KAJIAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, SERAT PANGAN,DAN KADAR AMILOSA PADA NASI YANG DISUBSTITUSI DENGAN UBI JALAR SEBAGAI BAHAN MAKANAN POKOK
KAJIAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, SERAT PANGAN, DAN
KADAR AMILOSA PADA NASI YANG DISUBSTITUSI DENGAN
UBI JALAR (Ipomoea batatas L.
)
SEBAGAI
BAHAN MAKANAN POKOK
SKRIPSI
Oleh :
Eti Susilowati
H 0605012
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
(2)
KAJIAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, SERAT PANGAN, DAN
KADAR AMILOSA PADA NASI YANG DISUBSTITUSI DENGAN
UBI JALAR (Ipomoea batatas L.
)
SEBAGAI
BAHAN MAKANAN POKOK
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Oleh :
ETI SUSILOWATI H 0605012
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
(3)
KAJIAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, SERAT PANGAN, DAN KADAR AMILOSA PADA NASI YANG DISUBSTITUSI DENGAN UBI JALAR
(Ipomoea batatas L.) SEBAGAI BAHAN MAKANAN POKOK
Yang dipersiapkan dan disusun oleh Eti Susilowati
H 0605012
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 08 Februari 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji Ketua
Ir.Bambang Sigit A., MSi. NIP.196407141991031002
Anggota I
Dian Rachmawanti A., S.TP,MP. NIP.198007312008012012
Anggota II
Ir. Kawiji, MP
NIP.196112141986011001
Surakarta, Februari 2010 Mengetahui, Universitas Sebelas Maret
Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS NIP. 195512171982031003
(4)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim.
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Aktivitas Antioksidan, Serat Pangan, dan Kadar Amilosa
pada Nasi yang Disubstitusi dengan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) sebagai Bahan Makanan Pokok ”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar kesarjanaan pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
2. Ir. Kawiji, MP. selaku Ketua Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
3. Ir. Basito, MSi. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi arahan selama menempuh kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Ir. Bambang Sigit A., MSi. yang selalu sabar memberi arahan serta dukungan
selama penyusunan skripsi ini.
5. Dian Rachmawanti A., S. TP, MP. selaku Pembimbing Pendamping, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, serta saran yang berharga sehingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian pada khususnya serta seluruh staff pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta pada umumnya, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh kuliah.
(5)
7. Ibu Sri Liswardani, STP., Pak Slameta, Pak Giyo, Pak Joko terima kasih banyak atas segala bantuannya, maaf saya selalu merepotkan.
8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah diberikan dan bantuannya selama masa perkuliahan penulis di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 9. Bapak, Ibu, Mas Dodik, Dek Fendy dan semua keluarga besar yang senantiasa
memberikan nasehat, doa, bantuan serta dukungan kepada penulis. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya bagi keluarga kita. 10.Dhilla, Mbokde, Dwi, Tina, Mintul, Retnati, Ndari yang sudah bersedia menjadi
teman dalam suka dan duka. Terimakasih atas semua bantuannya selama ini. 11.Teman-teman kost Putri Bengawan dan semua alumni Putri Bengawan yang telah
menjadi keluarga baruku terimakasih atas semua dukungan kalian.
12.Mbokdhe Rhoe, temanku senasib seperjuangan dalam penelitian ini. Pokoknya jasamu tiada tara, aku hanya bisa mengucapkan terimakasih banyak banyak banyak.
13.Teman-teman yang sudah membantu selama penelitian dan teman-teman angkatan 2005 terimakasih atas semua bantuannya.
14.Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini dan memberi dukungan, doa serta semangat bagi penulis untuk terus berjuang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang mendukung dari semua pihak untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, Februari 2010
(6)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... v
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
RINGKASAN ... x
SUMMARY ... xi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian... 3
D. Manfaat Penelitian... 4
II. LANDASAN TEORI... 5
A. Tinjauan Pustaka ... 5
1. Ubi Jalar ... 5
2. Beras dan Nasi... 9
3. Nasi Ubi Jalar ... 10
4. Antioksidan ... 11
5. Antosianin dan β-karoten ... 14
6. Serat Pangan ... 17
7. Oligosakarida ... 20
8. Amilosa ... 21
B. Kerangka Berpikir ... 23
(7)
III. METODE PENELITIAN ... 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
B. Bahan dan Alat ... 25
C. Tahapan Penelitian ... 25
D. Metode Analisa... 27
E. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 28
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
A. Aktivitas Antioksidan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 29
B. Kandungan Serat Pangan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 30
C. Kadar Amilosa Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 32
D. Sifat Sensoris Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 45
B. Saran ... 45
DAFTAR PUSTAKA ... 46
(8)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar tiap 100 Gram Bahan ... 6
Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ubi Jalar Putih, Kuning, dan Ungu... 7
Tabel 3.1 Komposisi Formulasi Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye... 26
Tabel 4.1 Aktivitas Antioksidan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 29
Tabel 4.2 Kandungan Serat Pangan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 31
Tabel 4.3 Kadar Amilosa Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 33
Tabel 4.4 Nilai Kesukaan pada Warna Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 36
Tabel 4.5 Nilai Kesukaan pada Rasa Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 38
Tabel 4.6 Nilai Kesukaan pada Aroma Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 40
Tabel 4.7 Nilai Kesukaan pada Tekstur Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye… ... 41
Tabel 4.8 Nilai Kesukaan pada Parameter Keseluruhan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 43
(9)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Struktur Molekul DPPH... 14
Gambar 2.2 Struktur Dasar Antosianin... 15
Gambar 2.3 Struktur Kimia β-karoten ... 16
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir... 24
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Pasta Ubi Jalar ... 26
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Nasi Ubi Jalar... 27
Gambar 4.1 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Aktivitas Antioksidan pada Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye 30 Gambar 4.2 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kandungan Serat Pangan pada Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 32
Gambar 4.3 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kadar Amilosa pada Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 34
Gambar 4.4 Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 36
Gambar 4.5 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kesukaan pada Parameter Warna Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 37
Gambar 4.6 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kesukaan pada Parameter Rasa Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 39
Gambar 4.7 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kesukaan pada Parameter Aroma Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 40
Gambar 4.8 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kesukaan pada Parameter Tekstur Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 42
Gambar 4.9 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kesukaan pada Parameter Keseluruhan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 43
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1. Prosedur Analisa Aktivitas Antioksidan, Serat Pangan, dan Kadar Amilosa ... 50
2...Tabulasi
Data Hasil Pengujian Aktivitas Antioksidan Nasi Ubi Jalar
Ungu dan Oranye... 53
3...Tabulasi
Data Hasil Pengujian Kadar Amilosa Beras SS-64 Super,
Nasi Ubi Jalar Ungu, dan Nasi Ubi Jalar Oranye ... 55
4...Tabulasi
Data Hasil Pengujian Kadar Serat Pangan Nasi Ubi Jalar
Ungu dan Oranye... 58
5...Analisis
Data Sifat Kimia Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye... 61
6...Tabulasi
Data Hasil Pengujian Sensoris (Warna, Rasa, Aroma,
Tekstur, dan Keseluruhan) ... 65
7...Analisis
Data Hasil Uji Sensoris Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye ... 68
8...Borang
Penilaian ... 74
9...Dokume
(11)
KAJIAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, SERAT PANGAN, DAN KADAR AMILOSA PADA NASI YANG DISUBSTITUSI DENGAN UBI JALAR
(Ipomoea batatas L.) SEBAGAI BAHAN MAKANAN POKOK
Eti Susilowati H0605012 RINGKASAN
Ubi jalar merupakan komoditi lokal yang berpotensi sebagai makanan pokok. Pembuatan nasi ubi jalar dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras karena ubi jalar mampu mensubstitusi beras hingga 40%. Ubi jalar ungu dan oranye
mengandung serat alami oligosakarida serta pigmen antosianin dan β-karoten yang berperan sebagai antioksidan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis serta konsentrasi ubi jalar terhadap aktivitas antioksidan, serat pangan, dan kadar
amilosa pada nasi ubi jalar serta mengetahui konsentrasi ubi jalar yang tepat pada pembuatan nasi ubi jalar yang paling disukai oleh konsumen. Bahan yang digunakan dalam pembuatan nasi ubi jalar adalah beras jenis SS-64 Super yang diperoleh dari salah satu petani di Surakarta, ubi jalar oranye dan ungu dari Tawangmangu. Beras dicampur dengan pasta ubi jalar pada konsentrasi 30%, 35%, dan 40% kemudian ditambah air dengan perbandingan beras dan air 1:1,4. Campuran direbus hingga setengah matang atau sampai air habis. Setelah itu ditanak atau dikukus.
Parameter yang diuji dalam penelitian ini adalah aktivitas antioksidan, serat pangan, kadar amilosa, dan uji sensoris (warna, rasa, aroma, tekstur, keseluruhan). Hasil pengujian dianalisis statistik menggunakan ANOVA pada α = 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasi ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari nasi ubi jalar oranye. Semakin tinggi konsentrasi ubi jalar yang ditambahkan pada nasi, maka aktivitas antioksidannya akan semakin tinggi. Perbedaan jenis ubi jalar tidak berpengaruh terhadap kandungan serat pangan nasi ubi jalar. Semakin tinggi konsentrasi ubi jalar, maka semakin tinggi pula
(12)
kandungan serat pangan nasi ubi jalar. Kadar amilosa nasi ubi jalar oranye lebih tinggi daripada nasi ubi jalar ungu. Berdasarkan hasil uji kimia, nasi ubi jalar ungu 40 % memiliki aktivitas antioksidan dan serat pangan tertinggi dan amilosa terendah. Dari segi sensoris, nasi ubi jalar ungu 40% cenderung lebih disukai meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata.
Kata kunci : aktivitas antioksidan, serat pangan, amilosa, ubi jalar, nasi.
STUDY OF ANTIOXIDANT ACTIVITY, DIETARY FIBER, AND AMILOSA CONTENT ON RICE WHICH IS SUBTITUTED WITH SWEET POTATO
(Ipomoea batatas L.) AS STAPLE FOOD
Eti Susilowati H 0605012 SUMMARY
Sweet potato is a local commodity which is potential as staple food. The making a sweet potato rice can reduce the depence on rice because sweet potato can substitute rice up to 40%. The purple and aranye sweet potato contain a natural
oligosaccharide fiber and also pigmen antosianin and β-carotene which is used as antioxidants.
The aim of this study is to know the influence of the different types and the concentration of sweet potato toward antioxidants activity, dietary fiber, and amilosa content on sweet potato rice. The study also aims to know the exact concentration of sweet potato in the making of sweet potato rice to be like by the consumer. The ingredients, which is used in the making of sweet potato rice, is rice type SS-64 super which is gotten from one of the farmer in Surakarta while oranye and purple sweet potatoes are from Tawangmangu. The rice is mixed with sweet potato paste with the concentration at 30%, 35%, and 40% than it is mixed with water. The comparation between the rice and the water is 1 : 1,4. Then, those ingredients are boiled until a half cooked, or until the water is all used up. After that, then it is cooked or steamed.
The parameter which is tasted in the study is the antioxidants activity, dietary fiber, amilosa content, and sensoric content (such as the color, the taste, the aroma, the teksture, and the whole aspects). The result of the test is statistical analized by using ANOVA at α = 5%.
The results of the study shows that the purple sweet potato rice has the antioxidants activity which is higher than the oranye sweet potato rice. Thus, the higher concentration of sweet potato which is mixed with the rice, the higher antioxidants activity will be. Different types of sweet potato does not influence toward sweet potato rice dietary fiber content. The higher concentration of sweet potato, the higher sweet potato rice dietary fiber content will be. The result also shows that the amilosa content of the oranye sweet potato is higher than the purple
(13)
sweet potato rice. Based on chemical test result, the purple sweet potato rice 40% has the highest antioxidants activity and dietary fiber and the lowest amilosa content. From sensoric side, the purple sweet potato tends to be liked with the presentage up to 40% eventhough the value of this evaluation does not show a real distinction. Key words : Antioxidants activity, dietary fiber, amilosa, sweet potato, rice.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan manusia yang sangat asasi, sehingga ketersediaannya harus dapat dijamin dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok. Menurut Ato Suprapto (1996) kebutuhan beras di Indonesia terus meningkat karena laju pertumbuhan permintaan beras (3,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan produksi beras (2,6%) karena kenaikan jumlah penduduk masih tinggi.
Masyarakat yang sudah terbiasa mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, belum merasa kenyang jika belum makan nasi walaupun sudah mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat lain. Padahal yang dibutuhkan dari makanan tersebut adalah karbohidrat sebagai sumber energi bagi tubuh kita untuk dapat melakukan suatu kegiatan, dan karbohidrat tidak hanya berasal dari nasi. Di antara sumber karbohidrat lain yang mungkin digunakan adalah ubi jalar.
Keberadaan ubi jalar di Indonesia cukup melimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Pemanfaatan ubi jalar kebanyakan masih terbatas pada penggunaan umbi segarnya misalnya direbus, digoreng, atau dibuat keripik. Menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (2006), rata-rata produksi ubi jalar di Indonesia dari tahun 2001-2005 sebesar 1,850 juta ton dan sebagian besar produksi tersebut (89%) digunakan sebagai
(14)
bahan pangan. Ashol Hasyim (2008) menyatakan bahwa produktivitas ubi jalar cukup tinggi bila dibandingkan dengan beras maupun ubi kayu.
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan pengganti beras. Dengan mengkonsumsi ubi jalar, selain memperoleh energi kita juga mendapatkan efek yang menyehatkan yaitu tingginya kandungan antosianin dan β-karoten yang dapat berperan sebagai antioksidan. Disamping itu, pada ubi jalar juga terdapat serat alami yaitu oligosakarida. Oligosakarida ini termasuk serat pangan yang memiliki peranan penting bagi kesehatan pencernaan. Menurut Wied Harry Apraidji (2006), oligosakarida dalam ubi jalar merupakan komponen nongizi yang tidak tercerna tetapi bermanfaat bagi pertumbuhan bakteri probiotik sehingga ubi jalar dapat berfungsi sebagai prebiotik.
Ubi jalar berdasarkan warnanya dibedakan menjadi ubi jalar putih, oranye, dan ubi jalar ungu. Pada penelitian kali ini jenis ubi jalar yang digunakan adalah ubi jalar ungu yang mempunyai kulit dan daging umbi berwarna ungu pekat dan ubi jalar oranye yang mempunyai kulit berwarna merah dan daging umbi berwarna oranye atau jingga. Masing-masing ubi jalar tersebut ditambahkan pada beras dalam bentuk pasta dan diolah sehingga menjadi nasi ubi jalar. Penambahan ubi jalar pada nasi sebagai makanan pokok selain meningkatkan kandungan gizinya, juga dapat digunakan sebagai bahan substitusi beras. Dengan demikian dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Nasi ubi jalar merupakan pangan alternatif yang mensubstitusi beras dengan ubi jalar. Ubi jalar yang kaya kandungan antosianin dan β-karoten menjadikan nasi ubi jalar sebagai nasi sehat kaya antioksidan. Ubi jalar mampu mensubstitusi beras (nasi) sebanyak 30-40% sehingga secara signifikan dapat mengurangi konsumsi beras (Anonim, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Suprapta (2003), kandungan antosianin dalam ubi jalar putih adalah 0,06 mg/100 g, ubi jalar kuning 4,56 mg/100 g, dan
(15)
ubi jalar ungu 110,51 mg/100 g. Nilai total antosianin pada ubi jalar ungu ini lebih tinggi dari blueberry. Menurut Anonima (2009), ubi jalar putih mengandung 260 µg (869 SI) β-karoten per 100 gram, ubi merah yang berwarna kuning emas 2900 µg (9675 SI), dan ubi merah yang berwarna jingga 9900 µg (32967 SI). Makin pekat warna jingganya, makin tinggi kadar β-karotennya yang merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh. Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat yang memiliki kandungan antioksidan dan serat pangan yang tinggi. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan dapat menghambat timbulnya penyakit degeneratif melalui penghambatan reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas. Sebagian besar penyakit degeneratif seperti kardiovaskuler, kanker, arterosklerosis, osteoporosis diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Reaksi ini menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif, yang dapat merusak struktur serta fungsi sel.
Amilosa merupakan salah satu parameter penentu mutu nasi. Semakin tinggi kandungan amilosa pada beras atau nasi, maka tekstur nasi akan semakin keras (pera). Oleh karena itu, kandungan amilosa pada nasi ubi jalar juga perlu untuk dikaji.
Berdasarkan potensi yang dimiliki ubi jalar sebagai bahan makanan sumber karbohidrat yang memiliki sifat fungsional serta ketersediaannya yang melimpah, maka penelitian mengenai kajian aktivitas antioksidan, serat pangan, dan kadar amilosa ubi jalar ini perlu dilakukan dan diaplikasikan pada nasi sebagai bahan makanan pokok.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah jenis ubi jalar dengan variasi konsentrasi memberikan pengaruh terhadap aktivitas antioksidan, serat pangan, dan kadar amilosa pada nasi ubi jalar?
(16)
2. Manakah jenis dan konsentrasi ubi jalar pada pembuatan nasi ubi jalar yang paling disukai oleh konsumen?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi ubi jalar terhadap aktivitas antioksidan, serat pangan, dan kadar amilosa pada nasi ubi jalar.
2. Mengetahui jenis dan konsentrasi ubi jalar pada pembuatan nasi ubi jalar yang paling disukai oleh konsumen.
D. Manfaat Penelitian
1. Diversifikasi produk olahan ubi jalar menjadi salah satu bahan makanan pokok yang mengandung antioksidan alami dan serat pangan yang menyehatkan tubuh.
2. Memberikan alternatif produk makanan pokok baru sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras.
3. Memberikan informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi pangan khususnya mengenai aktivitas antioksidan, kandungan serat pangan, dan kadar amilosa pada nasi yang ditambah dengan ubi jalar.
(17)
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan tanaman palawija sumber karbohidrat yang cukup potensial dan prospektif sebagai bahan diversifikasi pangan. Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga kaya akan vitamin A dan C serta mineral Ca. Cara budidaya yang mudah, daya adaptasi cukup luas dan telah dibudidayakan di seluruh propinsi di Indonesia, menjadikan ubi jalar mempunyai potensi dan prospek yang besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri pengolahan pangan dalam rangka mendorong diversifikasi pangan dan agroindustri. Pengembangan agroindustri pengolahan ubi jalar menjadi produk setengah jadi maupun produk-produk jadi, selain dapat mendorong diversifikasi pangan diharapkan juga
(18)
meningkatkan nilai tambah ubi jalar serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Harnowo, dkk., 1993).
Menurut Soemartono (1983), ubi jalar adalah sumber bahan pangan karbohidrat yang baik sekali. Ini terbukti dari kenyataan, bahwa bahan makanan ini merupakan bahan makanan utama bagi penduduk di Irian Jaya dan di Papua Nugini. Kesehatan mereka ternyata tetap baik dan tidak mengalami gangguan apapun. Sedangkan menurut Ispandi (1993), karbohidrat dalam ubi jalar cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai penunjang sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan ubi kayu. Kandungan gizinya juga tinggi dan bervariasi sehingga ubi jalar dapat juga digunakan sebagai penunjang program penganekaragaman sumber gizi.
Pada umumnya ubi jalar masih digunakan sebagai makanan sampingan atau pengganti beras dimasa paceklik. Tetapi beberapa daerah di kawasan timur Indonesia seperti di Irian Jaya, ubi jalar merupakan makanan pokok selain sagu dan ubi-ubian lainnya (Yudi Widodo, 1989).
Ubi jalar dapat pula dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan yang membantu perbaikan gizi masyarakat, karena selain nilai kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, juga kandungan vitamin A yang cukup besar dan juga mengandung vitamin C dan mineral-mineral serta kalsium dan besi. Karena kandungan vitamin A yang cukup besar, maka ubi jalar dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi penyakit kebutaan (Lingga, dkk., 1986). Komposisi ubi jalar bervariasi tergantung dari jenis, usia, keadaan tumbuh dan tingkat kematangan. Komposisi kimianya diperlihatkan pada Tabel 2.1. Sebagian besar karbohidrat ubi jalar berada dalam bentuk pati.
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ubi Jalar tiap 100 Gram Bahan
Komponen Jumlah
(19)
Kalori Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin C (mg) Air (g) 123 1,8 0,7 27,9 30 49 0,7 60-7700 22 68,5 Sumber : Anonim (1981)
Ubi jalar mengandung beberapa jenis gula oligosakarida yang dapat menyebabkan flatulensi, yaitu stakiosa, rafinosa dan verbaskosa. Oligosakarida penyebab flatulensi ini tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia tetapi dicerna oleh bakteri pada usus bagian bawah. Hal ini menyebabkan terbentuknya gas dalam usus besar (Tien R. Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Berdasarkan warna daging umbinya, ubi jalar dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu ubi jalar putih, oranye dan ungu. Komposisi gizi dari tiga jenis ubi jalar tersebut diperlihatkan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komposisi Gizi Ubi Jalar Putih, Ubi Jalar Kuning, dan Ungu Komposisi gizi Ubi jalar
putih
Ubi jalar kuning
Ubi jalar ungu Zat pati (%)
Gula reduksi (%) Lemak (%) Protein (%) Air (%) Abu (%) Serat (%)
Vitamin C (mg/100g) Antosianin (mg/100g) 28,79 0,32 0,77 0,89 62,24 0,93 25 28,68 0,06 24,47 0,11 0,68 0,49 68,78 0,99 2,79 29,22 4,56 12, 64 0,30 0,94 0,77 70,46 0,84 3,00 21,43 110,51 Sumber : Suprapta (2003)
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas) varietas Ayamurasaki biasanya disebut Ipomoea batatas ” blackie” karena memiliki kulit dan daging umbi
(20)
yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat). Ubi jalar ungu mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain. Pigmennya lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari sumber lain seperti kubis merah, blueberries dan jagung merah (Sri Kumalaningsih, 2006).
Ubi jalar ungu memiliki beberapa kelebihan, diantaranya mengandung vitamin A dan E. Selain itu ubi jalar ungu juga memiliki kandungan serat yang tinggi, karbohidrat kompleks, vitamin B6, asam folat, dan rendah kalori. Serat alami oligosakarida yang tersimpan dalam ubi jalar ungu adalah komoditas yang bernilai untuk produk pangan olahan (Anonima, 2008).
Menurut Shinta Ferlina (2009), antosianin ubi jalar ungu memiliki fungsi fisiologis misal antioksidan, antikanker, antibakteri, perlindungan terhadap kerusakan hati, penyakit jantung dan stroke. Shinta Ferlina menambahkan bahwa ubi jalar ungu menjadi antikanker karena di dalamnya ada zat aktif yang dinamakan selenium dan iodine yang kandungannya dua puluh kali lebih tinggi dari jenis ubi yang lainnya. Ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri 2,5 dan 3,2 kali lebih tinggi daripada beberapa varietas blueberry. Sri Kumalaningsih (2006) menyatakan bahwa ubi jalar ungu juga baik untuk mendorong kelancaran peredaran darah.
Ubi jalar oranye memiliki daging buah berwarna kekuningan hingga jingga atau oranye. Dibanding ubi jalar putih, tekstur ubi jalar oranye memang lebih berair dan kurang masir (sandy) tetapi lebih lembut. Makin pekat warna jingganya, makin tinggi kadar β-karoten yang merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh. Perebusan ubi jalar oranye dapat merusak 10% kadar β-karoten, sedangkan penggorengan atau pemanggangan dalam oven dapat merusak sebesar 20% dan penjemuran menghilangkan kandungan β-karoten sekitar 40%. Mengkonsumsi satu porsi ubi jalar oranye kukus/rebus, dapat memenuhi kecukupan vitamin A dalam
(21)
sehari (2100-3600 µg). Zat gizi lain dalam ubi jalar oranye adalah kalium, fosfor, mangan, dan vitamin B6. Jika dimakan mentah, ubi jalar oranye menyumbang cukup vitamin C. Disamping itu, ubi ini lebih kaya serat, khususnya oligosakarida. Konsumsi ubi jalar oranye 2-3 kali seminggu, membantu kecukupan serat. Apabila dimakan bersama kulitnya, menyumbang serat lebih banyak (Anonimb, 2009).
Ubi jalar oranye merupakan umbi-umbian yang mengandung senyawa antioksidan paling lengkap. Selain vitamin A, C, dan E, ubi jalar oranye juga mengandung vitamin B6 (piridoksin) yang berperan penting dalam mendukung kekebalan tubuh. Hampir semua zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar oranye mendukung kemampuannya memerangi serangan jantung koroner. Kesimpulan sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa kalium pada ubi jalar oranye memangkas 40% resiko penderita hipertensi terserang stroke fatal dan menurunkan tekanan darah yang berlebihan hingga 25% (Anonimb, 2009).
2. Beras dan Nasi
Beras merupakan daging buah dari tanaman Oriza sativa L. Di Indonesia diantara berbagai macam makanan pokok berpati, beras merupakan sumber kalori yang penting bagi sebagian besar penduduk karena dapat mensuplai kalori sebanyak 60-80% dan protein 45-55%. Beras terdiri dari beberapa komponen yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan komponen lainnya. Besar masing-masing komponen di pengaruhi oleh varietas, lingkungan budidaya dan metoda analisa yang dilakukan. Kandungan karbohidrat beras sebesar 74,9-77,8%; protein 7,1-8,3 %; lemak 0,5-0,9 % (Riwan Kusmiadi, 2004).
(22)
Nasi adalah beras atau serealia lain yang telah direbus dan ditanak. Proses perebusan beras dikenal juga sebagai ”tim”. Penanakan beras diperlukan untuk menimbulkan aroma nasi dan membuatnya lebih lunak tetapi tetap terjaga konsistensinya. Pembuatan nasi dengan air berlebih dalam proses perebusannya akan menghasilkan bubur.
Nasi dimakan oleh sebagian besar penduduk Asia sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu sehari-hari. Nasi sebagai makanan pokok biasanya dihidangkan bersama lauk sebagai pelengkap rasa dan juga melengkapi kebutuhan gizi seseorang. Nasi dapat diolah lagi bersama bahan makanan lain menjadi masakan baru, seperti pada nasi goreng, nasi kuning atau nasi kebuli. Nasi bisa dikatakan makanan pokok bagi masyarakat di Asia, khususnya Asia Tenggara (Anonimb, 2008).
Warna nasi yang telah masak (tanak) berbeda-beda tergantung dari jenis beras yang digunakan. Pada umumnya, warna nasi adalah putih bila beras yang digunakan berwarna putih. Beras merah atau beras hitam akan menghasilkan warna nasi yang serupa dengan warna berasnya. Kandungan amilosa yang rendah pada pati beras akan menghasilkan nasi yang cenderung lebih transparan dan lengket. Ketan, yang patinya hanya mengandung sedikit amilosa dan hampir semuanya berupa amilopektin, memiliki sifat semacam itu. Beras Jepang (japonica) untuk sushi mengandung kadar amilosa sekitar 12-15% sehingga nasinya lebih lengket daripada nasi yang dikonsumsi di Asia Tropika, yang kadar amilosanya sekitar 20%. Pada umumnya, beras dengan kadar amilosa lebih dari 24% akan menghasilkan nasi yang “pera” (tidak lekat, keras, dan mudah terpisah-pisah) (Anonimb, 2008).
Menurut Winarno (1993), gelatinisasi pati adalah proses pembengkakan granula pati yang bersifat irreversibel. Apabila suspensi pati dalam air dipanaskan, maka akan terjadi tiga tahapan pengembangan granula. Tahap pertama terjadi di air dingin, garnula pati akan menyerap air
(23)
sebanyak 25-30% dari beratnya. Tahap ini bersifat reversibel. Tahap kedua terjadi pemanasan sampai suhu 65 oC. Pada tahap ini mulai terjadi pembengkakan granula yang bersifat irreversibel. Selama fase ini terlihat perubahan granula dan sebagian besar molekul pati terlarut terlepas keluar dari granula. Tahap ketiga terjadi pada pemanasan di atas suhu 65 oC. Pada fase ini terjadi pembengkakan garnula pati yang luar biasa dan pada akhirnya granula pati akan pecah.
3. Nasi Ubi jalar
Bebilar merupakan singkatan dari nasi beras ubi jalar. Istilah ini digunakan untuk memperkenalkan pangan alternatif yang mensubstitusi beras dengan ubi jalar. Ubi jalar kaya akan β-karoten sehingga menjadikan nasi bebilar sebagai nasi sehat kaya antioksidan. Ubi jalar mampu mensubstitusi beras (nasi) sebanyak 30-40% sehingga secara signifikan dapat mengurangi konsumsi beras.Teknik pembuatan bebilar relatif mudah, sama halnya seperti memasak nasi yang dilakukan para ibu rumah tangga setiap harinya. Percobaan yang telah dilakukan di jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara Medan, pasta ubi jalar merah rebus (kukus) sebanyak 30-40% dicampur dengan beras yang akan dimasak, (Posman Sibuea, 2007) selanjutnya ditambahkan air secukupnya dan dimasak seperti halnya menanak nasi pada umumnya. Jika dilakukan dengan baik akan diperoleh butiran nasi berwarna merah ungu yang rasanya enak dan gurih. Keunggulan nasi bebilar adalah kandungan β-karoten dan serat makanan yang tinggi, sehingga cocok sebagai pangan fungsional yang dapat mencegah kanker dan diabetes melitus (Anonimc, 2008).
Pada prinsipnya penanakan beras dilakukan dengan cara memanaskannya dalam air sampai tingkat yang enak dimakan. Banyaknya air yang digunakan tergantung pada kandungan amilosa beras (Haryadi, 2006). Beras dengan kandungan amilosa 0% menggunakan perbandingan
(24)
beras : air = 1 : 1, kandungan amilosa 10-14% 1 : 1,4 dan kandungan amilosa 20-25% perbandingannya 1 : 1,7 (Meullenet, 2000 dalam Souripet, 2009). Selama pemanasan tersebut beras akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia. Pati sebagai komponen terbesar penyusun beras akan menyerap air sehingga granula mengembang. Peningkatan suhu menyebabkan penyerapan air lebih besar dan bersifat tidak balik sehingga terjadi gelatinisasi.
Secara umum ada 2 cara mengolah beras menjadi nasi yakni : a. Cara tanak
Pengolahan beras dengan cara tanak yakni beras yang akan dimasak dicuci terlebih dahulu, kemudian airnya dibuang dengan cara ditiriskan. Setelah itu beras yang telah dicuci, ditambah air dengan perbandingan tertentu kemudian langsung dimasak sampai air habis atau kering. Dasar pemasakan beras cara tanak inilah yang dipergunakan sebagai prinsip pemasakan dengan menggunakan rice cooker.
b. Cara kukus
Pengolahan beras dengan cara kukus yakni beras yang akan dimasak, dicuci dan ditiriskan. Kemudian ditambah air dengan perbandingan tertentu dan dimasak sampai setengah matang, selanjutnya dikukus.
4. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang melindungi senyawa atau jaringan dari efek destruktif jaringan oksigen (Swarth, 2004). Sedangkan menurut Sri Kumalaningsih (2006) antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas.
Menurut Ardiansyah (2007), sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Antioksidan alami dalam
(25)
makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke dalam makanan sebagai bahan tambahan pangan.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan terbagi menjadi antioksidan alami dan antioksidan buatan. Antioksidan sintetik seperti BHA (Butil Hidroksi Anisol), BHT (Butil Hidroksi Toluen), PG (Propil Galat), dan TBHQ (tert-butil Hidrokuinon) dapat meningkatkan terjadinya
karsinogenesis (Amarowicz et al., 2000) sehingga penggunaan antioksidan alami mengalami peningkatan. Menurut Elvina Karyadi (2006), contoh antioksidan alami adalah vitamin E, vitamin C, β-karoten, bilirubin, dan albumin. Contoh lain antioksidan alami adalah antosianin. Antosianin terdapat pada berbagai tumbuhan pada bunga atau buah yang berwarna merah, biru atau ungu.
Shinta Ferlina (2009) menyatakan bahwa antosianin ubi jalar ungu memiliki fungsi fisiologis misal antioksidan, antikanker, antibakteri, perlindungan terhadap kerusakan hati, penyakit jantung dan stroke. Ubi jalar ungu bisa menjadi anti kanker karena didalamnya ada zat aktif yang dinamakan selenium dan iodin yang kandungannya dua puluh kali lebih tinggi dari jenis ubi yang lainnya. Ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri 2,5 dan 3,2 kali lebih tinggi daripada beberapa varietas blueberry.
Mekanisme kerja antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut
(26)
memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan mengubah radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Ardiansyah, 2007).
Aktivitas antioksidan dapat diukur dengan berbagai cara, antara lain dengan pengujian DPPH Radical Scavenging Methode, pengujian aktivitas penghambatan pembentukan peroksida, pengujian aktivitas antioksidan dengan metode pemucatan β-karoten, TBA, Weight Gain Methode dan pengujian aktivitas antioksidan dengan uji diena terkonjugasi. Uji DPPH merupakan uji untuk melihat aktivitas ekstrak antioksidan dalam menangkap radikal bebas. Menurut Osawa dan Namiki (1981) dalam Anis Dzakiyyah (1994), prinsip pengujian dengan metode DPPH ini adalah reaksi antara radikal bebas DPPH dengan hidrogen. Ekstrak antioksidan merupakan donor hidrogen dan akan menangkap radikal DPPH. Larutan DPPH berwarna ungu. Intensitas warna ungu akan menurun ketika radikal DPPH berikatan dengan hidrogen. Semakin kuat aktivitas antioksidan sampel, maka semakin besar penurunan intensitas warna ungu. Penurunan intensitas warna ungu diukur dengan mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 515 nm.
DPPH merupakan radikal yang mempunyai struktur kimia sebagai berikut :
Gambar 2.1 Struktur Molekul DPPH (Blois, 1958 dalam Dzakiyyah, 1994) NO2
NO2
NO2
(27)
5. Antosianin dan β-karoten
Antosianin berasal dari bahasa Yunani yaitu “anthos” yang berarti bunga dan “kyanos” yang berarti biru gelap dan termasuk senyawa flavonoid. Senyawa ini merupakan sekelompok zat warna berwarna kemerahan yang larut di dalam air dan tersebar sangat luas di dunia tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, dapat digunakan sebagai pewarna alami yang tersebar luas dalam tumbuhan (bunga, buah-buahan, dan sayuran). Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air adalah penyebab hampir semua
warna merah, oranye, ungu dan biru.
Warna ini biasanya tidak dibentuk oleh satu pigmen, seringkali lebih dari satu kombinasi atau sistem dari pigmen. Sebagai contoh blueberries terdiri dari 10-15 pigmen yang berbeda. Umumnya buah-buahan dan sayur-sayuran terdiri dari 4-6 pigmen. Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal, yaitu “cyanidin” (sianidin), dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil maupun dengan metilasi atau glikosilasi. Antosianidin adalah aglikon antosianin yang terbentuk bila antosianin dihidrolisis dengan asam. Antosianidin yang paling umum dipakai sampai saat ini adalah sianidin yang berwarna merah lembayung. Perbedaan warna alami pigmen ini dipengaruhi oleh hidroksilasi dan metilasi. Hidroksilasi meningkatkan warna biru sedangkan metilasi meningkatkan warna merah. Jenis gula yang ditemui pada molekul antosianin adalah glukosa, rhaminosa, galaktosa, xylosa dan arabinosa. Antosianin berperan sebagai pewarna alami makanan, namun tidak hanya sebatas sebagai pewarna makanan saja. Hal ini disebabkan antosianin memiliki kandungan yang mempunyai fungsi fisiologis, yaitu selenium dan iodin sebagai substansi antikanker dan sebagai antioksidan dan perlindungan terhadap penyakit jantung. Antosianin juga berperan sebagai pangan fungsional, tersedia dalam bentuk minuman
(28)
ataupun suplemen (Anonimb, 2009). Struktur dasar antosianin seperti terlihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. 3,5,7-Trihidroksiflavilium Klorida, Struktur Dasar Antosianin Keberadaan senyawa antosianin pada ubi jalar yaitu pigmen yang terdapat pada ubi jalar ungu atau merah dapat berfungsi sebagai komponen pangan sehat dan paling lengkap. Pigmen antosianin pada ubi jalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil bila dibandingkan dengan antosianin dari kubis dan jagung merah. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balitbang Pertanian, menunjukkan bahwa antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi dan pencegah gangguan fungsi hati, jantung koroner, kanker dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti arterosklerosis. Antosianin juga mampu menghalangi laju perusakan sel radikal bebas akibat nikotin, polusi udara dan bahan kimia lainnya. Antosianin berperan dalam mencegah terjadinya penuaan, kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp, asam urat, penderita sakit maag (asam lambung). Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik) (Hilmi Akmal Priangan, 2008).
Total kandungan antosianin ubi jalar ungu bervariasi pada setiap tanaman, yaitu berkisar antara 20 mg/100 g sampai 600 mg/100 g berat basah. Total kandungan antosianin ubi jalar ungu adalah 519 mg/100 g berat basah (Shinta Ferlina, 2009).
Betakaroten adalah salah satu zat antioksidan yang di antaranya terdapat pada wortel, kentang, ubi jalar dan buah peach. Zat antioksidan
OH
OH HO
(29)
sangat berguna untuk melawan radikal bebas yang berasal dari zat-zat racun. Radikal bebas adalah awal dari penyakit, termasuk disini adalah penyakit jantung yang sangat ditakuti. Dengan adanya zat antioksidan yang antara lain adalah β-karoten diketahui dapat mengurangi sekitar 40% resiko terkena penyakit jantung, dengan hanya mengkonsumsi 50 mg β-karoten setiap hari dalam menu makanan. Selain itu, β-karoten juga bermanfaat untuk mengurangi resiko terkena kanker prostat sebanyak 36% (Anonimd, 2009). Struktur kimia β-karoten seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur Kimia β-karoten
Betakaroten merupakan antioksidan yang spesifik karena dapat mencegah proses oksidasi dalam sistem yang memiliki tekanan oksigen rendah. β-karoten terbukti efektif mencegah oksidasi biomolekul dan membran lipida, terutama pada tekanan oksigen yang rendah. Kemampuan
β-karoten sebagai antioksidan pada tekanan parsial oksigen yang rendah ini ternyata sangat penting di dalam sistem biologis sebab biasanya sistem antioksidan efektif pada tekanan oksigen yang relatif tinggi, padahal sifat antioksidan juga diperlukan pada tempat tertentu yang jauh dari sumber oksigen. Oleh karena itu, β-karoten dapat merupakan komplemen terhadap antioksidan lain, seperti vitamin C dan vitamin E yang efektif pada tekanan oksigen yang normal (Silalahi, 2006).
6. Serat Pangan
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh
(30)
sehingga kebanyakan akan menjadi substrat untuk fermentasi bagi bakteri yang hidup di kolon (Silalahi dan Hutagalung, 1994). Definisi terbaru tentang serat makanan yang disampaikan oleh the American Association of Cereal Chemist (AACC, 2001) adalah bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar. Serat makanan tersebut meliputi pati, polisakarida, oligosakarida, lignin dan bagian tanaman lainnya.
Serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Kebanyakan jenis karbohidrat yang sampai ke kolon tanpa terhidrolisis meliputi polisakarida yang bukan pati (non-starch polysaccharides = NSP), pati yang resisten (resistant starch = RS), dan karbohidrat rantai pendek (short chain carbohydrates = SC). Serat pangan yang larut sangat mudah difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta lipida, sedangkan serat pangan yang tidak larut akan memperbesar volume feses dan akan mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif lemah). Monomer dari serat pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan lignin terdiri dari monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni glukosa, galaktosa, xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam, yakni mannuronat, galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat. Rangkaian NSP yang dibentuk oleh monosakarida ini dihubungkan melalui ikatan b (1-4) glikosida contohnya pektin, sellulosa, dan gum. Oleh karena itu, serat pangan tersebut (NSP) tidak dapat dihidrolisis oleh enzim percerna manusia. Misalnya, pektin mengandung asam galakturonat, baik yang termetilasi maupun yang tidak. Perbandingan dari metilasi dan sebagai asam (derajat metilasi) dalam polimer pektin, sangat berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pektin. Pektin dengan derajat metilasi yang tinggi (high-methoxy pectin = HMP) yang terdapat secara alamiah pada buah dan sayuran, mungkin tidak larut
(31)
dengan baik dibandingkan dengan pektin yang telah diisolasi. Hemisellulosa terdiri dari xylosa dan arabinosa dengan perbandingan tertentu yang membedakan jenis hemisellulosa tersebut. Nilai gizi dari serat pangan semula dianggap tidak menyumbangkan energi karena tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Akan tetapi, karena serat pangan difermentasikan di dalam kolon dan menghasilkan hidrogen, metana, karbon dioksida, serta asam lemak rantai pendek seperti propionat, butirat yang dapat diserap, dan menghasilkan sejumlah energi maka serat pangan dapat menghasilkan energi 0-3 kalori per gram (Silalahi dan Hutagalung, 1994).
Serat makanan ini terdiri dari dinding sel tanaman yang sebagian besar mengandung 3 macam polisakarida yaitu sellulosa, zat pektin dan hemisellulosa. Selain itu, juga mengandung zat yang bukan karbohidrat yakni lignin (Piliang dan Djojosoebagio, 2002).
Istilah serat makanan (dietary fiber) harus dibedakan dengan istilah serat kasar (crude fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat bahan pangan. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4 1.25%) dan natrium hidroksida
(NaOH 1.25%). Sedang serat makanan adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. Piliang dan Djojosoebagio (2002), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan serat kasar ialah sisa bahan makanan yang telah mengalami proses pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit yang dilakukan di laboratorium. Dengan proses seperti ini dapat merusak beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang membentuk dinding sel. Oleh karena itu, serat kasar merendahkan perkiraan jumlah kandungan serat sebesar 80% untuk hemisellulosa, 50-90% untuk lignin dan 20-50% untuk sellulosa.
(32)
Mutu serat makanan dapat dilihat dari komposisi komponen serat makanan, dimana komponen serat makanan terdiri dari komponen yang larut (Soluble Dietary Fiber, SDF) dan komponen yang tidak larut (Insoluble Dietary Fiber, IDF) (Harland and Oberleas, 2001). Sekitar sepertiga dari serat makanan total (Total Dietary Fiber, TDF) adalah serat makanan yang larut (SDF), sedangkan kelompok terbesarnya merupakan serat yang tidak larut (IDF) (Prosky and De Vries, 1992).
Ada beberapa metode analisis serat, antara lain metode crude fiber, metode deterjen dan metode enzimatis yang masing-masing mempunyai keuntungan dan kekurangan. Data serat kasar yang ditentukan secara kimia tidak menunjukkan sifat serat secara fisiologis. Selang kesalahan apabila menggunakan nilai serat kasar sebagai TDF adalah antara 10 sampai 500%. Kesalahan terbesar terjadi pada analisis serealia dan terkecil pada kotiledon tanaman (Robertson and Van Soest, 1977).
Metode analisis dengan menggunakan deterjen (Acid Deterjen Fiber, ADF atau Neutral Deterjen Fiber, NDF) merupakan metode gravimetrik yang hanya dapat mengukur komponen serat makanan yang tidak larut. Adapun untuk mengukur komponen serat yang larut seperti pektin dan gum, harus menggunakan meode yang lain karena selama analisis tersebut komponen serat larut mengalami kehilangan akibat rusak oleh adanya penggunaan asam sulfat pekat (James dan Theander, 1981).
Metode enzimatik yang dikembangkan oleh Asp et al. (1984) merupakan metode fraksinasi enzimatik, yaitu penggunaan enzim amilase, yang diikuti oleh penggunaan enzim pepsin pankreatik. Metode ini dapat mengukur kadar serat makanan total, serat makanan larut dan serat makanan tidak larut secara terpisah.
(33)
Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerasasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul disebut disakarida, yang terdiri dari tiga molekul disebut triosa, sedangkan sukrosa terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa. Ikatan antara dua molekul monosakarida disebut ikatan glikosidik (Anonimd, 2008).
Oligosakarida adalah karbohidrat berbobot molekul rendah, terdiri dari 3 sampai 10 gugus gula sederhana (monosakarida). Awalnya senyawa ini digolongkan sebagai antinutrisi karena dapat menyebabkan timbulnya gas dalam perut (flatulensi). Contohnya adalah rafinosa, stakhiosa, dan verbaskosa yang terdapat dalam bahan pangan nabati seperti kacang-kacangan (misalnya kedelai) dan beberapa jenis umbi-umbian (misalnya ubi jalar). Itu sebabnya mengapa pengolahan bahan-bahan pangan tersebut selalu mengupayakan penurunan kadar oligosakarida atau dihilangkan sama sekali. Akan tetapi, penelitian mutakhir menunjukkan oligosakarida berguna karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri yang merugikan dalam usus. Karena itu pandangan terdahulu terhadap senyawa tersebut harus diubah, dan dalam pengolahan perlu diupayakan agar oligosakarida dapat dipertahankan. Di luar negeri bahkan ada industri yang sengaja memproduksi oligosakarida untuk dijual sebagai bahan pangan fungsional (functional food) (Deddy Muchtady, 1996).
Menurut Jansen Silalahi dan Netty Hutagalung (1994), oligosakarida merupakan komponen makanan fungsional yang paling popular di Jepang. Oligosakarida adalah karbohidrat sederhana, banyak dikonsumsi dalam bentuk minuman ringan, biskuit, gula-gula/bonbon dan produk susu. Oligosakarida fungsional adalah polisakarida pendek dengan struktur kimia yang unik sehingga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pada percernaan manusia. Jadi, seperti serat pangan, akhirnya akan sampai di dalam usus besar. Dengan demikian, merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
(34)
bifidobacteria yang menguntungkan di dalam usus besar (kolon) sehingga oligosakarida disebut sebagai prebiotik. Manfaat dari konsumsi oligosakarida ialah karena oligosakarida dapat meningkatkan populasi
bifidobacteria dalam kolon. Dengan peningkatan jumlah bakteri ini, akan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk yang merugikan, yakni
Escherichia coli dan Streptococcus faecalis. Efek yang sama juga dapat dicapai dengan mengkonsumsi produk makanan yang mengandung bakteri asam laktat dalam keadaan hidup seperti yoghurt, yang disebut probiotik. Bakteri asam laktat dan sejenisnya relatif tahan terhadap asam lambung sehingga dapat sampai di kolon, dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan bakteri yang merugikan.
8. Amilosa
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin.
Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 2002). Ikatan glikosidik menggabungkan residu glukosa yang berdekatan rantai amilopektin adalah ikatan α (1,4) tetapi titik percabangan amilopektin merupakan ikatan α (1,6) (Lehninger,1982 dalam Suarni dan Widowati, 2007).
Peranan perbandingan amilosa dan amilopektin terlihat pada serealia, contohnya pada beras. Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan amilopektinnya, semakin lekat nasi tersebut. Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2%), sedang beras yang mengandung amilosa lebih besar dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33%; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25%; (3) beras dengan
(35)
kadar amilosa rendah 9-0%; dan (4) beras dengan kadar amilosa sangat rendah < 9% (Winarno, 2002).
Amilosa adalah bagian dari pati yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan terutama pada padi-padian, biji-bijian dan umbi-umbian. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur pera atau tidaknya nasi, cepat atau tidaknya mengeras, lengket atau tidaknya nasi, warna dan kilap. Pada beras, semakin kecil kandungan amilosa, nasi yang dihasilkan akan semakin pulen. Semakin tinggi kadar amilosa volume nasi yang diperoleh makin besar tanpa kecenderungan mengempes, hal ini dikarenakan amilosa mempunyai kemampuan retrogadasi yang lebih besar (Madbardo, 2009).
Citarasa dan mutu masak beras terutama ditentukan oleh kadar amilosa dan amilopektinnya. Kadar amilosa berpengaruh terhadap tekstur nasi. Beras dengan kadar amilosa tinggi bila dimasak, mengalami pengembangan volumenya dan tidak mudah pecah, nasinya kering dan kurang empuk, serta menjadi keras bila didinginkan. Beras dengan kadar amilosa rendah bila dimasak menghasilkan nasi yang basah dan lengket, sedangkan beras dengan kadar amilosa menengah menghasilkan nasi yang agak basah dan tidak menjadi keras bila didinginkan. Perbandingan antara amilosa dan amilopektin dapat menentukan tekstur, pera atau tidaknya nasi, cepat atau tidaknya mengeras dan lengket atau tidaknya nasi. Makin tinggi kadar amilosa dalam beras, bertambah keras dan pera nasi yang dihasilkan. Sebaliknya, makin tinggi kadar amilopektin beras maka makin pulen dan lengket nasi yang dihasilkan (Made Astawan, 2002). Bahan yang mengandung amilosa tinggi, jika direbus amilosanya terekstrak oleh air panas, sehingga terlihat warna putih seperti susu (Lehninger,1982 dalam Suarni dan Widowati, 2007).
(36)
B. Kerangka Berpikir
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Pada umumnya masyarakat Indonesia menggunakan beras untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. Beras memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tetapi rendah akan serat pangan dan antioksidan. Serat pangan dan antioksidan merupakan komponen yang penting bagi tubuh. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan dapat menghambat timbulnya penyakit degeneratif. Serat pangan dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik dalam usus sehingga membantu kesehatan pencernaan. Dengan demikian perlu dicari alternatif makanan pokok lain sebagai sumber karbohidrat yang juga mengandung serat pangan dan antioksidan.
Ubi jalar merupakan salah satu komoditi lokal yang ketersediaannya melimpah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Pada ubi jalar terdapat antosianin dan β-karoten sebagai antioksidan serta serat pangan. Ubi jalar memiliki potensi untuk menggantikan nasi sebagai makanan pokok. Namun demikian masyarakat yang sudah terbiasa mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok merasa belum kenyang jika belum makan nasi. Pencampuran beras/nasi dengan ubi jalar merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut sehingga kita tidak harus sepenuhnya meninggalkan nasi. Jenis ubi jalar bermacam-macam sehingga perlu dicari jenis dan konsentrasi yang tepat untuk mendapatkan formulasi nasi ubi jalar yang kaya antioksidan dan serat pangan, serta dapat diterima oleh konsumen.
(37)
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Beras
Kebutuhan pokok manusia Pangan
Sumber lokal, melimpah
Kaya antioksidan dan serat pangan
Pangan fungsional Ubi jalar
Nasi ubi jalar
Perlu dicari jenis & konsentrasi ubi jalar yang
tepat
Diterima konsumen + kaya antioksidan
& serat pangan Karbohidrat, antioksidan
dan serat pangan
Perlu fortifikasi non beras Kebiasaan mengkonsumsi
beras/nasi
Belum merasa kenyang jika belum makan nasi
(38)
Perbedaan jenis dan konsentrasi ubi jalar diduga akan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan, kadar serat pangan, dan amilosa nasi ubi jalar yang dihasilkan.
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dilaksanakan dalam jangka waktu 5 bulan.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan utama yang digunakan untuk membuat nasi ubi jalar pada penelitian ini adalah ubi jalar ungu dan oranye yang diperoleh dari Tawang Mangu dan beras SS-64 super yang diperoleh dari petani di Surakarta.
Bahan yang digunakan dalam analisa aktivitas antioksidan adalah buffer sitrat pH 4, petrolium eter, metanol dan larutan DPPH 0,1 mM.
Bahan untuk analisa kadar amilosa adalah amilosa murni, etanol 95%, larutan NaOH, asam asetat, larutan Iod, dan KI.
Bahan yang digunakan untuk analisa kadar serat pangan adalah buffer posfat, termamyl, NaOH 0,275 N, protease, HCl, amyloglukosidase, ETOH 78%, ETOH 95%, dan aseton.
(39)
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cabinet dryer, timbangan analitik, beker glass, erlenmeyer, pipet ukur, pro pipet, mikro pipet, vortex mixer, tabung reaksi, inkubator, dan spektrofotometer UV-Vis.
C. Tahapan Penelitian
1. Pembuatan pasta ubi jalar
Ubi jalar ungu dan oranye masing-masing dicuci, kemudian dikukus selama 30 menit atau sampai matang. Setelah itu ubi jalar dikupas dan dilumatkan menggunakan blender hingga terbentuklah pasta ubi jalar.
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Pasta Ubi Jalar 2. Pembuatan nasi ubi jalar
Proses pembuatan nasi ubi jalar (ungu maupun oranye) dilakukan dengan cara pertama-tama beras dicuci dan ditiriskan. Pasta ubi jalar baik ungu maupun oranye 30%, 35%, dan 40% (dari berat total beras + pasta ubi jalar dicampur dengan air (beras : air = 1: 1,4 ). Campuran pasta ubi jalar dan air, dicampur dengan beras yang sudah ditiriskan. Kemudian dimasak sampai setengah matang, baru setelah itu dikukus sampai matang dan terbentuk nasi
Ubi jalar segar
Dicuci
Pasta ubi jalar Dikukus 30 menit
Dikupas
Dilumatkan 25
(40)
ubi jalar. Berikut ini adalah tabel komposisi formulasi nasi ubi jalar ungu dan oranye.
Tabel 3.1 Komposisi Formulasi Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Bahan 30% 35% 40%
Beras
Pasta ubi jalar Air
700 gram 300 gram 980 ml
650 gram 350 gram 910 ml
600 gram 400 gram 840 ml
Pasta ubi jalar ungu 30%, 35% dan 40% Beras
Dicuci
Ditiriskan
Dimasak setengah matang dengan api sedang
(sampai air habis)
+ Campuran pasta ubi jalar ungu dan air
Nasi ubi jalar Dikukus sampai matang
(30 menit)
Air Pasta ubi jalar oranye
(30%, 35% dan 40%)
Air
Dicampur Dicampur
+ Campuran pasta ubi jalar oranye dan air Campuran pasta
ubi jalar dan air
Campuran pasta ubi jalar dan air
(41)
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Nasi Ubi Jalar
D. Metode Analisa
Analisa yang dilakukan pada produk nasi ubi jalar yang dihasilkan meliputi :
1. Analisa kimia
Analisa kimia yang dilakukan meliputi :
a. Analisa aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Abdul Rahman dan Sugeng R, 2005).
b. Analisa kadar serat pangan (AOAC, 1995).
c. Analisa kadar amilosa (Gusnimar Aliawati, 2003).
2. Uji sensoris
Uji sensoris dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap nasi ubi jalar ungu yang dihasilkan. Parameter yang diteliti dalam uji ini adalah warna, rasa, aroma, tekstur dan keseluruhan dengan jumlah panelis minimal 20 orang panelis tidak terlatih.
E. Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu jenis dan variasi konsentrasi ubi jalar yang digunakan. Masing-masing perlakuan dilakukan tiga kali ulangan percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perlakuan, dan apabila terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan tingkat signifikasi α = 0,05.
(42)
- Nasi ubi jalar ungu 30% - Nasi ubi jalar ungu 35% - Nasi ubi jalar ungu 40% - Nasi ubi jalar oranye 30% - Nasi ubi jalar oranye 35% - Nasi ubi jalar oranye 40%
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aktivitas Antioksidan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Pada ubi jalar terdapat antioksidan yang cukup tinggi. Diantara komponen ubi jalar yang berperan sebagai antioksidan adalah vitamin A, C, pigmen antosianin, dan β-karoten. Direktorat gizi, departemen kesehatan RI (1981) menyebutkan bahwa pada ubi jalar terkandung vitamin A sebesar 60-7700 (SI). Menurut Suprapta (2003) kandungan vitamin C dan antosianin ubi jalar ungu berturut-turut 21,43 dan 110,51 mg/100 gram. Sedangkan pada ubi jalar oranye terdapat 11,26 mg vitamin C dan 34,79 µg β-karoten tiap100 gram bahan. Hasil pengujian aktivitas antioksidan nasi dengan penambahan pasta ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Aktivitas Antioksidan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye (%) Perlakuan Aktivitas antioksidan (%) Nasi ubi jalar ungu 30%
Nasi ubi jalar ungu 35% Nasi ubi jalar ungu 40% Nasi ubi jalar oranye 30% Nasi ubi jalar oranye 35% Nasi ubi jalar oranye 40%
38,12c 41,20d 47,22e 15,71a 17,38ab 18,80b
Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α 5%.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada nasi ubi jalar ungu, semakin tinggi konsentrasi pasta ubi jalar ungu yang ditambahkan mengakibatkan aktivitas antioksidannya juga meningkat. Dari ketiga perlakuan penambahan
(43)
pasta, yaitu 30%, 35%, dan 40% memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan pada α 5%. Pada nasi ubi jalar oranye, aktivitas antioksidan juga mengalami peningkatan dengan bertambahnya konsentrasi pasta ubi jalar oranye meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata.
Pada nasi ubi jalar ungu dengan penambahan pasta ubi jalar sebesar 40% memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi di antara perlakuan lain, yaitu 47,22%. Hal ini dikarenakan pada ubi jalar ungu selain terdapat vitamin A dan C, juga terdapat antosianin yang cukup besar yaitu 110,51 mg/100 gram bahan
(Suprapta, 2003). Antosianin yang merupakan pigmen warna ungu pada ubi jalar ini menyumbangkan antioksidan yang besar, sedangkan nilai aktivitas antioksidan terendah terdapat pada nasi ubi jalar oranye 30% yaitu 15,71%. Nilai aktivitas antioksidan nasi ubi jalar ungu dan oranye digambarkan pada Gambar 4.1 berikut.
Gambar 4.1 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Aktivitas Antioksidan pada Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Berdasarkan Gambar 4.1 nilai aktivitas antioksidan cenderung semakin meningkat dengan bertambahmya konsentrasi ubi jalar yang ditambahkan, baik pada nasi ubi jalar ungu maupun oranye. Nasi ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari nasi ubi jalar oranye. Hal ini disebabkan oleh
29 0 10 20 30 40 50
30 35 40
konsentrasi ubi jalar (%)
a k ti v it a s a n ti o k s id a n (% ) oranye ungu
(44)
bahan segarnya, yaitu ubi jalar ungu segar memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi (61,07%) dari ubi jalar oranye (8,38%) (Retnati, 2009). Sehingga saat disubstitusi pada nasi, menghasilkan nasi ubi jalar ungu yang kandungan antioksidannya lebih tinggi dari yang oranye.
B. Kandungan Serat Pangan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Serat pangan merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pada pencernaan manusia dan akhirnya sampai di usus besar. Serat alami oligosakarida yang tersimpan dalam ubi jalar menjadi komoditas bernilai dalam pengkayaan produk pangan olahan. Kandungan serat berfungsi sebagai komponen non gizi, tetapi bermanfaat bagi keseimbangan flora usus dan sebagai prebiotik, merangsang pertumbuhan bakteri yang baik bagi usus sehingga penyerapan zat gizi menjadi lebih baik dan usus lebih bersih. Kandungan serat pangan nasi ubi jalar ungu dan oranye disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Kandungan Serat Pangan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye (% bb)
Perlakuan Kadar serat pangan (%)
Nasi ubi jalar ungu 30% Nasi ubi jalar ungu 35% Nasi ubi jalar ungu 40% Nasi ubi jalar oranye 30% Nasi ubi jalar oranye 35% Nasi ubi jalar oranye 40%
2,45a 2,60b 2,77c 2,45a 2,59b 2,71c
Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α 5%
Tabel di atas menunjukkan bahwa kadar serat pangan nasi ubi jalar ungu dan oranye tidak ada beda nyata pada konsentrasi pasta ubi jalar yang sama. Namun penambahan pasta ubi jalar 30%, 35%, dan 40% memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kandungan serat pangannya. Semakin tinggi konsentrasi pasta ubi jalar, maka semakin tinggi pula kandungan serat pangan nasi ubi jalar. Kandungan serat pangan tertinggi diperoleh pada nasi ubi jalar ungu dengan konsentrasi pasta 40% yaitu sebesar 2,77%, sedangkan nilai serat pangan terendah terdapat pada nasi ubi jalar oranye dan ungu 30% yaitu 2,45%.
(45)
Menurut Elvina (2008), kandungan serat pangan ubi jalar adalah sebesar 3% dan pada nasi kandungan serat pangannya lebih rendah yaitu 0,1-1,0%. Rendahnya kandungan serat pangan dalam nasi disebabkan karena pada proses pengolahan gabah menjadi beras telah dibuang lapisan luarnya (bekatul atau dedak), padahal pada bagian inilah kandungan serat pangan terbesar. Penambahan ubi jalar pada nasi tentu akan meningkatkan kualitas nasi ubi jalar yang dihasilkan, diantaranya dengan semakin meningkatnya kandungan serat pangan. Nilai kandungan serat pangan nasi ubi jalar ungu dan oranye digambarkan pada Gambar 4.2 berikut.
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
30
35
40
konsentrasi ubi jalar (%)
s
e
ra
t
p
a
n
g
a
n
(
%
)
oranye
ungu
Gambar 4.2 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kandungan Serat Pangan pada Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Berdasarkan Grafik 4.2 di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ubi jalar, maka kandungan serat pangan semakin tinggi. Pada nasi ubi jalar ungu memiliki kandungan serat pangan yang cenderung lebih tinggi dari nasi ubi jalar oranye.
C. Kadar Amilosa Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan alfaglikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi
(46)
yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus, sedangkan amilopektin mempunyai struktur yang bercabang.
Perbandingan antara amilosa dan amilopektin ini dijadikan dasar atau merupakan faktor tunggal dalam menentukan mutu rasa dan tekstur nasi. Kandungan amilosa tersebut berkorelasi positif dengan tingkat kelunakan, kelengketan, warna dan kilap. Semakin tinggi kadar amilosa volume nasi yang diperoleh makin besar tanpa kecenderungan menyusut, hal ini dikarenakan amilosa mempunyai kemampuan retrogadasi yang lebih besar. Beras dengan kandungan amilosa tinggi menghasilkan nasi pera dan kering, sebaliknya beras dengan kandungan amilosa rendah menghasilkan nasi yang lengket dan lunak (Kusmiadi, 2004). Kadar amilosa nasi ubi jalar ungu dan oranye dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kadar Amilosa Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye (% bb)
Perlakuan Kadar amilosa (%)
Nasi ubi jalar ungu 30% Nasi ubi jalar ungu 35% Nasi ubi jalar ungu 40% Nasi ubi jalar oranye 30% Nasi ubi jalar oranye 35% Nasi ubi jalar oranye 40%
4,41a 4,29a 4,11a 5,57c 5,11b 5,12b
Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α 5%
Beras merupakan sumber karbohidrat utama bagi penduduk Indonesia, dengan kandungan pati lebih dari 70%. Beras yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah beras jenis SS-64 super yang memiliki kandungan amilosa rendah, yaitu 17,94%. Penambahan pasta ubi jalar pada pembuatan nasi ubi jalar ini ternyata mengakibatkan kadar amilosa nasi turun menjadi 4,11-5,57%. Penelitian Suprapta (2003) menyebutkan bahwa kandungan pati ubi jalar oranye sebesar 15,18% dan ungu 12,64%. Komponen utama pati adalah amilosa dan amilopektin. Kandungan pati ubi jalar lebih rendah dari pati beras, sehingga penambahan ubi
(47)
jalar kedalam beras pada pembuatan nasi ubi jalar menurunkan kadar amilosa nasi ubi jalar.
Penambahan pasta ubi jalar ungu dengan konsentrasi yang berbeda (30%, 35%, da 40%) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada kandungan amilosanya. Namun dengan penambahan pasta ubi jalar oranye 30% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan pasta 35% dan 40%. Pada konsentrasi yang sama, perbedaan jenis ubi jalar yaitu ungu dan oranye memberikan pengaruh yang berbeda nyata pula.
Secara keseluruhan kadar amilosa nasi ubi jalar ungu lebih rendah dari yang oranye. Hal ini dikarenakan kandungan pati ubi jalar ungu (12,64%), lebih rendah dari ubi jalar oranye (15,18%). Berdasarkan kandungan amilosanya, nasi ubi jalar ungu memiliki kecenderungan lebih pulen daripada nasi ubi jalar oranye. Kadar amilosa terendah terdapat pada nasi ubi jalar ungu 40% yaitu sebesar
4,11% dan kadar amilosa tertinggi pada nasi ubi jalar oranye 30% yaitu 5,57%. Semakin tinggi konsentrasi pasta ubi jalar yang ditambahkan, kadar amilosa semakin turun karena semakin banyak porsi ubi jalar dengan amilosa rendah yang menggantikan nasi/beras dengan amilosa tinggi. Jika diplotkan pada grafik, maka kadar amilosa nasi ubi jalar ungu dan oranye akan terlihat seperti gambar 4.3.
0 1 2 3 4 5 6
30 35 40
konsentrasi ubi jalar (%)
k
a
d
a
r
a
m
il
o
s
a
(
%
)
oranye ungu
(48)
Gambar 4.3 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kadar Amilosa pada Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ubi jalar, maka kadar amilosa cenderung semakin turun. Pada nasi ubi jalar oranye memiliki kadar amilosa yang lebih tinggi dari nasi ubi jalar ungu.
D. Sifat Sensoris Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Pengujian sensoris dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penerimaan konsumen terhadap suatu produk yang dihasilkan. Pada pembuatan nasi ubi jalar ini pengujian kesukaan dilakukan kepada 20 orang panelis tidak terlatih terhadap parameter warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan.
1. Warna
Warna mempunyai peranan yang penting dalam penyajian suatu makanan. Konsumen cenderung tertarik pada suatu benda atau makanan yang menarik warnanya. Menurut Bambang Kartika, dkk. (1988), warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari penyebaran spektrum sinar. Warna bukan merupakan suatu zat atau benda melainkan suatu sensasi seseorang karena adanya rangsangan dari seberkas energi radiasi yang jatuh ke indera mata/retina mata. Timbulnya warna dibatasi oleh faktor terdapatnya sumber sinar. Pengaruh tersebut terlihat apabila suatu bahan dilihat di tempat yang suram dan di tempat yang gelap, akan memberikan perbedaan warna yang menyolok. Sedangkan menurut Fennema (1985), warna menjadi atribut kualitas yang paling penting, walaupun suatu produk bernilai gizi tinggi, rasa enak dan tekstur baik namun jika warnanya kurang menarik, maka akan menyebabkan produk tersebut kurang diminati. Warna merupakan parameter pertama yang menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap suatu produk.
Biasanya nasi yang dikonsumsi berwarna putih. Namun pada penelitian ini nasi dengan penambahan ubi jalar memiliki warna yang lebih
(49)
menarik yaitu ungu dan oranye. Menurut DeMan (1997), warna makanan disebabkan oleh pigmen alam atau pewarna yang ditambahkan. Pigmen alam adalah segolongan senyawa yang terdapat dalam produk yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Pada penelitian kali ini, warna ungu dan oranye pada nasi ubi jalar disebabkan oleh pigmen alam. Warna ungu berasal dari pigmen antosianin pada ubi jalar ungu dan oranye berasal dari β-karoten ubi jalar oranye. Pada pembuatan nasi ubi jalar ini, ubi jalar ditambahkan dalam bentuk pasta. Proses pengukusan ubi jalar sebelum dibuat pasta dimaksudkan untuk inaktifasi enzim-enzim yang dapat menyebabkan reaksi pencokelatan sehingga dapat mempertahankan warnanya. Pada penelitian ini warna kedua jenis pasta ubi jalar cenderung stabil selama proses pengolahan (pengukusan dan perebusan) sehingga produk nasi ubi jalar yang dihasilkan tetap berwarna ungu dan oranye. Gambar 4.4 merupakan gambar dari nasi ubi jalar ungu dan oranye dengan formulasi yang berbeda.
Gambar 4.4 Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap warna nasi ubi jalar, pada Tabel 4.4 disajikan hasil pengujian warna terhadap nasi ubi jalar ungu dan oranye.
(50)
Tabel 4.4 Nilai Kesukaan pada Warna Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Perlakuan Penilaian kesukaan pada warna (%) Nasi ubi jalar ungu 30%
Nasi ubi jalar ungu 35% Nasi ubi jalar ungu 40% Nasi ubi jalar oranye 30% Nasi ubi jalar oranye 35% Nasi ubi jalar oranye 40%
4,95ab 5,60ab 5,95b 4,60a 5,00ab 5,00ab
Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α 5%
Keterangan nilai : 1 : Sangat tidak suka; 2 : Tidak suka; 3 : Kurang suka; 4 : Agak suka; 5 : Suka; 6 : Lebih suka; 7 : Sangat suka
Warna dari nasi ubi jalar yang dihasilkan jelas berbeda, yaitu ungu dan oranye sesuai dengan ubi jalar yang ditambahkan. Namun berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nasi ubi jalar dengan variasi jenis serta konsentrasi ubi jalar yang berbeda tidak menunjukkan adanya beda nyata dalam hal kesukaan terhadap warna nasi yang dihasilkan, kecuali pada perlakuan nasi ubi jalar ungu 40% dan nasi ubi jalar oranye 30%. Perbedaan ini dapat terjadi karena warna ungu pada ubi jalar lebih tajam dari warna oranye sehingga panelis lebih tertarik pada warna tersebut. Selain itu, perbedaan konsentrasi ubi jalar yang ditambahkan cukup besar yaitu 10%.
Semakin tinggi konsentrasi ubi jalar yang ditambahkan, semakin pekat warna ungu maupun oranye yang dihasilkan dan semakin meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna nasi ubi jalar. Dari 20 panelis yang diuji, memberikan penilaian 4,60-5,95. Hal ini berarti panelis menilai antara agak suka sampai lebih suka terhadap warna nasi yang disajikan. Gambar 4.5 adalah grafik yang menunjukkan penilaian kesukaan pada warna nasi ubi jalar ungu dan oranye.
(1)
Gambar 4.9 Grafik Hubungan antara Konsentrasi Ubi Jalar dan Kesukaan pada Parameter Keseluruhan Nasi Ubi Jalar Ungu dan Oranye
Berdasarkan Gambar 4.9 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ubi jalar, penilaian kesukaan terhadap parameter keseluruhan nasi ubi jalar cenderung semakin meningkat. Namun penambahan pasta ubi jalar ungu sebanyak 40% ternyata menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap parameter keseluruhan nasi ubi jalar meskipun nilainya tidak signifikan. Secara keseluruhan panelis cenderung lebih menyukai nasi ubi jalar ungu dibandingkan nasi ubi jalar oranye meskipun dengan nilai yang tidak berbeda nyata.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Jenis ubi jalar dengan variasi konsentrasi mempengaruhi aktivitas antioksidan, kadar serat pangan dan amilosa nasi ubi jalar.
2. Dari hasil uji kimia, nasi ubi jalar ungu 40% memiliki aktivitas antioksidan tertinggi (47,22%), kandungan serat pangan tertinggi (2,77%), kadar amilosa rendah (4,11%). Dari segi sensoris (warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan) panelis memiliki kecenderungan lebih menyukai nasi ubi jalar ungu 40%.
(2)
B. Saran
1. Melihat potensi ubi jalar yang sangat baik sebagai makanan pokok, maka perlu dilakukan sosialisasi untuk memasyarakatkan nasi ubi jalar.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan nasi ubi jalar dengan varietas yang lain dan bentuk fortifikan yang berbeda misal tepung dan ekstrak ubi jalar.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan nasi ubi jalar instan agar penyajiannya lebih praktis.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembuatan nasi yang disubstitusi dengan sumber karbohidrat lain sebagai makanan pokok.
DAFTAR PUSTAKA
AACC. 2001. The Definition of Dietary Fiber. Cereal Fds. World.
Abdul Rohman dan Sugeng Riyanto. 2005. Daya Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Kemuning (Murayya paniculata (L) Jack) secara In Vitro. Majalah Farmasi Indonesia 16 (3) : 136-140.
Anonim. 2007. Pembuatan Beras Ubi Jalar. http://pemkab-asahan.go.id/a/index.php-menu=news&id news1=227&induser=5&hal=1.htm (Diakses tanggal 17 Juli 2009).
Anonima. 2008. Ubi Jalar Ungu sebagai Solusi Gizi Masyarakat. http://www.sancang.net/node/9 (Diakses tanggal 17 Juli 2009).
Anonimb. 2008. Pembuatan Beras Ubi Jalar. http://pemkab-
asahan.go.id/a/index.php-menu=news&id_news1=227&iduser=5&hal=1.htm (Diakses tanggal 28 Mei 2009).
Anonimc.2008. Karbohidrat. http://oje83.blogspot.com/2008_08_01_archive.html (Diakses tanggal 13 Agustus 2009).
Anonimd. 2008. Nasi. http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi (Diakses tanggal 03 September 2009).
(3)
Anonima. 2009. Khasiat Ubi Jalar. http://biens-naturels.blogspot.com/2009/09/khasiat-ubi-jalar.html (Diakses tanggal 05 Januari 2010).
Anonimb. 2009. Ubi Jalar Merah. http://tabloidgallery.wordpress.com/2009/02/ 20/ubi-jalar-merah/ (Diakses tanggal 15 Desember 2009).
Anonimc. 2009. Berbagai Asupan Gizi. http://maeya.blogspot.com/2008/11/ berbagai-asupan-gizi.html (Diakses tanggal 13 Agustus 2009).
Anonimd 2009. Betakaroten. http://nusaindah.tripod.com/kesbetakaroten.htm (Diakses tanggal 05 Januari 2010).
Anwar Ispandi. Prospek Pengembangan Budidaya Ubi Jalar di Lahan Kering Daerah Aliran Sungai Brantas. Ringkasan makalah seminar penerapan teknologi produksi dan pasca panen ubi jalar untuk mendukung agroindustri. Balittan Malang. 30 Nov-1 Des 1993.
Ardiansyah. 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan.
www.chaptereislamicspace.wordpress.com/2007/01/24/antioksidan-dan-peranannya-bagi-kesehatan/-32k (Diakses tanggal 29 Juli 2009).
AOAC. 1996. Official Method of Analysis, Inc. Arlington. Virginia.
Ashol Hasyim dan M. Yusuf. 2008. Diversifikasi Produk Ubi Jalar sebagai Bahan Pangan Substitusi Beras. Badan Litbang Pertanian, Malang. Tabloid Sinar Tani, 30 Juli 2008.
Asp, N.G., L. Prosky, L. Furda, J.W. De Vries, T.F. Schweizer and B.F. Harland. 1984. Determination of Total Dietary Fiber in Foods and Food Products and Total Diets : Interlaboratory study. J.A.O.A.C. 67 : 1044-1053.
Bambang Kartika dkk. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM Press. Yogyakarta.
Deddy Muchtady. 1996. Oligosakarida yang Menyehatkan. http://web.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde_ntrtnhlth_oligosakarida.php (Diakses tanggal 17 Juli 2009).
Didi Suardi. 2005. Potensi Beras Merah untuk Peningkatan Mutu Pangan. Jurnal Litbang P ertanian 24 (3). Bogor.
Elvina Karyadi. 2006. Antioksidan, Resep Sehat & Umur Panjang. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews? (Diakses tanggal 29 Mei 2009).
(4)
Erwanto, B. C. 2008. Brem Padat. http://permimalang.wordpress.com/category/ padat/ (Diakses tanggal 03 September 2009).
Gusnimar Aliawati. 2003. Teknik Analisis Kadar Amilosa dalam Beras. Buletin Teknik Pertanian Vol. 8. Nomor 2 : 82 – 84.
Harland, B.F. and D. Oberleas. 2001. Effects of Dietary Fiber and Phytate on the Homeostasis and Bioavailability of Minerals. CRC Handbook of Dietary Fiber in Human Nutrition, 3rd Ed,G.A. Spiller, ed.,CRC Press, Boca Raton. 2001.
Harnowo, dkk. 1993. Pengolahan Ubi Jalar guna Mendukung Diversifikasi Pangan dan Industri. Ringkasan makalah seminar penerapan teknologi produksi dan pasca panen ubi jalar untuk mendukung agroindustri. Balittan Malang. 30 Nov-1 Des 1993.
Hilmi Akmal Priangan. 2008. Ubi Jalar Pangan Sederhana, Kaya Manfaat.
http://hilmiakmal.multiply.com/journal/item/13/Ubi_Jalar_Kaya_Manfaat (Diakses tanggal 17 Juli 2009).
James, W.P.T. and O. Theander. 1981. The Analysis of Dietary Fiber in Food. Marcel Dekker Inc., New York.
Lingga, dkk. 1986. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya. Jakarta.
Madbardo. 2009. Analisis Kadar Amilosa dalam Beras.
http://madbardo.blogspot.com/2009/08/analisis-kadar-amilosa-dalam-beras.html (Diakses tanggal 05 Januari 2010).
Made Astawan. 2002. Beras Makanan Pokok Sumber Protein. http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1028376933,9249 (Diakses tanggal 05 Januari 2010).
Noor Hasyim. 2009. Kajian Kerusakan Minyak pada Jenang Kudus dengan
Penambahan Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Selama Penyimpanan. Skripsi S-1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.
Osawa, T., dan Namiki, M.A. 1981. A Novel Type of Antioxidant Isolated From Leaf Wax of Eucalyptus Leaves, hal 735-739 dalam Dzakiyyah. 1994. Evaluasi
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Rimpang Kunyit, Kencur, Temu Giring dan Temu Kunci Menggunakan Sistem DPPH dan Linoleat. Skripsi S-1. Fakultas Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
(5)
Piliang, W.G. dan S. Djojosoebagio, Al Haj. 2002. Fisiologi Nutrisi. Vol. I. Edisi Ke-4. IPB Press, Bogor.
Prosky, L and J.W. De Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Product. Van Nostrand Reinhold, New York.
Retnati. 2009. Pengaruh Penambahan Ekstrak Berbagai Jenis Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) terhadap Jumlah Bakteri Asam Laktat dan Aktivitas Antioksidan Yoghurt. Skripsi S-1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta.
Riwan Kusmiadi. 2004. Hubungan antara Varietas Beras dengan Komposisi Kimiawi Zat Penyusunnya. http://www.ubb.ac.id/fppb/?Page=artikel_ubb
&&id=136 (Diakses tanggal 05 Januari 2010).
Robertson, J.B. and P.J. Van Soest. 1977. Dietary Fiber Estimation in Concentrated Feedstuffs. J.Anim Sci. 45 : 254-255.
Shinta Ferlina. 2009. Khasiat Ubi Jalar Ungu. http://www.khasiatku.com/ubi-jalar-ungu/ (diakses tanggal 29 Juli 2009).
Silalahi, J. dan Netty Hutagalung. 1994. Komponen-komponen Bioaktif dalam
Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan.
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/pus-3.htm (Diakses tanggal 17 Juli 2009).
Silalahi, Jansen. 2006. Makanan Fungsional. Kanisius. Yogyakarta.
Simon Widjanarko. 2008. Analisis Serat Pangan. http://simonwidjanarko.files. wordpress.com/2008/09/analisis-serat.pdf (Diakses tanggal 29 Juli 2009). Soemartono. 1983. Ubi jalar (Ipomoea batatas Poir). CV. Yasaguna. Jakarta.
Souripet, Agustina. 2009. Komposisi, Sifat Fisik, Tingkat Kesukaan dan Potensi Prebiotik Nasi Ungu. Thesis S-2. Fakultas Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sri Kumalaningsih. 2006. Antioksidan Penangkal Radikal Bebas. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Suarni dan S. Widowati. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bjagung/tiganol.pdf (Diakses tanggal 05 Desember 2009).
(6)
Suprapta, Dewa Ngurah. 2003. Ubi Jalar Ungu Mengandung Antioksidan Tinggi. http://www.cybertokoh.com/mod.php? (Diakses tanggal 05 Desember 2009). Swarth, Judith. 2004. Stres dan Nutrisi. Bumi aksara. Jakarta.
Tien R. Muchtadi dan Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Wied Harry Apraidji. 2006. Khasiat ubi jalar. http://www.pitoyo.com/mod.php? (Diakses tanggal 29 Mei 2009).
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yudi Widodo. 1989. Prospek dan Strategi Pengembangan Ubi Jalar sebagai Sumber Devisa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Volume VIII, Nomor 1 halaman 83-86.