lingkungannya udara, sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair.
7-8 = proses berlangsung di antara kondensor ke katup expansi, dimana tekanan dan temperature sudah menurun.
8-9 = Proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini berarti tidak terjadi perubahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperature.
9-1= Proses ini berlangsung secara isobar isothermal tekanan konstan, temperatur konstan di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh
cairan refrigeran yang bertekanan rendah sehingga refrigeran berubah fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigeran saat masuk evaporator
sebenarnya adalah campuran cair dan uap.
2.4. Perpindahan Panas Konveksi Alamiah Natural
Konveksi Alamiah natural convection,atau konveksi bebas free convection, terjadi karena fluida yang, karena proses pemanasan, berubah
densitasnya kerapatannya, dan bergerak naik. Syarat terjadinya perpindahan panas konveksi adalah terdapat aliran fluida, jika tidak ada fluida maka bukan
konveksi namanya. Perpindahan panas dan aliran fluida adalah dua hal yang berbeda. Pada bagian ini perpindahan panas yang menginisiasi aliran fluida.
Karena perbedaan temperatur, massa jenis fluida akan berbeda, dimana fluida yang suhunya lebih tinggi menjadi lebih ringan. Sebagai akibatnya, fluida akan
mengalir dengan sendirinya atau tanpa adanya gaya luar. Aliran fluida yang timbul juga akan mengakibatkan perpindahan panas
dan sebaliknya perpindahan panas akan mengakibatkan aliran fluida. Keduanya, perpindahan panas dan aliran fluida, saling mempengaruhi, inilah yang disebut
Konveksi natural. Aplikasi dari fenomena ini di bidang engineering sangat luas. Aliran udara di atmosfer dan aliran arus air di biosfer dapat dijelaskan dengan
konveksi natural, demikian juga proses pengkondisian udara Air conditioning, kondensor, pengeringan, solar collector, dll. Akhir-akhir ini topik konveksi
natural mendapat tempat yang khusus dan makin populer bagi para peneliti yang fokus pada sustainable energi. Perpindahan panas konveksi paksa adalah
Universitas Sumatera Utara
perpindahan panas dimana dimana fluidanya dipaksa mengalir, misalnya dengan menggunakan pompa atau blower. Dengan kata lain, aliran fluida tidak terjadi
dengan sendirinya, tetapi diakibatkan oleh oleh gaya luar. Pada bagian ini akan dibahas fenomena konveksi yang lain, dimana aliran fluida terjadi secara alami,
sebagai akibat perpindahan panas yang terjadi. Konveksi inilah yang disebut konveksi natural atau kadang disebut konveksi bebas dalam bahasa Inggris
disebut natural convection atau free convection. Contoh sederhana dari fenomena ini banyak dijumpai di sekitar kita.
Misalnya naiknya asap rokok secara natural. Temperatur pembakaran yang terjadi pada tembakau rokok adalah lebih kurang 1000
C, temperatur ini akan memanaskan udara disekitar ujung rokok yang terbakar. Udara panas ini akan
lebih ringan dari udara sekililingnya karena udara dengan temperatur lebih tinggi akan mempunyai kerapatan lebih rendah. Akibatnya udara akan terapung dan naik
ke atas dan meninggalkan ruang kosong. Udara yang lebih dingin disekitarnya akan mengalir, untuk mengganti udara pada daerah yang ditinggalkan oleh udara
yang naik. Maka terjadilah aliran udara secara natural. Contoh yang paling kolosal dari pemanfaatan efek konveksi natural adalah
solar chimney power plants atau sistem pembangkit cerobong matahari sebagai pembangit tenaga listrik. Sinar matahari digunakan memanaskan udara di dalam
suatu ruangan luas yang tertutup dari atas. Udara yang panas akan mengapung dan naik melalui sebuah cerobong. Semakin tinggi cerobong tersebut semakit besar
kecepatan udara naik. Naiknya udara melalui cerobong ini akan digunakan memutar turbin angin dan putaran turbin angin digunakan memutar generator
yang akhirnya akan menghasilkan listrik. Saat ini, masih sedang dibangun sistem pembangkit tenaga yang
menggunakan prinsip yang sama di Australia. Tanpa menggunakan bahan bakar, hanya sinar matahari yang tersedia secara gratis, diharapkan sistem ini
mempunyai daya output sebesar 200 MW. Sebagai perbandingan, satu unit turbin gas yang saat ini beroperasi di PLTGU Belawan mempunyai daya output 130
MW. Spesifikasi solar chimney power plant ini adalah sebagai berikut: tinggi
cerobong sekitar 900 m dengan diameter 120 m. Diameter plat datar solar
Universitas Sumatera Utara
collector yang mengakibatkan konveksi natural 5630 m, dan jumlah turbin ada sebanyak 32 unit. Di dunia ada beberapa system pembangkit yang menggunakan
prinsip yang sama yang sedang diteliti dan sedang dibangun. Didalam perpindahan panas konveksi alami akan dijelaskan persamaan
differensial, atau biasa disebut sebagai governing equations, yang mengatur pergerakan fluida pada konveksi natural.
Didalam konveksi alamiah akan dibahas perumusan gaya apung yang menyebabkan fluida mengalir secara natural. Gaya ini biasa disebut gaya apung
atau bouyancy force. Sebenarnya gaya ini berasal dari gaya gravitas, tetapi dengan menggunakan pendekatan Boussnesq, gaya gravitasi ini diubah menjadi gaya
akibat perbedaan temperatur. Didalam perpindahan panas konveksi alamiah akan dijabarkan juga bilangan tanpa dimensi.
2.4.1 Gaya apung Buoyancy force Misalnya sebuah plat yang panas diletakkan pada posisi vertikal di udara
terbuka yang awalnya diam. Setelah beberapa saat akan terlihat aliran udara di sekitar plat vertikal tersebut. Aliran udara di sekitar plat tersebut akan berada di
dalam lapisan batas, yang biasa disebut boundary layer. Di luar lapisan batas ini fluida akan dianggap diam karena bergerak dengan kecepatan relatif kecil, seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.6 Perbedaan temperatur fluida di dalam dan di luar lapisan batas akan menyebabkan perbedaan rapat massa fluida. Oleh karena itu
gaya gravitasi pada tiap-tiap partikel fluida akan berbeda. Asumsi yang umum digunakan untuk dapat menurunkan persamaan pembentuk
aliran pada udara di sekitar plat vertikal ini adalah: aliran 2D, incompressibel, sifat fisik konstan. Untuk memunculkan efek dari perbedaan kerapatan sebagai
gaya pendorong aliran fluida, maka pada persamaan momentum arah vertikal, gaya gravitasi harus diperhitungkan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Konveksi natural plat vertikal yang panasHimsar AMBARITA 2011 Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, maka persamaan
pembentuk aliran menjadi: Kontinuitas:
5 Momentum arah-x:
6 Momentum arah-y
7
Energi
8
Persamaan-persamaan ini, masih dapat disederhanakan lagi dengan menggunakan asumsi-asumsi tambahan. Asumsi tambahan yang digunakan antara
lain: distribusi tekanan searah sumbu-x dapat dianggap konstan, sehingga . Selanjutnya turunan tekanan searah sumbu-y dapat dianggap sama
dengan turunan tekanan hidrostatis fluida diam diluar lapisan batas. Atau dalam bentuk persamaan menjadi:
9 Dengan menggunakan defenisi tekanan hidrostatis
,dimana adalah massa jenis fluida yang diam diluar lapisan batas. Sebagai catatan fluida
Universitas Sumatera Utara
yang ada di luar lapisan batas, biasa disebut fluida referensi. Hasil differensiasi persamaan 9 adalah:
g dy
dp
r h
ρ −
=
10 Jika persamaan 10 dan 9 disubstitusi ke persamaan 7, maka akan di dapat:
g y
v x
v y
v v
x v
u
r
ρ ρ
µ ρ
ρ −
+
∂
∂ +
∂ ∂
= ∂
∂ +
∂ ∂
2 2
2 2
11 Perbedaan massa jenis pada persamaan 11 biasa dikenal sebagai
perbedaan massa jenis semu, pseudo-density difference. Pendekatan Boussinesq dapat digunakan untuk mengubah perubahan rapat massa ini menjadi perbedaan
temperatur. Dengan menganggap udara bertindak sebagai gas ideal, maka massa jenis udara dapat dinyatakan dengan persamaan:
[ ]
1
r r
T T
− −
=
β ρ
ρ
12 Dimana
r
T 1
=
β
adalah koefisien ekspansi volume gas.
r
T
adalah temperatur fluida pada suhu referensi, yaitu suhu diluar lapisan batas. Jika
persamaan ini disubstitusi ke persamaan 11, dan massa jenis dapat dianggap konstan, maka persamaan menjadi:
r
T T
g y
v x
v y
v v
x v
u −
+
∂
∂ +
∂ ∂
= ∂
∂ +
∂ ∂
β ρ
µ
2 2
2 2
13 Persamaan 13 ini untuk selanjutnya akan digunakan sebagai pengganti
persamaan 7. Sebagai catatan ada dua perbedaan utama antara persamaan 13 dan persamaan 7. Pertama, rapat massa dapat dianggap konstan tidak perlu
dihitung lagi. Kedua, gaya yang bekerja pada partikel udara, sekarang sudah bukan lagi fungsi rapat massa tetapi telah berubah menjadi fungsi temperatur.
Dengan kata lain, seandainya distribusi temperatur diketahui, maka distribusi kecepatan akan dapat dihitung. Model inilah, persamaan 13, yang telah diikuti
selama puluhan tahun untuk menyelesaikan permasalah konveksi natural. Dan model ini juga yang akan digunakan buku ini untuk menjelaskan timbulnya gaya
apung yang menyebabkan fluida bergerak sendiri.
Pada persamaan 13 khususnya bagian paling kanan dari persamaan itu. Jika temperatur plat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka temperatur fluida di
sekitar plat vertikal akan lebih besar dari temperatur fluida referensi, atau
r
T T
.
Universitas Sumatera Utara
Maka suku yang paling kanan akan berharga positif, artinya gaya yang timbul mengarah ke atas. Inilah yang menjelaskan kenapa partikel fluida akan naik dan
sesuai dengan yang ditampilkan di Gambar 2.5. Sekarang jika yang terjadi sebaliknya, temperatur plat lebih dingin dari fluida di sekitarnya. Maka temperatur
fluida di dekat plat vertikal akan lebih kecil dari temperatur fluida referensi, atau . Maka suku paling kanan dari persamaan 13 akan negatif atau gaya yang
timbul mengarah ke bawah. Jika ini yang terjadi, maka aliran fluidanya akan seperti Gambar 2.6 harus mengarah ke bawah. Pada prinsipnya kedua masalah ini
adalah sama, yang membedakannya hanya arah gaya apungnya.
Gambar 2.7 Konveksi natural plat vertikal yang dingnHimsar AMBARITA 2011 Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, parameter yang selalu dihitung
hanya ada satu yaitu bilangan Nu yang menyatakan koefisien perpindahan panas. Karena fluida mengalir sendiri maka koefisien gesekan atau faktor gesekan tidak
perlu dihitung. Bedakan pada konveksi paksa permasalahan selalu ada dua, yaitu Nu dan CR
f
R atau f. Pada konveksi natural ini hanya satu yaitu Nu.
2.4.2 Bilangan tanpa dimensi Pada kasus-kasus konveksi paksa persamaan empirik yang digunakan
untuk mencari bilangan Nusselt dinyatakan dengan bilangan tanpa dimensi yaitu bilangan Reynolds. Sementara pada konveksi natural akan digunakan bilangan
tanpa dimensi yang lain. Untuk mengetahui bilangan tanpa dimensi yang akan digunakan, maka persamaan pembentuk aliran harus diubah ke dalam bentuk
tanpa dimensi. Parameter-parameter tanpa dimensi yang digunakan adalah:
Universitas Sumatera Utara
L x
X =
,
L y
Y =
,
V u
U =
,
V v
V =
dan
r s
r
T T
T T
− −
= θ
14 Pada persamaan 14 huruf besar menyatakan bilangan tanpa dimensi. L adalah
panjang plat vertikal dan
V
adalah kecepatan rata-rata fluida. Jika persaman 14 didifferensialkan, akan didapat:
x L
X ∂
= ∂
1
,
y L
Y ∂
= ∂
1
,
u V
U ∂
= ∂
1
,
v V
V ∂
= ∂
1
, dan
T T
T
r s
∂ −
= ∂
1 θ
15 Substitusi persamaan 15 ke dalam persamaan 13 dan dilakukan sedikit
manipulasi akan didapat persamaan:
∂ ∂
+ ∂
∂
+
×
−
= ∂
∂ +
∂ ∂
2 2
2 2
2 2
2 2
2 3
2
X V
Y V
L V
L V
L Tr
Ts g
Y V
V X
V U
ρ µ
θ ρ
µ µ
β ρ
16
Bagian yang di dalam kurung kurawal adalah bilangan-bilangan tanpa dimensi. Dengan mengelompokkan semua bilangan tanpa dimensi menjadi satu group,
maka persamaan 16 dapat ditulis menjadi:
∂ ∂
+ ∂
∂ +
= ∂
∂ +
∂ ∂
2 2
2 2
2
Re 1
Re X
V Y
V Gr
Y V
V X
V U
L
θ
17 Dimana
L
Gr
adalah Bilangan Grashof yang dirumuskan dengan:
2 3
2
µ β
ρ
L T
T g
Gr
r s
L
− =
18 Dan bilangan Reynolds, sama dengan defenisi pada konveksi paksa, yaitu:
µ ρ
L V
= Re
19 Sebagai catatan, bilangan tanpa dimensi yang lebih sering digunakan
untuk menuliskan rumus empirik pada kasus-kasus konveksi natural adalah bilangan Rayleigh biasa disebut sebagai Rayleigh number yang didefenisikan
sebagai:
να β
3
L T
T g
Ra
r s
L
− =
20 Dimana
ρ µ
ν =
adalah viskositas kinematik, dan
p
c k
ρ α =
adalah difusivitas termal. Hubungan antara bilangan Rayleigh dan bilangan Grashof didapat dengan
membandingkan persamaan 18 dan persamaan 20.
Pr
L L
Gr Ra
=
21
Universitas Sumatera Utara
Dengan cara yang sama, persamaan energi pada persamaan 8, dapat diubah dengan menggunakan parameter-parameter tanpa dimensi pada persamaan
14 dan turunannya pada persamaan 15. Persamaan energi pada persamaan 8, dalam bentuk tanpa dimensi menjadi:
∂ ∂
+ ∂
∂ =
∂ ∂
+ ∂
∂
2 2
2 2
Pr Re
1 Y
X Y
V X
U θ
θ θ
θ
22 2.4.3.
Penyelesaian Analitik Konveksi Natural Seperti yang telah dijelaskan, tujuannya sekarang adalah mencari koefisien
perpindahan panas konveksi. Persamaan ini dapat dihitung dengan menyelesaikan dulu persamaan pembentuk aliran untuk mendapatkan distribusi temperatur.
Dengan distribusi temperatur yang diketahui akan dapat dicari koefisien konveksi natural. Dengan kata lain, untuk mendapatkan persamaan koefisien perpindahan
panas pada lapisan batas, maka persamaan differensial pembentuk aliran harus diselesaikan, yaitu persamaan 8 dan persamaan 13. Menyelesaikan persamaan
ini secara teori ada dua metode yang bisa dilakukan yaitu cara analitik dan cara numerik. Pada bagian ini akan dibahas cara analitik. Meskipun konveksi alamiah
bisa terjadi pada berbagai bentuk permukaan, tetapi yang akan dibahas secara analitik adalah hanya pada plat vertikal. Telah disebutkan pada bagian
sebelumnya bahwa ada dua kemungkian kasus konveksi natural pada plat vertikal. Pertama temperatur permukaan plat lebih tinggi daripada fluida disekitarnya dan
kedua temperatur permukaan plat lebih rendah dari fluida di sekitarnya. Kedua kasus ini adalah sama dan hanya arahnya yang berbeda. Oleh karena itu
penyelesaian analilitik hanya akan fokus pada satu kasus yang pertama seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.5
Kasus yang dianalisis di sini adalah sebuah plat vertikal yang panjangnya L dan temperatur permukaannya
s
T
berada pada fluida diam yang mempunyai temperatur
∞
T
. Tetapi untuk memmudahkan pembahasan temperatur fluida ini akan disebut temperatur referensi,
r
T
. Yang harus dicari pada kasus ini adalah profil kecepatan, profil temperatur, tebal lapisan batas, dan koefisien konveksi
pada permukaan plat vertikal. Pada lapisan batas, setelah mengalami penyederhanaan persamaan yang akan diselesaikan akan dituliskan kembali.
Universitas Sumatera Utara
= ∂
∂ +
∂ ∂
y v
x u
23
r
T T
g x
v y
v v
x v
u −
+ ∂
∂ =
∂ ∂
+ ∂
∂ β
ρ µ
2 2
24
2 2
x T
c k
y T
v x
T u
p
∂ ∂
= ∂
∂ +
∂ ∂
ρ
25 Persamaan 24 dan persaman 25 masing-masing diperoleh dari persamaan 13
dan persamaan 8. Penyederhanaan ini didapat dengan menggunakan fakta bahwa di dalam lapisan batas
2 2
2 2
≈ ∂
∂ =
∂ ∂
y T
y v
. Kondisi batas untuk ketiga persamaan ini adalah:
= x
,
= = v
u
, dan
s
T T
=
26
δ =
x
,
= v
,
= ∂
∂ x
v
, dan
r
T T
=
,
= ∂
∂ x
T
27 Dan sebagai kondisi batas tambahan dari persaman 26 jika dimasukkan ke
persamaan 24, akan diperoleh:
µ β
ρ
2 2
r s
y
T T
g x
v −
− =
∂ ∂
=
28 Setelah mereview beberapa text book heat transfer, ada dua jenis
penyelesaian yang umum digunakan untuk menyelesaikan persamaan yang ditampilkan di atas beserta dengan kondisi batasnya. Pertama menggunakan
metode similaritas seperti yang digunakan oleh Ostrach 1953 dan kedua menggunakan metode integral yang diajukan secara terpisah oleh Squire dan
Goldstein, selanjutnya akan disatukan dan disebut persamaan Squire-Goldstein. Pembahasan masing-masing dipublikasikan oleh Eckert dan Drake 1987 dan
Goldstein 1930. Penyelesaian dengan menggunakan metode similaritas dapat dilihat pada
buku Incropera 2006. Pada buku ini, penyelesaian analitik untuk konveksi natural di sekitar plat vertikal yang akan digunakan adalah formulasi Eckert-
Goldstein. Tetapi, langka-langkah penyelesaiannya tidak akan ditampilkan seluruhnya, bagi yang ingin lebih mendalami cara penyelesaiannya pembaca bisa
membacanya pada buku yang ditulis oleh Lienhart 2003.
Universitas Sumatera Utara
Hasil pengintegralan dari persamaan energi, persamaan 25, adalah profil temperatur yang merupakan fungsi jarak horizontal dari permukaan x diusulkan
berbentuk parabola dengan persaman:
2
+
+
= −
−
δ δ
x c
x b
a T
T T
T
r s
r
29 Dengan syarat batas untuk temperatur dari persamaan 26 dan persamaan
27, koefisien a, b, dan c dapat dihitung. Jika diselesaikan akan didapat nilai masing-masing a=1, b=-2, dan c=1. Substitusi nilai-nilai ini ke persamaan 29
akan menghasilkan persamaan profil temperatur di dalam lapisan batas.
2
1
− ×
− +
=
δ
x T
T T
T
r s
r
30 Persamaan ini membuktikan bahwa temperatur suatu titik di lapisan batas
tergantung pada posisi titik itu dari permukaan dan tebal lapisan batasnya
δ
. Meskipun belum diturunkan rumus untuk tebal lapisan batas ini tetapi,
berdasarkan visualisasi pada Gambar 2.5 tebal lapisan batas ini merupakan fungsi y.
Berikutnya adalah untuk profil kecepatan. Untuk membuat profil kecepatan tanpa dimensi, di sini diusulkan suatu kecepatan karakteristik yang
merupakan fungsi jarak vertikal
y c
V
. Pada posisi y yang sama, kecepatan ini adalah konstan sepanjang x. Persamaan kecepatan karakterstik ini akan
dirumuskan kemudian. Hasil pengintegralan persamaan 25 disusulkan profil kecepatan tanpa dimensi berupa persamaan jarak pangkat tiga, atau dituliskan:
3 2
+
+
= δ
δ δ
y d
y c
y V
v
y c
31 Koefisien c dan d didapat dengan menggunakan syarat batas pada persamaan 26
dan persamaan 27, dan hasilnya c = -2 dan d=1. Dengan menggunakan angka ini profil kecepatan di dalam lapisan batas adalah:
2
1
− ×
=
δ δ
x x
V v
y c
32 Sekarang dengan menggunakan profil kecepatan dan profil temperatur yang sudah
dihitung ini kecepatan karakteristik dapat dihitung dan dan tebal lapisan batas dapat dihitung. Caranya substitusi persamaan 30 dan persamaan 32 ke dalam
persamaan 25 dan integralkan. Caranya memang sangat panjang dan berliku,
Universitas Sumatera Utara
bagi yang serius silahkan merujuk pada Lienhart 2003. Pada bagian ini hanya hasilnya yang akan ditampilkan. Persamaan mencarai kecepatan karakteristiknya
adalah:
2
Pr 21
20 3
Pr
δ µ
ρβ
r s
c
T T
g y
V −
× +
=
33 Dan tebal lapisan batas
25 ,
25 ,
2
Pr Pr
952 ,
936 ,
3
−
×
+
=
y
Gr y
δ
34 Koefisien perpindahan panas konveksi akan dirumuskan dengan defenisi yang
telah dijelaskan diatas dan persamannya adalah:
r s
x
T T
x T
k h
− ∂
∂ −
=
=0
35 Dengan menggunakan persaman distribusi temperatur pada persamaan 30 akan
diperoleh persaman koefisien konveksi lokal:
δ
k h
y
2 =
36 Dan akhirnya bilangan Nusselt lokal sebagai fungsi jarak y dari sisi masuk adalah:
25 ,
25 ,
Pr 952
, Pr
508 ,
Nu
+
=
y y
Ra
37 Bilangan Nusselt rata-rata didapat dengan mengintegralkan persamaan 37
sepanjang L dan hasilnya:
25 ,
25 ,
Pr 952
, Pr
678 ,
Nu
+
=
L
Ra
38 Persamaan-persamaan ini digunakan dengan sifat fisik dievaluasi pada temperatur
film
2 1
r s
f
T T
T +
=
, kecuali
β
harus dievaluasi pada temperatur referensi
r
T
. 2.4.4
Persamaan Empirik Konveksi Natural permukaan Luar Persamaan mencari bilangan Nu yang diturunkan secara analitik dan
menghasilkan persamaan 38 didapat dengan asumsi bahwa aliran adalah laminar. Validasi yang dilakukan dengan cara eksperimen membuktikan adanya
penyimpangan dari persaman tersebut dengan hasil eksperimen. Hal ini, salah satunya diakibatkan adanya efek turbulensi. Penentuan kondisi aliran pada kasus
konveksi natural adalah menggunakan bilangan Ra yang telah didefenisikan pada persamaan 20. Pada penyelesaian analitik yang telah telah ditampilkan di atas,
Universitas Sumatera Utara
karena diturunkan dengan asumsi untuk aliran laminar maka hanya pada bilangan Ra yang rendah sebaiknya persamaan itu dipakai. Sementara untuk bilangan Ra
yang lebih besar persamaan tersebut tidak disarankan. Meskipun demikian, bentuk dasar persamaan tersebut memberikan informasi bahwa bilangan Nu dari suatu
masalah konveksi natural dapat dirumuskan sebagai berikut:
m L
CRa =
Nu
39 Dimana C dan m adalah konstanta yang tergantung pada permukaan, jenis fluida
dan besar bilangan Rayleigh. Permasalahannya sekarang adalah mencari konstanta C dan m yang sesuai untuk
suatu kasus konveksi natural. Kedua konstanta ini dihitung dengan menggunakan data-data eksperimen. Dengan menggunakan data-data eksperimen yang baik
maka seorang peneliti dapat mengajukan konstanta yang sesuai, cara inilah yang dikenal dengan cara membangun persamaan empirik. Beberapa peneliti telah
mengajukan persamaan untuk beberapa kasus yang akan ditampilkan pada bagian berikut. Persamaan akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan kondisi
permukaan apakah untuk temperatur konstan atau untuk flux konstan. 2.4.5 Bidang vertikal
Arah aliran fluida akibat konveksi natural pada bidang vertikal mempunyai dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida
sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif
persamaan mencari nilai bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang berbeda. Kedua kemungkinan ini sudah ditampilkan pada Gambar 2.6 dan
Gambar 2.7
a. Untuk bidang vertikal dengan
s
T
konstan Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang
bidang L dan dinyatakan dengan
L
Ra
. Untuk kasus ini ada beberala alternatif yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat dijumpai pada
McAdams 1954, Warner dan Arpaci 1968, dan Bayley 1955, yaitu:
25 ,
59 ,
Nu
L
Ra =
untuk
9 4
10 10
≤ ≤
L
Ra
40
3 1
1 ,
Nu
L
Ra =
untuk
13 9
10 10
≤
L
Ra
41
Universitas Sumatera Utara
Kedua persamaan benar-benar sangat mirip dengan persamaan 39. Keunggulan dari persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana sehingga mudah
untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti. Untuk meningkatkan ketelitiannya persamaan yang direkomendasikan Churchill dan Chu 1975 dapat
digunakan.
2 27
8 16
9 6
1
] Pr
492 ,
1 [
387 ,
825 ,
Nu
+
+ =
L
Ra
42 Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaR
L
R. Dan jika ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah
9
10 ≤
L
Ra
, Churchill dan Chu 1975 menyarankan persamaan berikut:
9 4
16 9
4 1
] Pr
492 ,
1 [
67 ,
68 ,
Nu +
+ =
L
Ra
43 Meskipun kedua persamaan ini mempunyai bentuk yang sangat berbeda
dengan hasil analitik pada persamaan 38, tetapi pada kasus tertentu dapat memberikan hasil yang sama. Telah disebutkan bahwa penyelesaiaan analitik
didapatkan dengan asumsi bahwa aliran yang terjadi adalah laminar dimana bilangan RaR
L
R kecil. Jika bilangan ini kecil, bagian kanan dari persamaan 42 dan persamaan 43 akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu untuk
kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,825P
2
P
≈
0,68. Demikian juga hasil analitik pada persamaan 38 akan mendekati 0,678. Kesimpulannya memberikan
angka yang sama. Tetapi sebaliknya jika bilangan RaR
L
R besar masing-masing persamaan ini akan menyimpang dan disarankan menggunakan yang sesuai
rekomendasi.
b. Bidang vertikal dengan flux
q ′′
konstan Plat vertikal yang dipanasi dengan flux panas
q ′′
[WmP
2
P] sangat cocok memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat
seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur tidak diketahui, maka temperatur yang digunakan pada persamaan adalah temperatur
rata-rata, dan dirumuskan dengan persamaan:
h q
T T
r s
′′ =
−
44
Universitas Sumatera Utara
Dengan menggunakan persaman ini bilangan RaR
L
R dapat dihitung. Kemudian, bilangan Nu dapat dihitung dengan menggunakan persaman yang
diajukan oleh Churchill dan Chu 1975.
2 27
8 16
9 6
1
] Pr
437 ,
1 [
387 ,
825 ,
Nu
+
+ =
L
Ra
45 Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak
sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan 44 untuk menghitung beda temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h. Sementara ini masih
harus dihitung pada persamaan 45. Oleh karena itu masalah ini harus diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h, kemudian
dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda temperatur ini akan digunakan menghitung RaR
L
R, dan akhirnya Nu dapat dihitung. Nilai h hasil tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai Nu yang baru didapat. Jika
tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima, maka perhitungan bisa dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus diulang lagi sampai hasilnya
sama atau perbedaannya dapat diterima.
2.4.6 Bidang miring Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan
90P
o
P. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut kemiringannya kurang dari 90P
o
P. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi natural, maka semua persamaan pada bidang vertikal dengan satu catatan
kemiringannya harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas dimiringkan dengan sudut kemiringan
90
θ
terhadap vertikal ditampilkan pada Gambar 2.8 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Konveksi natural pada bidang miring Himsar AMBARITA 2011
Pada gambar dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut kemiringan terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi
yang sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap sebagai plat vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi
. Maka untuk bidang miring semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan
dan konstan dapat digunakan. Tetapi gravitasi harus diganti menjadi
saat menghitung bilangan Ra.
46 Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat
vertikal, persamaan 40 sampai dengan persamaan 45 dapat digunakan. Kita tinggal memilih persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas.
2.4.7 Bidang Horizontal Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi
natural pada bidang vertikal dan bidang miring, bukan berarti pada bidang horizontal tidak terjadi konveksi natural. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah
bagaimana mendefenisikan panjang perpindahan panas. Hal ini perlu dijelaskan karena percepatan gravitasi adalah tegak lurus terhadap bidang horizontal. Pada
kasus konveksi natural pada bidang horizontal panjang yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
menghitung bilangan RaR
L
R adalah panjang karakteristik yang didefenisikan dengan persamaan:
47 Dimana
menyatakan luas bidang horizontal dan adalah kelilingya.
Dengan menggunakan panjang karakteristik ini bilngan RaR
L
R dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 20. Pola konveksi natural pada permukaan
horizontal dapat dibagi dua. Masing-masing dijelaskan pada bagian berikut. a.
Permukaan atas yang panas atau permukan bawah yang dingin. Pola ini ditunjukkan pada Gambar 2.8 Pada bagian kiri gambar tersebut
bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan karena
lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kiri digambarkan sebaliknya bidang horizontal yang dingin berada pada fluida yang lebih panas. Fluida yang
bersentuhan dengan bidang akan lebih dingin. Karena lebih dingin akan menjadi lebih berat dan akan mengalir turun.
Gambar 2.9 Konveksi natural pada bidang horizontal type a Himsar AMBARITA 2011
Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya arah alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu dapat digunakan
persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran 1974: Untuk
: 48
Untuk 49
Universitas Sumatera Utara
b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas
Pola ditunjukkan pada Gambar 2.9 Pada bagian kiri gambar ditunjukkan bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan mengalir
ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka fluida dibawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan arah yang
berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut.
Gambar 2.10 Konveksi natural pada bidang horizontal type b Himsar AMBARITA 2011
Persamaan menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan persamaan yang dituliskan pada buku Incropera 2006.
50 Persamaan ini berlaku untuk
. 2.4.8 Konveksi natural pada permukaan silinder
Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpai di bidang engineering adalah silider. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi
horizontal seperti heat exchanger jenis shell and tube. Pada bagian akan ditampilkan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural
dari bidang silinder.
Universitas Sumatera Utara
a. Silinder vertical
D
L T
s
T
r
Gambar 2.11 Konveksi natural pada silinder vertikal Himsar AMBARITA 2011 Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan
s
T
ditampilkan pada Gambar 2.10 Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L berada pada
fluida fluida yang mempuyai temperatur
r
T
. Jika temperature permukaan silinder lebih panas daripada fluida. Maka fluida di sekitar silinder akan mengalir naik.
Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih lebih dingin daripada fluida, maka fluida di sekitar silinder akan turun. Kedua kasus ini akan memberikan bialngan
Nu yang sama. Jika diameter silinder cukup besar maka, dapat dianggap sama dengan
bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk bidang vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang dikategorikan besar
adalah:
25 ,
35
L
Gr L
D ≥
51 Persamaan 40 sampai dengan persamaan 45 dapat digunakan asal semua syarat
memenuhi.Tetapi jika persamaan 40 tidak dipenuhi lagi, silinder vertikal akan dikategorikan tipis dan persamaan menghitung bilangan Nu nya akan khusu. Le
Fevre dan Ede 1956 merekomendasikan persamaan berikut:
D L
Ra
L
Pr 63
64 35
Pr 315
272 4
Pr 21
20 5
Pr 7
3 4
Nu
25 ,
+ +
+
+
=
52 Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali
β
saat menghitung RaR
L
R menggunakan temperatur fluida.
Universitas Sumatera Utara
b. Silinder Horizontal Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai termperatur lebih panas
daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada Gambar 2.12.
D L
T
s
T
r
Gambar 2.12 Konveksi natural pada silinder Horizontal Himsar Ambarita 2011 Untuk kasus ini, jika bilangan
12
10 ≤
D
Ra
, persamaan berikut dapat digunakan, Churchill dan Chu 1975:
2 27
8 16
9 6
1
] Pr
559 ,
1 [
387 ,
6 ,
Nu
+
+ =
D
Ra
53 2.4.9 Konveksi natural pada Bola
Bentuk permukaan terakhir yang akan ditampilkan adalah konveksi natural pada permukaan bola. Jika permukaan bola lebih panas daripada fluida di sekitarnya,
maka fluida yang berada di dekat permukaan bola akan naik. Pada permukaan akan terjadi perpindahan panas konveksi natural seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.13 dibawah.
Gambar 2.13 Konveksi natural pada bola Himsar AMBARITA 2011 Jika permukaan yang mengalami konveksi natural berbentuk bola dengan diamter
D maka persamaan berikut, Churchill 1983, dapat digunakan:
Universitas Sumatera Utara
9 4
16 9
25 ,
] Pr
469 ,
1 [
589 ,
2 Nu
+ +
=
D
Ra
54 Syarat menggunakan persamaan ini adalah
11
10 ≤
D
Ra
dan
7 ,
Pr ≥
. Sebagai catatan, semua persamaan yang ditampilkan pada bagian ini
menggunakan sifat-sifat fisik fluida yang dievaluasi pada temperatur film,
2
r s
f
T T
T +
=
, kecuali untuk gas nilai koefisien ekspansi dihitung pada temperatur fluidu referensi
r
T 1
= β
. Pada water heater pemanasannya berlangsung secara konveksi natural
dari koil ke air.Pada water heater ini bentuk koilnya terdiri dari gabungan beberapa elbow, pipa vertikal, dan pipa horizontal. Sementara untuk persamaan-
persamaan perpindahan panas konveksi natural dari koil berbentuk elbow, pipa vertikal, dan pipa horizontal tidak ada tersedia pada literatur. Oleh karena itu,
maka diperlukan penyelesaian lanjutan simulasi dengan menggunakan perangkat lunak software CFD.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat yaitu di laboratorium Teknik pendingin Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera
Utara, PT Seltech Utama Medan, Hotel Sapadia Pematangsiantar,dan Hotel Danau Toba Medan,dimulai pada bulan Mei sampai Oktober 2011.
3.2 Alat dan Bahan yang digunakan
Penelitian ini akan menggunakan bahan-bahan untuk pengukuran dan beberapa alat seperti alat produksi dan alat ukur.
3.2.1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam dalam pengujian ini adalah : 1.
Mesin las Mesin las digunakan untuk menyambung besi siku.
Gambar 3.1 Mesin las listrik
Universitas Sumatera Utara