TA : Pembuatan Film Dokumenter Bergenre Asociation Picture Story Tentang Budaya Konsumtif.

(1)

PICTURE STORY TENTANG BUDAYA KONSUMTIF

TUGAS AKHIR

Program Studi

DIV Komputer Multimedia

Oleh:

Guntur Kresno Ibbowo 11.51016.0027

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INFORMATIKA

INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA STIKOM SURABAYA 2016


(2)

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana Terapan Komputer Multimedia

Oleh:

Nama : Guntur Kresno Ibbowo NIM : 11.51016.0027

Program Studi : DIV Komputer Multimedia

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN INFORMATIKA

INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA STIKOM SURABAYA 2016


(3)

ix

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah ... 5

1.4 Tujuan ... 5

1.5 Manfaat ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

2.1 Perilaku Konsumtif ... 7

2.2 Film ... 10

2.2.1 Pengertian Film... 10

2.2.2 Sejarah dan Perkembangan Film Internasional ... 11

2.3 Klasifikasi Film ... 14

2.3.1 Menurut Jenis Film ... 14

2.4 Film Dokumenter ... 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 14

3.1 Metodologi Penelitian ... 19

3.2 Pengumpulan Data ... 20

1. Wawancara ... 20

2. Observasi ... 21

3. Literatur ... 22

4. Studi Eksisting ... 23


(4)

x

3.7 Perancangan Karya ... 33

3.7.1 Pra Produksi ... 30

3.7.2 Produksi ... 35

3.7.3 Pasca Produksi ... 35

3.8 Pra Produksi ... 34

3.9 Produksi ... 39

3.10 Pasca produksi ... 39

BAB IV IMPLEMENTASI KARYA ... 42

4.1 Produksi ... 42

4.1.1 Shooting ... 42

4.2 Editing dan Color Grading ... 45

4.3 Rendering ... 53

4.4 Pasca produksi ... 55

4.4.1 Publikasi ... 56

BAB V PENUTUP ... 59

5.1 Simpulan ... 59

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 62


(5)

xi

Gambar 3.2 Samsara (1992) ... 24

Gambar 3.3 Branded ... 25

Gambar 3.4 Bagan Keyword ... 29

Gambar 3.5 Warna Orange ... 33

Gambar 3.6 Alur Perancangan karya ... 33

Gambar 3.7 Sketsa Poster ... 40

Gambar 3.8 Sketsa Cover DVD ... 40

Gambar 3.9 Sketsa Cakram DVD ... 41

Gambar 4.1 Hasil Pengambilan Gambar ... 43

Gambar 4.2 OnliHasil Gambar Produksi ... 44

Gambar 4.3 Hasil Gambar Produksi 2 ... 45

Gambar 4.4 Pengelompokkan file ... 46

Gambar 4.5 Adobe After effect ... 47

Gambar 4.6 Import File Timelapse ... 48

Gambar 4.7 Penataan dan Pemotongan video ... 49

Gambar 4.8 warp stabilizer ... 50

Gambar 4.9 tab control effect... 50

Gambar 4.10 Skema Warna ... 51

Gambar 4.11 Warna Sebelum Color Grading ... 52

Gambar 4.12 three-way color corrector ... 52

Gambar 4.13 Hasil Proses Color Grading ... 53

Gambar 4.14 Tab rendering ... 54

Gambar 4.15 export Setting ... 55

Gambar 4.12 Poster ... 56


(6)

xii


(7)

xiii

Tabel 3.2 Analisis Data ... 27

Tabel 3.3 Analisis STP ... 28

Tabel 3.4 Jadwal kerja... 37


(8)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan yang akan dicapai dalam Tugas Akhir ini adalah membuat film dokumenter bergenre association picture story tentang budaya konsumtif. Hal ini dilatarbelakangi oleh budaya konsumtif masyarakat yang pada dasarnya membeli barang hanya untuk memenuhi keinginan dan gaya hidup, bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan. Budaya konsumtif tersebut merujuk tentang dampak yang ditimbulkan budaya tersebut. Menurut Pujiastuti, Tamtomo, & Suparno (2007: 16) perilaku konsumtif mempunyai dampak negatif yaitu memupuk sifat dan gaya hidup konsumerisme yang menganggap barang-barang sebagai ukuran kesenangan, kebahagiaan dan harga diri. Sehingga dengan gaya hidup tersebut, orang akan terdorong untuk membeli barang dan jasa yang sebenarnya belum menjadi kebutuhannya.

Syamila (2014) dalam website www.kompasiana.com menunjukkan bahwa data survey yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen pada tahun 2013 terlihat adanya permintaan barang-barang mewah yang cukup signifikan peningkatan tersebut dari 3.6% menjadi 19% dari total permintaan barang selama tahun 2013. Kenyataan bahwa subyek dari survey tersebut merupakan kalangan menengah ke bawah dan menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat kelas menengah


(9)

kebawah menjadi konsumtif. Hal tersebut diperkuat dengan jurnal penelitian (Elfina, 2010: 65) menunjukkan bahwa adanya hubungan positif antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan perilaku konsumtif.

Dalam jajak pendapat lain yang dilakukan kompas (www.print.kompas.com) disebutkan bahwa mayoritas publik membeli lebih dari satu gadget baru, dapat berupa telepon seluler, tablet atau laptop. Dapat digambarkan bahwa secara tak langsung besaran anggaran untuk membeli gadget menjadi cerminan tingkat konsumsi terhadap barang. Gadget dapat menjadi benda yang dibutukan dalam kehidupan, tetapi bisa bernilai sebaliknya. Kepemilikan gadget jika lebih dari satu untuk jenis gadget yang sama bisa cenderung beralaskan keinginan ketimbang kebutuhan. Tak dipungkiri perilaku konsumtif mengemuka seiring dengan konfirmasi atas kepemilikan barang yang jumlahnya melebihi kebutuhan serta sebagian publik mengaku mempertimbangkan faktor mode yaitu membeli gadget yang sedang popular saat itu.

Jean (2009: 34) dalam buku Masyarakat Konsumsi menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern yang konsumtif, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti dijelaskan oleh Marx. Lebih dari itu objek konsumsi melambangkan status, prestise, dan kehormatan (nilai-nilai dan nilai simbol). Nilai tanda dan nilai simbol yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumen. Jadi masyarakat modern sekarang ini berperilaku konsumtif tidak hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan saja, namun untuk meningkatkan status diri/kehormatan.


(10)

Kotler dalam Elfina (2010; 25) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memperngaruhi perilaku konsumtif dibedakan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu motivasi, harga diri pengamatan dan proses belajar, kepribadian dan konsep diri serta gaya hidup. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor kebudayaan, kelas sosial, kelompok referensi, keluarga dan demografi

Definisi film dalam bukunya Kamus Komunikasi menurut Effendy (1989: 209) menjelaskan bahwa media yang bersifat visual dan audio visual untuk menyampaikan pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat. Sedangkan definisi film menurut Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh pusat bahasa pada tahun 2008 menyebutkan bahwa film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negativ (yang dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang dimainkan dalam bioskop). Dalam buku teori komunikasi massa, Film merupakan bagian dari komunikasi massa yang memiliki fungsi dan peran diantaranya adalah

film to inform, film to educate, film to entertain dan film to persuate (Vivian, 2008: 5). Maka dari itu penulis memilih media film karena film memiliki fungsi to inform, to educate, to entertain dan to persuade. Film juga memiliki berbagai bentuk salah satu bentuk diantaranya adalah film dokumenter.

Menurut Fachruddin (2012: 315) dokumenter merupakan film yang menceritakan sebuah kejadian nyata dengan kekuatan ide kreatornya dalam merangkat gambar-gambar menarik menjadi istimewa secara keseluruhan. Timothy dalam Fachruddin (2012: 315) dokumenter merupakan sebuah film non fiksi tentang


(11)

masyarakat dan peristiwanya, seringkali mengabaikan struktur naratif yang tradisional. Menurut Gerzon R. Ayawaila Dokumenter merupakan bentuk film yang merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya. Dalam tugas akhir ini, genre dokumenter yang akan digunakan adalah genre

association picture story.

Association Picture Story merupakan jenis dokumenter yang dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka. Film yang sangat berpengaruh dalam genre ini adalah A Man With The Movie Camera karya Dziga Vertov. Gerzon R ayawaila menyebutkan dalam website

kineforum.org Terlihat sekali peranan kamera dalam beberapa karya dokumenter dengan gaya dan perspektif masing-masing, tetap berusaha mencapai obsesi yang sama, yaitu merepresentasikan orisinalitas sebuah realita. Dalam komunikasi audio visual, persyaratan terjadinya komunikasi audio visual yaitu harus dapat dilihat sekaligus didengar sehingga untuk mengakses informasi yang disampaikan menggunakan indra penglihatan dan pendengaran. Hal tersebut tidak ditemukan dalam dokumenter tipe expository yang menggunakan paparan yang menjelaskan. Maka dari itulah penulis menggunakan genre Association Picture Story sebagai genre dalam film dokumenter tersebut.

Film dokumenter ini dilatarbelakangi keingintahuan dalam pembuatan Tugas Akhir untuk lebih mengetahui tentang budaya konsumtif. Agar sesuai dengan konsep


(12)

pembuatan film, maka akan digali fakta langsung dari lokasi untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Harapan penelitian ini adalah membuat film dokumenter bergenre association picture story tentang budaya konsumtif masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik pokok permasalahan, yaitu Bagaimana membuat film dokumenter bergenre

association picture story yang bercerita tentang budaya konsumtif masyarakat.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas agar permasalahan tidak menyimpang, maka batasan masalah yang akan dikerjakan adalah:

1. Film dokumenter ini menceritakan Budaya Konsumtif masyarakat. 2. Dalam film dokumenter ini, yang diambil adalah di kota Surabaya. 3. Subyek dalam film ini adalah remaja.

1.4 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan video dokumenter ini adalah sebagai berikut:

1. Membuat film dokumenter bergenre association picture story tentang budaya konsumtif


(13)

1.5 Manfaat

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Genre Association picture story yang digunakan dalam film dokumenter ini dapat dijadikan referensi untuk memperidah visualisasi dan salah satu trik untuk membuat penonton tidak bosan ketika melihat film dokumenter.

b. Diharapkan mampu menjadi film yang bukan hanya memberikan informasi namun juga mengedukasi melalui pesan pesan yang disampaikan secara verbal maupun non verbal.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil dari film dokumenter ini dapat dijadikan sebagai media yang akan dijadikan sarana atau nformasi yang mampu membuka pandangan khalayak tentang budaya konsumtif masyarakat.


(14)

7

Untuk mendukung pembuatan karya video dokumenter, maka karya akan mengunakan beberapa tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang akan digunakan antara lain:

2.1 Perilaku Konsumtif

Lubis (Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku konsumtif adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi. Sedangkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (dalam Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku konsumtif adalah kencenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan. Sedangkan Anggasari (dalam Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku konsumtif adalah tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Lebih lanjut Dahlan (dalam Sumartono, 2002:117) mengatakan perilaku konsumtif yang ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta


(15)

adanya pola hidup manusia yang dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat kesenangan semata-mata.

Kesimpulannya adalah perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku membeli dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memiliki kencenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas dimana individu lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, pengunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik. Perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai suatu tindakan memakai produk yang tidak tuntas artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai seseorang telah menggunakan produk jenis yang sama dari merek lainnya atau dapat disebutkan, membeli barang karena adanya hadiah yang ditawarkan atau membeli suatu produk karena banyak orang memakai barang tersebut (Sumartono, 2002: 117).

Menurut Sumartono, (2002: 119) indikator perilaku konsumtif yaitu :

1. Membeli produk karena iming-iming hadiah. Individu membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan jika membeli barang tersebut.

2. Membeli produk karena kemasannya menarik. Konsumen sangat mudah terbujuk untuk membeli produk yang dibungkus dengan rapi dan dihias dengan warna-warna menarik. Artinya motivasi untuk membeli produk tersebut hanya karena produk tersebut dibungkus rapi dan menarik.

3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi. Konsumen mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya Konsumen


(16)

mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut dan sebagainya dengan tujuan agar konsumen selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian yang lain. Konsumen membelanjakan uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilan diri.

4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau kegunaannya). Konsumen cenderung berperilaku yang ditandakan oleh adanya kehidupan mewah sehingga cenderung menggunakan segala hal yang dianggap paling mewah.

5. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status. Konsumen mempunyai kemampuan membeli yang tinggi baik dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat menunjang sifat ekslusif dengan barang yang mahal dan memberi kesan berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk dapat memberikan simbol status agar kelihatan lebih keren dimata orang lain.

6. Memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan. Konsumen cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannya dalam bentuk menggunakan segala sesuatu yang dapat dipakai tokoh idolanya. Konsumen juga cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila ia mengidolakan publik figur produk tersebut.

7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Konsumen sangat terdorong untuk


(17)

mencoba suatu produk karena mereka percaya apa yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya diri.

8. Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda). Konsumen akan cenderung menggunakan produk jenis sama dengan merek yang lain dari produk sebelum ia gunakan, meskipun produk tersebut belum habis dipakainya.

2.2 Film

2.2.1 Pengertian

Film adalah gambar-hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif serin disebut sebagai sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid.

Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.

Film adalah sekedar gambar yang bergerak, adapun pergerakannya disebut sebagai intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian

detik. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media yang lain, karena secara audio dan visual dia bekerja sama dengan baik dalam membuat


(18)

penontonnya tidak bosan dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang menarik.

Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya;

2.2.2 Sejarah dan Perkembangan Film Internasional

Film yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal. Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun 1887 terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Edison tidak sendirian. Ia dibantu oleh George Eastman, yang kemudian pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari. alat yang dirancang


(19)

dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Lumiere Bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu.

Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor. Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.

Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.

Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau dikenal dengan


(20)

sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an. Perubahan dalam industri perfilman jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem penglihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.

Pada perkembangan selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop dan berikutnya di televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray), film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway.

Film kemudian dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood dan Hongkong. Di sisi dunia yang lain, film dipakai sebagai media penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini bisa dilihat di negara Prancis (sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan Inggris. Dampak nya adalah film akan dilihat sebagai artefak budaya

yang harus dikembangkan, kajian film membesar, eksperimen-eksperimen pun didukung oleh negara. Kelompok terakhir ini menempatkan film sebagai aset politik guna media propaganda negara. Oleh karena itu di Indonesia Film berada di bawah


(21)

pengawasan departemen penerangan dengan konsep lembaga sensor film.

Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup besar.

2.3 Klasifikasi Film 2.3.1 Menurut Jenis Film

1. Film Cerita (Fiksi)

Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.

2. Film Non Cerita (Non Fiksi)

Film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya. Film non cerita ini terbagi atas dua kategori, yaitu :

a. Film Faktual : menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana kamera sekedar merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi pemberitaan suatu kejadian aktual.


(22)

b. Film dokumenter : selain fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi tentang kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter tersebut.

2.4 Film Dokumenter

Dalam buku yang berjudul “Dokumenter: dari ide sampai produksi” menjelaskan, film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan atau mempresentasikan kenyataan (Ayawaila, 2008). Artinya apa yang kita rekam memang berdasarkan fakta yang ada, namun dalam penyajiannya kita juga dapat memasukan pemikiran-pemikiran kita.

Hal ini mengacu pada teori-teori sebelumnya dalam buku The Film Studies

Dictionary menyatakan bahwa film dokumenter memiliki subyek yang berupa

masyarakat, peristiwa, atau situasi yang benar-benar terjadi didunia realita dan di luar dunia sinema (Blandford, Grant, & Hillie, 2001).

Kesimpulannya film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan atau mempresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter menampilkan kembali fakta yang ada dalam suatu kehidupan dengan berbagai sudut pandang yang diambil. Dalam pembuatan film dokumenter gaya atau bentuk dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar. Pembagian ini merupakan ringkasan dari aneka ragam bentuk film dokumenter yang berkembang sepanjang sejarah.


(23)

Bila di atas menjelaskan bentuk film dokumenter menurut perkembangan sejarah, genre dokumenter menjadi dua belas jenis yang di kelompokan lagi menurut tingkat kepopulerannya, antara lain:

1. Dokumenter Drama

Film jenis ini merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian nyata, bahkan selain peristiwanya hampir seluruh aspek filmnya (tokoh, ruang dan waktu) cenderung direkonstruksi ulang.

2. Sejarah

Dalam film dokumenter, genre sejarah menjadi salah satu yang sangat kental aspek referential meaning-nya (makna yang sangat bergantung pada referensi peristiwanya) sebab keakuratan data sangat dijaga dan hampir tidak boleh ada yang salah baik pemaparan datanya maupun penafsirannya. Film dokumenter jenis ini biasanya menjadi acuan tambahan untuk anak-anak sekolah yang kurang berminat membaca ulang buku sejarah.

3. Ilmu Pengetahuan atau Sains

Film ini dirancang khusus untuk mengajari audience bagaimana mempelajari dan melakukan berbagai macam hal mereka inginkan, mulai dari bermain gitar akustik atau gitar blues pada tingkat awal, memasang instalasi listrik, penanaman bungan yang dijamin tumbuh, menari perut untuk menurunkan berat badan, bermain rafting untuk mengarungi arung jeram dan sebagainya. Dalam film ilmu pengetahuan juga dibuat film tentang ilmu alam yang mendekatkan kita kepada kehidupan hewan liar, tumbuhan dan tempat-tempat tak terjamah lainnya.


(24)

4. Biografi

Sesuai dengan namanya, jenis ini lebih berkaitan dengan sosok seseorang. Mereka yang diangkat menjadi tema utama biasanya seseorang yang dikenal luas di dunia atau masyarakat tertentu atau seseorang yang biasa namun memiliki kehebatan, keunikan ataupun aspek lain yang menarik. Contohnya, potret yaitu film dokumenter yang mengupas aspek human interest dari seseorang. Plot yang diambil biasanya adalah hanya peristiwa–peristiwa yang dianggap penting dan krusial dari orang tersebut. isinya bisa berupa sanjungan, simpati, krtitik pedas atau bahkan pemikiran sang tokoh.

5. Laporan Perjalanan

Jenis ini awalnya adalah dokumentasi antropologi dari para ahli etnolog atau etnografi. Namun dalam perkembangannya bisa membahas banyak hal dari yang paling penting hingga yang ringan, sesuai dengan pesan dan gaya yang dibuat. Istilah lain yang sering digunakan untuk jenis dokumenter ini adalah travelogue,

travel film, travel documentary dan adventures film. Tayangan ini pun saat ini menjadi ajang promosi suatu tempat yang sangat populer karena kemasan acaranya yang sesuai dengan gaya hidup orang masa kini.

6. Association Picture Story

Jenis dokumenter ini dipengaruhi oleh film eksperimental. Sesuai dengan namanya, film ini mengandalkan gambar–gambar yang tidak berhubungan namun ketika disatukan dengan editing, maka makna yang muncul dapat ditangkap penonton melalui asosiasi yang terbentuk di benak mereka. Film yang


(25)

sangat berpengaruh dalam genre ini adalah A Man With The Movie Camera karya Dziga Vertov. Tahun 1951, Bert Haanstra membuat Panta Rhei (berasal dari bahasa Yunani yang berarti “semuanya mengalir” dari ucapan Heraclitus) yang oleh banyak pengamat film dianggap sebagai ‘latihan jari’ – nya Haanstra setelah sukses membuat Spiegel van Holland (Mirror of Holland). Dalam Panta Rhei, Haanstra bermain dengan keindahan gambar–gambar riak gelombang, tetesan air dari daun, flare dari cahaya matahari, lanskap pegunungan serta hutan dan sebagainya. Gambar–gambar tersebut disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan asosiasi keindahan.

Dalam bentuk ini, association picture story merupakan salah satu dokumenter dalam bentuk non-naratif. Dokumenter ini memberi penyampaian berbeda pada aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia.


(26)

19

Pada bab ini akan dibahas tentang metodologi penelitian dan perancangan karya dalam proses pembuatan film dokumenter tentang budaya konsumtif masyarakat di Surabaya.

3.1 Metodologi Penelitian

Pada metodologi penelitian ini diuraikan serta dijelaskan tentang metode yang akan digunakan dalam pengolahan data serta perancangan dalam pembuatan tugas akhir ini. Metode penelitian dalam proses pembuatan film ini dilakukan berdasarkan penelitian dengan tahapan tahapan yaitu perencanaan, analisa, dan implementasi.

Metodologi penelitian menurut Sugiyono (2008:2) adalah cara ilmiah utuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan, dikembangkan suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.

Dalam tugas akhir ini, metodologi penelitian yang akan dipakai yaitu metodologi kualitatif karena membutuhkan pengujuan secara kualitas sehingga data dapat diambil langsung di lapangan.Berdasarkan website seputarpengetahuan.com dijelaskan Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap suatu


(27)

permasalahan. Penelitian kualitatif ialah penelitian riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses dan makna. Tujuan dari metodologi ini ialah pemahaman secara lebih mendalam terhadap suatu permasalahan yang dikaji. Dan data yang dikumpulkan lebih banyak kata ataupun gambar-gambar daripada angka. Berdasarkan definisi tersebut maka metode yang akan digunakan dalam perancangan karya ini adalah metode kualitatif karena dalam penelitian ini memerlukan data yang bersifat deskriptif berupa karakteristik masyarakat konsumtif, dan karakteristik film dokumenter. Setelah menentukan metode penelitian, maka langkah selanjutnya adalah teknik pengumpulan data.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara menurut Sugiyono (2008:72) merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam kajian ini, wawancara dilakukan dengan ahli dalam bidangnya masing-masing.

Wawancara dilakukan dengan sosiologSandygo Prinka. S.Sosio.dikarenakan budaya konsumtif juga dipengaruhi oleh kelas sosial masyarakat. Hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa pola perilaku konsumtif masyarakat terjadi karena peningkatan penduduk serta pendapatan perkapita sehingga meningkatkan


(28)

juga taraf hidup masyarakat. Hal tersebut berdampak pada karateristik individu yang berperilaku konsumtif yaitu, pola konsumsi yang bersifat foya-foya, keinginan untuk membeli barang yang tidak perlu. Kesenangan individu. Merasa kurang puas jika belum membeli barang yang diinginkan dan materialistik. Masyarakat juga mempertimbangkan harga, merk dan gengsi dalam membeli suatu barang yang diinginkannya. Iklan atau media massa yang gencar dilakukan produsen akan mengakibatkan rasa ingin tahu pada masyarkat. Secara tidak langsung akan rasa ingin tahu masyarakat terobati apabila telah mencoba atau membeli produk tersebut.

Keyword: Materialistik Harga 2. Observasi

Dalam tugas Tugas Akhir ini, data observasi yang didapat bersumber langsung dari pengamatan langsung di lapangan. Metode observasi dilakukan untuk mengenal lebih dalam tentang materi yang akan diteliti.Dengan mengadakan pengamatan aktif terhadap pusat pusat penjualan barang-barang produksi di Surabaya.Dari hasil observasi tersebut didapatkan hasil bahwa, masyarakat membeli barang-barang karena mengejar suatu simbol dari merk, kemewahan dan gengsi. Dari hasil observasi yang dilakukan diperoleh kata kunci.


(29)

Gambar 3.1: Observasi Budaya Konsumtif (Sumber : Olahan Peneliti)

3. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data dengan cara mencari referensi, literatur atau bahan-bahan teori yang diperlukan dari berbagai sumber wacanayang berkaitan dengan pembuatan film dokumenter ini. Dalam tahap ini materi yang dibutuhkan adalahtentang film dokumenter dan budaya konsumtif. Berikut merupakan hasil dari studi pustaka atau literatur:

a. Budaya konsumtif

Dalam buku Masyarakat Konsumsi (2009: 34) karangan Jean P Baudrillard dijelaskan, konsumsi bukan sekedar nafsu untuk membeli begitu banyak komoditas, fungsi kenikmatan, fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri, kekayaan atau konsumsi objek.Dalam masyarakat modern yang konsumtif, objek-objek konsumsi yang berupa komoditi tidak lagi


(30)

sekedar memiliki manfaat (nilai guna) dan harga (nilai tukar) seperti dijelaskan oleh Marx. Lebih dari itu objek konsumsi melambangkan status, prestise, dan kehormatan (nilai-nilai dan nilai simbol). Nilai tanda dan nilai simbol yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup kemewahan dan kehormatan adalah motif utama aktivitas konsumsi masyarakat konsumen. Jadi masyarakat modern sekarang ini berperilaku konsumtif tidak hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan saja, namun untuk meningkatkan status diri atau kehormatan.

Keyword: Status, ekspresi, gaya hidup. b. Association Picture Story

Dalam website www.filmpelajar.comdijelaskan film-film dalam bentuk APS sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah berbeda.Film bentuk APS biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan.

Keyword: tujuan, cerita 4. Studi Eksisting

Dalam pengerjaan film dokumenter, diperlukan sebuah Study Eksisting guna mengamati karya yang telah ada sebelumnya. Karya yang sudah ada dikaji untuk memperoleh kelebihan dari tiap karya tersebut untuk diimplementasikan dalam film dokumenter ini. Dalam hal ini, dipilih film dokumenter bergenre Association Picture Story yang berjudul Samsara


(31)

a. Samsara

Gambar 3.2: Samsara (1992) (Sumber : Dokumentasi Peneliti)

Samsara (gambar 3.2) adalah sebuah film dokumenter tanpa narasi, tanpa aktor, tanpaplot cerita. Film ini menggambarkan segala yang terjadi di bumi seperti fenomena alam, kehidupan, aktivitas manusia dan juga teknologi.Dalam film ini, sang sutradara memoles teknik fotografi dan sinematografi, dengan gerakan lambat, time-lapse, audio sehingga memumculkan kesan sinematik yang bagus. Hal ini didukung dalam buku

Memahami Film(2008:1) Pratista menjelaskan unsur sinematik merupakan

aspek teknis dalam sebuah film. Unsur sinematik terbagi dalam empat elemen pokok yaitu mise-en-scene, sinematografi, editing, dan suara.


(32)

b. Branded

Gambar 3.3 : Branded (2012) (Sumber: www.images.google.com)

Film ini berlatarbelakang di kota moskow Rusia, dimana dalam cerita nya mischa sebagai pemilik perusahaan periklanan berusaha memerangi dominasi kapitalisme berupa restoran cepat saji dengan cara mengiklankan makanan vegetarian dari investor china. Sebelumnya mischa berusaha memerangi dengan membuat acara reality show namun berakhir dengan pengasingan mischa ke peternakan piggiran Rusia. Dalam pengasingannya


(33)

mischa mengalami hal aneh sehingga dia bisa melihat makhluk-makhluk aneh. Ketika mischa kembali ke moskow, mischa dapat melihat makhluk-makhluk diatas restoran yang banyak dikunjungi, semakin banyak dikunjungi makhluk tersebut semakin besar.

Analisis data eksisting

Table 3.1 Analisis data eksisting

Video Kelebihan Kekurangan

Samsara - Pengambilan gambar sangat bagus

- Warna cenderung datar

Branded - Pemakaian Warna Sesuai mood

-pengambilan gambar kurang menarik

(Sumber: Olahan Peneliti)

Dari analisis data tersebut yang ada pada tabel, disimpulkan bahwa setiap video memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dan kekurangan dari video tersebut akan dijadikan referensi serta bahan acuan dalam pembuatan karya.

3.3 Analisis Data

Teknis analisis data adalah mengkaji dan memperlajari data yang didapat untuk dikelompokkan, diurutkan, serta dipilah-pilah sehingga membentuk sebuah keteraturan data. Lalu dianalisis agar mudah dipahami dan dilakukan pencatatan dan


(34)

penarikan kesimpulan. Dalam tabel analisa data, data yang telah diperoleh dikelompokkan berdasarkan materi, kemudian data tersebut dipilah.

Tabel 3.2 Analisis Data

No Materi Sumber Kesimpulan

1 Budaya Komsumtif

-pola perilaku masyarakat berbudaya konsumtif

Wawancara -sosiolog

-materialistik - Harga

2 Budaya konsumtif pada pusat perbelanjaan di Surabaya

Observasi

mengenai budaya konsumtif

-Kemewahan, - Gengsi

3 Pengertian budaya konsumtif Studi literature buku serta internet.

-Status, - Ekspresi - gaya hidup.

4 Konsep cerita dan pengambilan gambar

Studi Eksisting

Film Dokumenter Samsara

- Variasi Editing - variasi Gambar

3.4 STP

Segmentasi dan targeting dari sisi geografis ditujukan untuk masyarakat kota, karena tema dari tugas akhir ini adalah kehidupan masyarakat modern kota Surabaya. Dari sisi demografi masyarakat kota Surabaya masih terlalu luas, sehingga lebih ditargetkan kepada usia remaja sampai dewasa antara 17 – 30 tahun, karena usia remaja merupakan salah satu pasar yang potensial untuk perilaku konsumtif. sesuai dengan artikel yang dimuat dalam situs e-psikologi.com, menjelaskan pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros


(35)

dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Dari sejumlah hasil penelitian, ada perbedaan dalam pola konsumsi antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli. Sedangkan positioning dalam STP ini dimaksudkan untuk menjadi sarana pendukung pengetahuan tentang budaya konsumtif dan hiburan.

Tabel 3.3Analisis STP

Segmentasi & Targeting

Geografis Masyarakat Kota Surabaya

Demografi Usia : 18 tahun +

Gender : Laki-laki , perempuan

Jenjang pendidikan : mahasiswa / sederajat

Psikologi Kelas sosial : Menengah

Gaya hidup : Dekat dengan teknologi modern

Positioning Menjadi sarana pendukung pembelajaran sosial masyarakat


(36)

3.5 Keyword Bagan keyword

Gambar 3.4: Bagan Keyword

(Sumber : Olahan Peneliti) wawancara observasi literatur Studi eksisting STP materialistik Gengsi Variasi Visual dewasa Variasi warna Integritas status Ekspresi Ragam Kemewahan Popular Gengsi trend Gaya hidup eksistensi kualitas Ketagihan Susysetiawati.blogspot.com kbbi

David Chaney (1996: 8)

kbbi

kbbi Kekinian


(37)

Hasil dari analisis data yang di dapatkan beberapa kata di dalam Tugas Akhir. Terdapat lima kata diantaranya adalah hasil wawancara ditemukan keyword

materialistic dan gengsi. Dua kata tersebut dipersempit lagi menjadi kata popular. Kata popular pada kbbi (http://kbbi.web.id/populer) berarti /po·pu·ler/ /populér/ dikenal dan disukai orang banyak (umum).

Kedua dari hasil observasi terdapat dua keyword kemewahan dan gengsi. Dua kata tersebut di persempit lagi menjadi trend. Susy Setiawati menjelaskan bahwa modernisasi memaksa individu dalam setiap masyarakat di dunia untuk condong kepada suatu trend yang tengah berlaku yang dalam hal ini biasanya adalah Negara-negara maju.Dalam masyarakat yang konsumtif, dapat mengasingkan seseorang yang mempunyai perilaku konsumtif dari tujuan hidup mereka yang sebenarnya. Ada beberapa faktor masyarakat menjadi konsumtif yaitu :

1. Diciptakan tren untuk membuat masyarakat melakukan pembelian.

2. Membeli barang sebagai self reward system (sistem pemberian upah) dan merayakan kebahagiaan atas kesuksesan yang di raih.

3. Pembelian barang bisa menyelesaikan semua masalah. 4. Idenditas diri disetarakan dengan barang yang dimiliki.

5. Masyarakat hanya berfokus pada barang-barang yang mereka miliki.

Dengan adanya beberapa faktor di atas, maka dapat di lihat situasi yang ada di dalam masyarakat menuju pada perilaku konsumtif. Seseorang yang mempunyai perilaku konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang


(38)

melekat pada barang tersebut. Hal ini di dukung berbagai bentuk rekayasa budaya yang dilakukan oeh kaum kapitalis adalah dengan cara memproduksi simbol-simbol kemewahan dan keanggunan, dan lain-lain agar di konsumsi oleh masyarakat. Bahkan seolah-olah dijanjikan bahwa barang siapa yang mengonsumsi produk tertentu maka status sosialnya lebih bergengsi atau berkelas.

Selanjutnya pada studi literature di dapatkan tiga kata yaitu status, ekspresi dan gaya hidup. Ketiga keyword tersebut di persempit kembali menjadi kata eksistensi. Menurut David Chaney dalam buku lifestyles (1996: 8) menjelaskan bahwa masyarakat akan terkondisikan untuk bergantung terhadap semua fasilitas yang disediakan. Masyarakat kini hampir tidak bisa lepas dari peran objek sebagai perumus eksistensi.

Pada hasil studi eksisting terdapat keyword variasi visual dan variasi editing dimana dalam studi komparator yang dituju adalah film dokumenter samsara. Dalam film dokumenter tersebut akan di tinjau dari variasi visual dan variasi editing sehingga keyword yang di ambil dari film tersebut adalah ragam yang memiliki arti macam jenis (http://kbbi.web.id/ragam). Dalam STP digunakan sebagai target yang akan dituju yaitu keyword dewasa, kemudian dipersempit kembali menjadi keyword

integritas yang memiliki arti mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/integritas).


(39)

Kemudian, pada keyword popular, trend dan eksistensi diruncingkan kembali menjadi kata kekinian, menurut website kbbi (http://kbbi.web.id/kini), keninian berarti /ke·ki·ni·an/ n keadaan kini atau sekarang.

Setelah melakukan analisis dan meruncingkan keyword yang telah didapatkan dari teknik analisis, dua kata terakhir yaitu kekinian dan kualitas diruncingkan kembali menjadi kata ketagihan. Menurut kbbi (http://kbbi.web.id/tagih) kata ketagihan berarti (1) terus-menerus meminta (ingin). (2) merasa sangat ingin akan sesuatu karena sudah menjadi kebiasaan. Sehingga keyword akhir yang digunakan adalah kata ketagihan.

3.6 Analisis warna

Dalam keyword yang didapat di atas dimunculkan warna yang merepresentasikan ketagihan dalam pewarnaan atau color grading agar mendukung suasana sesuai dengan keyword. Pewarnaan akan di dominasi oleh warna yang mewakili ketagihan. Dalam hal ini Peneliti memakai warna friendly dengan mengutamakan warna warna yang cerah. Warna-warna friendly menurut Bride M. Whelan (1994: 46 – 48) meliputi warna orange, Biru, Coklat, Ungu dan merah. Warna tersebut akan dijabarkan dalam skema berikut.


(40)

Gambar 3.5: Warna Orange (Sumber: buku Color Harmony 2)

3.7Perancangan Karya

Perancangan karya merupakan tahapan dalam pembuatan sebuah film. Pada tahap ini dibagi menjadi beberapa proses yaitu proses pra produksi, produksi, dan pasca produksi dengan bagan seperti di bawah ini.

Gambar 3.6 :Alur Perancangan Karya (sumber: Olahan Peneliti)

Ide Konsep Pra produksi

Perancangan Karya

Pasca Produksi Produksi

Editing Finishing

Masalah Data

Shoting


(41)

3.8 Pra Produksi

Pada proses pra produksi, terdapat beberapa aspek yang harus dilakukan sesuai bagan perancangan karya yang telah dibuat.

1. Ide

Ide dalam pembuatan Tugas Akhir ini adalah mengulas masalah budaya konsumtif khususnya di kota Surabaya. Dengan melalui media film dokumenter bergenre Association Picture Story diharapkan penonton nantinya mampu mengetahui dan memahami bahwa budaya konsumtif sangat tidak bermanfaat karena tidak bisa membedakan benda yang bermanfaat atau tidak.

2. Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: Konsep adalah “konsep pertama yang mendasari keseluruhan nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yg penting atau berguna bagi kemanusiaan.

Konsep pembuatan film ini diawali dari melihat banyaknya penjualan barang-barang serta banyaknya masyarakat yang terjerumus trend-trend yang sedang berlangsung sehingga menyebabkan masyarakat menjadi generasi konsumtif.


(42)

3. Treatment

Babak 1:

Surabaya merupakan kota metropolitan kedua di Indonesia. Ditandai dengan banyaknya pusat perbelanjaan.

1. Video gedung gedung kota Surabaya (beserta close up gedung, tilting serta timelapse awan diatas gedung)

2. Video kepadatan jalan raya menggunakan timelapse kamera obyektif dan kamera subyektif.

3. Shot mall dan gemerlap kota Surabaya.

4. Shot keramaian pusat perbelanjaan.

Babak 2:

Menampilkan kegermelapan tempat tempat serta pola konsumsi masyarakat yang berlebihan.

1. Shot etalase pada mall dan pusat perbelanjaan. Close up pada detail detail manekin.

2. Shot keramaian diskon pusat perbelanjaan.

3. Shot timelapse roda trolley. Dan isian pada trolley dengan barang-barang grosir


(43)

4. Shot shot pengunjung yang membeludak

Babak 3:

Menampilkan efek akhir dari budaya konsumtif yang melanda di Surabaya. 1. Semiotika terikat dengan struk belanja. Menggunakan talent perempuan

dengan membawa tas belanjaan dan pekaian branded. Kemudian terikat struk belanja.

2. End.

4. Sinopsis

Surabaya merupakan kota metropolis terbesar ke dua di Indonesia, namun kehidupan masyarakat Surabaya makin tidak realistis, karena tuntutan perkembangan jaman yang menjadikan masyarakat Surabaya menjadi konsumtif pada fashion dan gadget serta mengikuti trend yang sedang “kekinian”.

Film ini berusaha menampilkan kehidupan masyarakat konsumtif serta akibat akibatnya secara lebih dekat.

5. Persiapan Teknis

Persiapan teksnis meliputi persiapan peralatan produksi dan pemilihan tim produksi dalam pembuatan video.

a. Alat yang digunakan, Yaitu: 1) 1 Kamera Nikon d7000


(44)

2) 1 Ponsel Android Asus 3) 1 Lensa Nikon 18 – 105 mm 4) 1 Tripod

5) 2 Memory SD Card 6) 1 Memory Micro SD b. Tim Produksi

1) Eksekutif Produser : Esi

2) Produser, sutradara, naskah, Editor : Guntur Kresno I

3) DOP : Guntur Kresno I

Dimas Adi W. U

4) Cameraman : Guntur Kresno I

Sonya Ratnya Aryananta

5) Musik : Fergie Verantianes

6. Penjadwalan

Sebuah produksi video membutuhkan waktu yang panjang, maka diperlukan penjadwalan yang disesuaikan dengan ketersediaan lokasi dan perijinan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan produksi.


(45)

Tabel 3.4 Jadwal Kerja

7. anggaran Produksi

Dalam proses pembuatan video Dokumenterdibutuhkan anggaran dalam proses produksinya. Berikut merupakan tabel anggaran dana Produksi.

Tabel 3.5 Anggaran Produksi

No Kebutuhan Harga Qty Total Subtotal

Pra Produksi

1 Koneksi Internet 200. 000 1 200.000 350.000

2 Buku 100.000 1 100.000

Cetak Proposal 50.000 1 50.000

Pembelian dan Pembuatan Alat Produksi

Sandisk Ultra 16 gb 225.000 2 450.000 1.850.000

Tripod excel 550.000 1 550.000

No Kegiatan 1 2 3 4 5

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Konsep

2 Observasi subyek 3 Pengambilan gambar

4 editing

5 Suara

6 Final finishing


(46)

Harddisk External 850.000 1 850.000 Produksi

BBM 50.000 1 50.000 110.000

Makan 20.000 3 60.000

Pasca Produksi

Editing 150.000 1 150.000 2.800.000

Cetak Laporan 500.000 1 500.000

Jilid Laporan 75.000 4 300.000

Cetak Poster dan Souvenir

350.000 1 350.000

Pameran 1.500.000 1 1.500.000

Grand total 5.110.000

3.9 Produksi

Dari skema perancangan karya di atas Peneliti melakukan berbagai tahap produksi dengan melakukan proses persiapan alat dan shooting di lokasi-lokasi yang telah direncanakan sebelumnya

3.10 Pasca Produksi

Tahap publikasi akan dilakukan Pameran karya sebagai syarat presentasi Tugas Akhir. Media yang akan digunakan untuk publikasi adalah poster, merchandise dan


(47)

DVD (cover depan dan cover cakram). Pembuatan media publikasi film dokumenter ini diperlukan beberapa proses, antara lain menentukan konsep. Berikut adalah langkah-langkah yang akan dilakukan dalam persiapan melakukan tahap publikasi:

1. Poster

Gambar 3.7 Sketsa Poster (Sumber: Olahan Peneliti)


(48)

2. Cover DVD

Gambar 3.8 Sketsa Cover DVD (Sumber: Olahan Peneliti)

3. Cakram DVD

Gambar 3.9 Sketsa Cakram DVD (Sumber: Olahan Peneliti)


(49)

42

Laporan Tugas Akhir pada BAB IV ini akan menjelaskan mengenai hasil karya yang berasal dari rancangan pada bab sebelumnya. Pada bab ini akan menjelaskan mengenai tahap produksi video dokumenter.

4.1 Produksi

Dalam proses produki ini, ada beberapa tahapan yang dilakukan, yaitu shooting, Editing dan Color Grading, Rendering dan Publikasi.

4.1.1 Shooting

Berikut ini pada gambar 4.1 merupakan hasil pengambilan video Timelapse. Persiapan yang dilakukan diantaranya adalah pengecekan tripod, kamera DSLR,

Memory card, serta Baterai kamera. Proses pengambilan dilakukan di beberapa

tempat di Surabaya.

Dalam proses pengambilan gambar Timelapse, perlu diperhatikan antara lain yaitu interval waktu yang digunakan, shutter speed, diafragma, dan ISO. Tak lupa yaitu peralatan yang digunakan yaitu kamera DSLR, Tripod, serta ponsel. Pada pengambilan gambar Timelapse diatas menggunakan rentang waktu tiap foto yaitu 5 detik dengan menggunakan shutter speed 1/13 detik, ISO 800 serta diafragma f/4.


(50)

Tak lupa mada saat pengambilan gambar menggunakan tripod agar tidak terjadi guncangan pada kamera.

Gambar 4.1 Hasil Pengambilan Gambar (Sumber: Olahan Peneliti)

Gambar di atas merupakan hasil pengambilan video Timelapse yang dilakukan. Pada saat syuting. Tim produsi mengambil beberapa alternatif gambar menggunakan teknik pengambilan gambar yang merepresentasikan beberapa variasi visual dalam pengambilannya. Pengambilan Gambar menggunakan teknik Timelaspse ditujukan untuk memperlihatkan pergerakan secara cepat dengan hasil durasi yang singkat.

Pengambilan dalam ukuran shot long shoot yang dipadukan dengan pergerakan

zoom in untuk menunjukkan detail obyek kepada penonton. Zooming dapat dilakukan dengan cara pergerakan lensa maupun digital pada proses editing, namun efek pergerakan zooming digital pada editing akan mengurangi kualitas gambar ketika di


(51)

perbesar, pada saat editing menggunakan pergerakan zooming yang masih bisa ditoleransi sehingga tidak mengurangi kualitas gambar.

Gambar 4.2 Hasil Gambar Produksi 1 (sumber: Olahan Peneliti)

Pada gambar 4.2 merupakan pengambilan gambar dengan pergerakan secara tilt up yang ingin memancing perhatian penonton dan sekaligus memperlihatkan kemegahan bangunan yang ada di Surabaya. Pengambilan dengan close up juga dilakukan dengan tujuan memperlihatkan detail bangunan.

Pada gambar 4.3 berikut menunjukkan pengambilan gambar dengan teknik

Timelapse yang digunakan untuk menyajikan kepadatan kota Surabaya saat malam


(52)

Gambar 4.3 Gambar Hasil Produksi 2 (Sumber: Olahan Peneliti)

Video-video dari hasil syuting yang diwakilkan diatas kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan bersama video lainnya untuk tahap persiapan pada proses selanjutnya yaitu pada proses pasca produksi.

4.2 Editing dan Color Grading

Pada tahap ini proses yang dilakukan adalah editing yang pada dasarnya adalah pemilihan file hasil syuting kemudian penyusunan video hasil syuting menurut treatmen yang sudah dibuat dan dilanjutkan dengan variasi editing serta pembuatan scoring music dengan melalui beberapa tahap seperti:


(53)

1. Pemilihan file

Proses awal adalah pemilihan beberapa file stock shoot yang telah diambil pada proses produksi, pemilihan file dilakukan dengan penilaian kualitas gambar yang sesuai dengan treatmen dan mewakili keyword. Setelah itu proses dilanjutkan pada pengelompokan file untuk segmen masing-masing

Gambar 4.4 Pengelompokan File

(sumber: Olahan Peneliti)

Dalam hal ini, pengelompokkan file dibedakan menurut folder, pada shooting sebelumnya dilakukan pengambilan gambar Timelapse yang menghasilkan beberapa ratus file foto, sehingga diperlukan folder khusus untuk membedakan


(54)

2. Editing video Timelapse

Hasil gambar pada proses shooting Timelapse dikelompokkan berdasarkan folder, sehingga mempermudah dalam menemukan file yang akan di edit. Proses penyuntingan video Timelapse ini menggunakan aplikasi adobe after effect.

Gambar 4.5 Adobe After effect (Sumber: Olahan Peneliti)

Import file foto yang dihasilkan pada proses shooting, blok file yang dihasilkan serta pada dialog box import centang pilihan JPEG Sequence agar pada saat

import dalam library after effect file foto menjadi satu file sequence di dalam


(55)

Gambar 4.6 ImportfileTimelapse

(Sumber: Olahan Peneliti)

File yang sudah ter-import di after effect dilakukan editing seperti zooming

ataupun panning dengan menggunakan efek digital yang ada pada after effect serta menambah sinematografi dalam video tersebut.

3. Penataan dan pemotongan video

Proses ini dilakukan setelah pemilihan stock shoot selesai dengan meyusun dan memotong video yang dipilih dan dimasukkan dan disusun berdasar treatmen yang dibuat.


(56)

Gambar 4.7 Penataan dan Pemotongan video (Sumber: Olahan Peneliti)

Penataan dan pemotongan video dilakukan dengan teliti agar tidak menampilkan gambar yang tidak diinginkan. Hal tersebut dilakukan dengan pemotongan video satu persatu secara detail dan menyeluruh agar hasil maksimal.

4. Stabilising Video

Stabilizing video digunakan apabila stok shoot yang ada terjadi guncangan pada saat pengambilan gambar. Sehingga guncangan pada gambar dapat di kurangi sampai dihilangkan tergantung pada tingkat guncangan yang ada pada video. Stabilizing video menggunakan warp-stabilizer pada adobe premiere pro pada tab effect.


(57)

Gambar: 4.8 Warp Stabiliser (Sumber: Olahan Peneliti)

Warp stabilizer di drag pada video yang terdapat guncangan. Lalu pada tab effect control pilih analyze . secara otomatis premiere pro akan melakukan stabilizing video, namun perlu ada nya pengaturan tertentu sehingga dapat dihasilkan secara optimal.

Gambar 4.9 tab control effect (Sumber: Olahan Peneliti)


(58)

5. Proses Pewarnaan (color Grading)

Proses pewarnaan atau color grading berfungsi untuk menyetarakan warna dari setiap video yang telah diambil dan disusun agar mendukung suasana yang diinginkan sesuai keyword. Pewarnaan akan didominasi pewarnaan yang mengacu pada warna yang terdapat pada skema warna di gambar 4.8.

Gambar 4.10 Skema Warna (Sumber: Buku Color Harmony)

Untuk memperkuat nuansa dalam suatu video dokumenter, maka pada setiap video yang dirangkai menjadi satu kesatuan ini dilakukan pewarnaan sesuai dengan warna-warna yang diambil dari skema warna di atas.


(59)

Gambar 4.11 Warna Sebelum Color Grading

(Sumber: Olahan Peneliti)

Proses color grading dilakukan di Adobe Premiere. Warna pada video di atur sedemikian rupa agar sesuai dengan warna yang diinginkan serta sesuai pada proses perancangan karya pada bab sebelumnya. Pada gambar 4.10 Proses color grading menggunakan plug-in standar dari adobe premiere pro yaitu three-way color corrector. Plug-in ini memungkinkan untuk pewarnaan dengan 3 channel yaitu, shadow, midtones, dan highlights.

Gambar 4.12 Three-Way Color Corrector


(60)

Proses color grading dilakukan dengan mengubah kenob yang ada pada tiga chanel tersebut. Kemudian di atur sedemikian rupa sehingga dihasilkan pewarnaan yang diinginkan dan sesuai dengan bab sebelumnya. Hasil color grading dapat dilihat pada gambar 4.11 di bawah ini.

Gambar 4.13 Hasil Proses Color Grading

(Sumber: Olahan Peneliti)

4.3 Rendering

Pada tahap ini rendering dilakukan untuk mengubah file yang sudah tersusun rapi dalam dapur editing menjadi satu kesatuan file utuh dengan format yang berbeda sehingga mudah untuk diputar di media lain.


(61)

Gambar 4.14 Tab Rendering (Sumber: Olahan Peneliti)

Dalam proses ini rendering dilakukan dengan mengubah output file ke format MP4 H.264. Pemilihan format file juga didasari oleh format tersebut dapat diputar dalam berbagai macan sistem operasi maupun perangkat lain yang memang sudah mendukung untuk memutar file MP4. File MP4 juga memberi kemudahan dalam hal ukuran file namun tidak menurunkan kualitas gambar. Pada tahap ini, tahapan yang perlu diperikasa adalah resolusi gambar, dan pastikan resolusi gambar berada pada resolusi HD 720 1280x720 30fps atau resolusi diatasnya jika memungkinkan. Semakin besar resolusi pada video maka semakin besar pula ukuran file. Pada gambar 4.13 peneliti menggunakan resolusi HD 720 30fps.


(62)

Gambar 4.15 Export Setting (Sumber: Olahan peneliti)

4.4 Pasca Produksi

Pasca produksi setelah film dibuat adalah membuat publikasi akan dilakukan sebagai syarat presentasi Tugas Akhir. Media yang akan di gunakan untuk publikasi adalah poster, dan merchandise. Pembuatan media publikasi film dokumenter ini diperlukan beberapa proses, antara lain menentukan konsep yang sudah dilaksanakan pada bab sebelumnya. Berikut adalah langkah-langkah yang akan dilakukan dalam persiapan melakukan tahap publikasi:


(63)

4.4.1 Publikasi

Tahap publikasi merupakan strategi untuk mengenalkan film yang telah dibuat kepada target yang dituju. Distribusi film kali ini dilakukan pada Pameran karya yang dilaksanakan di mall Ciputra World Surabaya sehingga perlu adanya media publikasi. Media publikasi yang dibuat adalah poster, stiker, dan DVD. Media tersebut dipergunakan sebagai media promosi yang efektif, karena di bawa dan dipasang/digunakan terus menerus, dan dalam beriklan tidak membayar sama sekali. Berikut adalah hasil poster yang sudah dibuat:

1. Poster

Gambar 4. 16 Poster (Sumber : Olahan Peneliti)


(64)

2. Sticker

Gambar 4.17 Stiker (Sumber: Olahan Peneliti)

3. DVD

Gambar 4.18 DVD (Sumber: Olahan Peneliti)


(65)

4. Pameran Karya

Gambar 4.19 Display pameran Karya (Sumber: Olahan Peneliti)


(66)

59

5.1 Kesimpulan

Hasil dari penelitian budaya konsumtif dapat dikemas menjadi film documenter dengan genre Association Picture Story. Penggunaaan genre Association Picture story dipilih sebagai keunikan tersendiri dalam pembuatan film documenter. Hal ini digunakan untuk menarik minat penonton. Dalam tugas akhir ini Konten yang diangkat adalah budaya konsumtif hal ini dilakukan agar masyarakat tidak terjebak dalam budaya konsumtif sehingga masyarakat lebih bijaksana dalam membeli.

5.2 Saran

Penulis menyarankan perencanaan serta riset yang mendalam tentang topic yang diangkat. Tidak hanya itu, kesiapan peralatan dan perencaan juga harus matang terutama dalam proses pembuatan film documenter bergenre Association Picture Story ini. Berdasarkan seluruh proses yang telah dilalui dari pembuatan video dokumenter ini adanya kekurangan dalam hasil karya perlu adanya koreksi antara lain pewarnaan serta variasi visual. Sehingga kedepannya dalam pembuatan film ini lebih teliti serta lebih memvariasikan visual yang sesuai.


(67)

60 Press.

Blandford, Grant, & Hillie (2001). The Film Studies Dictionary. Arnold.

Budrillard, J (2009). Masyarakat Konsumsi. (hal-34). Jogjakarta: Kreasi Wacana. Chaney, D. (2009). Lifesyles Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Effendy, O. U. (1989). Kamus Komunikasi. Bandung: PT. Mandar Maju.

Fachruddin, A. (2012). Sejarah Film Dokumenter. In A. Fachruddin, Dasar Dasar Produksi Televisi (pp. 315-318). Jakarta: Prenada Media.

Peaock, R. Beck (2001). The art of Movie Making. Prentice hall. Pratista. H (2008) Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam iklan : meneropong Imbas Pesan Iklan Televisi. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Vivian, J. (2008). Komunikasi Massa (pp. 5-7). Jakarta: Kencana.

Whelan. M. Bride (1994). Color Harmony 2. A Guide to Creative Color Combinations. Rockport Publisher.


(68)

Sumber Internet

Ayawaila, G. R. (2012, Juli 09). Diskursus Kamera Dalam Dokumenter. Retrieved Oktober 28, 2014, from Kineforum.org: http://kineforum.org/web/blog/ diskursus-kamera-dalam-dokumenter.

Elfina . N.P.H (2010). Hubungan antara gaya hidup brand minded dan budaya konsumtif pada remaja putri. repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/ 14508/1/10E00081.pdf diakses pada Oktober 2015.

Fachiati, Nurul. 2015. Gawai, Jejak Perilaku Konsumtif. http://print.kompas.com /baca /2015/04/16/Gawai%2c-Jejak-Perilaku-Konsumtif. Diakses 24 Oktober 2015.

Febusanto. 2015. Metode penelitian kualitatif dan karakteristiknya.

seputarpengetahuan.com/2015/02/metode-penelitian-kualitatif-dan-karakteristiknya.html. Diakses tanggal 26 Oktober 2014.

Hikamudin, A. (2013, April 8). Masyarakat konsumtif. Retrieved Oktober 26, 2014, from Kompasiana: http://m.kompasiana.com/post/read/544253/1/masyarakat-konsumtif.html.

Kusen Dony Hermansyah, M. (2011, Juli 9). Jenis (Genre) Film Dokumenter. Retrieved Oktober 15, 2014, http://filmpelajar.com/berita/jenis-jenis-genre-film%C2%A0dokumenter.

Raymond. 2001. Remaja dan perilaku konsumtif. http://www.e-psikologi.com /artikel/individual/remaja-dan-perilaku-konsumtif. Diakses 24 Oktober 2014 . Setiawati, Susy. 2010. PSIKOLOGI MASYARAKAT & PERMASALAHANNYA

BERBASIS PEMOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) Susysetiawati.

blogspot.com. Diakses 24 Oktober 2015.

Syailendra. 2016. Pola Konsumtif Penyebab Masyarakat Mudah Ditipu

http://www.tempo.co/read/news/2013/02/27/064464007/Pola-Konsumtif-Penyebab-Masyarakat-Mudah-Ditipu. Diakses tanggal 26 Oktober 2014. Syamila, A. (2014, desember 20). Saat Perilaku Konsumtif Menjadi Budaya Remaja.

Retrieved agustus 15, 2015, http://www.kompasiana.com/ahdasyamilsaat-perilaku-konsumtif-menjadi-budaya-remaja_54f92016a33311f8478b4b84. http://kbbi.web.id/populer. http://kbbi.web.id/ragam. http://kbbi.web.id/integritas.


(1)

56

4.4.1 Publikasi

Tahap publikasi merupakan strategi untuk mengenalkan film yang telah dibuat kepada target yang dituju. Distribusi film kali ini dilakukan pada Pameran karya yang dilaksanakan di mall Ciputra World Surabaya sehingga perlu adanya media publikasi. Media publikasi yang dibuat adalah poster, stiker, dan DVD. Media tersebut dipergunakan sebagai media promosi yang efektif, karena di bawa dan dipasang/digunakan terus menerus, dan dalam beriklan tidak membayar sama sekali. Berikut adalah hasil poster yang sudah dibuat:

1. Poster

Gambar 4. 16 Poster (Sumber : Olahan Peneliti)


(2)

57

2. Sticker

Gambar 4.17 Stiker (Sumber: Olahan Peneliti) 3. DVD

Gambar 4.18 DVD (Sumber: Olahan Peneliti)


(3)

58

4. Pameran Karya

Gambar 4.19 Display pameran Karya (Sumber: Olahan Peneliti)


(4)

59

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hasil dari penelitian budaya konsumtif dapat dikemas menjadi film documenter dengan genre Association Picture Story. Penggunaaan genre Association

Picture story dipilih sebagai keunikan tersendiri dalam pembuatan film documenter.

Hal ini digunakan untuk menarik minat penonton. Dalam tugas akhir ini Konten yang diangkat adalah budaya konsumtif hal ini dilakukan agar masyarakat tidak terjebak dalam budaya konsumtif sehingga masyarakat lebih bijaksana dalam membeli.

5.2 Saran

Penulis menyarankan perencanaan serta riset yang mendalam tentang topic yang diangkat. Tidak hanya itu, kesiapan peralatan dan perencaan juga harus matang terutama dalam proses pembuatan film documenter bergenre Association Picture

Story ini. Berdasarkan seluruh proses yang telah dilalui dari pembuatan video

dokumenter ini adanya kekurangan dalam hasil karya perlu adanya koreksi antara lain pewarnaan serta variasi visual. Sehingga kedepannya dalam pembuatan film ini lebih teliti serta lebih memvariasikan visual yang sesuai.


(5)

60

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku

Ayawaila. G. R. (2008). Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta: FFTV-IKJ Press.

Blandford, Grant, & Hillie (2001). The Film Studies Dictionary. Arnold.

Budrillard, J (2009). Masyarakat Konsumsi. (hal-34). Jogjakarta: Kreasi Wacana. Chaney, D. (2009). Lifesyles Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Effendy, O. U. (1989). Kamus Komunikasi. Bandung: PT. Mandar Maju.

Fachruddin, A. (2012). Sejarah Film Dokumenter. In A. Fachruddin, Dasar Dasar

Produksi Televisi (pp. 315-318). Jakarta: Prenada Media.

Peaock, R. Beck (2001). The art of Movie Making. Prentice hall. Pratista. H (2008) Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumartono. (2002). Terperangkap dalam iklan : meneropong Imbas Pesan Iklan

Televisi. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Vivian, J. (2008). Komunikasi Massa (pp. 5-7). Jakarta: Kencana.

Whelan. M. Bride (1994). Color Harmony 2. A Guide to Creative Color

Combinations. Rockport Publisher.


(6)

61

Sumber Internet

Ayawaila, G. R. (2012, Juli 09). Diskursus Kamera Dalam Dokumenter. Retrieved Oktober 28, 2014, from Kineforum.org: http://kineforum.org/web/blog/ diskursus-kamera-dalam-dokumenter.

Elfina . N.P.H (2010). Hubungan antara gaya hidup brand minded dan budaya

konsumtif pada remaja putri. repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789/

14508/1/10E00081.pdf diakses pada Oktober 2015.

Fachiati, Nurul. 2015. Gawai, Jejak Perilaku Konsumtif. http://print.kompas.com /baca /2015/04/16/Gawai%2c-Jejak-Perilaku-Konsumtif. Diakses 24 Oktober 2015.

Febusanto. 2015. Metode penelitian kualitatif dan karakteristiknya.

seputarpengetahuan.com/2015/02/metode-penelitian-kualitatif-dan-karakteristiknya.html. Diakses tanggal 26 Oktober 2014.

Hikamudin, A. (2013, April 8). Masyarakat konsumtif. Retrieved Oktober 26, 2014, from Kompasiana: http://m.kompasiana.com/post/read/544253/1/masyarakat-konsumtif.html.

Kusen Dony Hermansyah, M. (2011, Juli 9). Jenis (Genre) Film Dokumenter. Retrieved Oktober 15, 2014, http://filmpelajar.com/berita/jenis-jenis-genre-film%C2%A0dokumenter.

Raymond. 2001. Remaja dan perilaku konsumtif. http://www.e-psikologi.com /artikel/individual/remaja-dan-perilaku-konsumtif. Diakses 24 Oktober 2014 . Setiawati, Susy. 2010. PSIKOLOGI MASYARAKAT & PERMASALAHANNYA

BERBASIS PEMOLISIAN MASYARAKAT (POLMAS) Susysetiawati.

blogspot.com. Diakses 24 Oktober 2015.

Syailendra. 2016. Pola Konsumtif Penyebab Masyarakat Mudah Ditipu

http://www.tempo.co/read/news/2013/02/27/064464007/Pola-Konsumtif-Penyebab-Masyarakat-Mudah-Ditipu. Diakses tanggal 26 Oktober 2014. Syamila, A. (2014, desember 20). Saat Perilaku Konsumtif Menjadi Budaya Remaja.

Retrieved agustus 15, 2015, http://www.kompasiana.com/ahdasyamilsaat-perilaku-konsumtif-menjadi-budaya-remaja_54f92016a33311f8478b4b84. http://kbbi.web.id/populer. http://kbbi.web.id/ragam. http://kbbi.web.id/integritas.