Penyampingan Perkara Pidana (Deponering) Berdasarkan Azas Oportunitas Oleh Jaksa Agung RI

(1)

PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA (DEPONERING)

BERDASARKAN AZAS OPORTUNITAS OLEH JAKSA

AGUNG RI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

JONY H I NAIBAHO

040200106

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA (DEPONERING)

BERDASARKAN AZAS OPORTUNITAS OLEH JAKSA

AGUNG RI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh:

JONY H I NAIBAHO 040200106

HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

( Abul Khair, SH., M. Hum) NIP. 196107021989031001

Pembimbing I Pembimbing II

( Abul Khair, SH., M. Hum) (Rafiqoh Lubis, SH. M.Hum)


(3)

ABSTRAKSI

Jony H I Naibaho∗ Abul Khair, SH. M. Hum∗∗ Rafiqoh Lubis, SH. M. Hum***

“Penyampingan Perkara Pidana (Deponering) Berdasarkan Azas Oportunitas Oleh Jaksa Agung RI” adalah judul skripsi yang merupakan tugas akhir penulis sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Negara Indonesia adalah negara hukum dimana dalam sistem peradilan pidana dianut azas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung sebagai wewenangnya untuk menyampingkan suatu perkara. Hal tersebut diatur dalam ketentuan pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Agung RI, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dengan demikian Jaksa Agung diharapkan dapat mewujudkan suatu kebijakan dalam menentukan perkara mana yang patut maupun tidak patut untuk dikesampingkan demi kepentingan umum dan/atau masyarakat luas, sehingga keadilan dapat ditegakkan.

Skripsi ini berisi tentang bagaimana azas oportunitas sebagai dasar kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa agung untuk melakukan penyampingan perkara pidana dan sejauh mana penerapannya dalam sistem peradilan pidana bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan. ∗∗ Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Medan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, yang terus memberkati dan memberikan anugerahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi ini merupakan syarat bagi setiap mahasiswa untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara Medan. Sehubungan dengan syarat tersebut maka penulis telah memilih judul yang menjadi pembahasan penulis dalam penulisan skripsi ini yang berjudul PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA (DEPONERING) BERDASARKAN AZAS OPORTUNITAS OLEH JAKSA AGUNG RI.

Selesainya skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Keluarga saya yang tercinta, ayah, ibu, kakak serta adik-adik saya atas dukungan doa dan semangat yang telah diberikan selama ini, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

2. Bapak Abul Khair, SH. M. Hum dan Ibu Rafiqoh Lubis, SH. M. Hum selaku dosen pembimbing I dan II, yang sudah berkenan dengan sabar membimbing saya selama penulisan skripsi ini.

3. Teman-teman Angkatan 2004 FH USU, Dedi Nainggolan, Roy Nababan, Leo Bastanta, dll, yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

4. Seluruh Bung dan Sarinah di GMNI Komisariat Fakultas Hukum USU atas segala dorongan semangat yang telah diberikan selama ini.

5. Seluruh Pegawai di bagian Pendidikan FH. USU yang telah membantu dan mempermudah segala urusan-urusan akademik selama ini.

6. Dan seluruh pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tentunya mempunyai kekurangan dan kelemahan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan literatur yang dimiliki oleh penulis.Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang konstruktf bagi diri penulis demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang... 1

B.Permasalahan... 8

C.Tujuan dan Manfaat penulisan... 8

D.Keaslian Penulisan... 9

E.Tinjauan Pustaka... 10

1.Pengertian Dan Dasar Hukum Deponering... 10

2.Tujuan Deponering... 13

3.Perbedaan Deponering Dengan Penghentian Penuntutan... 14

F.Metode Penelitian... 18

G.Sistematika Penulisan... 20

BAB II ASAS OPORTUNITAS SEBAGAI DASAR KEWENANGAN JAKSA AGUNG YANG DAPAT MENJADI ALASAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN... 22

A. Asas Oportunitas... 22


(7)

2.Sejarah Singkat Asas Oportunitas di Belanda

dan Indonesia... 27 B. Tinjauan Umum Lembaga-lembaga Peniadaan

Penuntutan... 31

C. Susunan, Tugas Dan Wewenang

Kejaksaan... 34 D. Alasan Kepentingan Umum... 40

BAB III PENGGUNAAN ASAS OPORTUNITAS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BAGI PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA

DI INDONESIA... 44

A. Pertanggungjawaban dan Pengawasan

Penyampingan Perkara Pidana... 50 1. Pertanggungjawaban Penyampingan Perkara

Pidana... 52 2. Pengawasan Penyampingan Perkara... 56 B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam

Penyampingan Perkara Pidana... 65 1. Faktor Hukum... 65 2.Faktor Penegak Hukum... 67 C. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Dalam Rangka

Penyampingan Perkara Pidana... 71 1. Penataan Administrasi Teknis Yustisial... 71 2.Pembinaan Instistusi Dan Sumber Daya


(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 82

A. Kesimpulan………..………... 82

B. Saran………...………... 83


(9)

ABSTRAKSI

Jony H I Naibaho∗ Abul Khair, SH. M. Hum∗∗ Rafiqoh Lubis, SH. M. Hum***

“Penyampingan Perkara Pidana (Deponering) Berdasarkan Azas Oportunitas Oleh Jaksa Agung RI” adalah judul skripsi yang merupakan tugas akhir penulis sebagai syarat untuk mencapai gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Negara Indonesia adalah negara hukum dimana dalam sistem peradilan pidana dianut azas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung sebagai wewenangnya untuk menyampingkan suatu perkara. Hal tersebut diatur dalam ketentuan pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Agung RI, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dengan demikian Jaksa Agung diharapkan dapat mewujudkan suatu kebijakan dalam menentukan perkara mana yang patut maupun tidak patut untuk dikesampingkan demi kepentingan umum dan/atau masyarakat luas, sehingga keadilan dapat ditegakkan.

Skripsi ini berisi tentang bagaimana azas oportunitas sebagai dasar kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa agung untuk melakukan penyampingan perkara pidana dan sejauh mana penerapannya dalam sistem peradilan pidana bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan metode library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan. ∗∗ Staf Pengajar Fakultas Hukum USU Medan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Negara modern dimanapun di dunia menjunjung supremasi hukum. Masing-masing negara mempunyai sistem peradilan pidana yang khas karena memiliki latar belakang sejarah dan perkembangan masyarakat yang berbeda, tetapi dengan perkembangan dan kemajuan teknologi membuat batas-batas negara menjadi tanpa batas mengarah pada persamaan dan menghilangkan perbedaan.

Sistem hukum suatu negara akan terbentuk dari pertumbuhan tata nilai hukum yang berlaku dalam masyarakat dan organisasi alat perlengkapan negara penegak hukum negara itu sendiri. Pandangan sejarah, sosial ekonomi, filsafat, dan politik bangsa merupakan sumber yang menentukan terbentuknya pola sistem hukum.1

Selanjutnya dikatakan negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan hukum Ketentuan ini tercantum dalam penjelasan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)”. Hal tersebut sesuai dengan hakekat tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu seluruh aspek kehidupan baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan diatur dan ditata oleh hukum, sehingga persoalan atau konflik yang timbul dalam masyarakat diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku (rule of law).


(11)

Salah satu unsur utama dari suatu negara hukum adalah persamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) dan supremasi hukum (supremacy of law). Dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, bahwa ; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.2 Dengan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan, setiap warga negara yang terbukti melanggar hukum yang berlaku akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya. Bisa dikatakan, hukum tidak memandang siapa itu pejabat, rakyat sipil atau militer, jika melanggar hukum akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya.

Oleh sebab itu sudah sewajarnya jika setiap orang yang melakukan suatu perbuatan, baik perbuatan yang melanggar hukum atau bukan melanggar hukum akan memperoleh akibat dari perbuatannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Karni, bahwa kita semua yakin, hukum akan dijatuhkan jika kita melakukan kejahatan.3 Hukum yang dijatuhkan disini adalah hukum pidana tentunya. Hukum pidana itu merupakan : “Bagian dari hukum yang mengadakan dasar atau aturan-aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut: menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancam, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah

2

UUD 1945 pasal 27 ayat (1).

3 Karni, 1950, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Balai Buku Indonesia,


(12)

melanggar larangan tersebut”.4 Sedangkan perbuatan yang dikenai hukum pidana itu merupakan : “Perbuatan pidana yang pada pokoknya diatur dalam buku II KUHP dan aturan-aturan lain di luar KUHP yang dinyatakan di dalamnya sebagai kejahatan dengan mengingat adagium nullum delictum, noulla poena, sine previa

lege poenali yaitu, dikenal azas legalitas dalam hukum pidana materiil yang

berarti tidak seorangpun di pidana untuk perbuatan yang saat dilakukan tidak merupakan tindak pidana”.5

Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah suatu perbuatan yang sudah nyata-nyata merupakan perbuatan pidana tidak dikenai sanksi pidana? Diungkapkan oleh Projodikoro:6

“Praktek yang diturut penuntut umum di Indonesia sejak jaman Belanda adalah lain, yaitu menganut prinsip oportunitas yang menggantungkan hal akan dilakukan suatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan ditinjau satu persatu. Dalam praktek ada kalanya, sudah terang seseorang melakukan suatu kejahatan akan tetapi keadaan yang nyata adalah sedemikian rupa, sehingga kalau seseorang dituntut di muka hakim, kepentingan Negara akan sangat dirugikan”.

Seirama dengan itu praktek penyampingan terhadap perkara pidana di Indonesia saat ini dijelaskan oleh RM Surachman dan Andi Hamzah sebagai:7

“Wewenang tidak menuntut tersebut dibenarkan dalam hal penghentian penuntutan karena alasan teknis dan penghentian penuntutan karena alasan

4

Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 45.

5 Roeslan Saleh, ibid, hal. 17.

6 R. Wiryono Projodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung,

Bandung, hal. 21.


(13)

kebijakan sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP dan undang-undang. Pada perkembangan selanjutnya dengan alasan guna mencegah penyalahgunaan, penghentian penuntutan karena alasan kebijakan hanya Jaksa Agung yang berwenang. Oleh karena itu, jaksa yang ingin menggunakan wewenang tersebut harus memohon agar Jaksa Agung mengesampingkan perkaranya”.

Penggunaan kewenangan menyampingkan perkara pidana oleh jaksa tidak dapat dilepaskan dari kebebasan menjalankan tugasnya sehari-hari karena kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan salah satu unsur utama dari suatu negara hukum. Kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan menjalankan kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain, karena hakekat yang dicari dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah demi keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa bukan keadilan menurut kekuasaan yang lain. Menurut UUD 1945 pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”.8

Dalam sistem peradilan pidana, keterpaduan (integrated) dalam penegakan hukum dirasakan lebih efektif dan efisien dibanding penegakan hukum yang berjalan sendiri-sendiri (disintegrated), selanjutnya keterpaduan perlu diikuti oleh setiap penegak hukum untuk berusaha mengetahui dan mampu menangkap apa yang dirasakan adil oleh masyarakat. Setiap penegak hukum mempunyai budaya hukum masing-masing yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pada persepsi keadilan. Dengan sistem peradilan pidana yang integrated diharapkan persepsi


(14)

keadilan mendekati rasa keadilan yang ideal atau setidak-tidaknya menciptakan rasa aman dan ketertiban umum tercapai.

Sehubungan prosedur dan alat perlengkapan penegakan hukum di Indonesia dikenal adanya sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat komponen. Fungsi yang satu dengan yang lainnya saling terkait dengan satu tujuan dan kesamaan persepsi yang sama, yaitu usaha untuk menanggulangi kejahatan yang tak lain adalah melaksanakan hakekat tujuan sebuah negara yang berdasarkan hukum. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi penyidikan, penuntutan, peradilan dan fungsi pemasyarakatan.

Fungsi penuntutan sebagaimana diatur oleh undang-undang diserahkan pada Kejaksaan. Menurut KUHAP dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, kejaksaan mempunyai kewenangan selain melakukan penuntutan pidana dan kewenangan lain menurut undang-undang, di sisi lain terdapat juga wewenang untuk tidak melakukan penuntutan pidana berdasarkan azas oportunitas.

Dikaitkan dengan hukum pidana yang menganut azas legalitas dengan adanya wewenang jaksa menyampingkan perkara berdasarkan azas oportunitas merupakan hal menarik karena antara azas oportunitas dengan azas legalitas mengandung arti yang saling bertolak belakang.

Dalam hal penggunaan azas oportunitas saat ini tentu tidak terlepas dari kedudukan kejaksaan dari susunan dan hubungan ketatanegaraan, memberi kesan adanya ambiguitas maupun inkonsistensi karena berkaitan dengan ada tidaknya indenpensi lembaga kejaksaan khususnya menyangkut kemandirian jaksa sebagai penuntut umum menjalankan kewenangan kekuasaan kehakiman.


(15)

Peradilan yang bebas, murah dan cepat menjadi tujuan kebijakan yang diharapkan dalam sistem peradilan pidana khususnya menyangkut hukum acara pidana. Menumpuknya perkara di Mahkamah Agung, lamanya proses peradilan hingga putusan dan akhirnya membuat biaya perkara menjadi tidak murah, mengindikasikan adanya fungsi dalam sistem peradilan pidana kurang berjalan dengan baik. Dari asumsi tersebut dihubungkan fungsi penyampingan perkara dalam bidang penuntutan ingin diketahui efisiensi dan efektifitas penyampingan perkara pidana bagi terselenggaranya proses peradilan yang bebas, murah, dan cepat atau singkat.

Dewasa ini penumpukan perkara masih terjadi di Mahkamah Agung. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dan dalam hal ini kebijakan di bidang penuntutan sebagai bagian sistem peradilan pidana setidaknya subsistem penuntutan dapat memberi andil dikaitkan dengan adanya kewenangan penyampingan perkara pada penuntutan, yaitu dengan menyeleksi perkara yang akan diajukan ke pengadilan yang akhirnya meringankan beban perkara yang harus diselesaikan oleh badan peradilan. Menjadi suatu pertanyaan bahwa selama ini kewenangan berdasarkan azas oportunitas jarang sekali digunakan.

Dapat dibenarkan pula penggunaan azas oportunitas itu sendiri dapat membawa efek yang negatif bagi perkembangan hukum dan masyarakat apabila penerapannya disalahgunakan, terutama dalam hal penggunaan bukan karena alasan teknis tetapi karena alasan kebijakan yang oleh undang-undang dibenarkan apabila demi kepentingan umum. Oleh karena itu jaksa dituntut untuk lebih arief dan bijaksana apabila hendak menyampingkan perkara pidana yang ditanganinya.


(16)

Pembatasan dalam undang-undang yang memberikan kewenangan menyampingkan perkara pidana hanya pada Jaksa Agung dan demi kepentingan umum membuat peluang jaksa untuk menyampingkan perkara berdasarkan alasan kebijakan hampir bisa dikatakan tidak ada.

Penjelasan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 terhadap arti kepentingan itu sendiri ternyata selain sempit juga perlu penjelasan lebih lanjut, yaitu diartikan sebagai kepentingan negara dan/atau masyarakat.9 Di Inggris kepentingan umum diartikan secara luas, termasuk kepentingan anak di bawah umur dan orang yang sudah terlalu tua.10

Dengan demikian perlu adanya pedoman bagi jaksa untuk dapat melakukan penyampingan perkara pidana sebagai jaminan dalam kerangka kebijakan penuntutan yang transparan dalam kemandirian terhadap penggunaan azas oportunitas yang meliputi juga pengawasan dan pertanggungjawaban penggunaan azas oportunitas, sumber daya penegak hukum, serta hubungan terkait dalam sistem.

Mengamati hal yang terurai di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian ilmiah mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) oleh Jaksa Agung yaitu mengenai penggunaan azas oportunitas yang ideal dan yang mampu memberikan gambaran tentang kebijakan penuntutan dalam penanganan perkara pidana secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab yang dilakukan tanpa meninggalkan rasa keadilan.


(17)

B. Permasalahan

Permasalahan adalah merupakan persoalan atau sesuatu yang harus dicari pemecahannya. Permasalahan yang timbul dari sesuatu itu tidak akan habis-habisnya apabila dikaji lebih mendalam, sistematis dan secara menyeluruh. Berdasarkan pengamatan dan penelahan keadaan literatur, maka untuk memahami lebih lanjut dan lebih mendalam tentang “Penyampingan Perkara Pidana (Deponering) berdasarkan Azas Oportunitas oleh Jaksa Agung RI“, maka perlu mengemukakan permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam pembahasan selanjutnya, yaitu :

1. Bagaimana azas oportunitas sebagai dasar kewenangan Jaksa Agung dapat menjadi alasan penghentian penuntutan?

2. Bagaimana penggunaan asas oportunitas dalam sistem peradilan pidana bagi perkembangan hukum pidana?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Guna memahami permasalahan yang berkaitan dengan penyampingan perkara oleh jaksa, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana asas oportunitas sebagai dasar kewenangan Jaksa Agung dapat menjadi alasan penghentian penuntutan..

2. Untuk mengetahui sejauh mana penggunaan asas oportunitas dalam sistem peradilan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.


(18)

Selain tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan negara dan bangsa dengan memberikan kontribusi sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan kontribusi pemikiran atau wacana yang luas mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) berdasarkan azas oportunitas oleh Jaksa Agung dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis skripsi ini dapat berguna untuk memperdalam kajian mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) oleh Jaksa Agung dan memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkompeten, yaitu para pengambil kebijakan dan praktisi hukum, terutama dalam memformulasikan dan mengoprasionalkan (menerapkan) penyampingan perkara pidana oleh jaksa.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan penulis, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat judul skripsi “Penyampingan Perkara Pidana (deponering) berdasarkan Azas Oportunitas oleh Jaksa Agung RI”. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri. Skripsi ini juga didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak maupun elektronik, Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.


(19)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Deponering

Penyampingan perkara pidana (deponering) dalam proses pidana adalah sebagai pengecualian dari azas legalitas. Menurut Prof.A.L.Melai, tidak diadakannya penuntutan oleh jaksa sebagai penuntut umum adalah merupakan Rechtvinding (penemuan hukum baru) yang harus dipertimbangkan masak-masak berhubung hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum.11

Pasal 35 sub c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI maupun penjelasannya mengatakan penyampingan perkara (deponering) demi kepentingan umum adalah sebagai berikut : yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Disamping apa yang telah disebutkan di atas, Osman Simanjuntak mengatakan bahwa ; penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Adapun dasar penyampingan perkara ini, karena hukum acara kita menganut azas oportunitas. Dimana suatu perkara (perbuatan pidana) bilamana dilimpahkan ke persidangan diperkirakan akan menimbulkan suatu

11 Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Di tengah-tengah Masyarakat, Ghalia


(20)

goncangan di kalangan masyarakat atau dengan penyidangan perkara tersebut akan menimbulkan akibat negatif di kalangan masyarakat luas.12

Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapatlah kita menarik suatu pemikiran bahwa pengertian penyampingan perkara pidana (deponering), termasuk dalam skripsi ini adalah tidak diadakannya penuntutan oleh Jaksa sebagai penuntut umum atau pelaksanaan azas oportunitas yang diberikan oleh undang-undang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum.

Sedangkan kalau berbicara tentang dasar hukum deponering, maka sama halnya dengan dasar hukum pelaksanaan azas oportunitas yang dianut oleh hukum acara pidana di Indonesia. Oleh karena azas oportunitas itu pertama-tama timbul dalam praktek, maka untuk mengetahui dasar hukum yang dimaksud tidak boleh terlepas dari sejarah masuknya azas itu ke Indonesia hingga diberlakukannya sampai sekarang ini.

Pada mulanya azas oportunitas itu timbul dalam praktek yang berlakunya didasarkan pada hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), yang kemudian dimasukkan ke dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30 Juni 1961. Namun undang-undang ini tidak berlaku lagi setelah keluarnya Undang-undang No 5 Tahun 1991 (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59) tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal tersebut diatur dalam pasal 32 sub c. Beberapa tahun kemudian, undang-undang ini diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-undang


(21)

Nomor 16 Tahun 2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 67) tertanggal 26 Juli 2004, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 35 sub c.

Akan tetapi sebelum dicantumkannya azas oportunitas itu dalam pasal pasal 8 Undang-undang No 15 Tahun 1961, sebenarnya azas itu sudah ada diatur di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tanggal 9 Juli 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,13 yang di dalam pasal 4 nya dikatakan bahwa : “Jaksa hanya diperbolehkan menyampingkan perkara korupsi, jika ada perintah dari Jaksa Agung”.14

Dengan demikian sejak tanggal 9 Juli 1960, azas oportunitas tersebut sudah ada diatur dalam bentuk tertulis hanya saja terbatas khusus untuk perkara korupsi, tidak bersifat umum. Oleh sebab itu secara umum azas itu dijadikan dalam bentuk tertulis sejak keluarnya Undang-undang No 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI (yang sekarang UU No 16 Tahun 2004).

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa dasar hukum pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) berdasarkan azas oportunitas di Indonesia adalah :

a. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan)

b. Pasal 4 PERPU No 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

c. Pasal 35 sub ( c) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.

13

Nasroen Yasabari, 1979, Mengerling Hukum Positif Kita, Alumni Bandung, hal. 31.

14 Perpu No 24 tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, pasal 4.


(22)

2. Tujuan Deponering

Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi budaya memberikan suatu gambaran bahwa hukum pada saat ini sudah tidak mampu lagi memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan mejemuk. Konstatasi ini membawa konsekwensi bahwa hukum harus lebih tampil dalam menghadapi tugas-tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung pembaharuan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar dan mendasar terutama pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidak-tidaknya melunturkan nilai-nilai kemaslahatannya, keadilannya, ataupun dari sisa-sisa kemutlakan masa lalu yang tidak memiliki dimensi pancasila.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas, bahwa penyampingan perkara (deponering) adalah tidak diadakannya penuntutan oleh Jaksa sebagai penuntut umum atau pelaksanaan azas oportunitas yang diberikan oleh undang-undang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk menyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum.

Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan, menguntungkan saat yang tepat, layak/kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas sekali bahwa azas ini tiada lain adalah bermaksud dan bertujuan untuk memberi kemanfaatan, kelayakan, dan kesempatan baik, guna kepentingan masyarakat, sebagaimana yang dimaksud dengan kosa-kata oportunitas itu sendiri.15

Azas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai suatu kewenangan Jaksa Agung untuk meniadakan penuntutan atau tidak menuntut ke muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti untuk dituntut atas


(23)

dasar pertimbangan kepentingan umum. Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong suatu mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatan masyarakat. Azas oportunitas sebagai pranata hukum yang cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberikan bentuk dalam kehidupan masyarakat.

Apabila pada saat sekarang ini pranata hukum yang tumbuh diakui sudah tidak mampu lagi memelihara dan memanifestasikan wujud hakiki hukum, yakni keadilan, kebenaran dan ketertiban, maka secara sadar pula pranata tersebut dengan sendirinya perlu ditinjau.16 Jadi secara umum dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.

3. Perbedaan Deponering dengan Penghentian Penuntutan

Pasal 35 sub c Undang-undang No 16 Tahun 2004 menyatakan : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”, selanjutnya marilah kita lihat juga pasal 14 (h) KUHAP : “Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menutup perkara demi kepentingan hukum” dan pasal 140 ayat (2) KUHAP : “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara


(24)

ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”.

Dari kedua peraturan tersebut diatas, kita dapat menarik pengertian tentang deponering atau penyampingan perkara, yaitu :

a. Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum (pasal 140 ayat 2 (a) KUHAP)

b. Perkara ditutup demi hukum (pasal 14 (h) jo pasal 140 ayat 2 (a) KUHAP)

c. Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung (Undang-undang No 16 Tahun 2004)

Apabila hal ini kita kaitkan dengan hukum pidana materiil, maka penyampingan perkara terdiri dari dua golongan yaitu :

a. Penyampingan perkara berdasarkan azas oportunitas

b. Penyampingan perkara atas dasar penilaian hukum pidana (strafrechtelijk)

Namun kedua hal ini mempunyai perbedaan, oleh karena itu haruslah dibedakan dengan jelas antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Malah pada penjelasan pasal 77 KUHAP telah ditegaskan; “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Terlepas dari kenyataan bahwa KUHAP masih memberi lubang oportunitas dalam penegakan hukum, mari kita bicarakan dimana letaknya perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Untuk


(25)

itu mari kita lihat perbedaan terpenting dari kedua tindakan hukum tersebut, antara lain :

Pada Penyampingan perkara (deponering), perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum atas alasan “demi untuk kepentingan umum”.17 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan penegakan hukum dikorbankan demi untuk kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan dan tidak diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan kepentingan demi kepentingan umum. Itulah sebabnya azas oportunitas ini bersifat diskriminatif dan menggagahi makna equality before the law atau persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan.

Sedang pada penghentian penuntutan, alasan bukan didasarkan kepada kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan kepentingan hukum itu sendiri, yakni :18

a. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim atas alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang

17

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, hal. 470.


(26)

demikianlah maka lebih bijaksana penuntut umum menghentikan penuntutan.

b. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.

Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana, baik yang berupa kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan ke muka persidangan, pada dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onstag van rechtvervolging).

c. Atas dasar perkara ditutup demi hukum.

Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum adalah suatu perkara pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaaan, dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan pada: • Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP)

Atas alasan ne bis in idem (pasal 76 KUHP)

• Terhadap perkara yang hendak ditutup oleh penuntut umum, ternyata telah kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam pasal 78-80 KUHP. Selain daripada hal yang disebutkan di atas, pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan pada umumnya masih dapat lagi diajukan kembali


(27)

penuntutan, jika ternyata diketemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpamanya diketemukan bukti baru sehingga dengan bukti tersebut sudah dapat diharapkan untuk menjerat terdakwa. Lain halnya pada penyampingan perkara, apabila telah sekali dilakukan penyampingan perkara, maka tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara tersebut ke muka sidang pengadilan.19

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dua :20 a. Penelitian hukum normatif.

b. Penelitian hukum sosiologis empiris.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Data dan sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer.

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah :21

• Norma atau kaedah dasar.

19 Ibid, hal. 472.

20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif :Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hal. 15.

21 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,


(28)

• Peraturan dasar.

• Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyampingan perkara pidana yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, KUHP, KUHAP.

b. Bahan hukum sekunder.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penyampingan perkara pidana, artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak dan media elektronik.

c. Bahan hukum tersier.

Yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Metode pengumpulan data

Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.


(29)

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan. Sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.22

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya dalam beberapa bab berikut ini ;

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II ASAS OPORTUNITAS SEBAGAI DASAR KEWENANGAN JAKSA AGUNG YANG DAPAT MENJADI ALASAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN

Dalam bab ini akan dibahas maksud dan tujuan azas oportunitas,sejarah singkat azas oportunitas di Belanda dan Indonesia, tinjauan umum

22 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,


(30)

lembaga-lembaga peniadaan penuntutan, susunan, tugas dan wewenang kejaksaan, serta alasan penghentian penuntutan..

BAB III PENGGUNAAN ASAS OPORTUNITAS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BAGI PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pertanggungjawaban dan pengawasan penyampingan perkara, kendala-kendala yang dihadapi dalam penyampingan perkara oleh jaksa serta upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka penyampingan perkara di Indonesia.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan yang ditarik oleh penulis berdasarkan hasil rangkuman dari keseluruhan isi dengan disertai saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.


(31)

BAB II

AZAS OPORTUNITAS SEBAGAI SEBAGAI DASAR KEWENANGAN JAKSA AGUNG YANG DAPAT MENJADI ALASAN PENGHENTIAN

PENUNTUTAN

A. Azas Oportunitas 1. Istilah dan Pengertian

Kata oportunitas (bahasa Indonesia), opportuniteit (bahasa Belanda),

opportunity (bahasa Inggris) kesemuanya berasal dari bahasa Latin yaitu opportunitas. Kamus bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadarminto

mengartikan oportunitas adalah kesempatan yang baik. Azas oportunitas ialah azas memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan. Peniadaan penuntutan berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jika tidak diadakan penuntutan.23 Pengertian azas oportunitas tersebut merupakan azas oportunitas yang merupakan yuridiksi kejaksaan yaitu sebatas penyampingan perkara demi kepentingan umum.

Pasal 35 sub c Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia maupun penjelasannya tidak ada memberikan defenisi ataupun pengertian dari azas oportunitas itu akan tetapi hanya menyatakan bahwa : “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”, yang dalam ilmu hukum pidana disebut dengan istilah azas oportunitas.

Oleh karena pasal 35 sub c dan penjelasan dari Undang-undang No.16 Tahun 2004 itu tidak ada memberikan defenisi ataupun pengertian maka timbullah beberapa pendapat sebagai berikut :

23 Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia


(32)

1. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio, bahwa opportuniteits principle (bahasa belanda) adalah suatu prinsip yang mengizinkan penuntut umum untuk tidak melakukan tuntutan terhadap seorang tersangka, pun dalam hal dapat dibuktikan kiranya bahwa tersangka benar telah melakukan suatu tindak pidana. Dikatakannyalah bahwa penuntut umum berhak mendep ialah mendeponir suatu perkara apabila kepentingan umum, menurut pendapatnya, menghendaki pendeponiran itu.24

2. A. Z. Abidin dengan terlebih dahulu mengutip pendapat dari Fochema dan Van Aveldorn menyatakan bahwa ; azas oportunitas itu memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan pidana berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan.25

Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan diatas maka dapatlah kita menarik suatu pemikiran bahwa pengertian azas oportunitas itu, termasuk dalam skripsi ini, haruslah kita artikan dalam arti yang luas, yang mencakup wewenang jaksa agung untuk mendeponir atau menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum mulai dari penyidikan hingga penuntutan.

Disamping penyampingan perkara untuk kepentingan umum (azas oportunitas), di dalam hukum pidana juga dikenal penyampingan perkara atas dasar penilaian hukum pidana (strafrechtelijk)26 , yaitu karena :

1. Gugurnya hak menuntut yang disebabkan oleh : a. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP);

24

Subekti dan Tjitrosoedibio, 1971, Kamus Hukum, Pradya Paramitha, Jakarta, hal. 79.


(33)

Artinya seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan (peristiwa) yang baginya telah diputuskan oleh hakim, atau seseorang tidak boleh dituntut terhadap sesuatu delik , apabila terhadap delik yang telah dilakukannya itu telah pernah ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jadi tehadap suatu perkara pidana tidak boleh ada dua keputusan hakim atau lebih.

b. Meninggalnya tertuduh (pasal 77 KUHP);

Hal ini adalah wajar sebab kejahatan itu sifatnya adalah pribadi, maksudnya bahwa kejahatan itu hanya dapat dituntut kepada pelakunya sendiri.

c. Lewat waktu/daluarsa (pasal 78 KUHP), yaitu;

• Satu tahun bagi segala pelanggaran dan kejahatan dengan mempergunakan percetakan.

• Enam tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari tiga tahun.

• Dua belas tahun bagi kejahatan yang terancam hukuman penjara tiga tahun atau lebih.

• Delapan belas tahun bagi semua kejahatan yang terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup. Dengan ketentuan bahwa bagi orang yang sebelum melakukan perbuatan itu umurnya belum cukup 18 tahun, waktu gugur itu dikurangi sehingga menjadi sepertiganya (menjadi 4 bulan; 1,5 tahun; 4 tahun; dan 6 tahun). d. Afdoening buiten process (pasal 82 KUHP),


(34)

Artinya terhadap suatu perbuatan yang hanya diancam hukuman pokok dengan hukuman denda maka hak menuntut gugur apabila maksimum denda dibayar dengan kemauan sendiri, dan ongkos perkara jika penuntutan telah dilakukan.

e. Amnesti,

Merupakan hak kepala negara yang menyatakan bahwa suatu kejahatan tertentu yang telah dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, tidak mempunyai akibat hukum bagi orang yang tersangkut dalam kejahatan.

Contoh : dalam suatu kejahatan tersangkut/terlibat 10 orang, diantara mereka tiga orang sudah dijatuhi hukuman, lima orang sedang dituntut dan dua orang lagi sedang diburon. Dengan diberikannya amnesti oleh kepala negara maka ketiga orang yang sudah dijatuhi hukuman menjadi dibebaskan (hukumannya digugurkan), penuntutan yang sedang dilakukan diberhentikan sama sekali dan terhadap orang yang belum diketahui (diburon) tidak diadakan penuntutan.

f. Abolisi,

Merupakan hak kepala negara untuk menghentikan dan meniadakan penuntutan, yang dilakukan terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan terhadap orang yang mana telah dimulai dengan penuntutan.

2. Pencabutan pengaduan (pasal 75 KUHP),

Batas pencabutan pengaduan adalah 3 bulan sejak tanggal surat apabila pengaduan dilakukan secara tulisan dan sejak diucapkan apabila secara


(35)

lisan. Khususnya untuk kejahatan zinah (pasal 284 KUHP), pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum diperiksa dalam sidang pengadilan.

3. Tiada cukup alasan untuk menuntut,

Hal ini sesuai dengan pasal 140 ayat 2 sub a KUHAP yang berbunyi : “dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa itu ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan”.

Khusus mengenai penyampingan perkara diatas telah ada suatu pegangan yang berdasarkan Instruksi Jaksa Agung tanggal 7 Juni 1962, No. 7 / Inst/HK/1962, antara lain disebutkan ; bahwa perkara-perkara yang dapat dikesampingkan oleh Jaksa Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang telah memegang perkara-perkara yang bersangkutan ialah perkara :

1. Yang telah lewat waktu/daluarsa; 2. Yang dicabut pengaduannya

3. Yang mana tertuduh meninggal dunia

4. Yang tidak ada alasan untuk menuntut terdakwa, tetapi dengan konsekuensi dalam hal perkara-perkara :

a. Yang dalam peraturan-peraturan lain diatur tersendiri (misalnya perkara korupsi),


(36)

c. Yang diterima dari Kejaksaan Agung, berlaku suatu ketentuan dimana penyampingan perkara pada sub a, b, dan c di atas harus seizin Jaksa Agung.27

Disamping itu KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan azas oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-undang N0. 16 Tahun 2004. Pasal-pasal mengenai penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar di ketentuan mengenai benda sitaan dan praperadilan. Pasal 46 ayat (1) c KUHAP menyatakan “perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum, dst,,”.28 Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali mengenai penyampingan perkara kecuali tentang benda sitaan. Namun dalam penjelasan pasal 77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang penyampingan perkara yang berada di tangan Jaksa Agung. Penjelasan pasal 77 KUHAP yang berbunyi : “yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.29 Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan azas oportunitas.

2. Sejarah Singkat Azas Oportunitas di Belanda dan Indonesia

Menurut Prof. A. Zainal Abidin, dimana ada kehidupan bersama manusia atau masyarakat berarti disitu ada hukum termasuk hukum pidana. Sejarah adalah apa yang telah terjadi dan bukan penghentian melainkan gerak. Bukan mati melainkan hidup. Hukum adalah gejala suatu sejarah dan tunduk kepada

27

Djoko Prakoso , Op.Cit, hal. 90.


(37)

perkembangan yang berkesinambungan. Pengertian perkembangan mengandung dua unsur yaitu perubahan dan stabilitas.30

Menurut J M Van Bemmelen, azas oportunitas merupakan hukum kebiasaan yang tak tertulis mulai dikenal di Belanda pada abad XIX dengan lahirnya lembaga baru yang khusus ditugaskan menuntut atau tidaknya perkara pidana. Azas tersebut sebagai azas hukum tidak tertulis berkaitan dengan pembentukan suatu badan khusus kekuasaan eksekutif yang secara hierarki disusun, yang diberikan terutama untuk menuntut perkara pidana, disamping tugas-tugas lain seperti penyidikan dan pelaksanaan keputusan hakim. Tidak tertutup kemungkinan dikenalnya sejenis azas oportunitas sebelum abad XIX. Tetapi azas tersebut tidak dilaksanakan oleh seseorang yang mewakili pemerintah. Yang menjalankan adalah tuan-tuan tanah feodal atau pegawai-pegawai gereja yang bertindak atas nama gereja.31

Menteri Smidt pada tahun 1893 menganjurkan kepada penuntut umum untuk mengadakan penuntutan apabila delik yang dilakukan merugikan ketertiban umum atau kepentingan umum. Anjuran tersebut memberikan fungsi positif kepada azas oportunitas. Agar penuntut umum selalu mempertimbangkan untuk tidak menuntut jika ketertiban umum atau kepentingan umum tidak dirugikan. Pelaksanaan azas oportunitas pada abad XIX di Belanda merupakan perbedaan tersendiri karena falsafah hukum pada abad XVIII sampai permulaan abad XIX menghendaki undang-undang dilaksanakan menurut naskahnya yang berarti dikehendaki pula azas legalitas. Azas Legalitas dalam hukum acara pidana mewajibkan penuntut umum menuntut setiap kali terdapat dasar dalam naskah

30

Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung, 1981, Simposium tentang

masalah-masalah azas oportunitas, Ujung Pandang, hal. 21. 31 Ibid hal. 26.


(38)

perundang-undangan.32 Pada tahun 1926, Belanda menyusun KUHAP yang memberikan wewenang penyampingan perkara pidana sebagai hukum tertulis. Azas oportunitas diatur dalam pasal 167 ayat (2), 242 ayat (2), 244 ayat (3), dan 245 ayat (4) Sv. 1926.

Azas oportunitas yang sumber asalnya ialah Prancis melalui Belanda dimasukkan juga ke Indonesia melalui hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis karena adanya pasal 179 RO yang menyatakan:33

“Kepada Hooggerechtshof diberikan kewenangan, bila ada pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain manapun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan untuk itu.”

Pasal 179 RO ini menimbulkan penafsiran yang berkaitan dengan azas oportunitas. Penafsiran itu menyatakan bahwa pasal 179 RO membuka peluang untuk pelaksanaan azas oportunitas. Ini dapat dilihat dari ayat pertama pasal ini yaitu “kecuali penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah.”34 Sehingga praktek oportunitas tidak berdasar dari suatu pasal undang-undang dan praktik oportunitas juga dilarang menurut pasal 57 RO, yang menyatakan;35

“Bahwa pegawai-pegawai penuntut umum wajib melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan suatu laporan yang diterima oleh mereka

32 Ibid, hal. 27. 33

Andi Hamzah, Op.Cit, hal. 15.


(39)

tentang adanya suatu perbuatan yang oleh undang-undang diancam hukuman pidana”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, pendapat tersebut tidak tepat. Bila dikatakan penuntut umum harus melakukan hal sesuatu yang berhubungan dengan pelaporan, ini belum berarti penuntut umum harus menuntut seseorang yang melakukan peristiwa pidana. Penuntut umum hanya diwajibkan mengusut perkara tersebut untuk mengetahui apakah laporan itu benar adanya. Tidak ditegaskan dalam ketentuan tersebut kalau penuntut umum harus melakukan penuntutan di muka hakim pidana. Sehingga ketentuan tersebut tidak melarang penuntut umum menganut prinsip oportunitas.36

Azas oportunitas tetap berlaku pada masa penjajahan Jepang dengan dasar hukum yaitu pasal 3 Osamu Serei No 1 Tahun 1942 yang menyatakan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa penjajahan sebelumnya tetap berlaku asal tidak bertentangan dengan pemerintahan militer Jepang. Peraturan ini dimaksudkan dengan tujuan tidak terjadi kekosongan hukum. Pada masa kemerdekaan, azas oportunitas tetap berlaku karena dalam pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan semua peraturan terdahulu masih berlaku selama belum diadakan yang baru.37 Semenjak berlakunya Undang-undang No. 15 Tahun 1961 (yang sekarang UU No. 16 Tahun 2004) tentang Kejaksaan RI, maka azas oportunitas diatur secara tertulis. Undang-undang ini memberikan wewenang kepada kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan berdasarkan kepentingan umum. Di Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang menyampingkan perkara berdasarkan pertimbangan kepentingan

36 Ibid, hal. 15. 37 Ibid.


(40)

umum. Namun Kepala Kejaksaan Negeri melalui Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kepala Kejaksaan Tinggi atas perkara yang ditanganinya dapat mengusulkan penyampingan perkara tertentu kepada Jaksa Agung.38

B. Tinjauan Umum Lembaga-lembaga Peniadaan Penuntutan

Selain penyampingan perkara dalam proses peradilan pidana, dikenal beberapa istilah yang mirip dengan penyampingan perkara oleh penuntut umum yaitu peniadaan penuntutan, yakni abolisi, afkoop, dan transactie. Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan Presiden memberi abolisi dengan memperhatikan bimbingan Dewan Perwakilan Rakyat. Abolisi menyebabkan peniadaan penuntutan kepada orang yang diberikan abolisi. Yang dimaksud

afkoop dalam Pasal 82 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ialah

penebusan penuntutan pidana karena pelanggaran, yang terhadap pembuatnya tidak ditentukan pidana pokok melainkan denda. Sehingga dengan membayar denda maksimum, penuntutan terhadap dirinya ditiadakan.39

Transactie dikaitkan dengan pasal 74 KUHP Belanda yang belum dikenal

dalam KUHP Indonesia ialah menentukan pejabat yang melaksanakan permintaan transaksi oleh terdakwa tidak terikat dengan jumlah maksimum denda. Inisiatif harus datang dari terdakwa untuk menuntut pencegahan penuntutan hukum. Berdasarkan permohonan tersebut, penuntut umum akan menetapkan jumlah denda yang harus dibayar dengan memperhatikan maksimal dan minimal denda yang diancam pada delik tersebut. Jika terdakwa menawarkan denda tertinggi

38 Leden Marpaung, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta,

hal.182.


(41)

seperti yang diancam bagi delik tersebut dan sanksinya semata-mata denda, maka permohonan untuk mencegah penuntutan harus diterima. Berbeda dengan afkoop yang mewajibkan adanya persetujuan penuntut umum, maka dalam transactie terdapat hak terdakwa untuk mencegah penuntutan dengan membayar maksimum denda disertai pelepasan atau penyerahan barang yang telah dinyatakan disita atau membayar sejumlah uang menurut nilai barang itu. Hak tersebut barulah ada jikalau sanksi delik yang telah diwujudkannya hanyalah diancam pidana denda.40

Menurut Jonkers, ada keuntungan yang dicapai dalam sistem transactie yaitu banyak jumlah perkara kriminal kecil yang dapat diselesaikan di luar peradilan serta sistem tersebut dipandang sesuai dengan azas oportunitas yang berlaku di Hindia Belanda. Terdakwa dapat melakukan transaksi dalam perkara-perkara tertentu dengan Polisi disamping Penuntut Umum menurut pasal 74 KUHP Belanda jo. Pasal 167 dan 242 KUHP Belanda.41

Penyelesaian di luar peradilan berupa afkoop dan transactie sebenarnya sudah lama dikenal di Belanda. Dahulu di Belanda, penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan antara lain meliputi sub missie dan compositie. Dalam

sub missie, maka terdakwa bersama penuntut umum menghadap pengadilan

dengan permohonan supaya terdakwa diberikan sententie in cas van submissie. Penuntut umum biasanya melakukan hal itu kalau dipandangnya alat bukti tidak cukup kuat untuk menempuh prosedur biasa. Terdakwa sering diwajibkan membayar denda, kadang dibuang ke daerah lain, atau memberikan hadiah kepada gereja. Compositie ditangani oleh penuntut umum tanpa hakim dengan menyuruh terdakwa membayar sejumlah denda. Menurut Hazewinkel Suringa, compositie

40 Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung, Op.Cit, hal. 15. 41 Ibid, hal. 16.


(42)

banyak disalahgunakan dengan mengadakan pemerasan dan pungutan liar, sehingga Raja Philip II pada tahun 1570 mengeluarkan Criminele Ordonantie untuk melarang compositie, namun sebagian pejabat baru meniadakan pada akhir abad XVIII.42

Di Sulawesi Selatan terdapat juga lembaga yang meniadakan penuntutan terhadap terdakwa yaitu Lontara’ Sukku’ na Wajo yang berarti penyelesaian perkara di luar proses pengadilan yang terdiri dari riule bawi dan ribuang pakke.

Riule bawi adalah terdakwa yang dianggap bersalah terhadap raja atau pejabat

kerajaan diikat kaki tangannya lalu diselipkan bambu diantara kedua kaki tangannya dan dipikul beramai-ramai ke rumah raja untuk memohon maaf. Dengan demikian ia terlepas dari tuntutan, namun bagi orang-orang Sulawesi Selatan perlakuan demikian ialah aib. Kemungkinan terdakwa diusir dari daerah tanah adat selama-lamanya dan disebut ripaoppangi tana (ditutupi oleh tanah). Sedangkan ribuang pakke tidak ada penjelasannya dalam Lontara’ Sukku’na

Wajo. Namun menurut Prof. A. Zainal Abidin, ribuang pakke menjadikan

terdakwa abdi seumur hidup dan harus melayani kerugian orang yang dirugikan seumur hidupnya.43

Proses penyelesaian perkara pidana di Amerika Serikat awalnya dilakukan

preliminary hearing atau pemeriksaan awal yang termasuk tahap pre tial.

Pemeriksaan pendahuluan merupakan suatu upaya bagi hakim untuk meneliti apakah terdapat alasan kuat untuk percaya tersangka merupakan pelaku tindak pidana dan oleh karena itu mempunyai cukup alasan untuk ditahan dan diadili. Kuasa hukum terdakwa dan penuntut umum pada tahap pemeriksaan pendahuluan


(43)

saling mengajukan bukti-bukti untuk mempertahankan pendapatnya (penuntut umum mengajukan bukti yang membuat hakim mempunyai alasan kuat untuk memidana tersangka, sedangkan kuasa hukum mengajukan bukti-bukti untuk menegaskan terdakwa tidak bersalah atau meringankan terdakwa) dan untuk meyakinkan hakim akan pendapatnya. Selanjutnya kuasa hukum terdakwa mempunyai kesempatan untuk membuktikan bahwa suatu tindakan penangkapan, penggeledahan dan penahanan tidak sah. Bila hakim menetapkan tidak ada suatu alasan suatu tersangka melakukan tindak pidana atau suatu tindakan pejabat ialah tidak sah, maka tersangka dapat lepas dari penuntutan.44

Peniadaan penuntutan berdasarkan uraian di atas yaitu abolisi, afkoop,

transactie, sub missie, compositie, Lontara ‘ Suku ‘na Wajo dan peniadaan

tuntutan pada pre tial di Amerika Serikat bukan merupakan azas oportunitas yang menjadi yuridiksi kejaksaan. Melainkan hanya azas oportunitas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menyampingkan perkara pidana.

C. Susunan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan

Berkaitan dengan pertanggungjawaban jaksa dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari maka akan lebih baik lagi apabila penulis menguraikan tentang susunan, tugas dan wewenang kejaksaan sebagai berikut :

a. Susunan Kejaksaan

Susunan Kejaksaan diatur dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2004 yaitu pasal 5 sampai dengan pasal 7, yang berisi ;45

Susunan Kejaksaan terdiri dari :

44

Michael A. Gottlieb, http://browardcriminallawyer.com/criminal-law/index-what next pre tial practice.htm. Diakses tanggal 21 Juli 2010.


(44)

• Kejaksaan Agung • Kejaksaan Tinggi • Kejaksaan Negeri

Kejaksaan Agung dipimpin oleh Jaksa Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Untuk melaksanakan tugasnya, Jaksa Agung dibantu oleh beberapa Jaksa Agung muda yang masing-masing memimpin bidang tertentu, dan tenaga ahli.

Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Tinggi atau juga disebut Jaksa Tinggi yang berkedudukan di ibukota Provinsi Daerah Tingkat I dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi Daerah Tingkat I. Dalam melaksanakan tugasnya Jaksa Tinggi dibantu oleh wakil Jaksa Tinggi dan beberapa orang asisten.

Kejaksaan Negeri dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri yang biasa disingkat KAJARI, yang berkedudukan di ibukota Daerah Tingkat II/KotaMadya Tingkat II/Kota Administratif yang daerah hukumnya meliputi wilayah hukum daerah Tingkat II tersebut. Di daerah Kejaksan Negeri dapat dibentuk Cabang Kejaksaan Negeri yang biasa disingkat dengan CABJARI yang dipimpin oleh seorang Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang biasa disingkat KACABJARI.

b. Tugas dan Wewenang Jaksa

Dalam pasal 30 Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dinyatakan bahwa tugas dan wewenang jaksa adalah :

1) Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang; a) Melakukan penuntutan;


(45)

b) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap;

c) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2) Di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah.

3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :

a) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b) Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c) Pengawasan peredaran barang cetakan;

d) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara;

e) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Sedangkan mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diuraikan dalam pasal 35 yaitu :


(46)

a) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; b) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh

undang-undang;

c) Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

d) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.

e) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

f) Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dan Pasal 36 yaitu :

1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri; 2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam

negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung;

3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyatakan


(47)

kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.

Dalam pasal 32 dinyatakan, disamping tugas dan wewenang berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang, antara lain dapat dicatat tugas dan wewenang kejaksaan pada Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang dalam pasal 14 menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang :

a) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;

b) Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c) Memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d) Membuat surat dakwaan;

e) Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;

g) Melakukan penuntutan;


(48)

i) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;

j) Melaksanakan penetapan hakim. Pasal 259 yaitu :

1) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.

Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang dibidang penuntutan, kejaksaan berpegang pada azas ‘KEJAKSAAN ADALAH SATU DAN TIDAK TERPISAH-PISAHKAN’ bertujuan agar terpelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat ditampilkan ciri khas dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindak aparatur kejaksaan dalam penanganan perkara.46 Oleh karena itu kegiatan penuntutan tidak terhenti hanya karena Jaksa Penuntut Umum yang bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan tetap berlangsung yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum lainya sebagai pengganti.

Demikian pentingnya posisi Jaksa dalam mewakili masyarakat demi menegakkan hukum dan keadilan maka tidak salah dan berlebihan dikemukakan, betapa niat dan keinginan menempatkan jaksa dalam kedudukan yang mulia dan luhur dapat dibaca dari lambang kejaksaan yang terdiri dari :

1. Pedang bermata dua, merupakan perlambang penegak hukum yang harus tegas dan tidak pandang bulu.


(49)

3. Padi sejumlah 22 buah sebagai tanggal peringatan berdirinya kejaksaan. 4. Kapas sejumlah 7 buah, kecuali bertujuan menegakkan keadilan,

menciptakan kemakmuran, juga peringatan bulan 7 berdirinya kejaksaan.47 5. 3 (tiga) bintang, berupa doktrin kejaksaan Tri Krama Adhyaksa, sebagai

pedoman yang menjiwai setiap Warga Kejaksaan Republik Indonesia dan terwujud dalam sikap mental yang terpuji, yaitu;

a) Satya = Setia dan taat serta melaksanakan sepenuhnya perwujudan

nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undangan Negara sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat.

b) Adhi = Jujur, berdisiplin dan bertanggung jawab.

c) Wicaksana = Bijaksana dan berprilaku terpuji.48

Dan landasan Doktrin Kejaksaan TRI KRAMA ADHYAKSA adalah Pancasila sebagai landasan idiil Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai sumber hukum demi tercapainya cita-cita dan tujuan Negara dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu baik pelaksanaan dan tujuan penegakan hukum yang berintikan keadilan adalah dengan menerapkan sepenuhnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

D. Alasan Kepentingan Umum.

Menurut Prof. J. M. Van Bemmelen, terdapat tiga alasan untuk tidak melakukan penuntutan, yaitu :49

47

Bismar Siregar, 1983, Hukum Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dep.Keh, Bina Cipta, hal. 59.


(50)

1. Demi Kepentingan Negara (staatsbelang)

Kepentingan Negara tidak menghendaki suatu penuntutan jika terdapat kemungkinan bahwa aspek-aspek tertentu dari suatu perkara akan memperoleh tekanan yang tidak seimbang. Sehingga kecurigaan yang dapat timbul pada rakyat, dalam keadaan tersebut menyebabkan kerugian besar pada negara. Contohnya ialah bila terjadi penuntutan akan berakibat suatu pengumuman (openbaring) yang tidak dikehendaki dari rahasia negara.

2. Demi Kepentingan Masyarakat (maatschapelijk belang)

Tidak dituntutnya perbuatan pidana karena secara sosial tidak dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini tidak menuntut atas dasar pemikiran-pemikiran yang telah atau sedang berubah dalam masyarakat. Contohnya pendapat-pendapat yang dapat berubah atau sedang berubah tentang pantas tidaknya dihukum beberapa delik susila.

3. Demi Kepentingan Pribadi (particular belang)

Termasuk di dalamnya kategori-kategori bila kepentingan pribadi menghendaki tidak dilakukannya penuntutan ialah persoalan-persoalan hanya perkara-perkara kecil. Dan atau jika yang melakukan tindak pidana telah membayar kerugian dan dalam keadaan ini masyarakat tidak mempunyai cukup kepentingan dengan penuntutan atau penghukuman. Bagi si petindak sendiri kepentingan-kepentingan pribadinya terlampau berat terkena jika dibandingkan


(51)

dengan kemungkinan hasil dari proses pidana yang bagi kepentingan umum tidak akan bermanfaat. Jadi keuntungan yang diperoleh dari penuntutan adalah tidak seimbang dengan kerugian-kerugian yang timbul terhadap terdakwa dan masyarakat.

Pasal 32 sub c Undang-undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, yang dimaksud kepentingan umum ialah kepentingan bangsa dan Negara.50 Sedangkan dalam penjelasan pasal 35 sub c yang dimaksud kepentingan umum ialah sama dengan perumusan pasal undang-undang terdahulu namun ditambah kalimat “dan/atau demi kepentingan masyarakat luas”.51 Perumusan kepentingan umum berdasarkan ketentuan di atas sangat luas dan dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda bila tidak digariskan secara tegas.

Kepentingan umum dalam suatu negara hukum mempunyai peranan penting terhadap hukum, yaitu peranan aktif dan peranan pasif. Dalam peranan aktif, kepentingan umum menuntut eksistensi dari hukum dan sebagai dasar menentukan isi hukum agar tujuan hukum dapat dicapai. Jadi peranan aktif kepentingan umum dalam hal ini adalah mengenai cita-cita hukum.52 Bagi bangsa Indonesia cita-cita hukum diwujudkan pada pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.53

50 UU No. 5 Tahun !991 tentang Kejaksaan RI, Penjelasan pasal 32 sub c. 51

UU No. 16 Tahun 2004, Op.Cit, penjelasan pasal 35 sub c.

52 Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung,.Op.Cit,.hal. 39. 53 UUD 1945, Pembukaan, alinea IV.


(52)

Kepentingan umum mempunyai peranan secara pasif apabila dijadikan objek pengaturan daripada peraturan hukum. Pelaksanaan azas oportunitas yang berlandaskan kepentingan umum harus dilihat dari dua segi peranan kepentingan umum baik aktif maupun pasif. Kepentingan umum yang diatur dalam suatu peraturan hukum apabila dilanggar tidak dapat dijadikan sebagai landasan oportunitas untuk menyampingkan perkara pidana. Sebab justru kepentingan umum menuntut agar diadakan penuntutan di muka hakim pidana untuk dijatuhkan pidana yang setimpal.

Untuk itu, kepentingan umum yang dapat dijadikan sebagai landasan menyampingkan perkara pidana harus diketemukan dalam aturan hukum lain yang mengatur tentang kepentingan umum yang harus dilindungi dan dipelihara. Apabila kepentingan umum yang dimaksud tidak diketemukan dalam aturan hukum lainnya, maka harus dikembalikan kepada peranan kepentingan umum secara aktif mengenai cita-cita hukum bangsa Indonesia.54


(53)

BAB III

PENGGUNAAN ASAS OPORTUNITAS DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA BAGI PERKEMBANGAN HUKUM

PIDANA

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa untuk menyampingkan perkara pidana maupun penghentian penuntutan dilakukan hanyalah karena alasan teknis dan alasan kebijakan. Untuk alasan teknis yaitu sebagaimana diatur dalam KUHAP pasal 140 ayat (2) huruf a. Sedangkan untuk alasan kebijakan diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 pasal 35 huruf c.

Untuk penghentian penuntutan dengan alasan tehnis tidak lagi menjadi permasalahan karena sudah secara limitatif diatur dalam undang-undang. Yang dipermasalahkan di sini adalah penyampingan perkara pidana untuk alasan kebijakan berdasarkan asas oportunitas, karena selama ini hanya Jaksa Agunglah yang dapat menggunakan kewenangan itu dan demi kepentingan umum.

Menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana bila Jaksa melakukan penyampingan perkara pidana yang berdasarkan pada asas oportunitas ? karena sebagai orang yang langsung mengetahui proses penyelesaian perkara pidana sehari-hari, Jaksa senantiasa bertemu dengan berbagai hal yang menurut pendapatnya, terhadap perkara tersebut tidak perlu dilakukan penuntutan. Berbeda dengan penghentian penuntutan karena alasan teknis, dalam penyampingan perkara pidana di sini sudah jelas-jelas perkara ini merupakan tindak pidana dan bukti-buktinya pun sudah terpenuhi. Bisa dikatakan terhadap perkara pidana ini


(54)

sudah patut dilakukan penuntutan, akan tetapi penuntutannya tidak dilakukan, misalnya saja karena :55

• Tindak pidana terhadap harta benda yang ringan, • Tersangka menunjukkan penyesalan yang sungguh, • Ganti rugi telah dilakukan oleh tersangka,

• Korban telah memaafkan tersangka,

• Pelaku masih terlalu muda atau sudah terlalu tua sehingga akan lebih banyak efek negatif yang ditimbulkan apabila pelaku dipidana, dan lain sebagainya.

Melihat hal tersebut di atas seyogyanya Jaksa dapat melakukan penyampingan perkara pidana karena pada dasarnya pengertian awal dari asas oportunitas yang kita gunakan itu, oleh Belanda (tempat dimana asas itu timbul) mengartikan sebagai: Penuntut Umum boleh memutuskan untuk menuntut atau tidak dengan syarat atau tanpa syarat suatu perkara pidana.

Dari pengertian itu saja kita dapat mengetahui bahwa penuntut umum atau jaksa dapat melakukan penyampingan perkara pidana dengan syarat yaitu misalnya seperti yang disebutkan diatas atau tanpa syarat apapun. Tanpa syarat apapun maksudnya jaksa dapat menyampingkan perkara pidana itu apabila ia berpendapat bahwa memang sepatutnya perkara itu tidak perlu dituntut, maka terhadap perkara tersebut tidak dilakukan penuntutan.

Berlakunya asas oportunitas ini pada dasarnya untuk memperhalus sifat ketajaman dari asas legalitas (materil). Jadi adanya asas oportunitas itu sendiri bukan berarti tidak ada kesalahan dalam diri si pelaku, akan tetapi jaksa sebagai


(55)

penuntut umum dapat menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sesungguhnya pemotongan mata rantai proses penyelesaian perkara pidana yaitu dengan tidak melanjutkan perkara ke pengadilan, dapat dikatakan bahwa jaksa sudah ‘menetapkan hukum’.56

Dengan mengaktifkan lagi penyampingan perkara pidana bukan berarti kita tidak lagi menggunakan sarana penal untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan. Akan tetapi pemakaian dan penggunaan pidana itu haruslah seefektif dan seselektif mungkin. Roscoe Pound telah lama berbicara tentang Law

as a tool of social engineering sebagai suatu keinginan tentunya wajar jika ada

upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan lebih relevan. Akan tetapi kaum realis seperti Savigny mengatakan bahwa hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini berarti bahwa hukum mau tidak mau menjadi

independent variable atas keadaan di luarnya, terutama keadaan politiknya.57

Dengan menyampingkan perkara bukan berarti sarana penal tidak lagi dibutuhkan. Penggunaan sarana penal dapat kita perhatikan dari pendapat L Packer yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief yang menyatakan masih pentingnya menggunakan sarana penal dalam rangka menanggulangi kejahatan didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :58

56

Nyoman Sarikat Putra Jiwa, 1984, Hukum Acara Pidana Memprogram Tindakan

Aparat Penegak Hukum, Masalah-Masalah Hukum, Semarang, hal. 23.

57 Moh Daud MD, 1999, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gamma Media,

Yogyakarta, hal. 70.

58 Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, hal. 31.


(56)

• Sanksi pidana sangatlah diperlukan, karena kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan dating tanpa pidana (The criminal

sanction is indispensable: we could not now or in the foresseable future, get along without it);

• Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya (The criminal sanction is the

best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm);

• Sanksi pidana suatu ketika merupakan ‘penjamin yang utama/terbaik’ dan suatu ketika merupakan ‘pengancam yang utama’ dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is at once prime

guarantor and prime treatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor, use indiscriminately and coercively, it is treatener).

Penerapan asas oportunitas dalam peraturan perundang-undangan saat inilah yang ternyata membatasi kewenangan jaksa dalam melakukan penyampingan perkara pidana yaitu dengan menambahkan menjadi ‘menyampingkan perkara demi kepentingan umum’. Sehingga kriteria dari suatu perkara yang dapat dikesampingkan tidaklah begitu jelas, hanya ditentukan demi kepentingan umum.


(57)

Sepatutnya tidak semua delik perlu dituntut pembuatnya, terutama bilamana akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum. Terlebih lagi bila antar pihak yaitu korban dan pelaku sepakat untuk menyelesaikan perkaranya tanpa harus diadakan penuntutan. Jadi tidaklah harus dibatasi penyampingan perkara itu demi kepentingan umum. Para pihak yang terlibat yaitu korban dan pelaku sepatutnya juga dapat menetukan penyelesaian perkaranya, hal ini karena adanya kewenangan formal/adjektif yaitu kewenangan yang ditimbulkan oleh/dari hukum pidana (formal), dimana kewenangan menuntut itu diberikan kepada seseorang secara pribadi/individual atau juga dapat diberikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat pada umumnya. Misalnya untuk delik aduan.

Contoh yang lain bisa juga kita lihat dari hukum Islam dimana kewenangan menuntut itu juga diberikan langsung oleh Allah kepada korban untuk menentukan apakah ia mengampuni pelaku (tidak menuntut) atau menuntut. Pemberian memaafkan itu berlaku bagi kejahatan pembunuhan dan kejahatan terhadap anggota badan. Dari contoh di atas, baik kewenangan menuntut seperti dalam delik aduan ataupun dalam delik pembunuhan dan delik anggota badan, maka melihat kedua perbandingan tersebut sesungguhnya jaksa itu memiliki kewenangan yang besar dalam menentukan penyelesaian suatu kasus.

Yang tidak kalah penting jaksa harus senantiasa memahami keinginan masyarakat yang senantiasa berkembang, yaitu dengan tetap memperhatikan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, maka tindakan tidak menuntut yang dilakukan oleh jaksa karena adanya persetujuan kedua belah pihak (pelaku dan


(58)

korban) sesungguhnya merupakan kebiasaan yang sudah lama berlaku di dalam masyarakat Indonesia yaitu budaya saling maaf-memafkan.

Sebagaimana kita ketahui sebagai aparat penegak hukum kita diwajibkan untuk menggali nilai-nilai budaya yang telah berakar di tengah masyarakat, yang biasa kita kenal sebagai hukum tidak tertulis. Sebagai suatu kebiasaan yang sudah ada, contohnya hukum adat di Sulawesi Selatan yang memberikan kewenangan bagi penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan patut kiranya kita tiru.

Dengan menerapkan asas oportunitas maka pengaruh dan manfaat yang dapat diambil bagi perkembangan hukum ialah :59

a) Dalam Hukum Pidana Formil:

• Menjadi dasar pemicu ada atau tidaknya unsur delik menurut kemanfaatan bahayanya bagi kepentingan sosial yang terletak di lapangan hukum pidana

• Menjadi pedoman untuk meniadakan penuntutan, baik dalam pelanggaran maupun kejahatan.

b) Dalam Hukum Pidana Materil.

• Mempersingkat dan mempermudah administrasi perkara pidana

• Memberikan kewenangan bagi jaksa untuk melakukan penuntutan atau tidak. Di sini keberadaan asas oportunitas sebagai dasar penyampingan perkara berguna untuk memperhalus ketajaman dari asas legalitas yang materil

• Memperluas berlakunya sistem penuntutan di Indonesia yang tadinya hanya menganut sebagian dari Single Public Prosecution System yaitu


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Asas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai suatu kewenangan Jaksa Agung untuk meniadakan penuntutan atau tidak menuntut ke muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti untuk dituntut atas dasar pertimbangan kepentingan umum. Kebijaksanaan yang memberi wewenang untuk memilih atau memotong suatu mata rantai dari proses peradilan adalah untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatan masyarakat. Asas oportunitas sebagai pranata hukum yang cenderung merupakan suatu tradisi itu pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberikan bentuk dalam kehidupan masyarakat. Apabila pada saat sekarang ini pranata hukum yang tumbuh diakui sudah tidak mampu lagi memelihara dan memanifestasikan wujud hakiki hukum, yakni keadilan, kebenaran dan ketertiban, maka secara sadar pula pranata tersebut dengan sendirinya perlu ditinjau. Jadi secara umum dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.

2. Dalam praktek penyampingan perkara pidana di Indonesia ada dua macam yaitu pertama, penghentian penuntutan karena alasan teknis, yang


(2)

dilakukan oleh jaksa dengan alasan tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP). Adapun yang dimaksud dengan perkara ditutup demi hukum misalnya karena adanya pencabutan pengaduan dalam delik aduan (klachtdelict) (pasal 75 KUHP), nebis in idem (pasal 76 KUHP), meninggalnya terdakwa (pasal 77 KUHP), perkara telah kadaluarsa (pasal 78 KUHP) dan hapusnya kewenangan menuntut pelanggaran bila dengan sukarela denda telah dibayar (pasal 82 KUHP). Dan yang kedua yaitu penghentian penuntutan karena alasan kebijakan yang dikenal sebagai penyampingan perkara. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, yang menyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Jaksa Agung dapat melakukan penyampingan perkara pidana setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan masyarakat yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Disamping itu sesuai dengan bobot perkara yang dikesampingkan, Jaksa Agung dapat melaporkan terlebih dahulu rencana penyampingan perkara pidana tersebut kepada Presiden untuk mendapat petunjuk.

B. Saran

1. Dalam melaksanakan penyampingan perkara pidana berdasarkan asas oportunitas yang menjadi kewenangan Jaksa Agung, hendaknya Jaksa Agung selalu cermat, teliti, dan bijaksana untuk menentukan perkara


(3)

mana yang patut atau layak untuk dikesampingkan, dengan memperhatikan segala ketentuan-ketentuan yang berlaku dan dalam hal-hal yang benar-benar perlu untuk kepentingan umum. Dengan demikian supremasi hukum dapat terwujud dan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Independensi Kejaksaan merupakan hal yang terpenting guna terlaksananya penyampingan perkara oleh Jaksa. Independensi Kejaksaan disini harus meliputi independensi institusional dan individual (personal).Independensi Kejaksaan juga harus ditunjang dengan visi dan misi Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yaitu pengayoman masyarakat. Dalam setiap negara hukum, penghargaan terhadap fungsi lembaga penegak hukum ditandai dengan kemandirian serta bebas dari campur tangan badan-badan eksekutif, legislatif, serta badan-badan kekuasaan negara lainya. Berfungsinya lembaga penegak hukum secara wajar tentunya akan menjamin tegaknya hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A Z, 1983, Bunga Rampai Hukum Pidana, Pradya Paramitha, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang.

Harahap, M Yahya, 1988, Pembahasan, Permasalahan, Dan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta.

Hamzah, Andi, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

____________, 2004, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta. Jiwa, Nyoman Sarikat Putra, 1984, Hukum Acara Pidana Memprogram Tindakan Aparat Penegak Hukum, Masalah-Masalah Hukum, Semarang.

Karni, 1950, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Balai Buku Indonesia, Jakarta-Surabaya.

Marpaung, Leden, 1992, Proses Penanganan Perkara Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta.

Mertokusumo, Soedikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

M D, Muhammad Daud, 1999, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta.

Pusat Penelitian Dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung, 1981, Simposium Tentang Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Ujung Pandang.

Poernomo, Bambang, 1993, Pola Dasar Teori-Azas Umum Hukum Pidana, Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta.

Prodjodikoro, R Wiryono, 1981, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung.

Prakoso, Djoko, 1985, Eksistensi Jaksa Di Tengah-tengah Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Surachman, R M dan Andi Hamzah, 1995, Jaksa Di Berbagai Negara, Peranan Dan Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta.


(5)

Simanjuntak, Osman, 1995, Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif :Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soebekti dan Tjitrosoedibio, 1971, Kamus Hukum, Pradya Paramitha, Jakarta. Soesilo, R, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkapnya, Politeia, Bogor.

Siregar, Bismar, 1983, Hukum Acara Pidana, Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Keh, Bina Cipta, Jakarta.

S M, M Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, Pradya Paramitha, Jakarta.

Susanti, Neva Sari, 2001, Penyampingan Perkara Pidana Oleh Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana, Tesis Program Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Waluyo, Bambang dkk, 2000, Aspek-Aspek Diskresi Penuntutan, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, Jakarta.

Yasabari, Nasroen, 1979, Mengerling Hukum Positif Kita, Alumni, Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Dasar 1945.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI, LN No. 254 Tahun 1961.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI, LN No. 59 Tahun 1991 TLN No. 3451.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, LN No. 67 Tahun 2004 TLN No. 4401.


(6)

Lampiran Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep-130/JA/3/1988 tanggal 23 Maret 1988 tentang Doktrin Kejaksaan.

Internet

Michael A, Gottlieb, http://browardcriminallawyer.com/criminal-law/index.what next-pre trial practice.htm, diakses pada tanggal 21 Juli 2010.

http://www.kejaksaan.go.id/index.php, diakses 28 Juli 2010.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id.putusansidang.php, diakses tanggal 9 Agustus 2010.