Syariah dan Hak-Hak Non-Muslim
3.3 Syariah dan Hak-Hak Non-Muslim
Menurut Abdullahi Ahmed an- Naim, syariah ‘tradisional‘ memberi peluang bagi diskriminasi yang serius terutama menyangkut relasi antar agama. Karenanya, syariah tradisional yang berkaitan dengan persoalan non-Muslim tak
layak lagi dipertahankan. 219 Memang banyak faktor yang mempengaruhi cara pandang ulama fikih dan juga kaum muslimin terhadap persoalan non-muslim. Di
antaranya adalah pergulatan sejarah yang kelam antara Muslim dan non- Muslim, 220 terutama saat terjadi pengkhianatan kaum Yahudi terhadap Nabi
Muhammad di Madinah; dukungan kaum Nasrani terhadap tentara Salib dalam perang Salib (1097-1291 M); dan belakangan kolonialisme Barat terhadap dunia Islam pada masa modern. Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah juga cara kaum Muslim memahami teks-teks al- Qur‘an dan Hadis, yang seringkali dilakukan secara parsial. Akibat beberapa faktor di atas, beberapa hukum Islam (syariah) yang berkaitan dengan non-Muslim yang terdokumentasi dalam syariah (fikih) tampaknya sulit diharapkan untuk membantu menjembatani hubungan
antara Muslim dan non-Muslim. 221 Dalam beberapa literatur fikih, baik klasik maupun modern, paradigma
seperti yang dijelaskan di atas yang membedakan status Muslim dan non-Muslim sangat tampak. Fikih-fikih tersebut, terutama fikih klasik, tentu saja tidak sepenuhnya dapat dikatakan ‘tepat‘, karena lagi-lagi konteks (situasi zaman) saat
218 Ibid., hal. 209. 219 Abdullahi Ahmed an- Na‘im, ―Syariah dan Isu-Isu HAM‖, dalam Syukron Kamil dan
Chaider S. Bamualim (eds.) Syariah Islam dan HAM, op.cit.,hal. 69. 220 Lihat misalnya pada tulisan Karen Armstrong, Holy War: The Crussade and Their Impact on Today‟s Worlds, (New York: Anchor Books, 2001). 221 Mun‘im A. Sirry (ed.), Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. 142.
hukum-hukum tersebut dibuat memang cukup kondusif bagi terciptanya hukum yang membedakan Muslim dan non-Muslim. 222
Secara teoretis, tampak sekali bahwa semangat syariah Islam pada awalnya adalah bersifat melindungi dan memberikan hak-hak non-muslim, seperti dalam Piagam Madinah. Namun, dalam praktiknya di beberapa negara Muslim dewasa ini, yang sering terjadi justru berbagai penyimpangan yang mengaburkan makna serta semangat yang dikandung syariah itu sendiri. Dalam kapasitasnya sebagai non-muslim, ahl dzimmah
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak setara dengan komunitas Muslim. Kendati non-Muslim dzimmi diperbolehkan beribadah sesuai dengan keyakinannya dan dibolehkan menerapkan hukum keluarganya, mereka tidak dibolehkan mendakwahkan ajaran agama mereka. Dalam urusan agama, mereka dipimpin oleh masing-masing pemuka agama mereka. Namun, dalam urusan publik, semua jabaran administratif dan politis haruslah dipegang oleh Muslim. Mereka tidak bisa menduduki posisi- posisi strategis dalam pemerintahan. Mereka juga tidak boleh menjadi pemimpin politik dan anggota majelis permusyawaratan. Mereka tidak punya hak suara,
bahkan mereka diwajibkan membayar 223 jizyah . Atas dasar ini, ahl dzimmah seringkali disebut sebagai kelompok kelas dua dan menurut Mohammed Arkoun,
model toleransi yang diberikan fikih atau syariah di atas adalah model toleransi tanpa peduli. Alasannya karena konsep dzimmah dalam praktik disertai rekayasa untuk mengurangi peran kelompok non-muslim dan menegaskan keunggulan
Islam atau yang lain. 224 Namun bagi Arkoun, konsep ini masih lebih baik ketimbang kondisi kaum Muslim dalam masyarakat agama lain. 225
222 Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim (eds.) Syariah Islam dan HAM, op.cit.,hal. 70.
223 Ann Elizabeth Mayer, Islam & Human Rights, op.cit., hal. 135-136. 224 Sebagai realitas sejarah, di Sudan misalnya, bahwa komunitas Sudan Selatan yang
kebanyakan warga non-Muslim menderita, karena syariah sebagai satu-satunya sumber hukum yang berlaku di Sudan pada masa rezim Numeiru sejak tahun 1983. Penerapan syariah di Sudan bertentangan dengan kepentingan berbagai komunitas Kristen, hak-hak individu, persamaan di mata hukum, dan usaha-usaha penegakan keadilan masyarakat yang majemuk, dilihat dari sudut ras, etnisitas, dan agama. Dalam bidang hukum, rezim Numeiri menghidupkan kembali hukum pidana Islam yang diterapkan juga kepada non-Muslim. Hal ini mengakibatkan minoritas non- Muslim di Sudan menjadi target diskriminasi, represi, dan degradasi, karena status mereka sebagai non-Muslim. Lihat Syukron Kamil dan Chaider S. Bamualim (eds.) Syariah Islam dan HAM,
Berdasarkan penjelasan di atas, penafsiran yang membedakan hak-hak publik non-Muslim dengan kaum Muslim merupakan penafsiran yang tidak kontekstual (terpaku oleh penafsiran klasik) dan juga penafsiran yang parsial terhadap ayat-ayat atau hadis yang cenderung membedakannya. Padahal menurut Nurcholish Madjid, prinsip-prinsip (keterbukaan, saling menghargai dan toleransi) yang mendasari berbagai kebijakan politik kebebasan beragama dalam Islam klasik memiliki kesamaan, pada tingkat tertentu, dengan prinsip-prinsip yang ada pada zaman modern ini. Bahkan tak berlebihan jika dikatakan kebebasan beragama di zaman modern adalah pengembangan lebih lanjut yang konsisten dengan yang ada dalam Islam klasik. Contoh kebebasan beragama dalam masyarakat Islam klasik itu tercermin dalam Piagam Madinah dan Dokumen Aelia yang dibuat oleh Umar bin Khaththab dengan penduduk Yerusalem atau Bayt Maqdis, al-Quds (Aelia), setelah kota suci itu dibebaskan oleh tentara
Muslim. 226 Sejarah Islam pada masa Rasulullah dan para sahabatnya adalah
pengalaman kesejarahan yang sangat agung ( the great history ). Para sejarawan Islam menyebut bahwa pengalaman Madinah merupakan kondisi dan peristiwa historis yang paling ideal dalam Islam sepanjang masa yang sangat menghargai toleransi dan pluralisme beragama. Mohammed Arkoun berpendapat bahwa pengalaman Madinah tak mungkin bisa ditiru oleh generasi mana pun sesudah Nabi Muhammad. Dalam bidang politik, Robert N. Bellah menyimpulkan bahwa piagam Madinah merupakan prototipe sistem demokrasi modern dalam Islam. Dasar toleransi umat beragama dalam Piagam Madinah memiliki kekuatan hukum yang sangat substansial dan mendasar. Ide Piagam Madinah adalah murni bersifat
Islami karena secara derivatif berakar pada nilai al- 227 Qur‘an.
op.cit., hal. 75-76. 225 Suadi Putro, Muhammad Arkoun, Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998),
hal. 88-95. 226 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, op.cit., hal. 190. 227 Syafiq Hasyim, ―Rumah Ibadah, Toleransi, dan Dialog Antarumat Beragama‖, dalam Nur Achmad, Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hal. 64-65.
Oleh karena itu, perbedaan agama tidak menyebabkan adanya perlakuan yang diskriminatif terhadap agama lain. Tidak ada pertentangan antara konsep Islam mengenai ahl dzimmah (non-Muslim) dengan konsep kewarganegaraan. Bahkan konsep ahl dzimmah sejalan dengan konsep kewarganegaraan, yang mana setiap penganut agama mesti mendapat perlindungan negara, sesuai dengan konstitusi, undang-undang, dan konsensus bersama, tanpa melihat apa agamanya. Apalagi dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, yang merupakan
fenomena terkini yang tidak bisa dihindarkan. 228