EFIKASI HERBISIDA FLUMIOXAZIN PADA GULMA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L. ) LAHAN KERING KEPRASAN 1

(1)

ABSTRAK

EFIKASI HERBISIDA FLUMIOXAZIN PADA GULMA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L. ) LAHAN KERING KEPRASAN 1

Oleh

AGUS PARIYANTO

Penggunaan satu jenis bahan aktif herbisida dalam jangka waktu yang lama pada pertanaman tebu akan menimbulkan banyak masalah seperti resistensi gulma terhadap herbisida. Oleh karena itu perlu dilakukan rotasi penggunaan herbisida dengan herbisida jenis bahan aktif yang berbeda seperti herbisida flumioxazin. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari efikasi herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu dan mempelajari keracunan tanaman tebu akibat aplikasi herbisida flumioxazin.

Penelitian dilakukan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma Universitas Lampung pada bulan Desember 2013 hingga Maret 2014. Rancangan perlakuan tunggal dengan rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS). Percobaan terdiri atas 10 perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan terdiri atas taraf dosis flumioxazin 75, 100, 150, 200, dan 250 g/ha, diuron 1396,6 g/ha + hexaxinon 403,4 g/ha, imazapik 75 g/ha + pendimetalin 750 g/ha, metribuzin 875 g/ha, tanpa perlakuan (kontrol), dan


(2)

penyiangan mekanis. Homogenitas ragam data diuji dengan uji Bartlett.

Aditivitas data diuji dengan uji Tukey. Pemisahan nilai tengah antar perlakuan di uji dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua taraf dosis herbisida flumioxazin yang diuji (75 – 250 g/ha) efektif dalam mengendalikan pertumbuhan gulma total, golongan daun lebar dan gulma dominan Richardia brasiliensis pada 15, 30, 60, dan 90 HSA. Herbisida flumioxazin dosis 200 dan 250 g/ha efektif dalam mengendalikan gulma Mimosa invisa, dan Ipomoea triloba pada 15, 30, 60, dan 90 HSA, serta efektif mengendalikan gulma Croton hirtus pada 15, 30 dan 90 HSA dan gulma Celosia argentea pada 60 dan 90 HSA. Herbisida flumioxazin pada semua taraf dosis yang diuji (75 – 250 g/ha) meracuni tanaman tebu pada pengamatan 7 HSA dan mulai pulih setelah pengamatan 15 HSA.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akherat, maka wajib baginya

memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu (Al Hadits).


(8)

Kupersembahkan goresan karya kecil ini untuk bapak, ibu, adik, dan keluargaku yang saya sayangi dan cintai karena Allah, yang selalu memberikan doa dan


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Panggung Mulyo, Kecamatan Rawa Pitu, Kabupaten Tulang Bawang pada tanggal 27 Agustus 1991 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sukarwan dan Ibu Warisem Suwardi.

Pendidikan SD ditempuh di SDN 01 Panggung Mulyo diselesaikan pada tahun 2004, SMP PGRI Penawar Aji (2007), SMAN 1 Meraksa Aji Kabupaten Tulang Bawang (2010). Pada tahun 2010 penulis masuk perguruan tinggi Universitas Lampung lewat jalur ujian tertulis SNMPTN dan terdaftar di Jurusan

Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti UKMU English Society Organization (ESO) UNILA bidang Scrabble, Forum Studi Islam Fakultas Pertanian ( UKMF FOSI FP) bidang akademik dan UKMU Birohmah. Dalam kegiatan akademik juga penulis memiliki beberapa prestasi diantaranya mahasiswa jurusan Agroteknologi terbaik ke-1 Indeks Prestasi (3,93 dan 4,00) tahun 2011 dan 2012. Finalis Pekan Riset mahasiswa tingkat nasional di Universitas Brawijaya tahun 2013, Juara 2 Lomba Teknologi Terapan Bappeda Lampung tahun 2013 kategori umum, juara 2 dan 3 PKM GT dan AI fakultas, lolos PKM- AI, PKM-P dan PKM-K DIKTI tahun 2014. Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Teknologi Benih, Produksi Tanaman


(10)

1

SANWACANA

Puji syukur selalu penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan pertolongan sehingga skripsi ini. dapat diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Efikasi Herbisida Flumioxazin pada Gulma Pertanaman

Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering Keprasan 1” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ir. Dad R. J. Sembodo, M. S., selaku pembimbing pertama atas ide penelitian, bimbingan dan saran serta kesabaran dalam memberikan bimbingannya sehingga terselesaikanya skripsi ini.

2. Ir. Sugiatno, M. S., selaku pembimbing kedua atas saran dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini

3. Ir. Herry Susanto, M. P., selaku pembahas bukan pembimbing yang telah memberikan saran selama penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Dwi Hapsoro, M. Sc., selaku Pembimbing akademik yang telah memberikan saran selama penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M. P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi yang telah membantu dalam administrasi penyelesaian skripsi.


(11)

2

6. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M. S., selaku Dekan Fakultas Peratnian yang telah membantu dalam administrasi skripsi.

7. Orang tuaku Bapak Karwan dan Ibu Warisem, adik Lusi, Risky, Mbah Ulon, Mbah Putri, Mbah Ewuh, Paman Trisno, Bi Apri, Paman Bandi, Paman Toyo, Bi Inah, Mahud, Endon dan semua keluargaku atas dukungannya selama ini.

8. Murobbi dan teman mengaji tercinta yang telah memberikan motivasi dan dukunganya selama ini

9. Mas Khoiri, mas Gono, mas Watt dan asisten lapang yang lain yang telah membantu selama penelitian.

10. Teman- teman seperjuangan penelitian gulma dan kawan- kawan angkatan Agroteknologi 2010 yang lain atas bantuanya selama ini.

11. Keluarga besar UKMF FOSI FP, BIROHMAH, atas dukungan dan bantuannya selama ini.

12. Saudara kontrakan Amanda Putra Seta, Aditya Wahyu Nugraha S.T.P., Wawan Setiawan, Ridwan Kusuma, Rizky Eko Prasetyo, kak Gamal bersaudara, dan Sakban.

13. Teman – teman tim PKM Very Wibowo, Lugito, Yoseph, Desis Kurniyati, Heni Susanti, Habiba Nurul Istiqomah, Fransiska Dina, Fera Finarti, Agung, wawan, Aan, Dian, Tama, dan Isnaini atas kebersamaannya selama ini.

Bandar Lampung, 25 September 2014 Agus Pariyanto


(12)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xError! Bookmark not defined. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 5

1.3. Landasan Teori ... 5

1.4. Kerangka Pemikiran ... 8

1.5. Hipotesis ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Tebu ... 11

2.1.1. Botani tanaman tebu ... 11

2.1.2. Syarat tumbuh ... 13

2.1.3. Sistem budidaya tanaman tebu ... 15

2.2. Pengendalian Gulma ... 16

2.2.1. Gulma ... 16

2.2.2. Pengendalian gulma secara kimiawi ... 18

2.2.3. Herbisida flumioxazin ... 19

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21


(13)

xiv

3.2 Bahan dan Alat ... 21

3.3 Metode Penelitian ... 22

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 23

3.4.1. Penebangan tebu ... 23

3.4.2. Persiapan lahan dan pembuatan petak percobaan ... 23

3.4.3. Pemupukan ... 24

3.4.4. Pengairan ... 25

3.4.5. Aplikasi herbisida ... 25

3.4.6. Pengambilan sampel gulma ... 25

3.5 Pengamatan ... 26

3.5.1. Tanaman tebu ... 26

3.5.2. Gulma ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHSAAN 4.1 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Total ... 31

4.2 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Golongan Daun Lebar ... 33

4.2.1. Persentase Penutupan dan Bobot KeringRichardia brasiliensis ... 35

4.2.2. Persentase penutupan dan bobot keringMimosa invisa ... 37

4.2.3. Persentase penutupan dan bobot keringCroton hirtus ... 39

4.2.4. Persentase penutupan dan bobot keringCelosia argentea ... 41

4.2.5. Persentase penutupan dan bobot keringIpomoea triloba ... 43

4.3. Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Golongan Rumput ... 45


(14)

xv

4.4. Populasi Tanaman ... 48

4.5. Tinggi Tanaman ... 49

4.6. Fitotoksistas Tanaman Tebu ... 50

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 52

5.2. Saran ... 53

PUSTAKA ACUAN ... 54


(15)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Susunan perlakuan efikasi flumioxazin. ... 22 2. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan

gulma total. ... 32 3. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering gulma

total. ... 32 4. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan daun

lebar. ... 34 5. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering daun

lebar. ... 34 6. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan

Richardia brasiliensis. ... 36 7. Pengaruh flumioxazin terhadap bobot kering Richardia

brasiliensis. ... 36 8. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan

Mimosa invisa. ... 38 9. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering Mimosa

invisa. ... 38 10. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan

Croton hirtus. ... 40 11. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering Croton

hirtus. ... 40 12. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan

Celosia argentea. ... 42 13. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering Celosia


(16)

xvii

14. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan

Ipomoea triloba. ... 44

15. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering Ipomoea triloba. ... 44

16. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan gulma rumput. ... 46

17. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering gulma rumput. ... 46

18. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap persentase penutupan Rottboelia exaltata. ... 47

19. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap bobot kering Rottboelia exaltata. ... 47

21. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap populasi tanaman. ... 49

21. Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap tinggi tanaman. ... 50

22. Penutupan gulma total pada 15 HSA. ... 58

23. Transformasi √(x+0,5) penutupan gulma total pada 15 HSA. ... 58

24. Analisis ragam penutupan gulma total pada 15 HSA. ... 58

25. Penutupan gulma total pada 30 HSA. ... 59

26. Transformasi √(x+0,5) penutupan gulma total pada 30 HSA. ... 59

27. Analisis ragam penutupan gulma total pada 30 HSA. ... 59

28. Penutupan gulma total pada 60 HSA. ... 60

29. Transformasi √(x+0,5) penutupan gulma total pada 60 HSA. ... 60

30. Analisis ragam penutupan gulma total pada 60 HSA. ... 60

31. Penutupan gulma total pada 90 HSA. ... 61

32. Transformasi √(x+0,5) penutupan gulma total pada 90 HSA. ... 61

33. Analisis ragam penutupan gulma total pada 90 HSA. ... 61


(17)

xviii

35. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma total pada 30 HSA ... 62

36. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 30 HSA. ... 62

37. Bobot kering gulma total pada 60 HSA. ... 63

38. Transformasi √√(x+0,5) bobot kering gulma total pada 60 HSA. ... 63

39. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 60 HSA. ... 63

40. Bobot kering gulma total pada 90 HSA. ... 64

41. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma total pada 90 HSA. .... 64

42. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 90 HSA. ... 64

43. Penutupan gulma daun lebar pada 15 HSA. ... 65

44. Transformasi √√(x+0,5) penutupan daun lebar pada 15 HSA. ... 65

45. Analisis ragam penutupan gulma daun lebar pada 15 HSA. ... 65

46. Penutupan gulma daun lebar pada 30 HSA. ... 66

47. Transformasi √(x+0,5) penutupan gulma daun lebar pada 30 HSA. ... 66

48. Analisis ragam penutupan gulma daun lebar pada 30 HSA. ... 66

49. Penutupan gulma daun lebar pada 60 HSA. ... 67

50. Analisis ragam penutupan gulma daun lebar pada 60 HSA. ... 67

51. Penutupan gulma daun lebar pada 90 HSA. ... 68

52. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma daun lebar pada 90 HSA. ... 68

53. Analisis ragam penutupan gulma daun lebar pada 90 HSA. ... 68

54. Bobot kering gulma golongan daun lebar pada 30 HSA. ... 69

55. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering daun lebar pada 30 HSA. ... 69

56. Analisis ragam Bobot kering daun lebar pada 30 HSA. ... 69

57. Bobot kering gulma golongan daun lebar pada 60 HSA. ... 70


(18)

xix

59. Analisis ragam Bobot kering daun lebar pada 60 HSA. ... 70

60. Bobot kering gulma daun lebar pada 90 HSA. ... 71

61. Transformasi √(x+0,5) bobot kering gulma daun lebar pada 90 HSA. ... 71

62. Analisis ragam bobot kering gulma daun lebar pada 90 HSA. ... 71

63. Penutupan gulma rumput pada 15 HSA. ... 72

64. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma rumput pada 15 HSA. ... 72

65. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 15 HSA. ... 72

66. Penutupan gulma rumput pada 30 HSA. ... 73

67. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma rumput pada 30 HSA. ... 73

68. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 30 HSA ... 73

69. Penutupan gulma rumput pada 60 HSA. ... 74

70. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma rumput pada 60 HSA. .... 74

71. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 60 HSA. ... 74

72. Penutupan gulma rumput pada 90 HSA. ... 75

73. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan gulma rumput pada 90 HSA. .... 75

74. Analisis ragam penutupan gulma rumput pada 90 HSA. ... 75

75. Bobot kering gulma rumput pada 30 HSA. ... 76

76. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma rumput pada 30 HSA. ... 76

77. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 30 HSA. ... 76

78. Bobot kering gulma rumput pada 60 HSA. ... 77

79. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma rumput pada 60 HSA. ... 77

80. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 60 HSA. ... 77


(19)

xx

82. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering gulma rumput

pada 90 HSA. ... 78

83. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 90 HSA. ... 78

84. Penutupan Richardia brasiliensis pada 15 HSA. ... 79

85. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Richardia brasiliensis pada 15 HSA. ... 79

86. Analisis ragam penutupan Richardia brasiliensis pada 15 HSA. ... 79

87. Penutupan Richardia brasiliensis pada 30 HSA. ... 80

88. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Richardia brasiliensis pada 30 HSA. ... 80

89. Analisis ragam penutupan Richardia brasiliensis pada 30 HSA. ... 80

90. Penutupan Richardia brasiliensis pada 60 HSA. ... 81

91. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Richardia brasiliensis pada 60 HSA. ... 81

92. Analisis ragam penutupan Richardia brasiliensis pada 60 HSA. ... 81

93. Penutupan Richardia brasiliensis pada 90 HSA. ... 82

94. Analisis ragam penutupan Richardia brasiliensis pada 90 HSA. ... 82

95. Bobot kering Richardia brasiliensis pada 30 HSA. ... 82

96. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Richardia brasiliensis pada 30 HSA. ... 83

97. Analisis ragam bobot kering Richardia brasiliensis pada 30 HSA. ... 83

98. Bobot kering gulma Richardia brasiliensis pada 60 HSA. ... 83

99. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Richardia brasiliensis pada 60 HSA. ... 84

100. Analisis ragam bobot kering Richardia brasiliensis pada 60 HSA. ... 84


(20)

xxi

102. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Richardia brasiliensis pada 90 HSA. ... 85 103. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis

pada 90 HSA. ... 85

104. Penutupan Mimosa invisa pada 15 HSA. ... 86 105. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Mimosa invisa

pada 15 HSA. ... 86 106. Analisis ragam penutupan Mimosa invisa pada 15 HSA. ... 86 107. Penutupan gulma Mimosa invisa pada 30 HSA. ... 87 108. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Mimosa invisa

pada 30 HSA. ... 87 109. Analisis ragam penutupan Mimosa invisa pada 30 HSA. ... 87 110. Penutupan gulma Mimosa invisa pada 60 HSA. ... 88 111. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Mimosa invisa

pada 60 HSA. ... 88 112. Analisis ragam penutupan gulma Mimosa invisa

pada 60 HSA. ... 88 113. Penutupan Mimosa invisa pada 90 HSA. ... 89 114. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Mimosa invisa

pada 90 HSA. ... 89 115. Analisis ragam penutupan gulma Mimosa invisa

pada 90 HSA. ... 89 116. Bobot kering Mimosa invisa pada 30 HSA. ... 90 117. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Mimosa invisa

pada 30 HSA. ... 90 118. Analisis ragam bobot kering gulma Mimosa invisa

pada 30 HSA. ... 90 119. Bobot kering Mimosa invisa pada 60 HSA. ... 91 120. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Mimosa invisa


(21)

xxii

121. Analisis ragam bobot kering gulma Mimosa invisa

pada 60 HSA. ... 91

122. Bobot kering Mimosa invisa pada 90 HSA. ... 92

123. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Mimosa invisa pada 90 HSA. ... 92

124. Analisis ragam bobot kering Mimosa invisa pada 90 HSA. ... 92

125. Penutupan Croton hirtus pada 15 HSA. ... 93

126. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Croton hirtus pada 15 HSA. ... 93

127. Analisis ragam penutupan Croton hirtus pada 15 HSA. ... 93

128. Penutupan Croton hirtus pada 30 HSA. ... 94

129. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Croton hirtus pada 30 HSA. ... 94

130. Analisis ragam penutupan Croton hirtus pada 30 HSA. ... 94

131. Penutupan Croton hirtus pada 60 HSA. ... 95

132. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Croton hirtus pada 60 HSA. ... 95

133. Analisis ragam penutupan Croton hirtus pada 60 HSA. ... 95

134. Penutupan Croton hirtus pada 90 HSA. ... 96

135. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Croton hirtus pada 90 HSA. ... 96

136. Analisis ragam penutupan Croton hirtus pada 90 HSA. ... 96

137. Bobot kering Croton hirtus pada 30 HSA. ... 97

138. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Croton hirtus pada 30 HSA. ... 97

139. Analisis ragam bobot kering Croton hirtus pada 30 HSA. ... 97

140. Bobot kering gulma Croton hirtus pada 60 HSA. ... 98

141. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Croton hirtus pada 60 HSA. ... 98


(22)

xxiii

142. Analisis ragam bobot kering Croton hirtus pada 60 HSA. ... 98 143. Bobot kering Croton hirtus pada 90 HSA. ... 99 144. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Croton hirtus

pada 90 HSA. ... 99 145. Analisis ragam bobot kering Croton hirtus pada 90 HSA. ... 99 146. Penutupan Celosia argentea pada 15 HSA. ... 100

147. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Celosia argentea 15 HSA. .... 100 148. Analisis ragam penutupan Celosia argentea pada 15 HSA. ... 100 149. Penutupan Celosia argentea pada 30 HSA. ... 101

150. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Celosia argentea 30 HSA. ... 101 151. Analisis ragam penutupan Celosia argentea pada 30 HSA. ... 101 152. Penutupan Celosia argentea pada 60 HSA. ... 102

153. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Celosia argentea 60 HSA. ... 102 154. Analisis ragam penutupan Celosia argentea pada 60 HSA. ... 102 155. Penutupan Celosia argentea pada 90 HSA. ... 103

156. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Celosia argentea 90 HSA. ... 103 157. Analisis ragam penutupan Celosia argentea pada 90 HSA. ... 103 158. Bobot kering Celosia argentea pada 30 HSA. ... 104 159. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Celosia argentea pada 30 HSA. ... 104 160. Analisis ragam bobot kering Celosia argentea pada 30 HSA. ... 104 161. Bobot kering Celosia argentea pada 60 HSA. ... 105 162. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Celosia argentea 60 HSA. .. 105 163. Analisis ragam bobot kering Celosia argentea pada 60 HSA. ... 105 164. Bobot kering Celosia argentea pada 90 HSA. ... 106


(23)

xxiv

165. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Celosia argentea pada 90 HSA. ... 106 166. Analisis ragam bobot kering Celosia argentea pada 90 HSA. ... 106 167. Penutupan Ipomoea triloba pada 15 HSA. ... 107 168. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Ipomoea triloba 15 HSA. ... 107 169. Analisis ragam penutupan Ipomoea triloba 15 HSA. ... 107 170. Penutupan Ipomoea triloba pada 30 HSA. ... 108 171. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Ipomoea triloba

pada 30 HSA. ... 108 172. Analisis ragam penutupan Ipomoea triloba pada 30 HSA. ... 108 173. Penutupan Ipomoea triloba pada 60 HSA. ... 109 174. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Ipomoea triloba 60 HSA. ... 109 175. Analisis ragam penutupan gulma Ipomoea triloba pada 60 HSA. .... 109 176. Penutupan Ipomoea triloba pada 90 HSA. ... 110 177. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Ipomoea triloba 90 HSA. ... 110 178. Analisis ragam penutupan Ipomoea triloba pada 90 HSA. ... 110 179. Bobot kering gulma Ipomoea triloba pada 30 HSA. ... 111 180. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Ipomoea triloba

pada 30 HSA. ... 111 181. Analisis ragam bobot kering Ipomoea triloba pada 30 HSA. ... 111 182. Bobot kering Ipomoea triloba pada 60 HSA. ... 112 183. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Ipomoea triloba

pada 60 HSA. ... 112 184. Analisis ragam bobot kering Ipomoea triloba pada 60 HSA. ... 112 185. Bobot kering Ipomoea triloba pada 90 HSA. ... 113 186. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Ipomoea triloba


(24)

xxv

187. Analisis ragam bobot kering Ipomoea triloba pada 90 HSA. ... 113 188. Penutupan gulma Rottboelia exaltata pada 15 HSA. ... 114 189. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Rottboelia exaltata

pada15 HSA. ... 114 190. Analisis ragam penutupan Rottboelia exaltata pada 15 HSA. ... 114 191. Penutupan gulma Rottboelia exaltata pada 30 HSA. ... 115 192. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Rottboelia exaltata

pada 30 HSA. ... 115 193. Analisis ragam penutupan Rottboelia exaltata pada 30 HSA. ... 115 194. Penutupan Rottboelia exaltata pada 60 HSA. ... 116 195. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Rottboelia exaltata

pada 60 HSA. ... 116 196. Analisis ragam penutupan Rottboelia exaltata pada 60 HSA. ... 116 197. Penutupan Rottboelia exaltata pada 90 HSA. ... 117 198. Transformasi √√√(x+0,5) penutupan Rottboelia exaltata

pada 90 HSA. ... 117 199. Analisis ragam penutupan Rottboelia exaltata pada 90 HSA. ... 117 200. Bobot kering Rottboelia exaltata pada 30 HSA. ... 118 201. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Rottboelia exaltata

pada 30 HSA. ... 118 202. Analisis ragam bobot kering Rottboelia exaltata pada 30 HSA. .... 118 203. Bobot kering Rottboelia exaltata pada 60 HSA. ... 119 204. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Rottboelia exaltata

pada 60 HSA. ... 119 205. Analisis ragam bobot kering Rottboelia exaltata pada 60 HSA. ... 119 206. Bobot kering Rottboelia exaltata pada 90 HSA. ... 120 207. Transformasi √√√(x+0,5) bobot kering Rottboelia exaltata


(25)

xxvi

208. Analisis ragam bobot kering Rottboelia exaltata pada 90 HSA. ... 120 209. Populasi tanaman tebu 30 HSA. ... 121 210. Analisis ragam populasi tanaman tebu 30 HSA. ... 121 211. Populasi tanaman tebu 60 HSA. ... 121 212. Analisis ragam populasi tanaman tebu 60 HSA. ... 122 213. Populasi tanaman tebu 90 HSA. ... 122 214. Analisis ragam populasi tanaman tebu 90 HSA. ... 122 215. Tinggi tanaman tebu 30 HSA. ... 123 216. Analisis ragam tinggi tanaman tebu 30 HSA. ... 123 217. Tinggi tanaman tebu 60 HSA. ... 123 218. Analisis ragam tinggi tanaman tebu 60 HSA. ... 124 219. Tinggi tanaman tebu 90 HSA. ... 124 220. Analisis ragam tinggi tanaman tebu 90 HSA. ... 124


(26)

xxvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Struktur kimia flumioxazin (Tomlin, 2011) ... 20 2. Tata letak percobaan ... 24 3. Metode pengambilan gulma ... 26 4. Tanaman contoh yang damati populasinya ... 28 5. Tanaman contoh yang diamati tingginya ... 29 6. Gulma Richardia brasiliensis ... 37 7. Gulma Mimosa invisa ... 39 8. Gulma Croton hirtus ... 41 9. Gulma Celosia argentea ... 43 10. Gulma Ipomoea triloba ... 45 11. Gulma Rottboelia exaltata ... 48 12. Perbandingan fitiotoksisitas tanaman tebu ... 51 13. Penebangan tebu…………. ... 125 14. Pembersihan lahan…………. ... 125 15. Pembuatan petak percobaan…………. ... 125 16. Pemupukan dasar…………. ... 125 17. Pelarutan herbisida…………. ... 126 18. Aplikasi herbisida…………... 126 19. Fitotoksisitas tanaman tebu 7 HSA ... 126


(27)

xxviii

20. Fitotokisitas tanaman tebu 15 HSA... 127 21. Penutupan Gulma 30 HSA ... 127 22. Penutupan gulma 60 HSA ... 128 23. Penutupan gulma 90 HSA ... 128 24. Pengukuran tinggi tanaman………. ... 129 25. Pengambilan sampel gulma………... 129 26. Bobot kering gulma pada 90 HSA ………. ... 129 27. Populasi tanaman pada 90 HSA ………. ... 129


(28)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek yang cukup cerah. Hal ini dikarenakan sudah banyak dikembangkan beberapa produk turunan tebu seperti gula, etanol, ragi roti, papan partikel, papan serat, kertas, dan daya listrik. Produk tersebut mempunyai peluang pasar yang cukup terbuka, baik di pasar domestik maupun internasional (Departemen Pertanian, 2007). Dengan berkembangnya industri turunan ini diharapkan produktivitas tebu dapat ditingkatkan.

Produksi tebu nasional masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Produksi tebu nasional tahun 2012 yaitu 2.438.198 ton . Produksi tebu tersebut belum mencukupi permintaan gula nasional yang mencapai 2,7 juta ton, sehingga kekurangannya harus diimpor dari negara lain (Direktorat Jendral Perkebunan, 2013). Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi tebu penting untuk dilakukan.

Program kerja yang telah disusun oleh pemerintah untuk memenuhi permintaan pasar akan gula, salah satunya dengan memperluas areal pertanaman tebu.


(29)

2

seperti di Lampung. Umumnya masalah di dalam budidaya tanaman tebu lahan kering yaitu produksinya rendah. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2013), produksi tebu di Lampung hanya terjadi peningkatan sekitar 0,45 % terhitung dari tahun 2011 sampai dengan 2012, lebih rendah jika dibandingkan di luar Lampung. Faktor yang menyebabkan rendahnya produksi tebu di lahan kering salah satunya yaitu masalah gulma.

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia. Gulma dianggap merugikan karena berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam hal ketersediaan sarana tumbuh seperti air, unsur hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh (Sembodo, 2010). Menurut Kuntohartono (1991) dalam Alfredo dkk. (2012), kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat menurunkan bobot tebu berkisar 6 - 9% dan penurunan rendemen sebesar 0,09%. Kerugian akibat gulma akan lebih besar akibat tidak terkendalinya gulma pada periode kritis tanaman tebu yaitu antara 27 - 50 hari setelah tanam (Srivastava dkk., 2003). Pernyataan ini didukung oleh Zimdahl (1980) dalam Wijaya dkk (2012) bahwa kompetisi gulma pada 3, 6, dan 9 minggu setelah tanam menurunkan hasil tanaman tebu berturut-turut sebesar 77,6 %, 50,6 %, dan 41,7%.

Upaya untuk mencegah dan mengurangi kerugian secara ekonomi akibat adanya gulma pada periode kritis tanaman tebu dengan herbisida pratumbuh dapat menimbulkan banyak masalah. Bahan aktif herbisida pratumbuh yang banyak digunakan pada pertanaman tebu seperti ametrin, diuron, dan metribuzin dapat menyebabkan masalah di pertanaman tebu akibat penggunaan herbisida dengan


(30)

3

cara kerja yang sama dalam jangka waktu lama yaitu dapat menimbulkan resistensi gulma terhadap herbisida. Oleh karena itu, usaha rotasi penggunaan herbisida penting untuk dilakukan. Beberapa bahan aktif baru yang dapat dijadikan pengganti untuk merotasi herbisida pratumbuh pada pertanaman tebu , salah satunya yaitu flumioxazin.

Flumioxazin merupakan herbisida yang dapat digunakan pratumbuh dan pasca tumbuh dengan tatanama IUPAC yaitu N- (7- fluro- 3,4 dihydro- 3- Oxo-4 prop- 2- ynyl- 2H- 1,4 benzoxazin= 6yl) cyclohex- 1- ene-1,2- dicarboxamide. Cara kerja herbisida flumioxazin yaitu menghambat kerja enzim protoporphyrinogen oxidase. Reaksi ini akan aktif dengan adanya cahaya dan oksigen, melalui induksi akumulasi porfirin dan meningkatkan peroksidasi membran lipid menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik dari fungsi membran dan struktur tanaman menjadi rentan. Herbisida berbahan aktif flumioxazin banyak digunakan untuk mengendalikan gulma tahunan rumput, daun lebar dan teki (Tomlin, 2011).

Efektivitas penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma sangat ditentukan oleh dosis yang diberikan, sehingga pemberian dosis harus tepat (Sembodo, 2010). Flessner dkk. (2013) melaporkan bahwa herbisida flumioxazin dengan dosis 0,43 kg/ha mampu mengendalikan lebih besar dari 95% Poa annua. Hal serupa juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Ducar dkk. (2002) bahwa perlakuan kombinasi herbisida diklosulam, flumioxazin, dan imazapik pada pertanaman kacang tanah menunjukkan persentase pengendalian gulma lebih dari 84% dan diiringi oleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi herbisida serta tidak menimbulkan keracunan terhadap kacang tanah. Selain itu, menurut


(31)

4

Vasilakoglou dkk. (2013), herbisida flumioxazin efektif mengendalikan gulma daun lebar seperti genus Amaranthus.

Pengaruh herbisida flumioxazin terhadap fitotoksisitas beberapa tanaman sudah diketahui. Hasil penelitian Yoshida dkk. (1991) dalam Vencill (2003) tentang efek flumioxazin yang diaplikasikan pratumbuh dengan dosis 250 g/ha

menunjukkan bahwa fitotoksisitas kedelai dan kacang tanah toleran, sedangkan jagung dan kapas agak toleran. Pernyataan ini diperkuat oleh Tomlin (2011) bahwa fitotoksitas herbisida flumioxazin terhadap kedelai dan kacang tanah toleran sedangkan pada jagung, gandum, barley, dan padi agak toleran. Menurut Grichar dkk. (2013), penggunaan herbisida flumioxazin tidak mengkerdilkan tanaman kacang tanah. Selain itu, menurut Jursik dkk. (2011), fitotoksitas herbisda flumioxazin yang diaplikasikan pasca tumbuh pada tanaman bunga matahari menunjukan fitotoksitas yang rendah yaitu 6%. Pengetahuan akan penggunaan dosis herbisida flumioxazin yang efektif dalam mengendalikan gulma serta tidak menimbulkan keracunan pada pertanaman tebu belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, pentingnya dilakukan pengujian untuk mempelajari efikasi beberapa tingkat dosis herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma serta tingkat keracunan yang ditimbulkan akibat aplikasi herbisida flumioxazin pada pertanaman tebu lahan kering.

Pengujian herbisida flumioxazin dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang telah disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah efikasi herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu lahan kering keprasan 1?


(32)

5

2. Apakah terjadi keracunan pada pertanaman tebu lahan kering keprasan 1 akibat aplikasi herbisida flumioxazin?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disusun , tujuan penelitian ini adalah 1. Mempelajari efikasi herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma pada

pertanaman tebu lahan kering keprasan 1.

2. Mempelajari keracunan pada tanaman tebu lahan kering keprasan 1 akibat aplikasi herbisida flumioxazin.

1.3 Landasan Teori

Untuk menyusun penjelasan teoritis terhadap rumusan masalah yang diajukan, dibutuhkan landasan teori sebagai berikut:

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia. Gulma dianggap merugikan karena berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam hal ketersediaan sarana tumbuh seperti air, unsur hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh. Selain itu juga gulma mengeluarkan zat alelokimia yang dapat meracuni tanaman budidaya (Sembodo, 2010).

Menurut Kuntohartono (1991) dalam Alfredo dkk. (2012), kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat


(33)

6

menurunkan bobot tebu antara 6 - 9% dan penurunan rendemen sebesar 0,09 %. Sedangkan menurut Khan dkk. (2004), kerugian yang ditimbulkan oleh

keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat menurunkan bobot tebu antara 20 - 25 %. Menurut Srivastava dkk. (2003), pada umumnya tanaman tebu memiliki periode kritis antara 27 - 50 hari setelah tanam, sehingga jika gulma tidak dikendalikan pada periode kritis tanaman tebu, maka akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi hasil tanaman. Pernyataan ini didukung oleh Zimdahl (1980) dalam Wijaya dkk. (2012) bahwa kompetisi gulma pada 3, 6, dan 9 minggu setelah tanam menurunkan hasil tanaman tebu berturut-turut sebesar 77,6 %, 50,6 %, dan 41,7%. Oleh karena itu tindakan pengendalian gulma peting untuk dilakukan.

Metode pengendalian gulma pada pertanaman tebu yang umumnya cukup luas hendaknya mempertimbangkan banyak aspek sehingga efektif dan efesien. Salah satu metode yang dapat diterapkan di pertanaman tebu yaitu menggunakan

metode pengendalian kimiawi dengan herbisida. Herbisida merupakan bahan kimia atau kultur hayati yang dapat menghamabat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan (Sembodo, 2010). Berdasarkan waktu aplikasinya herbisida ada yang diaplikasikan sebelum gulma itu tumbuh (pratumbuh) dan setelah gulma tumbuh (pascatumbuh). Pada umumnya pengendalian herbisida pada pertanaman tebu dilakukan sedini mungkin, salah satu cara yaitu menggunakan herbisida pratumbuh sehingga potensi produksi dapat tercapai.

Herbisida pratumbuh yang banyak digunakan dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu di antaranya diuron, imazapik, atrazin, dan metribuzin. Akibat


(34)

7

penggunaan herbisida dengan cara kerja yang sama dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan masalah diantaranya resistensi gulma terhadap herbisida. Langkah yang tepat untuk mencegah adanya resistensi yaitu dengan merotasi penggunaan jenis bahan aktif herbisida.

Flumioxazin merupakan herbisida yang dapat digunakan pratumbuh dan pasca tumbuh dengan tatanama IUPAC yaitu N- (7- fluro-3,4 dihydro-3- 0xo-4 prop- 2-ynyl- 2H- 1,4 benzoxazin-= 6yl) cyclohex- 1- ene- 1,2- dicarboxamide. Cara kerja herbisida (mode of action) flumioxazin yaitu menghambat enzim

protoporphyrinogen oxidase. Herbisida berbahan aktif flumioxazin banyak digunakan untuk mengendalikan gulma tahunan baik rumput, daun lebar, ataupun teki (Tomlin, 2011).

Flessner dkk. (2013) melaporkan bahwa herbisida flumioxazin dengan dosis 0,43 kg/ ha efektif mengendalikan lebih dari 95% Poa annua. Hal serupa juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Ducar dkk.(2002) bahwa perlakuan kombinasi herbisida diklosulam, flumioxazin, dan imazapik pada pertanaman kacang tanah menunjukkan persentase pengendalian gulma lebih dari 84%. Menurut Azania dkk. (2010), herbisida berbahan aktif flumioxazin efektif mengendalikan gulma daun lebar. Selain itu, menurut Vasilakoglou dkk. (2013), herbisida berbahan aktif flumioxazin efektif mengendalikan gulma daun lebar seperti genus Amaranthus

Hasil penelitian Yoshida dkk. (1991) dalam Vencill (2003) tentang efek flumioxazin yang diaplikasikan pratumbuh di rumah kaca ke berbagai spesies menunjukkan bahwa kedelai dan kacang tanah memiliki toleransi yang sangat


(35)

8

baik dengan dosis aplikasi flumioxazin tertinggi (250 g/ ha) sedangkan jagung dan kapas cukup toleran. Menurut Grichar dkk. (2013), penggunaan herbisida

flumioxazin yang diaplikasikan tidak mengkerdilkan tanaman kacang tanah. Hal serupa juga diungkapkan oleh Tomlin (2011) bahwa kedelai dan kacang tanah toleran sedangkan pada jagung, gandum, barley dan padi agak toleran terhadap flumioxazin. Selain itu juga dilaporkan oleh Jursik dkk. (2011) bahwa fitotoksitas herbisda flumioxazin yang diaplikasikan pasca tumbuh pada tanaman bunga matahari menunjukan fitotoksitas yang rendah hanya 6%.

1.4 Kerangka Pemikiran

Tebumerupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan prospek yang cukup cerah, tetapi tidak didukung oleh produksi yang tinggi. Dalam upaya meningkatkan produksi tebu program perluasan lahan pertanaman tebu sangat diintensifkan terutama pada lahan kering. Masalah yang menjadi faktor pembatas produksi pada pertanman tebu, salah satunya yaitu masalah gulma.

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia karena berkompetisi dengan tanaman budidaya sehingga menurunkan kuantitas dan kualitas produksi tanaman budidaya. Hal tersebut juga akan terjadi pada pertanaman tebu lahan kering. Kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat menurunkan bobot tebu berkisar 6 hingga 25% dan penurunan rendemen sebesar 0,09%. Selain itu gulma akan


(36)

9

sangat merugikan bila tidak dikendalikan pada massa kritis tanaman seperti pada 3, 6, dan 9 minggu setelah tanam dapat menurunkan hasil tanaman tebu berturut-turut sebesar 77,6 %, 50,6 %, dan 41,7%. Oleh karena itu upaya untuk mencegah dan mengurangi kerugian secara ekonomi pada tanaman tebu akibat adanya gulma menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan.

Pengendalian gulma pada tanaman tebu hendaknya dilakukan sedini mungkin sehingga potensi produksinya dapat tercapai, salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan menggunakan herbisida pratumbuh. Pada pertanaman tebu bahan aktif herbisida ternama yang sering digunakan di antaranya ametrin, atrazin, metribuzin, diuron, dan imazapik.

Pada umumnya penggunaan jenis herbisida pratumbuh pada pertanaman tebu cenderung menggunakan satu jenis bahan aktif yang selalu dipakai bertahun-tahun. Masalah yang akan muncul di pertanaman tebu akibat penggunaan herbisida dengan satu jenis bahan aktif saja dalam jangka waktu lama yaitu terjadinya resistensi. Oleh karena itu rotasi bahan aktif herbisida penting untuk dilakukan. Beberapa bahan aktif yang dapat dijadikan alternatif untuk merotasi herbisida pratumbuh pada pertanaman tebu, salah satunya yaitu bahan aktif flumioxazin.

Flumioxazin merupakan herbisida yang dapat digunakan secara pratumbuh dan pasca tumbuh dengan cara kerja herbisida (mode of action) yaitu menghambat kerja enzim protoporphyrinogenoxidase melalui absorbsi pada perkecambahan biji gulma. Herbisida berbahan aktif flumioxazin banyak digunakan untuk mengendalikan gulma tahunan baik rumput, daun lebar, ataupun teki. Herbisida


(37)

10

ini biasanya diaplikasikan secara pratumbuh dan pascatumbuh pada tanaman kedelai, kacang tanah, dan kentang.

Berdasarkan landasan teori, herbisida flumioxazin mampu mengendalikan gulma daun lebar, rumput, dan teki. Selain itu juga dilaporkan bahwa perlakuan

kombinasi herbisida diklosulam, flumioxazin, dan imazapik pada pertanaman kacang tanah menunjukkan persentase pengendalian gulma lebih dari 84% dan diiringi oleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi herbisida. Selain itu, aplikasi flumioxazin dengan dosis tertinggi (250 g/ha) menunjukkan kedelai dan kacang tanah memiliki toleransi yang sangat baik sedangkan jagung dan kapas cukup toleran. Meskipun demikian pengetahuan akan efikasi dan fitotoksitas pada pertanaman tebu belum banyak diketahui. Oleh karena itu akan dilakukan pengujian untuk mempelajari efikasi herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma serta tingkat keracunan yang ditimbulkan pada pertanaman tebu.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran dapat disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Herbisida flumioxazin efektif mengendalikan gulma pada pertanaman tebu

lahan kering keprasan 1.

2. Herbisida flumioxazin tidak meracuni tanaman tebu tebu lahan kering keprasan 1.


(38)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

2.1.1 Botani tanaman tebu

Menurut Suwarto dan Octavianty (2010), tanaman tebu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Poales

Familia : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum

Batang tanaman tebu berbentuk silinder beruas ruas dan berwarna hijau hingga cokelat kekuningan. Di sepanjang batang tebu terdapat lapisan lilin (Suwarto dan Octavianty, 2010). Tinggi batang tebu antara 2 sampai 5 meter, tergantung baik buruknya pertumbuhan, jenis tebu, dan keadaan iklim. Batang tanaman tebu tumbuh lurus dan beruas - ruas yang dibatasi dengan buku - buku. Pada setiap buku terdapat mata tunas. Batang tanaman tebu berasal dari mata tunas yang


(39)

12

berada dibawah permukaan tanah yang tumbuh keluar dari permukaan tanah dan berkembang membentuk rumpun. Diameter batang antara 3- 5 cm dan tidak bercabang (Indrawanto dkk., 2010)

Daun tebu berbentuk busur panah seperti pita, berseling kanan dan kiri,

berpelepah seperti daun jagung dan tidak bertangkai. Tulang daun sejajar dan, di bagan tengah berlekuk. Tepi daun kadang - kadang bergelombang dan berambut keras. Lebar daun tebu antara 4 - 6 cm. Daun tebu memiliki rambut yang berfungsi untuk mencegah serangga pengganggu (Muljana, 2006). Warna daun umumnya hijau tetapi ada juga yang berwarna hijau tua atau hijau kekuninagan. Biasanya daun-daun yang sudah tua kering dan terkelupas saat umur 7 bulan atau 4 minggu sebelum panen (Suwarto dan Octavianty, 2010).

Menrurut Indrawanto dkk. (2010), pertumbuhan tanaman tebu umumnya berlangsung selama kurang lebih 12 bulan, mulai saat tanam ditanam hingga dipanen. Tanaman tebu mengalami fase pertumbuhan yaitu:

1. Fase perkecambahan (germination phase), yaitu dimulai sejak penanaman hingga pembentukan kecambah pada bud (mata), berlangsung selama 30 - 45 hari, dengan faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: kadar air, suhu, aereasi tanah, kadar air, kadar gula tereduksi, dan status nutrien akar. 2. Fase pertunasan (tillering phase), yaitu fase pembentukan tunas yang akan

menentukan populasi tanaman, berlangsung kurang lebih 75 hari, dengan faktor-faktor yang berpengaruh: sinar matahari, varietas, suhu, kadar air, dan pupuk.


(40)

13

3. Fase pemanjangan batang (grand growth phase), yaitu fase pemanjangan batang tebu, berlangsung sekitar 120 - 150 hari. Dibutuhkan kondisi lingkungan yang optimal seperti air, pupuk, suhu udara, dan sinar matahari untuk mencapai kecepatan pemanjangan batang dapat mencapai 4 - 5 ruas per bulan.

4. Fase pematangan (maturity and ripening phase), yaitu fase pembentukan dan penyimpanan gula, berlangsung sekitar 90 hari. Pada fase ini air dan nutrisi yang diserap oleh akar ditranslokasi menuju daun, dengan bantuan sinar matahari, bahan-bahan tersebut akan bereaksi dengan karbondioksida di udara untuk membentuk gula (sukrosa). Gula yang terbentuk disimpan di dalam batang, dimulai dari bagian bawah dan berangsur-angsur naik ke bagian atas batang.

2.1.2 Syarat tumbuh tebu

Tanaman tebu tumbuh di daerah tropika dan sub tropika sampai batas garis lintang antara 190 LU – 350 LS. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman tebu adalah tanah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Selain itu akar tanaman tebu sangat sensitif terhadap kekurangan udara dalam tanah sehingga pengairan dan drainase harus sangat diperhatikan. Saluran drainase yang baik dengan kedalaman sekitar 1 meter memberikan peluang akar tanaman menyerap air dan unsur hara pada lapisan yang lebih dalam sehingga pertumbuhan tanaman pada musim kemarau tidak terganggu (Indrawanto dkk., 2010).


(41)

14

Tanaman tebu dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol dan regusol. Ketinggian tempat untuk tanaman tebu adalah 0 – 1400 m diatas permukaan laut. Ketinggian tempat yang paling sesuai adalah kurang dari 500 m diatas permukaan laut. Pada ketinggian 1200 m diatas

permukaan laut menyebabkan pertumbuhan tanaman relatif lambat. Kemiringan lahan yang baik untuk tanaman tebu adalah kurang dari 8%, meskipun pada kemiringan sampai 10% dapat juga digunakan tanaman. Kondisi lahan terbaik untuk tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan dan sampai 5 % apabila tanahnya lebih berat (Indrawanto dkk., 2010).

Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan berkisar antara 1.000 – 1.300 mm per tahun dengan terdapat lebih dari 3 bulan kering. Distribusi curah hujan yang ideal untuk pertanaman tebu adalah pada periode pertumbuhan vegetatif diperlukan curah hujan yang tinggi (200 mm per bulan) selama 5 – 6 bulan. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan 4 – 5 bulan dengan curah hujan kurang dari 75 mm/ bulan yang

merupakan periode kering. Periode ini merupakan periode pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu (Indrawanto dkk., 2010).

Pengaruh suhu pada pertumbuhan dan pembentukan sukrosa pada tebu cukup tinggi. Suhu ideal bagi tanaman tebu berkisar antara 240– 340C dengan perbedaan suhu antara siang dan malam tidak lebih dari 100C. Pembentukan sukrosa terjadi pada siang hari dan akan berjalan lebih optimal pada suhu 300C.


(42)

15

Sukrosa yang terbentuk akan disimpan pada batang dimulai dari ruas paling bawah pada malam hari. Proses penyimpanan sukrosa ini paling efektif dan optimal pada suhu 15 0C (Indrawanto dkk., 2010).

2.1.3 Sistem budidaya tanaman tebu

Budidaya tanaman tebu, merupakan upaya untuk membuat lingkungan tanaman sesuai dengan kebutuhan tanaman tebu yang ditanam agar tanaman dapat tumbuh optimal dan pada akhirnya produktivitas tebu/gula maksimal sesuai potensinya. Sistem yang dikenal di Indonesia yaitu sistem budidaya tebu lahan sawah dengan sistem "reynoso" dan lahan kering. sistem reynoso menitik beratkan pada

bagaimana mengubah lahan sawah menjadi “tanah kering” dengan sistem drainase yang baik (Indrawanto dkk., 2010).

Menurut Indrawanto dkk. (2010), pada umumnya budidaya tebu menempuh beberapa langkah seperti penyediaan bahan tanam, penyiapan lahan, dan tanaman, penyulaman, pemupukan, pengendalian gulma, ham,a dan penyakit, panen dan dilanjutkan dengan kegiatan pasca panen.

Sistem budidaya lahan kering biasanya dilakukan dengan system keprasan (ratoon) yaitu seekali tanam untuk beberapa kali panen. Kebun yang akan

dikepras harus dibersihkan dahulu dari kotoran-kotoran bekas tebangan yang lalu. Setelah kebun selesai dibersihkan barulah pengeprasan dapat dimulai.


(43)

16

Pengeprasan jangan dilakukan secara terpencar-pencar karena akan

mengakibatkan pertumbuhan tebu tidak merata sehingga penuaannya menjadi tidak merata dan menyulitkan pemilihan dan penebangan tanaman yang akan dipanen (Indrawanto dkk., 2010).

2.2 Pengendalian Gulma

2.2.1 Gulma

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia. Gulma dianggap merugikan karena berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperoleh sarana tumbuh seperti air, unsur hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh. Selain itu juga gulma mengeluarkan zat alelokimia yang dapat meracuni tanaman budidaya (Sembodo, 2010).

Kerugian yang diakibatkan adanya persaingan antara gulma dengan tanaman yaitu pertumbuhan tanaman terhambat sehingga waktu mulai berproduksi lebih lama, penurunan kualitas dan kuantitas hasil produksi, produktifitas kerja terjanggu, dapat menjadi inang hama penyakit, dan biaya pengendalian gulma mahal (Barus, 2003).

Klasifikasi gulma dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan sifat-sifat morfologi, siklus hidup, habitat ataupun pengaruhnya terhadap tanaman. Klasifikasi yang umum digunakan yaitu berdasarkan morfologinya, gulma


(44)

17

dibedakan menjadi gulma rumputan (grasses), teki-tekian (sedges) dan gulma daun lebar (broad leaf) (Barus, 2003).

Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari dkk. (2013) menunjukkan bahwa analisis vegetasi gulma pada pertanaman umur 91 hari setelah tanam (HST) menunjukkan gulma Eleusine indica (SDR = 32,18 %) masih menjadi gulma yang paling dominan pada pertanaman tebu. Berdasarkan hasil analisis vegetasi

sebelum aplikasi herbisida diuron dan ametrin didapatkan empat spesies gulma dominan yaitu Digitaria adscendens, Borreria alata, Cleome rutidosperma, dan

Cyperus kyllingia. Spesies gulma lain sebelum aplikasi herbisida ini adalah

Commelina diffusa, Fymbristillis milliaceae, Cardiospermum halicacabum dan

Centella asiatica (Agustanti, 2006). Selain itu juga dalam penelitian Rohitashav dkk. (2012) menyebutkan bahwa gulma yang dominan pada pertanaman tebu yaitu Brachiaria reptans, Commelina benghalensis, Cyperus rotundus, Ehinochloa colona, Ipomoea spp. dan Parthenium hysterophorus.

Menurut Khan dkk. (2004), kerugian yang ditimbulkan oleh keberadaan gulma pada pertanaman tebu yaitu dapat menurunkan bobot tebu antara 20 - 25%. Sedangkan keberadaan gulma pada periode kritis tanaman tebu akan

mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi hasil tanaman. Pernyataan ini didukung oleh Zimdahl, (1980) dalam Wijaya dkk. (2012) bahwa kompetisi gulma disaat 3, 6, dan 9 minggu setelah tanam menurunkan hasil tanaman tebu berturut-turut sebesar 77,6 %, 50,6 %, dan 41,7%.


(45)

18

2.2.2 Pengendalian gulma secara kimiawi

Pengendalian gulma merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan gulma sampai batas toleransi tidak merugikan secara ekonomis. Dengan kata lain usaha pengendalian gulma bukan merupakan upaya pemusnahan secara total. Beberapa metode pengendalian gulma yang digunakan di

perkebunan seperti penyiangan mekanis, kultur teknis, biologis dan kimiawi. Metode yang paling banyak digunakan yaitu metode kimiawi dengan

menggunakan herbisida. Metode ini dianggap lebih praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan metode lain terutama jika ditinjau dari segi kebutuhan tenaga kerja dan waktu pelaksanaan yang relatif lebih singkat (Barus, 2003)

Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida ini dapat mempengaruhi satu atau lebih proses-proses (seperti pada proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi,

metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya) yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Barus, 2003)

Menurut Tjitrosoedirdjo dkk. (1984) dalam Puspitasari dkk (2013), penggunaan herbisida bertujuan untuk mendapatkan pengendalian gulma yang selektif yaitu mematikan gulma tanpa mematikan tanaman budidaya. Selektivitas herbisida dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis herbisida, formulasi herbisida, volume semprotan, ukuran butiran semprotan dan waktu pemakaian (pra tanam, pra tumbuh atau pasca tumbuh) (Barus, 2003).


(46)

19

Raskar (2004) melaporkan bahwa penggunaan herbisida pada pertanaman tebu menguntungkan bagi petani karena mampu meningkatkan hasil panen 36.32 hingga 50.10%. Selain itu Cheema dkk. (2010) melaporkan bahwa pengendalian gulma dengan herbisida memberikan hasil tebu lebih tinggi dan cost benefit ratio

1: 12,85 sedangkan rasio manfaat biaya secara penyiangan penyiangan mekanis dengan tangan 1: 7,25.

2.2.3 Herbisida Flumioxazin

Herbisida pratumbuh merupakan herbisda yang digunakan pada saat gulma belum tumbuh, bekerja dengan cara menekan biji gulma yang akan berkecambah di dalam maupun di atas permukaan tanah. Agar dapat merata ke seluruh gulma sasaran, sebelum diaplikasikan herbisida pra tumbuh diperlukan proses pengolahan tanah yang baik dan tekstur tanah yang gembur serta tidak berbongkah-bongkah (Barus, 2003).

Flumioxazin merupakan herbisida yang dapat digunakan secara pratumbuh dan pasca tumbuh dengan tatanama IUPAC yaitu N- (7-fluro- 3,4 dihydro- 3- oxo-4 prop- 2-ynyl- 2H-1,4 benzoxazin-= 6yl) cyclohex- 1- ene-1,2- dicarboxamide. Cara kerja herbisida (mode of action) flumioxazin yaitu menghambat enzim

protoporphyrinogenoxidase (PPO). Enzim ini merupakan bagian penting dari jalanya biosintesis klorofil yang nantinya akan menghambat kerja klorofil dan karetonoid. Selain itu juga, kerusakan enzim PPO akan merusak struktur dan


(47)

20

fungsi membran tanaman. Herbisida berbahan aktif flumioxazin banyak

digunakan untuk mengendalikan gulma tahunan baik rumput, daun lebar ataupun teki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fitotoksitas flumioxazin terhadap kedelai dan kacang tanah toleran sedangkan pada jagung, gandum, barley dan padi agak toleran (Tomlin, 2011).

Gambar 1. Struktur kimia flumioxazin (Tomlin, 2011)

Herbisida flumioxazin memilki rumus molekul C19H15FN2O4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa herbisida flumioxazin yang diaplikasikan pratumbuh di pertanaman cemara mampu mengendalikan 80% gulma dan berpengaruh terhadap keracunan tanaman hanya 6% (Richardson dan Zandstra, 2009). Menurut

Tomlin. (2011),herbisida flumioxazin mampu mengendalikan gulma daun lebar, rumput, dan teki. Hal serupa juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Ducar dkk. (2009) bahwa perlakuan kombinasi herbisida diklosulam, flumioxazin, dan imazapik pada pertanaman kacang tanah menunjukkan persentase pengontrolan gulma lebih dari 84% dan diiringi oleh hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa aplikasi herbisida. Selain itu juga dilaporkan oleh Jursik dkk. (2011) bahwa fitotoksitas herbisda flumioxazin yang diaplikasikan pascatumbuh pada tanaman bunga matahari menunjukkan fitotoksitas yang rendah hanya 6%.


(48)

21

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Hajimena, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan dan di Laboratorium Gulma Universitas Lampung pada bulan Desember 2013 hingga Maret 2014.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tebu ratoon 1 klon RGM 97- 10120, pupuk NPK PHONSKA, urea , air, herbisida berbahan aktif flumioxazin (Sumimax 50WP), diuron + hexaxinon (Velpar 60 WG), metribuzin (Sencor 70 WP), imazapik (Cadre 240 SL), dan pendimetalin (Prowl 330 EC). Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Knapscak sprayer merk Matabi, nosel biru (1,5 m), gelas ukur, meteran, pipet ukur, timbangan, oven, ember plastik, bambu untuk tanda petak, kantong plastik, dan cangkul.


(49)

22

3.3 Metode Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan perlakuan tunggal dengan rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS). Percobaan terdiri atas 10 perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Susunan perlakuan dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Susunan perlakuan efikasi flumioxazin.

No Perlakuan Dosis Bahan Aktif Dosis Formulasi

Waktu Aplikasi ……(g/ ha)… …(g atau ml/ ha)… …(HST)…

1 Flumioxazin 75 g 150 g 7

2 Flumioxazin 100 g 200 g 7

3 Flumioxazin 150 g 300 g 7

4 Flumioxazin 200 g 400 g 7

5 Flumioxazin 250 g 500 g 7

6 Diuron+ Hexaxinon (1396,6 + 403,4) g 3000 g 10

7 Imazapik+Pendimetalin (75 + 750) g (312,5 + 2272,7) ml 7

8 Metribuzin 875 g 1250 g 7

9 Kontrol - - -

10 Penyiangan mekanis - - *

Keterangan: HST: Hari Setelah Tebang

*: perlakuan penyiangan mekanis dilakukan sebanyak 2 kali yaitu 30 dan 60 HSA.

Homogenitas ragam data diuji dengan uji Bartlett dan aditivitas data diuji dengan uji Tukey. Apabila asumsi terpenuhi maka data dianalisis ragam. Untuk

memisahkan perbedaan nilai tengah dilakukan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.


(50)

23

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Penebangan tebu

Penebangan tanaman tebu dilakukan secara manual dengan menggunakan sabit. Sisa tanaman dibersihkan dari petak percobaan dan dilanjutkan dengan perataan tinggi tebu. Setelah semua dibersihkan lahan siap untuk dibagi dalam petak percobaan.

3.4.2 Persiapan lahan dan pembuatan petak percobaan

Persiapan petak percobaan diawali dengan pembersihan dari gulma dan

penggemburan tanah secara manual dengan menggunakan cangkul. Lahan dibagi menjadi 3 bagian sebagai kelompok. Setiap kelompok dibagi menjadi 10 petak percobaan sehingga didapatkan 30 satuan percobaan, setiap petaknya berukuran 5 m x 5 m. Jarak antar kelompok yaitu 1 m dan jarak antar petak percobaan 75 cm sedangkan jarak antar barisnya 1 m. Setelah petak percobaan terbuat, lahan diratakan terlebih dahulu dan diaplikasikan herbisida.


(51)

24

Gambar 1. Tata letak percobaan

3.4.3 Pemupukan

Pemupukan dilakukan setelah petak percobaan dibersihkan dan digemburkan. Cara aplikasi pupuk yaitu dibuat kairan disamping kanan dan kiri baris tanaman kemudian ditutup dengan tanah. Pupuk yang digunakan adalah campuran pupuk NPK PHONSKA (15:15:15) dan Urea dengan perbandingan bobot 3:1. Dosis yang digunakan setelah pencampuran adalah 320 kg / ha atau 0,8 kg perpetak percobaan.


(52)

25

3.4.4 Pengairan

Selama penelitian ini berlangsung, pengairan menggunakan penyiraman air hujan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan penelitian (Desember 2013 sampai Maret 2014) telah masuk musim penghujan.

3.4.5 Aplikasi herbisida

Herbisida diaplikasikan pada petak percobaan sesuai dengan perlakuan yang telah disusun. Aplikasi herbisida dilakukan pada 7 hari setelah tebang (HST) untuk perlakuan 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8, sedangkan perlakuan 6 diaplikasikan pada 10 HST. Aplikasi herbisida menggunakan sprayer punggung dengan nosel berwarna biru (lebar bidang semprot 1,5m). Kalibrasi dilakukan dengan metode luas. Volume semprot yang digunakan yaitu 400 L/ha atau 1 L/25 m2.

3.4.6 Pengambilan sampel gulma

Pengambilan sampel gulma dilakukan untuk menentukan dan menganalisis efikasi herbisida serta summed dominance ratio (SDR). Metode pengambilan gulma dilakukan pada petak yang ditentukan yaitu 0,5 m bagian depan dan belakang petak contoh (gambar 3). Metode pengambilan gulma dilakukan dengan


(53)

26

menggunakan kuadran ukuran 50 cm x 50 cm secara silang, sehingga diharapkan contoh gulma yang diambil dapat mewakili kondisi yang sebenarnya.

Gambar 2. Metode pengambilan gulma

3.5 Pengamatan

3.5.1 Tanaman tebu

1. Keracunan tanaman

Tingkat keracunan tanaman tebu akibat aplikasi herbisida flumioxazin (sesuai perlakuan) dilihat secara visual dengan penggunaan metode skoring yang


(54)

27

disesuaikan dengan aturan dari direktorat pupuk dan pestisida (2012) dalam metode standar pengujian efikasi herbisida adalah sebagai berikut:

0 = Tidak ada keracunan 0-5% bentuk dan atau warna daun dan atau pertumbuhan tidak normal

1 = Keracunan ringan >5-20% bentuk dan atau warna daun dan atau pertumbuhan tidak normal

2 = Keracunan sedang >20-50% bentuk dan atau warna daun dan atau pertumbuhan tidak normal

3 = Keracunan berat >50-75% bentuk dan atau warna daun dan atau pertumbuhan tidak normal

4 = Keracunan sangat berat >75% bentuk dan atau warna daun dan atau pertumbuhan tidak normal sampai mati

Pengamatan dilakukan dengan interval 15, 30, 60, 90 hari setelah aplikasi (HSA) dan dibandingkan dengan penyiangan mekanis.

2. Populasi Tanaman (tanaman/15 m)

Pengamatan populasi tanaman dilakukan pada 30, 60, 90 HSA dan dibandingkan dengan kontrol, penyiangan mekanis, dan herbisida yang sering dipakai pada pertanaman tebu. Populasi tanaman yang diamati yaitu pada 3 baris


(55)

28

Keterangan : Tanda x yang di beri warna hijau merupakan populasi tanaman yang diamati Gambar 3. Tanaman contoh yang damati populasinya

3. Tinggi Tanaman

Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi batang sampel dari atas permukaan tanah hingga daun yang paling atas dari masing masing petak percobaan. Tanaman contoh yang diukur tingginya yaitu ada 15 tanaman di barisan tengah (gambar 5)


(56)

29

Keterangan : Tanda x yang diberi warna hijau merupakan tinggi tanaman yang diamati Gambar 4. Tanaman contoh yang diamati tingginya

Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada 30, 60, dan 90 HSA dan dibandingkan dengan penyiangan mekanis.

3.5.2 Gulma

1. Persentase penutupan gulma total, golongan, dan dominan

Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode estimasi visual. Metode pengamatan persentase penutupan gulma dalam penelitian ini yaitu dengan mengamati persentaase penutupan masing- masing spesies gulma. Penentuan persentase penutupan gulma total diperoleh dengan cara menjumlahkan


(57)

30

persentaase penutupan masing- masing spesies gulma dari golongan daun lebar, rumput dan teki. Interval pengamatan yang digunakan yaitu 15, 30, 60, dan 90 HSA.

2. Bobot kering gulma total, tiap golongan, dan dominan

Bobot kering gulma didapatkan dengan cara mengambil gulma pada petak pengambilan gulma (lihat petak pengambilan gulma pada gambar 3) menggunakan kuadran ukuran 50 cm x 50 cm, gulma yang akarnya berada didalam lingkup kuadran dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan berdasarkan spesiesnya. Gulma dioven selama 48 jam dengan suhu 800C hingga bobot gulma konstan. Data bobot kering dianalisis untuk

menentukan keberhasilan efikasi herbisida dan untuk menentukan gulma

dominan. Penentuan dominasi gulma melalui Summed Dominance Ratio (SDR).

a. Dominasi mutlak

Dominasi mutlak merupakan bobot kering jenis gulma tertentu dalam petak contoh

b. Dominasi nisbi

c. Frekuensi mutlak

Frekuensi mutlak merupakan jumlah kemunculan gulma tertentu pada setiap ulangan

d. Frekuensi nisbi

e. Nilai penting

Nilai penting merupakan jumlah semua nilai peubah nisbi yang digunakan f. Summed dominance ratio (SDR)


(58)

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Herbisida flumioxazin pada semua taraf dosis yang diuji (75 – 250 g/ha) efektif dalam mengendalikan pertumbuhan gulma total, golongan daun lebar dan gulma dominan Richardia brasiliensis pada 15, 30, 60, dan 90 HSA.

2. Herbisida flumioxazin dosis 200 dan 250 g/ha efektif dalam mengendalikan gulma Mimosa invisa, dan Ipomoea triloba pada 15, 30, 60, dan 90 HSA, serta efektif mengendalikan gulma Croton hirtus pada 15, 30 dan 90 HSA dan gulma Celosia argentea pada 60 dan 90 HSA.

3. Herbisida flumioxazin meracuni tanaman tebu pada pengamatan 7 HSA dan mulai pulih setelah pengamatan 15 HSA.


(59)

53

5.2 Saran

Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian lanjutan dengan kondisi lahan yang didominasi oleh gulma golongan rumput dan teki penting dilakukan, sehingga lebih memperkuat efektivitas herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma.

2. Penelitian lanjutan pada tanaman tebu plant cane penting dilakukanuntuk melihat fitotoksisitas tanaman tebu plant cane akibat aplikasi herbisida flumioxazin.


(60)

54

PUSTAKA ACUAN

Agustanti, V. M. F. 2006. Studi Keefektivan Herbisida Diuron dan Ametrin untuk Mengendalikan Gulma pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum

L.) Lahan Kering. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm.

Alfredo, N., D. R. J. Sembodo, dan N. Sriyani. 2012. Efikasi Herbisida Pratumbuh Metil Metsulfuron Tunggal dan Kombinasinya dengan 2,4-D, Ametrin, atau Diuron terhadap Gulma pada Pertanaman Tebu( Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Jurnal Agrotropika 17(1): 29-34

Azania, C. A. M., A. R. Schiavett, dan F. S. Zera. 2010. Evaluation of herbicides applied on sugar cane during rainy season in Brazil. Revista Brasileira de Herbicidas 9(1): 9-16.

Barus, E. 2003. Penngendalian Gulma Di Perkebunan. Kansius. Yogyakarta. 104 hlm.

Bruke, I. C., S. D. Askew, dan J. W. Wilcut. 2002. Flumioxazin Systems for Weed Management in North Carolina Peanut (Arachis hypogaea).

Weed Technology 16(4):743 – 748.

Cheema, M. S.,S. Bashir, dan F. Ahmad.2010. Evaluation of Integrated Weed Management Practices for Sugarcane. Pakistan Journal Weed Science. 16 (3): 257-265.

Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian. Jakarta. 10 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013.Produksi,Produktivitas ,dan luas areal Tebu Menurut Provinsi di Indonesia, 2008 -2012 http://www.Deptan .go.id/infoeksekutif/bun/isi_dt5thn_bun.php. (2 september 2013). Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi


(61)

55

Ducar, J. T., S. B. Clewis, J. W. Wilcut, dan D. L. Jordan. 2009. Weed Management Using Reduced Rate Combinations of Diclosulam, Flumioxazin, and Imazapic in Peanut. Weed Science Society of America 23(2): 236-242.

Fadhly, A.F. dan F.Tabri. 2007. Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 17 hlm.

Flessner M. L., J. S. Mcelroy, J. H. Baird, dan B. D. Barnes. 2013. Utilizing Flumioxazin for Annual Bluegrass (Poa annua) control in

Bermudagrass Turf.Amerika: Weed Science Society of America 27(3):590-595.

Grichar, W. J., P. A. Dotray, dan M. R. Baring. 2013. Peanut Cultivar Response to Flumioxazin Applied Preemergence and Imazapic Applied

Postemergence. International Journal of Agronomy 2013(5): 1-5

Indrawanto,C., Purwono, Siswanto, M. Syakir, dan W. Rumini. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Tebu. ESKA Media. Jakarta. 40 hlm

Jursik, M., J. Andr, J. Holec, dan J. Soukup. 2011. Efficacy and selectivity of post-emergent application of flumioxazin and oxyfluorfen in sunflower. Faculty of Agrobiology, Food and Natural Resources, Czech University of Life Sciences Prague, Prague, Czech Republic: Plant Soil Environ., 57, 2011 (11): 532–539

Jordan, D. L., S. H. Lancaster, dan J. E. Lanier. 2009. Peanut and Eclipta (Eclipta prostrata) Response to flumioxazin. Weed Technology 23(2):231-235

Khan, M. Z., S. Bashir dan M. A. Bajwa. 2004. Performance of promising sugarcane varieties in response of inter-row spacing towards stripped cane and sugar yield. Pak. Sugar J. 19 (5):15-18.

Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida. Rajawali Pers. Jakarta. 143 hlm.

Muljana, W. 2006.Teori dan Praktek Cocok Tanam Tebu dengan Segala Masalahnya. Aneka Ilmu. Semarang. 64 hlm.

Puspitasari, K., H. T.,Sebayang, dan B., Guritno. 2013. Pengaruh Aplikasi Herbisida Ametrin Dan 2,4-D Dalam Mengendalikan Gulma Tanaman Tebu (Saccharum officinarum [L.]). Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1 (2): 72-80


(62)

56

Raskar, B. S. 2004. Evaluation of herbicides for weed kontrol in sugarcane. Sugar Tech. 6(3):173-175.

Richardson R. J. dan B. H. Zandstra. 2009. Weed Kontrol in Christmas Trees with Flumioxazin and Other Residual Herbicides Applied Alone or in Tank Mixtures. Hort Technology 19 (1): 181-186

Singh, R., K. J. Kumar, P. Kumar, dan T. Pratap. 2012. Effect of integrated weed management practices on sugarcane ratoon and associated weeds.

Indian Journal of Weed Science 44 (3): 144–146

Sembodo, D. R. J.2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 168 hlm.

Srivastava, T. K. 2003. Bioefficacy of sulfentrazone against nut-sedge (Cyperus rotundus) and other weeds in sugarcane. Indian Journal of Weed Science(35): 82 - 86.

Suwarto dan Y. Octavianty. 2010. Budidaya Tanaman Perkebunan Unggulan. Bogor: Penebar Swadaya. 260 hlm.

Tomlin, C. D. S. 2011. The e Pestiside Penyiangan mekanis (thirteenth edition) version 3.1. British Corp Protection Council. 1.606 hlm.

Vencill,W. 2003. The Basis Of Selectivity For Flumioxazin Use In Peanut And Associated Weeds. University of Georgia. 108 hlm.

Vasilakoglou, I., K. Dhima, K. Paschalidis, dan T. Gatsis. (2013). Field bindweed (Convolvulus arvensis L.) and redroot pigweed (Amaranthus retroflexus L.) control in potato by pre- or post-emergence applied flumioxazin and sulfosulfuron. Chilean Journal Of Agricultural Research 73(1).24 – 30.

Wijaya, R. B., P. Yudono, dan R. Rogomulyo. 2012. Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.).

http://journal.ugm.ac.id/index.php/jbp/artikel/download/1350/pdf_2. (30 Septemper 2013).


(1)

2. Bobot kering gulma total, tiap golongan, dan dominan

Bobot kering gulma didapatkan dengan cara mengambil gulma pada petak pengambilan gulma (lihat petak pengambilan gulma pada gambar 3) menggunakan kuadran ukuran 50 cm x 50 cm, gulma yang akarnya berada didalam lingkup kuadran dipotong tepat setinggi permukaan tanah, kemudian dipisahkan berdasarkan spesiesnya. Gulma dioven selama 48 jam dengan suhu 800C hingga bobot gulma konstan. Data bobot kering dianalisis untuk

menentukan keberhasilan efikasi herbisida dan untuk menentukan gulma

dominan. Penentuan dominasi gulma melalui Summed Dominance Ratio (SDR).

a. Dominasi mutlak

Dominasi mutlak merupakan bobot kering jenis gulma tertentu dalam petak contoh

b. Dominasi nisbi

c. Frekuensi mutlak

Frekuensi mutlak merupakan jumlah kemunculan gulma tertentu pada setiap ulangan

d. Frekuensi nisbi

e. Nilai penting

Nilai penting merupakan jumlah semua nilai peubah nisbi yang digunakan f. Summed dominance ratio (SDR)


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Herbisida flumioxazin pada semua taraf dosis yang diuji (75 – 250 g/ha) efektif dalam mengendalikan pertumbuhan gulma total, golongan daun lebar dan gulma dominan Richardia brasiliensis pada 15, 30, 60, dan 90 HSA.

2. Herbisida flumioxazin dosis 200 dan 250 g/ha efektif dalam mengendalikan gulma Mimosa invisa, dan Ipomoea triloba pada 15, 30, 60, dan 90 HSA, serta efektif mengendalikan gulma Croton hirtus pada 15, 30 dan 90 HSA dan gulma Celosia argentea pada 60 dan 90 HSA.

3. Herbisida flumioxazin meracuni tanaman tebu pada pengamatan 7 HSA dan mulai pulih setelah pengamatan 15 HSA.


(3)

Saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian lanjutan dengan kondisi lahan yang didominasi oleh gulma golongan rumput dan teki penting dilakukan, sehingga lebih memperkuat efektivitas herbisida flumioxazin dalam mengendalikan gulma.

2. Penelitian lanjutan pada tanaman tebu plant cane penting dilakukan untuk melihat fitotoksisitas tanaman tebu plant cane akibat aplikasi herbisida flumioxazin.


(4)

PUSTAKA ACUAN

Agustanti, V. M. F. 2006. Studi Keefektivan Herbisida Diuron dan Ametrin untuk Mengendalikan Gulma pada Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm.

Alfredo, N., D. R. J. Sembodo, dan N. Sriyani. 2012. Efikasi Herbisida Pratumbuh Metil Metsulfuron Tunggal dan Kombinasinya dengan 2,4-D, Ametrin, atau Diuron terhadap Gulma pada Pertanaman Tebu( Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Jurnal Agrotropika 17(1): 29-34 Azania, C. A. M., A. R. Schiavett, dan F. S. Zera. 2010. Evaluation of herbicides

applied on sugar cane during rainy season in Brazil. Revista Brasileira de Herbicidas 9(1): 9-16.

Barus, E. 2003. Penngendalian Gulma Di Perkebunan. Kansius. Yogyakarta. 104 hlm.

Bruke, I. C., S. D. Askew, dan J. W. Wilcut. 2002. Flumioxazin Systems for Weed Management in North Carolina Peanut (Arachis hypogaea). Weed Technology 16(4):743 – 748.

Cheema, M. S.,S. Bashir, dan F. Ahmad. 2010. Evaluation of Integrated Weed Management Practices for Sugarcane. Pakistan Journal Weed Science. 16 (3): 257-265.

Departemen Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Departemen Pertanian. Jakarta. 10 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013.Produksi,Produktivitas ,dan luas areal Tebu Menurut Provinsi di Indonesia, 2008 -2012 http://www.Deptan .go.id/infoeksekutif/bun/isi_dt5thn_bun.php. (2 september 2013). Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2012. Metode Standar Pengujian Efikasi


(5)

Fadhly, A.F. dan F.Tabri. 2007. Pengendalian Gulma pada Pertanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 17 hlm.

Flessner M. L., J. S. Mcelroy, J. H. Baird, dan B. D. Barnes. 2013. Utilizing Flumioxazin for Annual Bluegrass (Poa annua) control in

Bermudagrass Turf.Amerika: Weed Science Society of America 27(3):590-595.

Grichar, W. J., P. A. Dotray, dan M. R. Baring. 2013. Peanut Cultivar Response to Flumioxazin Applied Preemergence and Imazapic Applied

Postemergence. International Journal of Agronomy 2013(5): 1-5 Indrawanto,C., Purwono, Siswanto, M. Syakir, dan W. Rumini. 2010. Budidaya

dan Pasca Panen Tebu. ESKA Media. Jakarta. 40 hlm

Jursik, M., J. Andr, J. Holec, dan J. Soukup. 2011. Efficacy and selectivity of post-emergent application of flumioxazin and oxyfluorfen in sunflower. Faculty of Agrobiology, Food and Natural Resources, Czech University of Life Sciences Prague, Prague, Czech Republic: Plant Soil Environ., 57, 2011 (11): 532–539

Jordan, D. L., S. H. Lancaster, dan J. E. Lanier. 2009. Peanut and Eclipta (Eclipta prostrata) Response to flumioxazin. Weed Technology 23(2):231-235 Khan, M. Z., S. Bashir dan M. A. Bajwa. 2004. Performance of promising

sugarcane varieties in response of inter-row spacing towards stripped cane and sugar yield. Pak. Sugar J. 19 (5):15-18.

Moenandir, J. 1990. Fisiologi Herbisida. Rajawali Pers. Jakarta. 143 hlm.

Muljana, W. 2006.Teori dan Praktek Cocok Tanam Tebu dengan Segala Masalahnya. Aneka Ilmu. Semarang. 64 hlm.

Puspitasari, K., H. T.,Sebayang, dan B., Guritno. 2013. Pengaruh Aplikasi Herbisida Ametrin Dan 2,4-D Dalam Mengendalikan Gulma Tanaman Tebu (Saccharum officinarum [L.]). Jurnal Produksi Tanaman Vol. 1 (2): 72-80


(6)

Raskar, B. S. 2004. Evaluation of herbicides for weed kontrol in sugarcane. Sugar Tech. 6(3):173-175.

Richardson R. J. dan B. H. Zandstra. 2009. Weed Kontrol in Christmas Trees with Flumioxazin and Other Residual Herbicides Applied Alone or in Tank Mixtures. Hort Technology 19 (1): 181-186

Singh, R., K. J. Kumar, P. Kumar, dan T. Pratap. 2012. Effect of integrated weed management practices on sugarcane ratoon and associated weeds. Indian Journal of Weed Science 44 (3): 144–146

Sembodo, D. R. J.2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 168 hlm.

Srivastava, T. K. 2003. Bioefficacy of sulfentrazone against nut-sedge (Cyperus rotundus) and other weeds in sugarcane. Indian Journal of Weed Science (35): 82 - 86.

Suwarto dan Y. Octavianty. 2010. Budidaya Tanaman Perkebunan Unggulan. Bogor: Penebar Swadaya. 260 hlm.

Tomlin, C. D. S. 2011. The e Pestiside Penyiangan mekanis (thirteenth edition) version 3.1. British Corp Protection Council. 1.606 hlm.

Vencill,W. 2003. The Basis Of Selectivity For Flumioxazin Use In Peanut And Associated Weeds. University of Georgia. 108 hlm.

Vasilakoglou, I., K. Dhima, K. Paschalidis, dan T. Gatsis. (2013). Field bindweed (Convolvulus arvensis L.) and redroot pigweed (Amaranthus retroflexus L.) control in potato by pre- or post-emergence applied flumioxazin and sulfosulfuron. Chilean Journal Of Agricultural Research 73(1).24 – 30.

Wijaya, R. B., P. Yudono, dan R. Rogomulyo. 2012. Uji Efikasi Herbisida Pratumbuh untuk Pengendalian Gulma Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.).

http://journal.ugm.ac.id/index.php/jbp/artikel/download/1350/pdf_2. (30 Septemper 2013).