KONSEP RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN

KONSEP RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN

Pradnanda Berbudy, dkk

Prakarsa Desa

Konsep Rancangan Peraturan Presiden

Penyusun : Pradnanda Berbudy, dkk Tata letak : Prasetyo Desain cover : R0bby Eebor dan Sholeh Budi

Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan (Prakarsa Desa):

Gedung Permata Kuningan Lt 17 Jl. Kuningan Mulia, Kav. 9C Jakarta Selatan 12910

Jl. Tebet Utara III-H No. 17 Jakarta Selatan 10240 t/f. +6221 8378 9729 m. +62821 2188 5876

e. [email protected] w. www.prakarsadesa.id Cetakan Pertama, 2015

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Pradnanda B., dkk (penyusun) Konsep Rancangan Peraturan Presiden Cet. 1—Jakarta: 198 hal., 14 X 20 cm ISBN: 978-602-72556-3-0 © Hak Cipta dilindungi undang-undang All Rights Reserved

PENGANTAR

Pengorganisasian Sistem Informasi Desa dan Kawasan (SIDEKA) membutuhkan lebih dari sekedar proses instalasi di desa-desa. Proses instalasi adalah proses keteknikan, yang sudah barang tentu menjadi faktor yang penting, bagi keberadaan SIDEKA sendiri. Namun, seperti kita ketahui bahwa jika hanya berhenti pada soal keteknikan, maka SIDEKA hanya akan jatuh sebagai sebuah aplikasi, atau sekedar alat saja. Bagi Prakarsa Desa, sistem informasi, dalam hal ini SIDEKA, bukan sekedar alat, akan tetapi menjadi pintu masuk, yang akan membuka banyak kemungkinan. Untuk karena itulah, persis di sebelah, dan bahkan di bagian depan dari pembangunan dan penyelenggaraan SIDEKA, dilakukan usaha-usaha yang dapat dikatakan sebagai suatu proses pengorganisasian, yang didalamnya memuat pula dimensi advokasi dan edukasi.

Hal penting yang harus senantiasa mendapatkan perhatian Hal penting yang harus senantiasa mendapatkan perhatian

adalah bahwa SIDEKA sebagai sebuah sistem informasi adalah alat yang menjadi bagian dari pemerintahan – di desa, kabupaten, propinsi dan nasional. Dalam kerangka desa, SIDEKA akan menjadi bagian dari upaya: (1) memperluas akses publik; (2) meningkatkan kualitas layanan; (3) membangun suatu jenis konstituensi baru; dan secara umum hendak dikatakan sebagai cara baru negara hadir. Di tingkat supra desa, SIDEKA tentu bukan alat bagi suatu kontrol, pengendalian atau sejenisnya, melainkan menjadi wahana untuk memperkuat perencanaan, memperkuat ruang partisipasi publik, dan sekaligus menjadi metode baru bagi kerja yang berbasis pada desa dan informatika. Dengan kesadaran inilah, maka penyelenggaraan SIDEKA tidak menjadi jalan bagi eksklusifisme, yang berlindung di balik topeng keragaman, atau keunikan masing-masing desa.

Pada intinya kita ingin membangun suatu sistem yang terintegrasi, yang sedemikian rupa sehingga menyokong gagasan satu data, dan satu peta. Untuk karenanya sangat dibutuhkan semacam standar data, yang sudah barang tentu dimulai dengan data dasar yang paling dibutuhkan, terutama untuk layanan dasar, seperti data kependudukan. Dengan data yang baik dan terintegrasi, maka layanan dasar akan lebih dimudahkan, dan pada sisi yang lain, program-program seperti pendidikan, kesehatan dan layanan bagi warga miskin, akan terhindar dari ketidaktepatan sasaran. Data yang baik, yang dihimpun dengan baik, yang disimpan dengan baik, dan yang diolah dengan baik – yang sepenuhnya mempertimbangkan serta menggunakan perspektif desa, tentu akan memberi makna strategis bagi pembangunan: desa garis depan Nawacita.

pengantar

Naskah ini sendiri adalah suatu konsepsi yang hendak diusulkan menjadi kebijakan dalam penyelenggaraan SIDEKA dalam skala nasional. Konsep ini dihasilkan dari sejumlah pertemuan, riset kecil dan berbagai usulan yang masuk. Sangat disadari bahwa sebagai sebuah gagasan yang melampaui kerja-kerja yang selama ini telah dijalankan, maka terbuka kemungkinan bagi kritik, salah mengerti dan segala jenisnya. Apa yang kerapkali muncul memberikan respon terhadap gagasan pengaturan SIDEKA secara nasional adalah kekhawatiran terjadinya penyeragaman. Kekhawatiran ini tentu saja tidak perlu terjadi, oleh sebab dengan adanya UU Desa, maka segala jenis tendensi ke arah penyeragaman, atau segala sesuatu yang bersifat top down, tidak akan dimungkinkan. Usaha untuk mendorong kebijakan SIDEKA lebih dimaksudkan untuk: (1) mendorong suatu jenis percepatan di semua lini dan di semua pihak; (2) mendorong bagi terbangunnya sistem komunikasi data yang lebih strategis, sehingga antar desa dapat terjalin model komunikasi baru yang bisa saling mengetahui kebutuhan masing- masing, sedemikian memungkinkan saling mengisi, dan seterusnya; dan (3) melakukan perlindungan dan penguatan bagi semua prakarsa yang berkembang.

Berharap dengan penerbitan konsepsi ini, akan lebih memperkaya dan memperluas inisiatif, baik bagi desa, atau bagi organisasi masyarakat sipil, untuk menemukan cara-cara baru dalam pengorganisasian. Mengapa dengan cara baru? Oleh sebab kita yakin bahwa tidak mungkin mengharapkan hasil baru dengan cara yang lama. Pengalaman selama ini telah memberikan kesaksian yang sangat baik, bahwa kita Berharap dengan penerbitan konsepsi ini, akan lebih memperkaya dan memperluas inisiatif, baik bagi desa, atau bagi organisasi masyarakat sipil, untuk menemukan cara-cara baru dalam pengorganisasian. Mengapa dengan cara baru? Oleh sebab kita yakin bahwa tidak mungkin mengharapkan hasil baru dengan cara yang lama. Pengalaman selama ini telah memberikan kesaksian yang sangat baik, bahwa kita

membutuhkan sesuatu yang baru, atau kita membutuhkan cara baru, agar ruang kesempatan yang makin terbuka, dapat memberi hasil yang lebih baik.

Penerbitan naskah ini, kendati sangat terbatas, tidak lepas dari dukungan banyak pihak, antara lain Departement of Foreign Af- fairs and Trade-DFAT Australia, komunitas ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi, yang ikut dalam diskusi-diskusi, organisasi masyarakat sipil, komunitas IT, komunitas desa, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Keberadaan naskah ini, kendari kedudukannya sebagai suatu naskah rancangan suatu usulan kebijakan, namun tetaplah berkedudukan sebagai bahan belajar, dan pada khususnya bagi para Pandu Desa, yang kelak akan mendorong langkah perubahan kebijakan di tingkatan masing-masing. Berharap naskah ini dapat ikut memicu pemikiran dan disain-disain baru yang kreatif dan bersifat menjawab tantangan untuk memastikan impelentasi UU Desa.

Jakarta, April 2015.

DAFTAR ISI

0 Pengantar ~~~ v

0 Makalah Akademik ~~~ 1 Bab I Pendahuluan ~~~ 3

Bab II Kajian Teoretis ~~~ 13 Bab III Sistem Informasi Desa dan

Kawasan Perdesaan ~~~ 27 Bab IV Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Sideka dalam Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Tata Kelola Sistem Informasi Desa dan Kawasan Perdesaan Berbasis Elektronik ~~~ 89

Bab V Penutup ~~~ 93

0 Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Tata Kelola Sistem Informasi Desa dan Kawasan Perdesaan Berbasis Elektronik ~~~ 101 0 Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Tata Kelola Sistem Informasi Desa dan Kawasan Perdesaan Berbasis Elektronik ~~~ 101

0 Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik ~~~ 127

0 Tanggapan terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik ~~~ 173

MAKALAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA KELOLA SISTEM INFORMASI DESA DAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS ELEKTRONIK

BAB I BAB I BAB I BAB I BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan dengan bahwa tujuan membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia adalah:

“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Makna dari alinea tersebut adalah, bahwa pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan semestinya mampu melindungi segenap bangsa dan mewujudkan kehidupan dan penghidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat In- donesia.

konsep rancangan peraturan presiden

Demi mencapai tujuan tersebut, itulah sebabnya negara harus tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam kehidupan masyarakat disemua bidang guna tercapainya kesejahteraan umat manusia yang berkeadilan sosial. Tercapainya keadilan sosial, memiliki makna yang sangat mendalam. Dalam arti kesejahteraan, makna keadilan sosial itu harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluaruh warga negara tanpa terkecuali. Saat ini tidak dipungkiri, terjadinya ketidakadilan sosial menyebabkan masih banyak rakyat Indone- sia yang masih bergelut dengan kemiskinan, terutama masyarakat yang masih hidup di pedalaman pedesaan-pedesaan yang jauh dari jangkaukan Pemerintah.

Kegagalan Pemerintah dalam memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak dapat disebabkan karena satu faktor saja. Misalnya faktor ekonomi saja atau politik saja, akan tetapi kegagalan Pemerintah tersebut disebabkan oleh multi faktor. Ekomoni, politik, sosial, budaya dan hukum adalah semua bidang yang menjadi satu kesatuan persoalan yang saling kait- mengkait menjadi faktor penyebab kegagalan Pemerintah dalam memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indone- sia.

Mengatasi persoalan yang demikian rumit dan multi sektor tersebut memang bukan persoalan mudah. T idak hanya komitmen atau janji-janji politik saja dari penguasa untuk mengatasi hal tersebut. Perbaikan ekonomi disemua bidang jelas merupakan tujuan utama dalam mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi, perbaikan ekononomi tidak dapat terelisasi tanpa Mengatasi persoalan yang demikian rumit dan multi sektor tersebut memang bukan persoalan mudah. T idak hanya komitmen atau janji-janji politik saja dari penguasa untuk mengatasi hal tersebut. Perbaikan ekonomi disemua bidang jelas merupakan tujuan utama dalam mengentaskan kemiskinan. Akan tetapi, perbaikan ekononomi tidak dapat terelisasi tanpa

pembangunan infra struktur di daerah-daerah tertinggal. Tidak akan terealisasi juga tanpa adanya komunikasi serta dukungan politik dari semua pihak untuk sama-sama bergerak memecahkan persoalan kemiskinan. Selain itu, program pengentasan kemiskinan juga tak mungkin berjalan tanpa adanya tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance), sebagai dasar bagi terlaksananya pembangunan berkelanjutan di manapun, termasuk dan terutama di Indonesia, yang diantaranya ditandai oleh berjalannya:

1. sistem pemerintahan yang demokratis, transparan dan bertanggung gugat kepada publik;

2. kebijakan ekonomi, sosial dan lingkungan yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan partisipatif;

3. lembaga-lembaga demokratis yang tanggap (responsif) terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat;

4. peraturan hukum dan perundang-undangan yang ditaati

dan dilaksanakan secara konsisten dan adil;

5. upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan secara tegas tanpa pandang bulu;

6. pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia serta hak-hak dan kepentingan masyarakat adat dan kelompok masyarakat rentan

Artinya, dalam rangka mengentaskan kemiskinan program pembangunan yang berbasis pada keterlibatan seluruh komponen atau potensi masyarakat lokal di daerah-daerah atau di desa-desa setempat haruslah lebih ditingkatkan. Pembangunan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal lokal Artinya, dalam rangka mengentaskan kemiskinan program pembangunan yang berbasis pada keterlibatan seluruh komponen atau potensi masyarakat lokal di daerah-daerah atau di desa-desa setempat haruslah lebih ditingkatkan. Pembangunan dengan mengikutsertakan masyarakat lokal lokal

di daerah-daerah atau di desa-desa, akan memberikan penguatan peran masyarakat setempat untuk lebih mampu mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada secara produktif, kreatif dan berwawasan ke depan untuk pengentasan kemiskinan secara mandiri.

Persoalannya yang nyata dalam melaksanakan pembangunan yang berbasis pada keterlibatan seluruh komponen atau potensi masyarakat lokal di daerah-daerah atau di desa-desa, adalah minimnya akses informasi baik dari desa sampai ke pusat (pemerintah pusat) atau pun sebaliknya, jangkauan Pemerintah yang tidak sampai menjangkau desa-desa menyebabkan desa ‘miskin’ perkembangan informasi. Belum lagi berbicara persoalan kevalidan/kebenaran mengenai informasi yang didapat baik dari Pusat maupaun dari Desa.

Persoalan akses informasi serta kebeneran akan suau informasi menjadi sangat vital untuk terlebih dahulu dibenahi. Asumsinya, bagaimana mungkin Pemerintah dapat merumuskan suatu kebijakan untuk menyelesaikan suatu persoalan yang terjadi di daerah-daerah/di desa-desa, jika tidak adanya akses infromasi atau tidak dapatnya informasi yang benar mengenai apa yang terjadi di daerah-daerah/di desa-desa tersebut.

Persoalan tersebut disebabkan karena tidak adanya suatu sistem informasi yang terbangun, yang bisa menghubungkan secara langsung antara Pemerintah Pusat dengan Desa atau sebaliknya dari Desa ke Pemerintah Pusat. Tidak adanya suatu sistem infromasi yang langsung dari desa kepada Pemerintah Pusat atau Persoalan tersebut disebabkan karena tidak adanya suatu sistem informasi yang terbangun, yang bisa menghubungkan secara langsung antara Pemerintah Pusat dengan Desa atau sebaliknya dari Desa ke Pemerintah Pusat. Tidak adanya suatu sistem infromasi yang langsung dari desa kepada Pemerintah Pusat atau

sebaliknya dari Pusat kepada Desa, merupakan suatu persoalan yang saat ini harus segera dicarikan jalan keluarnya. Tujuannya jelas, agar semua informasi yang ada dan sedang terjadi di suatu daerah/desa dapat segera sampai kepada Pemerintan Pusat sekaligus dengan kevalidan akan informasi tersebut.

Maksudnya, salah satu solusi dalam rangka mengentaskan kemiskinan yang terjadi di daerah-daerah/di desa-desa, adalah dengan membangun suatu sistem infromasi yang dapat diakses langsung oleh Pemerintah Pusat dengan kevalidan data dalam informasi tersebut, serta sebaliknya di mana Desa juga dapat memberikan informasi kepada Pemerintah Pusat mengenai informasi yang ada dan sedang terjadi di desanya.

Kita menyadari bahwa bangsa Indonesia hidup dalam suatu tatanan dunia yang sedang bergerak, berubah, makin terkoneksi (IT) dan pada dirinya mengidap krisis nyata, sebagai akibat dari menurunnya daya dukung bumi. Kesadaran tersebut mengharuskan kita untuk mengurus secara benar dua tindakan sekaligus, yakni internal dan interaksi (eksternal) – dalam mana keduanya saling berhubungan satu sama lain, bersifat saling memperkuat dan atau memperlemah, bergantung pada bagaimana kita mengelolanya.

Agar berkedudukan baik, punya peran strategis dan ikut menjamin ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka dibutuhkan sejumlah keadaan. Pertama oleh kemampuan untuk menjadikan bangsa sebagai kekuatan produktif, dalam mana desa menjadi salah satu Agar berkedudukan baik, punya peran strategis dan ikut menjamin ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka dibutuhkan sejumlah keadaan. Pertama oleh kemampuan untuk menjadikan bangsa sebagai kekuatan produktif, dalam mana desa menjadi salah satu

elemen pentingnya, yang sekaligus menjadi soko guru pembangunan keadilan dan kemakmuran bangsa.Kedua oleh kemampuan untuk mengembalikan watak sosial dan watak nasional dari kekuasaan negara, sedemikian rupa sehingga kedaulatan sosial-politik dicapai dengan partisipasi dan kualitas baru demokrasi.Serta ketiga oleh kemampuan untuk menghidup-hidupkan jiwa bangsa, nasionalitas dan keberagaman, yang kesemuanya membentuk kepribadian bangsa.

Ketiga hal tersebut tidak lain adalah Trisakti – berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Trisakti akan memberikan kita dasar kokoh untuk kita menata diri (ke dalam) dan menempatkan diri secara benar dalam pergaulan dunia (ke luar). Hal ini hendak menegaskan bahwa bagi kita, pembangunan bangsa bukan hanya sekedar pencapaian pertumbuhan ekonomi.Dengan Trisakti kita menempatkan pencapaian pertumbuhan hanya salah satu dari sejumlah elemen pencapaian pembangunan bangsa.

Pemerintahan Jokowi-JK menterjemahkan Trisakti di dalam agenda pembangunan, yang disebut dengan Nawacita (sembilan program prioritas). Agenda yang dimaksud adalah:

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.

2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, 2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis,

dan terpercaya.

3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi

sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejateraan rakyat.

6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar

internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan

penataan kembali kurikulum pendidikan nasional.

9. Kesembilan, memperteguh kebhinnekaan dan

memperkuat restorasi sosial Indonesia. Pada titik inilah kita membutuhkan cara-cara baru, atau cara

tentang bagaimana negara hadir di tengah kehidupan bangsa, hadir secara kongkrit menjadi bagian dari penyelesaian masalah- masalah bangsa, dan sekaligus memastikan bangsa mencapai masa depannya yang lebih baik dan lebih bermakna. Bagi desa politik baru yang dimaksud tentu adalah suatu langkah pembangunan yang menempatkan desa di garis depan (Desa

Garis Depan Nawacita). 1 Desa dalam hal ini bukanlah suatu lokasi, namun sebagai “actor” (subyek), perspektif dan arena. Oleh Garis Depan Nawacita). 1 Desa dalam hal ini bukanlah suatu lokasi, namun sebagai “actor” (subyek), perspektif dan arena. Oleh

sebab itulah, kita membutuhkan cara yang sepenuhnya baru, yang didalam hal ini, akan dikembangkan suatu sistem saraf Nawacita (SIDeKa), yang akan menjadi cara baru negara hadir.

Kehadiran SIDeKa sebagai cara baru untuk mewujudkan tujuan negara, merupakan suatu gagasan baru yang belum pernah dilakukan di Indonesia. Hampir selama sejak Indonesia merdeka, desa hanya ditempatkan sebagai obyek dalam pemerintahan negara. Akan tetapi, sejak lahirnya UU Desa, arah politik pemerintahan negara nampaknya akan berubah. UU Desa telah menempatkan Desa sebagai Pemerintahan terkecil dalam suatu negara. Pasal tegas menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah. Hal tersebut mengartikan bahwa Desa tidak lagi merupakan obyek pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan negara, tetapi Desa berdasarkan UU Desa telah bertransformasi menjadi subyek dalam negara yang juga wajib mewujudkan tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945.

Oleh karenanya, dalam rangka mensejahterahkan masyarakat Indonesia seluruhnya, kehadiran Desa yang didalamnya akan dibangun suatu sistem informasi (SIDeKa) 2 tidaklah dapat dihindari lagi atau ditunda-tunda. Pelaksanaan SIDeKa yang merupakan sistem syaraf informasi antara Pusat Pemerintah dengan Pemerintah Desa haruslah segera direalisasikan, selain sebagai pelaknsanaan ketentuan Pasal 86 UU Desa, SIDeKa juga merupakan harapan dari masyarakat Desa untuk memperoleh kesejahterahan yang berkeadilan sosial sebagaimana yang dicita- citakan oleh founding father’s. ‘ Oleh karenanya, dalam rangka mensejahterahkan masyarakat Indonesia seluruhnya, kehadiran Desa yang didalamnya akan dibangun suatu sistem informasi (SIDeKa) 2 tidaklah dapat dihindari lagi atau ditunda-tunda. Pelaksanaan SIDeKa yang merupakan sistem syaraf informasi antara Pusat Pemerintah dengan Pemerintah Desa haruslah segera direalisasikan, selain sebagai pelaknsanaan ketentuan Pasal 86 UU Desa, SIDeKa juga merupakan harapan dari masyarakat Desa untuk memperoleh kesejahterahan yang berkeadilan sosial sebagaimana yang dicita- citakan oleh founding father’s. ‘

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Pelaksanaan SIDeKa sejak diundangkannya UU Desa hingga saat ini, masih belum terealisasi. Ada beberapa hal masalah yang menyebabkan SIDeKa belum terealisasi hingga saat ini, yaitu:

1. Governance lemah terkait SIDeKa, terjadi frakmentasi, lemahnya manajemen dalam menudukung proses pengambilan keputusan;

2. Masing-masing program mengembangkan sistem sendiri- sendiri yang akhirnya data bersifat sektoral serta tidak dapat dijadikan rujukan untuk pengambilan keputusan secara nasional/masih lokal desa;

3. banyaknya format dan versi laporan semakin lama tidak secara efektif dijadikan rujukan pengambilan kebijakan;

4. Sistem dan format yang dikembangkan tidak standar

sehingga sulit untuk dilakukan rekapitulasi data atau diintegrasikan;

5. Ada kesimpangsiuran sistem pelaporan data khususnya terkait dengan pencatan dan pelaporan (beberapa daerah ada yang menambah dan ada yang mengurangi pelaporan;

6. Ada permasalahan dengan agregasi pelaporan mulai dari

desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional;

7. Pemanfaatan informasi data dan informasi belum didesiminasikan dengan para pemangku kepentingan dan belum dipakai secara semestinya;

8. Kemampuan dan kualitas data informasi desa sangat

kurang;

9. Kemampuan sumber data untuk menyediakan data dan 9. Kemampuan sumber data untuk menyediakan data dan

informasi pada umunya masih lemah;

10. Landasan hukum SIDeKa juga belum jelas;

11. Belum ada kerjasama dan koordinasi yang dilakuakn antar kementrian/ lembaga, dan;

12. Pada pemerintahan desa belum secara khusus ada staf khusus yang mengurus tentang SIDeKa.

13. Belum adanya regulasi yang mengatur mengenai pedoman pelaksanaan SIDeKa.

C. TUJUAN

Tujuan dirumuskannya Makalah Akademik mengenai perlunya SIDeKa diatur Peraturan Presiden Republik Indonesia, adalah agar SIDeKa sebagai amanat dalam Pasal 86 UU Desa dapat dilaksanakan dengan melandaskan pada Peraturan Perundang- undangan.

D. METODE

Dalam penulisan ini metode yang digunakan merupakan metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan tersier.

Catatan Akhir

1 Lihat dokumen hasil lokakarya Desa Garis Depan Nawacita, 08 Nopember 2014, di Kampus UGM, Yogyakarta

2 Lihat dalam Pasal 86 UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa

BAB II BAB II BAB II BAB II BAB II KAJIAN TEORETIS

A. OTONOMI DAERAH

Reformasi telah membawa perubahan yang berarti bagi seluruh bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan runtuhnya sistem sentralistik yang diyakini telah diemban oleh pemerintahan orde baru yang selama lebih dari tiga puluh tahun di dalamnya dipenuhi praktek-praktek kotor, yakni kolusi, korupsi, dan nepotisme. Salah satu perubahan berarti tersebut adalah lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Kemudian selang berapa lama setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, undang-undang ini pun digantikan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Berdasarkan perubahan kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) menyebutkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Berdasarkan perubahan kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (1) menyebutkan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas

Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 (amandemen) disebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Negara mengakui dan menghomati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang berupaya untuk melaksanakan otonomi Daerah sebagai bagian dari pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Dalam pengaturan UU Pemda tersebut, otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan ini maka daerah memiliki keleluasaan dalam bentuk hak dan wewenang serta kewajiban oleh badan Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manifestasi dari desentralisasi.

Menurut Josef Riwu Kaho menyebutkan tujuan dari otonomi daerah adalah, agar daerah dapat berfungsi sebagai “daerah otonom yang mandiri”, berdasarkan azas demokratisasi dan kedaulatan rakyat, dengan memperhatikan nilai-nilai lokal, Menurut Josef Riwu Kaho menyebutkan tujuan dari otonomi daerah adalah, agar daerah dapat berfungsi sebagai “daerah otonom yang mandiri”, berdasarkan azas demokratisasi dan kedaulatan rakyat, dengan memperhatikan nilai-nilai lokal,

memperhatikan potensi, perbedaan dan keanekaragaman setempat serta mempertimbangkan stabilitas nasional dan

keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. 1 Otonomi Daerah yang mandiri dan kuat dapat menjadi penyangga eksistensi bangsa dan negara. Desentralisasi wewenang pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat, menyangkut beberapa hal diantaranya: pertama, adanya pola pengambilan keputusan dari atas menjadi dari bawah. Kedua, perpindahan pendekatan pembangunan sektoral ke pembangunan regional holistik. Ketiga, pembangunan dengan wilayah negara yang dominan ke wilayah masyarakat madani yang dominan. Keempat, pola pembangunan yang semula berorientasi ekonomi ke pola pembangunan menyeluruh.

Otonomi bukan sekedar pemencaran penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pemerintahan. Otonomi adalah sebuah tatanan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), bukan hanya tatanan administrasi negara (administratiefrechtelijk). Sebagai tatanan ketatanegaraan, otonomi berkaitan dengan dasar-dasar bernegara dan susunan organisasi negara. Paling tidak, ada dua arahan dasar susunan ketatanegaran dalam perumahan Indonesia merdeka yaitu demokrasi dan penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum. 2

Bagir Manan mengatakan, di masa modern ini Indonesia yang luas dengan penduduk yang banyak, tidak lagi mungkin menjalankan pemerintahan langsung oleh semua warga, tetapi Bagir Manan mengatakan, di masa modern ini Indonesia yang luas dengan penduduk yang banyak, tidak lagi mungkin menjalankan pemerintahan langsung oleh semua warga, tetapi

usaha atau penciptaan mekanisme untuk mengikutsertakan sebanyak-banyaknya rakyat harus tetap dipertahankan. Sistem pemerintahan otonom yang diselenggarakan atas dasar permusyawaratan rakyat daerah bersangkutan melalui wakil- wakil mereka memungkinkan perluasan partisipasi demokratis rakyat. Satuan-satuan pemerintahan otonomi yang mandiri dan demokratis lebih mendekatkan pemerintahan kepada rakyat sehingga berbagai kepentingan rakyat yang berbeda-beda dapat dilayani secara wajar. Hal ini berkaitan dengan pengerian- pengertian materiil dari demokrasi maupun paham negara kesejahteraan sebagai suatu bentuk lebih lanjut dari paham negara berdasarkan atas hukum. Baik dari sudut paham materiil dari demokrasi maupun negara kesejahteraan, fungsi utama pemerintahan bukan sekedar pemberi ketertiban dan keamanan, melainkan sebagai penyelenggara kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Sebagai suatu ketentuan hukum, sebagai fungsi pemerintahan hal itu harus tercermin dalam organisasi pemerintahan yang memungkinkan pencapaiannya. Fungsi kesejahteraan harus diusahakan dilekatkan pada satuan- satuan pemerintahan yang lebih dekat pada pusat-pusat kesejahteraan. Otonomilah sebagai ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteran tersebut. Mengenai fungsi kesejahteraan akan menghadapkan pemerintah pada kenyataan konkret yang berbeda-beda antara Daerah satu dengan Daerah lain serta berkembang mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat setempat, maka dalam otonomi harus tersedia ruang gerak yang cukup untuk melakukan kebebasan menjalankan pemerintahan. Untuk memungkinkan penyelenggaan kebebasan tersebut sekaligus mencerminkan otonomi sebagai usaha atau penciptaan mekanisme untuk mengikutsertakan sebanyak-banyaknya rakyat harus tetap dipertahankan. Sistem pemerintahan otonom yang diselenggarakan atas dasar permusyawaratan rakyat daerah bersangkutan melalui wakil- wakil mereka memungkinkan perluasan partisipasi demokratis rakyat. Satuan-satuan pemerintahan otonomi yang mandiri dan demokratis lebih mendekatkan pemerintahan kepada rakyat sehingga berbagai kepentingan rakyat yang berbeda-beda dapat dilayani secara wajar. Hal ini berkaitan dengan pengerian- pengertian materiil dari demokrasi maupun paham negara kesejahteraan sebagai suatu bentuk lebih lanjut dari paham negara berdasarkan atas hukum. Baik dari sudut paham materiil dari demokrasi maupun negara kesejahteraan, fungsi utama pemerintahan bukan sekedar pemberi ketertiban dan keamanan, melainkan sebagai penyelenggara kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Sebagai suatu ketentuan hukum, sebagai fungsi pemerintahan hal itu harus tercermin dalam organisasi pemerintahan yang memungkinkan pencapaiannya. Fungsi kesejahteraan harus diusahakan dilekatkan pada satuan- satuan pemerintahan yang lebih dekat pada pusat-pusat kesejahteraan. Otonomilah sebagai ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteran tersebut. Mengenai fungsi kesejahteraan akan menghadapkan pemerintah pada kenyataan konkret yang berbeda-beda antara Daerah satu dengan Daerah lain serta berkembang mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat setempat, maka dalam otonomi harus tersedia ruang gerak yang cukup untuk melakukan kebebasan menjalankan pemerintahan. Untuk memungkinkan penyelenggaan kebebasan tersebut sekaligus mencerminkan otonomi sebagai

satuan demokratis, maka otonomi senantiasa memerlukan kemandirian atau keleluasaan. Bahkan tidak berlebihan apabila dikatakan hakekat otonomi adalah kemandirian, walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang merdeka (zelfstandigheid bukan onafhankelijkheid). 3

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: 4

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat,

b. Menciptakan efisiensi dan efektifitas bpengelolaan

sumbrdaya daerah, dan

c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Berbicara tentang otonomi daerah tentu tidak akan lepas dari masalah pemerintahan daerah dan prinsip-prinsip dari pemerintahan daerah itu sendiri. Menurut Josef Riwu Kaho tentang pengertian daerah otonom adalah daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 5

Di sisi lain, otonomi merupakan, kebebasan untuk mengurus rumah tangganya sendiri tanpa mengabaikan kedudukan Pemerintah Daerah sebagai aparat Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang ditugaskan kepadanya.

konsep rancangan peraturan presiden

Oleh sebab itu usaha membangun keseimbangan harus dipertahankan dalam konteks hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah artinya: Daerah harus dipandang dalam dua kedudukan yaitu: sebagai organ-organ Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi sebagai agen Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan urusan Pusat di Daerah. 6

Desentralisasi atau Otonomi adalah pilihan dari beberapa pilihan dalam sistem ketatanegaraan suatu Negara untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat memiliki keuntungan

dan kelemahan. 7 Keuntungan yang diperoleh dengan dianutnya sistem desentralisasi antara lain: (1) mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan; (2) dalam menghadapi masalah yang amanat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah Pusat; (3) dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan; (4) dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensiasi) dan pengkhususan (spesialiasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teritorial dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan dan keadaan khusus daerah (5) dengan adanya desentralisasi teritorial daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik dapat diterapkan di seluruh wilayah negara sedangkan kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan; (6) mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat; dan kelemahan. 7 Keuntungan yang diperoleh dengan dianutnya sistem desentralisasi antara lain: (1) mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan; (2) dalam menghadapi masalah yang amanat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah Pusat; (3) dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan; (4) dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (diferensiasi) dan pengkhususan (spesialiasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teritorial dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan dan keadaan khusus daerah (5) dengan adanya desentralisasi teritorial daerah otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik dapat diterapkan di seluruh wilayah negara sedangkan kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan; (6) mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat;

dan (7) dari segi psikologis desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya yang lebih langsung. Selain kebaikan ataupun keuntungan tersebut di atas, desentralisasi juga mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain: (1) Karena besarnya organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi; (2) Keseimbangan dan keserasian antara bermacam- macam kepentingan dan Daerah dapat lebih mudah terganggu; (3) Khususnya mengenai desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau propinsialisme; (4) Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena memerlukan perundingan yang bertele-tele; (5) Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman/ uniformitas dan kesederhanaan.

Suatu negara dengan daerah yang diberi hak otonomi adalah konsekuensinya dari negara dengan menganut azas desentralisasi, yaitu azas penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau Daerah Otonom tingkat atasnya kepada Daerah Otonom di bawahnya, untuk mengurusi rumah tangganya sendiri. 8

Pada sistem Residu (Teori Residu) seara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu tanpa Pada sistem Residu (Teori Residu) seara umum telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah daerah dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu tanpa

menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini dapat jadi terlalu sempit bagi daerah yang kapasitasnya besar atau sebaliknya terlalu luas bagi daerah yang kemampuannya terbatas. 9

B. OTONOMI DESA

Mengantisipasi aspirasi masyarakat yang terus berkembang serta menghadpai perkembangna yang terjadi, baik dalam lingkungan nasional maupun internasional yang secara langsung akan berpengaruh terhadap roda atau pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Negara kita, maka untuk menjawab dan menghadapi tantangan dan sekaligus peluang diperlukan adanya pemerintahan daerah yang tangguh, yang didukung oleh system dan mekanisme kerja yang professional.

Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dimaksudkan agar daerah mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dimaksudkan agar daerah mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan otonomi harus berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan dengan prinsip luas, nyata, dan bertanggungjawab.

Sehubungan dengan pemberian kewenangan otonomi kepada daerah-daerah di Indonesia, Pemerintah pada tanggal 15 Januari 2014 telah menetapkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam konsideran UU tersebut disampaikan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Hakikat otonomi daerah adalah efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaran pemerintahan, yang pada akhirnya bernuansa pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang hakikatnya semakin lama semakin baik, disamping untuk member peluang peran serta masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara luas dalam konteks demokrasi. Berkaitan dengan otonomi desa, maka pertanyaannya bagaimana hubungan otonomi daerah dengan otonomi desa dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Dalam pandangan Hakikat otonomi daerah adalah efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaran pemerintahan, yang pada akhirnya bernuansa pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang hakikatnya semakin lama semakin baik, disamping untuk member peluang peran serta masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara luas dalam konteks demokrasi. Berkaitan dengan otonomi desa, maka pertanyaannya bagaimana hubungan otonomi daerah dengan otonomi desa dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)? Dalam pandangan

Sutoro Eko mengatakan bahwa” sejauh ini belum ada definisi formal tentang otonomi desa yang dirumuskan dalam undang- undang”. 10

Namun, menurut Ni’matul Huda, dalam wacana yang berkembang ada empat cara pandang dan pemahaman tentang otonomi desa, yaitu: 11

1. Cara pandang legal formal yang sering dikemukakan oleh para ahli hukum. Dalam UU sering ditemukan diktum :desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengataur dan mengurus rumah tangganya sendiri’ sebagai definisi standar otonomi desa. Pengertian ini berarti desa merupakan sebuah subyek hukum yang berhak dan berwenang membuat tindakan huku: membuat pertauran yang mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan pengendalian, menyelenggarakan kerjasama dan lain-lain. Padahal otonomi tidak hanya sekedar persoalan hubungan hukum, tetapi hubungan antara desa dengan Negara. Desa baru bias disebut otonom kalau ia memperoleh pembagian kewenangan dan keuangan dari Negara, sehingga desa mempunyai kewenangan untuk mengelola pemerintahan.

2. Otonomi desa baru dipahami dan ditegaskan sebagai bentuk pengakuan Negara terhadap eksistensi desa beserta hak asal-usul dan adat istiadatnya. Ini artinya Negara tidak merusak, melainkan melindungi eksistensi desa. Negara juga harus memberikan pengakuan terhadap 2. Otonomi desa baru dipahami dan ditegaskan sebagai bentuk pengakuan Negara terhadap eksistensi desa beserta hak asal-usul dan adat istiadatnya. Ini artinya Negara tidak merusak, melainkan melindungi eksistensi desa. Negara juga harus memberikan pengakuan terhadap

eksistensi desa yang umumnya jauh lebih tua ketimbang NKRI. Pengakuan adalah pijakan utama, tetapi lebih dari sekedar pengakuan, otonomi desa berarti pembagian kekuasaan, kewenangan dan keuangan kepada desa.

3. Konsep “self-governing community” sering juga dirujuk sebagai padanan frasa “kesatuan masyarakat hukum”, tetapi sejauh ini belum ada elaborasi yang memadai tentang konsep asing itu.

4. Cara pandang romantic-lokalistik. Meski UU tidak ada

rumusan tentang otonomi desa, tetapi wacana resmi mengesankan bahwa desa memiliki “otonomi asli” berdasarkana asal-usul dan adat setempat. Konsep otonomi asli justru bias menjadi jebakan yang mematikan bagi desa, banyak hal yang “asli” milik desa (terutama sumber daya alam) sudah diambil oleh Negara dan dieksploitasi oleh investor.

Menurut Widjaja, menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. 12

Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan

daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah.

Dengan berdasarkan pada adat istiadat dan asal usul Desa dimungkinkan adanya pembagian wilayah yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan Pemerintah Desa. Oleh karenanya, Menurutt AW. Widjaja, kewenangan desa dalam otonomi desa berdasarkan adat istiadat dan asal-usul desa mencakup: 13

a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa;

b. Kewenangan yang oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan Daerah dan Pusat;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten.

Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga idealnya desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik (political -will) dan tindakan politik (political ac- tion) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya. Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi pemerintah terendah guna mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga idealnya desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik (political -will) dan tindakan politik (political ac- tion) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya. Kewenangan otonomi desa yang begitu luas, masih ditambah dengan beban dalam kapasitasnya sebagai organisasi

pemerintah terendah guna mengemban tugas, misi dari seluruh Departemen/ Kementerian, sehingga ideahiya desa harus memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk membiayai pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan desa. Keberhasilan pembangunan desa sangat dipengaruhi adanya kemauan politik ((political will) dan tindakan politik (political ac- tion) dari pemerintah maupun komponen bangsa lainnya untuk dapat memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di desanya. Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan tugas perbatuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.

Dengan demikian, otonomi desa harus amenjadi inti dari konsep NKRI. Dengan catatan bahawa “otonomi desa” buka merupakan cabang dari otonomi daerah, karena yang member inspirasi adanya otonomi daerah yang kahas bagi NKRI adalah otonomi desa. Otonomi desa harus menjadi pijakan dalam pembagian struktur ketatanegaraan Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah yang kemudian bermuara pada regulasi otonomi desa yang tetap berpedoman pada keaslian “desa” sebagai kesatuan masyarakat hukum. 14

Catatan Akhir

1 Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Identif ikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi

Penyelenggaraannya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 3

2 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hal 24.

konsep rancangan peraturan presiden

3 Ibid, hal 26 4 Mardiasmo, Otonomi dan Manajeman Keuangan daerah, Ctk

Pertama, Andi, Yogyakarta, 2002, hal. 131 5 Josef Riwu Kaho, Op cit, hal. 14.

6 Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998, hal. 93.

7 Josef Riwu Kaho, Op cit, hal 12-14 8 Soehino, Perkembangan Pemerintahan di Daerah, Liberty, Yogyakarta, 1995,

hal 112 9 Josef Riwu Kaho, Op cit, hal 15

10 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa “Dalam Konstitusi Indonesia Sejak Kemardekaan Hingga Era Reformasi“, Setara Press,

Malang, 2015, hal 49 11 Ibid, hal 50

12 HAW. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli Bulat Dan Utuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 165

13 HAW. Widjaja, Pemerintahan Desa/Marga, Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2001 hal 73 14 Ni’matul Huda, Op cit, hal 51

BAB III BAB III BAB III BAB III BAB III SISTEM INFORMASI DESA DAN KAWASAN PERDESAAN

A. DEFINISI DESA

Desa, sejak kemerdekaan Republik ini sampai sekarang, hanyalah dipandang sebagai bagian terkecil dari wilayah negara. Namun sejatinya desa adalah bagian vital yang tidak dapat dipisahkan dalam hierarki struktur bernegara. Karena pada hakikatnya tidak akan ada suatu negara yanpa memiliki bagian- bagian terkecil yang dalam konteks negara Indonesia biasa disebut dengan desa. Aristoteles, 1 mengatakan bahwa negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Dengan logika bahwa negara itu diawali dari manusia, manusia itu kemudian membentuk keluarga, masing-masing keluarga itu bersatu dan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga kemudian membentuk kata negara (polis dalam bahasa Yunani), dengan tujuan untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Sehingga dalam tafsir yang sama istilah “republik” dan istilah “desa” dapat diletakkan pada istilah “negara”, atau dengan kata Desa, sejak kemerdekaan Republik ini sampai sekarang, hanyalah dipandang sebagai bagian terkecil dari wilayah negara. Namun sejatinya desa adalah bagian vital yang tidak dapat dipisahkan dalam hierarki struktur bernegara. Karena pada hakikatnya tidak akan ada suatu negara yanpa memiliki bagian- bagian terkecil yang dalam konteks negara Indonesia biasa disebut dengan desa. Aristoteles, 1 mengatakan bahwa negara adalah persekutuan daripada keluarga dan desa, guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Dengan logika bahwa negara itu diawali dari manusia, manusia itu kemudian membentuk keluarga, masing-masing keluarga itu bersatu dan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga kemudian membentuk kata negara (polis dalam bahasa Yunani), dengan tujuan untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh. Sehingga dalam tafsir yang sama istilah “republik” dan istilah “desa” dapat diletakkan pada istilah “negara”, atau dengan kata

lain dapat pula diartikan bahwa adalah cikal bakal atau asal mula negara. 2