obat berkemungkinan disebabkan karena kandungan andrografolid, piperin, dan anetol dalam formula. Andrografolid memiliki kemampuan melawan infeksi virus influenza H 5 N 1 dengan cara menghambat pelekatan haemaglutinin virus dengan reseptor yang ada pada sel Chen et al. 2009; Taha 2009, piperin memiliki kemampuan menghambat atropi timus dengan pencegahan apoptosis timosit Pathah Khandelwal 2009, sedangkan anetol memiliki aktivitas sebagai antiviral dengan cara berinteraksi dengan partikel virus bebas sebelum virus melakukan perlekatan pada sel Astani et al. 2011. Gambar 10 Histopatologi timus broiler yang divaksin dan diuji tantang virus AI strain H5N1Ngk2003 dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat A. Akuades, B. Formulasi ekstrak tanaman obat 5, C. Formulasi ekstrak tanaman obat 7.5, D. Formulasi ekstrak tanaman obat 10, 7 hari p.i. 1. Kongesti, 2. Korteks menipis, 3. Korteks menebal, pewarnaan HE. Evaluasi histopatologi pada timus memperlihatkan bahwa persentase luas korteks terendah terdapat pada kelompok formula 5 yang menandakan formulasi ekstrak tanaman obat dengan konsentrasi 5 memiliki aktivitas paling baik dalam menghambat terjadinya aktivasi pada organ limfoid primer yaitu A B C D 1 2 3 2 timus. Tingkatan lesio yang paling ringan terdapat pada kelompok formula 10 yang berarti formulasi ektrak tanaman obat konsentrasi 10 memiliki aktivitas paling baik dalam mengurangi kerusakan pada timus yang disebabkan oleh infeksi virus AI dibandingkan dengan formulasi tanaman obat konsentrasi 5 dan 7.5. Pengamatan histopatologi organ limforetikular pada ayam perlakuan memperlihatkan hasil yang beragam. Hasil yang paling baik terlihat pada kelompok formula 5. Limpa pada kelompok formula 5 mampu menyediakan sel-sel limfoid yang dibutuhkan dalam pertahanan melawan infeksi virus AI sehingga tidak diperlukan aktivasi pada sel-sel limfoid yang terdapat pada bursa Fabricius dan timus. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Broiler yang divaksin dan diberian formula ekstrak etanol sambiloto, sirih merah, dan adas konsentrasi 5 serta ditantang virus AI H 5 N 1 memiliki kemampuan yang paling baik dalam menghambat infeksi virus AI H 5 N 1 dibandingkan dengan dengan pemberian formulasi ekstrak tanaman obat konsentrasi 7.5 dan 10. Saran Perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui metode pemberian formulasi ekstrak tanaman obat yang tepat pada peternakan unggas. DAFTAR PUSTAKA Anthony EF, Carolyn BB, Nancy JC. 2009. Seasonal Influenza Vaccines. Di dalam: Compans RW, Orenstein WA, editor. Vaccines for Pandemic Influenza. New York: Springer. Astani A, Reichling J, Schnitzler P. 2011. Screening for antiviral activities of isolated compounds from essential oils. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine 2011. [Balitro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2008. Budidaya tanaman sambiloto. [terhubung berkala] http:balittro.litbang.deptan.go.idindindex.php?option=com_contentvie w=articleid=25:budidaya-tanaman- sambilotocatid=15:bookletItemid=28 [28 Nopember 2011]. Brown IH. 2008. The role of pig in interspecies transmission. Di dalam: Klenk HD, Matrosovich MN, Stech J, editor. Avian Influenza. Marburg: Karger. Burgos RA et al. 2005. Andrographolide inhibits IFN-gamma and IL-2 cytokine production and protects against cell apoptosis. Planta Med 715:429 –434. Burgos RA et al. 2009. Efficacy of an Andrographis paniculata composition for the relief of rheumatoid arthritis symptoms: a prospective randomized placebo controlled trial. Clin Rheumatol 28:931 –946. Carretta MD et al. 2009. Andrographolide reduces IL-2 production in T-cells by interfering with NFAT and MAPK activation. Eur J Pharmacol 602:413 – 421. [CDC] Centre for Disease Control and Prevention. 2004. Outbreaks of avian influenza A H 5 N 1 in Asia and Interim recommendations for evaluation and reporting of suspected cases, United States, 2004. MMWR Weekly 5305:97-100. Chao WW, Lin BF. 2010. Isolation and identification of bioactive compounds in Andrographis paniculata Chuanxinlian. Chin Med 5:17. Chen JX et al. 2009. Activity of andrographolide and its detivates againts influenza virus in vivo and in vitro. Biol Pharm Bull 328:1385-1391. Cheung HY, Cheung CS, Kong CK. 2001. Determination of bioactive diterpenoids from Andrographis paniculata by micellar electrokinetic chromatography. J Chromatogr A 9301-2:171-176. Davidson F. 2008. The importance of the avian immune system and its unique features. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Davidson F, Magor KE, Kaspers B. 2008. Structure and evolution of avian immunoglobulins. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Elseria RN et al., penerjemah; Mahode AA et al., editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. [FAO] Food And Agriculture Organization, [OIE] Office International des Epizooties, dan [WHO] World Health Organization. 2011. FAO-OIE-WHO Technical update: Current evolution of avian influenza H 5 N 1 viruses, 7 September 2011. [terhubung berkala] http:www.who.intinfluenzahuman_animal_interfacetripartite_notes_H 5 N 1 .pdf [14 Nopember 2011]. Frank SA. 2002. Immunology and Evolution of Infectious Disease. New Jersey: Priceton University Press. Gerhard W. 2001. The role of the antibody response in influenza virus infection. Curr Top Microbiol Immunol 260:171 –190. Haaheim LR. 2010. Basic influenza virology and immunology. Di dalam: Van- Tam J, Shellwood C, editor. Introduction to Pandemic Influenza. Cambridge: CAB International. Hilleman MR. 2002. Realities and enigmas of human viral influenza: pathogenesis, epidemiology and control. Vaccine 2025-26:3068-3087. Kalthoff D, Globig A, Beer M. 2010. Highly pathogenic avian influenza as a zoonotic agent. Veterinary Microbiol 140:237-245. Koteswara RY. 2004. Flavanoids and andrographolide from Andrographis paniculata. Phytochem 6516:2317-2321. Kumar RA, Sridevi K, Kumar NV, Nanduri S, Rajagopal S. 2004. Anticancer and immunostimulatory compounds from Andrographis paniculata. J Ethnopharmacol 922-3:291-295. Kumar S et al. 2007. Piperine inhibits TNF-alpha induced adhesion of neutrophils to endothelial monolayer through suppression of NF-kappaB and IkappaB kinase activation. Eur J Pharmacol 5751-3:177-186. Leonard D. 2005. Foeniculum vulgare; Fennel. [terhubung berkala] http:calphotos.berkeley.educgiimg_query?enlarge=0000+0000+0605+15 73 [28 Nopember 2011]. Manoi F. 2007. Sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi. Warta Puslitbangkun 132. McKimm-Breschkin JL, Selleck PW, Usman TB, Johnson MA. 2007. Reduced sensitivity of influenza A H 5 N 1 to oseltamivir. EID Journal 139:1354- 1357. Miguel MG et al. 2010. Foeniculum vulgare essential oils: chemical composition, antioxidant and antimicrobial activities. Nat Prod Commun 52:319-28. Mimica DN, Kujundzić S, Soković M, Couladis M. 2003. Essential oil composition and antifungal activity of Foeniculum vulgare Mill obtained by different distillation conditions. Phytother Res 174:368-71. Monto AS et al. 2006. Detection of influenza viruses resistant to neuraminidase inhibitors in global surveillance during the first 3 years of their use. Antimicrob Agents Chemother 50: 2395 –2402. Morad AF. 2011. Andrographis paniculata Burm. f. Wall. ex Nees. [terhubung berkala] http:eol.orgdata_objects13556962 [28 Nopember 2011]. Mubareka S, Palese P. 2011. Influenza virus: the biology of a changing virus. Di dalam: Rappuoli R dan Giudice GD, editor. Influenza Vaccines for the Future. Ed ke-2. Itali: Springer. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2004. Piperine - Compound Summary.[terhubung berkala] http:pubchem.ncbi.nlm.nih.govsummarysummary.cgi?cid=638024loc= ec_rcs [10 Pebruari 2012]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2005. Anethole - Compound Summary.[terhubung berkala] http:pubchem.ncbi.nlm.nih.govsummarysummary.cgi?cid=637563loc= ec_rcs [10 Pebruari 2012]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2006. Andrographolide - Compound Summary.[terhubung berkala] http:pubchem.ncbi.nlm.nih.govsummarysummary.cgi?cid=5318517loc =ec_rcs [10 Pebruari 2012]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011a. Andrographis paniculata.[terhubung berkala] http:www.ncbi.nlm.nih.govtaxonomy?term=Andrographis20paniculata [28 Nopember 2011]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011b. Piper crocatum. [terhubung berkala] http:www.ncbi.nlm.nih.govTaxonomyBrowserwwwtax.cgi?id=216080 [28 Nopember 2011]. [NCBI] National Center for Biotechnology Information. 2011c. Foeniculum vulgare. [terhubung berkala] http:www.ncbi.nlm.nih.govTaxonomyBrowserwwwtax.cgi?id=48038 [28 Nopember 2011]. [OIE] Office International des Epizooties. 2006. Susceptibility of animal species to the h5n1 asian strain. [terhubung berkala] http:www.oie.intenfor-the- mediapress-leasesdetailarticlesusceptibility-of-animal-species-to-the- h5n1-asian-strain-1 [17 Nopember 2011]. [OIE] Office International des Epizooties. 2009. Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animal 2009. Paris: Office International des Epizooties. Oláh I, Vervelde L. 2008. The structure of the avian lymphoid system. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Osterhaus ADME, Munster VJ, Fouchier RAM. 2008. Epidemiology of avian influenza. Di dalam: Klenk HD, Matrosovich MN, Stech J, editor. Avian Influenza. Marburg: Karger. Pappaioanou M. 2009. Highly pathogenic H5N1 avian influenza virus: Cause of the next pandemic? Comp Immun Microbiol Infect Dis 32:287 –300. Pathah N, Khandelwal S. 2007. Cytoprotective and immunomodulating properties of piperine on murine splenocytes: an in vitro study. Eur J Pharmacol 5761-3:160-170. Pathah N, Khandelwal S. 2009. Immunomodulatory role of piperine in cadmium induced thymic atrophy and splenomegaly in mice. Environ Toxicol Pharmacol 281:52-60. Pathak S, Palan U. 2005. Immunology: Essential and Fundamental. Ed ke-2. USA: Science Publisher Inc. Pholphana N et al. 2004. Determination and variation of three active diterpenoids in Andrographis paniculata Burm.f. Nees. Phytochem Anal 156:365- 371. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed ke-6. Pendit BU et al., penerjemah; Harwanto et al., editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Pathophysiology: Clinical Consepts fo Disease Processes. Raal A, Orav A, Arak E. 2011. Essential oil composition of Foeniculum vulgare Mill. fruits from pharmacies in different countries. Nat Prod Res [ahead of print]. Ratcliffe MJH. 2008. B cells, the bursa of fabricius and the generation of antibody repertoires. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Rusmin D, Melati. 2007. Adas tanaman yang berpotensi dikembangkan sebagai bahan obat alami. Warta Puslitbangbun 132. Schijns VEJC, Sharma J, Tarpey I. 2008. Practical aspects of poultry vaccination. Di dalam: Davidson F, Kaspers B, Schat KA, editor. Avian Immunology. San Diego: Elsevier. Sellwood C. 2010. Avian and animal influenza: manifestation in man. Di dalam: Van-Tam J dan Sellwood C, editor. Introduction to pandemic influenza. London: CAB International. Setiyono A, Bermawie. 2010. Peningkatan Efektivitas Ekstrak Tanaman Obat 50 Setara Senyawa Aktif Andrografolid, Piperin, dan Enetol dengan 5- 10 untuk Penganggulangan Flu Burung. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Institit Pertanian Bogor dan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Jakarta. Shahat AA et al. 2011. Chemical composition, antimicrobial and antioxidant activities of essential oils from organically cultivated fennel cultivars. Molecules 162:1366-1377. Sheeja K, Kuttan G. 2007a. Modulation of natural killer cell activity, antibody- dependent cellular cytotoxicity, and antibody-dependent complement- mediated cytotoxicity by andrographolide in normal and Ehrlich ascites carcinoma-bearing mice. Integr Cancer Ther 61:66 –73. Sheeja K, Kuttan G. 2007b. Activation of cytotoxic T lymphocyte responses and attenuation of tumor growth in vivo by Andrographis paniculata extract and andrographolide. Immunopharmacol Immunotoxicol 29:81 –93. Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Pendit BU, penerjemah; Santoso BI, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Human Phisiology: From Cells to System. Suhirman S, Winarti C. 2007. Prospek dan fungsi tanaman obat sebagai imunomodulator. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat 192:122-133. Sunila ES, Kuttan G. 2004. Immunomodulatory and antitumor activity of Piperin longum Linn and piperine. J of Ethopharm 90:339-346. Susetyo E, Wibowo MH. 2008. Perbandingan titer antibodi ayam broiler yang divaksin pada umur 7 dan 14 hari menggunakan vaksin avian influenza heterolog subtipe H 5 N 2 . J Sain Vet 262:78-87. Swayne DE, Halvorson DA. 2003. Influenza. Di dalam: Saif YM, Barnes HJ, Glisson JR, editor. Diseases of Poultry. Ed ke-11. Iowa: Iowa State University Press. Swayne DE, Jackwood MP. 2008. Pathobiology of avian influenza virus infections in bird and mammals. Di dalam: Swayne DE, editor. Avian Influenza. Iowa: Blackwell Publishing. Taha SR. 2009. Kajian potensi ekstrak sambiloto Andrographis paniculata Ness. dan beluntas Pluches indica Less. sebagai alternatif bahan obat flu burung [tesis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tognolini M et al. 2007. Protective effect of Foeniculum vulgare essential oil and anethole in an experimental model of thrombosis. Pharmacol Res 563:254-60. Wang T, Liu B, Zhang W, Wilson B, Hong JS. 2004. Andrographolide reduces inflammation-mediated dopaminergic neurodegeneration in mesencephalic neuron-glia cultures by inhibiting microglial activation. J Pharmacol Exp Ther 308:975 –983. [WHO] World Health Organization. 2011a. H 5 N 1 avian influenza: Timeline of major events 12 September 2011. [terhubung berkala] http:www.who.intinfluenzahuman_animal_interfaceavian_influenza H 5 N 1 _avian_influenza_update.pdf [14 Nopember 2011]. [WHO] World Health Organization. 2011b. avian influenza, fact sheet update april 2011. [terhubung berkala] http:www.who.intmediacentrefactsheetsavian_influenzaenindex.html [14 nopember 2011]. [WHO] World Health Organization. 2011c. Cumulative number of confirmed human cases for avian influenza AH 5 N 1 reported to WHO, 2003-2011. [terhubung berkala] http:www.who.intinfluenzahuman_animal_interfaceEN_GIP_20111102 CumulativeNumber H 5 N 1 casesN.pdf [14 Nopember 2011]. Xu C, Chou GX, Wang ZT. 2010. A new diterpene from the leaves of Andrographis paniculata Nees. Fitoterapia 816:610-613. Yea SS et al. 2006. Inhibitory effect of anethole on T-lymphocyte proliferation and interleukin-2 production through down-regulation of the NF-AT and AP-1. Toxicology in Vitro 20:1098-1105. Yen HL, Guan Y, Peiris M, Webster RG. 2008. H 5 N 1 in Asia. Di dalam: Klenk HD, Matrosovich MN, Stech J, editor. Avian Influenza. Marburg: Karger. Yen HL, Webster RG. 2009. Pandemic influenza as a cutrrent threat. Di dalam: Richard WC dan Walter AO, editor. Vaccines for Pendemic Influenza. New York: Springer. LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Sediaan Histopatologi Sampel organ yang telah difiksasi menggunakan NBF 10 dipotong dengan ketebalan lebih kurang 3 mm dan dimasukkan ke dalam keranjang jaringan. Organ kemudian didehidrasi menggunakan etanol bertingkat 70, 80, 90, dan tiga kali dalam etanol absolut. Dehidrasi bertujuan untuk mengeluarkan air dari jaringan agar jaringan bisa diisi oleh parafin. Pengisian parafin ke jaringan bertujuan agar jaringan dapat diiris tipis. Penjernihan merupakan tahapan setelah dehidrasi. Proses ini bertujuan untuk mengeluarkan dehidranzat penarik air dari jaringan dan menggantikannya dengan zat kimia yang dapat bercampur dengan dehidran maupun parafin. Xylol merupakan larutan yang dipakai pada proses penjernihan. Selanjutnya dilakukan pembenaman. Pembenaman bertujuan untuk pengeluaran cairan pembening clearing agent dari jaringan dan menggantikannya dengan parafin. Pembenaman dilakukan menggunakan parafin cair panas suhu 56°C-59°C. Proses pembenaman diiringi dengan pembuatan blok. Pembuatan blok dilakukan menggunakan kotak besi yang diisi jaringan dan parafin panas sampai menutupi permukaan atas jaringan. Blok diberi label pada bagian atas jaringan. Blok jaringan yang telah mengeras diiris. Pengirisan dilakukan menggunakan mikrotom. Mikrotom yang digunakan adalah mikrotom putar. Pisau diletakkan pada mikrotom dengan sudut yang disesuaikan. Ketebalan potongan mikrotom diatur sebesar sekitar 3-5 µm. Blok parafin yang akan dipotong direkatkan pada tempat blok pada mikrotom. Jarak preparat ke arah pisau diatur sedekat mungkin. Mikrotom diputar secara ritmis sehingga blok preparat menyentuh pisau dan mengiris blok parafin dengan sempurna. Pita-pita parafin awal yang tidak berisi jaringan dibuang. Jika pada parafin telah terdapat organ maka pemotongan dilakukan dengan hati-hati. Pita parafin yang mengandung jaringan diambil dengan hati-hati menggunankan pinset. Pita tersebut letakkan pada penangas air yang berisi air dengan suhu 55°C. Pita parafin dibiarkan sampai terkembang sempuna. Pita parafin kemudian diletakkan pada kaca objek secara hati-hati. Kaca objek diberi label dan letakkan di dalam inkubator bersuhu 57.1°C dan biarkan sampai dua jam. Kaca objek yang telah ditempeli jaringan kemudian diwarnai. Pewarnaan preparat diawali dengan deparafinisasi mengunakan 3 larutan xylol masing- masing 1 menit. Kemudian dilanjutkan dengan hidrasi menggunakan etanol 100 selama 1 menit, 96 2 menit, 70 2 menit. Pewarnaan dilanjutkan dengan melewatkan preparat pada air kran selama 30 detik. Preparat dimasukkan ke dalam larutan haematoxylin Mayer selama 1 menit dan dicuci dengan air kran mengalir selama 30 detik. Preparat dicelupkan ke dalam larutan lithium carbonate sebanyak tiga celupan dan dicuci dengan air kran selama 30 detik. Kemudian dimasukkan ke dalam larutan eosin 30 detik, didehidrasi dalam etanol bertingkat mulai 70, 80, dan 96 masing-masing 10 celupan serta etanol absolut 15 celupan. Terakhir, preparat dimasukkan dalam empat larutan xylol masing-masing 1 menit. Dibiarkan mengering, dioleskan balsem kanada pada permukaan jaringan dan ditutup dengan gelas penutup. Lampiran 2 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Limpa The ANOVA Procedure Dependent Variable: Kepadatan Sel Limfoid Pulpa Putih Limpa Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr F Model 3 1062.957840 354.319280 135.75 .0001 Error 16 41.761680 2.610105 Corrected Total 19 1104.719520 Duncans Multiple Range Test for Kepadatan Sel Limfoid Pulpa Putih Limpa Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 310.12 5 Kelompok II B 259.20 5 Kelompok I C 194.64 5 Kelompok III D 115.32 5 Kontrol Lampiran 3 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Bursa Fabricius The ANOVA Procedure Dependent Variable: Persentase Kepadatan Folikel Limfoid Bursa Fabricius Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr F Model 3 574.6396375 191.5465458 8.36 0.0338 Error 4 91.6277500 22.9069375 Corrected Total 7 666.2673875 Duncans Multiple Range Test for Persentase Kepadatan Folikel Limfoid Bursa Fabricius Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 53.865 2 Kelompok II A B A 48.925 2 Kelompok III B B C 36.365 2 Kontrol C C 33.500 2 Kelompok I Lampiran 4 Hasil Uji Anova dan Uji Duncan pada Timus The ANOVA Procedure Dependent Variable: Persentase Luas Korteks Timus Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr F Model 3 3886.816433 1295.605478 23.82 0.0002 Error 8 435.074333 54.384292 Corrected Total 11 4321.890767 Duncans Multiple Range Test for Persentase Luas Korteks Timus Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan A 69.600 3 Kelompok III A A 63.150 3 Kontrol B 35.673 3 Kelompok II B B 26.783 3 Kelompok I PENDAHULUAN Latar Belakang Virus flu burung subtipe H 5 N 1 tergolong dalam Highly Pathogenic Avian Influenza HPAI. Virus ini pertama kali mengakibatkan wabah pada unggas di tahun 1996 di propinsi Guangdong, Cina. Virus ini kemudian diidentifikasi memiliki sifat zoonotik karena mengakibatkan wabah pada manusia tahun 1997 di Hongkong dengan 18 kasus, 6 diantaranya mengakibatkan kematian. Pada tahun 2003 virus ini kembali muncul. Hingga saat ini keberadaan virus Avian Influenza AI subtipe H 5 N 1 masih sangat meresahkan WHO 2011a. Laporan World Health Organization WHO hingga 2 november 2011 menunjukkan bahwa kasus AI subtipe H 5 N 1 yang terjadi pada manusia mencapai 569 kasus dengan 334 kasus diantaranya mengakibatkan kematian. Indonesia merupakan negara yang menempati urutan teratas di dunia dengan jumlah kasus tertinggi WHO 2011c. Analisis epidemiologi yang dilakukan oleh Food And Agriculture Organization FAO, Office International des Epizooties OIE, dan WHO memperlihatkan virus ini telah menjadi endemik di wilayah Indonesia FAO, OIE, WHO 2011 dan memiliki potensi menjadi pandemik Pappaioanou 2009. Wabah AI juga mengakibatkan kerugian yang besar di bidang ekonomi. Fenomena ini menuntut diupayakannya usaha-usaha dalam pencegahan dan pengendalian terjadinya wabah yang berkelanjutan. OIE dan FAO menyatakan bahwa hewan yang berperan penting dalam trasmisi dan penyebaran HPAI H 5 N 1 adalah unggas domestik dan unggas liar OIE 2006. Hingga saat ini HPAI H 5 N 1 masih bersirkulasi pada peternakan unggas sehingga mengakibatkan ancaman penyakit pada manusia dan hewan FAO, OIE, WHO 2011. Faktor risiko utama penyebaran AI ke manusia adalah melalui interaksi langsung maupun tidak langsung dengan unggas yang terinfeksi baik hidup maupun mati ataupun melalui lingkungan yang terkontaminasi. Pengontrolan sirkulasi virus AI pada peternakan merupakan upaya penting dalam pencegahan peyebarannya pada manusia WHO 2011b. Upaya yang telah dilakukan dalam pengendalian dan pencegahan kasus flu burung adalah melalui pengobatan antiviral dan vaksinasi. Obat-obat antiviral yang digunakan antara lain amantadin, rimantadin, zanamifir, dan oseltamivir tamiflu. Penggunaan obat-obatan ini dilaporkan telah menimbulkan efek samping dan melahirkan strain virus yang resisten terhadap obat-obatan antiviral. Sekuensing genetik yang dilakukan pada H 5 N 1 yang diisolasi dari Thailand dan Vietnam memperlihatkan karakteristik genetik yang resisten terhadap amantadin dan rimantadin CDC 2004. Studi pada virus AI H 5 N 1 yang diisolasi di Indonesia tahun 2005 menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap oseltamivir McKimm- Breschkin JL et al. 2007. Isolat virus AI H 5 N 1 yang berasal dari manusia juga menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap zanamivir Monto et al. 2006. Indonesia sebagai negara tropis menyimpan banyak kekayaan hayati yang belum dimanfaatkan sepenuhnya, termasuk tanam-tanaman yang berpotensi sebagai obat-obatan. Sambiloto Andrographis paniculata Nees, sirih merah Piper crocatum, dan adas Foeniculum vulgare merupakan contoh tanaman obat yang tumbuh subur di Indonesia. Tanaman-tanaman tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat beberapa macam penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketiga tanaman obat tersebut mengandung zat yang mampu berperan sebagai antivirus dan imunomodulator. Berdasarkan fakta tersebut, tanaman obat ini memiliki potensi untuk dikembangkan dalam penanggulangan flu burung. Tujuan Mengetahui tingkat mortalitas, serologis, dan gambaran histopatologi organ limfoid limpa, bursa Fabricius, dan timus broiler yang divaksin dan ditantang virus AI H 5 N 1 serta diberi formula ekstrak sambiloto, sirih merah, dan adas konsentrasi bertingkat 5, 7.5, 10. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai pertimbangan konsentrasi formulasi tanaman obat yang efektiuf dalam menghambat infeksi virus flu burung pada unggas dan mampu meningkatkan daya tahan unggas terhadap infeksi virus AI H 5 N 1 . TINJAUAN PUSTAKA Flu Burung Avian Influenza Flu burung atau avian influenza merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Avian Influenza AI tipe A yang digolongkan dalam famili Orthomyxoviridae. Partikel virus berbentuk pleomorfik dengan ukuran 100 nm hingga 300 nm. Virus ini memiliki amplop yang merupakan derivat dari lipid bilayer yang berasal dari membran sel inang selama proses budding Mubareka Palese 2011. Virus influenza memiliki genom untai tunggal RNA berpolaritas negatif yang dibagi menjadi delapan segmen Osterhaus et al. 2008. Gambar 1 Struktur virus influenza Haaheim 2010. Virus AI diklasifikasikan berdasarkan antigen permukaannya yaitu Haemagglutinin HA dan Neuraminidase NA. Hingga saat ini, telah teridentifikasi 16 jenis HA H 1 -H 16 dan 9 jenis NA N 1 -N 9 yang dapat saling berkombinasi seperti H 1 N 1 dan H 5 N 1 Osterhaus et al. 2008. Virus AI memiliki kemampuan tinggi dalam bermutasi. Proses mutasi terjadi melalui mekanisme antigenic drift dan antigenic shift. Antigenic drift merupakan perubahan yang terjadi secara minor dan perlahan melalui proses mutasi titik. Antigenic shift atau disebut juga genetic reassortment terjadi melalui proses tukar menukar materi genetik antara dua atau lebih virus influenza. Proses ini terjadi jika dua atau lebih virus influenza menginfeksi sel yang sama. Proses tukar-menukar materi genetik terjadi karena virus AI memiliki genom yang segmental. Proses mutasi yang terjadi pada virus AI menyebabkan virus ini memiliki potensi besar dalam menimbulkan pandemi Pappaioanou 2009. AI dibagi menjadi dua kelompok yaitu Low Pathogenic Avian Influenza LPAI dan Highly Pathogenic Avian Influenza HPAI. LPAI menginfeksi unggas domestik namun tidak mengakibatkan gejala klinis yang parah, sedangkan HPAI mengakibatkan penyakit yang parah secara tiba-tiba, penyebaran yang cepat, dan angka kematian yang tinggi mencapai 100 dalam 48 jam Sellwood 2010. Semua subtipe virus AI awalnya bersifat Low Pathogenic, namun kemampuan mutasi menyebabkan virus ini menjadi Highly Pathogenic. Virus AI subtipe H 5 dan H 7 memiliki kecendrungan besar mangalami mutasi menjadi HPAI Osterhaus et al. 2008. Virus AI yang endemik di Indonesia adalah HPAI H 5 N 1 FAO, OIE, WHO 2011. Virus ini memiliki kemampuan menginfeksi mamalia lain seperti babi, kuda, kucing bahkan manusia Osterhaus et al. 2008. Virus AI subtipe H 5 N 1 pertama kali menginfeksi manusia pada tahun 1997 di Hong Kong, Cina. Virus ini muncul kembali pada tahun 2003 dan 2004 WHO 2011b. Inang alami virus H 5 N 1 adalah unggas liar yang hidup di air Yen et al. 2008.Virus ini hidup pada saluran pernafasan dan usus serta tidak mengakibatkan penyakit pada inang alaminya Yen Webster 2009. Babi diyakini berperan pada transmisi antar spesies virus H 5 N 1 . Virus influenza unggas dan manusia memiliki kemampuan menginfeksi babi. Virus ini mengalami genetic reassorment di dalam tubuh babi sehingga menghasilkan strain baru yang sangat patogen bagi manusia dan unggas. Virus yang terbentuk memiliki gen campuran dari virus yang menginfeksi babi, unggas, dan manusia sehingga memungkinkan terjadinya transmisi antar spesies Brown 2008. Namun, hingga saat ini transmisi virus dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan FAO, OIE, WHO 2011. Unggas yang terinfeksi mengeluarkan virus melalui saluran respirasi, konjungtiva dan feses. Transmisi terjadi melalui interaksi langsung antara hewan yang terinfeksi dengan hewan yang rentan. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak tidak langsung melalui droplet atau kontaminasi pada peralatan. Gejala klinis infeksi virus H 5 N 1 pada unggas antara lain lesu, edema dan sianosis pada pial dan kaki, serta diare. Gejala syaraf juga terlihat pada uggas yang terinfeksi seperti gejala ataksia, tortikolis, dan kejang. Kematian mendadak tanpa gejala juga dapat terjadi Kalthoff et al. 2010. Kelainan patologis yang disebabkan oleh virus ini antara lain edema, hiperemi, dan hemoragi yang terjadi pada limpa, miokardium, paru-paru, hati, ginjal, dan otak. Degenerasi parenkim dan nekrosa terjadi pada limpa, ginjal, dan hati. Infeksi virus ini juga mengakibatkan terjadinya multi fokal lomfoid nekrosis pada limpa, timus, dan bursa Fabricius. Vaksin Vaksin adalah suspensi mikroorganisme yang dilemahkan atau dimatikan, atau protein antigenik dari mikroorganisme yang diberikan untuk mencegah meringankan atau mengobati penyakit Dorland 2010. Vaksin memiliki kemampuan menggertak pembentukan antibodi. Antibodi merupakan protein globular yang melawan infeksi dengan cara berikatan dengan epitop yang terdapat di permukaan agen penginfeksi Frank 2002. Antibodi berperan dalam menetralisasi mikroorganisme dengan mengaktifasi sistem komplement dan atau merangsang opsonisasi oleh Natural Killer NK sel, makrofag, dan monosit Schijns et al. 2008. Vaksin dibedakan menjadi vaksin mati inactivated dan vaksin hidup live attenuated. Vaksin hidup merupakan vaksin yang berisi organisme hidup yang telah dilemahkan sehingga memiliki kemampuan replikasi yang terbatas. Vaksin hidup mampu merangsang imunitas yang kuat dan bertahan dalam waktu yang lama, namun vaksin ini sangat rentan terhadap kontaminasi organisme lain seperti mikoplasma. Selain itu vaksin hidup memiliki kemungkinan tinggi untuk kembali memiliki virulensi seperti sebelumnya. Vaksin mati berisi organisme yang telah diinaktivasi dengan bahan-bahan kimia atau pemanasan. Vaksin mati memiliki keuntungan karena tidak mungkin kembali memiliki sifat virulensi namun mampu menggertak pembentukan antibodi. Vaksin ini relatif mudah dalam penyimpanan karena kemungkinan kontaminasi yang minimal. Namun kekebalan yang terbentuk oleh vaksin inaktif relatif rendah sehingga pemberian vaksin mati perlu dikombinasikan dengan pemberian adjuvan. Antigen permukaan merupakan bagian yang berperan dalam merangsang pembentukan antibodi. Vaksin influenza menginduksi antibodi primer yang melawan glikoprotein permukaan virus yaitu HA dan NA. Antibodi yang menetralisasi HA memiliki peranan yang lebih penting dalam pencegahan penyakit, sedangkan antibodi yang melawan NA mampu mengurangi keparahan penyakit Gerhard 2001; Anthony et al. 2009. Limpa Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam menyaring dan membuang partikel antigen. Pada mamalia limpa juga berperan dalam menyimpan eritrosit dan menghancurkan eritrosit yang sudah tua, namun limpa pada unggas tidak memiliki peran yang berarti sebagai tempat penyimpanan eritrosit. Limpa pada unggas memiliki peran yang lebih penting pada sistem pertahanan dibanding limpa pada mamalia karena lifonodus dan pembuluh limfe unggas kurang berkembang Oláh Vervelde 2008. Limpa secara histologis tersusun dari beberapa bagian yaitu stroma terdiri dari kapsula dan trabekula, parenkim terdiri dari pulpa merah dan pulpa putih, dan daerah marginal. Kapsula merupakan pelindung limpa yang terbentuk dari kolagen dan serabut retikuler. Trabekula merupakan struktur kapsula yang menjulur hingga ke bagian dalam limpa. Trabekula pada limpa unggas sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali Oláh Vervelde 2008. Pulpa merah berfungsi sebagai tempat penyimpanan eritrosit dan tempat penghancuran antigen. Pulpa merah merupakan bagian terbesar limpa, berwarna merah dan mengandung banyak darah yang disimpan dalam jaringan retikuler. Pulpa merah terbentuk dari anastomose sinus venosus yang membentuk bingkai pulpa. Bingkai limpa terletak diantara sinus membentuk jalinan tiga dimensi yang terdiri dari serabut retikuler dengan sebaran sel-sel retikuler, eritrosit, makrofag, limfosit, sel plasma, dan leukosit lainnya. Penjuluran sel-sel retikuler cenderung membentuk seperti lorong yang berfungsi untuk menyalurkan darah celah antar endotel dalam dinding sinus. Pulpa putih berperan dalam proses tanggap kebal. Pulpa putih merupakan jaringan limfoid pekat yang dikelilingi oleh selubung periarterial, berbentuk lingkaran atau lonjong dengan interval tertentu. Buluh darah utama yang menuju limpa adalah Arteria lienalis cranialis dan caudalis dan beberapa cabang kecil dari A. gastrica dan hepatica Oláh Vervelde 2008. Arteri akan bercabang menjadi bagian yang lebih kecil yaitu arteriol. Setiap arteriol dikelilingi oleh selubung jaringan limfoid periarteriolar. Selubung limfoid periarteriolar sebagian besar terdiri dari sel T. Folikel primer melintasi selubung limfoid, folikel ini sebagian besar terdiri dari sel B. Bila terjadi rangsangan antigen, folikel ini membentuk pusat germinal dan demikian menjadi folikel sekunder. Setiap folikel dikelilingi oleh lapisan sel T yang disebut dengan zona mantel. Limfosit pada limpa berasal dari limfosit sirkulasi yang masuk ke limpa melalui sinus venosus dan tinggal di daerah tertentu pada pulpa putih. Daerah marginal merupakan daerah diantara pulpa merah dan pulpa putih. Daerah ini berupa jalinan retikuler, menerima darah yang berasal dari pulpa putih dan beberapa kapiler terminal pulpa merah. Darah mengalir perlahan menuju sinus venosus pulpa merah. Daerah marginal berperan dalam memproses antigen yang masuk ke limpa Oláh Vervelde 2008. Timus Timus merupakan organ limfoid primer pada unggas, yang terletak sejajar dengan saraf vagus dan vena jugularis interna. Pada setiap sisi leher ada 7-8 lobus terpisah dan membentang dari vertebra servikalis ketiga hingga segmen thoracal atas. Besarnya timus relatif bervariasi, ukuran relatif yang paling besar terdapat pada hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada waktu pubertas. Timus bertahan selama kurang lebih 17 minggu setelah menetas dan mengalami involusi setelah kematangan sexual. Sesudah dewasa timus mengalami atrofi pada parenkimnya dan korteks diganti oleh jaringan lemak Oláh Vervelde 2008. Timus terdiri dari sejumlah lobus berisi sel epitelial yang tersusun longgar. Setiap lobus dibatasi oleh kapsul jaringan ikat. Lobus terdiri dari korteks dibagian luar dan medula di bagian dalam. Korteks terdiri dari sel limfosit timosit yang padat dan pekat sehingga sel retikuler tidak terlihat jelas. Sel limfosit yang terdapat di korteks merupakan sel limfosit yang belum matang. Timus tidak memiliki pusat kecambah, namun proses mitosis tetap terjadi. Timosit bervariasi dalam ukuran dan sifat sitologiknya. Sel-sel timosit besar banyak terdapat pada daerah subkapsuler tiap lobus, berproliferasi cepat dan beberapa menjadi sel limfosit T. Medulla strukturnya mirip korteks tetapi sel timositnya lebih sedikit sehingga sel retikular tampak jelas. Sel-sel limfosit yang terdapat pada medulla merupakan limfosit yang telah matang Pathak Palan 2005. Khas pada medula terdapat badan timus Korpuskel Hassal. Korpuskel Hassal berbentuk lonjong dengan sel-sel tersusun kosentrik dan yang ditengah mengalami degenerasi total. Proses degenerasi sel dari pinggir ke tengah mirip kornifikasi epitel pipih banyak lapis. Pada ayam struktur korpuskel Hassal kecil, dan kurang berkembang Oláh Vervelde 2008. Korpuskel Hassal berisi epitel yang telah mengalami keratinisasi, leukosit, dan sel debris. Sel epitel yang terdapat di timus diduga mengalami pergantian seperti halnya epitel kulit. Korpuskel Hassal diduga berperan sebagai tempat endositosis, degradasi, dan penghancuran epitel yang rusak oleh limfosit Pathak Palan 2005. Timus berfungsi sebagai sumber limfosit asal timus limfosit T. Limfosit T ini sebenarnya berasal dari sumsum tulang namun diproses di timus sesudah ditarik oleh hormon yang disekresi oleh sel epitelial timus. Sel limfosit ini sangat cepat membelah di dalam timus, pembelahan diri ini tidak dipengaruhi oleh keberadaan antigen. Sel baru yang dihasilkan oleh timus mati di dalam timus itu sendiri, hanya sebagian kecil yang berpindah dan membuat koloni sel T pada organ limfoid sekunder. Makrofag yang terdapat pada perbatasan korteks dan medula bertugas memfagositosis timosit yang mati tersebut Pathak Palan 2005. Timus juga berfungsi sebagai kelenjar endokrin. Bermacam-macam hormon disekresikan oleh sel epitelial timus diantaranya timosin, timopoietin, dan Fecteur Thymique Serique FTS. Hormon-hormon ini berperan dalam pendewasaan sel T. Sel T berperan dalam menginduksi pembentukan antibodi dan sitotoksisitas Pathak Palan 2005. Bursa Fabricius Bursa Fabricius adalah organ limfoepitelial yang hanya terdapat pada unggas. Organ ini berasal dari pertemuan ektoendodermal. Struktur bursa Fabricius berbentuk bulat seperti kantong dan berlokasi di dorsal kloaka di antara kloaka dan sakrum. Bursa mencapai ukuran maksimalnya sekitar satu sampai dua minggu sesudah menetas dan sesudah itu mengalami infolusi secara perlahan- lahan. Bursa Fabricius mulai mengalami regresi saat dewasa kelamin. Ukurannya berbanding terbalik dengan ukuran testis dan adrenal Davidson 2008. Pertumbuhan maksimum bursa Fabricius dicapai saat ayam berumur 4-12 minggu dan mengalami regresi secara lengkap pada waktu mencapai kematangan seksual yaitu pada umur antara 14-20 minggu. Pada tahap ini bursa akan mengkerut, terjadi pembentukan jaringan ikat yang lebih intensif, deretan epitel menjadi melipat-lipat, parenkimnya digantikan dengan jaringan lemak dan sel-sel limfoid dalam folikel digantikan oleh kista. Bursa akan mengalami involusi lebih cepat karena adanya infeksi agen-agen yang merusak sel B seperti Infectius Bursal Disease Virus IBDV serta penggunaan kortikosteroid dan androgen Oláh Vervelde 2008. Bursa terdiri atas sel limfoid yang terbalut dalam jaringan epitelial. Jaringan epitelial ini membatasi suatu kantong berongga yang dihubungkan dengan kloaka oleh suatu saluran. Di bagian dalam kantong, terdapat lipatan besar epitel yang menjulur ke dalam lumen. Folikel sel limfoid tersebar melalui lipatan epitel tersebut. Dinding bursa membentuk divertikulum bercabang yang dibalut oleh epitel silindris banyak lapis pada puncak dan silinder sebaris pada bagian dasar divertikulum. Langsung di bawah epitel terdapat deretan folikel limfoid yang memiliki pusat kecambah. Dinding dalam terdiri jaringan ikat yang mengadung otot polos Oláh Vervelde 2008. Setiap folikel limfoid terdiri atas korteks dan medula. Korteks mengandung limfosit, sel plasma dan makrofag. Pada pertemuan kortiko-medular terdapat membran basal dan jaringan-jaringan kapiler yang bagian dalamnya adalah sel epitelial. Medula berisi sel epitelial yang berasal dari divertikulum kloaka dan sel- sel haematopoietik. Sel-sel haematopoietik tersebut terdiri dari dendritic cell, sel limfoid, makrofag, dan beberapa sel plasma yang terdapat pada bursa yang mengalami involusi Oláh Vervelde 2008. Bursa Fabricius berfungsi sebagai organ limfoid primer tempat terjadinya pendewasaan dan diferensiasi sel limfosit B yang berperan dalam pembentukan antibodi. Bursa juga memiliki peran sebagai organ limfoid sekunder yang dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi Ratcliffe 2008. Sambiloto Andrographis paniculata Nees Sambiloto tergolong tanaman perdu yang tumbuh di berbagai habitat, seperti pinggiran sawah, kebun, atau hutan. Sambiloto memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat serta memiliki banyak cabang monoplodial. Daunnya tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang lanset dengan tepi rata integer dan permukaannya halus serta berwarna hijau. Bunganya berwarna putih keunguan. Bunga berbentuk bulat panjang dengan pangkal dan ujung lancip. Di India bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau antara Maret sampai Juli. Di Australia bunga dan buah dapat dijumpai antara bulan November sampai Juni, sedang di Indonesia bunga dan buah dapat ditemukan sepanjang tahun Balitro 2008. Gambar 2 Sambiloto Andrographis paniculata Ness Morad 2011. Taksonomi sambiloto berdasarkan NCBI 2011a adalah: Filum : Steptophyta Subkelas : Asterids Ordo : Lamiales Famili : Acanthaceae Subfamili : Acanthoideae Genus : Andrographis Spesies : Andrographis paniculata Ness Bahan aktif utama yang terdapat pada sambiloto adalah diterpenoid, flavanoid dan polifenol Xu et al. 2010; Koteswara 2004. Andrografolid C 20 H 30 O 5 adalah diterpenoid utama dalam Andrographis paniculata Nees yang terdapat pada seluruh bagian dari tanaman kering, batang, dan daun melalui ekstraksi menggunakan metanol dan etanol Cheung et al. 2001; Pholphana et al.

2004. Andrografolid paling banyak terdapat di daun dan dapat dengan mudah

diisolasi dari ekstrak tanaman mentah sebagai kristal padat Chao Lin 2010. Rumus bangun andrografolid dapat dilihat pada Gambar 3. Salah satu derivat andrografolid yaitu 14-alpha-lipoyl andrographolide memiliki kemampuan melawan infeksi virus influenza H 5 N 1 dengan cara menghambat pelekatan haemaglutinin virus dengan reseptor yang ada pada sel Chen et al. 2009. Gambar 3 Rumus bangun andrografolid NCBI 2006. Andrografolid juga memiliki aktifitas sebagai imunomodulator. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun yaitu dengan cara stimulasi imunostimulan, menekan atau menormalkan reaksi imun yang abnormal imunosupresan Suhirman Winarti 2007. Andrografolid memperlihatkan kemampuan dalam meningkatkan proliferasi dan sekresi interleukin IL-2 pada human Peripheral Blood Lymphocyte hPBL Kumar et al. 2004. Andrografolid juga memiliki aktifitas dalam meningkatkan sekresi IL-2 dan interferon IFNγ oleh sel T dan merangsang produksi limfosit T sitotoksik Sheeja Kuttan 2007a; Sheeja Kuttan 2007b. Di sisi lain, ketika sel T mencit percobaan dirangsang dengan mitogen, pemberian andrografolid mengakibatkan penurunan IL-2 Burgos et al. 2005 berkemungkinan melalui penghambatan kerja Nuclear Factor Of Activated T cells NFAT dan meningkatkan fosforilasi Jun NH 2 -Terminal Kinase JNK Carretta et al. 2009. Andrografolid mengurangi peradangan yang yang dimediasi oleh dopaminergic neurodegeneration pada kultur sel syaraf mesensephalon dengan menghambat aktivasi mikroglial dan produksi faktor- faktor proinflamasi Wang et al. 2004. Sebuah studi klinis menunjukkan bahwa ekstrak A. paniculata 30 andrografolid mampu mengurangi gejala klinis dan parameter imunologi seperti imunoglobulin serum dan komponen-komponen komplemen pada pasien yang menderita rheumatoid arthritis selama pengobatan 14 minggu Burgos et al. 2009. Sirih Merah Piper crocatum Sirih merah merupakan tanaman merambat yang memiliki daun berbentuk hati, berwarna merah keperakan dan mengkilat serta bertangkai. Tangkainya tumbuh berselang-seling dan merambat pada pohon atau pagar. Ciri khas tanaman ini adalah berbatang bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daun sirih merah akan berngeluarkan lendir dan aroma yang wangi jika daunnya disobek Manoi 2007.