BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Kelapa Sawit
Minyak kelapa sawit berasal dari buah tanaman kelapa sawit yang didapat dengan cara mengekstraksi buah tersebut. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak
yang berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut mesokarp yang disebut dengan Crude Palm Oil atau CPO, dan minyak yang berasal dari inti
kernel yang disebut Palm Kernel Oil atau PKO Somaatmaja, 1981.
Perbedaan minyak sawit dengan minyak inti sawit adalah adanya pigmen karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit. Perbedaan lainnya
yaitu dalam kandungan asam lemaknya. Pada minyak inti sawit terdapat asam kaproat dan asam kaprilat yang tidak terdapat pada minyak sawit Muchtadi,
1992.
CPO mengandung lebih kurang 1 komponen minor yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol-sterol, fosfolipid dan glikolipid, terpen
dan gugus alifatik, serta elemen sisa trace element lainnya. Komponen terbesar dari karotenoid adalah -karoten dan α-karoten yang mencapai 90 dari total
karotenoid yang terdiri dari 13 jenis Ong et a.l 1990. Beberapa jenis dan komposisi karotenoida di dalam minyak sawit mentah ditabulasi pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Jenis-jenis karotenoida dan komposisinya dalam komponen minor Jenis-jenis Karotenoida
Komposisi Phytoene
1,27 Cis- -Carotene
0,68 Phytofluence
0,06 -Carotene
56,02 α-Carotene
35,16 Cis-
α-Carotene 2,49
-Carotene 0,69
-Carotene 0,33
δ-Carotene 0,83
Neurosporene 0,29
-Zeacarotene 0,74
α-Zeacarotene 0,23
Lycopene 1,3
Wei, P.C., et al, 2005
2.2. Karotenoida
Karotenoida merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga, dan bersifat larut dalam minyak. Karotenoida terdapat dalam kloroplast
0,5 bersama-sama dengan klrorofil 9,3 terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel palisade Winarno, 1991.
Karotenoida dibagi atas empat golongan, yaitu; 1 karotenoida hidrokarbon, C
40
H
56
seperti α, , dan karoten dan likopen; β xantofil dan derivate karoten yang mengan dung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin,
C
40
H
55
OH dan lutein, C
40
H
54
OH
2
; 3 asam karotenoida yang mengandung gugus karboksil; dan 4 ester xantofil asam lemak Meyer, 1966.
Karotenoida termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air. Sifat ini penting
Universitas Sumatera Utara
terutama dalam pemisahan karotenoida dari bahan lain Ranganna, 1979. Sifat fisika dan kimia karotenoida adalah :
1. Larut dalam minyak dan tidak larut dalam air 2. Larut dalam kloroform, benzene, karbon disulfide dan petroleum eter
3. Tidak larut dalam etanol dan metanol dingin 4. Tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum
5. Peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya 6. Mempunyai ciri khas adsorpsi cahaya Meyer 1966.
Adanya ikatan rangkap menyebabkan karotenoida peka terhadap oksidasi, dan reaksinya akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya
tembaga, besi, dan mangan Walfford, 1980. Oksidasi terjadi secara acak pada ikatan rangkap rantai atom karbonnya. Kepekannya terhadap oksidasi membuat
karotenoida digunakan sebagai antioksidan yang kekuatannya menyamai tokoferol dan askorbat. Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna
karotenoida dalam makanan dan merupakan mekanisme degradasi utama yang banyak menjadi perhatian Fennema, 1996.
Karotenoida belum mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu 60
o
C. Reaksi oksidasi karotenoida berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan Worker, 1957. Karotenoida merupakan
sumber vitamin A yang berasal dari tanaman dalam bentuk α-karoten, -karoten
dan -karoten, sedangkan yang berasal dari hewan berbentuk vitamin A. Senyawa ini sering disebut antixerophtalmia, karena kekurangan senyawa tersebut dapat
menimbulkan gejala rabun mata. Senyawa -karoten dalam minyak sawit sebagai provitamin A bermanfaat untuk penanggulangan kebutaan karena xerophtalmia,
mengurangi peluang terjadinya kanker, mencegah proses menua yang teralu dini, meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif.
Struktur -karoten dapat dilihat pada gambar berikut
Universitas Sumatera Utara
H
2
C H
2
C C
H
2
CCH
3
CCH C
HCC H
3
CC C
H2 CH
2
CH
2
C CHCH
CHC CHCH
CHC CCH
CCH CHCH
CH
3
CH
3
CH
3
CH
3
CH
3
CH
3
CH
3
CHCH CH
3
I II
-karoten
Gambar. β.1. Struktur -karoten Fennema, 1996
Mengkonsumsi -karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah
defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi -karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake. Tubuh manusia memiliki kemampuan
mengubah sejumlah besar -karoten menjadi vitamin A retinol, sehingga - karoten disebut provitamin A Winarno, 1991. Sekitar β5 dari -karoten yang
teradsorpsi pada mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedangkan 75 sisanya diubah menjadi retinol vitamin A dengan bantuan enzim 15, 15’ -
karotenoksigenase Fennema, 1996.
2.2.1. Metode-Metode Memperoleh Karotenoida
Berbagai metode untuk memperoleh karotenoida telah banyak dilakukan oleh para peneliti, antara lain :
2.2.1.1. Metode Penyabunan
Proses penyabunan diawali dengan melarutkan minyak sawit kasar dengan KOHNaOH. Prinsip dari metode ini adalah memisahkan senyawa karotenoida
yang merupakan senyawa yang tidak tersabunkan dengan senyawa-senyawa yang dapat disabunkan. Pemisahan selanjutnya adalah dengan mengekstraksi
karotenoida tersebut dengan menggunakan pelarut organik Parker, 1992. Blaizot 1956 menyabunkan CPO dengan NaOH metanolik selama beberapa jam pada
suhu 30-40
o
C. Gliserin yang terbentuk dipisahkan dengan cara dekantasi, bahan yang tersabunkan diuapkan pada suhu 100-110
o
C dalam keadaan vakum
Universitas Sumatera Utara
bertekanan 0,001-0,0001 mmHg, diperoleh karotenoida bercampur dengan residu dengan yield sebesar 5-6. Suria 2015 menambahkan CPO kedalam KOH
etanolik. Campuran tersebut didiamkan dalam pendingin selama 24 jam untuk mengeliminasi lipida dan mengendapkan poliphenol pada fase alkohol.
Campuran yang tersabunkan kemudian ditempatkan pada corong pisah dengan etil eter dan fase ini dicuci dengan air, lapisan bawah yang terbentuk dibuang.
Campuran tersebut dikeringkan dengan sulfat anhidrat dan dievaporasi hingga benar-benar kering, diperoleh peningkatan konsentrasi karotenoida sebesar 13
dari konsentrasi awal 507 ppm.
2.2.1.2. Metode Ekstraksi Pelarut
Teknologi ekstraksi telah banyak dikembangkan untuk memperoleh karotenoida. Ektraksi pelarut merupakan suatu proses transfer massa antara minyak sawit
dengan suatu pelarut yang sesuai, yang memiliki afinitas dan selektifitas yang baik terhadap karotenoida Othman, 2010. Ekstraksi pelarut pada kondisi normal
banyak menggunakan n-heksana sebagai pelarut untuk mengekstraksi karotenoida dari minyak mentah sawit, akan tetapi n-heksana berpotensi mengakibatkan
kebakaran, berbahaya terhadap kesehatan dan lingkungan Choo, et al., 1996. Kekurangan penggunaan pelarut n-heksana tersebut menyebabkan banyak usaha
untuk mengekstraksi karotenoid dari minyak sawit yang lebih aman, salah satunya ialah ektraksi cair superkritis SFE. Aplikasi ekstraksi cair superkritis adalah
dengan menggunakan karbondioksida superkritis SC-CO
2
sebagai pelarut, jika dibandingkan dengan pelarut n-heksana atau aseton, karbondioksida lebih bersifat
inert, tidak beracun, tidak menimbulkan ledakan, tidak meninggalkan residu pada produk Watkins et al., 1994.
Ekstraksi karotenoida dari minyak sawit mentah dengan pelarut karbondioksida superkritis SC-CO
2
telah dilakukan oleh Wei et al., 2005. Proses ektraksi dilakukan dengan memasukkan CPO kedalam wadah ekstraksi
extraction vessel, ekstraksi terbawa ke system dinamis flow through. Karbondioksida cair dipompa ke wadah ektraksi dengan kondisi ektraksi tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini dilakukan variasi tekanan, suhu, laju alir, dan ukuran sampel. Dibagian luar wadah dirangkai saringan untuk mencegah kotoran terbawa.
Ekstrak yang dihasilkan dikumpulkan pada suatu wadah yang ditutup dengan alumunium foil, disimpan dalam ruangan gelap dengan suhu -10
o
C untuk mencegah degradasi oleh panas, udara dan cahaya. Hasil yang diperoleh
menunjukkan kelarutan karotenoida dalam minyak sawit mentah terhadap karbondioksida superkritis SC-CO
2
rendah yaitu antara 1,31 x 10
-4
sampai 1,58 x 10
-3
gkg
-1
karbondioksida, pada kondisi suhu 40-80
o
C dan tekanan 14-30Mpa, recovery karotenoida yang diperoleh sebesar 80-90.
2.2.1.3. Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses penyerapan molekul-molekul cair atau gas pada permukaan zat padat atau cair yang terjadi karena adanya interaksi gaya tarik-
menarik antara molekul-molekul zat yang diadsorpsi dengan molekul-molekul zat yang mengadsorpsi yang terjadi hanya pada permukaan adsorben Sulaiman, H.
1997. Bahan yang dipakai untuk melakukan proses adsorpsi dinamakan adsorben, sedangkan bahan yang dijerap disebut adsorbat Kumar, K. et al.,
2004. Kebanyakan adsorben adalah bahan yang mempunyai porositas tinggi untuk menempatkan adsorbat pada dinding pori. Dalam proses penjerapan,
permukaan adsorben yang sifatnya polar akan mengikat molekul yang sifatnya polar dan permukaan adsorben nonpolar akan mengikat molekul yang sifatnya
nonpolar Sunarno, 2000
Adsorpsi pada fase padat diklasifikasikan kedalam adsorpsi kimia kemisorpsi dan adsorpsi fisika Fisisorpsi. Dalam adsorpsi kimia, reaksi kimia
terjadi pada permukaan padatan dan gas tertahan pada permukaan padatan yang relatif merupakan ikatan kimia yang kuat. Dalam adsorpsi fisika, molekul gas
tertahan pada permukaan padatan yang relatif lemah karena terjadi ikatan intermolekular Van der Waals Levine, I.R., 2002.
Universitas Sumatera Utara
Gaya Van der Waals merupakan salah satu jenis interaksi elektrostatis yang kekuatan ikatannya sangat lemah dibandingkan ikatan kimia lainnya seperti
ikatan ionik, kovalen, kovalen koordinasi, dan ikatan logam. Berdasarkan kepolaran molekul, ada tiga tipe gaya Van der Waals yang ditemukan oleh
ilmuwan sains yang berbeda-beda dimana tipe ini diberi nama sesuai dengan nama penemunya, yaitu:
2.2.1.3.1. Gaya Keesom
Interaksi ini terjadi antara sesama molekul kovalen polar yang memiliki momen dipol permanen. Momen dipol permanen ini terjadi karena adanya perbedaan
sebaran densitas elektron yang tidak merata pada semua bagian atom-atomnya dimana elektron akan lebih banyak berkumpul pada atom yang lebih
elektronegatif dibandingkan atom lainnya. Ketika molekul-molekul polar ini berdekatan satu dengan yang lainnya, maka kutub positif dari satu molekul akan
berikatan dengan kutub negatif molekul lain. Interaksi ini merupakan interaksi yang lebih kuat diantara keempat tipe gaya Van der Waals.
Contoh: H
3
N----HCl
N H
Cl H
Atom N yang lebih elektronegatif akan cenderung menarik elektron ke arahnya sehingga densitas elektron pada N lebih tinggi daripada H. Demikian juga pada
HCl, densitas elektron pada Cl lebih tinggi daripada H. Gaya intermolekul ini terjadi antara atom N dari molekul NH
3
dengan atom H dari molekul HCl.
2.2.1.3.2. Gaya Debye
Interaksi ini terjadi antara molekul kovalen polar dan molekul kovalen nonpolar. Ketika molekul nonpolar berdekatan dengan molekul polar, maka kutub positif
dari molekul polar berinteraksi dengan elektron pada molekul nonpolar sehingga molekul nonpolar menjadi terinduksi.
Universitas Sumatera Utara
Contoh: OH
2-------
O
2
+ -
H
2
O
Kovalen Polar
O
2
Kovalen Nonpolar
H
2
O O
2
Dipol Permanen
Dipol Terinduksi
-
+
-
+
-
+
2.2.1.3.3. Gaya London
Interaksi ini terjadi antara sesama molekul kovalen nonpolar. Ketika sesama molekul kovalen nonpolar saling berdekatan maka, masing-masing molekul
tersebut cenderung mengalami self-polarised membentuk dipol terinduksi akibat adanya osilasi awan-awan elektron yang akan menyebabkan densitas elektron
pada satu atom lebih besar daripada atom lainnya sehingga molekul tersebut menjadi sedikit polar. Contohnya adalah interaksi N
2,
O
2
. Interaksi ini merupakan interaksi yang paling lemah diantara gaya Van der Waals Madan, R.D. 2003.
2.2.1.4. Adsorpsi Menggunakan Polimer Sebagai Adsorben
Baharin 1998 telah mengadsorpsi karotenoida dari CPO dengan proses kromatografi kolom menggunakan adsorben suatu resin berpori, yaitu kopolimer
stirena-divinil benzene. Proses tersebut dilakukan dengan menempatkan adsorben yang telah dicuci dengan alkohol kedalam kolom, kondisi kolom dijaga pada suhu
40-60
o
C. CPO dilarutkan dalam 400 ml isopropil alkohol IPA atau etanol kemudian dimasukkan kedalam kolom, dan larutan CPO dalam IPA atau etanol
ditampung, setelah itu kedalam kolom ditambahkan n-heksana sebanyak 300 ml, larutan CPO dalam n-heksana ditampung. Pelarut dari kedua larutan tersebut
diuapkan dengan rotary-evaporator kemudian ditimbang padatan yang diperoleh. Karotenoida yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer, dan
hasil tertinggi diperoleh sebesar 108.929 ppm menggunakan adsorben diaion HP- 20.
Universitas Sumatera Utara
Karlina 2012 menggunakan adsorben polimer yaitu kalsium polistirena sulfonat untuk mengadsorpsi karotenoida dari metil ester kasar. Kadar karotenoida
dalam metil ester kasar sebesar 601 ppm. Proses adsorpsi dilakukan dengan mencampurkan metil ester kedalam etanol kemudian karotenoidanya diadsorpsi
dengan adsorben kalsium polistirena sulfonat, sambil diaduk untuk menyempurnakan penyerapan, kemudian adsorben yang mengandung karotenoida
dipisahkan dari campuran metil ester dengan sentrifugasi. Karotenoida yang terserap dalam adsorben kemudian didesorpsi dengan pelarut n-heksana, dan
setelah pelarutnya diuapkan diperoleh karotenoida dengan konsentrasi sebesar 116.000 ppm, telah terjadi pemekatan sebanyak 193 kali.
Lois 2014 mengadsorpsi tokoferol dan tokotrienol dari metil ester minyak kemiri, dengan menggunakan 2 jenis adsorben, yaitu garam Ca dari
polistirena sulfonat derajat sulfonasi 30, larut dalam air dan garam Ca dari polistirena sulfonat derajat sulfonasi 30, larut dalam kloroform. Hasil
adsorpsi tertinggi dihasilkan dengan menggunakan adsorben berderajat sulfonasi 30 terhadap tokotrienol yaitu sebesar 100, hasil desorpsinya sebesar 1,1,
sedangkan hasil desorpsi tertinggi diperoleh dengan menggunakan adsorben berderajat sulfonasi 30 terhadap tokoferol yaitu sebesar 2,3, hasil
adsorpsinya sebesar 99,1.
Garam M-PSS M= Na, Mg, Ca, Sr dan Ba; PSS = Polistirena Sulfonat juga telah digunakan Justaman 2014 untuk mengadsorpsi karotenoida dari CPO,
polistirena sulfonat yang digunakan berderajat sulfonasi 9,1. Proses penyerapan dilakukan dengan mencampurkan CPO dalam etanol kemudian ditambahkan
adsorben, dilakukan
pengocokan untuk
menyempurnakan penyerapan
karotenoida, kemudian adsorben yang mengandung karotenoida dipisahkan dari larutan CPO dengan sentrifugasi. Karotenoida yang terserap pada adsorben
kemudian didesorpsi dengan pelarut n-heksana. Hasil tertinggi yang diperoleh terlihat pada proses desorpsi dengan menggunakan garam Ca-PSS yaitu sebesar
84,53, hasil adsorpsinya sebesar 75,78.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Ikatan Hidrokarbon Tak Jenuh Dengan Orbital σ Logam
Hidrokarbon tak jenuh seperti alkena mengandung satu atau lebih ikatan rangkap karbon-karbon. Alkena yang paling sederhana adalah etena dengan rumus C
2
H
4
. Ikatan rangkap terkonjungasi adalah ikatan rangkap yang dipisahkan oleh masing-
masing satu ikatan tunggal. Adanya ikatan rangkap terkonjungasi dalam satu molekul akan memberikan sifat fisik dan kimia yang khusus. Banyak molekul
yang mengandung sistem ikatan rangkap terkonjungasi mengadsorpsi panjang gelombang spesifik dari sinar tampak Stoker, H.S, 1991.
Alkena sederhana adalah ligan dihapto yang dapat mendonasikan densitas elektron dari orbital
π yang terisi ke orbital σ kosong dari logam Gambar β.β. a
dan selanjutnya orbital π
dari ligan akan menerima densitas elektron dari orbital d
logam yang terisi Gambar 2.2. b . Penjelasan ikatan logam-alkena karena donasi
densitas elektron dari orbital π alkena ke orbital σ kosong logam dan secara bersamaan terjadi penerimaan densitas elektron oleh orbital
π alkena yang
kosong dari orbital d logam yang terisi tersebut dikenal dengan model Dewar-Chatt-
Duncanson DCD. Aliran desitas elektron dari orbital d logam yang terisi ke orbital
π alkena disebut backdonation, dan ini terjadi pada logam-logam transisi
Shriver et al.1999.
Universitas Sumatera Utara
C
C H
H
H H
C
C H
H
H H
a b
M M
H
Gambar 2.2. Interaksi alkena dengan logam : a donasi densitas elektron dari orbital π ligan alkena ke orbital σ kosong logam, b Backdonation
densitas elektron dari orbital d logam yang terisi ke orbital π
alkena yang kosong.
Dalam hal logam nontransisi seperti kalsium, yang terjadi hanya donasi densitas elektron dari orbital
π alkena ke orbital σ kosong logam kalsium seperti terlihat pada Gambar 2.3 berikut.
Ca
C
C H
H H
Gambar 2.3. Donasi densitas elektron dari orbital π ligan alkena ke orbital σ
kosong kalsium.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Reaksi Sulfonasi