yang melalui tes. Mengukur panjang meja atau tinggi badan seseorang merupakan kuantifikasi suatu objek yang tidak melalui tes.
Secara sederhana Salkind 2013 menjelaskan tes adalah kegiatan sistematis yang digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan seseorang
pada bidang atau keterampilan tertentu. Allen Yen 1979 menyebut tes sebagai
“device for obtaining a sampel of an individual’s behavior”. Tes sebagai instrumen atau prosedur sistematis untuk mengukur sampel perilaku
seseoramg. Sementara itu, Cronbach Fernandes, 1984 menjelaskan tes adalah prosedur yang sistematis untuk mengamati dan menggambarkan
satu atau lebih karakteristik seseorang dengan bantuan skala numerik atau sistem kategori.
Uraian di atas menegaskan bahwa ada perbedaan antara pengukuran, tes, penilaian, dan evaluasi. Pengukuran adalah kegiatan secara sistematis
untuk mengkuantifikasikan mengangkakan suatu subyek atau obyek atau trait sifat. Pengukuran dapat dilakukan melalui tes dan non tes, yang
dalam hal ini tes sebagai kata kerja. Tes sebagai kata kerja adalah kegiatan
secara sistematis untuk mengkuantifikasikan suatu potensi, sedangkan tes sebagai kata benda adalah seperangkat pertanyaan yang jawabannya ada
unsur benar dan salah. Penilaian adalah penafsiran terhadap data yang salah satunya adalah skor hasil pengukuran yang implikasinya dikenakan
pada orang perorang, misal kamu lulus atau tidak lulus; atau kamu baik atau tidak baik. Sementara itu, evaluasi adalah penafsiran terhadap data
yang salah satunya adalah skor hasil pengukuran yang implikasinya dikenakan pada sekelompok orang atau program, misal rata-rata skor
Matematika sekolah ini adalah 7,8 sehingga dapat dikatakan bahwa program pembelajaran Matematika di sekolah ini berhasil.
b.Prinsip-prinsip evaluasi
The American Evaluation Association telah mengeluarkan satu set kode etik bagi para evaluator dalam bidang pendidikan yang dinamakan dengan
“The Guiding Principles for Evaluators” Fitzpatrick, et.al, 2011. Prinsip-
Optimalisasi evaluasi Page 18
prinsip tersebut menjelaskan bahwa evaluator hendaknya: 1 melakukan evaluasi secara sistematis, 2 memiliki kompetensi memadai, 3 memiliki
integritaskejujuran tinggi, 4 respek terhadap keamanan dan kenyamanan responden, partisipan program, dan pada siapapun yang interaksi
dengannya, 5 bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan: cermat dan memperhitungkan diversifikasi interes dan
value yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan umum. Dengan memperhatikan dan
melaksanakan pedoman evaluator ini maka evaluasi akan berjalan lancar, hasil yang didapatkan akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sementara
itu The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation Mc
Namara, 1998 menjelaskan bahwa program seharusnya: feasibel,
dilaksanakan secara legal, etis, memberikan informasi yang diperlukan bermanfaat, memberikan informasi yang lengkap dan berharga tentang
program kecermatan. Langkah penting dalam evaluasi adalah menentukan model evaluasi
yang akan digunakan, karena banyaknya model evaluasi sekitar 35 model, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada model
evaluasi yang berorientasi pada tujuan seperti halnya model Tyler, berorientasi pada keputusan seperti halnya model CIPP, model evaluasi
berorientasikan kinerja program seperti halnya goal free evaluation dari
Scriven. Sifat utama pendekatan evaluasi berorientasi tujuan adalah bahwa
tujuan kegiatan ditentukan, dan kemudian evaluasi difokuskan pada sejauh mana tujuan-tujuan tersebut tercapai. Dalam banyak hal, sebuah program
telah memiliki tujuan yang jelas, namun adakalanya, evaluator harus bekerja dengan pemangku kepentingan
stakeholders untuk merumuskan tujuan program, sering disebut
goal atau standar. Peran kunci evaluator dalam evaluasi berorientasi tujuan adalah menentukan apakah beberapa atau
semua tujuan program tercapai dan, apabila demikian, seberapa baik tujuan tersebut tercapai. Dalam pendidikan, tujuan bisa berupa tujuan
Optimalisasi evaluasi Page 19
pembelajaran atau program pelatihan. Informasi yang didapat dari evaluasi berorientasi tujuan dapat digunakan untuk menentukan apakah terus
membiayai program, membuat perubahan-perubahan penting dalam pembiayaan, atau membuangnya dan mempertimbangkan pendekatan-
pendekatan lain. Pendekatan evaluasi berorientasi keputusan dimaksudkan untuk
memperoleh informasi evaluatif yang dapat digunakan oleh evaluator untuk melayani administrator, manager, pengambil kebijakan, dewan, staf
program, dan lain-lain yang membutuhkan informasi evaluatif. Dalam pendekatan yang berorientasikan keputusan, evaluator bekerja bersama
dengan administrator, mengidentifikasi keputusan yang dibuat oleh administrator berdasarkan tingkat program, dan kemudian mengumpulkan
informasi yang cukup mengenai kekuatan dan kelemahan masing-masing pilihan keputusan untuk mendapatkan penilaian yang
fair. Keberhasilan evaluasi terletak pada kualitas kerja tim antara evaluator dan pengambil
keputusan sehingga akan melahirkan keputusan yang tepat. Model
goal free evaluation dianggap sebagai tandingan model yang dikembangkan oleh Tyler, yaitu
goal oriented evaluation model, yang menjadikan tujuan program merupakan objek pengamatan utama
Fernandes, 1984. Pada model ini, evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus menerus, mengecek seberapa jauh tujuan tersebut
sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program. Dalam model evaluasi
goal free, evaluator akan melihat efek nyata actual effect dari suatu program, bukan hanya efek termaksud
intended effect. Dari konsep itu lahirlah sebuah asumsi bahwa
goal free evalution model tidak berdasar pada goal tetapi pada
effect. Lebih jauh Fernandes 1984 menjelaskan bahwa menurut Scriven,
dalam melaksanakan evaluasi program, evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program tetapi justru melihat
bagaimana program bekerja, dengan jalan mengidentifikasi hal-hal yang Optimalisasi evaluasi
Page 20
terjadi, baik hal-hal positif hal yang diharapkan maupun hal negatif yang tidak diharapkan. Tujuan tidak perlu begitu diperhatikan karena ada
kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus dan lupa dengan proses seberapa jauh program berjalan.
Goal free evaluation disebut dengan evaluasi lepas dari tujuan, tidak berarti model ini lepas sama
sekali dari tujuan, tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan
secara rinci perkomponen. Kekurangan yang diperkirakan muncul bila salah satu dari model yang
telah dijelaskan di atas digunakan dalam evaluasi pembelajaran teknik mesin adalah adanya ketidaksesuaian antara
input dan output, serta hasil evaluasi kurang bisa dimanfaatkan untuk perbaikan pembelajaran. Bila hal ini
dibiarkan terjadi, berarti evaluasi itu tidak optimal. Oleh karena itu perlu dipilih model yang mampu menghilangkan kekurangan-kekurangan tersebut.
c. Logic model untuk evaluasi pembelajaran teknik mesin