Sifat Hujan Ekstrim dan Pengaruh pada Pertanian di Jawa Barat

7 Tabel 3. Lanjutan No Kabupaten Kota Luas Panen Hasil Per Hektar Produksi 17 Bandung Barat 43 847 55,55 243 570 18 B o g o r 1 269 56,04 7 112 19 Sukabumi 3 625 62,58 22 687 20 Bandung 1 897 57,44 10 897 21 Cirebon 656 55,53 3 643 22 Bekasi 1 013 56,05 5 678 23 Depok 793 57,96 4 596 24 Cimahi 504 58,19 2 933 25 Tasikmalaya 14 252 56,72 80 844 26 Banjar 6 184 61,28 37 895 Kesimpulan : Thn. 2009 1 950 203 58,06 11 322 682 Thn. 2008 1 803 628 56,06 10 111 064 Thn. 2007 1 829 085 54,20 9 914 019 Thn. 2006 1 798 260 52,38 9 418 572 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat

2.3. Sifat Hujan Ekstrim dan Pengaruh pada Pertanian di Jawa Barat

Untuk mendapatkan pandangan yang seragam tentang perubahan pada cuaca dan iklim ekstrim, para ahli telah mendefinisikan beberapa indeks ekstrim. Indeks menggambarkan karakteristik khusus dari kondisi ekstrim meliputi frekuensi, intensitas, amplitudo, durasi dan persistensi. Terdapat beberapa indeks untuk curah hujan Zhang, dan Yang, 2004. Diantaranya ialah wet spells atau deret hari basah DHB, dry spells atau deret hari kering DHK, hari sangat basah very wet days yaitu nilai hujan melebihi 95 persentil R 95 p, hari ekstrim Basah Extremely wet Days yaitu tinggi hujan sama atau melebihi nilai 99 persentil R99p. Di dalam konteks pertanian, kajadian iklim esktrim seperti DHK yang panjang dapat menimbulkan bencana kekeringan, dan DHB yang panjang atau hari sangat basah diperkirakan akan menmbulkan bencana banjir. Besarnya pengaruh kejadian DHK atau DHB yang panjang terhadap tanaman sudah banyak diteliti Dik- shit et al., 1987; Niewolt, 1989; Castillo et al., 1992; McCaskill dan Kariada, 1992. Sebagian besar dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kejadian deret hari kering sama atau lebih besar dari 15 hari dapat memundurkan umur panen, gagal bunga, menurunkan hasil tanaman dan lain-lain. Namun demikian, gangguan pada 8 pertumbuhan tanaman khususnya di daerah tropis dapat terjadi apabila tanaman ter- papar terhadap DHK melebihi 7 hari Niewolt 1989. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rushayati et al. 1989 di Indonesia juga menunjukkan bahwa tanaman yang diberi cekaman air kadar air 50 kapasitas la- pang selama sepuluh hari pada awal fase pertumbuhan vegetatif dan fase primordial memberikan hasil yang sangat rendah. Penurunan hasil yang terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan vegetatif terutama melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada fase primordia melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa dan penurunan bobot 100 biji. Boer dkk 1996 telah menyusun persamaan untuk menduga peluang terja- dinya DHK dengan panjang sama atau melebihi 10 px=10 hari dan sama atau melebihi 15 hari px=15 hari dari rata-rata data hujan bulanan. Penelitian ini di- lakukan karena terbatasnya ketersediaan data harian. Hasil penelitian mereka me- nunjukkan bahwa px=10 hari dan px=15 hari dapat diduga dengan baik dari rata-rata tinggi hujan bulanan dalam bentuk persamaan berikut Gambar 3 px 10 = 1[1+exp-0.2688+ 0.00745 X] dan px 15 = 1[1+exp0.22913+ 0.00831 X]. Pengujian persamaan tersebut sudah dilakukan oleh Hasan 1997 di dua lokasi di Jawa Tengah. Diperoleh bahwa nilai peluang dugaan mendekati nilai peluang pen- gamatan dengan nilai korelasi lebih besar dari 0.9. Namun demikian Boer et al. 1996 menyatakan bahwa persamaan tersebut memberikan hasil yang kurang akurat pada daerah dengan tinggi hujan bulanan rendah tetapi kejadian hujannya menyebar merata seperti di wilayah F lihat Gambar 2. 9 a b Hujan mm pX=10 hari 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 200 400 600 Hujan mm px=15 hari 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 200 400 600 Sumber: Boer dkk 1996 Gambar 3. Hubungan antara rata-rata curah hujan bulanan dengan a peluang terjadinya deret hari kering sama dan lebih besar 10 hari. b peluang terjadinya deret hari kering sama dan lebih besar 15 hari. Terjadinya DHB yang panjang yang umumnya terjadi pada musim hujan akan berdampak pada meningkatnya risiko banjir karena kondisi air tanah akan tinggi. Pada kondisi ini air hujan yang dapat ditahan di tanah akan berkurang sehingga sebagian besar dari air hujan akan langsung menjadi aliran permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir. Di Indramayu, pusat produksi padi di Jawa Barat, apabila tinggi hujan bulanan sudah melebihi 300 mm, luas wilayah persawahan yang terkena banjir meningkat secara signifikan Gambar 4. Namun demikian banjir tidak selalu terjadi akibat tingginya hujan insitu di lokasi bersangkutan tetapi juga bisa akibat tingginya hujan yang terjadi di daerah hulu yang menimbulkan banjir kiriman. Sebaliknya, terjadinya DHK yang panjang yang umumnya terjadi pada musim kemarau juga akan berdampak pada meningkatnya risiko kekeringan. Pada kondisi ini, hujan yang diterima pada musim kemarau akan jauh di bawah normal JBN. Boer dkk 2008 menemukan bahwa luas pertanaman padi terkena kekeringan meningkat secara nyata pada saat tinggi hujan MK Mei-September turun jauh di bawah normal Gambar 5. . 10 Gambar 4. Hubungan antara kejadian hujan atas normal AN dengan kejadian banjir tahun 2000 2004 di Indramayu Sumber: Boer dkk, 2008 Gambar 5. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal BN pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di Indramayu Sumber: Boer dkk, 2008 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Cu ra h Hu ja n m m 100 200 300 400 500 Cu ra h Hu ja n m m 199900 Normal 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Cu ra h H u ja n m m 100 200 300 400 500 Cu ra h Hu ja n m m 200304 Normal 1999 2000 2003 2004 Luas terkena banjir Januari: 25.644 ha Luas terkena banjir Februari: 50.478 ha 1996 1997 2002 2003 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C u ra h H u ja n mm 100 200 300 400 500 C ur a h H uj a n m m 199697 Normal 100 200 300 400 500 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 C u ra h H u ja n mm 100 200 300 400 500 Cu ra h Hu ja n m m 200203 Normal Terkena Keke- ringan: 47,995 ha Terkena Keke- ringan: 7,896 ha 11 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Propinsi Jawa Barat. Propinsi ini merupa- kan salah satu pusat produksi pertanian penting dan merupakan propinsi penghasil padi utama di Indonesia 3.2 Data dan Pengolahan Penelitian ini menggunakan data hujan harian dari 90 stasiun pengamatan curah hujan di Jawa Barat. Lokasi stasiun umumnya menyebar di pantai utara dan bagian tengah wilayah propinsi Jawa Barat Gambar 6 Gambar 6. Lokasi Sebaran Pos Hujan di Jawa Barat Data curah hujan yang digunakan berasal dari 2 kelompok stasiun pengamatan yakni stasiun yang dikelola oleh instansi BMKG dan stasiun kerja sama. Stasiun kerjasama adalah stasiun pengamatan yang dititipkan ke instansi diluar BMKG atau perseorangan. 12 Stasiun hujan dipilih berdasarkan kelengkapan data curah hujan dengan panjang pengamatan minimal 10 tahun. Posisi geografis statisun yang digunakan disajikan di Lampiran 1. Data yang dikumpulkan dari ber- bagai titik pengamatan sudah melewati ‘quality control’. Hal ini sangat di- perlukan karena kemungkinan masih ada kesalahan data baik yang disebab- kan oleh manusia, misalnya dalam proses pencatatan, dapat juga dari perala- tannya itu sendiri, diantaranya waktu pemindahan tempat kegiatan pengama- tan tidak dilakukan pencatatan meta data, prosedur pengamatan, penggan- tian alat dan lain-lain. Anguler et al, 2003. Pengecekan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Cara manual yaitu data yang telah tersusun diplot dalam bentuk grafik, dari gambar grafik tersebut akan bisa dideteksi data yang tidak sesuai error, 2. Memakai pengalaman pengamat setempat atau pengetahuan lokal, dengan cara memeriksa data yang dicurigai terjadi kesalahan dengan histori data dari stasiun setempat. 3. Membandingkan data yang dicurigai salah dari suatu pos pengamatan dengan data dari pos pengamatan terdekat yang dianggap homogen Bates 2004. 4. Menggunakan program aplikasi RClimdex yang otomatis dapat mende- teksi data curah hujan yang nilainya negative dan data yang diluar batas toleransi atas maupun bawah. Batas toleransi dirumuskan sebagai berikut : Nilai rata-rata ± 4 x standard deviasi Sx dari pos pengamatan setempat, Sx = Standar deviasi dari data pos pengamatan setempat. Apabila terdapat data diluar nilai batas tersebut, maka perlu dilakukan pengecekan.  Persamaan dari Standart Deviasi Sx adalah sebagai berikut : 13  Nilai 4 dapat dapat diganti dengan nilai lain disesuaikan dengan data maksimum dan minimum yang telah tercatat di pos pengamatan setem- pat.

3.3 Metode Analisis Data