PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

B. PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Apakah setelah terbitnya Undang-undang No. 6 tahun 2014 tentang Desa 12 , gerak langkah desa dan seluruh pihak yang

berkepentingan dengan gerak “maju” desa (termasuk pemerintah daerah dan pusat), akan berjalan sebagaimana lajimnya? Pada bagian menimbang UU Desa, telah dengan sangat jelas merumuskan dalih: (a) bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara berkepentingan dengan gerak “maju” desa (termasuk pemerintah daerah dan pusat), akan berjalan sebagaimana lajimnya? Pada bagian menimbang UU Desa, telah dengan sangat jelas merumuskan dalih: (a) bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera; dan (c) bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang.

Apa artinya? Kita menangkap setidaknya ada tiga hal pokok yang disorong ke depan, yakni: Pertama, tentang pengakuan terhadap keberadaan dan kedudukan desa, dengan segala keragaman, kompleksitas dan tantangannnya. Pada periode sebelum reformasi, untuk suatu periode yang panjang, di bawah UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, berlangsung suatu penyeragaman. Pada bagian menimbang UU No.5 tahun 1979 menyatakan: bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan pemerintahan Desasejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adatistiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkanmasyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yangmakin meluas dan efektif.

Desain tersebut, pada satu sisi menonjolkan koersi, dan pada sisi yang lain, menghilangkan kesempatan bagi desa untuk Desain tersebut, pada satu sisi menonjolkan koersi, dan pada sisi yang lain, menghilangkan kesempatan bagi desa untuk

mengoptimalkan apa yang dimilikinya. Penyeragaman membuat desa harus menjalankan apa yang sebetulnya tidak dibutuhkan, namun harus dijalankan, agar tidak dituding sebagai bentuk perlawanan. Maka tidak heran jika desa merumuskan dirinya bukan sebagai ujung tombak, melainkan sebagai ujung “tombok”.Dan kalau dilihat dalam hirarki tersebut, maka desa sesungguhnya lebih diposisikan sebagai penyedia tenaga kerja dan tentu suara ketika musim pemilu datang.

UU Desa, dapat dibaca sebagai upaya memperkuat apa yang telah berkembang di awal reformasi, melalui UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang menggantikan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU No.22 tahun 1999 secara vulgar memberikan kesaksian, sebagaimana termuat dalam bagian menimbang, huruf (d) dan (e), yang menyatakan: bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037) tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti; dan (e) bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal- usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.

makalah akademik

Pengakuan akan keragaman dieksplisitkan dalam rumusan tentang desa, yang disebut: Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal- usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Sedangkan Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan. Selanjutnya UU No. 6 tahun 2014, lebih mempertegas dengan rumusan: bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, perlindungan dan sekaligus menempatkan desa sebagai subyek. Ekspresi dari posisi ini dapat dilihat pada pasal 4, yang menguraikan bahwa pengaturan desa bertujuan untuk: (b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; (d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Kedua, perlindungan dan sekaligus menempatkan desa sebagai subyek. Ekspresi dari posisi ini dapat dilihat pada pasal 4, yang menguraikan bahwa pengaturan desa bertujuan untuk: (b) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; (c) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; (d) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan

Aset Desa guna kesejahteraan bersama; (g) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; dan (i) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Pembangunan desa tidak lagi diletakkan sekedar sebagai alas dari pembangunan nasional, namun berfokus pada desa: Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar- besarnya kesejahteraan masyarakat Desa. Terang bagi kita, bahwa tekad dan posisi baru ini, membutuhkan lebih dari sekedar kemauan, namun juga suatu langkah-langkah kongkrit sedemikian rupa sehingga dari waktu ke waktu, desa makin meningkat kesadaran dan kemampuan, dalam menggerakkan seluruh sumberdaya yang dimilikinya, demi mewujudkan makan desa sebagai subyek, yang dengan demikian akan lebih terjamin hadirnya suatu tata hidup yang dalam setiap seginya menyelamatkan desa.

Ketiga, pemberdayaan. Posisi desa sebagai obyek, atau sebagai “alas kaki” dari suatu rejim (untuk periode yang panjang), tentu saja menempatkan desa dalam posisi dan kondisi yang kurang menguntungkan. Keadaan inilah yang membuat desa tidak akan dapat dengan serta merta berubah, kendati telah terjadi perubahan kebijakan. Hendak dikatakan di sini bahwa dengan terbitnya UU Desa bukan berarti desa dengan sendirinya berubah.Kebijakan tersebut memberikan kerangka kerja legal bagi desa untuk mengubah diri.Dalam kerangka inilah dibutuhkan suatu kerja pemberdayaan. UU Desa memberikan landasan dengan menyebutkan pemberdayaan masyarakat desa sebagai Ketiga, pemberdayaan. Posisi desa sebagai obyek, atau sebagai “alas kaki” dari suatu rejim (untuk periode yang panjang), tentu saja menempatkan desa dalam posisi dan kondisi yang kurang menguntungkan. Keadaan inilah yang membuat desa tidak akan dapat dengan serta merta berubah, kendati telah terjadi perubahan kebijakan. Hendak dikatakan di sini bahwa dengan terbitnya UU Desa bukan berarti desa dengan sendirinya berubah.Kebijakan tersebut memberikan kerangka kerja legal bagi desa untuk mengubah diri.Dalam kerangka inilah dibutuhkan suatu kerja pemberdayaan. UU Desa memberikan landasan dengan menyebutkan pemberdayaan masyarakat desa sebagai

upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, pro- gram, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa. Kerja pemberdayaan dapat dikatakan punya tiga dimensi utama, yakni: (i) peningkatan kapasitas politik; (ii) peningkatan kapasitas so- cial-ekonomi; dan (iii) peningkatan pengetahuan (suatu kemampuan untuk mengerti secara persis realitas desa, dan dapat mengelola segala sumberdaya desa untuk sebesar-besar kemakmuran desa).