Analisis Sosiologi Sastra

B. Analisis Sosiologi Sastra

Teori sosiologi sastra digunakan untuk menganalisi problem-problem sosial masyarakat kota besar terutama di Jakarta, yang terdapat dalam novel DT karya Alberthiene Endah. Problem-problem tersebut antara lain disharmonisasi keluarga, pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, dan disorientasi seksual.

1. Disharmonisasi Keluarga. Permasalahan disharmonisasi tidak hanya melanda masyarakat menengah ke bawah yang sarat dengan berbagai permasalahan hidup terutama ekonomi, akan tetapi juga melanda masyarakat menengah ke atas, dengan kehidupan ekonomi yang sangat mapan serta kehidupan sosial yang baik. Seperti yang kini banyak diberitakan di televisi ataupun surat kabar, mengenai perceraian, permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, maupun permasalah perselingkuhan. Masalah-masalah tersebut seakan sudah menjadi berita biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Disharmonisasi keluarga yang terdapat dalam novel DT disebabkan oleh berberapa unsur, yaitu diskomunikasi antar anggota keluarga dan isu perselingkuhan. Disharmonisasi/disorganisasi keluarga dapat diartikan sebagai perpecahan dalam keluarga sebagai suatu unit, oleh karena anggota-anggota Disharmonisasi keluarga yang terdapat dalam novel DT disebabkan oleh berberapa unsur, yaitu diskomunikasi antar anggota keluarga dan isu perselingkuhan. Disharmonisasi/disorganisasi keluarga dapat diartikan sebagai perpecahan dalam keluarga sebagai suatu unit, oleh karena anggota-anggota

Keluarga yang mengalami disharmonisasi, ditandai dengan relasi orangtua yang tidak harmonis dan matinya komunikasi antara orangtua dan anak. Disharmonisasi yang terus berlangsung sering berakibat perceraian dan biasanya menjadi awal petualangan remaja di jalanan dan komunitas narkoba.

Anak-anak yang terabaikan, mendekatkan mereka pada kerusakan moral, pemakaian narkoba, dan pergaulan bebas. Beberapa waktu lalu sebuah stasiun TV melansir penelitian di Jakarta, 800 siswa SD terlibat narkoba (www.mail-

archive.com). 5 Setiap anggota keluarga memiliki peranan sosial yang berbeda menurut

kedudukannya dalam sebuah keluarga. Peran masing-masing anggota keluargalah yang dapat menopang tegaknya sebuah keluarga. Jika salah satu peran gagal dilakukan maka keluarga akan menjadi timpang dan tidak menutup kemungkinan bisa ambruk.

“Kamu anak kami satu-satunya. Harapan kami satu-satunya. Kenyataan yang kamu berikan sekarang kepada kami, adalah penghancuran yang luar biasa buat kami. Tak ada yang tahu selain kami, Ari. Nenek, Kakek, Oma, Opa, sanak saudara tidak ada yang tahu. Dan jangan sampai ada yang tahu. Ini aib. Mau dikemanakan muka Mama, muka Papa! Ayahmu orang yang sukses, ibumu aktif di mana-mana. Apa kata orang, kalau tahu kamu jadi seperti ini!” (Alberthiene Endah, 2006: 196)

Kutipan tersebut menggambarkan kekecewaan orangtua Arimbi terhadap perilaku Arimbi yang dianggap telah menghancurkan keluarga dan nama baik kedua orangtuanya. Sebuah keluarga terancam hancur karena peranan sosial anak tidak terlaksana dengan baik. Akan tetapi perilaku atau tindakan yang

5 Diunduh pada tanggal 29 Januari 2010 5 Diunduh pada tanggal 29 Januari 2010

Disharmonisasi memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan jiwa seseorang. Arimbi dalam novel DT mencitrakan dirinya sebagai seorang lesbian atas pemahamannya sendiri. Dia tidak mencoba bertanya kepada orang lain yang lebih bijaksana dan ahli di bidang tersebut, karena dia memang tidak tahu cara mengatasi konflik yang menimpanya.

“Ketika usia saya tujuh belas tahun, saya belum juga bisa mengenali dengan baik kedua orang tua saya. Mereka asyik dengan dunia mereka yang tidak saya mengerti. Saya terus tumbuh, berenang sendirian dengan tangan menggapai-gapai mencari kayu atau perahu yang bisa dijadikan tumpuan. Saya tak pernah melihat pelabuhan. Sebab tiada yang mengajarkan saya untuk berenang ke arah yang tepat. (Alberthiene Endah, 2006: 43)

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Arimbi tumbuh tanpa memiliki pegangan dan bimbingan untuk berjalan kearah yang benar dan tepat. Orangtua seharusnya menjadi tumpuan atau sandaran bagi anak-anak mereka, ketika sang anak sedang mencari jati diri dalam perkembangannya, tetapi kedua orangtua Arimbi selalu sibuk sendiri dengan dunia yang mereka sukai, dan membiarkan Arimbi dalam ketidaktahuannya.

Dalam proses pencarian identitas dirinya tersebut, kedua orangtuanya tidak pernah mendampingi untuk memberikan pengertian dan pemahaman. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Arimbi mengalami krisis dalam perjalannya mencari identitas diri. Ia bingung dengan kondisi yang terjadi di Dalam proses pencarian identitas dirinya tersebut, kedua orangtuanya tidak pernah mendampingi untuk memberikan pengertian dan pemahaman. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Arimbi mengalami krisis dalam perjalannya mencari identitas diri. Ia bingung dengan kondisi yang terjadi di

Meski pada awalnya ia berpikir kebencian terhadap orangtuanya adalah penyebab Ia menjadi lesbi, namun kemudian ia mulai ragu, dan pada akhirnya ia menerima perbedaan orientasi seksual yang dialaminya sebagai sebuah takdir. “Tidak. Saya tidak menyukai laki-laki bukan karena saya membenci papa. Bukan karena saya membenci kejahatan. Saya membenci laki-laki dan menyukai perempuan karena saya memang terlahir berbeda. Saya adalah sesuatu yang sering dianggap tabu itu. Tapi saya tidak punya siapa-siapa untuk bertanya. Saya butuh jalan keluar.” (Alberthiene Endah, 2006: 59-60).

Sepanjang pencarian identitas dirinya, tidak ada keluarga yang mendampingi dan memberikan pengarahan. Tidak ada tempat bertanya bagi Arimbi untuk menuntunnya ke arah yang tepat, maka ia mulai mencari jalan dan arahnya sendiri, mencoba mencerna yang terjadi disekitarnya dengan pemahaman dan pengertiannya sendiri.

Perpecahan dalam keluarga menengah ke bawah lebih banyak dikarenakan kesibukan salah satu atau kedua orangtua dalam pemenuhan kebutuhan hidup anggota keluarganya, atau juga karena salah satu anggota keluarga yang berperan sebagai kepala keluarga meninggal dunia.

Ketiadaan salah satu anggota keluarga, membuat kondisi keluarga menjadi kacau, terutama jika anggota yang meninggal adalah salah satu anggota keluarga yang memiliki peran penting dalam tegaknya sebuah keluarga, karena fungsi yang penting tersebut harus segera digantikan untuk menjaga kestabilan kondisi keluarga. Bila hal tersebut dibiarkan terus, akan terjadi ketidakseimbangan dalam keluarga yang akan mengakibatkan terjadinya disharmonisasi dalam keluarga tersebut.

Seperti yang dialami tokoh Rajib dalam novel DT. Kematian ayah Rajib membuat keluarganya diambang kehancuran, karena penopang ekonomi satu- satunya telah meninggal. Hal ini menyebabkan kondisi ekonomi keluarga tersebut kian memburuk, karena belum ada yang menopang ekonomi keluarga tersebut setelahnya.

Rajib yang saat itu tengah menikmati masa remaja dipaksa untuk menjadi dewasa. Ia harus menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung dan mencari uang untuk menghidupi ibunya yang menderita sakit asma serta ketiga adiknya yang masih kecil-kecil.

Hal ini terjadi secara mendadak dalam hidup Rajib. Frustasi dengan kondisi ekonomi yang kian buruk membuatnya nekat menjadi seorang pengedar narkoba. “Vela bergidik. Dipandangnya Rajib dengan kaku seperti melihat hantu. Dia memang miskin. Tapi dia tak pernah terpikirkan tentang….narkoba! ‘Ini bahaya,’ kata Vela melotot. Rajib mengangkat bahu. ‘Ibu saya mengidap asma yang parah. Adik saya kelaparan. Ini bukan bahaya. Ini jalan keluar.’ Vela tak bergerak. Kerongkongannya masih kaget dengan pengakuan Rajib” (Alberthiene Endah, 2006: 77).

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa kematian seorang anggota keluarga, dalam hal ini ayah, dapat menjerumuskan anggota keluarga lain dalam dunia kejahatan atau kriminal. Bagi Rajib yang saat itu masih duduk di bangku SMA, satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang yang banyak dalam waktu singkat hanyalah dengan menjadi seorang pengadar narkoba, meskipun dengan resiko yang cukup besar, bagi Rajib sesuatu yang berbahaya sekalipun asal dapat memenuhi kebutuhan keluarganya adalah sebuah jalan keluar..

Dalam masyarakat menengah ke atas disharmonisasi keluarga terjadi karena kesibukan orangtua dalam membangun karier dan nama baik untuk menaikkan pamornya di mata masyarakat luas, tidak adanya komunikasi, dan juga perselingkuhan. Para orangtua terlalu sibuk memikirkan kepentingan diri sendiri. Hal tersebut yang terlihat dari kisah hidup Arimbi dalam novel DT.

Permasalahan disharmonisasi keluarga memiliki dampak yang tidak sedikit bagi perkembangan anggota keluarga lain. Anak-anak, terutama yang menginjak masa remaja adalah anggota yang paling rentan terhadap dampak disharmonisasi keluarganya, mereka adalah anggota yang paling lemah dalam sebuah keluarga, karena belum memiliki status yang jelas, mereka selalu dituntut untuk menaati dan menjalankan peraturan yang telah diberikan kedua orangtuanya.

Keluarga menjadi faktor awal ketidakstabilan usia remaja. Tidak semua keluarga mampu menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Seperti yang dialami oleh tokoh Vela, seorang gadis Manado yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kedua orangtua Vela seharusnya bisa memenuhi kebutuhan dan memberikan kebahagiaan bagi keluarganya, akan tetapi karena Keluarga menjadi faktor awal ketidakstabilan usia remaja. Tidak semua keluarga mampu menciptakan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Seperti yang dialami oleh tokoh Vela, seorang gadis Manado yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kedua orangtua Vela seharusnya bisa memenuhi kebutuhan dan memberikan kebahagiaan bagi keluarganya, akan tetapi karena

“Vela datang ke Jakarta setelah orangtuanya yang miskin di Menado merasa perlu menitip-nitipkan anak-anaknya untuk melegakan kesulitan ekonomi. Dia dititipkan pada seorang tantenya di kawasan mayestik. Kakaknya, Igil, ditampung seorang tantenya yang lain di kawasan Rawamangun. Vela bisa sekolah. Makan cukup tiga kali sehari. Mendapat uang jajan meski tak memadai. Tapi dia dihina dan disakiti. Bekerja melebihi tugas pembantu.” (Alberthiene Endah, 2006: 73).

Kutipan tersebut menggambarkan awal kedatangan Vela ke Jakarta. Tinggal di rumah tantenya, tak membuatnya bisa merasakan kebahagiaan yang diinginkan kedua orangtuanya. Ia selalu diperlakukan layaknya pembantu dan selalu dianggap membebani.

Ketidakmampuan kedua orangtua Vela dalam memenuhi kebutuhan keluarganya membuat keluarganya menjadi tercerai-berai serta telah menjerumuskan Vela ke dalam dunia narkoba. Permasalahan ekonomi ternyata telah membawa sebuah permasalahan baru bagi sebuah keluarga. Keluarga Vela mengalami disharmonisasi. Keinginan untuk membuat kehidupan anaknya menjadi lebih baik justru menjatuhkan anaknya ke dalam hidup yang lebih sengsara.

Usia remaja adalah usia yang serba tidak pasti dan penuh gejolak. Pada satu sisi remaja ingin melepaskan diri dari pengaruh orangtua dan di sisi lain belum sepenuhnya berdiri sendiri. Dengan demikian, jika orangtua tidak mampu bertindak sebagai pengayom dan sosok yang dipercaya, remaja akan mencari tempat sandaran lain.

Faktor disharmonisasi dalam keluarga ternyata memiliki pengaruh yang sangat kuat dengan kenyataan biologis-psikologis kodrati remaja sebagai manusia. Remaja adalah usia yang paling rentan. Masalah pokoknya biasanya berpangkal pada pencarian identitas diri. Mereka umumnya membutuhkan kejelasan posisi sosial dalam lingkup pergaulan dimana mereka berada. Remaja mengalami krisis identitas seiring dengan transisi masa hidupnya: dari

anak-anak beranjak dewasa (www.balipost.co.id). 6 Hal inilah yang terjadi dalam proses perkembangan Arimbi.

Berikut ini adalah unsur-unsur yang menyebabakan disharmonisasi keluarga dalam novel DT, yaitu diskomunikasi dan isu perselingkuhan.

a. Diskomunikasi Diskomunikasi yang terjadi dalam novel DT, menimpa keluarga Arimbi. Hubungan Arimbi dengan kedua orangtuanya tidak dekat, dikarenakan mereka berdua terlalu sibuk dengan urusan bisnis masing- masing. “Dia hanya menyisihkan sedikit waktu untuk ngobrol dengan Mama. dan mungkin hanya sekali dalam seribu pertemuan kami, dia mendaratkan ciuman di pipi saya. (Alberthiene Endah, 2006: 30).

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa kesibukan ayah Arimbi membuatnya tidak memiliki banyak kesempatan untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga lain. Dengan intensitas pertemuan yang sedikit membuat komunikasi juga tidak berjalan dengan lancar.

Arimbi mendapatkan uang dan segala kebutuhannya lebih dari yang dia perlukan, tapi tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari

6 Diunduh pada tanggal 20 Januari 2009 6 Diunduh pada tanggal 20 Januari 2009

Diskomunikasi merupakan permasalahan yang sangat penting dalam sebuah keluarga. Diskomunikasi yang dibiarkan terus berlarut dapat menyebabkan perpecahan sebuah keluarga, tidak jarang dapat menghancurkan sebuah keluarga.

Diskomunikasi terjadi akibat kesibukan dari masing-masing anggota keluarga sehingga intensitas pertemuan sangat sedikit atau mungkin sangat jarang terjadi. Hal ini dapat lebih parah jika tidak ada usaha-usaha dari salah satu, atau seluruh anggota keluarga untuk mengatasi diskomunikasi tersebut, misal meluangkan waktu di hari libur atau akhir pekan bersama seluruh anggota keluarga, dapat juga dengan tetap menjalin komunikasi dengan anggota keluarga lain ketika sedang tidak ada di rumah, baik lewat surat maupun telepon, sekadar untuk mengetahui keadaan atau menanyakan kabar.

b. Perselingkuhan Isu-isu perselingkuhan kerap kali menjadi pemicu pertengkaran dalam sebuah hubungan. Pertengkaran-pertengkaran yang sering terjadi akan merusak keharmonisan dalam sebuah hubungan, seperti hubungan suami istri. Isu perselingkuhan menjadi salah satu penyebab terjadinya pertengkaran kedua orangtua Arimbi dalam novel DT. “‘Pergi kamu dengan perempuan sialan itu. Kuntilanak saja kamu bawa-bawa. Berengsek kamu !!’ Mama semakin menggila. Kali ini suaranya mungkin b. Perselingkuhan Isu-isu perselingkuhan kerap kali menjadi pemicu pertengkaran dalam sebuah hubungan. Pertengkaran-pertengkaran yang sering terjadi akan merusak keharmonisan dalam sebuah hubungan, seperti hubungan suami istri. Isu perselingkuhan menjadi salah satu penyebab terjadinya pertengkaran kedua orangtua Arimbi dalam novel DT. “‘Pergi kamu dengan perempuan sialan itu. Kuntilanak saja kamu bawa-bawa. Berengsek kamu !!’ Mama semakin menggila. Kali ini suaranya mungkin

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa sebuah perselingkuhan bisa mengakibatkan pertengkaran yang hebat antara suami istri. Hal ini dapat menjadi pemicu retaknya sebuah hubungan. Pada beberapa kasus bahkan bisa berakibat pada perceraian. Dalam kasus Arimbi, orangtuanya memang tidak bercerai dan tetap hidup dalam satu rumah sebagai suami istri, hal tersebut dikarenakan keduanya sangat menjaga reputasi dan nama baik mereka di mata umum, sebuah perceraian dapat menghancurkan nama baik yang sudah dibangun dengan susah payah.

Pertengkaran demi pertengkaran tersebut semakin membuat Arimbi benci dengan hidupnya. ia tidak memiliki keluarga yang harmonis, kedua orangtuanya selalu bertengkar dan tidak pernah memberikan perhatian yang cukup untuknya, hingga semakin menjauh dari orangtuanya. Pertengkaran orangtua Arimbi sering berujung pada tindakan kekerasan yang dilakukan ayahnya.

“Kemudian Papa tanpa bicara apa-apa langsung mengayunkan tangan kanannya yang besar dan berotot ke wajah Mama. Suara pukulan itu kencang. Mama mengaduh. Tidak hanya sekali. Papa mengayunkan satu tamparan lagi dengan punggung telapak tangan. Terus beberapa kali. Saya bergidik. Dia menampar Mama seperti tukang sate mengibaskan kipas di atas panggangan. Berkali-kali, bertenaga, dan tanpa emosi.” (Alberthiene Endah, 2006: 39)

Dapat dilihat dari kutipan tersebut tindak kekerasan yang dilakukan ayah Arimbi, tindakan tersebut dilakukan secara spontan seolah sudah Dapat dilihat dari kutipan tersebut tindak kekerasan yang dilakukan ayah Arimbi, tindakan tersebut dilakukan secara spontan seolah sudah

2. Pelanggaran Terhadap Norma-Norma Masyarakat

Beberapa bentuk pelanggaran terhadap norma masyarakat yang terdapat dalam novel DT adalah perselingkuhan, seks bebas, dan penyalahgunaan obat- obatan terlarang (Narkoba). Norma-norma yang terbentuk dalam masyarakat semakin dipandang sebelah mata dan dianggap sepele oleh masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Kehidupan kota besar memang tidak dapat lepas dari kesibukan dan ritinitas kerja yang padat, oleh karena itu hubungan antar masyarakat semakin longgar, disebabkan kesibukan kerja yang banyak menyita waktu, serta sifat masyarakat yang semakin individualis

Sifat dan sikap individualis sudah melekat pada masyarakat kota besar. Mereka tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain dan tidak suka orang lain mencampuri urusan mereka. Semua hal tersebut membuat kontrol masyarakat terhadap norma-norma yang telah ada menjadi semakin longgar, sehingga masyarakat tidak lagi mempermasalahkan jika ada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran. Sanksi yang berlaku bagi pelanggar, paling berat adalah menjadi bahan omongan/gunjingan masyarakat sekitarnya, sehingga tidak heran jika ditengah kehidupan yang serba sulit dan “masa bodoh” ini seseorang dapat melakukan pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat tanpa perlu merasa takut ataupun malu.

a. Perselingkuhan Perselingkuhan yang terjadi dalam novel DT adalah perselingkuhan antara ayah Arimbi (Ruslan Suwito) dengan seorang model (Angela) dan perselingkuhan ibu Arimbi (Marini Ruslan) dengan seorang pelukis (Arya Kelana).

Perselingkuhan yang dilakukan oleh Ruslan Suwito, tak hanya terjadi satu kali dan dengan seorang wanita saja, hanya saja Arimbi baru benar- benar melihat dengan mata kepala sendiri bahwa ayahnya berselingkuh adalah dengan seorang model cantik bernama Angela. Arimbi tahu bahwa Ayahnya berselingkuh dengan Angela dari teman sekelasnya Helena, yang juga seorang model. “ Papa tertawa dengan wajah remaja. Tangan kanannya melingkar di pinggang Angela yang sudah berbalut jaket Jins dan celana ketat bahan kulit. Keduanya masuk mobil. Bangsat ! Sopir Papa, pak Dikun, menggas mobil dengan wajah tanpa ekspresi. O, pengkhianat, saya memaki. ” (Alberthiene Endah, 2006: 50).

Kutipan tersebut adalah perselingkuhan yang terjadi antara Ayah Arimbi dan Angela seorang model. Arimbi sengaja membuntuti Ayahnya saat itu. Untuk membuktikan kata-kata Helena tentang Ayahnya.

Pertengkaran kedua orangtua Arimbi sering dikarenakan perselingkuhan yang dilakukan ayahnya, meskipun Ruslan tidak pernah mengakui perselingkuhan yang dilakukannya.

“‘Ada yang salah?’ suara papa bukan seperti pertanyaan. Tapi getarnya seperti pancingan untuk melahirkan kemarahan. Saya tersudut. Seperti makhluk kecil yang tak berdaya di tengah dua harimau yang siap saling menerkam. ‘Saya tanya, ada yang salah?’ Mama masih diam. ‘Perempuan tadi, itu siapa. Saya pernah melihat kamu dengan dia di sebuah majalah. Iya, kan? Kamu masih ingat. Di rubrik pesta itu. Saya

Tanya itu siapa, kamu bilang tak kenal. Perempuan itu ada begitu saja ketika kamera wartawan membidik kamu. Tapi tadi dia mencium kamu. Di bibir pula. Apakah kalian memang tidak saling kenal?’ Papa mendongak. Tidak menjawab apa-apa.” (Alberthiene Endah, 2006: 38). Pertengkaran dalam kutipan tersebut terjadi bukan hanya karena

ciuman yang dilakukan seorang wanita terhadap Ayah Arimbi, tetapi juga karena dengan peristiwa itu Ibu Arimbi tahu kebohongan yang pernah dilakukan Suaminya mengenai wanita tersebut, ketika terlihat bersama dalam sebuah majalah.

Ibu Arimbi, Marini Ruslan, pada awalnya tidak berselingkuh. Kondisi rumah tangganya yang selalu dirudung masalah, terutama dengan sang suami terkait masalah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan perselingkuhan, membuatnya mulai menjalani hubungan dengan laki-laki lain. Marini berselingkuh dengan seorang pelukis muda yang tengah diorbitkannya, Arya Kelana. Perselingkuhan Marini diketahui Arimbi dari pembantu-pembantunya. Meskipun tak pernah melihat sendiri keduanya sedang berselingkuh. Dari para pembantu dia tahu bahwa ada seorang pria yang sering berkunjung kerumahnya, bahkan pernah masuk ke kamar ibunya.

“Saya tidak pernah melihat pria itu. Hanya pembantu yang bercerita. Tapi saya mendapat jawaban atas teka-teki itu ketika saya melihat gambar mama di sisi seorang pria tegap dan tampan dalam sebuah majalah gaya hidup ibukota. Dalam teks saya membaca, mama membuka pameran seorang pelukis muda. Si pria tampan itu. Namanya Arya Kelana. Wajah mama di foto itu begitu berbinar. Cahanya tak pernah saya lihat di rumah. Bahu mereka sangat rapat. Sepertinya salah satu tangan mereka saling memeluk. Hanya saja, foto itu di-crop sedemikian rupa, hingga tinggal menyisakan tubuh berdempet. Saya curiga. Ketika saya sodorkan majalah itu pada pasukan pembantu, serta-merta mereka memekik dan berebut berteriak, pria berdagu belah itulah yang bertandang ke rumah.” (Alberthiene Endah, 2006: 46).

Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa dugaan Arimbi tentang perselingkuhan ibunya adalah benar. Dari para pembantunya ia tahu bahwa pria yang berada di majalah adalah pria yang sama dengan yang sering bertemu dengan ibunya di rumah.

Perselingkuhan menjadi salah satu pemicu dalam pertengkaran rumah tangga. Selingkuh adalah ketika orang melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan komitmennya, yang dimaksud sebagai komitmen di sini menyangkut komitmen terhadap diri sendiri maupun terhadap orang

lain. 7 Perselingkuhan merupakan perbuatan yang tidak hanya melanggar

norma-norma masyarakat, tetapi juga melanggar hukum negara dan agama. Meskipun demikian, kini perselingkuhan justru semakin marak.

Aktivitas yang padat, kejenuhan atau kebosanan dalam menjalani sebuah komitmen, rasa ingin tahu atau rasa penasaran, kondisi hubungan

itu sendiri yang tidak stabil, 8 dan untuk mencari kesenangan atau petualangan baru, adalah beberapa sebab terjadinya perselingkuhan.

b. Seks bebas Gambaran seks bebas dalam novel DT, terlihat dalam percakapan antara Doel, Lino, dan Jerry. “‘Emang lu udah ngegarap si Becky?’ Doel menatap Lino dengan mata

menggoda. Yang ditanya tersipu. ‘Payah lu, ketinggalan zaman. Hari pertama jadian, dia sama si Becky langsung check in di hotel. Ah, kemana aje lu?’ Jerry tertawa ngakak. ‘Terus gimana?’ Doel belum puas. ‘Biasa. Body-nya lumayan mulus. Sama ama mukanya. Tapi

7 Menurut psikolog Zainoel B Biran dikutip dari tulisan P. Bobby Hartanto MPsi di dalam situs www. 8 mediaindonesia.com, yang diunduh pada tanggal 03 Juni 2009.

Tidak stabil dalam artian sering terjadi pertengkaran, bisa dikarenakan cemburu, perbedaan pendapat, atau sebab-sebab lain.

sepuluh menit dia udah minta berhenti, padahal gue belum keluar. Ya udah, gue minta dia nyedot sampe keluar!’ Tawa keras memenuhi ruangan.” (Alberthiene Endah, 2006: 53)

Kutipan tersebut memperlihatkan bagaimana bebasnya sebuah pasangan yang belum memiliki ikatan resmi melakukan hubungan badan layaknya suami-istri. Perbuatan yang seharusnya dirahasiakan justru menjadi bahan perbincangan dengan teman-temannya. Tidak perlu menunggu hingga menikah untuk melakukan hubungan seks. Setiap pasangan yang belum sah sebagai suami istri bebas melakukan hubungan seks, tanpa perlu merasa takut ataupun malu, seperti yang dilakukan Lino teman sekolah Arimbi.

Perbuatan mereka bisa terjadi akibat dari pergaulan bebas tanpa ada kontrol dari orangtua masing-masing yang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, ataupun dari masyarakat. Kemudahan mengakses teknologi komunikai juga menjadi salah satu faktor. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.

“Kadang, di antara kami ada yang membawa VCD lebih heboh. Film porno dengan pasangan yang tidak biasa. Pasangan homoseksual. Juga lesbian. Kadang juga sesuatu yang kontras. Pria negro yang hitam legam bergulat di ranjang dengan wanita Cina yang putih bersih. Pernah juga sepasang pria dan wanita bertubuh sangat tambun. Kami terpingkal-pingkal menontonnya. Film-film itu tak punya jalan cerita. Selama satu jam lebih hanya saling menggesek bagian intim. Kami melihatnya seperti permainan. Beberapa teman saya sangat rajin menelusuri kawasan glodok untuk mendapatkan VCD-VCD porno yang baru.” (Alberthiene Endah, 2006: 52).

Hubungan seks di luar nikah, bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, dan terlarang untuk dilakukan. Seperti Lino, yang dengan mudah mengajak Becky, wanita yang baru sehari resmi jadi pacarnya, melakukan hubungan badan layaknya suami istri. Hubungan Hubungan seks di luar nikah, bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, dan terlarang untuk dilakukan. Seperti Lino, yang dengan mudah mengajak Becky, wanita yang baru sehari resmi jadi pacarnya, melakukan hubungan badan layaknya suami istri. Hubungan

Seks bebas tidak hanya dilakukan atas dasar rasa cinta saja. Hal tersebut yang dilakukan Vela dengan Rajib dalam novel DT. Vela yang tidak pernah memiliki rasa apa pun terhadap Rajib, rela melakukan hubungan seks, hanya karena merasa bahwa Rajib adalah bagian dari hidupnya.

“Kedekatannya dengan Rajib membuatnya merasa anak muda itu bagian dari hidupnya. Meskipun Vela tidak merasakan getar apa-apa. Tapi dia tidak bisa tidak melihat Rajib barang sehari. Baginya Rajib bukan lagi seorang teman. Dia pelindung, selimut, pemberi kekuatan. Maka Vela biarkan dirinya menyerah begitu saja, ketika pada suatu malam Rajib melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuhnya, dan melakukan sesuatu padanya.” (Alberthiene Endah 2006: 79).

Dapat dikatakan tindakan tersebut, sebagai sebuah bayaran atas semua yang telah diberikan Rajib padanya, atau pembayaran hutang budinya pada Rajib. Meski status mereka bukan suami-istri, dan tidak ada rasa cinta, tetapi keduanya tetap melakukan perbuatan tersebut.

Melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan sahnya adalah sebuah tindakan tercela yang dilarang oleh agama, akan tetapi seks bebas seakan menjadi sebuah trend di masyarakat. Seseorang dapat dengan mudah melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan suami atau istrinya, baik atas dasar suka sama suka, kebutuhan lain seperti faktor ekonomi, atau karena perasaan hutang budi.

Terlampau bebasnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta semakin mudahnya mengakses segala macam informasi, membuat seks Terlampau bebasnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta semakin mudahnya mengakses segala macam informasi, membuat seks

c. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang (Narkoba) Narkoba sangat berbahaya karena bisa membuat ketagihan, kecanduan, dan ketergantungan. Orang yang sudah kecanduan narkoba tidak akan bisa menghentikannya seketika, karena permasalahan narkoba adalah permasalahan yang kompleks, bukan saja tentang penyalahguanaan narkoba tetapi juga menyangkut psikologi pengguna saat memutuskan mengkonsumsinya.

Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan narkoba. Hal pertama yang menjadi alasan seseorang menggunakan narkoba adalah keinginan untuk mencoba-coba karena rasa ingin tahu dan penasaran, bagaimana nikmat dan akibat yang ditimbulkan narkoba. Hal lain adalah dia ingin diterima oleh kelompok tertentu dalam lingkungan pergaulannya. Dari pergaulan ini dia akan mendengar bagaimana narkoba bisa memberi kenikmatan, mengurangi rasa sakit dan rasa kurang enak dalam tubuhnya, bisa mengatasi berbagai masalah pribadinya, atau bahkan bisa

menimbulkan rasa damai dihatinya. Hal terakhir, biasanya orang itu menimbulkan rasa damai dihatinya. Hal terakhir, biasanya orang itu

“Itu pasti sejenis narkoba. Entah shabu, putaw, atau apa pun. Pokoknya sejenis bubuk itu. Saya berdiri ragu. Seperti hipnotis. Buang ke tempat sampah? Saya ada masalah? Benar. Benar sekali…. Tapi ini apa…benda jahat itu? Yang sering dilarang-larang itu? Kayak gini nih bendanya? Saya nggak butuh. Nggak berani. Tapi saya ada masalah, kan? Banyak bahkan. Cobain dikit. Atau buang. Sayang. Cobain dikit kan nggak ada salahnya. Kalau nggak suka tinggal buang. Kalau suka? Ini pasti putaw. Nggak mau! Nggak!! Tapi, saya punya masalah, kan?” (Alberthiene Endah, 2006: 64).

Kutipan tersebut adalah pertarungan dalam diri Arimbi ketika akan mencoba sedikit putaw pemberian Rajib. Pada akhirnya Arimbi mengkonsumsi putaw tersebut. Arimbi di dalam novel DT menggunakan narkoba dengan kesadaran penuh, karena semua masalah yang dihadapi seolah tidak pernah menemukan titik terang, ia ingin melarikan diri dari semua masalah yang dihadapinya. Kedua orangtuanya sering bertengkar, dan tidak pernah memberikan kasih sayang tulus untuknya.

Meski awalnya hanya sekedar mencoba, namun batin Arimbi yang sedang labil dan bingung karena kondisi keluarga serta dirinya sendiri Meski awalnya hanya sekedar mencoba, namun batin Arimbi yang sedang labil dan bingung karena kondisi keluarga serta dirinya sendiri

Kondisi lingkungan yang berdekatan baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan narkoba juga bisa membuat seseorang jatuh dalam jerat narkoba. Arimbi sangat rentan dengan narkoba. Ia tinggal di daerah dengan banyak pengguna narkoba dengan kontrol sosial yang lemah. Lingkungan sekolahnya juga tidak bersih dari narkoba, Arimbi justru mendapatkan putaw pertamanya di sekolah. Lebih-lebih lagi ia bergaul dengan para pengguna dan pengedar narkoba, maka akan sangat mudah baginya terjerat narkoba.

“Kebodohan orangtua-orangtua kaya. Menceburkan anak dalam nista yang paling dekat. Pesta-pesta mahal remaja-remaja di lingkungan yang diberikan Mama, tak pernah luput dari narkoba. Mereka pikir kami hanya asyik pamer harta. Saya melihat bagaimana benda-benda melenakan itu bergulir seperti pembagian air putih saja. Di mana- mana. Mudah. Dan sepertinya murah. Mereka menikmatinya dengan ringan. Kerap kali mereka juga menelan sesuatu. Pil. Belakangan saya ketahui, itu ecstasy. Marisca, putri tuan dan nyonya Hutagalung, pengacara kondang, menjadi pemandangan pertama bagaimana ecstasy bekerja.” (Alberthiene Endah, 2006: 60).

Arimbi mengalami perubahan sosial setelah menjadi pecandu narkoba. Pergaulannya dengan para pemakai dan pengedar membuatnya semakin tak bisa lepas dari narkoba. Demi memenuhi kebutuhannya berbelanja narkoba yang dosisnya semakin banyak, Arimbi mulai menjual semua barang-barang mewah bermerk yang dibelinya di luar negeri. Mulai dari sepatu, parfum, arloji, dan perhiasan berharga. Ia juga tidak membayarkan biaya sekolah, biaya les, dan biaya belanja.

Tubuh Arimbi mulai berubah menjadi semakin kurus. Kulitnya yang tidak pernah dirawat semakin kering, ia menjadi malas dan lamban dalam berpikir. Lihat kutipan berikut.

“Saya telah menjadi bodoh, kurus dan kering. Rambut saya memanjang. Bukan karena saya ingin berpenampilan seperti anak perempuan lain yang memelihara rambut sampai di bawah bahu. Saya memang enggan mengguntingnya. Tidak ada lagi keinginan saya membenahi penampilan. Wajah saya tua. Cekung dan kering. Bibir saya menghitam. Bagian bawah mata saya juga gelap. Napas saya sekarang berbunyi. Bergemuruh dan keluar satu-satu. Mungkin saya menjadi bengek.” (Alberthiene Endah, 2006: 94).

Dapat dilihat bahwa narkoba telah merubah Arimbi, tidak hanya merubah fisik saja, tetapi juga psikisnya, ia menjadi bodoh dan lamban dalam berpikir. ia menjadi malas dalam melakukan apapun, termasuk merawat dirinya sendiri.

Narkoba yang sudah menggerogoti akan membuat seseorang menjadi lamban dalam berfikir, malas dan mulai sering berbohong. Perubahan fisik juga tak bisa dihindari, berat badan akan menyusut tajam, dan kulit menjadi kusam dan kering, belum lagi dampak yang terjadi pada kondisi psikologis, dan sosiologis pemakainya.

Seseorang akan cenderung mengonsumsi narkoba lagi apabila berada atau berkumpul lagi dengan teman-temannya atau orang lain yang menggunakan narkoba. Hal tersebut juga terdapat dalam novel DT, lihat kutipan berikut.

“Enam bulan dia dijebloskan ke panti itu, dan orangtuanya menjemput setelah dia dinyatakan sembuh. Prio memang menjadi normal di rumah selama dua minggu. Dia lalu bertemu kami di tempat biliar. Rambutnya klimis bekas cukuran gundul yang dipeolehnya di panti. Badannya sedikit kurus, tapi kulitnya lebih bersih. Matanya lapar. Kami menggodanya dengan menaruh setitik shabu di pucuk hidungnya. Dia berteriak senang. Sebentar kemudian dia sudah asyik “Enam bulan dia dijebloskan ke panti itu, dan orangtuanya menjemput setelah dia dinyatakan sembuh. Prio memang menjadi normal di rumah selama dua minggu. Dia lalu bertemu kami di tempat biliar. Rambutnya klimis bekas cukuran gundul yang dipeolehnya di panti. Badannya sedikit kurus, tapi kulitnya lebih bersih. Matanya lapar. Kami menggodanya dengan menaruh setitik shabu di pucuk hidungnya. Dia berteriak senang. Sebentar kemudian dia sudah asyik

Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa orang yang sudah terbebas dari narkoba, bisa kembali mengkonsumsi nakoba jika tidak dipisahkan dari lingkungan pergaulannya yang dekat dengan narkoba.

Untuk sembuh dan terbebas dari jerat narkoba dibutuhkan lebih dari sekadar pengobatan dan menghilangkan racun dalam tubuh (detoksifikasi). Faktor dari dalam diri sendiri berpengaruh dalam menahan keinginan untuk kembali menggunakan narkoba. Kemauan dan niat yang keras untuk berhenti, merupakan salah satu faktor kuat yang membuat seseorang terbebas dari jerat narkoba.

Selain itu faktor psikologis yang menjadi penyebab seseorang menjadi pecandu harus diperhatikan juga dalam upaya penyembuhan ketergantungan obat. Detoksifikai hanya menghilangkan racun dalam tubuh Arimbi dan menghentikan kecanduannya terhadap narkoba, tapi tidak mengurangi beban psikologis yang dirasakannya.

“Dia menyorongkan bong. Sedotan itu kini menghadap ke arah saya. Hidung saya mendekat pada corong itu. Asap itu kini menari di lubang hidung saya. Meloncat-loncat riang seolah bertemu sahabat lama. Dengan hati-hati saya mulai mengisap. Hhhhhhssssshhh. Ow... inilah rasa nikmat itu. Saya tinggalkan begitu lama... vela memeluk saya dari belakang. Kami bergantian menghirup.” (Alberthiene Endah, 2006: 110).

Kutipan tersebut menggambarkan ketika Arimbi yang sudah terbebas dari narkoba kembali mengonsumsinya dan menikmatinya setelah kecewa dengan kondisi rumah yang tidak juga berubah. Meskipun fisik Arimbi sudah terbebas dari narkoba dengan proses detoksifikasi dan kembali ke rumah, pada akhirnya Arimbi kembali mengonsumsi narkoba, karena ia Kutipan tersebut menggambarkan ketika Arimbi yang sudah terbebas dari narkoba kembali mengonsumsinya dan menikmatinya setelah kecewa dengan kondisi rumah yang tidak juga berubah. Meskipun fisik Arimbi sudah terbebas dari narkoba dengan proses detoksifikasi dan kembali ke rumah, pada akhirnya Arimbi kembali mengonsumsi narkoba, karena ia

Keluarga sangat berpengaruh dalam upaya penyembuhan ketergantungan narkoba. Dukungan moral sangat dibutuhkan oleh para pecandu. Dalam novel DT kedua orangtua Arimbi tidak pernah serius dalam menangani Arimbi. Mereka mengingkari janji mereka pada Arimbi, untuk meluangkan banyak waktu bersamanya serta tidak lagi bertengkar, padahal yang dibutuhkan Arimbi untuk bebas dari narkoba adalah kebersamaan dan keharmonisan keluarga,tanpa pertengkaran dan perselingkuhan.

“Mama dan Papa sepertinya sudah lupa ada janji mereka. Papa sudah kembali pulang larut. Dengan mata merah dan tubuh limbung. Mama kembali asyik dengan percakapan manjanya di telepon, setiap pukul

10.00, Dan kepergiannya yang tidak jelas setiap malam. Rumah saya kembali menjijikan. Kemarin pagi, saya melihat orangtua saya cekcok kecil di dekat mobil di depan gerbang. Saya tak mendengar apa yang mereka bicarakan. Tahu-tahu saya melihat Papa menarik sedikit tangan kanan Mama. Lalu memelintirnya.” (Alberthiene Endah, 2006: 107- 108).

Kutipan tersebut menggambarkan kondisi keluarga Arimbi yang tidak juga berubah seperti yang dijanjikan kedua orangtuanya, ketika ia dirawat di panti rehabilitasi. Ayahnya masih sering menghajar ibunya, dan ibunya tak pernah memberontak ketika dianiaya, lebih dari itu keduanya masih berselingkuh. Karena hal-hal tersebut dia dengan mudah kembali menghirup putaw.

3. Disorientasi Seksual

Disorientasi seksual merupakan perbedaan orientasi seksual, perasaan mencintai sesama jenis. Perasaan mencintai sesama jenis bisa juga disebut sebagai homoseksual. Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya. Sebenarnya pengertian homoseksual itu meliputi 3 dimensi yaitu orientasi seksualnya yang ke sosial jenis, perilaku seksual dan juga tentang identitas seksualitas diri. Jadi masalah homoseksual bukan semata perkara hubungan seksual dengan sosial jenis semata.

Terdapat beberapa jenis homoseksual. Ada jenis homoseksual yang terjadi karena dipicu sosial lingkungan semata, misalnya suasana dalam penjara yang merupakan populasi homogen serta di biara seperti skandal sodomi dalam gereja di USA. Homoseksual semacam ini sesungguhnya jauh lebih mudah ditangani karena hal tersebut tercangkup dalam segi perilaku semata, sementara segi identitas diri sosialnya masih normal (homoseksual situasional).

Kemudian homoseksual egodistonik. Homoseksual jenis ini bercirikan pribadi tersebut yang merasa tidak nyaman dengan dirinya dan tidak dapat menerima kenyataan orientasi seksualnya yang abnormal tersebut. Akibatnya pribadi semacam ini dihantui kecemasan dan konflik psikis baik internal maupun eksternal dirinya. Homoseksual distonik memberikan suatu distress (ketegangan psikis) dan disability (gangguan produktivitas sosial) sehingga digolongkan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa. Pribadi homoseksual tipe ini seringkali dekat depresi berat, akibatnya seringkali mereka mengucilkan diri dari pergaulan, pendiam, mudah marah dan dendam, aktivitas kuliah Kemudian homoseksual egodistonik. Homoseksual jenis ini bercirikan pribadi tersebut yang merasa tidak nyaman dengan dirinya dan tidak dapat menerima kenyataan orientasi seksualnya yang abnormal tersebut. Akibatnya pribadi semacam ini dihantui kecemasan dan konflik psikis baik internal maupun eksternal dirinya. Homoseksual distonik memberikan suatu distress (ketegangan psikis) dan disability (gangguan produktivitas sosial) sehingga digolongkan sebagai suatu bentuk gangguan jiwa. Pribadi homoseksual tipe ini seringkali dekat depresi berat, akibatnya seringkali mereka mengucilkan diri dari pergaulan, pendiam, mudah marah dan dendam, aktivitas kuliah

Kaum homoseksual lain justru dapat menerima apa yang ada di dirinya sebagai suatu bentuk hal yang hakiki. Pribadi semacam ini berani coming out atau menyatakan identitas dirinya yang sesungguhnya sehingga konflik internal dalam dirinya lepas. Kaum homoseksual ini dinamakan egosintonik, tidak dikatakan sebagai kelompok gangguan jiwa karena mereka tidak

mengalami distress maupun disability dalam kehidupan mereka. 9 Dalam novel DT tokoh utamanya memiliki perbedaan orientasi seksual

atau mengalami disorientasi sekdual. Arimbi memiliki hasrat seksual terhadap perempuan dan bukan terhadap lawan jenisnya atau laki-laki.. Pada awalnya Arimbi bingung dengan kondisi yang ada dalam dirinya, ia tidak mengerti apa yang terjadi dengannya ketika mulai merasakan perbedaan orientasi seksual yang dianggapnya menyimpang, dan berpikir bahwa hal tersebut terjadi karena lingkungan keluarganya “Saya sulit berpaling dari daya tarik perempuan. Kenapa saya? Kenapa beda? Saya tahu. Saya takut atau benci pada lelaki, karena saya ingat papa. Dan saya enggan jadi perempuan karena saya tak mau sebodoh mama.” (Alberthiene Endah, 2006: 59).

Pada fase tersebut yang terjadi dalam diri Arimbi adalah homoseksual egodistonik, karena Arimbi merasa tidak nyaman dengan kondisi yang menimpanya, dan tidak bisa menerima ketidaknormalan yang terjadi padanya.

9 Ditulis oleh Achmad Ridwan Sudirdjo C.Ht dalam blognya http://bett3r.blog.friendster.com

yang diunduh pada tanggal 20 Juni 2009

Pada tahap selanjutnya Arimbi mulai berdamai dengan perasaannya yang selalu membingungkannya. Ia ingin merasa bebas dari tekanan batin tersebut, akhirnya ia mengidentitaskan dirinya sebagai seorang lesbian. Bahkan ia tidak menyembunyikan identitasnya tersebut. Arimbi menerima apa yang menimpanya sebagai sebuah takdir. Pada fase ini yang terjadi padanya adalah homoseksual egosintonik

“Kenapa orang-orang meributkan pengakuan saya sebagai lesbian sebagai kemarahan. Dendam. Ekspresi kebrutalan. Salah satu dampak pemakaian narkoba. Keputusan ekstrem yang perlu dipertanyakan. Sesuatu yang perlu diluruskan. Sadarkah mereka? Bahwa cinta itu memang ada. Ada dengan segala kemurniannya. Sadarkah mereka? Bahwa saya telah dipertemukan dengan cinta hakiki yang sudah menjadi barang langka di tengah kehidupan yang begini kacau. Jika cinta itu saya temukan pada seorang perempuan, apa salahnya” (Alberthiene Endah, 2006: 216).

Perasaan senasib membuat Arimbi menjatuhkan cintanya pada Vela. Ia ingin melindungi gadis tersebut. “Cerita Vela sudah cukup bagi saya untuk mengerahkan segenap tenaga

dan perhatian saya detik itu kepadanya. Dia menangis dalam pelukan saya. Dalam isaknya, saya mendengar satu demi satu penderitaannnya. Saya lalu memandang diri sendiri. saya gadis kaya. Punya orangtua yang terpandang dan kehidupan yang benderang. Tapi jiwa saya tidak berbeda dengan Vela. Saya menderita melebihi yang orang lain tahu. Saya merasa sama. Saya mencintai dia. Dia mencintai saya. Apa bedanya kami sekarang. Detik itu juga saya telah memutuskan, hidup dan mati saya untuk Vela.” (Alberthiene Endah, 2006: 83).

Ia merasa nasib Vela sama dengannya. Ia terlahir dalam keluarga yang kaya dan terpandang tapi miskin kasih sayang. Vela terlahir dalam keluarga yang miskin hingga membuatnya harus pindah ke Jakarta, hidup menderita di rumah tantenya dan berpisah dari keluarganya. Mereka sama-sama menderita meski dengan latar belakang keluarga yang sangat berbeda.

Homoseksual dibedakan menjadi dua yaitu gay dan lesbian. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Kata lesbian Homoseksual dibedakan menjadi dua yaitu gay dan lesbian. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Kata lesbian

Dunia lesbian sendiri juga terbagi menjadi beberapa kelas. Secara garis besar, terdapat tiga macam lesbian. Pertama, butch (butchie), lesbian yang berpenampilan tomboy, kelaki-lakian, lebih suka berpakaian yang umumnya dikenakan laki-laki. Kedua, femme, lesbian yang berpenampilan Androgyn, lembut, layaknya perempuan heteroseks biasanya, berpakaian gaun perempuan. Ketiga, andro (androgyny), perpaduan antara femme dan butch.

Istilah butch-femme sebenarnya mulai muncul sekitar 1940-1950. Saat itu dalam relasi seksual pasangan lesbian, peran butch lebih banyak “memberi”

dan femme lebih banyak “menerima” ( 10 http://indopos.co.id ). Dalam hubungan antara Arimbi dengan Vela, Arimbi dengan sifat-sifat

yang tomboy serta tingkahnya yang lebih mirip laki-laki daripada perempuan membuatnya lebih banyak berperan sebagai sosok laki-laki, yang mengayomi dan melindungi, tampil dengan sifat maskulin. Dapat dikatakan Arimbi berperan sebagai lesbian butch dalam hubungannya dengan Vela. Dia lebih sering memberi pada Vela, pasangannya, dalam bentuk perlindungan, perhatian, kasih sayang, maupun lainnya. “Sejak pagi itu, seluruh kesadaran saya di situ saya curahkan sepenuhnya pada Vela. Ini mungkin gila. Saya rela masuk ke sarang itu untuk menemukan cinta. Saya merasa menemukan hidup. Terserah dunia mau bilang apa.” (Alberthiene Endah, 2006: 140-141).

Kutipan tersebut menggambarkan bersarnya cinta Arimbi kepada Vela, hingga ia rela masuk ke panti rehabilitasi murah yang terkenal sangat kejam

10 Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2009 10 Diunduh pada tanggal 1 Agustus 2009

Vela sebagai sosok wanita dengan semua sifat feminim, kelemahan, serta kerapuhannya lebih berperan sebagai lesbian femme yang membuatnya selalu bergantung pada Arimbi dan lebih banyak menerima dari Arimbi. “‘Saya tak sanggup membiarkan diri saya menanti kapan akan keluar. Dan kapan kamu datang. Saya nyaris gila di sini,’ katanya dengan mata berkaca” (Alberthiene Endah, 2006: 141).

Dari kutipan tersebut dapat dilihat betapa Vela begitu membutuhkan Arimbi. Vela yang saat itu berada di dalam panti rehabilitasi selalu berharap Arimbi datang dan menyelamatkannya.