TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

(1)

commit to user

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN

PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan Untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh : Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT

PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

Oleh Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 18 Januari 2011

Dosen Pembimbing I

Edy Herdyanto, S. H, M. H NIP. 1957291985031002

Dosen Pembimbing II

Muh. Rustamaji, S. H, M.H NIP. 198210082002005011001


(3)

commit to user PENGESAHAN PENGUJI

TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT

PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA

Oleh Juni Panto Susilo

NIM. E 0006150

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Selasa

Tanggal : 18 Januari 2011

DEWAN PENGUJI

1.Bambang Santoso, S.H., M.Hum : ... NIP. 196202091989031001

Ketua

2.Muh. Rustamaji, S.H., M.H. : ... NIP.198210082002005011001

Sekretaris

3. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : ... NIP. 1957291985031002

Anggota

Mengetahui Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 19610930 1986011 001


(4)

commit to user PERNYATAAN

Nama : Juni Panto Susilo NIM : E0006150

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : Tinjauan Argumentasi Legalitas Dan Kewenangan Jaksa Agung dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Berkait Putusan Praperadilan Kasus Bibit

dan Chandra adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya

dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Januari 2011 yang membuat pernyataan

Juni Panto Susilo NIM. E0006150


(5)

commit to user ABSTRAKS

Juni Panto Susilo. E0006150. TINJAUAN ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui legalitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra oleh Kejaksaan Agung. Jaksa mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan kasus praperadilan Bibit dan Chandra karena ingin mempertahankan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung untuk menutup perkara tersebut. Padahal ada alternatif lain untuk

mengesampingkan perkara yaitu dengan deponering.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif bersifat perskriptif dan terapan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder. Teknik analisis penelitian dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deduksi, yaitu metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor. Dari kedua

premis tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dihasilkan simpulan. Kesatu, jaksa mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra merupakan suatu tindakan yang tidak legal karena tidak ada aturan hukum yang mengaturnya. Kedua, jaksa tidak berwenang untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan kasus praperadilan kasus Bibit dan Chandra hal ini melanggar Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2005. Jaksa melakukan sebuah terobosan hukum yang justru membuat ketidakpastian hukum.


(6)

commit to user ABSTRACS

Juni Panto Susilo. E0006150. THE OVERVIEW OF LEGALITY ARGUMENTATION AND GENERAL ATTORNEY AUTHORITY IN THE FILLING OF REVIEW RELATED TO THE PRETRIAL VERCIT OF BIBIT AND CHANDRA CASES. Faculty of Law University of Sebelas Maret Surakarta.

The aim of this research to determine the legality and authority of prosecutors in filing pretrial review of the decision relates Bibit and Chandra by the Attorney General. Prosecutors proposed a judicial review against the decision of the case of pretrial Bibit and Chandra because they wanted to maintain the Letter of Termination of Prosecution Assessment issued by the Attorney General to close the case. Though there are other alternatives to rule out the case with deponering.

This research is a normative nature perskriptif and applied research. The approach used in this study is using doctrinal approach. The techniques of legal materials collection is primary and secondary legal materials. Technical analysis of research in this study using deductive analysis technique, a method that stems from the filing of major premise and then submitted to minor premise. From the premises is then drawn a conclusion.

Based on the results of the research and its discussion, it can be concluded that. First, prosecutors filed for judicial review of pretrial ruling Bibit and Chandra was an act that was not legal because there were no legal rules that govern them. Second, the prosecutor was not authorized to conduct a review of the decision of the case pretrial Bibit and Chandra it violated of Article 45 paragraph (2) of Law Number 5 of 2004 and SEMA Number 7 of 2005. Attorney conducted a legal breakthrough that would make legal uncertainty.

Keywords : Judicial Review, Pretrial, and Attorney General


(7)

commit to user

MOTTO

“ Berdoa dan berusaha adalah kunci keberhasilan dan

kesuksesan, apapun yang terjadi janganlah mudah

menyerah dan putus asa... pantang mundur!!!! ”

-Penulis-

“ Pencapaian keberhasilan dimasa depan didapat dari

pemanfaatan setiap detik dalam hidup, masa depan

merupakan akumulasi dari masa sekarang ”

-Penulis-

” Sepi ing pamrih rame ing gawe ”

-N N-

” Hidup Adalah Peningkatan ”

-Penulis-


(8)

commit to user PERSEMBAHAN

Penulisan Hukum ini, penulis persembahkan kepada:

1. Bapak ibuku tercinta yang telah melahirkan, merawat, menjaga,

membesarkan, membimbing, dan mendidik dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tulus. Terima kasih untuk segala pengorbanan, doa, semangat dan dukungan yang bapak dan ibu berikan kepada saya selama ini.

2. Adik tersayang semoga cepat menyusul kakakmu ini untuk segera lulus dan

wisuda, semoga kelak kamu bisa meraih cita-citamu menjadi bidan yang menolong banyak ibu untuk melahirkan putra-putrinya.

3. Sahabat-sahabatku Genk Mogglenk : Ahimsa S, Adhi CN , Agus S, Didit S,

Eriek C, Farid M, Haris W, M. Zaki I, Puguh R,dan Rudi AT, terima kasih, semoga jalinan persahabatan kita abadi selamanya, AMIIIN...

4. Teman-temanku : Wasiat Eko, Aji BG, Gurindo... ayo semangat !!!! Skripsi

tidak selesai kalau Cuma dipandangi saja harus dikerjakan.

5. Temanku Ginati Ayuningtyas, terima kasih banyak atas semua pelajaran

kehidupan yang pernah kamu ajarkan padaku untuk mengerti dan menghargai arti sebuah teman, sahabat, dan kasih sayang.

6. Adik kecilku Mahardhika Putri Utami, terima kasih buat perhatiannya selama

ini. Maaf, terkadang Mas Juni terlalu sibuk untuk mempersiapkan masa depan.

7. Teman seperjuanganku Wahyu Agus Kurniawati AS yang telah membantu

selama menempuh perkuliahan hingga sekarang dapat menyusun penulisan hukum (Skripsi).

8. Rekan-rekan Indis 2009, rekan-rekan Posita 2009, dan rekan-rekan angkatan

2006, yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, terima kasih atas segala pengalaman dan motivasinya.

9. Terima kasih pada KSP Principium dan BEM FH UNS yang pernah

membimbing saya dalam berorganisasi sehingga saya sedikit banyak mempunyai pengalaman berorganisasi.


(9)

commit to user KATA PENGANTAR


(10)

commit to user

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta rasa syukur kehadirat Allah SWT, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul

TINJAUAN LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA DALAM

MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN

PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA OLEH KEJAKSAAN AGUNG” dapat diselesaikan oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini, masih banyak kekurangannya dalam menyusun skripsi ini.dalam penulisan hukum ini, penulis tidak lepas dari hambatan serta kesulitan-kesulitan, namun berkat bimbingan, bantuan, nasehat dan saran-saran dari berbagai pihak khususnya pembimbing segala hambatan dan kesulitan-kesulitan tersebut akhirnya dapat diatasi dengan baik. Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga dapat memperkaya isi penulisan hukum ini.

Penulis yakin bahwa keberhasilan di dalam penyelesaian penulisan hukum ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya.

2. Nabi Muhammad SAW, semoga penulis dapat istiqomah dijalanNya hingga

akhir jaman.

3. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan penulisan hukum ini.

4. Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III yang telah

membantu dalam pemberian izin dilakukannya penulisan ini.

5. Bapak Edy Herdyanto, S.H, M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing I dalam penulisan hukum ini yang telah memberikan yang telah banyak membantu memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan hukum ini.


(11)

commit to user

6. Bapak Muhammad Rustamaji S.H, M.H, selaku Pembimbing akademik

sekaligus menjadi Pembimbing II dalam penulisan hukum ini yang telah banyak memberikan masukan, arahan dan saran dalam penyusunan proposal dan penulisan hukum ini dan telah membimbing saya selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta tercinta ini.

7. Bapak Bambang Santoso S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana

yang telah membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana

8. Bapak Kristiyadi S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Acara Pidana yang telah

membekali penulis dengan ilmu Hukum Acara Pidana.

9. Bapak Lego Karjoko S.H, M.H, selaku ketua PPH dan Mas Wawan yang telah

membantu dalam proses penulisan hukum ini.

10.Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu,

serta mengajari dan membimbing Penulis sehingga dapat menjadi bekal bagi Penulis dalam penulisan hukum ini.

11.Seluruh Pimpinan dan Staf Administrasi Fakultas Hukun Universitas Sebelas

Maret, atas semua kemudahan, fasilitas serta kesempatan-kesempatan yang telah diberikan.

12.Seluruh keluarga, terima kasih untuk semua doa, perhatian, kasih sayang dan

peluh harap serta tetes air mata yang diberikan

13.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuan bagi penulis, baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian penulisan hukum ini.

Sebagai kata terakhir semoga skripsi ini membawa manfaat, tidak lupa

pula penulis ucapkan Alhamdulillahhirobil’alamin kepada Allah SWT yang


(12)

commit to user

Surakarta, Januari 2011

Penulis

Juni Panto Susilo NIM. E 0006150

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii


(13)

commit to user

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR BAGAN... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Kerangka Teori ... 14

1. Tinjauan tentang Kejaksaan Agung ... 14

a. Pengertian Kejaksaan Agung... 14

b. Susunan Kejaksaan ... 16

c. Wewenang Kejaksaan ... 16

d. Pengertian Penuntut Umum... 18

e. Wewenang Penuntut Umum... 18

f. Penghentian Penuntutan ... 19

2. Tinjauan tentang Peninjauan kembali ……....………. 20

a. Pengertian Peninjauan Kembali... 20

b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan Kembali... 21

c. Pihak yang dapat Mengajukan Peninjauan Kembali ... 22


(14)

commit to user

e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan kembali... 24

f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri... 26

g. Putusan Peninjauan Kembali... 27

h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya ... 29

Peninjauan Kembali 3. Tinjauan tentang Praperadilan ... 29

a. Pengertian Praperadilan... 29

b. Tujuan dan Fungsi Praperadilan... 31

c. Wewenang Praperadilan... 31

d. Pihak yang berhak mengajukan Permohonan Praperadilan ... 32

e. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan ... 33

f. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan... 34

g. Pemeriksaan Praperadilan Dinyatakan Gugur... 35

h. Upaya Banding, Kasasi, dan Pengajuan Kembali atas Putusan Praperadilan... 36

B. Kerangka Pemikiran ... 39

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Hasil Penelitian ... 42

B. Pembahasan ... 45

1. Argumentasi Jaksa Agung sebagai Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali ... 45

2. Putusan Mahkamah Agung Atas Pengajuan Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Yang Mengakibatkan Alasan Kewenangan Jaksa Dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Tidak Bisa Diterima ... 64


(15)

commit to user

A. Simpulan………….. ... 73

B. Saran………... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN

DAFTAR BAGAN


(16)

commit to user

Gambar 2 : Skema Upaya Hukum yang Dilakukan Jaksa... 60

DAFTAR LAMPIRAN


(17)

(18)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus-kasus yang terjadi dilingkup peradilan Indonesia saat ini banyak disoroti oleh masyarakat luas. Perkembangan zaman yang diimbangi dengan perkembangan teknologi dan intelektualitas manusia semakin membuat berbagai jenis kasus-kasus hukum yang terjadi sulit dipecahkan. Sebagaimana kasus yang menimpa dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi banyak menarik perhatian masyarakat luas. Isu penggembosan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun isu rekayasa kasus terhadap perkara tersebut menambah semakin rumitnya perkara tersebut.

Polemik yang terjadi di dunia peradilan Indonesia ini membuat ancaman bagi kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Tiga nama institusi penting di Indonesia yaitu Polri, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi jatuh kewibawaannya karena kasus tersebut. Dua nama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dituduh melakukan kejahatan dengan menyalahgunakan kewenangannya. “Polri kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus tersebut untuk menemukan bukti dugaan bahwa Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah melakukan kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya dalam menangani kasus korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Telekomunikasi (SKRT) di Departemen Kehutanan (Dephut)” (http://www.inilah.com /news/ read/ politik /2010/06/ 12 /595201 /icw-desak-ma-kabulkan- pk-skpp-chandra-bibit/ [ Senin, 13 Desember 2010 pukul 20.00 WIB).

Polri melakukan pemeriksaan terhadap Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah untuk mengembangkan kasus dan mencari bukti-bukti yang menguatkan dugaan melakukan kejahatan atas penyalahgunaan kewenangannya. Pada akhirnya, Polri pun menyusun berkas perkara atas kasus tersebut dan selanjutnya menyerahkan berkas perkara kepada Kejaksaan. Kejaksaan menerima berkas


(19)

commit to user

tersebut yang dinyatakan P-21 atau berkas pekara sudah lengkap atau sempurna untuk selanjutnya dilakukan penuntutan.

Banyaknya masyarakat yang mengikuti perkembangan kasus ini menyebabkan gejolak hukum yang meresahkan dan menganggu kelangsungan hukum di Indonesia. Masyarakat menduga bahwa seakan-akan kasus tersebut direkayasa untuk menjatuhkan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra. Isu adanya penggembosan KPK pun terus bergulir dan menyebabkan keresahan masyarakat akan kejadian tersebut. Hal itu juga akan mengganggu tugas-tugas KPK sebagai komisi yang mendapatkan mandat untuk memberantas korupsi yang terjadi di Negara Indonesia. Pada Akhirnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pidatonya menganggapi perkara yang meresahkan dan mengganggu kelangsungan hukum itu dengan mendesak Jaksa Agung agar menghentikan penuntutan terhadap kasus tersebut. Pada saat itu, Jaksa Agung yang dijabat oleh Hendarman Supandji menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus

tersebut padahal Jaksa Agung mempunyai alternatif lain yaitu deponering.

Jaksa Agung memilih mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) sesuai dengan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan yang mendasari dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) bahwa perkara tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan karena tidak cukup bukti. “SKPP Kejagung dalam perkara Bibit-Chandra memang unik karena memuat dua pertimbangan yang kontradiktif. Pertama, telah cukup bukti dalam perkara Bibit-Chandra. Kedua, pertimbangan sosiologis yang intinya tidak

diperlukan melanjutkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan”

(http://news.okezone.com/read /2010/04/29 /58/327523 /skpp-bibit-chandra-dan-putusan- praperadilan [ Senin, 13 Desember 2010 pukul 20.15 WIB]).


(20)

commit to user

Selain itu, Jaksa Agung mempunyai alasan sosiologis yakni:

1. Adanya suasana kebainan yang berkembang saat ini membuat prkara

tersebut tidak layak untuk diajukan ke pengadilan, kareana lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya;

2. Untuk menjaga keterpaduan /keharmonisasi lembaga penegak hukum

(Kejaksaan, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam menjalankan tugasnya untuk pemberantasan korupsi, sebagai alasan doktrinal yang dinamis dalam hukum pidana;

3. Masyarakat memandang perbuatan yang dilakukan oleh tersangka tidak

layak untuk dipertanggungjawabkan kepada trsangka karena perbuatan tersebut adalah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang di dalam pemberantasan korupsi yang memerlukan terobosan-terobosan hukum. Berawal dari alasan sosiologis yang dinyatakan dalam oleh Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung tersebut munculah banyak reaksi dari berbagai pihak. Dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung dengan menggunakan dasar alasan sosiologis tentu saja tidak sesuai dengan dasar alasan penghentian penuntutan.

Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dinilai mempunyai kejanggalan maupun kelemahan yang mengakibatkan cacat hukum dan layak untuk dibatalkan. Pencantuman alasan sosiologi dalam Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dianggap tidak tepat dan lebih tepat digunakan

dasar untuk deponering. Jaksa Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan (SKPP) karena desakkan masyarakat dan situasi hukum yang sedang memanas karena kejadian tersebut.

Pada dasarnya Jaksa Agung dianggap telah menyimpangi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini didasarkan karena berkas perkara yang sudah diterima oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah sempurna atau dinyatakan P-21. Akan tetapi, Jaksa Agung menganggap perkara tersebut dianggap tidak memiliki bukti cukup kuat untuk dilakukan penuntutan.


(21)

commit to user

Penggunaan alasan sosiologis yang dinyatakan Jaksa Agung dalam Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) juga tidak sesuai dengan KUHAP.

Berdasarkan alasan sosiologis tersebut, muncul masalah baru yakni ada pihak ketiga yang berkepentingan yaitu Anggodo Widjoyo yang memperkarakan kembali Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang meminta agar SKPP tersebut dibatalkan karena cacat hukum. Kemudian Anggodo Widjoyo mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPP yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjoyo. Jaksa selaku penuntut umum tidak terima atas putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karena itu, jaksa selaku penuntut umum permohonan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permasalahan kembali terjadi pada saat Kejaksaan Agung melakukan peninjauan kembali atas putusan tersebut kepada Mahkamah Agung. Padahal putusan tersebut adalah putusan praperadilan dan pengajuannya peninjauan kembali atas praperadilan tidak diatur dalam KUHAP.

KUHAP juga tidak mengatur secara ekplisit tentang pengaturan peninjauan kembali yang diajukan jaksa. Peninjauan Kembali diatur dalam Bab XVIII Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Adapun yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah terpidana atau ahli warisnya (Pasal 263 ayat (1) KUHAP). Permintaan peninjauan kembali diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama (Moch. Fisal Salam,2001:363).

Kejadian-kejadian dari kasus tersebut menjadi polemik hukum baru yang menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Masalah peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra tersebut oleh penulis akan dikaji dalam penulisan hukum ini. Masalah ini penting untuk dikaji karena untuk mencari solusi ataupun fakta-fakta hukum dalam menyelesaikan


(22)

kasus-commit to user

kasus yang serupa yang mungkin akan terulang kembali. Selain itu, untuk menjamin kepastian dan kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila kejadian seperti halnya perkara di atas tidak dikaji, dikhawatirkan masalah serupa dengan di atas akan muncul kembali dan akan mengancam kepastian hukum dan kelangsungan hukum yang berlaku di Indonesia.

Penulis tertarik mengkaji masalah ini sebagai pokok permasalahan penulisan dikarenakan penulis menganggap kejadian tersebut merupakan polemik hukum

nasional yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dan mengancam

kelangsungan hukum Indonesia. Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa atas putusan praperadilan SKPP kasus Bibit dan Chandra, sangat menarik untuk dikaji. Apalagi dalam masalah tersebut, jaksa menggunakan upaya hukum peninjauan kembali atas putusan praperadilan. Kejadian putusan praperadilan dilakukan peninjauan kembali sangatlah jarang dilakukan oleh jaksa. Selain itu, sering terjadi peristiwa hukum yang mengakibatkan kebingungan masyarakat akan kepastian hukum yang berlaku di Indonesia. Terkadang aparat penengak hukum ingin menciptakan terobosan-terobosan hukum baru dengan penafsiran tertentu yang justru akan menciptakan masalah baru dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Bertitik tolak dari hal tersebut, penulis perlu mengkaji peristiwa hukum seperti halnya peninjauan kembali atas putusan praperadilan yang diajukan jaksa dalam suatu penulisan hukum.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, Penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai perkara tersebut. Penulis kemudian mengangkat

permasalahan tersebut dalam penulisan hukum ini yang berjudul : “ TINJAUAN

ARGUMENTASI LEGALITAS DAN KEWENANGAN JAKSA AGUNG DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI BERKAIT PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BIBIT DAN CHANDRA ”.

B. Rumusan Masalah

Suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah. Perumusan masalah dimaksudkan supaya penelitian lebih fokus dan terarah sesuai dengan tujuan yang


(23)

commit to user

dilakukan oleh penelitian hukum tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana argumentasi legalitas dan kewenangan Jaksa Agung dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan Bibit dan Chandra?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian digunakan untuk memberikan arahan yang tepat dalam penelitian supaya berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Tujuan dari penelitian ini sebagaimana berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui legalitas suatu pengajuan peninjauan kembali dalam

suatu putusan praperadilan dalam hal ini berkaitan dengan putusan praperadilan Bibit dan Chandra yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

b. Untuk mengetahui kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan

kembali dalam pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperoleh bahan hukum dan informasi sebagai bahan utama

dalam penyususan penulisan hukum (Skripsi) guna memenuhi persyaratan akademis bagi peneliti dalam meraih gelar Sarjana Hukum dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan dan

pengalaman serta pemahaman aspek Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktiknya, khususnya yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa.

c. Untuk lebih mendalami teori dan ilmu pengetahuan tentang hukum yang

diperoleh selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(24)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan bagi pembaca pada umumnya dan pada penulis pada khususnya. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian dibedakan menjadi dua antara lain manfaat teoritis dan manfaat praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teori

a. Hasil penelitian hukum ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan

ilmu hukum pada umumnya dan pada Hukum Acara Pidana pada khususnya, serta yang berkaitan dengan pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa dalam putusan praperadilan.

b. Menambah literatur, referensi, dan bahan-bahan informasi ilmiah serta

pengetahuan di bidang hukum yang telah ada sebelumya, khususnya untuk memberikan penjelasan mengenai kewenangan jaksa dalam mengajuan peninjauan kembali terutama yang berkaitan dengan putusan praperadilan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat membantu dan memberikan

masukan serta sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait dalam masalah yang diteliti dan berguna dalam penyelesaiannya.

b. Memberikan jawaban atas masalah yang menjadi pokok bahasan dalam

penelitian hukum ini.

c. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, dan untuk

mengetahui kemampuan penelitian dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang akan digunakan peneliti untuk mencapai tingkat ketelitian yang dihadapi. Penelitian hukum merupakan suatu rangkaian proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum


(25)

commit to user

maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi. Dalam penelitian hukum ini digunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan penelitian judul dan rumusan masalah, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif atau doktrinal dengan pendekatan kualitatif. Penelitian normatif dapat diartikan sebagai penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji dan ditarik suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti. Kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti untuk kemudian menyusun kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif. Sebagai konsekuensi dari pemilihan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yang obyeknya adalah permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni tipe penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif untuk dibandingkan dengan pelaksanannya di lapangan.

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas keadilan, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010:22).

Penelitian hukum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan atas kasus yang terjadi yaitu mengenai legatitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali dikaitkan dengan kasus yang sedang menimpa Bibit dan Chandra atas putusan praperadilan SKPP mereka.


(26)

commit to user

Kemudian hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memberikan preskriptif atas apa yang seharusnya dilakukan atas kasus hukum tersebut.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya. Pendekatan-pendekatan yang

digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komperatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2010:93).

Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan penelitian yang dihadapi, yaitu dan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach).Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dengan regulasi yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini menggunakan KUHAP untuk mengkaji mengenai legalitas dan kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan.

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Peter Mahmud Marzuki, 2010:93-94).

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis dan sunber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum


(27)

commit to user

sekunder. Sumber bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Sumber bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan - bahan hukum yang mengikat yang

terdiri dari :

1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;

3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia;

4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan

Kehakiman;

5) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 1985 tentang

Penghentian Praperadilan;

6) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2005 mengenai

Penjelasan tentang Ketentuan Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;

7) Putusan Mahkamah Agung Nomor 152 PK/Pid/2010.

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2010:141).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berdasakan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka untuk memperolah bahan hukum yang mendukung kegiatan penulisan hukum


(28)

commit to user

ini, maka pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan cara studi kepustakaan baik dari media cetak maupun elektronik.

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan adalah penalaran hukum. Metode penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap bahan-bahan hukum yang dianalisis menggunakan penalaran deduksi dan induksi. Analisis bahan hukum adalah tahapan yang dilakukan peneliti dalam mengklasifikasi, menguraikan bahan hukum yang diperoleh kemudian melalui proses pengolahan nantinya bahan hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Metode deduksi digunakan penulis untuk menganalisis bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini. Metode deduksi adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis minor, kemudian dari kedua premis tersebut ditarik

suatu kesimpulan atau conclusion. Dalam penelitian ini metode deduksi yang

dilakukan adalah diawali penelitian dengan mengajukan hal yang bersifat umum dalam undang-undang dan diakhiri khusus dalam kasus serta dengan kesimpulan sebagai temuan atas isu hukum (Peter Mahmud Marzuki,2010:47).

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri atas 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi.


(29)

commit to user

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan yang pertama tentang kerangka teori yang berisi tinjauan kepustakaan yang menjadi

literatur pendukung dalam pembahasan masalah

penulisan hukum ini. Kemudian yang kedua adalah kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk narasi maupun gambar. Kerangka teori yang berisi tinjauan kepustakaan yang akan dibahas dalam penulisan ini

meliputi : tinjauan umum mengenai Kejaksaan Agung,

diantaranya yaitu : pengertian Kejaksaan Agung, susunan kejaksaan, wewenang kejaksaan, pengertian Penuntut Umum, wewenang Penuntut Umum, dan penghentian

penuntutan; tinjauan umum tentang Peninjauan

Kembali, diantaranya yaitu : pengertian peninjauan kembali, putusan yang dapat diajukan peninjauan kembali, pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, alasan peninjauan kembali, cara mengajukan peninjauan kembali, putusan peninjauan kembali, dan

asas yang ditentukan dalam peninjauan kembali; tinjauan

umum tentang Praperadilan, diantaranya yaitu:

pengertian praperadilan, tujuan dan fungsi praperadilan, wewenang praperadilan, pihak yang berhak mengajukan

permohonan praperadilan, tata cara pengajuan

praperadilan, bentuk dan isi praperadilan, pemeriksaan praperadilan, dan upaya banding,kasasi dan peninjauan kembali atas putusan praperadilan. Selanjutnya, bagian kedua adalah kerangka pikir yang disajikan dalam bentuk narasi maupun bagan.


(30)

commit to user

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBASAHAN

Pada bab ini, penulis akan menguraikan dan menyajikan mengenai hasil penelitian tentang argumentasi legalitas jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan praperadilan kasus Bibit dan Chandra. Selain itu, Bab ini juga akan membahas mengenai kewenangan jaksa dalam mengajukan peninjauan kembali berkait putusan praperadilan Bibit dan Chandra. Diuraikan pula mengenai pembahasan yang dilakukan terhadap teori yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan kajian pustaka, rumusan masalah dan tujuan penelitian.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini diuraikan tentang pokok-pokok yang menjadi kesimpulan dan saran dari penelitian ini, yang tentu saja berpedoman pada hasil penelitian dan pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(31)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Kejaksaan Agung

a. Pengertian Kejaksaan Agung

Kejaksaan Agung adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan yang semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).

Kejaksaan menjalankan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. Undang-Undang Nomor 16 Tahun


(32)

commit to user

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan sehingga

lembaga kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis),

karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan

satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain

berperan dalam perkara pidana, kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili pemerintah dalam perkara perdata dan tata usaha negara sebagai jaksa pengacara negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan undang-undang (http://kejaksaan.go.id/tentang _kejaksaan.php?id=1) >[29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dimaksud dengan:

1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Sebenarnya cukup dirumuskan dalam satu pasal dengan menggabungkan rumusan-rumusan tadi sehingga berbunyi : Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagi penuntut umum


(33)

commit to user

serta melaksanakan ”penetapan” dan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap,2009:354).

b. Susunan Kejaksaan

Susunan kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri. Susunan organisasi dan tata kerja kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung. Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan Negeri dapat dibentuk cabang Kejaksaan Negeri. Cabang Kejaksaan Negeri dibentuk

dengan Keputusan Jaksa Agung (http://kejaksaan.go.id/tentang_

kejaksaan. php?id=7> [29 Oktober 2010 pukul 10.00 WIB]).

Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan. Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.

c. Wewenang Kejaksaan

Kejaksaan mempunyai wewenang meliputi bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha negara, dan bidang ketertiban umum. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

1) melakukan penuntutan;

2) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

3) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan


(34)

commit to user

5) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan;

6) pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

1) peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

2) pengamanan kebijakan penegakan hukum;

3) pengawasan peredaran barang cetakan;

4) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

5) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

6) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

1) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan

keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

2) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undang-undang;


(35)

commit to user

4) mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah

Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

5) dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah

Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

6) mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

d. Pengertian Penuntut Umum

Pengaturan penuntut umum dan penuntutan diatur secara terpisah dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga, yang terdiri dari tiga Pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Penuntutan diatur dalam Bab XV, dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 144. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Pengertian penuntut umum tersebut tertuang dalam Pasal 1 butir 6 dan Pasal 13 KUHAP.

Ketentuan ini juga dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 menyebutkan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (2) menyebutkan penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

e. Wewenang Penuntut Umum

Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 14 KUHAP yaitu sebagai berikut:

1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik


(36)

commit to user

2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dan memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

4) membuat surat dakwaan;

5) melimpahkan perkara ke pengadilan;

6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

7) melakukan penuntutan;

8) menutup perkara demi kepentingan hukum;

9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dang tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

10)melaksanakan penetapan hakim.

Penuntut umum juga mempunyai wewenang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 137 KUHAP. Di mana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa penuntut umum berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

f. Penghentian Penuntutan

Penuntut umum menerima atau menerima kembali berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap atau sudah dilengkapi oleh penyidik


(37)

commit to user

persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP).

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak semua berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap adalah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Misalnya, berkas perkara yang hasilnya sudah lengkap tetapi tersangkanya sudah meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) atau hak menuntut telah gugur karena kadaluarsa berdasarkan Pasal 78 KUHP atau karena tersangkanya tidak dapat dituntut atau diadili untuk kedua

kalinya berdasar asas ne bis idem (Pasal 76 KUHP). Perihal yang demikian

maka perkaranya tidak perlu dilimpahkan ke pengadilan. Penuntut umum akan memutuskan penghentian penuntutan dengan cara perkara tersebut ditutup demi hukum dan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP model P-26) sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2). Di samping itu, penuntut umum dapat menghentikan penuntutan berdasarkan alasan karena tidak cukup bukti atau perkara tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana.

2. Tinjauan Umum tentang Peninjauan Kembali

a. Pengertian Peninjauan kembali

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa untuk melawan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap (in krach van guwijsde). Peninjauan kembali diatur dalam Bab XVIII

KUHAP mengenai upaya hukum luar biasa Bagian Kedua mengenai peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sebagaimana dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.


(38)

commit to user

Rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut mempunyai landasan mengenai asas pokok peninjauan kembali yang mana kesatuannya tidak bisa dipisahkan :

1) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan

pemidanaan saja;

2) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya terhadap putusan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

3) permintaan peninjauan kembali dapat diajukan hanya oleh terpidana

atau ahlinya saja.

b. Putusan Pengadilan yang dapat Dimintakan Pengajuan Peninjauan

Kembali

Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa :

1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Terhadap putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap (in krach van guwijsde) peninjauan kembali dapat

dimintakan kepada Mahkamah Agung. Apabila belum mempunyai kekuatan hukum tetap maka peninjauan kembali tidak dapat diajukan kepada Mahkamah Agung.

2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan.

Upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dimintakan terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya pengajuan peninjauan kembali dapat diajukan terhadap semua putusan instansi putusan pengadilan. Hal tersebut maksudnya yaitu dapat diajukan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, asalkan putusan pengadilan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.


(39)

commit to user

3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.

Pengecualian itu dijelaskan sendiri dalam Pasal 263 ayat (1)

KUHAP yakni terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas

dari segala tuntutan hukum (onslag rechts vervolging). Kedua jenis

putusan tersebut tidak dapat dimintakan peninjauan kembali, hal ini dimaksudkan sebagai upaya memberikan kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya.

c. Pihak yang dapat Mengajukan Permintaan Peninjauan Kembali

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa yang berhak mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Oleh karena itu, sekalipun ada pihak yang merasa dirugikan dalam putusuan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dibenarkan untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

Sudah dijelaskan, baik terpidana maupun ahli waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah terpidana masih hidup atau tidak. Akan tetapi, jika yang mengajukan pemintaan peninjauan kembali itu terpidana kemudian sebelum peninjauan kembali itu diputus oleh Mahkamah Agung terpidana meninggal dunia, maka dalam Pasal 268 ayat (2) KUHAP telah mengatur bahwa hak untuk meneruskan permintaan peninjauan kembali diteruskan oleh ahli warisnya. Dalam peristiwa yang seperti inilah kedudukan ahli waris menduduki “hak substitusi” dari terpidana (M. Yahya Harahap,2006:617).

d. Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali

1) Apabila terdapat keadaan baru

Landasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali adalah


(40)

commit to user

landasan untuk mendasari permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas menimbulkan dugaan kuat :

a) jika keadaan baru itu ditemukan atau diketahui dan

dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi faktor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum;

b) jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung,

dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima;

c) dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan

dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

Agar permintaan peninjauan kembali diterima dan dibenarkan Mahkamah Agung, maka keadaan baru tersebut harus memenuhi 4 (empat) syarat alternatif, yaitu (Adami Chazawi,2010:68):

a) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan pembebasan;

b) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan lepas dari segala

tuntutan hukum;

c) syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan tuntutan penuntut

umum tidak dapat diterima, dan

d) syarat-syarat untuk dapat diterapkannya ketentuan pidana yang

lebih ringan.

2) Apabila dalam pelbagai putusan saling ada pertentangan

Alasan ini digunakan sebagai dasar permintaan peninjauan kembali yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat :


(41)

commit to user

b) kemudian tentang pernyataan terbuktinya hal atau keadaan itu

dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara;

c) akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang

dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya.

3) Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan

Alasan ini dijadikan dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali, apabila putusan terdapat dengan jelas atau pun terlihat dengan nyata yakni : kekhilafan hakim, atau kekeliruan hakim.

Hakim sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan dan kekeliruan bisa terjadi dalam semua tingkat pengadilan. Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding, dan kekhilafan tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan dari tingkat banding maupun kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah.

e. Tata Cara Mengajukan Peninjauan Kembali

Berdasarkan Ilmu Hukum Acara Pidana maka pengajuan peninjauan kembali harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagaimana ditentukan KUHAP. Kedua syarat ini memerlukan pemahaman yang saksama.

Syarat formil bagi pengajuan peninjauan kembali adalah:

1) adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap;

2) putusan pengadilan tersebut memuat pemidanaan, artinya bukan


(42)

commit to user

3) diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya;

4) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara

tersebut dalam tingkat pertama (Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 264 ayat (1) KUHAP);

5) terpidana atau ahli warisnya, belum pernah mengajukan peninjauan

kembali (Pasal 268 ayat (3) KUHAP).

Syarat-syarat materiil pengajuan peninjauan kembali yang merupakan dasar atau alasan pengajuan peninjauan kembali yang ditentukan undang-undang sebagai berikut:

1) adanya novum yakni bukti atau keadaan baru yang belum pernah

diajukan dalam pemeriksaan perkara;

2) adanya 2 (dua) atau lebih putusan pengadilan yang saling

bertentangan;

3) adanya kekeliruan/kekhilafan hakim secara nyata (Pasal 263 ayat (2)

KUHAP) (Leden Marpaung,2000:74 ).

Tata cara pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 264 KUHAP. Tata cara pengajuan kembali jauh lebih sederhana dibandingkan dengan tata cara mengajukan permohonan kasasi. Adapun tata cara pengajuan permohonan pengajuan peninjauan kembali sebagai berikut :

1) Permintaan diajukan kepada panitera

Pemohon mengajukan permintan peninjauan kembali pada panitera pengadilan negeri yang memutus perkara itu dalam tingkat pertama yang selanjutnya akan diteruskan ke Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan kembali pada prinsipnya yaitu sebagai berikut :

a) diajukan secara tertulis;

b) serta menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang mendasari


(43)

commit to user

c) boleh juga diajukan secara lisan, maksudnya adalah apabila

pemohon tidak memahami hukum maka permintaan peninjauan kembali yang secara lisan tadi akan dituangkan dan dirumuskan panitera dalam bentuk surat permintaan peninjauan kembali.

2) Panitera membuat akta permintan peninjauan kembali

Panitera Pengadilan Negeri yang menerima permohonan

permintanan peninjauan kembali mencatat dalam sebuah surat keterangan yang lazim juga disebut “akta permintaan peninjauan kembali”. Akta atau surat keterangan ditandatangani oleh panitera dan pemohon, kemudian akta tersebut dilampirkan dalam berkas perkara.

3) Tenggang waktu mengajukan permintaan peninjauan kembali

Pasal 264 ayat (3) KUHAP telah mengatur mengenai tenggang waktu dalam pengajuan peninjauan kembali. Ketentuan ini menetapkan bahwa permintaan peninjauan kembali “tanpa batas waktu”. Tidak ada batas tenggang waktu untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali.

f. Pemeriksaan Permintaan di Sidang Pengadilan Negeri

1) Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa

Ketua pengadilan mengeluarkan penetapan penunjukan hakim yang bertindak melakukan pemeriksaan. Hakim yang ditunjuk untuk memimpin sidang pemeriksaan permintaan peninjauan kembali adalah hakim yang tidak terlibat dalam pemeriksaan semula.

2) Obyek pemeriksaan sidang

Pasal 265 ayat (1) KUHAP, pemeriksan sidang difokuskan kepada alasan permintaan peninjauan kembali. Alasan yang menjadi dasar permintaan peninjauan kembali itulah hakim mengarahkan pemeriksaan sidang, tidak diperkenankan memeriksan hal-hal yang berada di luar alasan permintaan peninjauan kembali.


(44)

commit to user

3) Sifat pemeriksaan persidangan resmi dan terbuka untuk umum

Ketentuan Pasal 265 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan pemeriksaan sidang tentang permintaan peninjauan kembali, dihadiri oleh pemohon, jaksa penuntut umum, dan mereka yang menyampaikan pendapat.

4) Berita acara pemeriksaan

Pemeriksan sidang permintaan peninjauan kembali dibuat dalam “berita acara” sidang yang mana ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, dan panitera.

5) Berita acara pendapat

Berita acara pendapat merupakan pendapat dan kesimpulan yang berisi penjelasan dan saran Pengadilan Negeri yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan.

6) Pengadilan negeri melanjutkan permintaan peninjauan kembali kepada

Mahkamah Agung

Hal-hal yang harus dikirimkan Ketua Pengadilan Negeri kepada Mahkamah Agung adalah :

a) surat permintaan peninjauan kembali;

b) berkas perkara semua selengkapnya, termasuk berita acara

pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang, segala surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta segala putusan yang berhubungan dengan perkara tersebut;

c) berita acara pendapat.

g. Putusan Peninjauan Kembali


(45)

commit to user

Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang menyatakan permintaan peninjauan kembali “tidak dapat diterima”. Putusan ini dijatuhkan berdasarkan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut :

a) permintaan diajukan oleh pihak yang tidak berhak;

b) surat permintaan memenuhi ketentuan Pasal 266 ayat (1)

KUHAP.

2) Putusan menolak permintaan peninjauan kembali

Putusan penolakan permintaan dapat dijatuhkan Mahkamah Agung dalam hal :

a) alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan

kembali secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, maksudnya alasan itu tidak menyimpang dari ketentuan pasal tersebut sehingga ditinjau dari segi formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 263 ayat (2);

b) secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau

novum”;

c) tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai

keputusan;

d) putusan tidak mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim.

3) Putusan yang membenarkan alasan pemohon

Menurut ketentuan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan permintaan peninjauan kembali putusan Mahkamah Agung yang mengiringi pembenaran terebut:

a) putusan bebas;

b) putusan lepas dari segala tuntutan hukum;


(46)

commit to user

d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih

ringan.

h. Asas yang Ditentukan dalam Upaya Peninjauan Kembali

1) Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula.

Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP, yang menegaskan pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Akan tetapi, Mahkamah Agung diperbolehkan memberikan hukuman lebih ringan daripada hukuman semula.

2) Permintaan peninjauan kembali tidak menangguhkan pelaksanaan

putusan.

Peninjauan kembali tidak merupakan alasan untuk menghambat atau menghapus pelaksanaan putusan. Proses permintaan peninjuan kembali berjalan terus namun pelaksanaan putusan juga berjalan terus.

3) Permintaan peninjuan kembali hanya dapat dilakukan satu kali.

Pasal 268 ayat (3) KUHAP membenarkan atau memperkenankan permintaan peninjauan kembali atas suatu perkara hanya satu kali saja. Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi dan kasasi untuk kepentingan umum.

3. Tinjauan Umum tentang Praperadilan

a. Pengertian Praperadilan

Praperadilan adalah lembaga yang lahir bersamaan dengan lahirnya KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Praperadilan bukan lembaga peradilan yang mandiri terlepas dari Pengadilan Negeri karena dari perumusan Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP dapat diketahui bahwa praperadilan hanyalah wewenang tambahan yang diberikan kepada


(47)

commit to user

melakukan pemeriksaan pendahuluan. Di Belanda ada yang dikenal

dengan istilah Rechter Commissaris atau dikenal dengan Hakim Komisaris

dan di Prancis dikenal dengan istilah Judge d’ insruction yang mana

lembaga-lembaga tersebut benar-benar dapat disebut praperadilan karena selain menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara (Andi Hamzah,2002:183-184).

Selain itu Sudaryono mengatakan bahwa di Amerika Serikat,

lembaga tersebut adalah Habeas Corpus (Amerika Serikat). Gregory

Churchil menjelaskan bahwa Habeas Corpus merupakan upaya hukum

yang menentang dilangsungkannya penahanan seseorang. Habeas Corpus

berfungsi sebagai pengawasan oleh pengadilan terhadap tindakan resmi yang membatasi atau mempengaruhi kemerdekaan pribadi orang. Fungsi

Habeas Corpus di Amerika Serikat adalah sama dengan fungsi

praperadilan di Indonesia (Sudaryono,2001:208).

Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP, tentang (Pasal 1 butir 10 KUHAP) :

1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa hukum tersangka;

2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3) permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Praperadilan merupakan wewenang tambahan dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus permasalahan atau perkara yang terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan oleh


(48)

commit to user

penyidik dan penuntut umum sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP.

b. Tujuan dan Fungsi Praperadilan

Praperadilan mempunyai tujuan dan maksud untuk menegakkan hukum dan perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Undang-undang memberikan kewenangan terhadap para penyidik atau penuntut umum untuk melakukan suatu upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik maupun penuntut umum merupakan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan dan hukum yang berlaku. Praperadilan yang sebagaimana telah diatur dalam KUHAP merupakan wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk

melakukan pemeriksaan perkara-perkara yang berkaitan dengan

penggunaan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.

Lembaga praperadilan juga berfungsi sebagai alat kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum apabila terjadi penyalahgunaan wewenang yang telah diberikan kepada aparat penegak hukum. Maksud dari alat kontrol adalah bahwa setiap tindakan dari penyidik dan jaksa harus berdasar pada aturan yang berlaku dan sesuai dengan KUHAP.

Hal ini dapat memberikan sebuah kesimpulan bahwa praperadilan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horisontal. Sarana pengawasan horisontal maksudnya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa (Dian Ekawaty Ismail dan Yowan Tamu,2009:87).


(49)

commit to user

c. Wewenang Praperadilan

KUHAP telah mengatur mengenai wewenang praperadilan dimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP, selain itu ada lagi kewenangan lain yakni memeriksa dan memutus tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 92 dan Pasal 95 KUHAP. Undang-undang memberikan wewenang terhadap praperadilan yakni sebagai berikut :

1) memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa;

2) memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan (Pasal 77 huruf a KUHAP);

3) berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi (Pasal 95 KUHAP);

4) memeriksa permintaan rehabilitasi (Pasal 97 KUHAP);

5) praperadilan terhadap sah tidaknya tindakan pemasukan rumah,

penggeledahan, dan/atau penyitaan.

d. Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Praperadilan

1) Tersangka, keluarga, dan kuasanya

Permohonan pemeriksaan praperadilan tentang sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga, dan kuasa hukumnya. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 79 KUHAP sedangkan untuk sah atau tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang diatur dalam Pasal 79 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 83 ayat (3) KUHAP.

2) Tersangka, ahli warisnya, atau kuasanya

Permohonan pemeriksaan praperadilan yang diajukan oleh tersangka, ahli warisnya atau kuasanya sesuai dengan Pasal 77, 79, 82 ayat (4) jo 95 ayat (2) KUHAP mengenai tuntutan ganti kerugian atas penangkapan dan atau penahanan, penggeledahan dan penyitaan tanpa


(50)

commit to user

alasan sah, dan karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

3) Penyidik, penuntut umum, pihak ketiga yang berkepentingan

Penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan permohonan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penyidikan penuntutan penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 80 KUHAP. Dalam KUHAP tidak dijelaskan mengenai pihak ketiga yang berkepentingan sehingga dapat diartikan sebagai orang atau pihak yang mempunyai kepentingan dan atau ada kaitannya langsung dengan perkara praperadilan yang bersangkutan yaitu saksi korban atau saksi yang menjadi korban tindak pidana, pelapor atau pengadu mengenai terjadinya peristiwa tindak pidana.

4) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan

Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugaian kepada praperadilan atas sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan yang mana ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 81 KUHAP. Pengertian pihak ketiga dalam hal ini yaitu keluarga ataupun ahli warisnya.

e. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksan Praperadilan

Praperadilan merupakan wewenang tambahan dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus permasalahan atau perkara yang terjadi dalam penggunaan wewenang upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Pengajuan pemohonan pemeriksaan praperadilan melalui tahapan sebagai berikut :

1) permohonan ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri;

2) permohonan diregister dalam perkara praperadilan;


(51)

commit to user

4) pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal;

5) tata cara pemeriksaan praperadilan.

Pejabat yang diajukan praperadilan:

1) Penyidik, dengan alasan :

a) tidak sahnya penangkapan atau penahanan;

b) tidak sahnya penghentian penyidikan;

c) ada benda yang disita karena tidak termasuk alat pembuktian;

d) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap tidak sahnya penangkapan

dan penahanan;

e) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap sahnya penghentian

penyidikan.

2) Penuntut umum, dengan alasan :

a) tidak sahnya penahanan;

b) tidak sahnya penghentian penuntutan;

c) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap tidak sahnya penahanan;

d) ganti rugi dan rehabilitasi terhadap sahnya penghentian

penuntutan.

Meskipun hakim mempunyai wewenang melakukan penahanan tidak bisa diajukan praperadilan. Oleh karena itu, apabila ada permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang hakim, haruslah ditolak dengan surat biasa di luar sidang (SEMA 14/Tahun 1983) (Hari Sasangka dan Lilik Rosita,2003:104).

f. Bentuk dan Isi Putusan Praperadilan

Bentuk putusan praperadilan tidak diatur secara tegas dalam undang-undang. Bentuk putusan dari praperadilan berupa penetapan.


(52)

commit to user

Bentuk putusan praperadilan merupakan rangkaian berita acara dengan isi putusan itu sendiri.

Isi putusan praperadilan memuat pertimbangan secara jelas yang pada garis besarnya diatur dalam Pasal 82 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP dalam pertimbangan tersebut menjelaskan mengenai fakta-fakta yang terbukti dan dasar hukum yang melandasi amar putusan. Isi amar putusan adalah jawaban petitum yang berupa pernyataan:

1) sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan;

2) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan;

3) diterima atau ditolaknya permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi;

4) perintah pembebasan dari tahanan;

5) perintah untuk melanjutkan penyidikan atau penuntutan;

6) penentuan jumlah ganti kerugian;

7) berisi pernyataan pemulihan nama baik tersangka/ rehabilitasi;

8) memerintahkan segera mengembalikan sitaan.

g. Pemeriksaan Praperadilan Dinyatakan Gugur

Apabila pemeriksaan praperadilan belum selesai atau belum diputus, ternyata perkara pokok pemohon praperadilan menjadi tersangka atau terdakwa mulai diperiksa oleh pengadilan negeri yang berwenang maka permohonan pemeriksaan praperadilan dinyatakan gugur. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang berbunyi : “dalam hal sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai maka permintaan tersebut gugur “. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal tersebut, praperadilan dianggap gugur apa bila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan praperadilannya


(53)

commit to user

Sebagaimana telah diatur dalam Surat Edaran Mahkahmah Agung Nomor 5 tahun 1985 maka untuk menghindari keragu-raguan apakah cara praperadilan yang sedang berjalan dapat dihentikan sewaktu-waktu oleh Hakim, berhubung mengenai hal ini tidak ada pengaturannya dalam KUHAP, Mahkamah Agung memberikan petunjuk sebagai berikut:

1) acara praperadilan yang sedang berjalan dapat dihentikan oleh Hakim

atas dasar permintaan pihak yang semula mengajukan keberatan;

2) penghentian itu hendaknya dilakukan dengan sebuah penetapan.

h. Upaya Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali atas Putusan

Praperadilan

1) Upaya Banding

Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP pemeriksaan praperadilan dilakukan dengan cara pemeriksaan cepat. Berdasarkan Pasal 62 KUHAP terhadap putusan pengadilan dalam acara pemeriksaan cepat tidak dapat dimintakan banding, kecuali bagi terdakwa yang dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan (Pasal 205 ayat (3) KUHAP). Pasal 83 KUHAP pada dasarnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding, kecuali terhadap putusan praperadilan yang menetapkan mengenai tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntutan, yang dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP).

Putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan banding menurut Pasal 83 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut:

a) putusan yang menetapkan tentang sah atau tidaknya tindakan

penangkapan dan atau penahanan;

b) putusan yang menetapkan tentang sahnya penghentian


(1)

commit to user

untuk kepentingan korban dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa untuk memperoleh rasa keadilan.

Jaksa Penuntut Umum berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana setelah berkas perkaranya dilimpahkan dari kepolisian ke tingkat kejaksaan. Apabila berkas perkara dari kepolisian belum sempurna maka kejaksaaan akan menyatakan P-19 atau berkas perkara yang dilimpahkan ke tingkat kejaksaan belum lengkap dan belum sempurna. Kemudian perkara tersebut akan dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi dan disempurnakan terlebih dahulu. Setelah berkas dilengkapi dan disempurnakan oleh kepolisian maka berkas tersebut akan dilimpahkan kembali ke tingkat kejaksaan.

Berkas perkara yang telah dinyatakan P-21 atau sempurna akan diperiksa oleh kejaksaan apakah layak untuk dilakukan penuntutan. Apabila berkas perkara yang telah dilimpahkan dari kepolisian ke tingkat kejaksaan tidak cukup bukti atau ternyata bukan merupakan tindak pidana maka Jaksa Penuntut Umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan atau perkara ditutup demi hukum. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, Jaksa Penuntut Umum dapat melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 140 KUHAP. .

Wewenang Jaksa Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 huruf i KUHAP yaitu ” mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini”, secara eksplisit telah memberikan kewenangan terhadap jaksa untuk melakukan suatu wewenang lain yaitu dengan melakukan suatu perbuatan ataupun tindakan lainnya sesuai dengan undang-undang.

Pasal 14 huruf i KUHAP menyebutkan bahwa ”mengadakan tindakan lain”, tindakan lain tersebut tidak lain adalah pemberian wewenang terhadap Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan wewenang lainnya. Tindakan lainnya dipresentasikan sebagai wewenang lainnya yang diberikan kepada jaksa penuntut umum. Jaksa menilai bahwa hal tersebut dapat diartikan sebagai wewenang untuk


(2)

commit to user

mengajukan upaya hukum peninjauan kembali walaupun dalam KUHAP tidak diatur secara tegas mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh Jaksa. Pada pembahasan pertama sudah diterangkan, walaupun KUHAP tidak mengatur secara tegas mengenai peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa akan tetapi secara tersirat dalam Pasal 263 ayat (3) memperbolehkan jaksa untuk melakukan peninjauan kembali. Peninjauan kembali dapat dilakukan jaksa apabila perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti namun tidak disertai dengan pemidanaan. Dengan kata lain, jaksa diperbolehkan untuk melakukan wewenangnya demi menciptakan rasa keadilan dengan melakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perbuatan yang didakwakan dianggap terbukti namum tidak disertai dengan pemidanaan. Hal ini tentu saja akan mencoreng rasa keadilan bagi para pencari keadilan.

Kewenangan jaksa untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra merupakan suatu terobosan hukum yang membuat ketidakpastian hukum. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan yang pertama bahwa tidak legal jika suatu peninjauan kembali diajukan terhadap putusan praperadilan. Jaksa Penuntut Umum boleh saja tidak keberatan terhadap putusan banding yang diputus oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Selain itu, jaksa juga mempunyai alasan-alasan untuk dilakukannya upaya peninjauan kembali. Jaksa beralasan bahwa adanya keadaan baru atau novum, putusan yang bertentangan dan kekhilafan hakim. Akan tetapi, tidak hanya dengan alasan itu Jaksa Penuntut Umum dapat begitu saja melakukan wewenangnya untuk melakukan peninjauan kembali atas putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra. Hal ini dikarenakan sudah ada kententuan bahwa terhadap putus dan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum lain kecuali banding.

Hal tersebut diatur pada ketentuan yang dinyatakan dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP tidak semua putusan praperadilan yang menyangkut sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan banding dan hanya terbatas mengenai putusan yang berisi penetapan tentang tidak


(3)

commit to user

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Putusan Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan banding adalah merupakan putusan akhir bukan putusan tingkat terakhir. Sifat dari putusan akhir adalah putusan yang sudah final dan tidak lagi diajukan permintaan pemeriksaan yang lain. Hal tersebut mendasari bahwa peninjauan kembali tidak dapat dilakukan dalam putusan praperadilan. Selain itu, berdasarkan Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (MA) dan penjelasannya yakni SEMA No. 7 Tahun 2005 yang juga mengatur soal praperadilan.

Peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa atas putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra merupakan terobosan hukum yang akan membuat ketidakpastian hukum. Jaksa terlalu memaksakan wewenangnya untuk melakukan suatu upaya hukum demi mempertahankan keputusannya yaitu diterbitkannya SKPP Bibit dan Chandra tanggal 1 Desember 2009, dengan SKPP Nomor : Tap-01/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009 untuk tersangka Chandra Hamzah dan SKPP Nomor : Tap-02/0.1.14/Ft.1/12/2009 tanggal 01 Desember 2009 untuk tersangka Bibit Samad Riyanto oleh Jaksa Agung. Hal tersebut menjadi dasar bahwa peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra tidak dapat dilakukan. Secara implisit mengartikan bahwa jaksa tidak berhak atau tidak berwenang mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra. Hal tersebut dianggap kewenangan jaksa tidak sesuai dengan undang-undang dan peraturan hukum yang berlaku.

Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan peninjauan kembali yang diajukan Jaksa dalam putusan praperadilan kasus SKPP Bibit dan Chandra ditolak karena Mahkamah Agung tidak berwenang dalam memeriksa perkara tersebut. Argumentasi alasan Jaksa yang dimenjadi dasar dalam mengajukan peninjuan kembali ditolak karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mahkamah Agung menolak semua alasan yang digunakan Jaksa karena hakim Mahkamah Agung menilai putusan praperadilan tidak dapat dimintakan peninjauan kembali. Hal ini dikarenakan praperadilan masih belum menyentuh


(4)

commit to user

pokok perkara yang akan diperiksa. Praperadilan hanya memeriksa mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan, dan permintaaan ganti kerugian atau rehabilitasi. Hal tersebut sebagaimana telah diatur dalam Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Dalam putusan tersebut, secara tidak langsung menyatakan bahwa jaksa tidak berhak mengajukan peninjauan kembali atas putusan praeradilan kasus Bibit dan Chandra dan pengajuan peninjauan yang diajukan oleh jaksa tidak legal.


(5)

commit to user

73

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka Penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut:

Upaya peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra yang diajukan oleh jaksa merupakan suatu tindakan yang tidak legal. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum tidak berhak atau tidak berwenang melakukan upaya peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan SKPP Bibit dan Chandra. Hal ini dikarenakan jaksa dianggap melanggar Pasal 45 A ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2005 yang juga mengatur tentang praperadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan peninjauan kembali yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan peninjauan kembali yang diajukan jaksa atas putusan praperadilan kasus SKPP Bibit dan Chandra. Mahkamah Agung menolak argumentasi jaksa dalam alasan yang diajukan sebagai dasar pengajuan peninjauan kembali atas putusan praperadilan kasus SKPP Bibit dan Chandra.

B. Saran

1. Dilakukannya perubahan KUHAP dan harus dibuat aturan yang jelas dan tegas mengenai upaya hukum peninjauan kembali sehingga tidak timbul penafsiran yang dapat membuat kebingungan para penegak hukum dan pencari keadilan.

2. Jaksa Penuntut Umum harus melakukan suatu upaya hukum yang sesuai dengan undang-undang ataupun aturan hukum yang berlaku dan tidak


(6)

commit to user

membuat terobosan hukum yang akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

3. Jaksa harus menggunakan wewenangnya sesuai dengan undang-undang ataupun aturan hukum yang berlaku.

4. Hendaknya Jaksa Agung bersikap tegas dalam menutup perkara Bibit dan Chandra yang terindikasi rekayasa kasus oleh Anggodo widjoyo dengan mengeluarkan deponering dan bukan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).