Identitas Sosial

B. Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan komponen ketiga dalam bangunan teorisasi konstruksi sosial dalam hal ini etnogenesis dan transformasi sosial.Varien dan Potter, 57 yang mengaplikasikan teori strukturasi Giddens dalam riset arkeologi sosial, menyatakan bahwa konstruksi identitas sosial merupakan salah satu tujuan universal manusia yang sangat penting. Identitas sosial bukanlah sesuatu yang dapat

56 Usaha elaboratif telah pula dikemukan oleh William H. Sewell, Jr., “A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation” in American Journal of Sociology, Vol.98, No.1 (July, 1992), pp.1-29.

57 Mark D. Varien and James M. Potter (eds.), The Social Construction of Community: Agency, Structure, and Identity in the Prehispanic Southwest (Plymouth, UK: AltaMira Press, 2008).

64 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dibendakan (reifikasi) dan tetap. Sebaliknya identitas sosial adalah fenemona sosial yang relasional, dinamis dan negosiatif.Oleh karena itu sejak awal pembahasannya Richard

Jenkins 58 mengingatkan untuk kita berhati-hati terhadap reifikasi identitas dan identitas harus ditempatkan dalam kerangka identifikasi sosial terkait dengan penataan kesamaan dan perbedaan kultural. Jenkins merumuskan identifikasi sosial secara minimal sebagai:

the ways which individuals and collectivities are distinguished in their social relations with other individuals and collectivities. Identity is a matter of knowing who’s who (without which we can’t know what’s what). It is the systematic establishment and

signification, between individuals, between collectivities, between individuals and collectivities, of relatioships of

similarity and difference. 59

Varien dan Potter sejak awal juga mengingatkan bahwa identitas bukanlah fenomena tunggal dan berdiri

sendiri, tetapi “always multifaceted: no one has just one identity. Identities can be hybrid or multiple, and different type

of identities can intersect and corsscut each other 60 .” Anthony Giddens pun menyatakan bahwa identitas sosial adalah salah satu komponen aktivitas sosial yang transformable atau changeable. Ini mengasumsikan bahwa perjumpaan lintas kultur kelompok atau komunitas atau masyarakat menciptakan proses-proses akulturasi yang mendorong kemunculan dan pertumbuhan subyektivitas-subyektivitas, tipe-tipe pengetahuan, identitas-identitas, aspirasi-aspirasi,

hibriditas-hibriditas, dan temuan-temuan yang baru. 61

58 Richard Jenkis, Social Identity (New York: Routledge, 2004). 59 Jenkins, Social Identity, 5. 60 Varien and Potter, The Social Construction ..., 15.

61 Leonel Prieto, tagi Sagafi- nejad and Balaji Janamanchi, “A Bourdieusian Perspective on Aculturation: Mexican Immigrants in the united States” Administrative Sciences 2013, 3, 209-305.

Kerangka Teori

Selanjutnya akan disampaikan beberapa teori untuk lebih memahami identifikasi sosial sebagai bagian dari etnogenesis.

Dalam teori etnogenesis Barth identitas sosial terkait langsung dengan identifikasi sosial. Identifikasi sosial menunjuk kepada proses rekruitmen melalui askripsi-diri dan askripsi oleh orang lain dalam konteks ethnic boundarying atau maintenance of ethnic boundary. Dan bagi Barth identifikasi sosial tidak lain adalah proses dinamis pemeliharaan batas-batas etnik itu sendiri. Artinya dengan identifikasi sosial, via askripsi diri dan askripsi oleh orang lain, warga etnik sedang berusaha menentukan dan memelihara batas-batas etnik mereka terhadap kelompok etnik lain. Penekanan pada aspek proses ini menolong kita untuk memahami ethnic social boundary bukan sebagai ruang berdinding statik, tetapi sebagai check-points – yang menjadi titik-titik henti dalam proses dialog lintas etnik atau kelompok. Itu berarti pula identitas sosial bukanlah suatu fenomena statik, walaupun dalam konteks dan waktu tertentu identitas itu terutinisasi atau terinstitusionalisasi. Pandangan Barth ini dijelaskan oleh Jenkins demikian:

Identification is not a simple matter of cultural stuff which associated with any specific identity, and which may appear to constitute the soild criteria of membership. Identity is about boundary process rather than boundaries. As interactional episodes, those processes are contemporary check-points rather than concrete walls. Boundary processes may be routinised or

institutionalised in particular settings and occasions. 62 Jenkins kemudian menyebut proses identifikasi sosial

dalam dua lokasi yang saling berinteraksi dialektik: identitifikasi kelompok (internal) dan kategorisasi sosial (eksternal). Dalam dua proses dialektik identifikasi inilah

62 Richard Jenkins, Social Identity (London and New York: Rotledge1996), 98-99.

66 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

identitas individu dan kolektif dibentuk. Dengan begitu identitas individual dan kolektif secara sistematik diproduksi dan direporoduksi dalam saling pengaruh satu terhadap yang lain. Jadi jelas bahwa identitas individu tidaklah bermakna bila dipisahkan dari dunia sosial orang atau kelompok lain. Identitas individu (selfhood) secara keseluruhan terkonstruksi secara sosial melalui proses-proses sosialisasi utama dan lanjutan, interaksi sosial di dalam mana para individu mendefinisikan dan meredefinisikan diri mereka sendiri maupun orang lain sepanjang hidup mereka.

Dari ragam riset tentang identitas sosial ini menunjukkan bahwa identitas terkait dengan human agency yang dibahas dibawa topik cultural philosophies of

personhood. 63 Lieber 64 mengembangkan pandangan tentang identitas etnik melalui konsep consocial personhood. Dalam konsep ini identitas orang atau kelompok didefinisikan dalam kaitan dengan tempat sosial mereka. Consocial personhood

diambil dari konsep consosiates Geertz. 65 Consosiates adalah “individuals who actually meet, persons who encounter one another somewhere in the course of daily life. They thus share...,

not only a community of time but also of space. They are involved in one another’s biography at least minimally; they

gorw older together at leas memonetarily, interacting directly an personally as egoes, subject, selves 66 .” Dari konsep inilah Lieber menyat akan bahwa “The person is instead a locus of shared biographies personal histories of people’s relationships

63 Lihat artikel-artikel dalam Jocelyn Linnekin and Lin Poyer, “Introduction” to Cultural Identity and Ethnicity in The Pacific edited by Jocelyn Linnekin and Lin Poyer (Honolulu: University of Hawaii Press, 1990).

64 Lihat:Michael D. Lieber, “Lamarckian Definitions of Identity on Kapingamarangi and Pohnpei” in Linnekin and Poyer, Cultural Identity and Ethnicity in The Pacific, 71-101.

65 Konsep ini Lieber pinjam dan elaborasi dari konsep consociates yang Geertz juga kembangkan dari Alred Schutz, lihat Cliffird Geertz, “Person, Time, and Conduct in Bali” dalam C. Geertz, The Intepretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 360-411.

66 Geertz, “Person, Time and conduct”, ibid., 365.

Kerangka Teori

with other people and with things.” Jadi di sini relasi sosiallah yang mendefinsikan kedirian atau identitas seseorang. Bahkan Geertz menyatakan bahwa dalam konteks masyarakat

sedemikian personalitas mengalami depersonalisasi. 67 Linnekin dan Poyer sendiri menegaskan pemahaman

tentang identitas diri ini melalui konsep diri seabagai poros realasi-relasi sosial (person as node of social relationships) sebagaimana diinformasikan oleh institusi-institusi seperti

kekerabatan, adopsi, lads right, dan sistem-sistem gelar. 68 Dari diskusinya tentang kekerabatan orang-orang

Melanesia, Marshal Sahlins mengajukan konsep kedirian (personhood) sebagai mutual being. 69 Orang Melanesia memahami diri mereka sebagai poros partisipasi (a node of participations). Seseorang itu lebih berada di luar dirinya daripada di dalam dirinya sendiri. Di sini tampilah konsep diri bukan sebagai individual, tetapi dividual, yakni diri yang terbagi, dan tidak pula khas tertutup, di dalam pengertian bahwa aspek-aspek diri secara beragam didistribusikan di antara orang-orang lain. Jadi diri seseorang terbagikan ke dalam diri orang-orang lain, sebegitu juga diri orang-orang lain itu termaktub dalam diri seseorang. Alur pikir seperti ini hendak menerangkan bahwa kemajemukan unsur-unsur pembentuk diri seseorang menggerakkan orang itu untuk berpartisipasi dalam realitas-realitas di luar dirinya, yakni orang-orang lain maupun keberadaan-keberadaan yang lain dalam kelompok atau masyarakatnya.

Selain dari sisi proses dan dinamika konstruksi dan rekonstruksi identitas sosial, kita butuh juga teori yang terkait

67 Geertz,“Person, Time and conduct”, ibid., 390. 68 Linnekin and Poyer, “Introduction” to Culture Identity and Ethnicity in the Pacific, 7. 69 Marshal Sahlins, What Kinship Is – And It is Not (Chicago: The

University of Chicago Press, 2013), 19; Lihat juga Alan Rumsey, “Agency, Personhood and The “I” of Discourse in the Pacific and Beyond” in The Royal Anthropological Institute Vol.6 (1), 2000: 101-115.

68 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

dengan pengarahan identitas sosial dengan transformasi sosial sebagai sebuah proyek kultural. Dalam konteks ini Manuel

Castells 70 menyebutkan bahwa isu kongrit adalah bagaimana, dari apa, oleh siapa, dan untuk apa konstruksi atau rekonstruksi identitas sosial dilangsungkan.Rekonstruksi identitas ini menggunakan ragam bahan dari sejarah, memori kolektif, biologi, institusi-institusi produktif dan reproduktif, aparatus kekuasaan dan wahyu-wahyu keagamaan. Tetapi individu-individu, kelompok-kelompok sosial dan masyarakat memroses semua itu dan menata ulang makna-makna sesuai dengan kondisi-kondisi sosial maupun proyek-proyek kebudayaan yang berakar dalam struktur sosial mereka serta dalam rentang ruang-waktu. Seperti teori praktik, Castells melihat bahwa rekonstruksi identitas ini berlangsung dalam konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan. Untuk itu Castells membedakan tiga bentuk dan keberasalan bangunan atau konstruksi identitas, yaitu legitimizing identity, resitance

identity, dan project identity. 71 Pertama, legitimizing identity diprakarsai oleh institusi-institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka berhadap-hadapan dengan para aktor sosial.

Kedua, resisntance identity diprakrasai dan dilahirkan oleh para aktor yang hidup dalam posisi-posisi dan kondisi- kondisi tertindas dan terstigmatisai oleh logika dominasi kelompok berkuasa. Para aktor atau kelompok membangun perlindungan dan pertahanan berbasiskan prinsip-prinsip yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang sementara menyebar dan menguasai institusi-institusi masayarakat.

Dan ketiga project identity adalah level identitas berproyeksi pada transformasi sosial. Identitas ini

70 Manuel Castells, The Power of Identity (West Sussex, UK: Willey- Blackwell, 2010),7. 71 Castells, The Power of Identity, 8.

Kerangka Teori

dikonstruksi oleh para aktor sosial dengan ragam material yang cocok dengan mereka. Para aktor sosial membangun identitas baru yang mereidentifikasi identitas dan merumuskan posisi mereka dalam masyarakat. Dengan begitu mereka sedang mengusahakan transformasi atas keseluruhan sturktur sosial.

Dokumen yang terkait

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui Metode Mind Map Siswa Kelas 4 SD Negeri Pamongan 2 Kecamatan Guntur Kabupaten Demak Semester II Tahun Pelajaran 2014/2015

0 0 75

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tinjauan pada Algoritma LFSR (Linear Feedback Shift Register) dalam Reposisi XOR dalam Pencarian Bilangan Acak Terbaik: Studi Kasus LFSR dengan 4 Bit dan 6 Bit

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: BINAKEL: Kajian terhadap Tema Bulanan Bina Keluarga Gereja Protestan Maluku (GPM) Tahun 2017 dari Perspektif Teologi Keluarga Maurice Eminyan

0 5 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Nateek bagi Pembentukan Identitas Sosial Etnik Cina Indonesia (ECI) di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Sonhalan Niki Niki

0 2 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perancangan dan Implementasi Raport Online: Studi Kasus SD Masehi Pekalongan

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Integritas Suricata Intrusion Detection System (IDS) dengan Mikrotik Firewall untuk Keamanan Jaringan Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

3 9 21

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Penelusuran Etnografis Atas Narasi dan Praktik S

0 0 36