Dalam konteks pengelolaan: Potensi Ekowisata Di Tangkahan Dan Upaya Peningkatan Pendapatan Masyarakat Lokal

bahwa aktivitas wisata dalam banyak hal sangat merugikan ekosistem, terutama ekosistem destinasi wisata setempat. Dalam banyak kasus, tempat-tempat yang dulunya indah dan digunakan sebagai tujuan favorit wisata menjadi tercemar oleh logam berat dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya. Perkembangan dan pertumbuhan wisatawan yang besar dan tidak terkontrol, telah mendorong laju kerusakan habitat dan erosi pantai. Dampak tidak langsung lainnya, yakni ekploitasi terhadap bentuk-bentuk kehidupan yang ada di daerah wisata.

2. 2 Defenisi Ekowisata a. Secara konseptual:

Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehinggga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.

b. Dalam konteks pengelolaan:

Penyelenggaraaan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami, yang secara ekonomi berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat dari generasi serta mendukung upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya. Karakteristik bisnis ekowisata: 1. Menggunakan teknik-teknik ramah lingkungan dan berdampak rendah. Misalnya:mengelola jumlah kunjungan. 2. Mendukung upaya-upaya konservasi. 3. Menyadari bahwa alam dan budaya, pengetahuan tradisional merupakan elemen utama untuk pengalaman pengunjung. 4. Memberikan nilai edukasi pada pengunjung. 5. Mendukung peningkatan local ekonomi, melalui penggunaan masyarakat local, membeli kebutuhan perjalanan dari local jika memungkinkan. 6. Menggunakan pemanduinterpreter yang memahami pengetahuan alam dan budaya masyarakat setempat. Universitas Sumatera Utara 7. Memastikan bahwa satwa target tidak terganggu. 8. Raspek pada budaya dan tradisi masyarakat local. Komponen produk ekowisata: a. Transportasi b. Makanan dan minum c. Atraksi d. Prasarana air bersih, listrik, telekomunikasi, pembuangan limbah e. Pemandu f. Penyewaan peralatan Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengemabngan produk ekowisata: 1. keamanan dan keselamatan pengunjung 2. tipe dan karakter wisatawan target 3. karakter dan kebutuhan segmen wisatawan survey selera pasar 4. infrastuktur, sarana dan prasaranan yang dibutuhkan utnuk kepuasan pengunjung 5. iklim 6. harga 7. karakterristik lingkungan alam dan budaya 8. pesaingfactor kompetitif. Secara proses, pengembangan produk dapat digambarkan dalam diagram berikut: Pengemasan produk ekowisata Berisikan atraksi dengan keunikan dan pengalaman yang orisinil, seperti: 1. lingkungan yang alami hutan, taman nasional, laut 2. Satwa liar 3. Ekosistem asali dengan akses jalan setapak yang berisi informasi interprestasi 4. Bentang alam pemandangan, air terjun, air panas, terumbu karang , dsbnya Pengenalan Perencanaan l d k Uji coba Uji coba promosi ki DESAIN Pengukuran Pariwisata b INDENTIFIKASI PELUANG Defensisi pasar Universitas Sumatera Utara 5. Pemanfaatan kebudayaan dari masyarakat tradisional dan eksplor peninggalan prasejarah. 6. Memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk mendapatkan pengalaman baru. 7. Menjamin kegiatan berdampak rendah dan akomodasi yang ramah lingkungan 8. Diskripsikan dengan jelas aksesbilitas menuju daerah tujuan. 9. Gunakan kata-kata yang mampu menunjukkan keaslian sebagai produk ekowisata. 10. Harga paket harus kompetitif 11. Perlu diperhitungkan pembatasan-pembatasan seperti: besaran wisatawan dalam kelompok, volume dan ambang batas dari fasilitas dan sumber lokal. Profil dan pasar ekowisata Profil ekowisata a. Berumur 35-54 tahun, 50 laki-laki dan 50 wanita dan jelas ada perbedaan aktivitas yang dipilih. b. 82 berpendidikan S1, juga dapat terlihat tingkat pendidikan mempengaruhi wisatawan yang berminat pada ekowisata. c. 60 responded senang berpergian berdua, 15 senang berpergian bersama keluarga dan 13 memilih pergi sendiri. d. 50 responded memilih lama perjalanan 8 samapai 14 hari. e. 26 responded bersedia menghabiskan US.1001-1500trip. f. Senang berpergian ke kawasan : 1 kawasan alami, 2 m,engamati satwa, 3 mendaki dan menjelajahtraking. g. Motivasi berpergian: 1 menikmati alampemandangan, 2 pengalaman barukawasan baru. Konsep daur hidup produk Produk secara umum memiliki daur hidup: Dalam Tahap Pengenalan, sebuah produk mulai dilakukan tes pasar, tes pemasaran dan tes terhadap berbagai variable penting lain, kegiatan evaluasi dan pemantauan terhadap produk akan memiliki porsi yang besar. Universitas Sumatera Utara Tahap Eksplorasi, produk mulai digencarkan kegiatan promosi serta berbagai upaya utnuk merebut pasar. Pemantauan terhadap aktivitas pesaing mutlak dilakukan dan juga menggalli berbagai respon dari konsumen. Tahap Pengembangan, respon pasar dan aktivitas pesaing semakin meningkat, pembenahan terhadap berbagai variable produk dilakukan sesuai dengan harapan dan keinginan konsumen, serta utnuk tetap mempertahankan daya saingnya. Tahap Konsolidasi dipicu dari terjadinya penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke obyekatraksi wisata yang dipasarkan. Evaluasi terhadap produk dan aktivitas pemasaran perlu dilakukan serta menggali berbagai ide pengembangan terhadap produk yang bersangkutan. Tahap Stagnasi produk timbul ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyekatraksi wisata tidak pernah meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya sesuatu yang baru pada daerahproduk yang bersangkutan. Karena itu perlu segera digali berbagai ide-ide pengembangan produk wisata baru Tahap Penurunan Produk terjadi ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyekatraksi wisata semakin turun menunjukkan kecenderungan terus menurun dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya upaya pengembangan produk dan hanya bertahan dengan produk yang ada.

2. 3 Wisata Alam dan Kesadaran Lingkungan

Sementara mass tourism wisata masal berkembang, di Amerika muncul sebuah aktivitas wisata yang dikenal sebagai wisata alam nature tourism. Hal itu merupakan aktivitas wisata menuju tempat-tempat alamiah, yang biasanya diikuti oleh aktivitas-aktivitas oleh fisik dari wisatawan. Termasuk dalam kategori ini, antara lain biking, biking-sailing dan camping. Di sini, kita juga mengenal adventure tourism, sebuah istilah yang menunjuk kepada kegiatan wisata alam, namun lebih mempunyai nilai tantangan tersendiri, seperti panjat tebing, diving di laut dalam. Tempat- tempat wisata favorit jenis ini kebanyakan merupakan kawasan lindung, seperti Taman Nasional, Taman Laut, Cagar Alam, Taman Hutan Raya dan kawasan lindung lainnya. Pertumbuhan wisata jenis ini didorong oleh semakin banyaknya pencinta alam nature lovers. Walaupun pada kenyataannya sangat sulit untuk mendefenisikan “pencinta alam”, kedaerah-daerah baru bagi tujuan wisata, terutama di ekosistem hutan tropis dengan kekayaan hayatinya yang khas. Namun, sayang sekali bahwa beberapa “pencinta alam” menyumbang peran Universitas Sumatera Utara besar bagi menurunnya nilai situs-situs atau monumen alam, dengan cara mencoret-coret dan mengotori komponen para “pencinta alam” memanen kayu-kayu hutan untuk sekadar menghangatkan diri dari sengatan hawa dingin pegunungan. kawasan-kawasan konservasi yang dibuka untuk wisata di Pulau Jawa, mendapat tekanan dari para pencinta alam dengan cara seperti di atas. Edelweis Anaphalis, merupakan spesies tumbuhan yang sering menjadi korban dari persepsi dan pandangan yang salah dari para pencinta alam, karena diyakini sebagai bunga abadi yang bernilai keberanian dan romantisme. Ancaman terhadap keberadaan keanekaragaman hayati dunia semakin lama semakin memperihatinkan, hal ini juga diikuti oleh laju kepunahan spesies yang semakin meningkat. Saat ini diyakini bahwa laju kepunahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia Anthropogenic Faktor. Dengan demikian, membangun sebuah kesadaran manusia terhadap pentingnya konservasi lingkungan hidup, di mana keanekaragaman hayati menjadi isu penting di dalamnya, sangat diperlukan. Banyak ahli berpendapat bahwa membangun kesadaran konservasi lewat pendidikan informal dapat dilakukan dengan sektor wisata. Berdasarkan pengetahuan dan motivasinya dalam kegiatan wisata, wisatawan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni wisatawan biasa dan wisatawan eco-tourist mempunyai motivasi mengunjungi destinasi wisata dengan maksud khusus. Berdasarkan minatnya tersebut, eco- tourist dapat dibedakan sebagai berikut: a Hard core nature Tourist, merupakan peneliti atau anggota paket turperjalanan yang memang didesain atau dirancang untuk pendidikan alam dan penelitian. b Dedicated Nature Touris, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan, terutama untuk mengunjungi atau melihat kawasan-kawasan lindung. Selain itu, mereka ingin mengetahui keindahan landscape dan kekayaan hayati serta budaya lokal. c Mainstream Nature Tourist, yaitu wisatwan yang ingin mendapatkan pengalaman yang lain daripada yang telah didapatkan sebelumnya. Seperti, mengunjungi taman Gorilla di Rwanda, Afrika atau mengunjungi hutan Amazonia di Amerika Selatan. d Cassual Nature Tourist, yaitu wisatawan yang menginginkan pengalaman menikamti alam sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar.

2. 4 Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Krisis keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam kategori parah dan membutuhkan perhatian dan tindakan lebih serius untuk mengatasinya. Bahkan, beberapa spesies Universitas Sumatera Utara telah punah untuk selamanya, seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali Panthera Tigris. Survei terakhir yang dilakukan oleh PHPA dan WWF menegaskan bahwa setidaknya pada tahun 1976 masih terdapat tiga harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, semakin lama tidak ada bukti- bukti yang meyakinkan tentang keberadaannya sehingga diyakini spesies ini telah punah. Beberapa spesies masih bertahan dalam kelompok-klompok kecil, yang habitatnya telah terfragmentasi. Monitoring terhadap kekayaan hayati saat ini, telah dilakukan secara intensif. Data yang didapatkan sering menunjukkan bahwa kekayaan hayati semakin terancam, meskipun terdapat pada daerah konservasi, seperti Taman Nasional. Banyak contoh menunjukkan bahwa meskipun kawasan lindung dengan seperangkat undang-undang dan peraturan yang menyertainya, tidak berarti bahwa diversitas spesies yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Contoh kasus pada Tabel 1.1 ini setidaknya menunjukkan jenis-jenis burung yang hilang dan lebih langka dijumpai di Gede Pangrango. Sebenarnya, usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia telah diperkirakan sejak lama. Tahun 1929, dalam suatu kongres Ilmu Pengetahuan wilayah Pasifik yang diadakan di Jawa, menyatakan bahwa perlindungan alam di India-Belanda sebutan untuk wilayah Indonesia saat itu, harus segera dilakukan secara serius. Peraturan yang mengatur perlindungan alam, pertama dibuat tahun 1909 dan mulai diimplementasikan 01 Januari 1910. Namun, bisa jadi peraturan ini hanya “terdengar” di Jawa dan Madura, sementara perburuan satwa saat itu juga terjadi di Borneo dan wilayah lainnya. Sat itu, kegiatan berburu merupakan kegiatan wisata yang sangat digemari dan mulai diatur dalam regulasi tahun1909. saat itu, Surat Izin Berburu mulai diperkenalkan dan dikeluarkan Peraturan Tahun 1924 juga menyatakan secara tegas mengenai hewan-hewan apa saja yang boleh diburu. Contoh-contoh kepunahan dan kecenderungan kepunahan spesies telah diketahui dengan baik, terutama di pulau Jawa. Namun demikian, tidak berarti bahwa pulau dan kawasan lainnya bebas dari ancaman kepunahan dan kemiskinan keanekaragaman hayati. Perubahan luas tutupan hutan di Pulau Jawa merupkan cermin, bagaimana pertumbuhan kawasan sangat mempengaruhi laju degradasi hutan. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa kasus Jawa Timur sejumlah hutan masa pemukiman dan pertanian di Jawa Timur. Saat ini, kebanyakan sisa hutan telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan berbagai kategori seperti, Taman Nasional, Cagar Alam atau Taman Hutan Raya. Universitas Sumatera Utara Tabel jenis Burung Hilang dan Lebih Langka ditemukan di bagian Timur Taman Nasional Gede Pangrango Tahun 1949 dan 1985 Hilang Lebih Langka Gosong Maluku Mentok Rimba Bangau Tong tong Kasuari Glambir Ganda Malao Senkawor Kuau Kerdil Kalimantan Maleo Senkawor Mentok Rimba Thoktor Sumatera Burung Bidadari Elang Jawa Merak Hijau Kakatua Kecil Jambul Kuning Jalak Bali Elang Flores Burung Hantu Trulek Jawa Beo Nias Enggang Burung Pelatuk Bawang Tabel 1.1 Universitas Sumatera Utara Contoh Penyusutan Luas dan Tiga Habitat dengan Kekayaan Hayati yang Berpotensi untuk Kegiatan Pariwisata di Indonesia. Habitat Lahan Asli Km2 Persen yang tersisa Hutan Rawa air tawar Hutan hujan pegunungan Hutan Bakau 103.054 206.233 50.800 46.8 77.1 43.9 Tabel 1.2 Data di atas merupakan kondisi pada awal tahun 1980. selanjutnya, luasan habitat tersebut semakin menyusut.

2. 5 Wisata dan Konservasi

Konsep pemanfaatan sektor wisata untuk menunjang konservasi saat ini sedang ramai didiskusikan. Sejauh mana wisata dapat mendorong tindakan-tindakan konservasi yang dilakukan? Bagaimana strategi yang dapat diterapkan sehingga tujuan konservasi tetap tercapai dalam industri wisata yang terus berkembang? Siapa dan di mana harus memulai dan dimulai? Pertanyaan- pertanyaan tersebut muncul sebagai respons dari dampak buruk wisata terhadap keanekaragaman hayati. Harus diakui bahwa pihak-pihak yang aktif berdebat dan berdiskusi adalah para akademis dan peneliti melawan praktisi wisata. Ada kesenjangan dalam diskusi ini, yaitu tidak bertemunya antara akademis-peneliti pada satu sisi dan praktisi wisata pada sisi yang lain. Para praktisi wisata memandang bawa akademisi dan peneliti tidak mengetahui secara pasti dan memahami seluk-beluk industri wisata yang kompleks tentang operasional wisata. Sementara di lain pihak, para praktisi dan pelaku wisata dinilai terlalu sibuk sehingga mereka tidak mengetahui masa depan wisata, pengembangan produknya dan dampak wisata terhadap lingkungan hidup. Perdebatan ini merupakan salah satu dari berbagai kasus perdebatan yang seringkali melibatkan para developer pembangunan, dimana para praktisi wisata ada di dalamnya. Sementara perdebatan berlangsung, banyak kajian antara lain oleh Dixon dan Sherman 1990, Gossling 1999, Honey 1999, Wunder 2000 dalam buku Lukman Hakim, Dharmaratne et al. 2000, mengatakan bahwa jika sektor wisata diatur secara khusus dapat membantu pembiayaan Universitas Sumatera Utara konservasi lingkungan hidup. Terutama koservasi keanekaragaman hayati yang keadaannya semakin tertekan. Kajian yang dilakukan oleh Burger 2000 dan Waller 2001, menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis antara wisata, keanekaragaman, bentang alam dan konservasinya dapat terjadi dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut, dampaknya secara teoritis dapat ditafsirkan mempunyai pengaruh positif bagi perekonomian lokal dan pendidikan konservasi bagi pengunjung, yang datang dari daerah perkotaan yang miskin dengan kekayaan hayati. Aktivitas wisata tersebut kemudian lebih dikenal sebagai ekowisata atau ekoturisme ecotourism. Benyak defenisi yang menjelaskan arti ekowisata. Namun, semua sepakat bahwa ekowisata berbeda dengan wisata lainnya, karena sifatnya yang dikondisikan untuk mendukung kegiatan konservasi. Defenisinya selalu memfokuskan pada wisata yang bertangung jawab terhadap lingkungan. Selanjutnya, banyak masukan para ahli untuk memperbaiki defenisi tersebut. Antara lain memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan, berperan dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, mendorong konservasi dan pembangunan berkelanjutan, seorang arsitek dan environmentalis, Meksiko, menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan wisatawan menuju daerah alamiah yang relatif belum terganggu atau terkontaminasi. Tujuan utamanya yakni mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam lanskap dan kekayaan hayati yang dikandungnya, seperti hewan dan tumbuhan, serta budaya lokal yang ada di sekitar kawasan. Banyak tempat indah dengan kekayaan hayati yang tinggi berada dalam wilayah negara berkembang di mana kebutuhan dan permintaan sumber daya alam meningkat dengan cepat. Hubungan antara laju dijelaskan di berbagai naskah kerja. Degradasi ekosistem yang terjadi saat ini telah menurunkan mutu lingkungan, lebih kurang lagi menurunkan mutu daerah tujuan wisata. Tidak adli untuk menyalahkan dan mengalihkan tanggung jawab ini kepada negara berkembang dan komunitas masyarakat lokal. Masyarakat di luar kawasan juga harus diikutsertakan untuk memikirkan hal itu. Banyak pihak yang mengatakan bahwa masyarakat lokal yang sekat sumber daya alam merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi pemiskinan sumberdaya alam dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, strategi yang dirancang dalam konservasi antara lain adalah pemberdayaan masyarakat lokal. Universitas Sumatera Utara

2.6 Parameter Ekowisata