Tugas 9 putusan
NAMA:
1.
A.RIZKA EL FASTA
110110100347
2.
FRANS DAME
110110100368
PENGERTIAN PUTUSAN HAKIM DALAM HUKUM ACARA PERDATA
A.
PUTUSAN
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang
terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan
(voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang
berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri
sengketa dan berlaku sebagai putusan. kesimpulannya Suatu putusan hakim
merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai
dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang
mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau
supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.
Putusan menurut sifatnya dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
a.
Putusan declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat hanya menerangkan suatu
keadaan hukum semata Atau suatu putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang lahir dari pernikahan yang sah,
hukum declaratoir murni tidak mempunyai atau upaya untuk memakasa karena
sudah mempunyai hakibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawanpun yang di
kalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanyalah memiliki kekuatan yang
mengikat.
b.
Putusan constitutif
Putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum baru atau Suatu putusan yang membuat dan meniadakan atau menciptakan
suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, perwalian, pemutusan
perjanjian dan sebagainya.
c.
Putusan condemnatoir
Ialah suatu putusan yang bersifat menghukum pihak yang di kalahkan untuk
memenuhi prestasi, di dalam putusan ini di akui hak penggugat atas prestasi yang di
tuntutnya. Pada umumnya putusan ini bersifat membayar artinya putusan itu untuk
memenuhi prestasi. Putusan yang berisi penghukuman
Pada umumnya dakam suatu putusan Hakum memuat beberapa macam putusan,
atau dengan lain kata merupakan penggabungan dari putusan declaratoir dan
putusan constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dengan putusan
condemnatoir dan sebagainya.
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal putusan contradictoir sebagai lawan dari
putusan perstek.
Dalam putusan Sela dikenal bermacam-macam jenis putusan yaitu:
-
Putusan preparaptoir
Putusan insidentil
Putusan provisionil
Dalam praktik peradilan terdapat 4 (empat) jenis Putusan Sela yaitu:
1. Putusan Prepatoir: Putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna
mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi
pokok perkara dan putusan akhir.
2. Putusan Interlucotoir: Putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait
masalah pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Insidentil: Putusan yang berhubungan dengan adanya insiden
tertentu, yakni timbulnya kejadian yang menunda jalannya persidangan.
Contoh : putusan insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil
dalam sita jaminan.
4. Putusan Provisionil: Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu
menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak
sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi perintah
agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah
objek sengketa.
Baik putusnya preparatoir, putusan insidentil maupun putusan provisionil. Ketigatiganya dalam Hukum Acara Perdata disebut dengan putusan putusan sela saja
sehingga tidak ada perbedaan antara ketiga jenis putusan tersebut.
Putusan praparatoir dipergunakan untuk mempersiapkan perkara., demikian pula
putusan insidentik, sedangkan putusan provisionil adalah putusan yang dijatuhkan
sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu ditiadakan
tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua
belah pihak. Putusan jenis ini banyak digunakan dalam acara singkat dan dijatihkan
oleh karenan segera harus diambil tindakan. Karena sifatnya yang harus
dilaksanakan segera, putusan provisionil, selalu dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
Putusan hakim tisak selaku mengabulkan gugatan untuk keseluruhannya dapat pula
gugatan dikabulkan sebagian untuk sebagian saja, gugatan selebihnya harus ditolak
atau dalam hal-hal tertentu dinyatakan tidak dapat diterima.
Dapat pula terjadi seluruh gugatan ditolak. Tidak benar apabila gugatan ditolak untuk
sebagian dan untuk selebihnya dikabulkan.
Isi Minimum dan sistematik surat putusan diatur dalam pasal –pasal 17b,182,
283,184 dan 185 HIR.
Pasal 178 menentukan bahwa:
1.
Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencakupkan
alasan-alasan hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
2.
Ia berwajib mengadili segala bagian gugatam
3.
Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang digugat, atau
meluluskan lebih dari apa yang digugat.
Yang dimaksud dengan alasan hukum ialah kaidah hukum kanun (regel van het
objectieve recht). Apabila penggugat dalam surat gugatannya tidak menyebutkan
dasar gugatannya atau secara keliru menggunakan dasar gugatann. Maka hakim
dalam pertimbangannya akan mencakupkan segala alasan hukum supaya menang
kalahnya salah satu pihak menjadi terang.
Dari ayat (2) Pasal 178 HIR ternyata bahwa hakim harus mengadili semua petitium,
tidak boleh satupn dilupakan, satu persatu harus dipertimbangkan secara seksama.
Pasal 185 HIR menentukan sebagai berikut:
1.
Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus diuacapkan dalam persidangan
seperti keputrusan akhir juga, tidak diperbuat berasing-asing, tetapi hanya dicatat
dalam berita acara persidangan.
2.
Kedua belah pihak boleh meminta supaya diberikan kepadanya salinan yang
sah daripada catatan sedemikian itu dengan membayar biayanya.
Pasal 187 HIR menentukan sebagai berikut:
1.
Jika Ketua dalamn kemustahilan akan menandatangani keputusan atau berita
acara dari persidangan, maka itu dikerjakan oleh anggota yang martabatnya
langsung sibawah ketua, yang serta memeriksa perkara itu
2.
Jika Panitera Pengadilan dalam kemustahilan itu, maka hal itu dengan
sungguh-sungguh disebutkan dalam berita acara persidangan itu.
B.
Asas Putusan Hakim
Asas ini di jelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4
Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan
kehakiman) yang meliputi :
1.
Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Menurut asas ini putusan yamg dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang
jelas dan terperinci. Alasan-alasan hukum yang menjadi pertimbangan bertitik tolak
dari ketentuan:
Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan
Hukum kebiasaan
Yurisprudensi atau
Doktrin hukum
hal ini di jelaskan dalam Pasal 23 UU No.14 tahun 1970, sebagaimana di ubah
dengan UU No 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No 4 Tahun
2004.
2.
Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Hal ini di gariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal
50 Rv. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja.
3.
Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Larangan ini di sebut ultra petitum partium[3]. Hakim yang mengabulkan melbihi
posiya maupun petitum gugat, di anggap telah melampui batas wewenang atau ultra
vires yakni beritndak melampui wewenangnya.
4.
Diucapakan di muka umum
Hal ini di atur dalam prinsip pemeriksaan dan putusan diucapakan secara terbuka,
ditegaskan dalam Pasal 18 UU No.14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU
No. 35 tahun 1999 skarang dalam Pasal 20 UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi:
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di
ucapakan dalam sidang terbuka untuk umum.
C.
Upaya kekuatan Hukum terhadap Putusan Hakim
Putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bukan mustahil
mempunyai sifat memihak, oleh karena itu untuk menghindari apabila terjadi
kekeliruan atau Hakim bersifat memihak maka perlu memiliki upaya hukum yaitu alat
untuk mencegah atau kekeliruan dalam suatu putusan.
1. Perlawanan (verzet)
Dalam pasal 129 HIR ayat 1 yaitu tergugat yang di hukum sedang ia tidak
hadir dan ia tidak menerima putusan itu, maka dapat memajukan perlawanan atau
putusan itu. artinya Perlawanan (verzel) merupakan upaya hukum terhadap putusan
yang di jatuhkan di luar hadirnya tergugat. Yaitu upaya hukum terhadap putusan
pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek). Pada dasarnya
perlawanan ini disediakan bagi pihak Tergugat yang dikalahkan. Bagi Penggugat,
terhadap putusan verstek ini dapat mengajukan banding.
2.
Banding
Yaitu pengajuan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan
pemeriksaan ulangan, apabila para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat
pertama. Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun
1947 tentang peradilan ulangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai
Pasal 15, dinyatakan :
Tenggang waktu permohonan banding :
a) 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak Pemohon
banding hadir sendiri dipersidangan.
b) 14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila Pemohon banding tidak hadir pada saat
putusan diucapkan di persidanga
c) Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan prodeo
dari Pengadilan Tinggi kepada Pemohon banding.
d) Pengajuan permohonan banding disampaikan kepada Panitera pengadilan yang
memutus perkara di tingkat pertama
e) Penyampaian memori banding adalah hak, bukan kewajiban hukum bagi Pemohon
banding.
f) Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding, berkas perkara harus sudah
dikirim ke Panitera Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun
1947).
3.
Kasasi
Pemeriksaan tingkat kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya
memeriksa dan mengadili perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat
terbatas, dan hanya meliputi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14
Tahun 1985, yaitu terbatas sepanjang mengenai , Memeriksa dan memutus tentang
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pengadilan tingkat bawah dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara. Memeriksa dan mengadili kesalahan
penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam
memeriksa dan memutus perkara. Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang
syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tingkat kasasi tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti
kewenangan yang dimiliki peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, oleh
karenanya peradilan tingkat kasasi tidak termasuk judex fact.
D.
Kekuatan Putusan Hakim
Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No.
14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan
yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan
upaya hukum biasa melawan putusan itu. Macam-macam putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:
1. Kekuatan pembuktian mengikat
Putusan ini sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut
pengertian Undang-Undang sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian
mengikat antara pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu
perkara antara pihak-pihak yang disebut dalam putusan itu.
2. Putusan eksekutorial
Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan
terhadap pihak yang tidak menantinya dengan sukarela.
3. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan)
Yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yag sudah
pernah diputus atau mengenai hal-hal yang sama berdasarkan asas nebis inidem
(tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama).
4.
Susunan dan Isi Putusan Hakim
Putusan hakim terdiri dari:
1. Kepala putusan
Suatu putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang
berbunyi“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU
No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksektorial pada putusan
apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2. Identitas pihak yang berperkara.
Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan
dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada
orang lain.
3. Pertimbangan atau alasan-alasan.
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu
pertimbangan tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Pasal
184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam
perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas,
alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara,
biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan
diucapkan. Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk
kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP /
1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang
didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan
MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970.
E. Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan atau eksekusi suatu putusan yang menghukum seseorang
untuk melakukan perbuatan tertentu, mendapatkan pengaturan secara khusus
dalam pasal 225 HIR, dengan judul : "Tentang Beberapa Acara Khusus".
Di sini diterapkan bahwa apabila seseorang dihukum untuk melakukan sesuatu
perbuatan tertentu maka apabila pihak yang dihukum untuk melakukan perbuatan
tersebut tidak suka melakukannya, pihak yang berkepentingan harus menghadap
hakim lagi untuk meminta agar perbuatan tersebut dinilai dengan sejumlah uang.
Mengenai cara dan jalannya eksekusi putusan itu sendiri oleh HIR diberikan
peraturan-peraturan sebagai berikut :
Pelaksanaan putusan itu terjadi karena perintah dan dibawah pimpinan ketua
pengadilan yang dulu memeriksa dan memutus perkaranya dalam tingkat yang
pertama. Apabila pelaksanaan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan diluar
wilayah hukum pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan tersebut meminta
perantara dan bantuan ketua pengadilan di wilayah yang bersangkutan.
Katua pengadilan yang diminta perantaranya di wajibkan dalam waktu dua kali 24
jam, melaporkan tentang tindakan-tindakan yang diperintahnya dan bagaimana
hasilnya kepada ketua pengadilan yang dalam tingkat pertama memeriksa
perkaranya (pasal 195 ayat 5 HIR).
Tentang hal perselisihan yang timbul itu dan tentang putusan yang
diambilnya, ketua pengadilan yang disebutkan tadi wajib memberikan laporan tertulis
kepada ketua pengadilan yang memeriksa perkaranya dalam tingkat pertama dalam
kurun waktu 24 jam (195 ayat 7 HIR).
Pelaksanaan putusan / eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat
dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan
yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi
dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, kasasi, maupun PK.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat
melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus
melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No.
7/1989.[8]
Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama di atas adalah :
a) Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan
Negeri dihapuskan.
b) Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat
melaksanakan putusan-putusannya.
Pelaksanaan putusan hakim dapat :
a) Secara suka rela, atau
b) Secara paksa dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum
tidak maumelaksanakan secara sukarela.
Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara . Keputusan pengadilan
bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi : “
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk
dieksekusi, yaitu :
1.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
a)
Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat
dilaksanakan lebih dulu,
b)
Pelaksanaan putusan provisional,
c)
Pelaksanaan Akta Perdamaian,
d)
Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta.
2.
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia
telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama.
3.
Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir Putusan yang bersifat deklaratoir
atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin
berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum
bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum .
4.
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.
Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan, yaitu:
1. Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini
diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg.
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg.
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda
tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
4. Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat
(1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg.
Pasal 196 HIR/207 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan
dari tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan
untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang
dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua
Pengadilan Agama agar putusan dapat dijalankan.
Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan
tersebut dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam
ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak
tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi putusan
sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat
sebagai pemohon eksekusi.
Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah
dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak
bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk
mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk
mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat
selaku pihak yang dimenangkan.
Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua
Pengadilan Agama dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita,
kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan
pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada,
ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada
Penggugat selaku pemohon eksekusi.
1.
A.RIZKA EL FASTA
110110100347
2.
FRANS DAME
110110100368
PENGERTIAN PUTUSAN HAKIM DALAM HUKUM ACARA PERDATA
A.
PUTUSAN
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang
terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan
(voluntair). Sedangkan akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang
berisi hasil musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri
sengketa dan berlaku sebagai putusan. kesimpulannya Suatu putusan hakim
merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat
Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan dimuka persidangan sesuai
dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang
mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau
supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.
Putusan menurut sifatnya dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
a.
Putusan declaratoir
Putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat hanya menerangkan suatu
keadaan hukum semata Atau suatu putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah, misalnya anak yang lahir dari pernikahan yang sah,
hukum declaratoir murni tidak mempunyai atau upaya untuk memakasa karena
sudah mempunyai hakibat hukum tanpa bantuan dari pihak lawanpun yang di
kalahkan untuk melaksanakannya, sehingga hanyalah memiliki kekuatan yang
mengikat.
b.
Putusan constitutif
Putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan
hukum baru atau Suatu putusan yang membuat dan meniadakan atau menciptakan
suatu keadaan hukum, misalnya pemutusan perkawinan, perwalian, pemutusan
perjanjian dan sebagainya.
c.
Putusan condemnatoir
Ialah suatu putusan yang bersifat menghukum pihak yang di kalahkan untuk
memenuhi prestasi, di dalam putusan ini di akui hak penggugat atas prestasi yang di
tuntutnya. Pada umumnya putusan ini bersifat membayar artinya putusan itu untuk
memenuhi prestasi. Putusan yang berisi penghukuman
Pada umumnya dakam suatu putusan Hakum memuat beberapa macam putusan,
atau dengan lain kata merupakan penggabungan dari putusan declaratoir dan
putusan constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dengan putusan
condemnatoir dan sebagainya.
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal putusan contradictoir sebagai lawan dari
putusan perstek.
Dalam putusan Sela dikenal bermacam-macam jenis putusan yaitu:
-
Putusan preparaptoir
Putusan insidentil
Putusan provisionil
Dalam praktik peradilan terdapat 4 (empat) jenis Putusan Sela yaitu:
1. Putusan Prepatoir: Putusan yang dijatuhkan oleh hakim guna
mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan perkara tanpa mempengaruhi
pokok perkara dan putusan akhir.
2. Putusan Interlucotoir: Putusan yang berisi bermacam-macam perintah terkait
masalah pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir.
3. Putusan Insidentil: Putusan yang berhubungan dengan adanya insiden
tertentu, yakni timbulnya kejadian yang menunda jalannya persidangan.
Contoh : putusan insidentil dalam gugatan intervensi dan putusan insidentil
dalam sita jaminan.
4. Putusan Provisionil: Putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu
menetapkan suatu tindakan sementara bagi kepentingan salah satu pihak
sebelum putusan akhir dijatuhkan. Contoh : putusan yang berisi perintah
agar salah satu pihak menghentikan sementara pembangunan di atas tanah
objek sengketa.
Baik putusnya preparatoir, putusan insidentil maupun putusan provisionil. Ketigatiganya dalam Hukum Acara Perdata disebut dengan putusan putusan sela saja
sehingga tidak ada perbedaan antara ketiga jenis putusan tersebut.
Putusan praparatoir dipergunakan untuk mempersiapkan perkara., demikian pula
putusan insidentik, sedangkan putusan provisionil adalah putusan yang dijatuhkan
sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu ditiadakan
tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua
belah pihak. Putusan jenis ini banyak digunakan dalam acara singkat dan dijatihkan
oleh karenan segera harus diambil tindakan. Karena sifatnya yang harus
dilaksanakan segera, putusan provisionil, selalu dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
Putusan hakim tisak selaku mengabulkan gugatan untuk keseluruhannya dapat pula
gugatan dikabulkan sebagian untuk sebagian saja, gugatan selebihnya harus ditolak
atau dalam hal-hal tertentu dinyatakan tidak dapat diterima.
Dapat pula terjadi seluruh gugatan ditolak. Tidak benar apabila gugatan ditolak untuk
sebagian dan untuk selebihnya dikabulkan.
Isi Minimum dan sistematik surat putusan diatur dalam pasal –pasal 17b,182,
283,184 dan 185 HIR.
Pasal 178 menentukan bahwa:
1.
Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencakupkan
alasan-alasan hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
2.
Ia berwajib mengadili segala bagian gugatam
3.
Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang digugat, atau
meluluskan lebih dari apa yang digugat.
Yang dimaksud dengan alasan hukum ialah kaidah hukum kanun (regel van het
objectieve recht). Apabila penggugat dalam surat gugatannya tidak menyebutkan
dasar gugatannya atau secara keliru menggunakan dasar gugatann. Maka hakim
dalam pertimbangannya akan mencakupkan segala alasan hukum supaya menang
kalahnya salah satu pihak menjadi terang.
Dari ayat (2) Pasal 178 HIR ternyata bahwa hakim harus mengadili semua petitium,
tidak boleh satupn dilupakan, satu persatu harus dipertimbangkan secara seksama.
Pasal 185 HIR menentukan sebagai berikut:
1.
Keputusan yang bukan akhir, walaupun harus diuacapkan dalam persidangan
seperti keputrusan akhir juga, tidak diperbuat berasing-asing, tetapi hanya dicatat
dalam berita acara persidangan.
2.
Kedua belah pihak boleh meminta supaya diberikan kepadanya salinan yang
sah daripada catatan sedemikian itu dengan membayar biayanya.
Pasal 187 HIR menentukan sebagai berikut:
1.
Jika Ketua dalamn kemustahilan akan menandatangani keputusan atau berita
acara dari persidangan, maka itu dikerjakan oleh anggota yang martabatnya
langsung sibawah ketua, yang serta memeriksa perkara itu
2.
Jika Panitera Pengadilan dalam kemustahilan itu, maka hal itu dengan
sungguh-sungguh disebutkan dalam berita acara persidangan itu.
B.
Asas Putusan Hakim
Asas ini di jelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RGB, dan Pasal 19 UU No. 4
Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan
kehakiman) yang meliputi :
1.
Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci
Menurut asas ini putusan yamg dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang
jelas dan terperinci. Alasan-alasan hukum yang menjadi pertimbangan bertitik tolak
dari ketentuan:
Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan
Hukum kebiasaan
Yurisprudensi atau
Doktrin hukum
hal ini di jelaskan dalam Pasal 23 UU No.14 tahun 1970, sebagaimana di ubah
dengan UU No 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No 4 Tahun
2004.
2.
Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
Hal ini di gariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal
50 Rv. Tidak boleh hanya memeriksa dan memutuskan sebagian saja.
3.
Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Larangan ini di sebut ultra petitum partium[3]. Hakim yang mengabulkan melbihi
posiya maupun petitum gugat, di anggap telah melampui batas wewenang atau ultra
vires yakni beritndak melampui wewenangnya.
4.
Diucapakan di muka umum
Hal ini di atur dalam prinsip pemeriksaan dan putusan diucapakan secara terbuka,
ditegaskan dalam Pasal 18 UU No.14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU
No. 35 tahun 1999 skarang dalam Pasal 20 UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi:
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di
ucapakan dalam sidang terbuka untuk umum.
C.
Upaya kekuatan Hukum terhadap Putusan Hakim
Putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bukan mustahil
mempunyai sifat memihak, oleh karena itu untuk menghindari apabila terjadi
kekeliruan atau Hakim bersifat memihak maka perlu memiliki upaya hukum yaitu alat
untuk mencegah atau kekeliruan dalam suatu putusan.
1. Perlawanan (verzet)
Dalam pasal 129 HIR ayat 1 yaitu tergugat yang di hukum sedang ia tidak
hadir dan ia tidak menerima putusan itu, maka dapat memajukan perlawanan atau
putusan itu. artinya Perlawanan (verzel) merupakan upaya hukum terhadap putusan
yang di jatuhkan di luar hadirnya tergugat. Yaitu upaya hukum terhadap putusan
pengadilan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek). Pada dasarnya
perlawanan ini disediakan bagi pihak Tergugat yang dikalahkan. Bagi Penggugat,
terhadap putusan verstek ini dapat mengajukan banding.
2.
Banding
Yaitu pengajuan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan
pemeriksaan ulangan, apabila para pihak tidak puas terhadap putusan tingkat
pertama. Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU No 20 Tahun
1947 tentang peradilan ulangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai
Pasal 15, dinyatakan :
Tenggang waktu permohonan banding :
a) 14 hari sejak putusan diucapkan, apabila waktu putusan diucapkan pihak Pemohon
banding hadir sendiri dipersidangan.
b) 14 hari sejak putusan diberitahukan, apabila Pemohon banding tidak hadir pada saat
putusan diucapkan di persidanga
c) Jika perkara prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan prodeo
dari Pengadilan Tinggi kepada Pemohon banding.
d) Pengajuan permohonan banding disampaikan kepada Panitera pengadilan yang
memutus perkara di tingkat pertama
e) Penyampaian memori banding adalah hak, bukan kewajiban hukum bagi Pemohon
banding.
f) Satu bulan sejak dari tanggal permohonan banding, berkas perkara harus sudah
dikirim ke Panitera Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun
1947).
3.
Kasasi
Pemeriksaan tingkat kasasi bukan pengadilan tingkat ketiga. Kewenangannya
memeriksa dan mengadili perkara tidak meliputi seluruh perkara, bersifat sangat
terbatas, dan hanya meliputi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 UU No 14
Tahun 1985, yaitu terbatas sepanjang mengenai , Memeriksa dan memutus tentang
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pengadilan tingkat bawah dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara. Memeriksa dan mengadili kesalahan
penerapan atas pelanggaran hukum yang dilakukan pengadilan bawahan dalam
memeriksa dan memutus perkara. Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang
syarat-syarat yang wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tingkat kasasi tidak berwenang memeriksa seluruh perkara seperti
kewenangan yang dimiliki peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, oleh
karenanya peradilan tingkat kasasi tidak termasuk judex fact.
D.
Kekuatan Putusan Hakim
Pasal 1917 dan 1918 KUHPerdata juga menyebutkan kekuatan suatu
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak juga dalam pasal 21 UU No.
14 / 1970 adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap.
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan
yang menurut Undang-Undang tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan
upaya hukum biasa melawan putusan itu. Macam-macam putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap yaitu:
1. Kekuatan pembuktian mengikat
Putusan ini sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut
pengertian Undang-Undang sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian
mengikat antara pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu
perkara antara pihak-pihak yang disebut dalam putusan itu.
2. Putusan eksekutorial
Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan
terhadap pihak yang tidak menantinya dengan sukarela.
3. Kekuatan mengajukan eksepsi (tangkisan)
Yaitu kekuatan untuk menangkis suatu gugatan baru mengenai hal yag sudah
pernah diputus atau mengenai hal-hal yang sama berdasarkan asas nebis inidem
(tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam perkara yang sama).
4.
Susunan dan Isi Putusan Hakim
Putusan hakim terdiri dari:
1. Kepala putusan
Suatu putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang
berbunyi“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 4 (1) UU
No. 14 / 1970 kepala putusan ini memberi kekuatan eksektorial pada putusan
apabila tidak dibubuhkan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2. Identitas pihak yang berperkara.
Didalam putusan harus dimuat identitas dari pihak: nama, alamat, pekerjaan
dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan pekerjaan kepada
orang lain.
3. Pertimbangan atau alasan-alasan.
Pertimbangan atau alasan putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu
pertimbangan tentang duduk perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Pasal
184 HIR/195 RBG/23 UU No 14/1970 menentukan bahwa setiap putusan dalam
perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas,
alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara,
biaya perkara serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan
diucapkan. Putusan yang kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk
kasasi dan putusan harus dibatalkan, MA tanggal 22 Juli 1970 No. 638 K / SIP /
1969; MA tanggal 16 Desember 1970 No. 492 / K / SIP / 1970. Putusan yang
didasarkan atau pertimbangan yang menyipang dari dasar gugatan harus dibatalkan
MA tanggal 01 September 1971 No 372 K / SIP / 1970.
E. Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan atau eksekusi suatu putusan yang menghukum seseorang
untuk melakukan perbuatan tertentu, mendapatkan pengaturan secara khusus
dalam pasal 225 HIR, dengan judul : "Tentang Beberapa Acara Khusus".
Di sini diterapkan bahwa apabila seseorang dihukum untuk melakukan sesuatu
perbuatan tertentu maka apabila pihak yang dihukum untuk melakukan perbuatan
tersebut tidak suka melakukannya, pihak yang berkepentingan harus menghadap
hakim lagi untuk meminta agar perbuatan tersebut dinilai dengan sejumlah uang.
Mengenai cara dan jalannya eksekusi putusan itu sendiri oleh HIR diberikan
peraturan-peraturan sebagai berikut :
Pelaksanaan putusan itu terjadi karena perintah dan dibawah pimpinan ketua
pengadilan yang dulu memeriksa dan memutus perkaranya dalam tingkat yang
pertama. Apabila pelaksanaan itu seluruhnya atau sebagian harus dilakukan diluar
wilayah hukum pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan tersebut meminta
perantara dan bantuan ketua pengadilan di wilayah yang bersangkutan.
Katua pengadilan yang diminta perantaranya di wajibkan dalam waktu dua kali 24
jam, melaporkan tentang tindakan-tindakan yang diperintahnya dan bagaimana
hasilnya kepada ketua pengadilan yang dalam tingkat pertama memeriksa
perkaranya (pasal 195 ayat 5 HIR).
Tentang hal perselisihan yang timbul itu dan tentang putusan yang
diambilnya, ketua pengadilan yang disebutkan tadi wajib memberikan laporan tertulis
kepada ketua pengadilan yang memeriksa perkaranya dalam tingkat pertama dalam
kurun waktu 24 jam (195 ayat 7 HIR).
Pelaksanaan putusan / eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat
dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan
yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi
dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, kasasi, maupun PK.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat
melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus
melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No.
7/1989.[8]
Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama di atas adalah :
a) Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan
Negeri dihapuskan.
b) Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat
melaksanakan putusan-putusannya.
Pelaksanaan putusan hakim dapat :
a) Secara suka rela, atau
b) Secara paksa dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum
tidak maumelaksanakan secara sukarela.
Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan
untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara . Keputusan pengadilan
bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi : “
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk
dieksekusi, yaitu :
1.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
a)
Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat
dilaksanakan lebih dulu,
b)
Pelaksanaan putusan provisional,
c)
Pelaksanaan Akta Perdamaian,
d)
Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta.
2.
Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia
telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama.
3.
Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir Putusan yang bersifat deklaratoir
atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin
berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum
bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum .
4.
Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan
Agama.
Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan, yaitu:
1. Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini
diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg.
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg.
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda
tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
4. Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat
(1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg.
Pasal 196 HIR/207 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan
dari tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan
untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang
dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua
Pengadilan Agama agar putusan dapat dijalankan.
Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan
tersebut dinilai dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam
ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak
tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi putusan
sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat
sebagai pemohon eksekusi.
Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah
dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak
bergerak. Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk
mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur, untuk
mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat
selaku pihak yang dimenangkan.
Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua
Pengadilan Agama dengan penetapan akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita,
kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan
pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni yang ada,
ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada
Penggugat selaku pemohon eksekusi.