2. pembentukan poros Jakarta – Pnom Penh – Peking – Pyong Yang sebagai poros anti imperialis dan kolonialis
3. Politik Indonesia ini semakin membuat Indonesia terkucil dari pergaulan internasional. 4. Keluar dari PBB 7 januari 1965
Alasan Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965 adalah :
1. kegagalan dalam menghadapi terbentuknya federasi sehingga Indonesia menjalankan politik konfrontasi
2. kegagalan menentang masuknya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Kegagalan-kegagalan ini menjadi pukulan berat bagi pemerintahan Presiden Soekarno, sehingga memutuskan diri untuk keluar dari keanggotaan PBB. Keadaan ini semakin mengisolasi
pemerintahan Republik Indonesia dari pergaulan internasional.
E. Peristiwa G 30 S PKI dan cara penanggulangannya
Pada tanggal 4 Agustus 1965 kondisi Presiden Soekarno sangat mengkhawatirkan., pada saat itu beliau sakit muntah muntah dan pingsan, dan menurut team dokter dari Cina yang memeriksanya
terdapat dua kemungkinan dengan kondisi presiden, yaitu meninggal atau lumpuh. Diagnosa team dokter dari Cina ini membuat para pimpinan PKI segera mnengambil sikap untuk
secepatnya melakukan gerakan sebelum akhirnya presiden meninggal.
Dimulai dari desa Lubang Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 03.00 WIB dini hari mereka melakukan Gerakan penculikan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu :
1. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution 2. Menteri Panglima Angkatan Darat MenPangad, Letnan Jenderal Ahmad yani
3. Deputi II Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeprapto 4. Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayor jenderal Haryono Mas Tirtodarmo
5. Asisten I Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soewondo Parman 6. Asisten IV Panglima Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Icasus Panjaitan
7. Inspektur KehakimanOditur Jenderal Angkatan darat, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
Dalam peristiwa penculikan, dari ketujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut mengalami nasib yang tidak sama :
1. Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan dengan meloncat pagar rumah Wakil Perdana Menteri III Dr. J. Leimena. Tetapi puterinya yang berusia 5 tahun
terpaksa menjadi korban keganasan G 30 S PKI : Ade Irma Suryani Nasution terkena peluru yang ditembakkan oleh PKI. Beliau kemudian bersembunyi di tempat yang
dirahasiakan, dengan kondisi kedua kaki terluka.
2. Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan dibawa dalam kondisi meninggal setelah di tembak di rumah beliau masing-masing.
3. Haryono M.T., Sutoyo Siswomihardjo, S. Parman dan Soeprapto di bawa dalam keadaan hidup ke desa Lubang Buaya.
4. Selain para perwira tinggi tersebut dan Ade irma Suryani, terdapat korban lain keganasan gerombolan ini, yaitu :
a. Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun ajudan Waperdam III Dr. J. Leimena yang tertembak mati, pada saat gerombolan salah sasaran masuk ke rumah Dr. J. Leimena, yang di kira rumah
A.H. Nasution.
b. Letnan Satu Pierre Tendean ajudan Jenderal AH Nasution yang ditangkap hidup – hidup karena dikira dia lah Nasution.
c. Polisi Sukitman yang tertangkap secara tidak sengaja pada saat meronda di sekitar Lubang Buaya. Tetapi berhasil lolos dari maut.
Sementara itu pada tanggal 1 Okto0ber 1965 sore hari terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel Katamso dan Wakilnya Letnan Kolonel Sugiono.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto Pangkostrad mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena nasib para pemimpin Angkatan Darat belum diketahui. Pada hari itu juga
Mayjend. Soeharto menunjuk Kolonel Sarwo Edhie Wibowo komandan RPKAD sebagai Komandan penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta, sedangkan di Jawa Tengah
penumpasan di pimpin oleh Pangdam VII Diponegoro Brigjend. Suryo Sumpeno. Sebagai komandan pasukan penumpasan G 30 S, tugas pertama Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah
merebut kembali RRI Stasiun Pusat Jakarta yang telah berhasil dikuasai gerombolan.
Tanggal 2 Oktober 1965 pasukan Kol. Sarwo Edhie melakukan penyisiran di sekitar Lapangan terbang Halim Perdana Kusuma, karena dari daerah inilah Lubang Buaya pada tanggal 1
Oktober terdengar suara suara gaduh dan tembakan. Kedatangan pasukan ini membuat gerombolan yang masih berada di Lubang Buaya kalang kabut dan melarikan diri, meninggalkan
Brigadir Polisi Sukitman yang masih terikat di pohon.
Berdasarkan petunjuk Brigadir Polisi Sukitman yang berhasil lolos dari sekapan gerombolan, jenazah para perwira AD dapat ditemukan pada tanggal 3 Okrtober 1965 dan dimakamkan di
TMP Kalibata pada tanggal 5 Oktober 1965. Pada tanggal ini juga Ade Irma Suryani Nasution meninggal di rumah sakit setelah koma sejak tanggal 1 Oktober 1965..
Operasi penumpasan G 30 S berlangsung diberbagai daerah. Selain di jakarta dan Jawa Tengah, operasi penumpasan juga dikembangkan untuk memburu para gembong penculikan sampai
daerah Blitar Selatan. Operasi Militer di Blitar Selatan diberi nama Operasi trisula, sedangkan diperbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur diberi nama Operasi Kikis. Operasi-operasi
tersebut berhasil menangkap dan menembak tokoh-tokoh G 30 S PKI. Dalang utama G 30 S PKI, D.N., Aidit tertembak mati pada tanggal 24 Nopember 1965.
Tanggal 1 Desember 1965 dibentuk Komando Merapi yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk memburu gembong pemberontak yang lari ke Jawa Tengah. Dalam operasi ini
berhasil ditembak mati gembong-gembong pemberontak, seperti : Kol. Sahirman, Kol. Maryono, Letkol Usman, Mayor Samadi, Mayor RW Sakirno dan Kapten Sukarno.Sedangkan tokoh-tokoh
yang tertangkap hidup-hidup seperti Letkol Untung Sutopo, diadili dalam Mahkamah Militer Luar Biasa Mahmilub pada tanggal 14 Pebruari 1966.
BAB VI BERAKHIRNYA ORDE BARU DAN LAHIRNYA REFORMASI
A Peristiwa-Peristiwa Politik Penting Pada Masa Orde Baru 1. Tritura Tri Tuntutan Rakyat
Aksi yang dilakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui oleh masyarakat bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu berbagai elemen masyarakat melakukan demonstrasi-
demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap PKI yang telah
melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Apalagi kondisi ekonomi yang memburuk, harga-harga membumbung tinggi sehingga menambah penderitaan rakyat. Hal inilah
yang melatarbelakangi munculnya kesatuan-kesatuan aksi. Pada tanggal 25 Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI. Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-
kesatuan aksi yang lain, misalnya Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia KAPPI, Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia KAPI, Kesatuan Aksi Buruh Indonesia KABI, Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia KASI, Kesatuan Aksi Wanita Indonesia KAWI, dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia KAGI. Ketika gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin keras
pemerintah tidak segera mengambil tindakan. Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
mendatangi DPR- GR menuntut Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat yang terkenal dengan Tri Tuntutan Rakyat Tritura. Adapun Tri Tuntutan Rakyat itu adalah sebagai berikut.
a. Pembubaran PKI.
b. Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S PKI. c. Penurunan hargaperbaikan ekonomi.
Ketiga tuntutan di atas menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran PKI beserta ormasormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G30 S PKI. Selain itu juga
keinginan adanya perubahan ekonomi yakni penurunan harga.
2. Surat Perintah Sebelas Maret
Aksi untuk menentang terhadap G 30 S PKI semakin meluas menyebabkan pemerintah merasa tertekan. Oleh karena itu setelah melakukan pembicaraan dengan beberapa anggota kabinet dan
perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Suharto sebagai Panglima Angkatan
Darat dan
Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah. Surat mandat ini terkenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret 1966 Supersemar.
3. Sidang Umum MPRS
Sidang Umum IV MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966 telah menghasilkan beberapa ketetapan yang dapat memperkokoh tegaknya Orde Baru antara lain sebagai berikut.
1 Ketetapan MPRS No. IX tentang Pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret. 2 Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasormasnya serta larangan
penyebaran ajaran Marxisme- Komunisme di Indonesia.
3 Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan.
4 Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang ditugaskan kepada Pengemban Tap MPRS No. IX.
4. Nawaksara
MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno dalam Sidang Umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan G30 S PKI, kemerosotan ekonomi dan moral. Untuk
memenuhi permintaan MPRS tersebut maka Presiden Sukarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara sembilan pasal. Amanat tersebut oleh MPRS
dipandang tidak memenuhi harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijaksanaan PresidenMandataris MPRS mengenai peristiwa G 30 S PKI serta kemerosotan ekonomi dan
moral. Oleh karena itu MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi Nawaksara tersebut. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap Nawaksara. Akan tetapi
isinya juga tidak memuaskan banyak pihak. Oleh karena itu DPRGR mengajukan resolusi dan
memorandum tanggal 9 Februari 1967 menolak Nawaksara berikut pelengkapnya. Selanjutnya DPR- GR mengusulkan kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa untuk
memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan PresidenMandataris MPRS dan mengangkat Pejabat Presiden.
Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX, Jenderal Soeharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan yang dilakukan
atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting dalam upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini ternyata mendapat tanggapan yang positif dari
masyarakat umum dan ABRI.
5. Politik Luar Negeri
Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada salah satu blok pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu Orde
Baru bertekad untuk untuk mengoreksi bentuk-bentuk penyelewengan politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Lama. Politik luar negeri yang memihak kepada salah satu blok
dinyatakan salah oleh MPRS kemudian MPR. Indonesia harus kembali ke politik luar negeri yang bebas dan aktif serta tidak memencilkan diri. Sebagai landasan kebijakan politik luar negeri
Orde Baru telah ditetapkan dalam Tap No. XII MPRS 1966. Menurut rumusan yang telah ditetapkan MPRS, maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan
diri kepada kepentingan nasional. Sesuai dengan kepentingan nasional, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tidak dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada.
Namun bukanlah politik yang netral, tetapi suatu politik luar negeri yang tidak mengikat diri pada salah satu blok ataupun pakta militer. Sebagai wujud dari pelaksanaan politik luar negeri
bebas dan aktif pada masa Orde Baru melakukan langkah- langkah sebagai berikut.
1 Menghentikan politik konfrontasi dengan Malaysia setelah ditandatanganinya persetujuan untuk menormalisasi hubungan bilateral Indonesia-Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966.
Selanjutnya sejak 31 Agustus 1967 kedua pemerintah telah membuka hubungan diplomatik pada tingkat Kedutaan Besar.
2 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB pada tanggal 28 September 1966 setelah meniggalkan PBB sejak 1 Januari 1965. Sebab selama menjadi anggota
badan dunia, yakni sejak 1950-1964, Indonesia telah menarik banyak manfaatnya.
3 Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya sebuah organisasi kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang disebut Association of South East Asian Nations ASEAN pada
tanggal 8 Agustus 1967.
6. Pemilihan Umum
Pemilihan Umum pada masa Orde Baru pertama kali dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971. Pemilu pada waktu itu berbeda dengan pemilu tahun 1955 karena telah menggunakan sistem
distrik bukan sistem proporsional. Dalam sistim distrik ini partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak
dapat dijumlahkan dengan suatu partai itu yang terkumpul di daerah lain. Pemilu tahun 1977 diikuti oleh 10 kontestan, yakni PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba, PNI, Perti, IPKI, dan
Golkar. Dalam pemilu kali ini dimenangkan oleh Golkar. Pemilu berikutnya dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977 yang kali ini diikuti oleh 3 organisasi peserta pemilu, yakni Partai Persatuan
Pembangunan PPP, Golongan Karya Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia PDI. Selanjutnya pemilu-pemilu di Indonesia selama Orde Baru selalu dimenangkan oleh Golongan
Karya.
7. Sidang MPR Tahun 1973
Dengan Pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunyai MPR tetap, yakni bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil Pemilu I adalah Idham Chalid. Selanjutnya MPR ini mengadakan
sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya sebagai berikut.
1 Tap IV MPR 73 tentang Garis- garid Besar Haluan Negara sebagai pengganti Manipol. 2 Tap IX MPR 73 tentang pemilihan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI.
3 Tap XI MPR 73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden RI.
Dengan demikian RI telah memiliki Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan amanat UUD 1945.
B, Data Statistik Ekonomi Orde Baru