Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadap Usaha Penangkapan Ikan Dengan Pukat Cincin (Studi Kasus : Kel. Bagan Deli Kec. Medan Belawan Kota Medan)

(1)

DENGAN PUKAT CINCIN

(Studi Kasus: Kel. Bagan Deli Kec. Medan Belawan Kota Medan)

SKRIPSI

Oleh:

LABORA PASARIBU 030304005 SEP/AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DENGAN PUKAT CINCIN

Studi Kasus: Kel. Bagan Deli Kec. Medan Belawan Kota Medan

SKRIPSI

Oleh:

LABORA PASARIBU 030304005 SEP/AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

(DR. Ir. Salmiah, MS) (Ir. A. T. Hutajulu, MS) KETUA ANGGOTA

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LABORA PASARIBU (030304005/SEP) dengan judul skripsi

“DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM(SOLAR) TERHADAP USAHA

PENANGKAPAN IKAN DENGAN PUKAT CINCIN”. Studii kasus penelitian

di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan. Penelitian dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan

Ibu Ir. A. T. Hutajulu, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Daerah penelitian ditetapkan secara purposive dan sampel ditentukan berdasarkan simple random sampling. Metode analisis yang digunkan adalah metode deskriptif dan metode uji beda. Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut:

1. Jumlah kapal pukat cincin sesudah kenaikan harga BBM (Solar) yakni pada tahun 2006 meningkat 43 unit yakni dari 188 unit menjadi 231 unit. 2. Terdapat perbedaan lama nelayan melaut/trip dan frekuensi melaut/bulan

yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Lama nelayan melaut 5.9≈6 hari/trip sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27≈7 hari/tripnya. Sebaliknya frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77 ≈ 4 trip/bulan.

3. Terdapat perbedaan hasil tangkapan/bulan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.

4. Tidak terdapat perbedaan pendapatan/bulan nelayan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Pendapatan nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04/ bulan.

5. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar) yaitu kekurangan modal karena peningkatan biaya operasional penengkapan per trip, hasil tangkapan kurang laku karena faktor harga dan tindakan kriminal oleh bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK). 6. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat

kenaikan harga BBM (solar) ini yaitu meminjam bantuan kepada kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya; penggunaan alat penghemat BBM yaitu EGB (Electronic Gas Booster) dan pemasangan rumpon: melakukan penjualan hasil tangkapan dengan harga yang murah bagi ikan yang tidak laku dan pelaporan tindakan kriminal kepada pihak yang berwenang.


(4)

Labora Pasaribu, lahir di Medan pada tanggal 1 Nopember 1985. Anak

kedua dari empat bersaudara dari ayahanda Ir. E. Pasaribu dan Ibunda R. Napitupulu.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah:

1. Tahun 1991 masuk Sekolah Dasar di SD Methodist Belawan dan tamat tahun 1997 dari SD RK I Sibolga.

2. Tahun 1997 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Fatima Sibolga dan tamat tahun 2000 dari SLTP Santa Maria Medan.

3. Tahun 2000 masuk Sekolah Menengah Umum di SMU Methodist 1 Medan dan tamat tahun 2003.

4. Tahun 2003 diterima di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.

5. Bulan Juni-Juli 2007 mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Sempung Polling, Kecamatan Lae Parira, Kabupaten Dairi.

6. Bulan September 2007 melakukan penelitian skripsi di Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan.


(5)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat memulai, menjalani dan mengakhiri masa perkuliahan serta dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadapa Usaha Penangkapan Ikan Dengan Pukat Cincin (Studi Kasus: Kel. Bagan Deli, Kec. Medan Belawan Kota Medan) yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Ibu Ir. A. T. Hutajulu, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

3. Ibu Ir. Lily Fauzia, MSi sebagai Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian serta seluruh Staff Pengajar, Pegawai Tata Usaha di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara yang turut berperan dalam studi penulis.

4. Semua instansi yang terkait dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan bimbingannya.

Dengan rasa hormat yang sedalam-dalamnya penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Ayahanda Ir. E. Pasaribu dan Ibunda R. Napitupulu atas kasih sayang, doa, pengorbanan moril dan materil, dorongan dan nasehat yang tidak henti-hentinya kepada penulis.


(6)

penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari para pembaca.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Pebruari 2008


(7)

Uraian Hal

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Identifikasi Masalah... .... 7

Tujuan Penelitian... 8

Kegunaan Penelitian... 8

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN & HIPOTESIS PENELITIAN ... 9

Tinjauan Pustaka ... 9

Landasan Teori ... 13

Kerangka Pemikiran ... 16

Hipotesis Penelitian ... 19

METODE PENELITIAN ... 20

Metode Penentuan Lokasi ... 20

Metode Penentuan Sampel ... 21

Metode Pengumpulan Data ... 21

Metode Analisis Data ... 22

Defenisi dan Batasan Operasional ... 23

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL 26 Deskripsi Daerah Penelitian ... 26

Karakteristik Sampel ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadap Penurunan Jumlah Kapal Pukat Cincin ... 31


(8)

Perbedaan Hasil Tangkapan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar)... 34 Perbedaan Pendapatan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar) ... 36 Masalah-Masalah yang Dihadapi Nelayan Akibat Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) ... 38 Upaya-Upaya yang Dilakukan nelayan Dalam Mengatasi Masalah Akibat Kenaikan Harga BBM (Solar) ... 39

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

No. Judul Hal

1. Produksi Perikanan Tangkap Menurut kabupaten/Kota Tahun

2005(Ton) ... 3 2. Jumlah Alat Tangkap Menurut Jenisnya di Kota MedanTahun 2005

(unit) ... 5 3. Jumlah Kapal Motor Penangkap Ikan di Kecamatan Medan Belawan

Tahun 2001-2005 (Unit) ... 6

4. Perkembangan Harga Solar Eceran tahun 200-2005... 11 5. Perbedaan Antara Usaha Perikanan Tangkap dengan Industri ... 12 6. Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan medan Belawan Kota

MedanTahun 2005 (Unit) ... 20 7. Spesifikasi Pengumpulan Data ... 21 8. Karakteristik Nelayan Sampel... 29 9. Jumlah Unit Penangkapan Perikanan Laut Menurut Jenis Alat

Tangkap Tahun 2001-2006 (Unit) ... 31 10. Lama Nelayan Melaut per Trip (hari) dan Frekuensi Melaut per

Bulan (Trip) Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM... 33 11. Hasil Tangkapan per Trip dan per Bulan Sebelum dan Sesudah

Kenaikan Harga BBM (kg) ... 35 12. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga

BBM (Rp) ... 36 13. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga


(10)

No. Judul Hal


(11)

No. Judul Hal

1. Karakteristik Nelayan Sampel ... 45

2. Jumlah Lama Melaut dan Frekuensi Penangkapan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM ... 46

3. Harga Jual Hasil Tangkapan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp/kg) ... 47

4. Hasil Tangkapan Sebelum Kenaikan Harga BBM (kg) ... 48

5. Hasil Tangkapan Sesudah Kenaikan Harga BBM (kg) ... 50

6. Penerimaan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 52

7. Penerimaan Sesudah Kenaikan Harga BBM ... 55

8. Biaya Perizinan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 57

9. Biaya Perizinan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 58

10. Biaya Penyusutan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 59

11. Biaya Penyusutan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 60

12. Biaya Pemeliharaan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 61

13. Biaya Pemeliharaan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 62

14. Biaya Tetap Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 63

15. Biaya Tetap Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 64

16. Biaya Variabel Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 65

17. Biaya Variabel Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) ... 67

18. Pendapatan Bersih per Bulan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp)... 69


(12)

21. Analisis Uji Beda Frekuensi Penangkapan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM ... 72 22. Analisis Uji Beda Hasil Tangkapan per Bulan Sebelum dan

Sesudah Kenaikan BBM ... 73 23. Analisis Uji Beda Pendapatan Bersih per Bulan Sebelum dan


(13)

Latar Belakang

Dalam konteks ekonomi Indonesia sektor pertanian mempunyai peranan yang tidak perlu diragukan lagi, walaupun kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun secara relatif. Namun nilai absolutnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak hanya kontribusi terhadap PDB tetapi juga masih mampunya sektor pertanian ini dalam penyerapan tenaga kerja. Disamping itu, sektor ini juga berperan terhadap penyediaan bahan pangan,

penganekaragaman menu makanan dan penerimaan devisa (Soekartawi, dkk, 1993:1).

Salah satu dari subsektor yang ada dalam sektor pertanian adalah subsektor perikanan dan Indonesia adalah negara yang mempunyai wilayah perairan laut dan perairan darat yang sangat luas dibandingkan negara ASEAN

lainnya. Sumber daya alam ini menghasilkan ikan dan hasil-hasil laut. Oleh karenanya, akhir-akhir ini pemerintah sangat mengintensifkan usaha penangkapan dan budidaya ikan dalam upaya mendapatkan pemasukan devisa yang lebih besar (Junianto, 2003:5).

Usaha perikanan bukanlah usaha yang hanya sekedar melakukan kegiatan pemeliharaan ikan di kolam, sungai, danau atau di laut melainkan usaha yang mencakup berbagai aspek organisme (sumber hayati) di perairan secara keseluruhan. Semua organisme seperti ikan, kerang, sifut, rumput laut dan organisme lain termasuk objek usaha perikanan. Objek usaha perikanan ialah semua kegiatan yang ada hubungannya dengan memanfaatkan sumber hayati


(14)

perairan (hewan dan tumbuhan) yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi kehidupan ekonomi. Dengan demikian, usaha perikanan bertujuan untuk memanfaatkan hasil perairan air tawar dan perikanan air laut, baik dengan cara memeliharanya maupun dengan cara menangkap dan mengolahnya. Usaha perikanan laut meliputi penangkapan ikan, pengambilan kerang, pengambilan mutiara dan pengambilan rumput laut (Evy, dkk, 1997:6-10).

Penangkapan adalah kegiatan penangkapan atau mengumpulkan ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang hidup di laut ataupun di perairan

umum secara bebas dan bukan milik perseorangan (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005: viii).

Dari total produksi perikanan yang ada di Indonesia, sebagian besar dihasilkan oleh penangkapan ikan laut yang dihasilkan dari laut seluas 5,7 juta km2 dengan potensi lestari lebih kurang 6,2 juta ton/tahun. Tingkat pemanfaatan potensi perikanan laut tersebut baru mencapai 62% dari Maximum Sustainable Yield (MSY). Pada tahun 2003 pemerintah berencana meningkatkan volume penangkapan ikan laut sampai dengan 80% dari Maximum Sustainable Yield yang lebih dikenal dengan istilah Total Allowable Catch, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan produktifitas ikan di laut serta kelestarian sumber daya ikan di laut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999:78).

Untuk dapat mengetahui produksi perikanan tangkap di Sumatera Utara pada tahun 2005 dapat dilihat pada tabel berikut:


(15)

Tabel 1. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005 (Ton)

Penangkapan di Perairan Umum NO Kabupaten/Kota Jumlah Penangkapan

di Laut Sungai Danau Rawa Waduk Sumatera Utara 338,006.1 326,336.2 4,626.8 3,791.6 3,028.7 222.8

1. Nias 5,727.5 5,707.3 3.7 - 16.5 -

2. Nias Selatan 10,944.0 10,938.0 2.0 - 4.0 - 3. Tapanuli Tengah 28,084.3 27,346.3 738.0 - - -

4. Sibolga 31,778.9 31,778.9 - - - -

5. Tapanuli Selatan 6,809.4 497.8 1,820.8 2,664.3 1,762.3 64.2 6. Mandailing Natal 15,193.6 14,648.8 309.2 - 229.0 6.6 7. Tapanuli Utara 143.0 - 30.3 70.7 42.0 - 8. Toba Samosir 694.6 - 24.4 591.1 43.8 35.3

9. Simalungun 233.3 - 56.3 165.9 4.0 7.1

10. Dairi 332.9 - 88.6 214.3 - 30,0

11. Pakpak Barat 25.9 - 16.5 - 6.3 3.1

12. Karo 106.0 - 9.6 85.3 - 11.1

13. Langkat 19,999.6 19,307.4 352.5 - 339.7 - 14. Deli Serdang 17,268.7 16,857.2 411.5 - - - 15. Serdang Bedagai 22,713.1 22,557.8 38.1 - 70.4 46.8

16. Medan 66,790.1 66,759.3 4.6 - 7.6 18.6

17. Asahan 56,247.1 55,418.0 499.7 - 329.4 - 18. Tanjung Balai 30,888.0 30,850.2 37.8 - - - 19. Labuhan Batu 24,026.1 23,669.2 183.2 - 173.7 - Sumber :Dinas Perikanan dan Kelautan Sumatera Utara, 2006

Dari tabel 1 di atas, dapat kita ketahui bahwa produksi penangkapan di laut terbesar di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2005 terdapat di Kota Medan dengan total produksi sebesar 66.759,3 ton/tahun.

Kota Medan yang merupakan daerah penelitian memiliki daerah operasi penangkapan yang sering disebut dengan wilayah pesisir. Wilayah pesisir yang dimaksud meliputi tiga kecamatan yakni: Kecamatan Medan Marelan, Medan

Labuhan dan Medan Belawan dari 21 kecamatan yang ada (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2005:4).

Alat penangkapan dengan cara pengoperasian yang tepat merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan produksi perikanan, khususnya subsektor perikanan penangkapan ikan di laut. Beberapa alat yang dipergunakan dalam penangkapan telah dikembangkan, baik merupakan penyempurnaan dari alat


(16)

penangkapan tradisional yang sudah lama dikenal para nelayan dan alat penangkapan baru (Departemen Pertanian, 1988:15).

Adapun klasifikasi alat penangkap ikan yang digunakan nelayan sebagai berikut:

a. Pukat kantong (seine nets) terdiri dari pukat pantai dan dogol adalah jaring yang memiliki kantong dan dua buah sayap (wing). Cara pengoperasiannya dengan menarik pukat tersebut ke arah kapal yang berhenti atau ke darat melalui kedua sayapnya.

b. Pukat cincin (purse seine) terdiri dari jaring yang umumnya berbentuk empat persegi yang dilengkapi dengan pemberat (sinker) dan pelampung (floating) yang digunakan untuk menghela/menangkap gerombolan ikan kemudian bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali melalui cincin. Cara penangkapan dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengumpul ikan (rumpon/rabo/tuasan).

c. Jaring insang (gill nets) terdiri dari jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap dan tramel net. Jaring insang adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang dengan pemberat pada tali ris bawah dan pelampung pada tali ris atas.

d. Pancing (hook and line) terdiri dari pancing (rawai tetap) dan rawai hanyut adalah alat penangkapan yang terdiri dari tali dan mata pancing. Pada umumnya pada mata pancing dipasang umpan, baik umpan buatan (artifical bait) ataupun umpan asli (alami) yang berguna untuk menarik perhatian ikan atau binatang air lainnya.


(17)

e. Alat penangkapan kerang (shellfish) yang dewasa ini sudah dikembangkan dan dimodifikasi nelayan setempat.

f. Perangkap (trap) terdiri dari jermal dan bubu adalah alat tangkap ikan yang dipasang secara menetap di dalam air dengan jangka waktu tertentu dan terbuat dari berbagai bahan seperti jaring bambu, metal dan lain-lain.

g. Jaring angkat terdiri dari bagan tancap dan serok adalah jaring yang berbentuk empat persegi, jaring dibentangkan di dalam air secara horizontal dengan menggunakan batang-batang bambu/kayu sebagai rangkanya.

(Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2001:16-17).

Tabel 2. Jumlah Alat Tangkap Menurut Jenisnya di Kota Medan Tahun 2005 (Unit)

Kecamatan NO Jenis Alat Tangkap

Medan Belawan Medan Marelan Medan Labuhan

Jumlah

1. Gill Nets 203 49 93 345

2. Pukat Langge 217 30 102 349

3. Pukat Tuamang 52 - - 52

4. Lampara Dasar 131 - - 131

5. Pukat layang 83 4 55 142

6. Pukat Langgar/

Cincin/Purse seine 198 - - 198

7. Pukat Teri 48 - - 48

8. Ambai 56 14 22 92

9. Bubu 4 2 4 10

10. Pancing 52 24 - 76

11. Pukat ikan 99 - - -

Jumlah 1,143 123 276 1,542

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2006

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nelayan yang memakai pukat cincin hanya terdapat di Kecamatan Medan Belawan sedangkan di dua kecamatan lagi tidak ditemukan dan nelayan di Kecamatan Medan Belawan lebih beragam alat tangkap yang digunakan. Jumlah pukat cincin tersebut yakni 198 unit. Oleh karena itulah Kecamatan Medan Belawan dipilih sebagai studi kasus dari penelitian ini.


(18)

Dalam menggunakan alat tangkap tersebut biasanya nelayan sekarang ini harus didukung dengan sarana kapal motor. Kapal motor adalah kapal yang digerakkan oleh tenaga motor di mana motor tersebut menempel baik pada badan kapal (out-board) ataupun berada di dalam kapal (in-board). Umumnya penangkapan skala sedang/besar seperti usaha penangkapan dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine). Klasifikasi kapal motor didasarkan atas tonnagenya (GT) untuk Daerah Sumatera Utara dibagi atas 7 kategori yaitu:

̇ < 5 GT ̇ 5-10 GT ̇ 10-20 GT ̇ 20-30 GT ̇ 30-50 GT ̇ 50-100 GT ̇ 100-200 GT

(Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2002: 10).

Tabel 3. Jumlah Kapal Motor Penangkap Ikan Laut di Kecamatan Medan Belawan Tahun 2001-2005 (Unit)

Tahun

2001 2002 2003 2004 2005

1,205 1,213 1,252 1,255 1,247

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2006

Dari tabel dapat kita ketahui bahwa jumlah kapal di Kecamatan Medan Belawan pada tahun 2005 berkurang sebanyak 8 unit.

Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang melatarbelakangi penelitian ini adalah nelayan yang ada di Kota Medan tepatnya di Belawan yang merupakan daerah penghasil ikan terbesar di Propinsi Sumatera


(19)

Utara ingin membantu pemerintah dalam mewujudkan program peningkatan potensi perikanan di laut. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya nelayan yang menggunakan alat tangkap canggih seperti pukat cincin dan menggunakan kapal motor. Di mana dengan fasilitas di atas maka nelayan dapat menjangkau perairan lebih luas sehingga dapat memberikan hasil yang lebih besar lagi. Namun di lain pihak, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM yang merupakan kebutuhan pokok dalam operasi penangkapan ikan di laut. Keadaan inilah yang semakin memberatkan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan tersebut.

Identifikasi Masalah

1. Bagaimana dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penggunaan jumlah kapal pukat cincin?

2. Apakah ada perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan BBM (solar)?

3. Apakah ada perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum dan sesudah kenaikan BBM (solar)?

4. Apakah ada perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan BBM (solar)?

5. Apa saja masalah yang dihadapi nelayan akibat kenaikan harga BBM (solar)? 6. Apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat


(20)

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penggunaan jumlah kapal pukat cincin.

2. Untuk mengetahui perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

3. Untuk mengetahui perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

4. Untuk mengetahui perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

5. Untuk mengetahui apa saja masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar).

6. Untuk mengetahui apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat kenaikan harga BBM (solar) ini.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan dalam menetapkan harga BBM (solar) terhadap usaha perikanan khususnya penangkapan.

2. Sebagai gambaran dan bahan informasi bagi para pelaku usaha penangkapan ikan dalam mengelola usahanya pasca kenaikan harga BBM (solar).


(21)

Tinjauan Pustaka

Pukat cincin/Pukat Langgar/Purse Seine berdasarkan klasifikasi alat penangkap ikan dalam Internasional Standard Statistic Classification of Fishing Gear (ISSCFG) alat ini dimasukkan ke dalam kategori Surrounding Nets (jaring lingkar). Sasaran utama dari alat ini adalah jenis ikan pelagis yang bergerombol dan juga ikan yang mempunyai sifat tertarik terhadap atraktor (rumpon, cahaya

lampu) seperti ikan gembung, layang, lemuru dan lain-lain (Dinas Perikanan, 1997: 17).

Belakangan ini kapal pukat cincin semakin banyak digunakan para nelayan diduga didasarkan atas beberapa alasan diantaranya:

1. Dengan kapal pukat cincin dianggap lebih santai dan menyenangkan karena jumlah orangnya lebih banyak. Hal ini penting mengingat pekerjaan nelayan di waktu malam yang sepi dan di tengah lautan yang demikian luas.

2. Dengan kapal pukat cincin dapat lebih menghemat tenaga karena mereka tidak perlu mendayung seperti nelayan tradisional. Sebelum melakukan penangkapan di laut selama perjalanan waktu yang ada dapat disempatkan untuk tidur atau becanda gurau.

3. Tidak seperti pada perahu-perahu kecil, jaring-jaring yang digunakan jauh lebih kuat keadaannya sehingga tidak memerlukan perawatan secara terus-menerus setiap hari seperti jaring-jaring kecil.


(22)

Walupun kapal pukat cincin memberi kemudahan kepada nelayan tetapi dengan naiknya harga BBM (solar) maka timbul masalah baru lagi bagi nelayan (Mubyarto, dkk, 1984:45).

Bahan bakar adalah bahan-bahan yang dipakai untuk proses pembakaran. Dalam hubungannya dengan motor bakar (Internal Combustion Engine) yang umum terutama yang dipakai pada peralatan-peralatan yang kita kenal bensin untuk motor otto dan solar untuk motor diesel. Solar atau diesel full adalah bahan bakar untuk motor diesel, di mana pembakaran terjadi bukan penyalaan

busi tetapi terjadi karena tekanan kompressi yang tinggi (Warsowiwoho dan Gandhi , 1984: 4-5).

Sejauh ini kontribusi BBM (solar) sudah mencapai rata-rata 40% dalam struktur biaya operasi penangkapan ikan, sementara waktu kegiatan perikanan

budidaya porsi biaya BBM memang relatif kecil (http:// www.dkp.go.id/content.php?c=1935).

Sebagaimana diketahui BBM mengalami kenaikan harga untuk mengurangi subsidi yang selama ini diberikan pemerintah. Adapun beberapa alasan masyarakat setuju terhadap pengurangan subsidi BBM yaitu:

1. Pengurangan subsidi BBM tersebut dilaksanakan secara bertahap.

2. Kompensasi pengurangan subsidi BBM itu agar disalurkan kepada yang berhak yaitu rakyat miskin.

3. Pengurangan subsidi yang bertahap tersebut harus dapat melindungi rakyat jangan sampai kenaikan harga BBM itu mengakibatkan rakyat semakin sulit kehidupannya atau menderita.


(23)

4. Menaikkan harga BBM agar dapat menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka diversifikasi energi.

5. Menaikkan harga BBM juga dimaksudkan untuk efisiensi energi. (Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000: 12).

Adapun peningkatan harga yang terjadi di Indonesia mulai dari tahun 2000-2005 dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Harga Solar Eceran Tahun 2000-2005

NO Tanggal Harga (Rp/liter)

1. 1 Oktober 2000 600

2. 16 Juni 2001 900

3. 17 Januari 2002 1,150 4. 1 Desember 2002 1,550 5. 21 Januari 2003 1,650

6. 2004 1,650

7. 1 Maret 2005 2,100

8. 1 Oktober 2005 4,300

Sumber: UPMS I Pertamina Medan, 2005

Dari tabel dapat kita lihat bahwa pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga solar sebanyak dua kali dalam setahun, di mana kenaikannya lebih dari 100% yakni dari Rp 2.100/liter menjadi Rp 4.300/liter.

Dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini yaitu periode 2000-2005, maka tahun 2005 inilah yang benar-benar dirasakan teramat sangat berat permasalahan yang harus ditanggung oleh para nelayan. Hal ini dikarenakan kenaikan harga BBM khususnya solar yang merupakan ’nyawa’ dalam menggerakkan usaha perikanan tangkap. Kenaikan harga BBM solar yang sangat dratis yaitu 1 Maret 2005 menjadi Rp 2.100,-/liter, kemudian 1 Oktober 2005 menjadi Rp 4.300,-/liter. Kenaikan harga yang pertama saja sudah menyebabkan nelayan mengalami beban tambahan sebesar 11,2% .


(24)

Sejak harga BBM Rp 4.300,-/liter kesulitan yang dihadapi nelayan semakin berat karena nelayan yang menggunakan kapal di atas 30 GT dikenakan harga solar menjadi Rp 6.000,-/liter sama dengan harga solar untuk industri. Hal ini sesuai dengan keputusan pemerintah terhitung 11 Oktober 2005. Padahal menurut UU No. 5 Tahun 1984 tentang perindustrian, kegiatan penangkapan ikan tidak dikategorikan sebagai industri (Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan/ AP2GB, 2005: 1-4).

Tabel 5. Perbedaan Antara Usaha Perikanan Tangkap dengan Industri

NO Usaha Penangkapan Ikan Industri 1. Sifatnya berburu ada unsur

spekulatif.

Rencana operasi dapat dipastikan.

2. Jumlah dan jenis ikan yang ditangkap tidak dapat ditentukan

Jenis dan besaran produksi dapat ditetapkan.

3. Harga pokok satuan ikan tidak dapat ditetapkan sebelumnya sebab tergantung hasil tangkapan, sebaliknya biaya operasional kapal sudah tetap.

Harga pokok satuan hasil industri dapat dihitung sesuai dengan jenios, kualitas, jumlah dan proses produksi.

4. Harga jual satuan ikan tidak dapat ditetapkan tergantung pada mekanisme pasar.

Harga jual satuan produksi dapt ditentukan sesuai dengan perkembangan pasar.

5. Biaya operasional penangkapan ikan dipikul bersama antara pemilik kapal dengan nelayan ABK.

Biaya produksi dipikul oleh pemilik usaha.

6. Hasil bersih penjualan ikan dibagi kepada pemilik kapal 70% dan nelayan ABK 30%.

Hasil penjualan adalah hak pemilik usaha. Karyawan digaji oleh perusahaan dengan sistem yang digunakan.


(25)

Namun hal ini tidak berlangsung lama karena nelayan menuntut ke pemerintah sesuai dengan undang-undang di atas yang secara rinci menerangkan perbedaan antara usaha penangkapan dengan industri.

Landasan Teori

Penangkapan adalah kegiatan penangkapan atau mengumpulkan ikan/binatang air lainnya/tanaman air yang hidup di laut ataupun di perairan

umum secara bebas dan bukan milik perseorangan (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005: viii).

Risiko dan ketidakpastian dalam agribisnis perikanan terletak pada aspek produktivitas dan harga. Risiko produksi pertanian adalah yang paling besar dalam konteks produk-produk pertanian, karena sebagian besar produksi berasal dari perairan umum yang tunduk pada kaidah general proverty rights di mana yang menguasai akses akan menguasai produksi yang relatif besar. Disamping itu aspek iklim dan lingkungan yang sering tidak menentu akan menambah semakin tingginya risiko (Soekartawi, 1996: 136-137).

Dalam melakukan operasi penangkapan nelayan tidak dapat menentukan berapa lama ia melaut. Hal ini mengakibatkan frekuensi melautnya pun tidak dapat dipastikan berapa kali dalam kurun waktu tertentu baik bulanan maupun tahunan. Hal ini dilatarbelakangi karena penangkapan tersebut sifatnya berburu (hasilnya tidak dapat dipastikan). Selain itu dalam melakukan operasi penangkapan kekuatan mesin juga menjadi salah satu faktor dalam menentukan lamanya nelayan melaut. Seperti contoh kapal purse seine berukuran antara


(26)

100-180 GT dapat melaut sampai 2-3 minggu. Namun untuk kapal purse seine yang berukuran <30 GT lamanya melaut 4-5 hari saja.

Pada umumnya ikan-ikan yang tertangkap dengan pukat cincin adalah jenis ikan pelagis yang bergerombol seperti: kembung (Rostrellinger neglectus), layang (Decapterus russelli), tembang (Sardinella fimbriata), selar kuning (Selaroides eptolepis), lemuru (Sardinella longiceps), tongkol (Auxis thazard) dan cakalang (Ratsuwonus pelamis) (Karimuddin, dkk, 1983: 27-28).

Sejak lama dikenal dua bentuk skala usaha, yaitu skala usaha kecil dan besar. Usaha kecil umumnya terdiri dari petani-petani yang dicirikan oleh lemahnya modal, terbelakang dari segi teknologi, susah berkembang namun menunjukkan stabilitas tinggi dan dalam jumlah yang relatif besar. Sebaliknya usaha besar dengan manajemen, teknologi dan permodalan yang cukup maka mampu berkembang maju namun sering mudah tergoncang oleh perubahan situasi ekonomi dunia (Soekartawi 1996: 136-137).

Dalam melakukan penangkapan nelayan harus mengeluarkan sejumlah biaya. Jika ditinjau dari sifat biaya, maka biaya dapat dikategorikan ke dalam: 1. Biaya tetap yaitu biaya yang sampai batas tertentu tidak berubah. Biaya ini

tidak dipengaruhi oleh kesibukan perusahaan sampai pada tingkat tertentu saja. Perusahaan itu mengalami kesibukan yang tidak konstan sepanjang waktu. Ada atau tidak ada kesibukan perusahaan, biaya ini harus diperhitungkan.

2. Biaya variabel yaitu biaya yang berubah-ubah mengikuti kesibukan perusahaan. Biaya ini akan menjadi nol bila tidak ada kesibukan perusahaan. Oleh sebab itu juga dinamakan ”activity cost”. Jika ada aktivitas ada biaya,


(27)

jika tidak ada aktivitas tidak ada biaya. (Wasis, 1986:54).

Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual dirumuskan dengan:

TR=Y.Py Keterangan:

TR= Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam usaha Py = Harga produk Y

Sedangkan total biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya tidak tetap dirumuskan sebagai berikut:

TC=FC+VC Keterangan:

TC= Total biaya FC= Total biaya tetap VC= Total biaya tidak tetap

Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya dirumuskan sebagai berikut:

KU= TR-TC Keterangan:

KU= Keuntungan usaha TR= Total penerimaan TC= Total biaya (Soekartawi, 1995: 15).


(28)

Analisis perbedaan merupakan prosedur statistik untuk menguji perbedaan di antara dua kelompok data (variabel) atau lebih. Analisis perbedaan atau uji beda sering bergantung pada jenis data (nominal, ordinal, interval dan rasio) dan kelompok sampel yang diuji. Jenis teknis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis perbedaan harus sesuai dengan jenis data atau variabel berdasarkan skala pengukuran (Hasan, 2002: 124).

Kerangka Pemikiran

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Dalam penelitian ini nelayan yang melakukan operasi penangkapan ikan di laut dibatasi yaitu yang hanya menggunakan kapal motor dengan pukat cincin saja.

Dalam melakukan operasi penangkapan di laut nelayan sangat perlu memperhatikan berapa lama ia melaut dan jumlah trip penangkapan yang dilakukannya dalam kurun waktu tertentu (apakah sebulan, triwulan atau setahun). Di mana kedua hal di atas sangat erat kaitannya dengan hasil tangkapan yang diperolehnya dalam kurun waktu tertentu.

Hasil tangkapan dijual sesuai dengan harga pasar yang berlaku, ada yang melalui TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan ada pula yang langsung menjualnya ke pedagang besar. Dari hasil penjualan maka nelayan akan menerima sejumlah penerimaan.

Selama melakukan operasi penangkapan ikan di laut nelayan harus mengeluarkan sejumlah biaya operasional. Biaya ini terbagi atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap antara lain: SIUP; SPI; pas biru; biaya perawatan


(29)

kapal, mesin, alat tangkap dan alat bantu; biaya penyusutan. Sementara biaya variabel itu sendiri antara lain: pemakaian oli, solar, minyak tanah, es, bekal melaut, retribusi pelelangan, bagi hasil. Untuk mendapatkan pendapatan bersih maka seluruh penerimaan harus dikurangi dengan seluruh total biaya yang dikeluarkan selama operasi penangkapan.

Akibat kenaikan BBM (solar) sangatlah mempengaruhi operasi penangkapan ikan di laut karena timbulnya masalah-masalah baru lagi bagi nelayan seperti susahnya untuk mendapatkan solar, peningkatan harga sarana lainnya seperti es, lauk-pauk, tutupnya beberapa pabrik es dan sebagainya. Untuk itu nelayan melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada skema kerangka pemikiran berikut ini:


(30)

Dampak Kenaikan Harga BBM(Solar)

- Jlh. kapal - Lama melaut - Frekuensi melaut Operasi Penangkapan

Ikan di Laut Masalah

Upaya

Hasil Tangkapan

Dijual

Penerimaan

Biaya

Pendapatan Bersih

Ü B. Tetap : SIUP, SPI, Pas biru, biaya perawatan mesin: kapal: alat tangkap: alat bantu, biaya penyusutan Ü B. Variabel : oli, solar, m.tanah, es,

bekal melaut, retribusi pelelangan, bagi hasil

Sesudah Sebelum

Gbr 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: hubungan langsung : terbagi atas


(31)

Hipotesis Penelitian

1. Ada dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah kapal pukat cincin.

2. Ada perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

3. Ada perbedaan hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

4. Ada perbedaan pendapatan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (solar).

5. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar).

6. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat kenaikan harga BBM (solar) ini.


(32)

Metode Penentuan Lokasi

Untuk mencapai tujuan yang telah dikemukakan di atas maka dilakukanlah penelitian di daerah penelitian yang ditentukan secara purposive sampling yaitu

pemilihan sampel berdasarkan tujuan yang ingin dicapai (Singarimbun dan Efendi, 1995:169) yaitu Kelurahan Bagan Deli Kecamatan

Medan Belawan Kota Medan. Daerah ini dipilih karena menurut data yang didapat Kelurahan Bagan Deli merupakan daerah paling banyak memiliki alat tangkap pukat cincin yakni 188 unit dibandingkan Kelurahan Belawan I. Berikut ini tabel alat tangkap yang ada di setiap kelurahan di Kecamatan Medan Belawan pada tahun 2005.

Tabel 6. Jumlah Alat Tangkap di Kecamatan Medan Belawan Kota Medan Tahun 2005 (Unit)

Kelurahan NO Jenis Alat

Tangkap

Belawan I Belawan Sicanang Belawan Bahagia Belawan Bahari Bagan Deli

1. Gill Nets 66 17 22 - 98

2. Pukat Langge - - 1 211 5

3. Pukat Tuamang - - - 52 -

4. Lampara Dasar - - - - 131

5. Pukat layang 39 - 42 - 2

6. Pukat Langgar/

Cincin/Purse seine 10 - - - 188

7. Pukat Teri 4 - - - 44

8. Ambai 22 34 - - -

9. Bubu - - 4 - -

10. Pancing 34 1 - 4 13

11. Pukat Ikan - - - - 99

Jumlah 175 52 69 267 580


(33)

Metode Penentuan Sampel

Metode yang digunakan dalam penentuan sampel adalah metode simple random sampling dikarenakan sampel penelitian bersifat homogen yakni nelayan yang hanya menggunakan kapal pukat cincin. Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel yakni 30 kapal pukat cincin dari 188 kapal pukat cincin (populasi). Hal ini berdasarkan pertimbangan waktu, biaya, tenaga dan 30 sampel merupakan sampel kecil di mana pengujian hipotesisnya menggunakan distribusi t sebagai uji statistik (Hasan, 2002:38).

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 7. Spesifikasi Pengumpulan Data

NO Jenis Data Sumber Metode Alat Pengumpul Data 1. Identitas Nelayan Responden Wawancara Kuesioner 2. Jumlah nelayan

dan kapal pukat cincin

Dinas Perikanan Kota Medan dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Belawan Pencatatan data Laporan

3. Lama melaut dan frekuensi melaut

Responden Wawancara Kuesioner 4. Jumlah

penerimaan

Responden Wawancara Kuesioner 5. Jumlah biaya

operasional

Responden Wawancara Kuesioner 6. Masalah-masalah Responden Wawancara Kuesioner

7. Upaya-upaya Responden Wawancara Kuesioner 8. Monografi Kelurahan Kantor Kelurahan Bagan Deli Pencatatan data Laporan


(34)

Metode Analisis Data

Hipotesis 1 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif yaitu melalui pendataan jumlah kapal pukat cincin yang masih beroperasi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM(solar).

Hipotesis 2, 3 dan 4 dianalisis dengan menggunakan metode uji beda yang menggunakan rumus t-hitung sebagai berikut :

Dengan formulasi H0 dan H1 :

Ho : 1 = 2 ; H1 : 1 ≠ 2

X1 – X2

th = (n1 – 1)S22 + (n2 – 1)S12 1 + 1 n1 + n2 – 2 n1 n2

Keterangan:

X1 = rata-rata variabel 1 (sebelum kenaikan BBM)

X2 = rata-rata variabel 2 (sesudah kenaikan BBM)

S 1 = simpangan baku variabel 1

S2 = simpangan baku variabel 2

n1 = jumlah sampel variabel 1

n2 = jumlah sampel variabel 2

Kriteria uji:

-ttabel ≤ thit ≤ ttabel H0 diterima, H1 ditolak


(35)

Hipotesis 5 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif dengan mengamati masalah-masalah apa saja yang dialami nelayan dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan setelah kenaikan harga BBM (solar).

Hipotesis 6 dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif menanyakan apa saja upaya yang dilakukan nelayan dalam menghadapi kenaikan harga BBM (solar) ini.

Defenisi

1. Nelayan adalah pemilik kapal pukat cincin yang sering juga disebut nelayan toke/nelayan besar, yang mana ia dapat secara langsung ikut dalam operasi penangkapan tersebut ataupun tidak langsung terlibat.

2. Lama melaut adalah tempo waktu yang dihabiskan nelayan dalam melakukan penangkapan (mulai dari berangkat ke laut sampai pulang ke daratan) yang dinyatakan dalam satuan hari.

3. Jumlah trip penangkapan adalah banyaknya operasi penangkapan yang dapat dilakukan nelayan dengan kapal pukat cincin selam setahun.

4. Pukat cincin/purse seine adalah jaring yang umumnya berbentuk empat persegi yang dlengkapi dengan pemberat (sinker) dan pelampung (floating) yang digunakan untuk menghela/menangkap gerombolan ikan kemudian bagian bawah jaring ditutup dengan menarik tali melalui cincin. Cara penangkapan dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu pengumpul ikan (rumpon/rabo/tuasan).

5. Hasil tangkapan adalah jumlah ikan yang berhasil ditangkap nelayan per tripnya (kg)


(36)

6. Penerimaan adalah hasil tangkapan yang dijual dikali dengan harga jual pada saat penelitian (Rp/trip).

7. Pendapatan bersih adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya (Rp/trip).

8. Biaya operasional adalah semua korbanan atau pengeluaran yang dikeluarkan selama melakukan penangkapan.

9. Biaya tetap adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh kesibukan perusahaan yang jumlahnya tidak berubah sampai batas waktu tertentu (Rp).

10. Biaya variabel adalah biaya yang dapat berubah-ubah mengikuti kesibukan perusahaan (Rp).

11. Sistem bagi hasil adalah suatu sistem penggajian yang dilakukan seorang pemiliki kapal terhadap Anak Buah Kapal (ABK). Di mana gaji/upah yang diterima ABK tidak tetap tergantung hasil tangkapan yang didapat.

12. Masalah adalah persoalan baru yang dihadapi nelayan setelah kenaikan BBM yang menjadi penghambat dalam melakukan operasi penangkapan.

13. Upaya adalah usaha atau cara yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah tersebut.

Batasan Operasional

1. Sampel dalam penelitian adalah nelayan kapal pukat cincin yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.


(37)

3. Sebelum kenaikan BBM (solar) yaitu bulan September 2005 sedangkan sesudah kenaikan BBM (solar) yaitu bulan September 2006.


(38)

Deskripsi Daerah Penelitian

Gambaran Umum, Letak Topografi dan Iklim

Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB) merupakan salah satu dari lima pelabuhan yang terdapat di Indonesia yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Pelabuhan Perikanan Samudera lainnya terdapat di Padang, Cilacap, Jakarta dan Kendari. Perum Prasarana Perikanan Samudera adalah badan yang bertanggung jawab terhadap pelabuhan perikanan ini sesuai dengan PP No. 23 tahun 2000. PPSB ini berada di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Kota Medan dengan luas 54,95 Ha dan dipimpin oleh Bapak Haryomo, A. Pi, SE.

Kelurahan Bagan Deli mempunyai topografi pantai dengan ketinggian 1 m dpl. Keadaan suhu rata-rata 24-32º C dan curah hujan rata-rata 2000mm/tahun. Batas-batas Kelurahan Bagan Deli adalah sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Belawan I Sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Deli

Sebelah barat berbatasan dengan Kel. Belawan II dan Kel. Belawan Bahari Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka

Kelurahan Bagan Deli berjarak 3 km dari ibukota Kecamatan Medan Belawan dan 26 km dari pusat Kota Medan. PPSB beralamat di Jln. Gabion Belawan yang dibangun pada tahun 1978. Letak geografis PPSB berada di 3º46'22,50"LU dan 98º41'59,33"BT.


(39)

Tujuan PPSB

Perusahaan Umum (PERUM) Prasarana Perikanan Samudera adalah BUMN sebagaiman diatur dalam UU No. 9 tahun 1969. Bidang usahanya berada dalam lingkup tugas dan kewenangan menteri. Seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham.

Pelabuhan Perikanan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan melalui penyediaan dan perbaikan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan, mengembangkan wiraswasta perikanan serta untuk memasang dan/atau mendorong usaha industri perikanan dan pemasaran hasil perikanan, memperkenalkan dan mengembangkan teknologi hasil perikanan. Sarana dan Prasarana

Fasilitas yang terdapat di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan terdiri dari :

- Fasilitas pokok, yaaitu fasilitas yang utama di Pelabuhan Perikanan yang menjadikan lokasi sebagai pelabuhan perikanan.

- Fasilitas fungsional, yaitu fasilitas yang berfungsi untuk menjalankan kegiatan operasional Pelabuhan Perikanan seperti bongkar muat, operasi kapal-kapal nelayan, penanganan hasil tangkapan.

- Fasilitas penunjang, yaitu fasilitas yang mendukung kegiatan operasional Pelabuhan Perikanan.

Bagian dari fasilitas pokok adalah sebagai berikut:

- Dermaga dengan panjang 153 m, lebar 7 m, jenis kontruksinya beton. - Alur pelayaran dengan panjang 4000 m, lebar 100m dan kedalaman


(40)

- Kolam pelabuhan dengan luas 75.000 m2, lebar 200 m dan kedalaman 4 m. - Jalan pelabuhan sepanjang 500m, lebar 10m dan beban gandar jalan

hingga 50 ton.

Bagian dari fasilitas fungsional adalah sebagai berikut: - TPI seluas 800 m2 dengan konstruksi baja.

- Navigasi pelayaran dan komunikasi, yaitu rambu pelayaran sebanyak 2 unit, lampu suar 2 unit, 4 line telepon serta pemancar radio.

- Layanan listrik dilengkapi dengan mesin genset dengan daya listrik total 30 kVA.

- Layanana bahan bakar yang mampu melayani permintaan solar hingga 5000 liter per hari.

- Instalasi pengolahan limbah cair seluas 80 m2 dengan kapasitas 200 ton/hari dan tempat pembuangan sampah 200 m2.

Bagian dari fasilitas penunjang adalah Balai Pertemuan Nelayan seluas 200 m2 dengan konstruksi batu bata dan pagar kawat pembatas sepanjang 400 m dengan tinggi 2 m.

Daerah operasi kapal ikan yang dilayani adalah wilayah laut teritorial dan ZEE dan perairan internasional. Kapasitas PPSB dapat menampung kapal mencapai > 6000 GT (dengan 100 kapal 60 GT) dengan panjang dermaga > 300 m dan kedalaman 3 m. Volume ikan tangkapan yang didaratkan di sini rata-rata 60 ton/hari dan terdapat fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan.


(41)

Karakteristik Nelayan Sampel

Karakteristik nelayan sampel dalam penelitian ini dapat digambarkan oleh ukuran kapal, pendidikan jumlah tanggungan dan pengalaman berusaha perikanan. Karakteristik nelayan ini dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik Nelayan Sampel

Keterangan No. Uraian Satuan

Tertinggi Terendah Rataan

1. Ukuran kapal GT 68 26 37.67

2. Umur tahun 61 31 46.43

3. Pendidikan tahun 16 12 12.53

4. Jumlah tanggungan tahun 5 0 2.30 5. Pengalaman berusaha

perikanan

tahun 29 5 12.03

Sumber: Data diolah dari lampiran 1, 2007

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata ukuran kapal yang digunakan nelayan sampel di daerah penelitian adalah 37.67≈38 GT. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan sampel sudah menggunakan kapal berukuran besar karena sudah >30 GT.

Umur rata-rata nelayan sampel di daerah penelitian 46.43≈46 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum nelayan sampel di daerah penelitian tergolong usia produktif sehingga dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian memiliki tenaga kerja yang sangat potensial dalam mengelola usaha penangkapan.

Pendidikan rata-rata nelayan sampel di daerah penelitian sudah baik yaitu 12.53≈13 tahun atau setingkat dengan SMU. Hal ini dapat menunjang dalam mengembangkan usaha penangkapannya. Hal ini disebabkan karena dengan kapal


(42)

berukuran besar dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang lebih banyak dibutuhkan manajemen yang lebih baik.

Jumlah tanggungan rata-rata nelayan sampel sebanyak 2.3≈2 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan nelayan sampel tergolong rendah dan nelayan sudah dapat menerapkan program pemerintah yaitu Keluarga Berencana (KB).

Pengalaman nelayan sampel dalam berusaha perikanan umumnya cukup lama rata-rata 12 tahun. Nelayan dengan pengalaman >10 tahun ini sangat berpengaruh pada keahlian dan pengetahuannya dalam melakukan operasi penangkapan . Sehingga jika suatu saat timbul masalah nelayan tidak cepat putus asa.


(43)

Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar) Terhadap Penurunan Jumlah Kapal Pukat Cincin di PPSB

Untuk dapat mengetahui dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah kapal pukat cincin yang beroperasi di Pelabuhan Perikanan Belawan (PPSB) Kelurahan Bagan Deli dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Jumlah Unit Penangkapan Perikanan Laut Menurut Jenis Alat Tangkap Tahun 2001-2006 (Unit)

TAHUN No. Jenis Alat

Tangkap 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Pukat Ikan

Fish Net 87 90 92 95 99 147

2.

Lampara Dasar

Damersal Danish Seine

131 138 145 165 178 57

3. Pukat Cincin

Purse Seine 178 185 191 187 188 231

4. Jaring Insang

Gill Nets 38 38 40 40 55 33

5. Pancing

Hook and Lines 12 12 13 12 13 4

Jumlah 446 463 481 499 533 472

Sumber: Statistik PPSB, 2006

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan jumlah kapal pada tahun 2006 mengalami penurunan sebanyak 61 unit yakni dari 533 unit menjadi 472 unit. Hal ini dapat terjadi salah satunya akibat dampak kenaikan harga BBM (solar) yang amat memberatkan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan di laut. Di mana sebagian besar biaya operasional penangkapan ikan ke laut tercurah untuk pemakaian solar sebagai bahan bakar kapal.

Dari tabel dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 terjadi penurunan jumlah kapal dengan alat tangkap lampara dasar, jaring insang dan pancing. Namun untuk


(44)

jumlah alat tangkap pukat cincin dan pukat ikan mengalami peningkatan. Khusus untuk pukat cincin yang menjadi sasaran penelitian, pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah kapal pukat cincin sebesar 43 unit dari 188 unit pada tahun 2005 menjadi 231 unit pada tahun 2006.

Keadaan seperti ini dapat terjadi erat hubungannya dengan skala usaha. Dari hasil wawancara terhadap sampel dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya penurunan jumlah kapal lampara dasar, jaring insang dan pancing disebabkan oleh jumlah hasil tangkapan belum mampu menutupi biaya operasional penangkapan sehingga sering sekali nelayan mengalami kerugian. Walaupun sebenarnya kapal dengan alat tangkap ini (lampara dasar, jaring insang dan pancing) tidak banyak membutuhkan solar seperti halnya kapal pukat cincin namun pada kenyataannya jumlah kapal pukat cincin mengalami peningkatan sebesar 22.87%. Hal ini dapat terjadi karena skala hasil tangkapan kapal pukat cincin lebih besar bila dibandingkan kapal lampara dasar, jaring insang dan pancing sehingga masih dapat menutupi biaya operasional penangkapan tersebut. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada dampak kenaikan harga BBM (solar) terhadap penurunan jumlah kapal pukat cincin ditolak karena pada kenyataannnya terjadi peningkatan kapal pukat cincin.

Perbedaan Lama Nelayan Melaut dan Frekuensi Melaut yang Dilakukan Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar).

Untuk menguji perbedaan lama nelayan melaut dan frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan selama sebulan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM digunakan analisis uji beda dengan t-hitung. Lama nelayan


(45)

melaut per trip dan frekuensi melaut per bulan sebelum dan sesudah kenaikan BBM dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 10. Lama Nelayan Melaut per Trip (hari) dan Frekuensi Melaut per Bulan (trip) Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM

No. Uraian Sebelum Kenaikan Harga BBM Sesudah Kenaikan Harga BBM Keterangan

1. Lama

Melaut/Trip 5.90 7.27

Ho ditolak, H1 diterima 2. Frekuensi

Melaut/ Bulan 4.60 3.77

Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=-11.195 t-tabel=2.045 t-hitung=9.898 t-tabel=2.045

Sumber: Data diolah dari lampiran 2,20 dan 21, 2007

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa lama melaut yang dilakukan nelayan per tripnya 5.9 ≈ 6 hari sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27 ≈ 7 hari per tripnya.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata lama melaut yang dilakukan nelayan diperoleh bahwa t-hitung=-11.195 dengan demikian berarti t-hitung lebih kecil daripada -t-tabel=-2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho ditolak

dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata antara lama melaut yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin lama melaut per tripnya dibandingkan sebelum kenaikan harga BBM. Hal ini dilakukan nelayan untuk menghemat biaya perjalanan pulang perginya nelayan melaut dan dengan menambah lama melaut diharapkan dapat membawa hasil tangkapan yang lebih banyak lagi.


(46)

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77≈4 trip/bulan.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata frekuensi penangkapan ikan yang dilakukan nelayan diperoleh bahwa hitung=9.898. Dengan demikian berarti t-hitung lebih besar daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah

Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata antara frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan semakin rendah. Hal ini terjadi karena frekuensi penangkapan yang dilakukan nelayan selama sebulan erat kaitanya dengan semakin lamanya waktu melaut yang dilakukan nelayan tiap tripnya. Di mana, semakin lama nelayan melaut per tripnya maka semakin rendah frekuensi melaut yang dilakukan nelayan setiap bulannya.

Perbedaan Hasil Tangkapan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar).

Untuk menguji perbedaan rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan digunakan analisis t-hitung. Analisis rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan dapat dilihat pada tabel berikut:


(47)

Tabel 11. Hasil Tangkapan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (kg)

No. Uraian

Sebelum Kenaikan Harga

BBM

Sesudah Kenaikan Harga

BBM

Keterangan

1. Hasil

Tangkapan/bln 15,667.50 13,536.67

Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=5.205

t-tabel=2.045

Sumber:Data diolah dari lampiran 4b,4b,5a,5b dan ,22 , 2007

Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata hasil tangkapan yang diperoleh nelayan per bulan diperoleh bahwa hitung=5.205. Dengan demikian berarti t-hitung lebih besar daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah

Ho ditolak dan H1 diterima pada tingkat kepercayaan 95% artinya terdapat perbedaan nyata antara hasil tangkapan per bulan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan yang diperoleh nelayan menjadi turun dibandingkan hasil tangkapan sebelum kenaikan harga BBM.

Hal ini dapat terjadi karena walaupun sesudah kenaikan harga BBM nelayan sudah menambah lama melautnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Padahal, seharusnya hasil tangkapan yang diperoleh nelayan semakin meningkat namun pada kenyataannya hal ini tidak terjadi. Menurut hasil wawancara terhadap sampel hal ini dapat terjadi karena sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin mempersempit zona


(48)

penangkapannya dari sebelumnya. Padahal, semakin jauh zona penangkapannya semakin banyak ikan yang bisa ditangkap.

Selain itu penyebab lainnya yaitu karena dalam usaha penangkapan penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Risiko produksi yang terberat yaitu karena hasil tangkapan berasal dari perairan umum harus tunduk dengan general proverty rights sehingga setiap orang Indonesia berhak atas laut tersebut sehingga timbul persaingan antar sesama nelayan. Apalagi sesudah kenaikan harga BBM jumlah kapal pukat cincin semakin bertambah banyak. Disamping itu dipengaruhi juga oleh iklim dan lingkungan, di mana waktu penelitian yaitu bulan September merupakan musim pancaroba yang mengakibatkan hasil yang didapat tidak maksimum.

Perbedaan Pendapatan yang Diperoleh Nelayan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Solar)

Pendapatan yang diperoleh nelayan merupakan selisih dari penerimaan dan seluruh biaya yang dibutuhkan selama melakukan operasi penangkapan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 12. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM

No. Keterangan Sebelum Kenaikan Harga BBM (Rp)

Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp)

1. Penerimaan 108,674,167.67 121,021,666.67

2. Biaya

Biaya Tetap: 3,118,240.74 3,473,796.30 ̇ Biaya Perizinan 423,333.33 423,333.33 ̇ Biaya Penyusutan 983,796.30 983,796.30 ̇ Biaya Pemeliharaan 1,711,111.11 2,066,666.67 Biaya Variabel: 79,487,433.33 99,530,083.33

̇ Oli 668,533.33 747,055.56

̇ Solar 29,785,000.00 49,939,722.22 ̇ Minyak Tanah 419,980.00 390,791.67


(49)

̇ Es 6,716,000.00 7,332,444.44 ̇ Bekal Melaut 4,770,200.00 5,828,916.67 ̇ Retribusi Pelelamgan 4,697,750.00 5,414,666.67 ̇ Bagi Hasil 32,602,250.00 30,255,416.67

Total 82,605,674.07 103,003,879.63

3. Pendapatan 26,068,492.59 22,572,787.04

Sumber: Data diolah dari lampiran 14,15,16,17,18,19 dan 23, 2007

Dari tabel dapat dilihat bahwa sesudah kenaikan harga BBM, penerimaan sesudah kenaikan harga BBM meningkat dan sebaliknya pendapatan menurun. Hali ini diakibatkan karena total biaya yang meningkat drastis seperti biaya solar.

Untuk menguji perbedaan rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan digunakan analisis t-hitung. Analisis rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13. Pendapatan per Bulan Sebelum dan Sesudah Kenaikan Harga BBM (Rp) No. Uraian Sebelum Kenaikan Harga BBM Sesudah Kenaikan Harga BBM Keterangan

1. Pendapatan per

Bulan 26,068,492.59 22,572,787.04

Ho ditolak, H1 diterima t-hitung=1.727

t-tabel=2.045

Sumber: Data diolah dari lampiran18,19 dan ,23, 2007

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa pendapatan nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59 per bulan dan sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04 per bulan.

Berdasarkan analisis uji beda rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan per bulan diperoleh bahwa t-hitung=1.727. Dengan demikian berarti t-hitung lebih kecil daripada t-tabel=2.045( ½ 0.05) maka keputusan hipotesis adalah Ho diterima

dan H1 ditolak pada tingkat kepercayaan 95% artinya tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan per bulan yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah


(50)

kenaikan harga BBM, di mana sesudah kenaikan harga BBM pendapatan yang diperoleh nelayan menjadi turun dibandingkan pendapatan sebelum kenaikan harga BBM. Namun penurunan yang terjadi tidak cukup drastis.

Hal ini dapat terjadi karena pendapatan ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan, jenis ikan, harga jual masing-masing jenis ikan yang berbeda-beda sehingga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang didapat nelayan dan biaya operasional yang berbeda antara sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM.

Masalah-Masalah yang Dihadapi Nelayan Akibat Dampak Kenaikan Harga BBM (Solar)

Dengan naiknya harga BBM per 1 Oktober 2005 maka nelayan menghadapi berbagai masalah di antaranya:

1. Nelayan mengalami kekurangan modal dalam melakukan operasi penangkapan karena dengan naiknya harga BBM per 1 Oktober maka semua harga untuk kebutuhan operasi penangkapan selain solar (seperti es, oli, lauk-pauk, rumpon,dan sebagainya) ikut mengalami kenaikan juga di mana kenaikannya rata-rata 50 % dari sebelumnya.

2. Kadangkala hasil tangkapan yang diperoleh nelayan sulit laku karena dengan naiknya BBM harga ikan juga ikut naik. Selain itu nelayan asing seperti Malaysia sudah dapat bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Belawan yang mana harga ikannya jauh lebih murah dari ikan nelayan lokal sehingga nelayan lokal harus bersaing dengan nelayan Malaysia. 3. Dengan naiknya BBM tindakan kriminalitas di laut semakin banyak


(51)

melakukan penyekapan ABK, perampokan hasil tangkapan, perusakan kapal dan sebagainya yang sangat menggangu kegiatan penangkapan.

Upaya-Upaya yang Dilakukan Nelayan Dalam Mengatasi Masalah Akibat Kenaikan Harga BBM (Solar)

Untuk dapat terus melanjutkan operasi penangkapan di laut nelayan yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan berusaha untuk mengatasi masalah yang timbul akibat kenaikan harga BBM (solar) ini. Adapun upaya-upaya yang dilakukan nelayan yaitu:

1. Nelayan berusaha mendapat bantuan modal dengan meminjam sejumlah dana baik dari kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya. Upaya lainnya dengan menggunakan alat penghemat BBM yaitu EGB (Electronic Gas Booster) yang merupakan bantuan langsung pemerintah dan pemasangan rumpon untuk membantu mengurangi jarak melaut.

2. Nelayan menjual hasil tangkapan dengan harga murah karena dengan cara inilah nelayan dapat memperkecil kerugian yang dialaminya.

3. Nelayan melaporkan tindakan kriminal tersebut kepada pihak yang berwenang seperti Angkatan Laut dan Pengawas Pelabuhan agar patroli keamanan di laut semakin rutin dilaksanakan.


(52)

Kesimpulan

7. Jumlah kapal pukat cincin sesudah kenaikan harga BBM (Solar) yakni pada tahun 2006 meningkat 43 unit yakni dari 188 unit menjadi 231 unit. 8. Terdapat perbedaan lama nelayan melaut/trip dan frekuensi melaut/bulan

yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Lama nelayan melaut per tripnya 5.9 ≈ 6 hari sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27≈7 hari per tripnya. Sebaliknya frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77 ≈ 4 trip/bulan.

9. Terdapat perbedaan hasil tangkapan/bulan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.

10. Terdapat perbedaan pendapatan/bulan nelayan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Pendapatan nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59 per bulan dan sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04 per bulan.


(53)

11. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar) yaitu kekurangan modal karena peningkatan biaya operasional penengkapan per trip, hasil tangkapan kurang laku karena faktor harga dan tindakan kriminal oleh bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK). 12. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat

kenaikan harga BBM (solar) ini yaitu meminjam bantuan kepada kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya; penggunaan alat penghemat BBM yaitu EGB(Electronic Gas Booster) dan pemasangan rumpon; melakukan penjualan hasil tangkapan dengan harga yang murah bagi ikan yang tidak laku dan pelaporan tindakan kriminal kepada pihak yang berwenang.

Saran

1. Pemerintah

- Mengalokasikan dana subsidi BBM kepada nelayan terutama nelayan yang bermodal kecil.

- Merevisi Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pungutan dan Perizinan usaha Perikanan yang sering memberatkan nelayan.

- Meningkatkan patroli pengawasan keamanan di laut untuk melindungi nelayan dari para bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK) yang sering menganggu kegiatan penangkpan di laut.

2. Nelayan

- Mengelola usaha penangkapan dengan lebih baik lagi dengan mengadopsi teknologi untuk mencapai skala ekonomi.


(54)

- Diharapkan nelayan dapat melakukan pengawetan terhadap ikan yang tidak laku dijual, misalnya dengan pembuatan ikan asin mengingat sifat ikan yang mudah busuk/rusak.

3. Peneliti

Melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak kenaikan harga BBM (Solar) terhadap usaha penangkapan untuk jenis alat tangkap lainnya dan kemudian melakukan perbandingan untuk setiap alat tangkap.


(55)

Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), 2005. Evaluasi dan Permasalahan yang Dihadapi Pengusaha Pasca Kenaikan Haraga Bahan Bakar Minyak. Seminar Temu Usaha Kemitraaan pada Kegiatan APBN Pelabuhan Perikanan Samudera. Medan.

Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000. Sosialisasi Kenaikan Harga BBM. Jakarta.

Dinas Perikanan, 1997. Buku Identifikasi Alat Tangkap dan Kapal Perikanan di Sumatera Utara. Medan.

Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005. Harga Baru Solar, Tiga Langkah Antisipasi

pun Digelar. Pusat Informasi dan Pelayanan Masyrakat, DKP (http:// www.dkp.go.id/content.php?c=1935)

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2001. Monografi Perikanan Laut Pantai Timur Sumatera Utara. Medan.

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2002.

Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005. Statistik Perikanan Tangkap, 2005. Medan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2005.

Departemen Pertanian, 1988. Buletin Informasi Pertanian. Medan.

Direktorat Jenderal Perikanan, 1999. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1998. Jakarta.

Evy, R., E. Majiutani dan K. Sujono, 1997. Usaha Perikanan di Indonesia. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Hasan, I., 2004. Analisis Data Penelitian. Bumi Aksara, Jakarta. Junianto, 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Karimuddin, Arifin M. dan T. Asikin. 1983. Teknik Penangkapan Ikan Dengan Purse Seine Aceh. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan Balai Keterampilan Penangkapan Ikan, Belawan.

Mubyarto, L. Soetrisno dan Michael D., 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali, Jakarta.


(56)

Agribisnis; Teori dan Aplikasinya. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soekartawi, 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

, 1996. Pembangunan Pertanian. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Wasis, 1986. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Alumni Bandung, Bandung.

Warsowiwoho dan Gandhi H., 1984. Bahan Bakar, Pelumas, Pelumasan Servis. Pradnya Paramita, Jakarta.


(1)

39 melakukan penyekapan ABK, perampokan hasil tangkapan, perusakan kapal dan sebagainya yang sangat menggangu kegiatan penangkapan.

Upaya-Upaya yang Dilakukan Nelayan Dalam Mengatasi Masalah Akibat Kenaikan Harga BBM (Solar)

Untuk dapat terus melanjutkan operasi penangkapan di laut nelayan yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan berusaha untuk mengatasi masalah yang timbul akibat kenaikan harga BBM (solar) ini. Adapun upaya-upaya yang dilakukan nelayan yaitu:

1. Nelayan berusaha mendapat bantuan modal dengan meminjam sejumlah dana baik dari kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya. Upaya lainnya dengan menggunakan alat penghemat BBM yaitu EGB (Electronic Gas Booster) yang merupakan bantuan langsung pemerintah dan pemasangan rumpon untuk membantu mengurangi jarak melaut.

2. Nelayan menjual hasil tangkapan dengan harga murah karena dengan cara inilah nelayan dapat memperkecil kerugian yang dialaminya.

3. Nelayan melaporkan tindakan kriminal tersebut kepada pihak yang berwenang seperti Angkatan Laut dan Pengawas Pelabuhan agar patroli keamanan di laut semakin rutin dilaksanakan.


(2)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

7. Jumlah kapal pukat cincin sesudah kenaikan harga BBM (Solar) yakni pada tahun 2006 meningkat 43 unit yakni dari 188 unit menjadi 231 unit. 8. Terdapat perbedaan lama nelayan melaut/trip dan frekuensi melaut/bulan

yang dilakukan nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Lama nelayan melaut per tripnya 5.9 ≈ 6 hari sebelum kenaikan harga BBM dan sesudah kenaikan harga BBM nelayan semakin memperlama lama melautnya menjadi 7.27≈7 hari per tripnya. Sebaliknya frekuensi melaut yang dilakukan nelayan sebelum kenaikan harga BBM 4.6≈5 trip/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM frekuensi melaut nelayan mengalami penurunan menjadi 3.77 ≈ 4 trip/bulan.

9. Terdapat perbedaan hasil tangkapan/bulan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Hasil tangkapan yang didapat nelayan sebelum kenaikan harga BBM 15,667.50 kg/bulan dan sesudah kenaikan harga BBM hasil tangkapan mengalami penurunan menjadi 13,536.67 kg/bulan.

10. Terdapat perbedaan pendapatan/bulan nelayan yang nyata yang diperoleh nelayan sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM (Solar). Pendapatan nelayan sebelum kenaikan harga BBM Rp 26,068,492.59 per bulan dan sesudah kenaikan harga BBM pendapatan nelayan menurun menjadi Rp 22,572,787.04 per bulan.


(3)

41

11. Ada masalah yang dihadapi nelayan akibat dampak kenaikan harga BBM (solar) yaitu kekurangan modal karena peningkatan biaya operasional penengkapan per trip, hasil tangkapan kurang laku karena faktor harga dan tindakan kriminal oleh bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK). 12. Ada upaya yang dilakukan nelayan dalam mengatasi masalah akibat

kenaikan harga BBM (solar) ini yaitu meminjam bantuan kepada kerabat, rentenir, koperasi, bank dan lembaga keuangan lainnya; penggunaan alat penghemat BBM yaitu EGB(Electronic Gas Booster) dan pemasangan rumpon; melakukan penjualan hasil tangkapan dengan harga yang murah bagi ikan yang tidak laku dan pelaporan tindakan kriminal kepada pihak yang berwenang.

Saran

1. Pemerintah

- Mengalokasikan dana subsidi BBM kepada nelayan terutama nelayan yang bermodal kecil.

- Merevisi Peraturan Pemerintah tentang Tarif Pungutan dan Perizinan usaha Perikanan yang sering memberatkan nelayan.

- Meningkatkan patroli pengawasan keamanan di laut untuk melindungi nelayan dari para bajak laut atau Orang Tak Dikenal (OTK) yang sering menganggu kegiatan penangkpan di laut.

2. Nelayan

- Mengelola usaha penangkapan dengan lebih baik lagi dengan mengadopsi teknologi untuk mencapai skala ekonomi.


(4)

42

- Diharapkan nelayan dapat melakukan pengawetan terhadap ikan yang tidak laku dijual, misalnya dengan pembuatan ikan asin mengingat sifat ikan yang mudah busuk/rusak.

3. Peneliti

Melakukan penelitian lebih lanjut tentang dampak kenaikan harga BBM (Solar) terhadap usaha penangkapan untuk jenis alat tangkap lainnya dan kemudian melakukan perbandingan untuk setiap alat tangkap.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Asosiasi Pengusaha Perikanan Gabion Belawan (AP2GB), 2005. Evaluasi dan Permasalahan yang Dihadapi Pengusaha Pasca Kenaikan Haraga Bahan Bakar Minyak. Seminar Temu Usaha Kemitraaan pada Kegiatan APBN Pelabuhan Perikanan Samudera. Medan.

Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, 2000. Sosialisasi Kenaikan Harga BBM. Jakarta.

Dinas Perikanan, 1997. Buku Identifikasi Alat Tangkap dan Kapal Perikanan di Sumatera Utara. Medan.

Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005. Harga Baru Solar, Tiga Langkah Antisipasi

pun Digelar. Pusat Informasi dan Pelayanan Masyrakat, DKP (http:// www.dkp.go.id/content.php?c=1935)

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2001. Monografi Perikanan Laut Pantai Timur Sumatera Utara. Medan.

Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, 2002.

Dinas Perikanan dan Kelautan, 2005. Statistik Perikanan Tangkap, 2005. Medan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan, 2005.

Departemen Pertanian, 1988. Buletin Informasi Pertanian. Medan.

Direktorat Jenderal Perikanan, 1999. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1998. Jakarta.

Evy, R., E. Majiutani dan K. Sujono, 1997. Usaha Perikanan di Indonesia. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.

Hasan, I., 2004. Analisis Data Penelitian. Bumi Aksara, Jakarta. Junianto, 2003. Teknik Penanganan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Karimuddin, Arifin M. dan T. Asikin. 1983. Teknik Penangkapan Ikan Dengan Purse Seine Aceh. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan Balai Keterampilan Penangkapan Ikan, Belawan.

Mubyarto, L. Soetrisno dan Michael D., 1984. Nelayan dan Kemiskinan Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Rajawali, Jakarta.


(6)

Soekartawi, Rusmadi dan Effi D., 1993. Risiko dan Ketidakpastian dalam Agribisnis; Teori dan Aplikasinya. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soekartawi, 1995. Analisis Usaha Tani. Universitas Indonesia Press, Jakarta. , 1996. Pembangunan Pertanian. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Wasis, 1986. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Alumni Bandung, Bandung.

Warsowiwoho dan Gandhi H., 1984. Bahan Bakar, Pelumas, Pelumasan Servis. Pradnya Paramita, Jakarta.