Kualitas Air Masculinization of Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) By Immersion Technique in Purwoceng (Pimpinella alpina) Extract
jumlah 80. Setelah diuji statistik, jumlah ikan jantan terbukti berbedanyata dibandingkan ikan nila yang tidak diberi perlakuan apapun Kontrol -.
Persentase ikan nila jantan terbanyak terdapat pada kontrol + dengan perlakuan MT yang menghasilkan ikan nila jantan sebanyak 80. Disusul dengan
perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dengan dosis 20, 10, dan 30 mg dengan hasil ikan nila jantan sebanyak 73,3, 68,9 dan 66,6. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa hasil optimal terdapat pada dosis 20 mg dan kecenderungan menurun pada dosis 30 mg. Hasil tertinggi dengan dosis 20 mg tersebut lebih
tinggi dibandingkan dengan penggunaan ekstrak tanaman sendrego dengan dosis yang sama yang menghasilkan ikan cupang jantan sebanyak 70,7 Alfian, 2003.
Tingkat keberhasilan teknik alih kelamin akan sangat ditentukan oleh jumlah hormon yang diberikan, lama waktu perlakuan, dan frekuensi perlakuan baik
melalui pemberian hormon melalui pakan maupun dengan teknik perendaman Piferrer, 2001; Devlin dan Nagahama, 2002. Perlakuan maskulinisasi ikan nila
dengan teknik perendaman menggunakan hormon MT paling tepat dilakukan pada saat larva baru menetas hingga mendekati masa definitif pembentukan kelamin
Pandian dan Sheela, 1995. Perubahan rasio seks ikan yang disebabkan oleh pengaruh fitosteroid
pernah diteliti oleh Tremblay 1998 melalui studi lingkungan di sungai yang dilalui limbah cair pembuatan pabrik kertas. Lalu ia meneliti kemampuan reseptor
untuk mengikat beberapa jenis fitosteroid. Penelitian tersebut membuktikan adanya afinitas kemampuan mengikat reseptor terhadap fitosteroid -sitosterol,
stigmasterol, dan genistein. Bahka n, -sitosterol mampu merangsang produksi
vitelogenin pada ikan rainbow trout jantan. Meskipun demikian, afinitas fitosteroid masih lebih rendah dibandingkan hormon steroid dari hewan maupun
hormon sintetik. Lebih lanjut Hewitt 2008 mengatakan bahwa limbah cair pabrik kertas dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada ikan, pengecilan pada
organ reproduksi, gangguan sistem endokrin, dan mengurangi produksi telur. Hou 2011 mengungkapkan bahwa adanya maskulinisasi populasi ikan betina
mosquitofish Gambusia affinis di sungai Dengcun, China akibat paparan limbah cair pabrik kertas.
Gambar 4. Jaringan gonad ikan nila 1. betina 2. jantan dan 3. intersex. Keterangan : a. bakal sel betina dan b. bakal sel jantan.
Meningkatnya jumlah ikan jantan dalam penelitian ini diduga akibat adanya senyawa stigmasterol dalam ekstrak purwoceng. Senyawa stigmasterol
mempunyai daya ikat pada reseptor sehingga mempengaruhi sistem endokrin ikan. Daya ikat stigmasterol pada reseptor akibat adanya kemiripan antara struktur
molekul stigmasterol dengan kolesterol dan hormon androgen Tremblay dan Van der Kraak, 1998.
Senyawa stigmasterol dan -sitosterol yang terdapat dalam limbah cair bubur kertas diduga mempengaruhi nisbah kelamin pada berbagai
ikan di sungai yang dilalui limbah cair bubur kertas Hawit et al., 2008. Selain gonad jantan dan betina, dalam perlakuan perendaman ekstrak
purwoceng dan MT juga didapati gonad dengan status intersex, dimana dalam
satu gonad terdapat bakal sel jantan sperma dan bakal sel betina ovum Gambar 4. Hampir pada setiap perlakuan alih kelamin terdapat ikan yang
kelaminnya intersex. Pada penelitian ini terdapat 13,3 ikan berstatus intersex pada perlakuan perendaman ekstrak purwoceng sebanyak 20 mgl Tabel 3. Pada
penelitian Muslim 2010 terdapat sebanyak 8,3 ikan nila intersex dengan pemberian tepung testis sapi dalam pakan. Iskandar 2010 mendapati 7,8 ikan
intersex dengan perlakuan perendaman ekstrak testis sapi pada ikan nila. Pada ikan Pomoxis nigromaculatus terdapat 23 ikan dengan status intersex Arslan,
2004. Gangguan pada organ reproduksi juga terjadi pada ikan kakap Eropa Dicentrarchus labrax pada usia dewasa setelah perendaman dengan hormon MT
yang mencapai 11 ikan intersex Chatain, 1999. Menurut Zairin 2002, ikan intersex merupakan penyimpangan pembentukan kelamin akibat dosis hormon
atau lama perlakuan yang kurang tepat pada saat perlakuan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari dosis dan lama perlakuan optimum dalam perlakuan
alih kelamin untuk meningkatkan populasi jantan dan mengurangi ikan intersex.
Tabel 3. Jumlah prosentase ikan nila intersex pada perlakuan perendaman ikan nila Oreochromis niloticus dalam ekstrak purwoceng
Ulangan K - MT +
P10 P20
P30 1
9,99 9,99
9,99 9,99
2 9,99
16,66 13,33
3 3,33
16,66 13,33
13,33 Rata-rata 0
7,8 ± 3,85
ab
5.6 ± 8,38
a
13,3 ± 3,34
b
12,22 ± 1,93
b
Pembentukan kelamin pada ikan nila dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, dan steroid eksogenus Devlin dan
Nagahama, 2002. Secara normal, faktor genetik akan membentuk kelamin ikan menjadi jantan dan betina dengan perbandingan 50 : 50 tanpa dipengaruhi
faktor eksternal, namun set kromosom kelamin tersebut dapat dimanipulasi untuk mendapatkan jenis kelamin tertentu dengan teknik ginogenesis maupun
androgenesis Tave, 1993. Hasil penelitian Rougeot et al 2005, teknik ginogenesis dapat menghasilkan 100 populasi ikan betina pada ikan Perca
fluviatilis dengan kondisi lingkungan alamiah.
Pada masa diferensiasi pembentukan kelamin akan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang dapat
mempengaruhi rasio seks, terutama temperatur. Temperatur yang rendah pada kisaran 20
o
C akan mengarahkan ikan mas Carassius auratus
menjadi mayoritas betina hingga mencapai 100 sedangkan pada temperatur yang
semakin tinggi sekitar 30
o
C akan mengarahkan ikan mas menjadi jantan hingga mencapai 93
Goto-Kazeto, 2006 . Pada hasil penelitian Colburn et al 2009,
peningkatan temperatur dapat meningkatkan populasi jantan Paralichthys
dentatus . Penelitian tersebut menghasilkan 100 jantan XX pada temperatur 26 C
. Pada penelitian ini, temperatur tidak mempengaruhi rasio seks ikan nila
dimana temperatur berada pada kisaran 26,5 – 27,5
o
C. Hal tersebut terbukti dengan hasil histologi asetokarmin yang menyatakan jumlah ikan jantan
berjumlah 52,2 pada ikan kontrol - yang tidak diberikan perlakuan apapun. Angka tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Muslim 2010 dan Iskandar
2010 yang masing-masing terdapat 55 dan 55,6 ikan nila jantan pada kisaran suhu 27-30
o
C. Demikian pula hasil penelitian Goto-Kazeto 2006 yang menyatakan ikan mas jantan kontrol berjumlah 53,5 pada temperatur 25
o
C. Faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan rasio seks ikan secara
fenotip adalah hormon steroid baik yang bersifat androgenik maupun estrogenik Pandian, 1999 ; Piferrer, 2001 ; Devlin dan Nagahama, 2002 ; Zairin, 2003.
Hormon yang paling sering digunakan untuk maskulinisasi adalah 17α-MT dan untuk feminisasi digunakan estradiol Beardmore, 2001. Menurut Pandian dan
Kirankumar 2003, penggunaan hormon 17α-MT untuk produksi ikan jantan
telah dibatasi dan ikannya dilarang masuk ke pasar Eropa karena kekhawatiran adanya residu hormon dalam tubuh ikan maupun diperairan. Oleh karena itu,
dengan adanya hasil yang positif dari penggunaan ekstrak purwoceng dengan teknik perendaman maka purwoceng dapat digunakan sebagai pengganti hormon
17α-MT untuk kegiatan maskulinisasi ikan nila.
Kelangsungan Hidup Ikan Nila
Kelangsungan hidup merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam perlakuan maskulinisasi ikan nila sebagai indikator apakah bahan yang
dipakai memiliki efek negatif yang dapat menyebabkan kematian atau tidak. Data kelangsungan hidup hasil penelitian disajikan pada Tabel 4;
Tabel 4. Rata-rata persentase kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan perendaman ikan nila Oreochromis niloticus dalam ekstrak purwoceng
DOSIS Keterangan
Perendaman pertama
Perendaman kedua
Akhir penelitian Kontrol -
100 99,67
83 ± 7,0
a
MT + 100
99 86,67 ± 4,5
a
P10 100
97,67 88,33 ± 4,9
a
P20 100
98,67 83,33 ± 4,5
a
P30 100
98,33 84,67 ± 6,4
a
Kelangsungan hidup ikan nila pada akhir penelitian berkisar antara 83 pada perlakuan kontrol - hingga 88,33.pada perlakuan perendaman ekstrak
purwoceng 10 mgl sedangkan kelangsungan hidup terendah terjadi pada ikan kontrol - sebanyak 83 dari total populasi 100 ekor sejak perendaman awal.
Kelangsungan hidup yang tinggi ini didukung oleh parameter kualitas air budidaya yang optimal bagi ikan nila.
Data kelangsungan hidup ikan nila saat penelitian menunjukkan bahwa perendaman ikan nila dengan ekstrak purwoceng maupun MT tidak menyebabkan
kematian pada ikan nila. Hal ini dapat dilihat pada perendaman pertama dengan prosentase larva ikan nila yang hidup mencapai 100. Hingga akhir penelitian
kelangsungan hidup ikan masih cukup tinggi. Hal tersebut selaras dengan penelitian Iskandar 2010 yang melakukan maskulinisasi dengan ekstrak testis
sapi dengan kelangsungan hidup 83,3 - 89,7. Kelangsungan hidup rata-rata ikan nila setelah perlakuan 11 -hydroxyandrostenedione 11 OHA4 sebanyak
82,3 pada akhir pemeliharaan Desprez, 2003. Kelangsungan hidup ikan pada saat pemeliharaan sangat ditentukan oleh
kualitas air yang optimal bagi ikan nila. Dalam penelitian ini kualitas air berada pada kisaran optimum baik temperatur, pH, ammonia, dan kandungan oksigen
terlarut Tabel 6. Selain itu, kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan juga akan menentukan kelangsungan hidup ikan. Pakan yang diberikan juga berkualitas
baik dengan kadar protein 38. Pakan diberikan sekenyangnya dengan frekuensi pemberian 3 hingga 4 kali per hari.
Pertumbuhan Ikan Nila
Pertumbuhan merupakan salah satu parameter penting untuk mengetahui keadaan fisiologis ikan setelah perlakuan perendaman eksrak purwoceng dan MT.
Hasil pengamatan pertumbuhan ikan nila selama penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5. Bobot ikan nila pada akhir pemeliharaan g pada perlakuan perendaman ikan nila Oreochromis niloticus dalam ekstrak purwoceng
Ulangan K -
MT + P10
P20 P30
1 6.87
7.97 8.24
7.8 8.37
2 6.05
7.9 8.07
7 7.58
3 7.92
8.36 8.31
7.08 7.74
Rata-rata 6,9 ± 0,94
a
8,1 ± 0,25
b
8,2 ± 0,12
b
7,3 ± 0,44
ab
7,9 ± 0,42
ab
Tabel 5 diatas terlihat bahwa ikan nila yang diberi perlakuan perendaman ekstrak purwoceng dan MT memiliki bobot akhir yang lebih besar dibandingkan
dengan ikan kontrol yang tidak diberi perlakuan. Bobot akhir ikan nila yang paling besar terdapat pada perlakuan P10, disusul secara berurutan pada perlakuan
MT, P30, P20 dan Kontrol -. Namun, setelah diuji secara statistik setiap kelompok tidak memberikan perbedaan yang nyata dari setiap perlakuan
perendaman p0,05 terhadap peningkatan bobot akhir ikan. Menurut Dunham 2004, hormon androgen mempunyai sifat anabolik maupun katabolik yang
berhubungan dengan pertumbuhan ikan setelah perlakuan. Phelps dan Popma 2000, mengatakan bahwa hormon androgen mempunyai dua aksi fisiologis; 1
bersifat androgenik, dimana pertumbuhan didorong oleh karakter jantan yang terbentuk pada ikan: dan 2 bersifat anabolik, dimana hormon androgen
menstimulasi biosintesis protein di dalam tubuh ikan. Pertumbuhan ikan sendiri harus didukung oleh kondisi lingkungan yang optimal dan pemberian pakan yang
cukup. Pertumbuhan ikan nila pada awalnya sama. Namun pada saat mencapai
kedewasaan, ikan nila betina mengalami perlambatan pertumbuhan akibat adanya
tingkah laku seksual dan perkembangan gonad untuk bereproduksi. Begitu juga ikan nila jantan akan mengalami perlambatan pertumbuhan akibat tingkah laku
seksual apabila dipelihara secara campuran antara jantan dan betina dalam media pemeliharaan yang sama Pandian dan Sheela, 1999; Phelps dan Popma 2000;
Zairin, 2003. Oleh karena itu, pemeliharaan ikan nila jantan berkelamin tunggal monosek sangat penting untuk meningkatkan biomassa dan keseragaman ukuran
ikan nila pada saat pemanenan.
Kadar Senyawa Stigmasterol Dalam Ekstrak Purwoceng
Dahulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan, namun beberapa tahun terakhir senyawa tersebut makin banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat
tinggi Harborne, 2006. Jenis tumbuhan yang mengandung fitosteroid diantaranya adalah purwoceng Taufiqurrahman, 2005, sendrego Alfian, 2003,
kacang kuning, sipata-pata Sabri, 2011, dan beberapa tanaman lainnya. Kebanyakan steroid yang ditemukan pada tumbuhan adalah fitoestrogen
sedangkan yang bersifat androgenik jauh lebih sedikit jumlahnya. Purwoceng merupakan salah satu yang mempunyai sifat androgenik. Stigmasterol adalah
salah satu senyawa fitoandrogen yang terdapat dalam ekstrak purwoceng. Hasil analisis GC;MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak
5,38. Stigmasterol mempunyai sifat androgenic-like, yaitu senyawa yang mempunyai sifat yang sama dengan hormon androgen yang diduga akan
mempengaruhi nisbah kelamin ikan nila. Menurut Sabri 2011, penggunaan fitoestrogen dapat meningkatkan
kepadatan tulang akibat dari terikatnya fitoestrogen oleh reseptor-estrogen sehingga menyebabkan adanya fungsi yang sama dengan hormon estrogen. Hal
tersebut dikuatkan oleh Trembley dan Van der Kraak 1998, menyatakan bahwa adanya afinitas kemampuan mengikat fitosteroid oleh reseptor sehingga
menimbulkan efek yang sama dengan hormon yang terdapat pada hewan. Afinitas fitosteroid tersebut pernah dicoba terhadap beberapa senyawa, diantaranya adalah
s tigmasterol, -sitosterol, dan genestein. Meskipun mempunyai daya afinitas
terhadap reseptor namun afinitas fitosterod lebih lemah dibandingkan steroid yang terdapat pada hewan Tramblay dan Van der Kraak, 1998.
Tanaman purwoceng telah digunakan sejak lama sebagai tanaman afrodisiaka dalam bentuk jamu tradisional Gunawan, 2002. Penggunaan ekstrak
purwoceng pada tikus mampu meningkatkan kadar hormon testesteron dalam darah, LH luteinizing hormone, dan FSH follicle-stimulating hormone, serta
dapat meningkatkan kemampuan seksual pada tikus jantan Taufikurrahman dan Wibowo, 2005. Tanaman sendrego dan pasak bumi juga mempunyai fungsi yang
sama Alfian, 2003; Taufikurrahman dan Wibowo, 2005. Bahkan sendrego dapat digunakan sebagai bahan untuk maskulinisasi ikan cupang yang dapat mencapai
70,3 ikan cupang jantan Alfian, 2003. Pada limbah cair bubur kertas juga terdapat fitosteroid berupa -sitosterol dan stigmasterol yang mempunyai sifat
androgenik yang dapat mempengaruhi rasio seks ikan dan mengganggu fungsi gonad ikan mosquito Orlando, 2007.
Kualitas Air
Kualitas air selama penelitian disajikan pada Tabel 6:
Tabel 6. Kualitas air selama penelitian pada perlakuan perendaman ikan nila Oreochromis niloticus dalam ekstrak purwoceng
Parameter Satuan
Hasil pengukuran
Kisaran yang layak menurut referensi Popma dan Lovshin 1999
DO mgl
6,87 – 7,87
5 Temperatur
o
C 26,5
– 27,5 6,5-8,5
pH Unit
7,23 – 7,45
25-30 Amoniak
mgl 0,109
– 0.196 0,2
Pertumbuhan dan kehidupan ikan sangat dipengaruhi oleh temperature Kordi dan Tancung, 2007. Kualitas air yang menjadi media hidup ikan
penelitian berada pada batasan optimum untuk kehidupan ikan nila. Pada saat penelitian temperatur berada pada kisaran 26,5
– 27,5 C. Menurut Amri el al.,
2008, ikan nila dapat hidup secara maksimal pada kisaran suhu 25 – 38
C. Sedangkan menurut Suresh 2005, temperatur optimal bagi pertumbuhan ikan
nila berkisar 26 – 32
C.
Kandungan oksigen terlarut pada saat penelitian 6,87 – 7,87 ppm.
Sedangkan kadar oksigen optimal yang dibutuhkan oleh ikan nila 3 ppm Suresh, 2005. Kandungan oksigen terlarut yang tinggi disebabkan aerasi yang optimal
dalam akuarium. Total ammonia 0,109 – 0.196 mgl dan pH 7,23 – 7,45 saat
penelitian berlangsung. Kadar ammonia optimal 0,2 dan pH 6,5 – 8,5.
Keseluruhan kualitas air pada saat penelitian berada pada kisaran layak. Salah satu parameter kualitas air yang sangat mempengaruhi rasio seks
ikan adalah temperatur Zairin, 2003; Devlin dan Nagahama, 2002; Goto-Kazeto, 2006. Pada temperatur yang tinggi akan menyebabkan arah kelamin menjadi
jantan sedangkan pada temperatur rendah umumnya akan mengarah menjadi betina Goto-Kazeto, 2006. Sejak stadia embrio temperatur telah mempengaruhi
seks rasio maupun perkembangan ikan Devlin dan Nagahama, 2002. Pada suhu 15
o
C populasi ikan mas Carassius auratus betina dapat mencapai 94,6, pada suhu 23
o
C populasi betina berada pada kisaran normal, berjumlah 46,6 dan pada suhu dan pada temperatur 30
o
C populasi jantan dapat mencapai 92,3 Goto- Kazeto, 2006. Menurut Pillay 1981, peningkatan temperatur dapat
meningkatkan jumlah ikan jantan dan pada fase dewasa dapat meningkatkan hormon testesteron dan 11-ketotestesteron.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pengarahan kelamin ikan nila dengan teknik perendaman larva dalam larutan ekstrak purwoceng memberikan pengaruh yang nyata terhadap
maskulinisasi ikan nila. Hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan perendaman dengan konsentrasi 20 mgl yang dapat menghasilkan ikan jantan sebanyak
73,3.
Saran
Pemanfaatan ekstrak purwoceng dapat digunakan sebagai bahan alternatif untuk maskulinisasi ikan nila sebagai pengganti hormon sintetik karena
jumlahnya yang terbatas, harganya mahal, dan sudah mulai dilarang masuk ke pasar Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta A. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. ITB. Bandung Alfian M.Z. 2003. Pengaruh pemberian ekstrak kayu sandrego Lunasia amara
Blanco terhadap produksi ikan cupang jantan Betta splendens. Skripsi. Program studi budidaya perairan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Amri K dan Khairuman. 2008. Buku Pintar Budidaya Ikan Konsumsi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Andersen L. Goto-Kazeto R., Trant J.M., Nash J.P., Korsgaard B., and Bjerregaard P. 2006. Short-term exposure to low concentrations of the
synthetic androgen methyltestosterone affects vitellogenin and steroid levels in adult male zebrafish Danio rerio. Aquatic Toxicology 76 2006
343 –352
Anonimous, 2011. http:www.purwoceng.org
Arslan T dan Phelps R.P. 2004. Production of monosex male black crappie, Pomoxis nigromaculatus, populations by multiple androgen immersion.
Aquaculture 234 : 561 –573
Bearmore J.A., Mair G.C., dan Lewis R.I. 2000. Monosex male production in finfish as exemplified by tilapia: applications, problems, and prospects.
Aquaculture 197 : 283-301 Biswas A.K, Morita T, Yoshizaki G, Maita M, dan Takeuchi T. 2004. Control of
reproduction in Nile tilapia Oreochromis niloticus L. by photoperiod manipulation. Aquaculture 243 : 229
– 239. Chatain B, Saillant E, dan Peruzzi S. 1999. Production of monosex male
populations of European seabass, Dicentrarchus labrax L. by use of the synthetic androgen 17α-methyldehydrotestosterone. Aquaculture 178 :
225 –234.
Colburn H.R, Nardi G.C, Borski R.J
, dan Berlinsky D.L. 2009. Induced meiotic gynogenesis and sex differentiation in summer flounder Paralichthys
dentatus. Aquaculture 289; 175 –180.
Cseke L.J, Kirakosyan A, Kaufman P.B, Warber S.L, Duke J.A, Brielmann H.L. 2006. Natural Products from Plants. Second edition. CSR. London.
De-Eknamkul W and
Potduang B . 2003.
Biosynthesis of b-sitosterol and stigmasterol in Croton sublyratus proceeds via a mixed origin of isoprene
units. Phytochemistry 62: 389 –398.
Desprez D., Geraz E., Hoareau M.C., Melard C., Bosc P., and Baroiller J.F. 2003. Production of a High Persentage of Male Offspring with a Natural
Androgen, 11 -Hydroxyandrostenedione 11 Βoha4, in Florida Red Tilapia. Aquaculture 216 : 55-65.
Devlin R.H dan Nagahama Y. 2002. Sex determination and sex differentiation in fish: an overview of genetic, physiological, and environmental inf luences.
Aquaculture 208: 191 –364
Djojosoebagio S. 1996. Fisologi Kelenjar Endokrin. UI-Press. Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Penebar
Swadaya. Goto-Kazeto R., Abe Y., Masai K., Yamaha E., Adachi S., and Yamauchi K.
2006. Temperature-dependent sex differentiation in goldfish: Establishing the temperature-sensitive period and effect of constant and fluctuating
water temperatures. Aquaculture 254 : 617 –624
Harborne J. B. 2006. Metode Fitokimia. ITB. Bandung. Herbert R.B. 1995. Biosynthesis Metabolit Sekunder. IKAPI Semarang.
Hewit L.M., Kovacs T.G., Dubes M.G., Maclatchy D.L., Martel P.H., Mcmaster M.E., Paice M.G., Parrott J.L., Heuvel M.R.V.D and Van der Kraak G.L.
2008. Altered reproduction in fish exposed to pulp and paper mill effluents: roles of individual compounds and mill operating conditions.
Environmental Toxicology and Chemistry, Vol. 27, No. 3, pp. 682 –697.
Iskandar A. 2010. Efektifitas Ekstrak Tepung Testis Sapi dalam Alih Kelamin Ikan Nila Oreochromis niloticus Melalui Teknik Perendaman. Tesis.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Kordi M.G.H.K dan Tancung A.B. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. Rineka Cipta. Jakarta. Mair G.C., Abucay J.S., Beardmore J.A., Skibinski D.O.F., 1995. Growth
performance trials of genetically male tilapia ŽGMT. derived from YY-
males in Oreochromis niloticus L.: on station comparisons with mixed sex and sex reversed male populations. Aquaculture 137, 313
–324. Murray R.K, Granner D.K, Rodwell V.W. 2006. Biokimia Harper. EGC. Jakarta
Muslim. 2010. Maskulinisasi Ikan Nila Oreochromis niloticus dengan Pemberian Tepung Testis Sapi. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Bogor. Orlando E.F., Bass D.E., Caltabiano L.M., Davis W.P., Gray L.E.Jr., and Guillette
L.J.Jr. 2007. Altered development and reproduction in mosquitofish exposed to pulp and paper mill effluent in the Fenholloway River, Florida
USA. Aquatic Toxicology 84 : 399 –405.
Pandian T.J. 1999. Sex Determination and Differentiation in Teleosts. In Karunasagar I, Indrani K, Alan R : Aquaculture and Biotechnology.
Science Publisher, Inc. USA. Pandian T.J dan Kirankumar. 2003. Recent Advances in Hormonal Induction of
Sex-Reversal in Fish. Di dalam: Jana B.B dan Webster C.D, Editor. Sustainable Aquaculture: Global Pespectives. New York: Food Product
Press; 2003. hlm 205-230. Parks L.G., Lambright C.S., Orlando., E.F., Guillette L.J.Jr., Ankleys G.T., and
Gray L.E.Jr. 2001. Masculinization of Female Mosquitofish in Kraft Mill Effluent-Contaminated Fenholloway River Water Is Associated with
Androgen Receptor Agonist Activity. Toxicological sciences . 62; 257
– 267.
Piferrer F. 2001. Endocrine sex control strategies for the feminization of teleost fish. Aquaculture 197 : 229
–281. Phelps R.P. dan Popma T.J. 2000. Sex Reversal of Tilapia. Pages 39
– 59 in B.A. Costa-Pierce and J.E. Rakocy, eds. Tilapia Aquaculture in the Americas,
Vol. 2. The World Aquaculture Society, Baton Rouge, Louisiana, United States.
Pillay T.V.R. 1981. Reproductive Physiology of Teleost Fishes: A Review of Present Knowledge and Needs for Future Research. UNDP and FAO.
Phillay T.V.R dan Kutty M.N. 2005. Aquaculture Principles and Practices. Bleckwall publishing.
Popma T.J dan Lovshin L.L. 1999. Worldwide Prospect for Commercial Production of Tilapia. Research and Development Series No.41.
International Center for Aquaculture and Aquatic Enveronment. Department of Fisheries and Allied Aquculture Auburn University.
Alabama. USA. Rougeot C, Ngingo J.V, Gillet L, Vanderplasschen A, dan Me´lard C. 2005.
Gynogenesis Induction and Sex Determination in the Eurasian Perch, Perca fluviatilis. Aquaculture 243; 411
– 415. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bina Cipta.
Bandung. Sabri M. 2011. Aktivitas Ekstrak Etanol Batang Sipatah-patah Cissus
quadrangular Salisb Sebagai Antiosteoporosis Pada Tikus Rattus norvegicus.
Suresh V. 2005. Tilapias. Dalam Aquaculture Farming Aquatic Animals and Plants. Editor; Lucas J.S dan Southgate P.C. Blackwell Publishing.
Taufiqurrachman and Wibowo. 2005. Effect of purwoceng Pimpinella alpina extract in stimulating testosterone, luteinizing hormone LH and follicle
stimulating hormone FSH. in sprague dawley male rats. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII
– Bogor. Tave D. 1993. Genetic For Fish Hatchery Managers. Second Edition. Van
Nostrand Reinhold. New York, USA. Tremblay L. dan Van Der Kraak G. 1998. Use of a series of homologous in vitro
and in vivo assays to evaluate the endocrine modulating actions of - sitosterol in rainbow trout. Aquatic Toxicology 43; 149
–162. Vickery M.L, dan Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. The Macmillan
Press LTD. London. Winars H. 2005. Isoflavon. Gajah Mada University Press. Yokyakarta
Zairin Jr. M. 2002. Sek Reversal : Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.
Zairin Jr. M. 2003. Endokrinologi dan Peranannya Bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi
Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Prosedur analisis bahan aktif purwoceng dengan metode GC-MS
Analisis bahan aktif tanaman purwoceng menggunakan metode GC-MS Chromatography-Mass
Spectrophotometry dilakukan
di Laboratorium
Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Alat Gas Chromatography Agilent Technologies dengan panjang
Column Capillary Innowax 30 m, diameter 0,25 mm, film thnkness 0,25 µm. Temperatur inlet diatur pada 250
C dan dengan menggunakan gas pembawa helium. Prosedur pengujian diawali dengan mengatur temperatur oven dengan
temperature awal 130 C selama 2 menit, kemudian dinaikkan 6
Cmenit menjadi 170
C selama 2 menit, 3 Cmenit sampai mencapai 215
C selama 1 menit, dan dinaikkan lagi 40
Cmenit menjadi 250 C selama 10 menit. Waktu ranning yang
dibutuhkan adalah 20 menit dengan aliran tetap constant flow pada 1.5 µlmenit. Volume yang diinjeksikan sebanyak 5µg dengan perbandingan aliran 1 : 100
dihubungkan dengan auto sampler Mass Selective Detector Agilent 5973, electron impact IE dan Chemstation data system. Suhu sumber ion 230
C dan suhu interface 280
C serta suhu quadrupole adalah 140 C. Komponen terdeteksi
berdasarkan waktu retensi puncak kromagram puncak area dan spectra mass.
Lampiran 2. Data dan uji statistik jumlah dan prosentase jenis kelamin ikan nila
Perlakuan Ulangan ∑
Sampel ∑
Jantan ∑
intersex ∑
Betina Prosentase
Jantan Intersex Betina
1 30
16 14
53.28 46.62
K - 2
30 17
13 56.62
43.29 3
30 14
16 46.62
53.28 Total
90 47
43 156.52
0 143.19
Rata-rata 30
15.,67 14,33
52,17 47,73
1 30
24 3
3 79.92
9.99 9.99
MT + 2
30 23
3 4
76.59 9.99
13.32 3
30 25
1 4
83.25 3.33
13.32 Total
90 72
7 11
239.76 23.31
36.63
Rata-rata 30
24 2,33
3,67 79,92
7,77 12,21
1 30
19 3
8 63.27
9.99 26.64
P10 2
30 21
9 69.93
29.97 3
30 20
5 5
66.6 16.65
16.65 Total
90 60
8 22
199.8 26.64
73.26
Rata-rata 30
20 2,67
7,33 66,6
8,88 24,42
1 30
22 3
5 73.26
9.99 16.65
P20 2
30 23
5 2
76.59 16.65
6.66 3
30 21
4 5
69.93 13.32
16.65 Total
90 66
12 12
219.78 39.96
39.96
Rata-rata 30
22 4
4 73,26
13,32 13,32
1 30
20 3
7 66.6
9.99 23.31
P30 2
30 20
4 6
66.6 13.32
19.98 3
30 22
4 4
73.26 13.32
13.32 Total
90 62
11 17
206.46 36.63
56.61
Rata-rata 30
20,67 3,67
5,67 68,82
12,21 18,87
Ulangan K -
MT + P10
P20 P30
1 53,33
79,99 63,33
73,33 66,66
2 56,66
76,66 69,99
76,66 66,66
3 46,66
83,33 66,66
69,99 73,33
Rata-rata 52,22
80 66,66
73,33 68,88
ANOVA ikan nila jantan
ANOVA
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F hitung F tabel Perlakuan
1271.009 4
317.752 21,443
3,48 Galat
148.185 10
14.819 Total
1419.194 14
Intersex
Ulangan K - MT +
P10 P20
P30 1
9,99 9,99
9,99 9,99
2 9,99
16,66 13,33
3 3,33
16,66 13,33
13,33 Rata-rata
7,77 5,55
13,33 12,22
ANOVA ikan nila intersex Sumber
Keragaman Jumlah
Kuadrat Derajat
Bebas Kuadrat
Tengah F hitung F tabel
Perlakuan 330.065
4 82.516
4,129 3,48
Galat 199.867
10 19.987
Total 529.932
14
Lampiran 3. Data dan analisis kelangsungan hidup ikan nila Kelangsungan hidup setelah perendaman pertama
DOSIS ULANGAN
1 2
3 Control
100 100
100 MT
100 100
100 10
100 100
100 20
100 100
100 30
100 100
100 Kelangsungan hidup setelah perendaman kedua
DOSIS ULANGAN
1 2
3 Control
100 100
99 MT
98 100
99 10
98 98
97 20
100 97
99 30
97 98
100 Kelangsungan hidup ikan nila pada akhir penelitian
Ulangan K -
MT + P10 P20
P30 1
90 82
86 83
80 2
83 87
85 88
82 3
76 91
94 79
92 Rata-rata
83 86,67
88,33 83,33
84,67 Kelangsungan hidup rata-rata
DOSIS Keterangan
Perendaman pertama
Perendaman kedua
Akhir penelitian
Control - 100
99,67 83
MT + 100
99 86,67
10 100
97,67 88,33
20 100
98,67 83,33
30 100
98,33 84,67
ANOVA Kelangsungan hidup Sumber
Keragaman Jumlah
Kuadrat Derajat
Bebas Kuadrat
Tengah F hitung F tabel
Perlakuan 61.733
4 15.433
0,497 3,48
Galat 310.667
10 31.067
Total 372.400
14
Lampiran 4. Data dan uji statistik pertumbuhan ikan nila Ulangan
K - MT +
P10 P20
P30 1
6,87 7,97
8,24 7,8
8,37 2
6,05 7,9
8,07 7
7,58 3
7,92 8,36
8,31 7,08
7,74 Rata-rata
6,94 8,08
8,21 7,29
7,90 ANOVA pertumbuhan ikan nila
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F hitung F tabel Perlakuan
3.507 4
0,877 3,311
3,48 Galat
2.648 10
0,265 Total
6.154 14
ABSTRACT
SAFRIZAL PUTRA. Masculinization of Nile Tilapia Oreochromis niloticus By Immersion Technique in Purwoceng Pimpinella alpina Extract. Under direction
of Muhammad Zairin Junior and Harton Arfan.
Masculinization of in nile tilapia is very important in controlling reproduction and obtaining gender that have faster growth. Synthetic steroids
which are commonly used to masculinize but has potential hazards and not recommended for aquaculture. The use of natural product is a potential
alternative to be explored, especially from plant. The objective of this study was to determine the effect of immersion nile tilapia larval in extract of purwoceng in
masculinizing nile tilapia. Doses used in this study are 10, 20, 30 mgl of purwoceng extract with two control groups th
ose are using 500 µgl 17α- methiltestesterone and no immersion in purwoceng extract. Exposing 8h on 4 and
7 days post-hatching in extract of purwoceng and 17α-metiltestesterone, resulted
in significantly skewed sex ratio of 73,3 males by immersion in 20 mgl. Synthetic androgen, 17α-methiltestesterone gave better result than extract of
purwoceng in this study. Further study on extract of purwoceng is needed to observe the best limit of short-time immersion and to find the best result in sex
ratio.
Key word : masculinization, nile tilapia Oreochromis niloticus, exstract of purwoceng Pimpinella alpina
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan nila Oreochromis niloticus merupakan ikan ekonomis tinggi yang telah lama dikenal oleh masyarakat dan telah dibudidayakan secara masal. Ikan
nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga asupan energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dalam bentuk daging dan pertambahan
biomasa digunakan sebagai perkembangbiakannya Ronald dan Thomas, 2000. Budidaya monoseks menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini karena
memungkinkan ikan tumbuh seragam, dapat mencapai ukuran besar, tidak bereproduksi liar di kolam budidaya dan mengurangi tingkah laku keinginan
seksual Biswas et al, 2004. Budidaya monoseks telah terbukti efisien dalam memproduksi ikan nila dan dapat memperbaiki pertumbuhan biomassa ikan nila
Ronald dan Thomas, 2000; Phillay dan Kutty, 2005. Selisih biomassa ikan antara nila monosek dengan yang tidak saat panen dapat mencapai 30-50 Mair
et al., 1995. Salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan ikan monoseks jantan
adalah dengan menggunakan hormon androgen. Hormon yang telah umum dipakai un
tuk jantanisasi adalah 17α-metiltestesteron 17α-MT Zairin, 2003. Namun saat ini penggunaan
17α-MT telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun di perairan Pandian dan Kirankumar,
2003. Oleh karena itu perlu dicari bahan alternatif yang lebih aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Pemberian hormon alamiah telah terbukti berhasil, seperti 11β-
Hydroxyandrostenedione dengan dosis 40 atau 50 mg dapat menjantankan ikan nila Oreochromis niloticus hingga 98 Desprez et al., 2003. Pada penelitian
Muslim 2010, maskulinisasi menggunakan 6 tepung testis sapi per kilogram pakan mampu meningkatkan ikan nila jantan hingga 83. Ekstrak tepung testis
sapi sebanyak 5 mlliter mampu meningkatkan jumlah ikan nila jantan hingga 85,6 Iskandar, 2010.
Dulu steroid dianggap hanya terdapat pada hewan sebagai hormon kelamin namun beberapa tahun terakhir makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan
di tumbuhan yang disebut fitosteroid Vickery dan Vickery, 1981; Harborne,
2006; Cseke et.al, 2006. Hormon ini dapat menggantikan steroid sintetik. Struktur molekul yang mirip antara isoflafonoid dan estrogen menyebabkan
reseptor mampu berikatan dengan reseptor estrogen sehingga senyawa ini juga disebut sebagai estrogen like Tremblay dan Van Der Kraak, 1998.
Maskulinisasi menggunakan fitoandrogen untuk maskulinisasi pernah diteliti oleh Alfian 2003, menggunakan ekstrak kayu sandrego Lunasia amara
Blanco pada ikan cupang Betta splendens. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak sendrego yang dicampurkan kedalam pakan sebanyak 20 mgkg pakan
yang dapat menghasilkan hingga 70,7 jantan. Purwoceng Pimpinella alpina merupakan tumbuhan afrodisiaka
Gunawan, 2002. Pada umumnya tanaman yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa yang berkaitan dengan fitosteroid misalnya stigmasterol
atau senyawa lainnya yang berkhasiat meningkatkan kualitas seksual, memperkuat tubuh dan memperlancar peredaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan
penyelidikan pengaruh purwoceng terhadap diferensiasi seks terutama yang bersifat androgenik.
Rumusan Masalah
Peredaran hormon 17α-metiltestesteron telah dibatasi karena dikhawatirkan meninggalkan residu, baik di ikan maupun perairan. Selain itu,
produksi ikan monoseks menggunakan hormo n 17α-metiltestesteron dilarang
masuk ke pasar Eropa Pandian dan Kirankumar, 2003, sehingga perlu dicari bahan alternatif untuk maskulinisasi. Salah satu cara yang bisa di lakukan adalah
dengan bahan alamiah yang berasal dari tanaman yang bersifat androgenik diantaranya adalah menggunakan tanaman purwoceng.
Selama ini purwoceng digunakan sebagai obat kuat kaum laki-laki atau disebut dengan istilah afrodisiaka. Tanaman purwoceng mampu meningkatkan
kadar hormon testesteron, LH luteinizing hormone, dan FSH follicle- stimulating hormone. Diduga tanaman purwoceng mengandung fitosteroid,
terutama stigmasterol
yang mampu
memberikan efek
androgenik Taufikurrahman, 2004. Fitosteroid yang paling umum ditemukan dalam tanaman
adalah -sitosterol dan stigmasterol. -sitosterol mempunyai efek estrogenik yang
dapat meningkatkan vitelogenesis pada ikan betina rainbow trout dan pada ikan jantan yan
g diberi perlakuan -sitosterol. Sel hati ikan jantan tersebut mampu menghasilkan vitelogenin Tremblay dan Van der Kraak, 1998. Selain itu, dalam
penelitian Parks et al 2001, dilaporkan bahwa fitosteroid yang terkandung dalam limbah cair bubur kertas mampu memaskulinisasi ikan betina mosquitofish
Gambusia affinis holbrooki. Maskulinisasi menggunakan ekstrak sandrego yang diduga mengandung stigmasterol dengan perlakuan 20 mgkg pakan mampu
meningkatkan ikan cupang Betta splendens jantan sebesar 70,7 dibandingkan kontrol yang hanya 33 Alfian, 2003.
Hasil analisis GC-MS purwoceng mengandung bahan aktif stigmasterol sebanyak 5,38 data analisis GC-MS terlampir. Bahan aktif stigmasterol yang
terkandung dalam ekstrak purwoceng diharapkan mampu mengarahkan kelamin larva ikan nila menjadi jantan. Selain itu, kecendrungan dunia saat ini untuk
memakai bahan alamiah sangat mendukung pengembangan bahan alamiah untuk peningkatan produksi ikan nila sehingga produk maskulinisasi dapat diterima oleh
pasar internasional.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah 1 mengetahui pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap maskulinisasi ikan nila melalui perendaman dan 2
menentukan dosis optimum ekstrak purwoceng untuk menghasilkan ikan nila jantan.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat melakukan jantanisasi dalam kegiatan produksi ikan nila monosex dengan menggunakan ekstrak purwoceng
dan memberikan informasi bagi para pelaku budidaya dan peneliti.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah perendaman larva dalam ekstrak purwoceng dengan konsentrasi yang berbeda akan berpengaruh
terhadap maskulinisasi ikan nila.
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Nila Oreochromis niloticus
Ikan nila berasal dari benua Afrika dan telah masuk untuk dibuidayakan ke negara-negara sub-tropis dan tropis sejak tahun 1960-an Phillay dan Kutty,
2005. Jenis yang paling umum dibudidayakan adalah Oreochromis niloticus dan Oreochromis mossambicus Bearmore et al., 2005. Berdasarkan Saanin ikan nila
dapat diklasifikasikan sebagai berikut; Filum
: Chordata Sub Filum
: Vertebrata Kelas
: Osteichthyes Sub Kelas
: Acanthoptherigii Ordo
: Perchmorpi Sub Ordo
: Percoidea Famili
: Cichlidae Genus
: Oreochromis Spesies
: Oreochromis niloticus Ikan nila famili Cichlidae dapat tumbuh dan berkembang biak dengan
cepat sehingga sangat cocok untuk dibudidayakan secara masal Phillay dan Kutty, 2005. Ikan nila sangat cepat mencapai kedewasaannya sehingga dapat
menghambat pertumbuhannya. Pada masa reproduksi, asupan energi lebih banyak digunakan untuk kematangan gonad dibandingkan energi yang dapat
diinvestasikan sebagai biomasa dalam bentuk daging Phelps dan Popma, 2000. Untuk tujuan budidaya masal, sangat penting untuk melakukan sex
reversal guna memproduksi ikan nila monoseks berkelamin jantan karena pertumbuhannya yang lebih cepat dan dapat mengurangi keinginan seksual
Zairin, 2003. Keuntungan lainnya adalah meningkatkan biomasa ikan, dapat memproduksi ukuran ikan yang relatif seragam, dan mencegah pemijahan liar di
dalam wadah budidaya Phillay dan Kutty, 2005.
Biosintesis Testesteron
Hormon testesteron diproduksi oleh testis yang dikonversi dari kolesterol Gambar 1. Perubahan kolesterol menjadi pregnenolon di andrenal, ovarium, dan
testis identik satu sama lain. Kemudian peregnenolon diubah secara berurutan me
njadi menjadi progesteron, 17α-hidroksiprogesteron, androstenedion, dan selanjutnya baru diubah menjadi testesteron Murray, 2006. Selanjutnya dengan
enzim P450 aromatase testesteron diubah menjadi estradiol.
Gambar 1. Biosintesis hormon steroid Leusch, 2001.
1 cytochrome P450 side-chain cleavage - P450scc; β γ -hydroxysteroid
dehydrogenase - γ -HSD; γ P450c17 17α-hydroxylase; 4 P450c17 C17,20-lyase;
5 17 - HSD: 6 cytochrome P450 aromatase; 7 11 -hydroxylase; 8 11 -HSD; 9 HMG-CoA reductase. Mekanisme biosintesis steroid pada ikan terjadi melalui jalur
prenegnolon P5 Leusch, 2001.
Sex Reversal
Jenis kelamin pada ikan ditentukan oleh dua faktor utama yaitu genetik dan lingkungan. Secara genetik jenis kelamin ditentukan oleh pasangan
kromosom yang diturunkan oleh induknya. Namun secara fungsional jenis kelamin ikan ditentukan oleh lingkungan selama perkembangan gonad ikan
berlangsung. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan gonad diantaranya adalah temperatur, pH, dan eksogenus steroid Devlin dan Nagahama,
2002. Hormon steroid merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
perkembangan kelamin pada ikan teleost. Hormon tersebut akan merangsang fenomena reproduksi ikan yaitu merangsang diferensiasi gonad, gametogenesis,
ovulasi, spermatogenesis, pemijahan dan tingkah laku seksual Tremblay dan Van Der Kraak, 1998; Zairin, 2003.
Diferensiasi kelamin pada jenis ikan teleost umumnya terjadi sejak awal menetasnya telur. Proses diferensiasi kelamin adalah suatu proses perkembangan
gonad jantan dan betina menjadi suatu jaringan gonad yang definitif Pandian, 1999. Pembentukan jaringan gonad ikan dapat diinterfensi sesuai dengan yang
diinginkan dari jenis kelamin yang seharusnya dengan bahan-bahan tertentu seperti hormon Zairin, 2003.
Untuk memproduksi nila jantan monoseks dalam budidaya massal perlu dilakukan kontrol kelamin dengan perlakuan tertentu. Teknologi untuk
mengontrol seks ikan dikenal dengan istilah seks reversal Zairin, 2003. Hormon yang umum digunakan adalah dengan
menggunakan 17α-metiltestesteron MT untuk menjantankan seluruh ikan nila Phelps dan Popma, 2000; Zairin, 2003;
Devlin dan Nagahama, 2002. Namun penggunaan hormon MT untuk produksi ikan telah dibatasi dan ikannya dilarang masuk ke pasar eropa karena
kekhawatiran adanya residu hormon Pandian dan Kirankumar, 2003. Hormon-hormon alami juga telah digunakan untuk maskulinisasi seperti
pemakaian hormon androgen alami 11β-hydroxyandrostenedione 11 Βoha4
dapat menghasilkan jantan mendekati 100 jantan Desprez et al., 2003. Penggunakan testis sapi yang mengandung hormon testesteron pada larva ikan
nila dapat menghasilkan 87 ikan jantan Muslim, 2010. Maskulinisasi
menggunakan fitoandrogen pernah diteliti oleh Alfian 2003 pada ikan cupang menggunakan ekstrak kayu sandrego. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak
sendrego dengan perlakuan 0, 10, 20, dan 30 mgkg pakan. Persentase jantan setelah perlakuan secara berturut-turut adalah 33, 59,67, 70,67 dan 50,33.
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa fitosteroid dari limbah cair bubur kertas dapat mempengaruhi rasio seks ikan di perairan Tremblay dan Van Der Kraak,
1998; Parks et al. 2001.
Purwoceng Pimpinella alpina
Porwoceng merupakan tumbuhan yang berasal dari pegunungan alpen yang tumbuh baik di dataran tinggi. Di Indonesia purwoceng banyak tumbuh
secara liar di gunung Dieng, Jawa Tengah. Tanaman purwoceng tidak berkayu, bulat berongga, berwarna hijau, dan beralur Gambar 2. Daun tunggal, berwarna
hijau, dan berbau aromatis. Tinggi tumbuhan ini dapat mencapai 50-100 cm. Porwoceng telah lama dikenal sebagai tanaman yang dipakai dalam
ramuan tradisional sebagai obat-obatan afrodisiaka Gunawan, 2002. Bahan yang dipakai dalam ramuan afrodisiaka adalah bagian tanaman purwoceng yang berasal
dari akar tanaman, namun juga sering dipakai dari seluruh bagian tanaman. Saat ini, tanaman purwoceng telah banyak beredar di masyarakat dalam bentuk kering,
jamu, maupun kapsul yang telah dikemas secara modern.
Gambar 2. Tanaman purwoceng Pimpinella alpina Anonimous 2011.
Saat ini penelitian mengenai afrodisiaka yang berasal dari tanaman terus dilakukan terutama untuk meningkatkan kejantanan pria. Pada umumnya
tumbuhan yang mempunyai khasiat afrodisiaka mengandung senyawa turunan saponin, alkaloid, steroid yang berkaitan dengan stigmasterol,
-sitosterol, ganestein dan senyawa lainnya yang dapat memperkuat tubuh serta memperlancar
peredaran darah. Senyawa stigmasterol dan saponin steroid diduga meningkatkan kualitas seksual setelah mengkonsumsinya. Senyawa saponin steroid umumnya
digunakan sebagai bahan dasar industri produk hormon seks dan sebagai hormon anabolik Gunawan, 2002; Taufiqurrahman, 2004.
Tabel 1. Peran senyawa-senyawa yang terkandung dalam purwoceng Pimpinella alpina terhadap seksualitas pada manusia Gunawan, 2002.
No Nama senyawa
Peran
1 Limonena
Merangsang pristaltik. Menambah daya tahan tubuh.
2 Anisketone
Merangsang dan menambah semangat serta pereda lelah.
3 Asam kafeat
Merangsang semangat, merangsang aktifitas saraf pusat, merangsang keluarnya prostaglandin,
menghambat keluarnya histamin, dan menghilangkan rasa kantuk.
4 Dianethole
Merangsang hormon estrogen. 5
Eugenol Mencegah ejakulasi prematur.
6 -Himachalene
Merangsang dan menambah semangat, menambah daya tahan tubuh, menghilangkan letih dan lelah.
7 Hydroquinone
Merangsang ereksi, menaikkan tekanan darah, merangsang timbulnya kejang.
8 Imperatorin
Merangsang semangat, meningkatkan semangat temperamen, menahan kantuk.
9 Isoorientin
Menambah produksi sperma 10
Myristicin Merangsang semangat
11 Phellandrene
Memacu ereksi
12 Pristane
Menambah daya tahan tubuh 13
Proazulene Merangsang semangat
14 Seselin
Merangsang semangat, merangsang saraf pusat, menghilangkan rasa lelah dan letih, menahan
kantuk. 15
Squalene Merangsang semangat, melancarkan transfer
oksigen dalam darah. 16
Stigmasterol Merangsang hormon androgen, merangsang proses
terjadinya ovulasi dan bahan baku pembuatan hormon steroid untuk obat KB.
Adanya beberapa zat yang bersifat androgenik dalam tumbuhan purwoceng seperti stigmasterol yang dapat meningkatkan ereksi pada pria
diharapkan dapat memberikan efek andogenik untuk proses jantanisasi ikan nila. Selain itu juga terdapat isoorientin yang dapat meningkatkan produksi sperma.
Gambar 3. Struktur kimia kolesterol dan turunannya De-Eknamkul dan
Potduang , 2003
.
Hasil uji laboratorium dengan menggunakan metode gas chromatography- mass spectrometry GC-MS, purwoceng mengandung senyawa stigmasterol
sebanyak 5,38 dari total senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak purwoceng. Menurut Sivan dan Yaron 2006, senyawa stigmasterol yang
terkandung dalam limbah bubur kertas dapat mengubah rasio seks ikan di perairan. Reseptor androgen dan estrogen dapat mengikat fitosterol Tremblay dan
Kraak, 1998 sehingga dapat mempengaruhi seks rasio, gonad, dan hormonal Hawit et al, 2008. Pengikatan tersebut akibat dari adanya kemiripan struktur
molekul stigmasterol, kolesterol dan testesteron.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta analisis
kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina, Lab. Percobaan Babakan FPIK
pemeliharaan ikan uji, dan Lab. Pengembangbiakan dan Genetika Ikan BDP FPIK IPB pembuatan preparat histologi gonad dan analisis gonad metode
acetocarmin. Pelaksanan penelitian direncanakan selama 4 bulan.
Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL Rancangan Acak Lengkap. Dosis ekstrak purwoceng yang digunakan adalah 0, 10, 20 dan 30
mgliter. Dari hasil analisis GC;MS, ekstrak purwoceng mengandung senyawa stigmasterol sebanyak 5,38. Dengan demikian dosis stigmasterol yang
terkandung dalam setiap dosis perlakuan secara berturut-turut sebanyak 0 mg, 0,538 mg, 1,076 mg, dan 1,614 mg. Masing-masing perlakuan dilakukan dengan
tiga kali ulangan. Perlakuan A, ekstrak purwoceng 10 mgliter
Perlakuan B, ekstrak purwoceng 20 mgliter Perlakuan C, ekstrak purwoceng 30 mgliter
Perlakuan D, perendaman dalam 17α-MT konsentrasi 500 µgliter kontrol positif Perlakuan E, perendaman tanpa ekstrak purwoceng dan 17α-MT Kontrol negatif
Y
ij
= μ + τ
i
+ €
ij
Keterangan : Y
ij
: Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j μ
: Rata-rata umum τ
i
: Pengaruh perlakuan ke-i €
ij
: Pengaruh acak yang menyebar normal
Prosedur Penelitian 1.
Pembuatan ekstrak purwoceng
Tanaman purwoceng dikeringkan lalu digiling menjadi bubuk. Tanaman purwoceng yang telah menjadi bubuk direndam dalam pelarut methanol 70
dengan perbandingan 1:2. Kemudian diaduk selama 3 jam, lalu didiamkan maserasi selama 24 jam. Selanjutnya disaring, lalu disiapkan menjadi
ekstrak kental.