Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 Karya Habiburrahman El Shirazy (Kajian Struktural dan Nilai Didik)

Novel ketika cinta bertasbih 1 dan 2 Karya habiburrahman el shirazy (kajian struktural dan nilai didik) SKRIPSI

Disusun oleh : Septiningtyas Dwi Hapsari K1205005 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH 1 DAN 2 KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (Kajian Struktural dan Nilai Didik)

Oleh SEPTININGTYAS DWI HAPSARI

NIM K1205005

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Persetujuan Pembimbing,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Swandono, M.Hum. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd. NIP 19470919 196806 1 001

NIP 19540520 198503 1 002

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah karya seni yang mengandung unsur keindahan yang dapat memberikan penyucian jiwa atau katarsis. Karya sastra dapat memberikan bimbingan kepada manusia untuk mencari nilai-nilai kehidupan agar menemukan hakikat manusia untuk berkepribadian yang baik. Karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dipahami dan dinikmati oleh pembaca pada khususnya dan oleh masyarakat pada umumnya. Hal-hal yang diungkap oleh pengarang lahir dari pandangan hidup dan daya imajinasi yang tentu mengandung keterkaitan yang kuat dengan kehidupan. Oleh karena itu, karya sastra tidak dapat terlepas dari konteks sejarah dan sosial budaya masyarakat. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1997: 223) bahwa karya sastra tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. Ini berarti bahwa karya sastra sesungguhnya merupakan konvensi masyarakat.

Karya sastra juga merupakan tanggapan seorang pengarang terhadap dunia yang dihadapinya, di dalamnya berisi pengalaman-pengalaman pengarang sendiri, pengalaman orang lain, dan atau pengalaman sekelompok masyarakat. Seorang sastrawan dalam menuangkan karyanya bukan hanya sekedar mengambil dari lingkungan sekitarnya semata, namun penyerapan berawal dari bahan mentah yang telah merasuki pikirannya sebagai bekal penghayatan yang dalam benak sastrawan menjadi sebuah rasa yang menggelora, mengkristal menjadi kata-kata yang siap dituangkan, yang pada akhirnya membentuk rangkaian kalimat hingga layak menjadi sebuah karya sastra.

Atar Semi (1993: 8) mengatakan bahwa karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa sangatlah penting dalam proses terciptanya sebuah karya sastra yang mempunyai “rasa” tinggi. Karya sastra juga harus mempunyai nilai edukatif yang baik karena karya sastra hasil dari perasaan penulisnya.

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam sebuah bentuk konkret yang membangkitkan pesona dengan media bahasa. Karya sastra menurut ragamnya terbagi atas tiga, yaitu prosa, puisi dan drama. Dalam bentuk karya sastra prosa, terdapat bentuk yang disebut cerita rekaan. Cerita rekaan merupakan cerita dalam prosa, hasil olahan pengarang berdasarkan pandangan, tafsiran, dan penilaiannya mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi serta pengolahan tentang peristiwa yang hanya berlaku dalam khayalannya saja.

Setiap karya sastra yang berupa puisi, cerpen, essai sastra atau novel yang bertemakan pornografi dapat diangkat dengan mudah oleh penulis kemudian dinikmati oleh khalayak penikmat sastra. Karya sastra yang bertemakan seks, pornografi dan hal-hal yang sebenarnya tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia dapat dijumpai dengan mudah di toko toko buku, persewaan buku, internet dan akses lain ke dunia sastra. Hal ini sangat memprihatinkan karena karya sastra dapat dinikmati siapa saja tanpa membedakan usia. Anak-anak dapat dengan mudah mendapatkan bacaan tanpa melalui kontrol dari orang tua. Karya sastra yang semula dapat mendidik manusia ke arah peradaban yang humanistis menjadikan manusia yang santun dan bermoral tidak bisa terwujud karena karya sastra yang tidak bernilai.

Jenis karya sastra yang saat ini diminati oleh pembaca adalah novel. Dalam memahami sebuah novel diperlukan cipta rasa yang tinggi, karena dalam karya sastra novel terdapat banyak unsur pendukungnya. Dengan contoh bukti penjualan novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dalam masa setahun berhasil terjual hingga 150.000 eksemplar, dan Ketika Cinta Bertasbih 2 hanya dalam hitungan tiga pekan berhasil terjual hingga 75.000 ekspemplar. Unsur penting dalam karya sastra adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang meliputi alur cerita, penokohan, setting, amanat dan tema. Sedangkan unsur ekstrinsik terkait dengan lingkungan budaya, sosial dan hal-hal lain yang mendukung terciptanya sebuah karya sastra novel.

diajarkan di bangku sekolah. Untuk mendidik manusia Indonesia supaya bermoral salah satunya adalah melalui bangku sekolah yaitu melalui apa yang dipelajari siswa di sekolah. Sebagai bahan ajar novel sebaiknya dipilih secara selektif, novel mana yang sesuai dengan kebiasaan dan novel mana yang di dalamnya terdapat nilai yang mendidik. Apabila saat ini seorang guru menggunakan karya sastra lama dengan bahasa yang kaku maka novel tersebut akan sulit dipahami oleh anak didik sekarang, dan seandainya pun memilih karya yang merupakan terbitan baru maka tidak semua novel mempunyai nilai yang sesuai dengan harapan guru yaitu yang mempunyai nilai edukatif yang dapat memperbaiki budi pekerti anak didiknya.

Habiburrahman El Shirazy adalah novelis yang masih baru di dunia sastra Indonesia, namun novel-novel hasil karyanya selalu bisa membuat hati tergugah, larut dalam kisah yang dipaparkannya, bahkan seakan-akan pembaca berada di dalam kisah tersebut dan menyaksikannya secara langsung. Novel tulisannya selalu disisipi dengan ilmu dan pesan moral yang membangun jiwa. Kelihaian Habiburrahman El Shirazy dalam menyisipkan ilmu sebagai dakwahnya menjadikan pesan tersebut amat mudah diterima pembaca, tanpa merasa digurui. Contoh novel yang membangun jiwa adalah novel Ketika Cinta Bertasbih.

Karya Habiburrahman El Shirazy Ketika Cinta Bertasbih yang merupakan novel dwilogi pembangun jiwa, memberikan renungan kepada pembaca pada zaman seperti ini masih ada karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan ajar karena nilai yang termuat di dalam karya sastra. Menurut Musa Ismail (2008) berpendapat sebagai karya sastra yang luas cakupan penulisannya, novel bisa mengekspresikan apa saja. Perincian sekecil apapun mampu digarap oleh pengarang melalui wadah novel. Ini merupakan suatu keistimewaanya. Novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, misalnya, merupakan goresan tinta emas yang menggugat dimensi-dimensi tersebut. Goresan-goresan yang dituangkannya Ketika Cinta Bertasbih secara nyata, menurut saya, merupakan suatu cerminan realitas-empiris yang benar-benar membumi. Oleh Habiburrahman El Shirazy kedalaman cerita garapannya ini kaya Karya Habiburrahman El Shirazy Ketika Cinta Bertasbih yang merupakan novel dwilogi pembangun jiwa, memberikan renungan kepada pembaca pada zaman seperti ini masih ada karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan ajar karena nilai yang termuat di dalam karya sastra. Menurut Musa Ismail (2008) berpendapat sebagai karya sastra yang luas cakupan penulisannya, novel bisa mengekspresikan apa saja. Perincian sekecil apapun mampu digarap oleh pengarang melalui wadah novel. Ini merupakan suatu keistimewaanya. Novel berjudul Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, misalnya, merupakan goresan tinta emas yang menggugat dimensi-dimensi tersebut. Goresan-goresan yang dituangkannya Ketika Cinta Bertasbih secara nyata, menurut saya, merupakan suatu cerminan realitas-empiris yang benar-benar membumi. Oleh Habiburrahman El Shirazy kedalaman cerita garapannya ini kaya

Pendidikan merupakan bagian dari integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Menurut Oemar Hamalik (2001: 3) mengatakan pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya, dan dengan demikian akan menimbulkan perubahan dalam dirinya yang memungkinkan berfungsi secara adekwat dalam kehidupan masyarakat. Berarti bahwa pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dari perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Pengajaran sastra pada dasarnya adalah pengajaran tentang kehidupan. Karya sastra menyajikan para tokoh dengan latar belakang tertentu mengalami peristiwa atau konflik. Dalam karya sastra, pengarang menampilkan bagaimana para tokoh cerita menyikapi serta keluar dari konflik tersebut. Karena itu, harga karya sastra terletak pada cara pengarang menyampaikan tindak-tanduk, sikap, penilaian tokoh cerita atas konflik yang dihadapi melalui berbagai tinjauan. Melalui tinjauan tersebut pembaca memperoleh pembandingan atau pelajaran yang berharga untuk menyikapi kehidupan sehari-hari. Karena karya sastra bukanlah petunjuk praktis untuk menghadapi kehidupan sehari-hari, maka para siswa perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana membaca karya sastra. Di sinilah pentingnya pengajaran apresiasi sastra. Pengajaran ini bermanfaat untuk memberikan bekal teoretis kesusastraan dan latihan-latihan praktis membaca karya sastra.

Peran guru adalah membawa siswa kepada proses menemukan makna dari apa yang dibacanya. Karena itu, pengajaran sastra lebih pada menemukan cara memandang suatu gejala atau peristiwa, bukan pada fakta peristiwa itu sendiri. Karena karya sastra menampilkan penggalian-penggalian dari aspek kejiwaan tokoh, dari sudut pandang sosial budaya, pembaca memperoleh cara pandang relatif sekaligus menyeluruh atas suatu gejala atau peristiwa. Guru dapat berperan dalam mengantarkan siswa pada cara pandang relatif dan komprehensif itu.

Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy menjadi objek penelitian. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada kajian struktural dan nilai didik dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

B. Rumusan Masalah

Sesuai uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permaslahannya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah stuktur novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy?

2. Nilai didik apa sajakah yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy?

3. Tepatkah novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui stuktur novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Untuk mengetahui nilai didik apa yang terkandung dalam novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy.

3. Untuk mengetahui ketepatan novel Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 karya Habiburrahman El Shirazy bila digunakan sebagai bahan pembelajaran sastra di SMA.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kalangan akademis maupun praktis. Adapun manfaat dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1. manfaat teoretis 1. manfaat teoretis

2. manfaat praktis

a. bagi pengarang penelitian ini dapat memberikan masukan untuk dapat menciptakan karya yang lebih baik lagi.

b. bagi pembaca penelitian ini dapat menambah minat pembaca dalam mengapresiasi karya sastra.

c. bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra.

d. bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia penelitian ini dapat menjadi bahan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia karena di dalamnya sarat nilai didiknya.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Hakikat Novel

Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’.(Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9). Sedangkan dalam bahasa Latin kata novel berasal novellus yang diturunkan pula dari kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis jenis lain, novel ini baru muncul kemudian (Tarigan, 1995: 164).

Pendapat Tarigan diperkuat dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002:

36) bahwa novel berasal dari bahasa latin novellus yang kemudian diturunkan menjadi novies, yang berarti baru. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi (fiction) yang muncul belakangan dibandingkan dengan cerita pendek (short story) dan roman. Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel merupakan hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya

Waluyo, 2006: 2). Karya sastra terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya ada puisi, drama, essai sastra atau novel dan lain lain. Di antara berbagai macam karya sastra, novel adalah salah satu jenis karya sastra yang lebih banyak diminati oleh banyak kalangan, karena novel menampilkan kehidupan manusia dalam bentuk cerita. Dibandingkan dengan puisi yang banyak bermain dengan kata-kata indah. Begitu pula dengan drama yang hanya menampilkan sepenggal kisah manusia saja, tidak selengkap dalam cerita novel.

Penciptaan karya sastra memerlukan daya imajinasi yang tinggi. Menurut Umar Junus (1985: 91), mendefinisikan novel adalah meniru “dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan-kemungkinan yang secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus ada dalam dunia nyata, namun harus dapat juga diterima oleh nalar.

Novel merupakan bagian dari karya sastra yang berbentuk uraian prosa.

Jakob Sumardjo dan Saini (1991: 29), novel diartikan sebagai cerita yang berbentuk prosa dalam ukuran luas. Ukuran luas ini tidak mutlak, mungkin yang luas hanya salah satu unsur fisiknya saja. Misalnya setting, sedangkan tema, karakter, alur di dalamnya tidak luas dan kompleks. Dalam novel bisa saja menguatkan ceritanya dengan menggunakan salah satu unsurnya.

Karya sastra yang berupa novel terdapat unsur yang membangun ceritanya yaitu berupa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Sesuai pendapat Abrams (dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono, 2002: 224) menyatakan bahwa kajian yang bersifat intrinsik, mengkaji hal-hal yang ada di dalam karya sastra itu sendiri. Maksudnya hal-hal yang dibahas dalam unsur intrinsik, semuanya terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, unsur intrinsik adalah hal-hal yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri.

Tema dalam novel terdapat banyak hal. Novel dengan unsur pembangunnya berupa tema yang mengandung nilai baik. Menurut Goldmann (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 87) mendefinisikan novel merupakan cerita Tema dalam novel terdapat banyak hal. Novel dengan unsur pembangunnya berupa tema yang mengandung nilai baik. Menurut Goldmann (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 87) mendefinisikan novel merupakan cerita

Proses kreatif dalam pembuatan novel sangat penting. Sesuai pendapat E.M Foster (dalam Roger Allen, 2008: 2) mengatakan novel merupakan jalinan yang luar biasa dan hampir-hampir tidak mempunyai bentuk, sesuatu yang benar- benar berbeda di wilayah kesusastraan yang basah, diairi ribuan sungai kecil yang terkadang berubah menjadi rawa-rawa. Pendapat yang apik tersebut maksudya bahwa novel tidak dapat dianggap sebelah mata karena novel dapat memberikan imajinasi dari hal kecil hingga besar.

Taylor (dalam Harris Effendi Thahar, 2006: 712) mengemukakan tiga unsur konseptual dalam novel, yaitu action (tindakan: peristiwa dan urutan kejadian), character (watak: agen yang memotivasi dan memberi reaksi terhadap peristiwa), dan setting (referensi bagi karakter dan tindakan tokoh). Sementara itu, tema dan amanat merupakan simpulan dari jalinan ketiga unsur yang dikemukakan di atas, sedangkan sudut pandang (point of view) dan gaya bahasa adalah kulit luar yang berfungsi sebagai sarana untuk membungkus karya sastra fiksi naratif.

Novel (cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi. Suminto A. Sayuti (1997: 5-7) berpendapat bahwa jika ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita rekaan) bersifat expands, ‘meluas’ yang menitikberatkan pada complexity. Sebuah novel tidak akan selesai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang. Sementara itu, menurut Tarigan (1995: 165), jika ditinjau dari segi jumlah kata, biasanya novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tak terbatas. Novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal 100 halaman dan rata-rata waktu yang dipergunakan untuk membaca novel minimal 2 jam.

karya fiksi menawarkan sebuah dunia. Dunia yang berisi model kehidupan yang ideal. Dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif. Dalam novel karya fiksi dibangun oleh beberapa unsur pembentukannya mulai dari penokohan, alur, tema, amanat, serta bahasa. Jadi, dari segala unsur pembangun novel terjadi keterjalinan unsur intrinsiknya.

Beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu wujud cerita rekaan, di dalamnya menceritakan kehidupan tokoh-tokoh dengan segala pergolakan jiwa yang kompleks, sehingga mengalihkan jalan nasib mereka ke dunia kemungkinan yang bersifat imajinatif. Novel sebagai karya fiksi dibangun melalui unsur intrinsiknya seperti beberapa macam unsur antara lain penokohan, alur, tema, amanat, serta bahasa.

1. Tokoh atau Penokohan

Tokoh adalah pemeran dalam cerita dalam sebuah novel. Menurut Fand Djibran (2008: 58) penokohan mencakup pembentukan identitas, watak, kebiasaan dan karakter tokoh yang diceritakan. Penokohan merupakan hal yang penting dalam sebuah cerita karena tanpa tokoh yang diceritakan sebuah cerita tidak akan berjalan. Jadi, novel tidak akan menjadi cerita melainkan hanya deskripsi atau narasi jika tanpa adanya penokohan.

Novel yang baik jika tokoh-tokohnya mempunyai peranan yang sesuai. Menurut M. Atar Semi (1993: 47) mengatakan tokoh dalam cerita ada bermacam-macam. Jika ditinjau dari keterlibatan dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi dibedakan menajdi dua, yakni tokoh sentral (tokoh utama) dan tokoh periferal (tokoh tambahan). Jadi, tokoh sentral (utama) adalah tokoh yang mempunyai porsi peran lebih banyak dibandingkan dengan tokoh tambahan.

Sesuai dengan pendapat M. Atar Semi, Sudjiman (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 167) juga membagi tokoh berdasarkan fungsi dan Sesuai dengan pendapat M. Atar Semi, Sudjiman (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 167) juga membagi tokoh berdasarkan fungsi dan

Waluyo (2002: 19) mengemukakan cara pelukisan watak pelaku dalam karya prosa secara lebih rinci, yaitu:

1) Physical Description: pengarang menggambarkan watak pelaku cerita melalui pemerian atau deskripsi bentuk lahir atau temperamen pelaku.

2) Portrayal of Thought Stream or of Conscious Thought: pengarang melukiskan jalan pikiran pelaku atau sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.

3) Reaction to Events: pengarang melukiskan reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu.

4) Direct Author Analysis: pengarang secara langsung menganalisis atau melukiskan watak pelaku.

5) Discussion of Environment: pengarang melukiskan keadaan sekitar pelaku sehingga pembaca dapat menyimpulkan watak pelaku tersebut.

6) Reaction of Others to Character: pengarang menuliskan pandangan- pandangan tokoh atau pelaku lain (tokoh bawahan) dalam suatu cerita tentang pelaku utama.

Burhan Nurgiyantoro (2005: 164) menyatakan dalam pembicaraan subuah fiksi, sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh menunjuk pada orang, pelaku cerita, tetapi watak atau perwatakan, karakter merujuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk Burhan Nurgiyantoro (2005: 164) menyatakan dalam pembicaraan subuah fiksi, sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Tokoh menunjuk pada orang, pelaku cerita, tetapi watak atau perwatakan, karakter merujuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk

a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Tokoh Utama adalah tokoh yang mendominasi dari cerita tersebut, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya muncul sekali atau beberapa kali, dalam posisi yang relatife pendek, karyanya hanya berfungsi sebagai pelengkap saja. Ini sesuai pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 176).

b. Tokoh Protagonis dan Antagonis Tokoh protgonis adalah tokoh yang disenangi atau kagumi yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita (Altenbernd dan Lewis dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 178), sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya konflik.

c. Tokoh Tipikal dan Netral Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, tetapi lebih banyak ditonjolkan dari sisi pekerjaannya, sedangkan tokoh netral adalah tokoh yang ditampilkan oleh pengarang (Altenbernd dan Lewis dalam Burhan Nuigiyantoro, 2005: 190).

Beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh atau penokohan adalah sesuatu yang harus ada karena tokoh atau penokohan mempunyai sifat, cirri atau watak yang dapat menghidupkan peristiwa- peristiwa yang terjadi dalam cerita.

2. Alur atau Plot 2. Alur atau Plot

Plot terdiri dari beberapa tahapan yang penting. Sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 147) membagi alur cerita atau plot meliputi tujuh tahapan, yaitu eksposisi, inciting moment, ricing action, complication, klimaks, falling action, dan denovement. Eksposisi berarti pemaparan awal dalam cerita. Inciting moment berarti peristiwa mulai terjadi problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. Ricing action berarti penanjakan konflik dan selanjutnya terus terjadi peningkatan konflik. Complication artinya konflik yang semakin ruwet. Klimaks berarti cerita mencapai puncak dari keseluruhan cerita itu dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk menonjolkan saat klimaks tersebut. Falling action berarti konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Denovement berarti penyelesaian dari semua problem yang ada.

Alur merupakan rangkain peristiwa yang dapat dibagi menjadi beberapa kriteria. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 153) membagi alur ke dalam beberapa jenis perbedaan berdasarkan pada kriteria urutan waktu, kriteria jumlah, kriteria kepadatan.

a. Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu Urutan waktu di sini adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam fiksi tersebut secara teoretis. Urutan waktu dibagi menjadi dua golongan.

maju atau lebih dikenal dengan alur progresif.

2) Tidak Kronologis, jalan cerita yang dibuat adalah menggunakan alur mundur, sorot balik, flash back, atau lebih dikenal dengan alur regresif.

b. Berdasarkan Kriteria Jumlah Berdasarkan jumlah adalah banyaknya jalur alur dalam karya fiksi. Ada kemungkinan karya fiksi hanya terdiri atas :

1) Satu Jalur Saja (alur tunggal) Hanya menampilkan kisah tentang seorang tokoh saja, yang dikembangkan hanya hal-hal yang berkaitan dengan sang tokoh.

2) Lebih dari satu alur (sub-sub alur) Sedangkan sub-sub plot memiliki alur cerita lebih dari satu. Terdiri dari alur utama dan alur pendukung (sub-sub alur).

c. Berdasarkan Kriteria Kepadatan Kriteria kepadatan yang dimaksud adalah :

1) Alur Padat, alur yang dipaparkan secara tepat, peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan rapat, sehingga seolah-olah pembaca diharuskan untuk terus-menerus mengikuti jalan cerita. Dan ketika salah satu bagian cerita tersebut dihilangkan maka cerita tersebut tidak akan menjadi utuh.

2) Alur Longgar, cerita fiksi yang memiliki alur longgar, pergeseran cerita cerita yang satu dengan cerita selanjutnya berlangsung lambat. Sekalipun alur terbagi menjadi beberapa bagian, tidak menutup kemungkinan jika dalam satu karya terdapat berbagai kategori alur. Asalakan alur tersebut haruslah bersifat padu, unity, sehingga cerita yang ditampilkan dapat dipahami secara menyeluruh. Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis yang berbeda

berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi tiga, yaitu:

Plot dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian.

2) Plot Sorot-balik (flash-back) Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang beralur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), tetapi mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.

3) Plot Campuran Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak beralur lurus- kronologis atau sebalinya sorot-balik. Secara garis besar, plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya, bahkan sebenarnya boleh dikatakan tidak mungkin ada sebuah ceritapun yang mutlak flash-back. Hal itu disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit mengikuti cerita yang dikisahkan yang secara terus-menerus dilakukan secara mundur (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 153-157; Waluyo, 2006: 6). Sesuai beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan alur adalah

seleksi peristiwa yang disusun dalam rangkaian waktu yang meliputi meliputi tujuh tahapan. Alur juga di bagi ke dalam beberapa jenis perbedaan berdasarkan pada kriteria urutan waktu, kriteria jumlah, kriteria kepadatan.

3. Tema dan Amanat

Tema adalah hal pokok yang menjadi dasar sebuah cerita. Hal tersebut menjadi dasar penulis menuliskan cerita. Menurut Fand Djibran (2008: 66) tema dan pesan adalah apa yang ingin pengarang sampaikan kepada pembacanya. Tema ini bisa berupa pesan moral, ajakan (persuasi), provokasi, atau lainnya. Tema dan pesan cerita adalah makna terdalam dari Tema adalah hal pokok yang menjadi dasar sebuah cerita. Hal tersebut menjadi dasar penulis menuliskan cerita. Menurut Fand Djibran (2008: 66) tema dan pesan adalah apa yang ingin pengarang sampaikan kepada pembacanya. Tema ini bisa berupa pesan moral, ajakan (persuasi), provokasi, atau lainnya. Tema dan pesan cerita adalah makna terdalam dari

Tema adalah makna cerita, seperti yang dikemukakan Kenney (1966:

88) bahwa “theme is the meaning of the story” (“tema adalah makna cerita”). Lebih lanjut dijelaskan oleh Kenney (1966: 91), “… theme is not the moral, not the subject, not a “hidden meaning” illustrated by the story, what is it? Theme is meaning, but it is not “hidden,” it is not illustrated. Theme is the meaning the story releases; it may be the meaning the story discovers. By theme we mean the necessary implications of the whole story, not a separable part of a story ” (“… tema bukan nasihat, bukan subjek, bukan sebuah “makna yang disembunyikan” dari cerita, apakah tema? Tema adalah makna, tetapi tidak “disembunyikan”, tidak dilukiskan. Tema adalah makna yang tersirat; mungkin makna untuk mengetahui cerita. Dengan tema, pembaca memaknai implikasi penting dari keseluruhan cerita, bukan suatu bagian yang dapat dipisahkan dari sebuah cerita”).

Tema adalah gagasan pokok atau sentral dari cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136) tema merupakan gagasan atau ide pokok yang hedak disampaikan pengarang atau sering disebut sebagai subject matter dari cerita tersebut. Tema merupakan makna yang diungkapkan oleh suatu cerita atau maksud yang disampaikan dalam suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagai dari cerita yang dapat dipisahkan. Ditambahkan Herman J. Waluyo (2002: 142) menyatakan bahwa tema diambil dari Tema adalah gagasan pokok atau sentral dari cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 136) tema merupakan gagasan atau ide pokok yang hedak disampaikan pengarang atau sering disebut sebagai subject matter dari cerita tersebut. Tema merupakan makna yang diungkapkan oleh suatu cerita atau maksud yang disampaikan dalam suatu cerita secara keseluruhan, bukan sebagai dari cerita yang dapat dipisahkan. Ditambahkan Herman J. Waluyo (2002: 142) menyatakan bahwa tema diambil dari

Tema adalah inti dari cerita sehingga peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita semua berpusat pada tema. Selain itu tema juga disebut ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi penciptaan karya sastra. Tema sebagai makna yang dikandung oleh cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menunjang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semampis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 68). Tema dapat persoalan moral, etika, agama, budaya, teknologi, namun tema dapat juga berupa pandangan, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1985: 10) amanat atau pesan yang dalam bahasa Inggris Massage adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya ( cerpen atau novel ) kepada pembaca atau pendengar. Pada sastra lama sebagian besar amanat yang disampaikan tersurat, sedangkan dalam karya sastra modern pesan yang disampaikan sebagian besar dikemukakan secara tersirat, sehingga pembaca dapat menafsirkan amanat yang disampaikan penulis.

Amanat merupakan pesan yang akan disampaikan penulis terhadap pembacanya. Menurut Herman J. Waluyo (2002 : 28) amanat berhubungan dengan makna (signifinance) dari karya sastra dapat berbeda pendapat dalam menafsirkan makna karya itu bagi dirinya. Tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, maka amanat berhubungan demgam makna (significance) dari karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias subjektif dan umum. Jadi amanat adalah makna yang terdapat dalam karya sastra.

berupa pengajaran tentang moral. Hal ini sesuai dengan pendapa Panuti Sudjiman (1988: 57) yang menyatakan amanat adalah suatu pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang. Wujud amanat dapat berupa kata- kata mutiara, nasihat, firman Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat dari tindakan tokoh cerita. Jadi amanat adalah pesan yang disampaikan penulis yang berupa nasihat.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa tema adalah suatu gagasan ataupun ide yang mengilhami karya sastra. Sedangkan amanat adalah jawaban dari sebuah tema.

4. Latar / Setting

Latar merupakan salah satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting. Elemen tersebut akan menentukan situasi umum sebuah karya. Setting adalah soal waktu tempat cerita. Menurut Fand Djibran (2008: 56) mengatakan bahkan cerita yang ‘katanya’ tidak memiliki waktu dan tempatpun tetap memiliki setting, yakni ketiadaan tempat dan waktu itu sendiri. Jadi setiap cerita selalu memiliki setting.

Latar berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Menurut Atar Semi (1993: 46) berpendapat bahwa latar atau setting merupakan lingkungan terjadinya peristiwa, termasuk di dalamnya tempat dan waktu dalam cerita. Artinya bahwa latar meliputi tempat terjadinya peristiwa dan juga menunjuk pada waktunya. Jadi latar meliputi unsur waktu, tempat dan lingkungan peristiwa terjadi.

Setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu (Waluyo, 2006: 10). Lebih lanjut dipaparkan bahwa setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadegan artinya penyusunan adegan-adegan dalam cerita. Tidak semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan dalam adegan-adegan. Adegan yang dipilih yang benar-benar mewakili cerita.

belakang sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat memperhidup cerita itu. Dengan deskripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul dan jika diperkaya dengan latar belakang lain, cerita akan lebih hidup. Waktu cerita ialah lamanya waktu penceritaan tokoh utama dari awal hingga akhir cerita, sedangkan waktu penceritaan ialah waktu pembacaan, biasanya lamanya jam.

Latar adalah gambaran situasi mengenai peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita. Suminto A. Sayuti (1997: 80) membagi latar dalam tiga kategori yakni, latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat merupakan hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Latar mempengaruhi penokohan yang dapat membentuk suasana tokoh cerita. Jadi latar berpengaruh dalam keseluruhan cerita.

Pendapat Suminto A. Sayuti di atas didukung dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok. Adapun penjelasan mengenai tiga unsur pokok tersebut sebagai berikut :

a. Latar tempat Latar adalah tempat menunjuk pada lokasi peristiwa. Nama tempat yang digunakan yaitu nama tempat yang nyata misalnya saja nama kota, instasi atau tempat-tempat tertentu. Penggunaan nama tempat haruslah tidak bertentangan dengan sifat atau geografis tempat yang bersangkutan, karena setiap latar tempat memiliki karakteristik dan ciri khas sendiri.

b. Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan kapan peristiwa tersebut terjadi. Latar yang diceritakan harus sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Penekanan waktu lebih pada keadaan hari misalnya saja pada pagi, siang, atau malam.

c. Latar sosial Untuk latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat tertentu. Hal c. Latar sosial Untuk latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat tertentu. Hal

Latar mempengaruhi penokohan dan kadang-kadang membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang buruk mempengaruhi perasaan tokoh. Dalam hal ini Montaque dan Henshaw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198) menyatakan tiga fungsi setting yaitu mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita dan memperjelas tema yang disampaikan.

Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan pengertian latar atau setting adalah keseluruhan keterangan yang meliputi aspek tempat kejadian, waktu kejadian dan juga sosial yang akan menentukan karakter dari masing-masing tokohnya.

5. Sudut Pandang (point of view)

Sudut pandang adalah bagian dari unsur intrinsik dalam karya sastra. Berkenaan dengan sudut pandang ada yang mengartikan sudut pandang dari pengarang dan ada juga yang mengartikan dari pencerita, bahkan ada pula yang menyamakan antara keduanya. Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi adalah strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang merupakan masalah teknis yang digunakan pengarang untuk menyampaikan makna, karya, artistiknya untuk sampai dan berhubungan dengan pembaca. (Burhan Nurgiyantoro, 2005 : 249).

Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya dan bentuknya, karena pemilihan sudut pandang atau point of view akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Menurut Fand Djibran (2008: 60) sudut pandang atau point of view dalam cerita terbagi menjadi tiga sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang kedua dan sudut pandang orang ketiga. Jadi sudut pandang dibagi menjadi tiga kategori.

apakah melibatkan diri langsung dalam cerita atau pengobservasi ataukan orang di luar cerita. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 256-271) membagi sudut pandang cerita secara garis besar dapat dibedakan atas dua macam persona, persona pertama “gaya” “aku” dan persona ketiga “gaya” “dia” atau kombinasi antara keduanya.

a. Sudut Pandang Persona Pertama “aku” Penceritaan dengan menggunakan sudut pandang “aku”, berarti pengarang terlibat dalam cerita secara langsung. Pengarang adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dunia, menceritakan peristiwa yang dialami, dirasakan, serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Oleh sebab itu persona pertama memiliki jangkauan yang sangat terbatas, karena ia hanya dapat memberikan informasi yang sangat terbatas kepada pembaca, seperti yang dilihat dan dirasakan oleh sang tokoh “aku”. Sudut pandang orang pertama dibedakan dalam dua golongan. Berdasarkan peran dan kedudukan “aku” dalam cerita yaitu “aku” yang menduduki peran utama dan “aku” yang menduduki peran tambahan/berlaku sebagai saksi.

a. “Aku” tokoh utama Sudut pandang “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan

tingkah laku yang dialaminya. Tokoh “aku” menjadi pusat cerita, segala sesuatu di luar diri tokoh diceritakan jika berhubungan dengan tokoh “aku” atau dipandang penting.

b. “Aku” tokoh tambahan Tokoh “aku” yang muncul bukan sebagai tokoh utama, akan

tetapi sebagai tokoh tambahan. Tokoh “aku” dalam hal ini tampil sebagai saksi.

b. Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia” Penceritaan yang menggunakan sudut pandang persona ketiga yaitu “dia” Narator adalah seseorang di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, b. Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia” Penceritaan yang menggunakan sudut pandang persona ketiga yaitu “dia” Narator adalah seseorang di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia,

c. Sudut Pandang Campuran Jika dalam suatu cerita digunakan model “aku” dan “dia”, maka dia menggunakan sudut pandang campuran. Hal tersebut bergantung pada kreatifitas pengarang bagaimana memanfaatkan berbagai teknik yang ada untuk mencapai efektifitas yang ideal (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 266).

Sudut pandang merupakan suatu hal yang menyaran pada persoalan teknis, sarana untuk menyampaikan maksud yang lebih besar dari sudut pandang. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 184) menyatakan bahwa point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita, apakah sebagai pencerita yang tahu segala-galanya ataukah sebagai orang terbatas. Lebih lanjut Herman J. Waluyo (2002: 184-185) membagi point of view menjadi tiga, yaitu:

a. Teknik “akuan” yaitu pengarang sebagai orang pertama dan menyebut pelakunya sebagai “aku”

b. Teknik “diaan” yaitu pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”

c. Pengarang serba tahu atau omniscient naratif, yaitu pengarang menceritakan segalanya dan memasuki berbagai peran bebas.

Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan, penentuam sudut pandang dalam cerita sangat penting karena akan berpengaruh dalam cerita. Sudut pandang difungsikan pengarang untuk sarana menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita kepada pembaca.

6. Bahasa

Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra didayagunakan secermat

Nurgiyantoro (2005: 273) menyatakan bahwa pada umumnya bahasa yang ada dalam karya sastra berbeda dengan bahasa nonsastra. Bahasa yang digunakan mengandung unsur emotif dan bersifat konotatif. Serta adanya juga gaya bahasa.

Bahasa yang digunakan dalam penulisan sastra dapat digunakan untuk mengungkapan segalanya dengan kata atau kalimat yang indah. Menurut Supomo (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 217) berpendapat adanya ragam bahasa sastra ditimbulkan oleh suasana hati yang haru, terpesona, trenyuh, dan sebagainya. Ragam sastra bertujuan untuk menimbulkan kesan yang sama kepada pembaca. Jadi bahasa dapat mengungkapkan suasana hati seseorang.

Bahasa yang digunakan dalam penulisan sastra dapat berwujud gaya bahasa. Menurut Gorys Keraf (2004: 113) mengungkapkan bahwa gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa. Artinya gaya bahasa memiliki kekhasan yang berbeda dengan bahasa secara umum.

Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seoarang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 276). Gaya bahasa dapat ditemui dalam sebuah karya sastra. Tidak setiap penulisan menggunakan gaya bahasa. Ditambahkan menurut Leech dan Sort dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 276) juga berpendapat bahwa gaya bahasa adalah suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam waktu tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu dan sebagainya.

Bahasa sastra lebih indah jika ada “permainan” kata dan kalimat yang indah oleh penulis. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (1997: 264) gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk Bahasa sastra lebih indah jika ada “permainan” kata dan kalimat yang indah oleh penulis. Menurut Rachmat Djoko Pradopo (1997: 264) gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk

Sesuai beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahasa cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang tidak mengandung unsur kontroversial yang ditimbulkan oleh suasana hati.

B. Hakikat Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra menurut kaum stuktualisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koheresif oleh berbagai unsur pembangunnya. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 36).

Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra sebagai karya kreatif yang memiliki otonomi penuh, maka bila hendak dikaji atau diteliti, yang harus dikaji dan diteliti adalah aspek yang membangun karya sastra itu seperti tema, alur, latar, penokohan, gaya penulisan, gaya bahasa, serta hubungan harmonis antar aspek yang mampu membuatnya menjadi sebuah karya sastra yang utuh dan penuh dengan nilai estetik. (Musa, 2006)

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro 2005: 36) struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan indah. Struktur adalah bagian yang menjadikan sebuah karya sastra menjadi indah. Salah satu model pendekatan yang memiliki prinsip dasar bahwa fokus telaah harus ditumpukan pada realitas karya itu sendiri adalah pendekatan struktural. (Asri, 2006). Jadi pendekatan struktural lebih memfokuskan pada kenyataan yang terdapat dalam novel itu sendiri.

mengandung tiga hal pokok. Pertama gagasan keseluruhan (wholness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, sistem itu otonom terhadap rujukan sistem lain.

Pendekatan struktural merupakan awal dalam sebuah penelitian sastra. Drosden (dalam Teeuw, 1995: 165). Dalam strukturalisme, konsep fungsi memegang peranan penting. Artinya, unsur-unsur sebagai ciri khas teori ini dapat berperanan secara maksimal semata-mata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukkan antarhubungan unsur-unsur yang terlibat. Oleh karenanya, struktur lebih dari sekedar unsur-unsur dan totalitasnya. Karya sastra lebih dari sekedar pemahaman bahasa sebagai medium. Karya sastra lebih dari sekedar penjumlahan bentuk dan isinya. Dengan demikian, antarhubungan merupakan kualitas energetis unsur. Unsur-unsur memiliki fungsi yang berbeda-beda, dominasinya tergantung pada jenis, konvensi, dan tradisi sastra. Pada gilirannya, unsur-unsur memiliki kapasitas untuk melakukan reorganisasi dan regulasi diri, membentuk dan membina hubungan antarunsur.

Analisis struktural karya sastra yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 37).

Analisis struktur bertujuan untuk menjelaskan sejelas-jelasnya secara teliti, mendeteil, cermat, dan sedalam mungkin mengenai unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut, sehingga pembaca dapat memahami cerita yang disuguhkan dengan lebih mudah setelah dianalisis strukturnya. Menurut Teeuw (1984: 135) “Pendekatan struktural adalah pendekatan yang mencoba menguraikan keterkaitan Analisis struktur bertujuan untuk menjelaskan sejelas-jelasnya secara teliti, mendeteil, cermat, dan sedalam mungkin mengenai unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut, sehingga pembaca dapat memahami cerita yang disuguhkan dengan lebih mudah setelah dianalisis strukturnya. Menurut Teeuw (1984: 135) “Pendekatan struktural adalah pendekatan yang mencoba menguraikan keterkaitan

Sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo, Teeuw (1995: 135) juga berpendapat analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Analisis struktural berkaitan langsung dengan struktur karya sastra itu sendiri. Suwardi Endraswara (2003: 61) menyatakan teknik analisis yang digunakan dalam strukturalisme genetik adalah model dialektik. Model dialektik mengutamakan makna yang koheren.

C. Nilai Didik dalam Karya Sastra

1. Pengertian Nilai Didik

Dokumen yang terkait

Skripsi Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

1 1 109

NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA (Tinjauan Struktural dan Nilai Pendidikan)

3 27 124

PENGGUNAAN MEDIA DAN KESENJANGAN KEPUASAN (Studi Tentang Tayangan Berita Liputan 6 Petang di SCTV dan Program Reportase Sore di Trans TV terhadap Kepuasan Menonton Siaran Berita Televisi dalam Usaha Mendapatkan Informasi yang Aktual di Kalangan Anggota DP

0 0 75

Analisis Perbandingan Return dan Risiko Pemegang Saham Sebelum dan Sesudah Merger dan Akuisisi

0 0 115

1 Hubungan Antara Penyakit Diabetes Melitus Tak Terkontrol Dengan Kerusakan Gigi Herni prasanti DU G0005112

0 0 28

PEMASARAN POLITIK (POLITICAL MARKETING) PARTAI GOLONGAN KARYA DAN PARTAI DEMOKRAT (Studi Tentang Perbandingan Pemasaran Politik Partai Golkar dan Partai Demokrat Dalam Rangka Menarik Massa Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 di Daerah Pilihan II Kab

0 0 150

1 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Sekolah Menengah Internasional di Jakarta Dengan Penekanan Pada Green Architecture TUGAS AKHIR - Konsep perencanaan dan perancangan Sekolah Menengah Internasional di Jakarta dengan penekanan pada green architecture

4 17 55

Pelaksanaan payment point online bank (ppob) di PT. PLN (persero) area pelayanan dan jaringan Surakarta

1 1 112

1 EVALUASI FUNGSI RENCANA SALURAN PENGELAK DALAM PENGENDALIAN BANJIR KOTA BANTAENG SULAWESI SELATAN DHUHITA ATITAMI

0 0 59

Studi komparasi warisan anak luar kawin menurut hukum Islam dan hukum perdata

0 2 55