Problem Formulasi dan Kodifikasi Syariah

3.1.1 Problem Formulasi dan Kodifikasi Syariah

Kebanyakan umat Islam percaya, bahwa warisan hukum Islam senantiasa bisa menjawab semua persoalan masyarakat Muslim, kapan saja dan di mana saja. Maka mereka ingin menempuh cara yang sama seperti generasi tempo dulu, tanpa ada perbedaan dalam usul fiqh dan hukum Islam. Karena itu mereka menolak mentah-mentah formulasi hukum Barat, baik pada ranah nasional maupun internasional, terutama berkenaan dengan dokumen-dokumen Deklarasi Universal HAM.

Seperti diketahui bahwa pendekatan hak asasi manusia dibangun di atas pondasi nilai-nilai universal yang memungkinkan kerjasama antara berbagai komunitas dunia yang plural. Sementara ciri dominan agama (syariah) adalah bersifat eksklusif, di mana para penganutnya cenderung menegaskan tradisi

agama (syariah) lain, dengan menganggap tradisi agamanya lebih superior. 182 Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa eksklusivitas iman cenderung

melemahkan kemungkinan kerja sama damai antara berbagai komunitas iman. 183 Karena itu, di dunia Islam, kesulitan utama merumuskan standar universal hak

asasi manusia adalah bagaimana membuat agar eksklusivisme itu dapat lebih apresiatif terhadap perkembangan dan keragaman yang ada, baik secara eksternal maupun internal. Beragamnya corak syariah —di mana syariah tradisional dan modern bertentangan satu sama lain secara doktrinal dan tafsiran-maka bersandar pada syariah secara absolut dalam menetapkan hak asasi manusia akan menimbulkan masalah. Antara lain karena dalam syariah tidak ada panduan yang definitif dan pasti mengenai hak asasi manusia. Sementara hak asasi manusia

adalah isu baru, sistematik, terperinci dan aktual. 184

Na‘im, Dekonstruksi Syariah, op.cit., hal. 281-285. Lihat Abdullahi Ahmed An- Naim, ―Human Rights, Religion and Secularism: Does it have to be a choice?‖ Agustus, 2000. 184 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, op.cit., hal. 67.

182 Abdullahi Ahmed An-

Inilah yang seringkali menyebabkan ambiguitas di dunia Islam antara klaim dan praktik. Misalnya di satu sisi terdapat klaim bahwa Islam memiliki doktrin hak asasi manusia yang lebih lengkap daripada konsep hak asasi manusia Barat seperti klaim Abu A‘la Maududi. Namun, di sisi lain terdapat kontradiksi- kontradiksi implementasi ‘Hak Asasi Manusia Islam‘ di dunia Islam. Kasus pengusiran seorang pembaharu Mesir, Nashr Hamid Abu Zaid, karena pemikirannya berbeda dengan pandangan mainstream memperlihatkan hal ini. Kasus serupa juga dialami terlebih dahulu oleh pemikir asal Pakistan Fazlur Rahman, cendekiawan Iran Abdul Karim Soroush, serta Abdullahi Ahmed An- Na‘im asal Sudan. Mahmoud Thaha, guru An-Naim, bahkan dihukum gantung

oleh rezim berkuasa di Sudan tahun 1985. Dalam derajat yang berbeda, represi semacam ini juga diterima oleh Harun Nasution dan Nurcholish Madjid di Indonesia. Belakangan, represi serupa dilakukan oleh kalangan Islam garis keras terhadap para penulis, pemikir, dan peneliti yang pemikiran dan hasil

penelitiannya bertentangan dengan ‘kebenaran‘ Islam. 185 Karenanya, dalam lokalitas budaya Islam yang perlu dilakukan adalah

‖membangun teknik penafsiran ulang atas sumber-sumber dasar al-Qur‘an dan Sunnah, dengan cara yang memungkinkan kaum Muslim bisa menyingkirkan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap hak-hak manusia tertentu. 186 Bassam Tibi

juga merekomendasikan keharusan syariah diterapkan pada masa modern dengan prakondisi, yaitu bagaimana membuat syariah lebih fleksibel sehingga dapat menampung apa yang disebutnya sebagai cultural accomodation of change, seperti hak asasi manusia universal. Tanpa prakondisi ini, syariah sangat mungkin hanya menjadi residu masa praindustri yang belum mengenal hak asasi manusia universal. Untuk itu perlu dilakukan rekonstruksi terhadap syariah terlebih

dahulu. 187

185 Yusuf Rahman, Kebebasan Akademik dalam Tradisi Islam , (Jakarta: PBB dan KAS, 2003), hal. 1-5. 186 Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, loc.cit. 187 Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan

Dunia Baru, terjemahan Imron Rosyidi, dkk. dari The Challenge of Fundamentalism, Political Islam and New World Disorder, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hal. xv, 203-271, dan Azyumardi Azra, ―Syariah Islam dalam Bingkai Nation State‖, dalam Komarudin Hidayat dan