TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA

3.4 Gasifikasi Batubara

Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah batubara dari bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah batubara menjadi gas, maka material yang tidak diinginkan yang terkandung di dalam batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat dihilangkan dari gas dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber energi.

Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar dibakar, energi kimia akan dilepaskan dalam bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen yang terkandung dalam udara bereaksi dengan karbon dan hidrogen yang terkandung dalam batubara dan

menghasilkan CO 2 dan air serta energi panas. Dalam kondisi normal, dengan pasokan udara yang tepat akan mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas.

Namun kemudian, jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan energi kimia dari batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk dari proses pembakaran yang tidak sempurna ini (sebut saja pembakaran “setengah matang”). Senyawa gas yang terbentuk ini terdiri atas

H 2 , CO, dan CH 4 (methana), yang masih memiliki potensi energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi energi ini akan lebih mudah dialirkan dan digunakan untuk sumber energi pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam boiler, mesin diesel, gas turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya (menggantikan bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas alam, maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas (syntetic gas). Dengan proses lanjutan, syngas ini dapat diproses menjadi cairan. Proses ini disebut dengan coal liquefaction (pencairan batubara). Metodenya ada bermacam-macam, antara lain Fischer-Tropch, Bergius, dan Scroeder.

Untuk dapat menghasilkan gas dari batubara dengan maksimal, maka pasokan oksigen harus dikontrol sehingga

panas yang dihasilkan dari pembakaran “setengah matang” ditambah energi yang terkandung pada senyawa gas yang

terbentuk setara dengan energi dari batubara yang dipasok. Coal gasification adalah sebuah proses untuk mengubah batu bara padat menjadi gas batu bara yang mudah terbakar (combustible gases), setelah proses pemurnian gas-gas ini

(CO), karbon dioksida (CO 2 ), hidrogen (H), metan (CH 4 ), dan nitrogen (N 2 ) – dapat digunakan sebagai bahan bakar. hanya menggunakan udara dan uap air sebagai reacting-gas kemudian menghasilkan water gas atau coal gas, gasifikasi secara nyata mempunyai tingkat emisi udara, kotoran padat dan limbah terendah.

karbon

monoksida

Tetapi, batu bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat di dalamnya adalah sulfur dan nitrogen, bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk asam sulfurik dan nitrit, disebut sebagai "hujan asam" “acid rain”. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batu bara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di Tetapi, batu bara bukanlah bahan bakar yang sempurna. Terikat di dalamnya adalah sulfur dan nitrogen, bila batu bara ini terbakar kotoran-kotoran ini akan dilepaskan ke udara, bila mengapung di udara zat kimia ini dapat menggabung dengan uap air (seperti contoh kabut) dan tetesan yang jatuh ke tanah seburuk bentuk asam sulfurik dan nitrit, disebut sebagai "hujan asam" “acid rain”. Disini juga ada noda mineral kecil, termasuk kotoran yang umum tercampur dengan batu bara, partikel kecil ini tidak terbakar dan membuat debu yang tertinggal di coal combustor, beberapa partikel kecil ini juga tertangkap di

Namun saat ini telah dikenal Teknologi baru dalam proses coal gasification, yang dikenal dengan teknologi Underground Coal Gasification (UCG), mengkonversikan batubara menjadi gas bakar pada ruang bawah tanah, tidak pada gasifier atau reaktor pada permukaan tanah. Pada tahun-tahun awal, UCG dikenal dengan reputasi “ugly duckling” di USA karena menghasilkan gas yang kualitas nilai kalornya rendah dengan gas hidrogen yang terlalu banyak. Namun, sekarang bahan bakar hidrogen telah menjadi salah satu energi alternatif, dan orang telah menemukan kembali potensi dari teknologi UCG.

Dari kegiatan gasifikasi batubara bawah permukaan (UCG) ini diharapkan dapat :

1. Mengoptimalkan penggunaan batubara nasional yang ramah lingkungan

2. Mendapatkan energi baru yang bersih

3. Menambahkan pasokan energi sehingga ketahanan energi nasional terjamin

4. Untuk itu perlu menjajaki kerjasama dengan pihak lain, baik perusahan yang menangani Batubara maupun Energi

Teknologi UCG tentunya akan dibandingkan dengan metode gasifikasi pada umumnya, yaitu dengan gasifier pada permukaan. Jika dibandingkan dengan metode gasifikasi pada umumnya, teknologi UCG tidak memberikan dampak pada lingkungan seburuk metode umumnya. Selain itu UCG tidak meninggalkan tanah yang terpolusi, yang tentunya akan membutuhkan harga yang mahal untuk membersihkannya. Creedy (2001) dan Hattingh (2008) memaparkan beberapa keunggulan UCG:

1. Potensial bagi teknologi gasifikasi yang lebih bersih

2. Mengurangi dampak debu, polusi suara, dan dampak visual pada permukaan tanah

3. Konsumsi air yang lebih sedikit

4. Resiko dari polusi air permukaan lebih kecil

5. Mengurangi emisi metana

6. Tidak ada penanganan yang kotor dan tidak ada pembuangan pada daerah tambang.

7. Tidak ada pencucian batubara

8. Tidak ada penanganan abu (ash)

9. Tidak perlu terdapat stok batubara dan transportasi batubara

10. Daerah pekerjaan yang lebih kecil pada stasiun pembangkit listrik

11. Faktor kesehatan dan keselamatan lebih baik

12. Berpotensi mengurangi biaya kapital dan biaya operasi secara keseluruhan (lebih ekonomis khususnya untuk skala yang lebih kecil)

13. Tingkat fleksibilitas untuk mengakses mineral tinggi

14. Sumber daya batubara yang dapat dimanfaatkan lebih besar

Namun Hattingh (2008) juga memaparkan beberapa kelemahan teknologi UCG, yaitu:

1. Berpotensi untuk terjadinya kontaminasi

2. Memiliki banyak variasi tekanan operasi dalam rongga reaktor bawah tanah

3.5 Briket Batubara

Briket batubara adalah bahan bakar padat yang terbuat dari batubara dengan sedikit campuran seperti tanah liat dan tapioka.

Bahan bakar padat ini merupakan bahan bakar alternatif atau merupakan pengganti minyak tanah yang paling murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara massal dalam waktu yang relatif singkat mengingat teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana.

Sejarah Perkembangan Briket Batubara

Teknologi pembuatan briket tidaklah terlalu rumit dan dapat dikembangkan oleh masyarakat maupun pihak swasta dalam waktu singkat. Sebetulnya di Indonesia telah mengembangkan briket batubara sejak tahun 1994 namun tidak dapat berkembang dengan baik mengingat minyak tanah masih disubsidi sehingga harganya masih sangat murah, sehingga masyarakat lebih memilih minyak tanah untuk bahan bakar sehari-hari. Namun dengan kenaikan harga BBM per 1 oktober 2005, mau tidak mau masyarakat harus berpaling pada bahan bakar alternatif yang lebih murah seperti briket batubara.

Jenis Briket Batubara

 Jenis non karbonisasi (biasa) Jenis yang ini tidak mengalami karbonisasi sebelum diproses

menjadi briket dan harganyapun lebih murah. Karena zat terbangnya masih terkandung dalam briket batubara maka apada penggunaannya lebih baik menggunakan tungku (bukan kompor) sehingga akan menghasilkan pembakaran yang sempurna dimana seluruh zat terbang yang muncul dari briket akan habis terbakar oleh lidah api dipermukaan tungku. Briket ini umumnya digunakan untuk industri kecil.

Proses pembuatan briket batubara (jenis biasa)

Batubara

Pengerusan dan

Pengayakan

Perekat

Pengemasan Pencampuran Penyimpanan

Pemasaran

Pencetakan

Uji Kualitas

Pengeringan

Jenis berkarbonisasi (super)  Jenis ini mengalami terlebih dahulu proses dikarbonisasi

sebelum menjadi briket. Dengan proses karbonisasi zat-zat terbang yang terkandung dalam briket batubara tersebut diturunkan serendah mungkin sehingga produk akhirnya tidak berbau dan berasap, namun biaya produksi menjadi meningkat

 Briket ini cocok untuk keperluan rumah tangga serta lebih aman dalam penggunaannya

Pengembangan teknologi produksi briket biobatubara

Pembuatan briket biobatubara yang selama ini dikerjakan masih belum efektif dan efisien bila ditinjau dari sisi bahan baku maupun prosesnya. Beberapa kendala dalam proses pembuatan diusahakan untuk diatasi dan komposisi bahan juga diperbaiki untuk menghasilkan briket biobatubara yang tidak bersifat toksik apabila digunakan pada industri kecil.

Bahan baku briket biobatubara berupa bagase yang diterima dari pabrik gula biasanya berukuran ± 6 cm. Sedangkan yang dikehendaki di pabrik percontohan awal. Unit pemotong bagase akan mengubah ukuran panjang bagase dari - 30mm menjadi -3mm. Kemampuan mesin pemotong bagase sebagian besar (77,5%) berukuran > 1cm. Keluaran mesin pemotong bagase cukup baik dengan distribusi ukuran -3+1 cm mencapai 72,5%. Untuk mendapat hasil yang baik bagase tersebut perlu dikeringkan lebih dahulu dibawah sinar matahari.

Untuk menghasilkan briket biobatubara yang kualitasnya baik untuk industri rumah tangga dengan 2 kuat tekanannya >

50 kg/cm dan tidak bersifat toksik apabila digunakan secara langsung diperlukan komposisi yang lebih sempurna. Dari percobaan apat disimpulkan bahwa hasil terbaik bisa dicapai dengan komposisi adonan batubara 80%, serbuk gergaji 15%, kapur 5% dan molase 6,5% dari jumlah batubara, serbuk gergaji dan kapur. Briket biobatubara yang dihasilkan tidak toksik dan dapat digunakan untuk memanggang makanan secara langsung.