Hasil kualifikasi terhadap Perkara

Penyelesaian suatu perkara Hukum Perdata Internasional HPI dengan kata lain disebut juga suatu penyelesaian hukum perselisihan. Dalam konsep penyelesaian hukum perselisahan, hal demikian melibatkan pranata hukum yang disebut titik taut dan kualifikasi. Dengan demikian, dapat dicermati tujuan penggunaan metode ini ialah tidak lain untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku atas suatu perkara tertentu, itulah yang dinamakan lex causae. 2 Seperti halnya yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa dalam suatu perkara HPI akan selalu bersinggungan dengan adanya unsur asing foreign elements. Oleh sebabnya, forum yang menghadapi suatu perkara tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yaitu salah satunya bahwa lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem- sistem hukum yang relevan, dan yang seharusnya atau bahkan yang lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara HPI. Kebutuhan inilah yang memberi arti pentingnya lex causae.

2. Hasil kualifikasi terhadap Perkara

Ketika melihat cara berpikir hakim dalam menyelesaikan perkara, dapat dilihat pula bagaimana alur pendekatan yang digunakannya. Perlu disadari bahwa sebagaimana hakekat HPI sebagai kaidah penunjuk maka di dalamnya memuat titik taut apa yang harus digunakan sebagai titik 2 Ibid., h. 81. taut penentu dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan. Dengan penentuan seperti itu baik melalui titik taut penentu dapat dipahami pendekatan kualifikasi seperti apa yang dipegang hakim. Tahap kualifikasi tentunya merupakan bagian dari sebuah sistem prosedur penyelesaian perkara. Oleh karena itu, untuk membahas lebih lanjut mengenai pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim maka sebagai suatu sistem, akan dibahas juga prosedur penyelesaian perkaranya 3 . Digambarkan secara sederhana, langkah pertama dari langkah umum penyelesaian yakni menyusun kasus posisi dari perkara. Pada tahap ini, dikumpulkan semua fakta dan informasi yang relevan melakukan kualifikasi fakta dan kemudian disusun ke dalam suatu urutan kejadian yang sistematis. Kasus ini kurang lebih kasus posisinya ialah sebagai berikut:  Kasus menyangkut Kartika Thahir dan Pertamina Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Kartika WN Indonesia, Pertamina merupakan perusahaan negara Republik Indonesia.  Kartika Thahir dianggap memiliki uang dari H. achmad Tahir suaminya yang diduga merupakan hasil suap ketika suaminya memegang jabatan di Pertamina.  Uang tersebut objek sengketa terdapat di Singapura dalam hal ini Bank Sumitomo. 3 Ibid., h. 69 – 71.  Pertamina mengklaim uang tersebut sebagai uang negara karena dianggap merupakan hasil suap.  Kartika melakukan gugatan di Pengadilan Singapura Court of Appeal. Gugatan lahir sehubungan juga dengan putusan sebelumnya di Pengadilan Singapura High Court. Kemudian, langkah berikutnya ialah menentukan ada tidaknya peristiwa hukum perselisihan. Langkah ini berdasarkan langkah sebelumnya yaitu ketika dikumpulkan fakta dan informasi yang relevan yang telah disusun secara sistematis. Berdasarkan fakta-fakta dalam kasus tersebut ditentukan apakah terdapat fakta yang mempertautkan perkara dengan lebih dari satu sistem hukum kaidah hukum peraturan “mencari titik-titik taut primer”. Ketika perkara tersebut memiliki titik taut primer, maka barulah timbul kebutuhan untuk menyelesaikan perkara dengan menggunakan metode pendekatan HPI. Penentuan titik taut primer dapat dilihat jika adanya unsur asing foreign elements dalam perkara. Dari gambaran singkat kasus posisi, maka bisa dikatakan terdapat unsur asing. Para pihak dari Indonesia, namun objek sengketanya maupun forumnya di Singapura. Selanjutnya, menentukan masalah hukum utama yang muncul dalam perkara. Dalam tahap ini biasanya ditentukan pokok gugatanpermohonan, pokok yang dipersengketakan oleh para pihak, hubungan hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari penentuan masalah hukum utama ini, akan dapat ditemukan atau disimpulkan apa yang merupakan kualifikasi hukum dari perkara. Dalam kasus ini masalah hukumnya ialah ketika beberapa deposit ACU Kartika Ratna Thahir dianggap hasil suap. Pertamina sebagai badan usaha milik negara Indonesia mengklaim uang dalam deposit tersebut. Lalu, langkah untuk menentukan titik taut sekunder dari perkara. Dari perkara yang dihadapi harus dicari fakta penentu untuk menunjuk hukum yang menyelesaikan perkara. Dalam kasus ini, perkara antara Kartika Ratna Thahir dengan Pertamina di mana objek sengketanya di Singapura. Di sinilah tahap yang nantinya akan berbicara mengenai pendekatan kualifikasi yang dilakukan hakim terhadap perkara. Penulis menyatakan bahwa pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim ialah model pendekatan kualifikasi Lex Causae. Pada dasarnya, putusan hakim untuk menentukan hukum yang tepat sebagai lex causae berangkat dari Rule 201 ayat 1 jo ayat 2 poin c, di mana menyatakan: Rule 201 ayat 1 “the obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another person‟s is governed by the proper law of the obligation .”; ayat 2 poin c “if it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the country where the enrichment occurs ”. Intinya, menggambarkan bahwa hukum yang pantas untuk diterapkan pada perkara bersangkutan adalah hukum di mana „memperkaya‟ itu terjadi. Dalam hal ini terjadi di Singapura bank cabang Singapura. Ketika menggunakan Rule 201 sebagai acuan, ditemukan bahwa hakim tidak mengutamakan kedaulatan forumnya sebagai hukum yang harus digunakan dalam penyelesaian perkara. Penggunaan ketentuan tersebut membuka kemungkinan ditunjuknya sistem hukum lain sebagai lex causae lepas dari apakah ketika diterapkan ujung-ujungnya akan menunjuk hukum dari forum itu sendiri. Jalan berpikir seperti ini berbanding jauh dengan prinsip yang dipegang ketika menggunakan pendekatan kualifikasi lex fori yang mana hakim secara langsung menetapkan sistem hukum forumnya yang harus dipakai dalam menyelesaikan perkara tanpa memperkatikan apakah sistem hukum asing lain yang lebih pantas. Secara tersirat, melalui Rule 201, hakim tidak serta merta menentukan penggunaan hukum forumnya namun membuka pintu bagi sistem hukum lain untuk diterapkan. Proses berikutnya yang merupakan tahap akhir yaitu penyelesaian kasus. Tahapan terakhir ini ialah dengan menjawab isu-isu hukum dalam perkara. Pada putusan yang menjadi unit amatan penulis terdapat 4 empat isu hukum, yaitu 1 apakah harus ada klaim kepemilikan; 2 apakah deposito adalah hasil suap; 3 hukum manakah yang mengatur the governing law; dan 4 apakah klaim pertamina merupakan hal terkait kepemilikan. Jawaban dari isu pertama apakah harus ada klaim kepemilikan, bahwa Pertamina harus menunjukkan bahwa mereka memiliki klaim kepemilikan terhadap uang-uang itu. di bawah sistem hukum yang mengatur klaim tersebut. Isu kedua mengenai apakah deposito adalah hasil suap, jawabannya ialah semua 17 deposit ACU merupakan hasil suap. Isu ketiga pula terjawab bahwa hukum Singapura yang mengatur. Kemudian, isu terakhir mengenai apakah klaim pertamina merupakan hal terkait kepemilikan, bahwa klaim terhadap uang tersebut bukan terkait klaim kepemilikan proprietary claim tetapi klaim perseorangan personal claim.

B. Penentuan lex causae sebagai The Proper Law The Governing Law