Unsur Intrinsik Novel Detik Terakhir

2. Tokoh

Terdapat beberapa tokoh yang menunjang jalan cerita novel DT antara lain seorang wartawati, Arimbi, kedua orang tua Arimbi, Rajib, dan Vela. Analisis tokoh dilakukan dengan melihat dari dua dimensi yaitu sosiologis, dan psikologis.

a. Dimensi sosiologis Dimensi sosiologis tokoh meliputi ciri-ciri kehidupan tokoh dalam masyarakat. Misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, a. Dimensi sosiologis Dimensi sosiologis tokoh meliputi ciri-ciri kehidupan tokoh dalam masyarakat. Misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat, tingkat pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup,

1) Tokoh Wartawati. Seorang wartawan dari sebuah majalah. “Oleh karenanya, mendapatkan keterbukaan orang-orang itu, entah itu pecandu atau pemakai, adalah rezeki bagus bagi wartawan seperti saya.” (Alberthiene Endah, 2006: 10).

Kutipan tersebut merupakan sebuah pernyataan tentang profesi wartawan dari tokoh wartawati. Saat itu tokoh wartawati tengah mewawancarai Rajib yang sedang dipenjara, untuk artikel mengenai sindikat narkoba. Dari kutipan tersebut juga bisa diperoleh gambaran tentang betapa susahnya mendapatkan keterbukaan dari para pecandu atau pengedar narkoba, hingga dibutuhkan keahlian untuk mengambil kepercayaan dari para pecandu atau pengedar narkoba tersebut, agar bisa mengorek informasi sebanyak dan sedalam mungkin. Ia memiliki hubungan dengan Dokter Gunawan sebagai kenalan baik. “Dokter Gunawan tertawa kecil. ‘Setelah makan siang usai akan saya kenalkan kamu padanya. Berjanjilah, ini bukan untuk kepentingan artikelmu, kan? Kasus Arimbi sensitif. Orangtuanya bisa marah besar, jika tahu saya membiarkannya ditemui wartawan.’ Alis dokter itu sedikit naik. Saya mengangguk.” (Alberthiene Endah, 2006: 17) .

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa tokoh Wartawati memiliki akses untuk dapat bertemu dengan Arimbi, atas bantuan dari Dokter Gunawan bahkan dengan resiko kemarahan orangtua Arimbi. Tokoh Wartawati merupakan kenalan baik Dokter Gunawan, salah satu pemilik Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa tokoh Wartawati memiliki akses untuk dapat bertemu dengan Arimbi, atas bantuan dari Dokter Gunawan bahkan dengan resiko kemarahan orangtua Arimbi. Tokoh Wartawati merupakan kenalan baik Dokter Gunawan, salah satu pemilik

2) Arimbi. Seorang pelajar tingkat akhir di sebuah SMU berumur 19 tahun. “Ya, inilah saya sekarang. Arimbi sembilan belas tahun. Sebentar

lagi lulus SMU.” (Alberthiene Endah, 2006: 94). Arimbi adalah Anak tunggal dari pasangan pebisnis kaya dan terkenal. “‘Dia tergolong pasien yang dirahasiakan,’ katanya tanpa nada menyalahkan saya. ‘Saya tahu’. ‘Anda tahu dia anak siapa?’. Saya mengiyakan. Rajib sempat memberitahu saya latar belakang Arimbi, dan saya sangat kaget. Orangtuanya sangat popular. ‘pasangan Ruslan Suwito dan Marini Ruslan. Pengusaha papan atas yang punya pamor sangat baik di mata khalayak’ ” (Alberthiene Endah, 2006: 11-12).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Arimbi adalah anak dari pengusaha papan atas yang sangat populer, hingga keberadaannya di panti rehabilitasi dirahasiakan, ini untuk menjaga pamor baik kedua orangtuanya di mata umum.

Pergaulan Arimbi dengan masyarakat di sekitar rumahnya tidak terlalu baik, karena kegiatan sehari-hari sangat dibatasi oleh orangtuanya, ia hanya berteman dengan teman-teman satu sekolahannya serta anak-anak dari rekan kerja ayah atau ibunya.. Seperti kutipan berikut. “ Saya bilang, hidup saya tak punya cerita. Apa yang bisa diceritakan dari hari-hari yang hanya punya tiga titik tempat. Rumah, sekolah, dan mobil mewah.” (Alberthiene Endah, 2006: 31).

Dalam kutipan tersebut dapat diketahui bahwa kehidupan Arimbi telah terjadwal. Ia tidak memiliki kebebasan untuk menunjukkan dan menentukan apa yang diinginkannya. Ia tidak leluasa bergaul dengan masyarakat sekitar, karena tidak pernah ada kesempatan untuk mengenal lingkungan di luar rumahnya.

3) Tokoh mama. Ibu Arimbi bernama Marini Ruslan. memiliki bisnis event organizer yang bergerak dibidang pameran lukisan.

“Mama saya punya sejuta daya tarik. Bukan saja karena tubuhnya yang cantik selalu terbalut gaun menarik. Tetapi juga karena dia pintar membawa diri di luar rumah. Dia punya bisnis event organizer, terutama bergerak di bidang pameran lukisan. Di rumah kami, ada lemari besar khusus untuk menyimpan berkas kerja Mama yang sangat banyak. Ada brosur-brosur pameran, dokumen undangan, juga tetek bengek lainnya. Mama punya kantor sendiri. tak jauh dari rumah. Masih di kawasan mewah Kebayoran Baru.” (Alberthiene Endah, 2006: 30).

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa ibu Arimbi tidak hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, melainkan memiliki bisnis yang bisa dibilang cukup besar, bukan hanya bisnis rumahan biasa, mengingat sudah memiliki kantor sendiri.

Selain memiliki bisnis, Marini juga seorang pecinta barang-barang mewah bermerk. Ia menjadikan barang-barang tersebut sebagai koleksinya “Begitu hidung saya bisa mengendus, saya tahu ibu wanita dengan cita rasa tinggi yang terpuaskan dengan sempurna karena uang Papa yang tiada batas. Dia punya kamar besar dengan koleksi berlian, jam tangan, pakaian, dan sepatu yang luar biasa banyaknya” (Alberthiene Endah, 2006: 25).

4) Tokoh papa. Ayah Arimbi bernama Ruslan Suwito. Seorang pebisnis dengan beberapa usaha, yaitu perkebunan kelapa sawit, usaha ritel, dan 4) Tokoh papa. Ayah Arimbi bernama Ruslan Suwito. Seorang pebisnis dengan beberapa usaha, yaitu perkebunan kelapa sawit, usaha ritel, dan

Sumatera, usaha ritel di Jakarta, dan bisnis properti” (Alberthiene Endah, 2006: 25). Sebagai pengusaha sukses, lingkup pergaulan Ruslan Suwito tidak hanya sebatas teman kantor, atau relasi bisnis, tetapi hingga perwira tinggi TNI. Semuanya adalah orang-orang penting dan besar. “Papa anggota klub eksekutif terkenal di Jakarta. Dia punya kehidupan sosial yang bagus. Dari pengusaha-pengusaha kelas kakap, kalangan pejabat, sampai orang-orang hiburan. Papa juga punya sahabat sejumlah perwira tinggi TNI. Sebulan sekali dia mengadakan jamuan makan di rumah, dengan tamu yang berganti-ganti” (Alberthiene Endah, 2006: 30).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Rusla Suwito memiliki relasi yang baik dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari pengusaha-pengusaha besar hingga perwira tinggi TNI.

5) Rajib. Seorang pengedar nakoba. Ia jarang berhubungan atau bergaul dengan lingkungan tempat tinggalnya, karena sebagai pengedar narkoba, ia harus terus waspada, hingga jarang sekali bertemu dan berhubungan dengan masyarakat sekitar. Waktunya tersita di luar rumah untuk bertransaksi. “Rajib selalu pulang tengah malam. Pada matanya saya temukan perasaan khawatir. ‘apakah tidak terjadi apa-apa sepanjang siang hari ini?’. Selalu begitu bunyi pertanyaannya. Dia lalu pergi mandi tanpa bicara apa-apa. Dia tidak pernah makan. Sebab orang seperti dia menuntaskan segala hajat hidup di luar sana. Pulang hanya untuk bersembunyi. Kehidupan pengedar” (Alberthiene Endah, 2006: 163).

Kutipan tersebut memperlihatkan kehidupan seorang pengedar seperti Rajib, yang tidak pernah tinggal lama di rumah, serta memiliki kewaspadaan yang tinggi, karena para pengedar seperti Rajib adalah buronan polisi. Sehingga Rajib sangat berhati-hati dalam berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain meskipun tetengga dekat.

Rajib menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Rajib harus menghidupi ibu dan ketiga adiknya. “Vela mengenal Rajib tak jauh-jauh. Teman sekelasnya sendiri. Anak sopir taksi yang menjadi yatim karena ayahnya kecelakaan dan mati. Rajib harus menanggung ibu dan tiga adiknya yang masih kecil-kecil (Alberthiene Endah, 2006: 76).

6) Vela seorang pecandu narkoba berdarah Manado-Belanda. Lihat kutipan berikut “Satu diantaranya seorang gadis bertubuh sangat ceking. Rambutnya kemerahan dengan paras yang sangat manis. Dia berdarah Menado-Belanda. Namanya Vela.” (Alberthiene Endah, 2006: 70). Kutipan tersebut adalah awal perkenalan Arimbi dengan Vela yang terjadi ketika keduanya bertemu di tempat nongkrong para pecandu narkoba.

Kehidupan sebagai pengedar membuatnya jarang berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya, dan hanya berteman dengan orang dalam komunitas yang sama, yaitu para pemakai dan pengedar narkoba.

b. Dimensi Psikologis Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan tokoh. Misalnya mentalitas, ukuran moral, temperamen, perilaku, tingkat keahlian tertentu Dimensi psikologis tokoh-tokoh dalam novel DT adalah sebagai berikut.

1) Tokoh wartawati adalah seorang yang memiliki rasa ingin tahu besar. Pandai berbicara dan melihat situasi sehingga dia bisa mendorong Arimbi untuk bercerita, padahal Arimbi terkenal tidak pernah mau terbuka pada siapapun.

Ia tidak suka memanfaatkan kesempatan untuk kepentingannya sendiri, lihat kutipan berikut “Dengan cara dan keleluasaan sebagai wartawan, tidak patut saya memanfaatkan kejujuran itu untuk kepuasan telinga dan perasaan saya semata. Atau mempergunakannya sebagai komoditas mendongkrak tiras majalah saya.” ( Alberthiene Endah , 2006: 10).

Maksud dari kata “kejujura itu” dalam kutipan tersebut adalah kejujuran dari para nara sumber yang disini adalah para pecandu dan pengedar narkoba. Dapat dilihat bagaimana tokoh wartawati tidak suka memanfaatkan posisinya sebagai wartawan untuk kepentingan dirinya sendiri.

2) Arimbi seorang yang pemberani dan berkemauan keras. Pantang menyerah dalam mengejar sesuatu yang dianggapnya benar. Kehidupan rumah yang tidak kondusif membuatnya lari ke hal-hal yang negatif yang dianggapnya sebagai jalan keluar.

“Kami menghabiskan rokok beramai-ramai. Dan bercerita apa saja. Tentang orangtua, tentang guru, tentang pacar. Kebanyakan dari kami punya kebingungan yang nyaris sama. Orangtua yang bertengkar, suasana rumah yang tak enak, guru-guru yang semakin tega memberi pelajaran sukar. Tapi kami hanya melampiaskan. Tanpa ada solusi apa- apa. Sebab bukankah pada usia kami, segalanya memang terpaksa harus dituruti ? ” (Alberthiene Endah, 2006: 52).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa ketidaksukaan terhadap orangtuanya di dilampiaskan dengan tindakan yang salah serta bersama Dari kutipan tersebut terlihat bahwa ketidaksukaan terhadap orangtuanya di dilampiaskan dengan tindakan yang salah serta bersama

Kehidupannya yang diwarnai dengan pertengkaran dan kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya, menjadikan ia sebagai sosok yang membenci laki-laki dan enggan menjadi wanita, lihat kutipan berikut “Saya takut atau benci pada lelaki, karena saya ingat papa. Dan saya enggan jadi perempuan karena saya tak mau sebodoh mama.” (Alberthiene Endah, 2006: 59), terlebih lagi saat ia mengetahui bahwa kedua orang tuanya telah memiliki kekasih lain (berselingkuh).

3) Ibu Arimbi. Ia seorang yang menilai segala sesuatu dengan uang dan sangat menjaga reputasi. Nama baik adalah hal yang paling penting buatnya. “Ada satu yang Mama pesan. Please, jika kamu sudah pulih dan bebas keluar nanti, jangan katakan pada siapa pun kamu kena narkoba. Ya? Cukup Papa dan Mama yang tahu. Bukannya apa-apa. Kamu kan tahu nama Papa dan Mama di luaran sana cukup dikenal. Jadi Bantu kami agar nama keluarga tidak jadi tercoreng gara-gara kamu. Ya?” (Alberthiene Endah, 2006: 104).

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Ibu Arimbi hanya memikirkan nama baik dia dan suaminya saja. Tanpa memedulikan keadaan Arimbi yang saat itu baru saja pulang dari pusat rehabilitasi setelah menjalani detoksifikasi yang menyakitkannya.

Hubungan yang buruk dengan suaminya membuatnya mencari kesenangan lain di luar rumah, yaitu berselingkuh dengan seorang pelukis muda yang tengah diorbitkannya. “Setelah Papa pergi, Mama menelepon Hubungan yang buruk dengan suaminya membuatnya mencari kesenangan lain di luar rumah, yaitu berselingkuh dengan seorang pelukis muda yang tengah diorbitkannya. “Setelah Papa pergi, Mama menelepon

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Ibu Arimbi menjalin hubungan dengan pria lain tanpa memutuskan hubungan pernikahan dengan suaminya, hal ini merupakan sebuah perselingkuhan. Hubungan pernikahannya kerap diwarnai tindak kekerasan, akan tetapi dia tetap mempertahankan pernikahannya karena uang dan reputasi di mata publik, dan selingkuh menjadi salah satu jalan baginya untuk memenuhi kebutuhannya akan cinta dan kasih sayang.

4) Ruslan Suwito suka berpenampilan rapi dan elegan. Kesibukannya menyita banyak waktu, hingga jarang berkumpul dan menghabiskan waktu dengan keluarga di rumah.

“Papa penggemar penampilan mewah. Dia mengenakan jas Armani atau Zegna setiap hari. Dasinya Prada. Papa memiliki belasan sepatu Tod’s. Membawa tas kerja Hermes. Papa punya dua handphone dan satu communicator. Tiap malam dia membaca The Jakarta Post, Times, dan Business Week. Jika sudah bosan, Papa menonton CNN. Dia hanya menyisihkan sedikit waktu untuk mengobrol dengan Mama. Dan mungkin hanya sekali dalam seribu pertemuan kami, dia mendaratkan ciuman di pipi saya. Barangkali waktu dan tenaga mereka memang sudah habis terkuras buat orang lain.” (Alberthiene Endah, 2006: 30).

Tempramennya keras dan kasar. Sering kali memukuli istrinya jika sedang bertengkar, tak hanya itu ia juga berselingkuh dengan seorang model bernama Angela. Sama dengan istrinya, ia suka menyelesaikan semua permasalahan dengan uang.

Nama baik adalah segalanya bagi dia, demi menghindari nama baiknya tercoreng dia bermaksud mengirimkan Arimbi ke Los Angles dengan alasan untuk pengobatan dan memberikan suasana yang baru bagi Arimbi.

5) Rajib adalah seorang yang bertanggung jawab. Seorang pemberani yang akan melakukan apa saja demi orang yang dicintai. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Dari Vela saya segera mengetahui, dia telah menceritakan segalanya pada Rajib. Tentang pemerkosaan itu, tentang traumanya, dan tentang perasaannya yang tidak disertai getar apa-apa pada Rajib. Dia juga mengatakan tentang saya. Dan cintanya pada saya. Rajib tak bisa dilarang untuk tidak menemui bandar yang memerkosa Vela. Rajib menghajarnya, di kandang lawan” (Alberthiene Endah, 2006: 90).

Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana Rajib dengan berani menemui dan menghajar Bandar yang telah memperkosa Vela. Meski tahu bahwa ia tidak akan menang karena anak buah Bandar tersebut akan balik menghajarnya, ia tetap pergi untuk membalas dendam Vela.

6) Vela seorang yang memiliki masa lalu yang kelam. Tersiksa hidup di rumah tantenya. Menjadi pengedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia labil dan rapuh karena frustasi, setelah diperkosa oleh seorang Bandar besar. “Tapi Vela tak tahan. Trauma yang dia rasakan membuatnya menghirup shabu dengan kebutuhan yang teramat sangat. Hanya butuh satu minggu untuk membuatnya menjadi pemadat tak terkendali” (Alberthiene Endah, 2006: 82).

Hal tersebut membuat Vela beralih menjadi pecandu narkoba, yang kemudian membuat kesuksesannya sebagai seorang pengedar jatuh. Dapat dilihat bahwa tidak butuh waktu lama untuk membuat seseorang menjadi seorang pecandu.

3. Latar

Latar adalah tempat atau waktu terjadinya suatu peristiwa dalam sebuah cerita. Novel DT berlatar kota besar, terutama Jakarta sekitar tahun 2000, dengan segala permasalahan yang melingkupinya, baik masyarakat dengan golongan ekonomi menengah ke atas maupun masyarakat dengan golongan ekonomi menengah ke bawah. Gaya hidup masyarakat metropolitan yang bebas dan sudah tak terjangkau norma-norma masyarakat sangat melekat dalam novel ini. Seks bebas, perselingkuhan, rokok, dunia malam (diskotik), narkoba, miras, dan banyak lagi.

a. Latar tempat. Ada beberapa tempat yang menjadi latar dalam novel ini. Beberapa kota besar yang menjadi latar dalam novel ini adalah Jakarta, Bogor, dan Bali. Penggambaran latar fisik dapat dilihat dari penggambaran ibu kota, Jakarta, yang bisa langsung diketahui karena disebutkan secara jelas. “Kami memang harus lari. Lari dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya mendekam di Jakarta. Tapi jauh, mungkin keluar pulau Jawa. Untuk itu saya butuh biaya. Dari mana uang bisa datang ? Saya tak mungkin meminjam pada Rajib. Saya tahu saya harus berbuat sesuatu.” (Alberthiene Endah, 2006: 164).

Kota Jakarta digambarkan sebagai latar cerita dalam kutipan tersebut. Arimbi ingin lari dari keluarganya, ke luar Jakarta atau keluar pulau Jawa sekalian. Karena bagi Arimbi jika masih berada di Jakarta orangtuanya akan dengan mudah kembali menemukannya.

Namun untuk lebih menjelaskan bahwa tempat yang dimaksud adalah Jakarta, bisa dilihat dari kota-kota yang menjadi latar dalam novel ini. Misalnya Kebayoran Baru, bilangan sudirman, Rawamangun, Tebet, Glodok, atau kawasan gedung MPR/DPR. Tempat-tempat itu berada di dalam wilayah kota Jakarta, dan masih banyak lagi tempat atau suasana kekotaan yang memperjelas, bahwa tempat yang dimaksud pengarang adalah kota Jakarta. “Jalanan di depan gedung MPR/DPR macet. Saya meradang. Ucapan Rajib menusuk hati saya.” (Alberthiene Endah, 2006: 132).

Kota besar lain yang menjadi latar dalam novel ini adalah Bali. Bali menjadi tempat terjadinya peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Ruslan Suwito terhadap istrinya Marini Ruslan, dan menurut Arimbi itu adalah peristiwa kekerasan yang paling hebat yang pernah dilihatnya selama ini. “Pemukulan terhadap mama, paling hebat terjadi di akhir tahun 1998. Ketika kami berada di Bali untuk merayakan Tahun Baru. Kami tidak tinggal di hotel atau resort. Tapi di vila mewah milik seorang kolega Papa. Terletak dekat Pantai Sanur. Kolega Papa dengan baik hati juga meminjamkan Mercy sekalian sopirnya.” (Alberthiene Endah, 2006: 36). Selain disebutkan dengan jelas, bisa juga dilihat dari tempat-tempat terkenal di Bali yang disebutkan, seperti pantai Sanur dan kawasan Patung Garuda Wisnu Kencana.

Bogor adalah daerah panti rehabilitasi narkoba tempat Arimbi menjalani perawatan berada. Panti rehabilitasi tersebut berada di kawasan puncak.

“Kami berkendara jauh. Melewati tol jagorawi. Menembus Cisarua. Mencapai puncak. Berkelok, menikung, dan berhenti di depan pagar besar dari kayu. Ada di tengah perkampungan. Rumah yang sangat besar. Besar sekali. Beberapa menit kemudian, saya tahu di dalamnya ada begitu banyak orang. Dengan sorot mata yang sama dengan saya. Saya tahu sekarang. Saya berada di dalam panti rehabilitasi” (Alberthiene Endah, 2006: 114).

Tidak hanya disebutkan nama kotanya secara jelas, tetapi juga suasa atau kondisi lingkungan kota tersebut juga diceritakan. Suasana daerah puncak digambarkan dengan udara yang dingin.

b. Latar waktu. Sedikit keterangan waktu dapat dilihat ketika Arimbi sekeluarga berada di Bali dalam rangka merayakan pergantian tahun, dijelaskan bahwa saat itu adalah akhir tahun 1998. Lihat kutipan berikut. “Pemukulan terhadap mama, paling hebat terjadi di akhir tahun 1998. ketika kami berada di Bali untuk merayakan Tahun Baru. Kami tidak tinggal di hotel atau resort. Tapi di vila mewah milik seorang kolega Papa. Terletak dekat Pantai Sanur. Kolega Papa dengan baik hati juga meminjamkan Mercy sekalian sopirnya.” (Alberthiene Endah, 2006: 36).

Saat menceritakan kisah itu ia sudah berseragam putih abu-abu (SMA) dan pada cerita selanjutnya ia dikatakan berusia tujuh belas tahun. “Ketika usia saya tujuh belas tahun, saya belum juga bisa mengenali dengan baik kedua orang tua saya. Mereka asyik dengan dunia mereka yang tidak saya mengerti” (Alberthiene Endah, 2006: 43).