HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU DIET TERHADAP ANGKA KEKAMBUHAN PADA PENDERITA ARTRITIS GOUT DI PUSKESMAS BUMIDAYA, KECAMATAN PALAS, LAMPUNG SELATAN

(1)

ABSTRACT

RELATIONS BETWEEN KNOWLEDGE, ATTITUDE, AND BEHAVIOR OF DIET WITH RELAPSING RATE ON GOUT ARTHRITIS PATIENTS AT PUSKESMAS BUDIDAYA, SUBDISTRICT PALAS, SOUTH LAMPUNG

By

FATWA MARATUS SHOLIHAH

Gout arthritis is one of joints inflamation, marked with monosodium crystal accumulation in

body joints which the management is difficult because related with patient’s life habits. This

research aim is to know the relationship between knowledge, attitude, and behavior of diet with relapsing rate on gout arthritis patients at Puskesmas Budidaya, Subdistrict Palas, South Lampung. This research used cross-sectional analytic method and performed in Puskesmas Budidaya on October 2014 until January 2015. The sample was taken with simple random sampling technique and amount to 67 peoples who were mix of old and new patients of gout arthitis in Puskesmas Budidaya until August 2014 from the medical record. Statistic analysis applied with double logistic regression analysis. The result of this research showed that 56,1% respondens had moderate knowledge, 70,2% respondens had low attitude, 63,2% respondens behaved consuming food with high purin often, and 66,7% respondens was often relapsed. This research concludes that there is no relationship between diet knowledge (p=0,47) and relapsing rate but there is strong relationship between attitude (p=0,023) and behavior of the diet (p=0,000) with relapsing rate on gout arthritis patients at Puskesmas Budidaya, Subdistrict Palas, South Lampung.


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU DIET TERHADAP ANGKA KEKAMBUHAN PADA PENDERITA ARTRITIS GOUT DI PUSKESMAS BUMIDAYA, KECAMATAN PALAS, LAMPUNG SELATAN

Oleh

FATWA MARATUS SHOLIHAH

Penyakit artritis gout merupakan salah satu inflamasi sendi yang ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di persendian dimana pengelolaannya sering sulit dilakukan karena berhubungan dengan gaya hidup pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan. Metode penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bumidaya pada bulan Oktober 2014 sampai Januari 2015. Sampel diambil menggunakan teknik simple random sampling dan berjumlah 67 orang yang merupakan jumlah keseluruhan pasien lama dan pasien baru penderita arthritis gout yang berobat di Puskesmas Bumidaya hingga bulan Agustus 2014 dalam rekam medis. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi logistik berganda. Penelitian ini mendapatkan 56,1% responden memiliki tingkat pengetahuan sedang, 70,2% responden memiliki sikap kurang, 63,2% responden memiliki perilaku sering mengkonsumsi makanan yang mengandung purin, dan 66,7% responden yang sering mengalami kekambuhan. Pada penelitian ini dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan (p=0,47) terhadap angka kekambuhan namun terdapat hubungan yang bermakna antara sikap (p=0,023) dan perilaku diet (p=0,000) terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan.


(3)

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU DIET TERHADAP ANGKA KEKAMBUHAN PADA PENDERITA ARTRITIS

GOUT DI PUSKESMAS BUMIDAYA, KECAMATAN PALAS, LAMPUNG SELATAN

Oleh

Fatwa Maratus Sholihah

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 2 September 1993, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari Drs. Sugiyanto, M.T dan Dr. Herpratiwi, M.Pd.

Jenjang pendidikan penulis dimulai di TK PTPN VII Bandar Lampung pada tahun 1998, SD Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 1999, SMP Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2005 dan SMA Al-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2008.

Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif dalam organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran.


(8)

Skripsi ini saya persembahkan untuk

orang-orang yang saya sayangi, cintai

serta banggakan yang memberikan

saya motivasi, ketulusan, kasih sayang

dengan segala keikhlasan dan

kesabarannya yaitu


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahi Robbil „Alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat, dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan.

Skripsi dengan judul “Hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung;

3. dr. Reni Zuraida, M.Si, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, ilmu, bantuan, saran, dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesai;


(10)

4. dr. Liana Sidharti, M.KM, selaku Pembimbing kedua atas kesediaan meluangkan waktu dan membimbing serta memberikan masukannya hingga penulis menyelesaikan skripsinya;

5. dr. T.A Larasati, M.Kes, selaku Pembahas atas kesediaan meluangkan waktu dan memberikan masukan, kritik, dan saran yang membangun dan bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

6. Dr. Dyah Wulan SRW, S.K.M, M.Kes, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan masukkan kepada penulis;

7. Seluruh Staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, terimakasih atas ilmu yang telah diberikan;

8. Bapak dan Ibu Staf TU, Administrasi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Terima kasih atas kerjasama dan bantuannya;

9. Ibu Ros dan seluruh masyarakat Kecamatan Palas Lampung Selatan yang turut membantu dalam proses penelitian ini;

10. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Bapak saya (Drs. Sugiyanto, M.T.), atas kiriman do‟anya setiap saat dan setiap sholat, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, perhatian dan segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada saya. Ibu saya (Dr. Herpratiwi,M.Pd.) yang selalu memberikan do‟a, semangat serta dukungan selama ini.

11. Untuk kakakku Sudewi Mukaromah K, Agnesi Zahrah F, Rico Erwinda atas doa, bantuan serta dukungannya, serta untuk keponakanku Muhammad Diorazqa Alhafizan;


(11)

kebersamaannya selama ini;

13. Sahabat-sahabat saya, Tanti Yossela, Dina Rianti F, Anisa Ika P, Resti Ramdani, yang telah menemani hari-hari dan perjuangan sampai hari ini dan seterusnya;

14. Diano Ramadhan F, Vandy Ikra, Danar Fahmi S, M Yogie Fadli, yang telah menemani hari-hari dan perjuangan sampai hari ini dan seterusnya;

15. Teman-teman angkatan 2011 atas kekeluargaan yang telah terjalin selama ini, semangat, bantuan dan kebahagiaan yang telah diberikan;

16. Teman-teman Tutorial dari semester awal- akhir atas canda tawa, ilmu dan dukungan selama ini;

17. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi yang membacanya. Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberi rahmat-Nya kepada kita. Aamiin.

Bandar Lampung, Januari 2015 Penulis


(12)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Kerangka Teori ... 6

1.6Kerangka Konsep ... 6

1.7Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Artritis Gout 2.1.1 Definisi dan Prevalensi Artritis Gout ... 8

2.1.2 Patofisiologi Artritis Gout ... 10

2.1.3 Penegakan Diagnosis Artritis Gout ... 11

2.1.4 Penatalaksanaan Artritis Gout ... 18

2.2Pengetahuan 2.2.1 Definisi Pengetahuan ... 30

2.2.2 Cara Mendapatkan Pengetahuan ... 31

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan ... ... 32

2.2.4 Tingkat Pengetahuan ... ... 34


(13)

2.3Sikap

2.3.1 Definisi Sikap ... 36

2.3.2 Komponen Sikap ... 36

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap ... 37

2.4Perilaku 2.4.1 Definisi Perilaku ... 40

2.4.2 Bentuk-bentuk Perubahan Perilaku ... 45

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1Desain Penelitian ... 47

3.2Waktu dan Tempat Penelitian ... 47

3.3Populasi dan Sampel ... 48

3.4Identifikasi Variabel ... 50

3.5Definisi Operasional ... 50

3.6 Teknik Pengambilan Data ... 52

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 54

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Analisis Univariat ... 56

4.2Analisis Bivariat ... 70

4.3Analisis Regresi Logistik Berganda ... 73

4.4Keterbatasan Penelitian ... 77

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori... 6 2. Kerangka Konsep ... 6 3. Sintesis dan Pemecahan Asam Urat ... 10 4. Tampak pembengkakan jaringan lunak dengan erosi yang sangat berbatas

tegas dan asimetris pada penderita gout ... 18 5. Gout yang mengenai sendi metatarsofalang pertama ... 18 6. Patofisiologi Arthritis Gout dan Kerja Obat-obatnya ... 19


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Intensitas Serangan Arthritis Gout berdasarkan Derajat Nyeri ... 13

2. Sumber Makanan yang Mengandung Purin Tinggi... 27

3. Definisi Operasional ... 50

4. Distribusi Frekuensi Umur Responden ... 57

5. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden ... 58

6. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terahir Responden ... 59

7. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden ... 60

8. Distribusi Frekuensi Lama Menderita Asam Urat Responden ... 62

9. Persentase Jawaban Benar pada Pegetahuan Artritis Gout ... 63

10. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden ... 64

11. Persentase Jawaban Benar pada Sikap Artritis Gout ... 65

12. Distribusi Frekuensi Sikap Responden ... 66

13. Persentase Konsumsi Makan Mengandung Purin ... 68

14. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden ... 68

15. Distribusi Frekuensi Kekambuhan Responden ... 69

16. Hasil Analisis Hubungan Tingkat Pengetahuan terhadap Angka Kekambuhan ... 70

17. Hasil Analisis Hubungan Sikap Diet terhadap Angka Kekambuhan ... 71

18. Hasil Analisis Hubungan Perilaku Diet terhadap Angka Kekambuhan ... 72

19. Variabel yang Dimasukkan dalam Seleksi Analisis Bivariat ... 73


(16)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Lampiran 2 Lembar Persetujuan Lampiran 3 Kuesioner Penelitian

Lampiran 4 Hasil Pengolahan Menggunakan SPSS

Lampiran 5 Hasil Analisis Bivariat Menggunakan Uji Statistik SPSS Lampiran 6 Hasil Analisis Regresi Logistik Berganda Menggunakan Uji

Statistik SPSS

Lampiran 7 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Lampiran 8 Dokumentasi


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit artritis gout adalah salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling sering ditemukan, ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di dalam ataupun di sekitar persendian (Zahara, 2013). Angka kejadian penyakit artritis gout cenderung memasuki usia semakin muda yaitu usia produktif dimana diketahui prevalensi asam urat di Indonesia yang terjadi pada usia di bawah 34 tahun yaitu sebesar 32% dengan kejadian tertinggi pada penduduk Minahasa sebesar 29,2%. Hal ini merupakan pengaruh dari pola hidup yang buruk, yang nantinya berdampak pada penurunan produktivitas kerja. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas hidup dari masing-masing penderita (Pratiwi VF, 2013).

Artritis gout terjadi sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat didalam cairan ekstarseluler (Anastesya W, 2009). Terdapat dua faktor risiko seseorang menderita athritis gout, yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia dan jenis kelamin. Di


(18)

2

lain pihak, faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah terkait dengan pengetahuan, sikap dan perilaku penderita mengenai artritis gout, kadar asam urat, dan penyakit-penyakit penyerta lain seperti diabetes melitus (DM), hipertensi, dan dislipidemia yang membuat individu tersebut memiliki risiko lebih besar untuk terserang penyakit arthritis gout (Festy P, 2009). Pengelolaan gout sering sulit dilakukan karena berhubungan dengan kepatuhan perubahan gaya hidup (Azari RA, 2014). Sikap dan perilaku memainkan peran penting karena mempengaruhi respon seseorang sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Tanpa adanya sikap dan perilaku, modifikasi pola hidup akan sulit tercapai.

Prevalensi artritis gout semakin meningkat. Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan di Indonesia 11,9 persen . Prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Bali (19,3%), diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%) dan Papua (15,4%). Provinsi Lampung memiliki angka prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis dokter/ tenaga

kesehatan pada umur ≥15 tahun yaitu 11,5% (Riskesdas,2013). Menurut daftar rekam medis Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan pada tahun 2014, Artritis Gout menempati posisi ke tiga dari 10 daftar penyakit terbanyak di Balai Pengobatan. Berdasarkan latar belakang ini maka peneliti merasa perlu dan tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada


(19)

penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

1.2 Rumusan Masalah

Prevalensi penyakit artritis gout dan angka kekambuhannya terus meningkat. Penatalaksaan artritis gout tidak hanya dapat diselesaikan secara farmakologis (Zahara, 2013). Karena kebutuhan akan obat yang menurunkan konsentrasi asam urat serum mungkin akan seumur hidup, penting untuk mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap hiperurisemia yang mungkin diperbaiki. Beberapa faktor tersebut adalah obesitas, diet purin tinggi, konsumsi alkohol secara teratur, dan terapi diuretik (Azari RA, 2014).

Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan (Anastesya W, 2009). Edukasi pasien dan pemahaman mengenai dasar terapi diperlukan untuk menjamin keberhasilan terapi gout. Menghindari faktor-faktor yang dapat memicu serangan juga merupakan bagian yang penting dari strategi penatalaksanaan gout (Lyrawati, 2008).

Pengelolaan gout sering sulit dilakukan karena berhubungan dengan kepatuhan perubahan gaya hidup (Azari RA, 2014). Sikap dan perilaku memainkan peran penting karena mempengaruhi respon seseorang sakit dan


(20)

4

penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Tanpa adanya sikap dan perilaku, modifikasi pola hidup akan sulit tercapai. Dengan demikian, dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah apakah terdapat hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat pengetahuan mengenai diet pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

b. Mengetahui sikap mengenai diet pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.


(21)

c. Mengetahui perilaku mengenai diet pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

d. Mengetahui prevalensi kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

e. Menganalisis pengaruh tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Bagi peneliti/penulis, menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu gizi dan ilmu kedokteran komunitas.

2. Bagi institusi/masyarakat:

a. Dapat meningkatkan pengetahuan mengenai diet pada penderita artritis gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan b. Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.


(22)

6

1.5 Kerangka Teori

Kerangka teori dibuat berupa skema sederhana yang menggambarkan secara singkat proses pemecahan masalah yang dikemukakan dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Gambar 5. Kerangka Teori Teori: Lawrence W. Green-Skinner

1.6 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 6. Kerangka Konsep

Berbagai Hubungan Antarvariabel

Angka Kekambuhan Penderita Artritis Gout Sikap Diet

Tingkat Pengetahuan Diet

Perilaku Diet Faktor Predisposisi (Predisposing factors): - Pengetahuan - Sikap - Kepercayaan - Keyakinan - Nilai-nilai

Faktor Pendukung (Enabling factors): - Penyuluhan Kesehatan - Tersedianya Fasilitas

Kesehatan Faktor Penguat(Reinforcing factors): -Dukungan Keluarga -Dukungan Masyarakat Perilaku Komponen pendidikan kesehatan dari program kesehatan Masalah Kesehatan Kekambuhan Artritis Gout - Respondent respons - Operant respons


(23)

1.7 Hipotesis

Terdapat pengaruh antara tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita artritis gout di di Balai Pengobatan Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas, Lampung Selatan.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Artritis Gout

2.1.1 Definisi dan Prevalensi Artritis Gout

Artritis gout merupakan penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau supersaturasi asam urat didalam cairan ekstarseluler (Anastesya W, 2009). Artritis gout merupakan salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling sering ditemukan, yang ditandai dengan penumpukan kristal monosodium urat di dalam ataupun di sekitar persendian. Monosodium urat ini berasal dari metabolisme purin. Hal penting yang mempengaruhi penumpukan kristal adalah hiperurisemia dan saturasi jaringan tubuh terhadap urat. Apabila kadar asam urat di dalam darah terus meningkat dan melebihi batas ambang saturasi jaringan tubuh, penyakit artritis gout ini akan memiliki manifestasi berupa penumpukan kristal monosodium urat secara mikroskopis maupun makroskopis berupa tophi (Zahara, 2013).


(25)

Dari waktu ke waktu jumlah penderita asam urat cenderung meningkat. Penyakit gout dapat ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia. Prevalensi asam urat cenderung memasuki usia semakin muda yaitu usia produktif yang nantinya berdampak pada penurunan produktivitas kerja. Prevalensi gout di Amerika serikat 2,6 dalam 1000 kasus. Peningkatan prevalensi diikuti dengan meningkatnya usia, khususnya pada laki-laki. Sekitar 90% pasien gout primer adalah laki-laki yang umumnya yang berusia lebih dari 30 tahun, sementara gout pada wanita umumnya terjadi setelah menopause (Dufton J, 2011).Pada tahun 2006, prevalensi hiperurisemia di China sebesar 25,3% dan gout sebesar 0,36% pada orang dewasa usia 20 – 74 tahun (Kumalasari, 2009). Prevalensi asam urat di Indonesia terjadi pada usia di bawah 34 tahun sebesar 32% dan kejadian tertinggi pada penduduk Minahasa sebesar 29,2% (Pratiwi VF, 2013). Pada tahun 2009, Denpasar, Bali, mendapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 18,2% (Kumalasari, 2009).

Faktor risiko yang menyebabkan orang terserang penyakit asam urat adalah usia, asupan senyawa purin berlebihan, konsumsi alkohol berlebih, kegemukan (obesitas), kurangnya aktivitas fisik, hipertensi dan penyakit jantung, obat-obatan tertentu (terutama diuretika) dan gangguan fungsi ginjal. Peningkatan kadar asam urat dalam darah, selain menyebabkan artritis gout, menurut suatu


(26)

10

penelitian hal tersebut merupakan salah prediktor kuat terhadap kematian karena kerusakan kardiovaskuler (Andry, 2009).

2.1.2 Patofisiologi Arthritis Gout

Penyakit arthritis gout merupakan salah satu penyakit inflamasi sendi yang paling sering ditemukan, ditandai dengan adanya penumpukan kristal monosodium urat di dalam ataupun di sekitar persendian (Zahara, 2013). Asam urat merupakan kristal putih tidak berbau dan tidak berasa lalu mengalami dekomposisi dengan pemanasan menjadi asam sianida (HCN) sehingga cairan ekstraseslular yang disebut sodium urat. Jumlah asam urat dalam darah dipengaruhi oleh intake purin, biosintesis asam urat dalam tubuh, dan banyaknya ekskresi asam urat (Kumalasari, 2009).

Gambar 1. Sintesis dan Pemecahan Asam Urat (Kumalasari, 2009)

Kadar asam urat dalam darah ditentukan oleh keseimbangan antara produksi (10% pasien) dan ekskresi (90% pasien). Bila keseimbangan ini terganggu maka dapat menyebabkan terjadinya


(27)

peningkatan kadar asam urat dalam darah yang disebut dengan hiperurisemia (Manampiring, 2011).

2.1.3 Penegakan Diagnosis Arthritis Gout

Gangguan metabolisme yang mendasari gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 mg/dl dan 6,0 mg/dl (Anastesya W, 2009).

Gejala-gejala klinik hiperuresemia dibagi dalam 4 stadium,yaitu: - Stadium I

Tidak ada gejala yang jelas. Keluhan umum, sukar berkonsentrasi. Pada pemeriksaan darah ternyata asam urat tinggi.

- Stadium II

Serangan-serangan arthritis pirai yang khas, arthritis yang akut dan hebat, 90% lokalisasi di jari empu (podagra), tetapi semua persendian dapat diserang, kadang-kadang lebih dari satu sendi yang diserang (migratory polyarthritis). Sendi tersebut menjadi bengkak dalam beberapa jam, menjadi panas, merah, sangat nyeri. Kemudian pembengkakan ini biasanya menjalar ke sekitar sendi dan lebih menyolok daripada arthritis yang lain. Kadang-kadang terjadi efusi di sendi-sendi besar. Tanpa terapi keluhan dapat berkurang sendiri setelah 4 sampai 10 hari.


(28)

12

Pembengkakan dan nyeri berkurang, dan kulit mengupas sampai normal kembali.

- Stadium III

Pada stadium ini di antara serangan-serangan arthritis akut, hanya terdapat waktu yang pendek, yang disebut fase interkritis.

- Stadium IV

Pada stadium ini penderita terus menderita arthritis yang kronis dan tophi sekitar sendi, juga pada tulang rawan dari telinga. Akhirnya sendi-sendi dapat rusak, mengalami destruksi yang dapat menyebabkan cacat sendi (Syukri, 2007).

Arthritis gout ditandai dengan serangan-serangan nyeri hebat dan kemerahan pada bagian bawah sendi dari ibu jari kaki, yang terjadi pada waktu tengah malam. Serangan berkurang dalam beberapa hari tetapi berulang kembali. Lama kelamaan, sendi dirusak oleh endapan kristal asam urat didalam sinovia dan tulang rawan. Asam urat didalam serum meningkat. Penyakit ini dianggap sebagai suatu penyakit orang berada yang memakan makanan yang kaya akan DNA, yang memproduksi banyak asam urat (Sibuea, 2009). Berdasarkan American College of Rheumatology pada tahun 2012 mengenai pedoman penatalaksanaan gout, derajat Arthritis Gout berdasarkan beratnya serangan akut seperti dijelaskan pada Tabel 1.


(29)

Tabel 1. Intensitas serangan arthritis gout berdasarkan derajat nyeri (0-10 skala analog visual)

Derajat Skala

Ringan ≤ 4

Sedang 5-6

Berat ≥ 7

Sumber: American College of Rheumatology, 2012

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat membuat seseorang menjadi lebih mudah untuk terkena penyakit arthritis gout. Secara garis besar, terdapat dua faktor risiko untuk pasien dengan penyakit arthritis gout, yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia dan jenis kelamin. Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah pekerjaan, Glomerular Filtration Rate (GFR), kadar asam urat, dan penyakit-penyakit penyerta lain seperti Diabetes Melitus (DM), hipertensi, dan dislipidemia yang membuat individu tersebut memiliki risiko lebih besar untuk terserang penyakit arthritis gout (Festy P, 2009).

Hubungan antara hiperurisemia dan gangguan sistem serebrovaskular telah diketahui sejak tahun 1990. Peningkatan kadar asam urat serum merupakan temuan yang umum diperlihatkan pada penderita dengan tekanan darah tinggi, resistensi insulin, obesitas dan gangguan serebrovaskuler (Cerezo C,2012). Dengan penatalaksaan yang adekuat terhadap penyakit penyerta seperti di atas, dapat membuat prognosis dan penatalaksanaan arthritis gout menjadi lebih baik.


(30)

14

Pada penelitian tahun 2005 menemukan bahwa secara langsung hipertensi berhubungan dengan resiko terjadinya gout, sedangkan studi pada tahun 2007 menyebutkan bahwa hiperurisemia akan meningkatkan kejadian hipertensi. (Setyoningsih, 2009). Hubungan antara asam urat dan hipertensi telah digambarkan sejak awal tahun 1960-an. Didapatkan bahwa hiperurisemia, pada beberapa populasi, menstimulasi onset terjadinya hipertensi melalui pembentukan kaskade inflamasi dimana terjadi disfungsi endotel, proliferasi otot polos, dan arteriosklerosis pembuluh darah afferen renal. Selain itu, hipertensi merupakan salah satu komorbiditas gout dimana mempengaruhi lebih dari 74% pasien dengan arthritis gout seperti yang telah dilaporkan oleh the US National Health and Nutrition Examination Survey pada tahun 2007-2008. Tekanan darah yang tinggi secara tidak langsung berhubungan dengan insiden terjadinya gout dikarenakan penurunan aliran darah renal sehingga menyebabkan peningkatan resistensi vaskular ginjal dan sistemik, yang akhirnya menyebabkan ekskresi urat melalui ginjal menurun. Oleh karena hal tersebut, penatalaksanaan hipertensi yang adekuat dapat menurunkan tingginya insidensi terjadinya arthritis gout pada penderita dengan hipertensi (Cerezo C,2012).


(31)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi asam urat dapat menentukan progresifitas penyakit ginjal, stroke, serta meta analisis melaporkan bahwa asam urat berhubungan dengan adanya hipertensi, diabetes, serta sindrom metabolik. Penelitian menunjukkan bahwa terjadi disfungsi endotelial yang mengindukasi perubahan adiposit pada penderita dengan diabetes (Cerezo C,2012). Tsunoda melaporkan terjadinya penurunan konsentrasi asam urat serum setelah dilakukan perbaikan sensitivitas insulin dengan diet asam urat obat yang meningkatkan sensitivitas insulin, sehingga diduga hiperurisemia merupakan bagian dari sindrom resistensi insulin. Asam urat merangsang produksi sitokin dari leukosit dan kemokin dari otot polos pembuluh darah, merangsang perlekatan granulosit pada endotelium, adhesi platelet dan pelepasan radikal bebas peroksida dan superoksida serta memicu stress oksidatif. Dari sini diduga terdapat peranan potensial asam urat bagi terjadinya disfungsi endotel dan dalam memediasi respon inflamasi sistemik yang akhirnya bermuara pada cardiovascular events. Hubungan yang positif antar asam urat dengan resistensi insulin sebagian juga disebabkan karena hiperinsulinemia meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus ginjal, sebagai akibatnya kemampuan ginjal mengekresikan sodium dan asam urat menurun dan hasil akhirnya konsentrasi asam urat serum meningkat (Wisesa, 2009).


(32)

16

Hiperurisemia diketahui juga berkaitan dengan berbagai keadaan gangguan metabolik seperti diabetes melitus, hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom metabolik, dan hipotiroidisme. Obesitas meningkatkan metabolisme adenin nukleotida sehingga memudahkan terjadinya penumpukan kristal (Lugito, 2013). Pada Normative Aging Study , peningkatan berat badan berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat dalam darah dan resiko terjadinya gout. Penyakit gout sendiri lebih sering menyerang penderita yang mengalami kelebihan berat badan lebih dari 30% dari berat badan ideal. Orang dengan IMT > 25 kg/m2 (kategori obesitas) mempunyai resiko 3,5 kali untuk mengalami hiperurisemia dibandingkan orang dengan IMT < 25 kg/m2. Hasil ini sesuai dengan penelitian Maria yang menunjukkan bahwa resiko orang dengan obesitas 2 kali lebih tinggi untuk mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami obesitas. Pada orang yang obesitas (IMT > 25 kg/m2), kadar leptin pada tubuh akan meningkat. Leptin merupakan protein dalam bentuk heliks yang disekresi oleh jaringan adiposa. Peningkatan kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat didalam darah. Hal tersebut disebabkan karena adanya gangguan proses reabsorpsi asam urat pada ginjal. (Setyoningsih, 2009).

Subkomite The American Rheumatism Association menetapkan bahwa kriteria diagnostik untuk gout adalah:


(33)

2. Tofi terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan mikroskopik dengan sinar terpolarisasi.

3. Diagnosis lain, seperti ditemukan 6 dari beberapa fenomen aklinis, laboratoris, dan radiologis sebagai tercantum dibawah ini:

- Lebih dari sekali mengalami serangan arthritis akut. - Terjadi peradangan secara maksimal dalam satu hari. - Serangan artrtis monoartikuler.

- Kemerahan di sekitar sendi yang meradang.

- Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau membengkak.

- Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki). - Serangan unilateral pada sendi MTP 1.

- Dugaan tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago artikular (tulang rawan sendi) dan kapsula sendi.

- Hiperurikemia, yaitu pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja) (Anastesya W, 2009).

Perubahan radiologis hanya terjadi setelah bertahun-tahun timbulnya gejala. Terdapat predileksi pada sendi MTP pertama, walaupun pergelangan kaki, lutut, siku, dan sendi lainnya juga dapat terlibat. Foto polos dapat memperlihatkan:


(34)

18

b. Erosi: hal ini cenderung menimbulkan penampakan “punched out”, yang berada terpisah dari permukaan artikular. Densitas tulang tidak mengalami perubahan.

c. Tofi: mengandung natrium urat dan terdeposit pada tulang, jaringan lunak, dan sekitar sendi. Kalsifikasi pada tofi juga dapat ditemukan, dan tofi intraoseus dapat membesar hingga menyebabkan destruksi sendi (Patel, 2007).

Gambar 2.Tampak pembengkakan jaringan lunak dengan erosi yang sangat berbatas tegas dan asimetris pada penderita gout (Patel, 2007)

Gambar 3.Gout yang mengenai sendi metatarsofalang pertama. Terjadi pembengkakan jaringan lunak yang disertai erosi luas (tanda panah) (Patel, 2007)

2.1.4 Penatalaksanaan Arthritis Gout

Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.


(35)

Pengobatan dilakukan dini agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain (Anastesya W, 2009). Tujuan terapi meliputi terminasi serangan akut; mencegah serangan di masa depan; mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cepat dan aman; mencegah komplikasi seperti terbentuknya tophi, batu ginjal, dan arthropati destruktif. Pengelolaan gout sebagian bertolakan karena adanya komorbiditas; kesulitan dalam mencapai kepatuhan terutama jika perubahan gaya hidup diindikasikan; efektivitas dan keamanan terapi dapat bervariasi dari pasien ke pasien. (Azari RA, 2014).

Pengobatan gout bergantung pada tahap penyakitnya (patofisiologi gout). Skema pengobatan gout seperti terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Patofisiologi Arthritis Gout dan Kerja Obat-obatnya (-) = menghambat, (+) = meningkatkan, (#) = pengobatan (Azari RA, 2014)


(36)

20

Terapi pada gout biasanya dilakukan secara medik (menggunakan obat-obatan). Medikamentosa pada gout termasuk:

- Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

OAINS dapat mengontrol inflamasi dan rasa sakit pada penderita gout secara efektif. Efek samping yang sering terjadi karena OAINS adalah iritasi pada sistem gastroinstestinal, ulserasi pada perut dan usus, dan bahkan pendarahan pada usus. Penderita yang memiliki riwayat menderita alergi terhadap aspirin atau polip tidak dianjurkan menggunakan obat ini. Contoh dari OAINS adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya (Anastesya W, 2009).

- Kolkisin

Kolkisin efektif digunakan pada gout akut, menghilangkan nyeri dalam waktu 48 jam pada sebagian besar pasien (Azari RA, 2014). Dosis efektif kolkisin pada pasien dengan gout akut berhubungan dengan penyebab keluhan gastrointestinal. Obat ini biasanya diberikan secara oral pada awal dengan dosis 1 mg, diikuti dengan 0,5 mg setiap dua jam atau dosis total 6,0 mg atau 8,0 mg telah diberikan. Kebanyakan pasien, rasa sakit hilang 18 jam dan diare 24 jam; Peradangan sendi reda secara bertahap pada 75-80% pasien dalam waktu 48 jam (Azari RA, 2014).


(37)

- Kortikosteroid

Kortikosteroid biasanya berbentuk pil atau dapat pula berupa suntikan yang lansung disuntikkan ke sendi penderita. Efek samping dari steroid antara lain penipisan tulang, susah menyembuhkan luka dan juga penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Steroids digunakan pada penderita gout yang tidak bisa menggunakan OAINS maupun kolkisin (Anastesya W, 2009). Prednison 20-40 mg per hari diberikan selama tiga sampai empat hari.Dosis kemudian diturunkan secar bertahap selama 1-2 minggu. ACTH diberikan sebagai injeksi intramuskular 40-80 IU, dan beberapa dokter merekomendasikan dosis awal dengan 40 IU setiap 6 sampai 12 jam untuk beberapa hari, jika diperlukan (Azari RA, 2014).

- Urikosurik dan Xanthine Oxidase Inhibitor

Gout dapat dicegah dengan mengurangi konsentrasi asam urat serum < 6,0 mg/dL. Penurunan kurang dari 5,0 mg/dL mungkin diperlukan untuk reabsorpsi dari tophi. Terapi dengan obat yang menurunkan konsentrasi asam urat serum harus dipertimbangkan, ketika semua kriteria sebagai berikut: penyebab hiperurisemia tidak dapat dikoreksi atau, jika diperbaiki, tidak menurunkan konsentrasi serum asam urat kurang dari 7,0 mg/dL; pasien memiliki dua atau tiga serangan pasti gout atau memiliki tophi; dan pasien dengan


(38)

22

kebutuhan untuk minum obat secara teratur dan permanen. Dua kelas obat yang tersedia: obat urikosurik (misalnya Probenesid) dan xanthine oxidase inhibitor (misalnya Allopurinol) (Azari RA, 2014).

Penatalaksaan arthritis gout tidak hanya dapat diselesaikan secara farmakologis (Zahara, 2013). Karena kebutuhan akan obat yang menurunkan konsentrasi asam urat serum mungkin akan seumur hidup, penting untuk mengidentifikasi faktor yang berkontribusi terhadap hiperurisemia yang mungkin diperbaiki. Beberapa faktor tersebut adalah obesitas, diet purin tinggi, konsumsi alkohol secara teratur, dan terapi diuretik (Azari RA, 2014).

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hiperurisemia. Obesitas didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi kelebihan lemak tubuh. Pada orang obesitas terjadi peningkatan asam urat terutama karena adanya peningkatan lemak tubuh, disamping itu juga berhubungan dengan luas permukaan tubuh sehingga pada orang gemuk akan lebih banyak memproduksi urat dari pada orang kurus. Penelitian epidemiologi di Kin Hu, Kinmen,menyimpulkan obesitas sentral merupakan faktor prediktor independen hiperurisemia pada usia pertengahan (40 -59 tahun) (Hensen, 2007).


(39)

Mengontrol berat badan, membatasi konsumsi daging merah dan latihan sehari-hari, merupakan rekomendasi dasar gaya hidup yang penting untuk pasien dengan gout atau hiperurisemia. Alkohol harus dihindari karena meningkatkan produksi asam urat dan merusak ekskresinya. Dehidrasi dan trauma berulang yang mungkin terjadi dalam latihan atau pekerjaan tertentu harus dihindari, dan obat-obatan yang dikenal untuk berkontribusi untuk hiperurisemia, termasuk thiazide dan diuretik loop, salisilat dosis rendah, siklosporin, niacin, etambutol, dan pirazinamid harus dihilangkan, jika memungkinkan (Azari RA, 2014).

Edukasi pasien dan pemahaman mengenai dasar terapi diperlukan untuk menjamin keberhasilan terapi gout. Menghindari faktor-faktor yang dapat memicu serangan juga merupakan bagian yang penting dari strategi penatalaksanaan gout (Lyrawati, 2008). Risiko terjadinya gout lebih besar terjadi pada lelaki yang tidak memiliki aktivitas fisik dan kardiorespiratori fitness dibandingkan dengan lelaki yang aktif secara fisik dan kardiorespiratori. Penelitian lain menyebutkan bahwa serum asam urat dapat diturunkan dengan melakukan olah raga rutin dan teratur, namun jika olah raga tersebut hanya dilakukan secara intermiten justru akan meningkatkan kadar serum asam urat. Untuk mencegah kekakuan dan nyeri sendi, dapat dilakukan latihan fisik ringan berupa latihan isometrik, latihan gerak sendi dan latihan


(40)

24

fleksibiltas yang keseluruhan itu tercakup dalam stabilisasi sendi (Zahara, 2013).

Tujuan diet arthritis gout adalah untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan kadar asam urat dalam darah dan urin. Syarat-syarat diet penyakit gout arthritis adalah:

1. Energi sesuai dengan kebutuhan tubuh. Bila berat badan berlebih atau kegemukan, asupan energi sehari dikurangi secara bertahap sebanyak 500-1000 kkal dari kebutuhan energi normal hingga tercapai berat badan normal (Almatsier, 2005). Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat badan, berat badannya harus diturunkan dengan tetap memperhatikan jumlah konsumsi kalori. Asupan kalori yang terlalu sedikit juga bisa meningkatkan kadar asam urat karena adanya badan keton yang akan mengurangi pengeluaran asam urat melalui urine (Helmi, 2012).

2. Protein cukup, yaitu 1,0-1,2 g/kg BB atau 10-15% dari kebutuhan energi total (Almatsier, 2005). Protein terutama yang berasal dari hewan dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Sumber makanan yang mengandung protein hewani dalam jumlah yang tinggi, misalnya hati, ginjal, otak dan limpa. Asupan protein yang dianjurkan adalah sebesar 50-70 g/hari atau 0.8-1 g/kg berat badan/hari. Sumber protein


(41)

yang disarankan adalah protein nabati yang berasal dari susu,keju, dan telur (Helmi, 2012).

3. Hindari bahan makanan sumber protein yang mempunyai kandungan purin >150 mg/100 gr (Almatsier, 2005). Apabila telah terjadi pembengkakan sendi, maka penderita gangguan asam urat harus melakukan diet bebas purin. Namun, karena hampir semua bahan makanan sumber protein mengandung nukleoprotein, maka hal ini hampir tidak mungkin dilakukan. Tindakan yang harus dilakukan adalah membatasi asupan purin menjadi 100-150 mg purin per hari (diet normal biasanya mengandung 600-1000 mg purin per hari) (Helmi, 2012).

4. Lemak sedang, yaitu 10-20% dari kebutuhan energi total. Lemak berlebih dapat menghambat pengeluaran asam urat atau purin melalui urin (Almatsier, 2005). Konsumsi lemak sebaiknya sebanyak 15% dari total kalori (Helmi, 2012).

5. Karbohidrat dapat diberikan lebih banyak, yaitu 65-75% dari kebutuhan energi total. Karena kebanyakan pasien gout arthritis mempunyai berat badan lebih, maka dianjurkan untuk menggunakan sumber karbohidrat kompleks. Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti dan ubi sangat baik dikonsumsi oleh pasien gangguan asam urat


(42)

26

karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urine. Konsumsi karbohidrat kompleks ini sebaiknya tidak kurang dari 100 gram per hari. Karbohidrat sederhana jenis fruktosa seperti gula, permen, arum manis, gulali, dan sirup sebaiknya dihindari karena fruktosa akan meningkatkan kadar asam urat dalam darah (Helmi, 2012).

6. Vitamin dan mineral cukup sesuai dengan kebutuhan (Helmi, 2012). Memperbanyak konsumsi sumber makanan berpotasium tinggi, seperti pisang, avokad, kentang, susu, dan yoghurt. Memperbanyak konsumsi buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C, seperti tomat, stroberi dan jeruk. Memperbanyak konsumsi buah-buahan yang berkhasiat sebagai diuretik karena kaya air, seperti jambu air, blewah, melon dan semangka. Dianjurkan mengonsumsi tanaman herbal dan buah-buahan yang berkhasiat mengatasi penyakit asam urat, seperti daun salam, sidaguri, sirsak, labu siam, kentang, apel dan suka apel (Noormindhawati, 2014).

7. Cairan disesuaikan dengan urin yang dikeluarkan setiap hari (Almatsier, 2005). Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu membuang asam urat melalui urine. Oleh karena itu, disarankan untuk menghabiskan minum minimal sebanyak 2,5 liter atau 10 gelas sehari (Helmi, 2012).


(43)

Diet rendah purin memegang peranan penting untuk mengatasi hiperurisemia. Pada hiperurisemia asimtomatik, biasanya tidak perlu diberikan pengobatan kecuali bila kadar asam urat darah lebih dari 9 mg/dL. Diet rendah purin dengan pembatasan purin 200-400 mg/hari dapat menurunkan kadar asam urat serum sebanyak 1 mg/dL (Reppie, 2007).

Berdasarkan kadar purinnya, sumber makanan berpurin dikelompokkan menjadi 3, yakni sumber makanan yang mengandung purin tinggi, sedang dan rendah. Berikut ini akan diuraikan kriteria masing-masing sumber makanan berdasarkan kadar purinnya.

a. Sumber makanan yang mengandung purin tinggi

Dalam kadar yang normal sebenarnya purin sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Namun, jika jumlahnya melebihi batas normalnya, maka akan meningkatkan produksi asam urat. Akibatnya terbentuklah kristal-kristal asam urat. Sumber makanan yang termasuk berkadar purin tinggi bisa dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Sumber makanan yang mengandung purin tinggi

Sumber Makanan Kadar Purin (mg/100

gram)

Teobromin (kafein cokelat) 2.300

Limpa kambing 773

Hati sapi 554

Ikan sarden 480

Jamur kuping 448

Limpa sapi 444

Daun melinjo 366


(44)

28

Bayam, kangkung 290

Ginjal sapi 269

Jantung sapi 256

Hati ayam 243

Jantung kambing/ domba 241

Ikan teri 239

Udang 234

Biji melinjo 222

Daging kuda 200

Kedelai dan kacang-kacangan 190 Dada ayam dengan kulitnya 175

Daging ayam 169

Daging angsa 165

Lidah sapi 160

Ikan kakap 160

Tempe 141

Daging bebek 138

Kerang 136

Udang lobster 118

Tahu 108

Sumber: Penuntun DIET, Instalasi Gizi RSCM dan Asosiasi Dietensien Indonesia

Selain yang tertera pada tabel tersebut, sumber makanan dan minuman yang juga mengandung purin tinggi diantaranya adalah berikut ini: jeroan, kaldu atau ekstrak daging, soft Drink atau minuman bersoda, minuman beralkohol, es krim, ikan hering, ikan tuna, salmon, ikan kembung dan aneka jenis seafood lainnya.

b. Sumber makanan yang mengandung purin sedang

Kelompok yang kedua adalah sumber makanan yang mengandung purin sedang. Kadar purin dalam makanan terkategori sedang jika jumlahnya berkisar antara 9-100 mg/100 gram. Penderita asam urat sebenarnya boleh


(45)

mengonsumsi sumber makanan yang mengandung purin sedang, hanya saja jumlahnya harus dibatasi dan tidak boleh melebihi batas yang diizinkan (100-150 mg/hari). Untuk daging pun sebaiknya konsumsi per harinya berkisar antara 1 hingga 1,5 potong. Sementara itu, sayuran sekitar satu mangkok (100 gram) per harinya. Konsumsi makanan yang mengandung purin sedang melebihi batas yang dianjurkan akan menaikan kadar asam urat di dalam darah.

Sumber makanan yang mengandung purin sedang yaitu: (a) daging dan ikan (kecuali jenis daging dan ikan yang sudah disebutkan dalam kelompok berpurin tinggi), (b) biji dan daun melinjo, (c) kacang-kacangan, (d) kangkung, (e) jamur, (f) bayam, (g) daun pepaya, (h) daun singkong, dan (i) kol.

c. Sumber makanan yang mengandung purin rendah

Kelompok yang terahir adalah sumber makanan yang mengandung purin rendah. Kadar purin dalam makanan yang terkategori rendah jika jumlahnya kurang dari 9 mg. Penderita asam urat tidak perlu khawatir mengonsumsi makanan yang termasuk dalam kelompok ini. Bahkan sumber makanan berpurin rendah bisa dikonsumsi setiap hari karena tidak beresiko meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Berikut ini daftar sumber makanan yang mengandung purin rendah yaitu: (a) nasi, (b) ubi, (c) roti, (d) singkong, (e)


(46)

30

jagung, (f) susu, (g) sayuran (kecuali yang telah disebutkan dalam kelompok berpurin sedang), dan (h) buah-buahan (kecuali nanas,durian,avokad) (Noormindhawati L, 2014).

2.2 Pengetahuan

2.2.1 Definisi Pengetahuan

Salah satu domain perilaku kesehatan adalah pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan pada manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatjmojo, 2007).

Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang ada dikepala kita, sehingga kita dapat mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Selain pengalaman, kita juga menjadi tahu karena kita diberitahu oleh orang lain. Pengetahuan juga didapatkan dari tradisi. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dengan segala bentuk tindakan seseorang (Arikunto,2006).

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6


(47)

tingkat pengetahuan yaitu: tahu (know), memahami (comprehention), aplikasi (application), analisis (analilysis), sintesis (sintesis) dan evaluasi (evaluation) (Notoadmojo, 2005).

2.2.2 Cara Mendapatkan Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:

a. Cara Tradisional Untuk Memperoleh Pengetahuan

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini dilakukan sebelum ditemukan metode ilmiah, yang meliputi :

1) Cara Coba Salah (Trial Dan Error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila tidak berhasil, maka akan dicoba kemungkinan yang lain lagi sampai didapatkan hasil mencapai kebenaran.

2) Cara Kekuasaan atau Otoritas

Dimana pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan baik tradisi, otoritas pemerintahan, otoritas pemimpin agama, maupun ahli ilmu pengetahuan.

3) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan


(48)

32

permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu. Apabila dengan cara yang digunakan tersebut orang dapat memecahkan masalah yang sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut.

4) Melalui Jalan Pikiran

Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan fikiran.

b. Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah (Notoatmodjo, 2005).

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu: a. Umur

Umur adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat beberapa tahun. Sehingga semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang belum cukup tinggi kedewasaannya.


(49)

Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa (Nursalam, 2001).

b. Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh pada umumnya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya (Notoatmodjo, 2007). c. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experient is the best teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pemngalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2002).


(50)

34

2.2.4 Tingkat Pengetahuan

Dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan karena didasari oleh kesadaran, rasa tertarik, dan adanya pertimbangan dan sikap positif. Tingkatan pengetahuan terdiri atas 6 tingkat yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang khusus dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, “tahu / know“ merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah gunanya untuk mengukur bahwa orang tahu yang dipelajari seperti: menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya. b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan secara benar tentang objek yang diketahui, dapat menjelaskan materi tersebut dengan benar.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang dipelajari pada situasi atau kondisi nyata.


(51)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen–komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tetapi masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian–bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan suatu kriteria sendiri atau menggunakan kriteria– criteria yang sudah ada ditentukan (Notoatmodjo, 2005)

2.2.5 Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket (kuesioner) yang menanyakan tentang materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas. Pengukuran tingkat pengetahuan dimaksudkan untuk mengetahui status pengetahuan seseorang dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi (Notoatmodjo, 2005).


(52)

36

2.3 Sikap

2.3.1 Definisi Sikap

Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu (Azwar S, 2000). Menurut Notoadmodjo (2003) sikap (attitude) adalah merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau obyek. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang. Sikap manusia, atau untuk singkatnya disebut sikap, telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli (Azwar, 2007).

2.3.2 Komponen Sikap

Azwar (2007) menyatakan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu:

a. Komponen kognitif

Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.

b. Komponen afektif

Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek


(53)

sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.

c. Komponen perilaku

Komponen perilaku atau komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Azwar (2007) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu.

a. Pengalaman Pribadi

Middlebrook (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.


(54)

38

b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

c. Pengaruh Kebudayaan

Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami (Hergenhan dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.

d. Media Massa

Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru


(55)

bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu system mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat menetukan sistem kepercayaan sehingga tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau lembaga agama sering kali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.

f. Faktor Emosional

Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau


(56)

40

pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.

2.4 Perilaku

2.4.1 Definisi Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing (Notoatmodjo,2007). Terdapat 2 teori mengenai perilaku, yaitu menurut Skinner dan Green.

a. Teori Skiner (S-O-R)

Skinner (1938), yang dikutip oleh (Notoatmodjo, 2007), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses: Stimulus- Organisme-Respon sehingga teori Skinner ini disebut teori “S-O-R”.


(57)

1. Respondent respons atau reflexive, merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan atau stimulus tertentu yang disebut eliciting stimulation, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya, makanan lezat akan menimbulkan nafsu untuk makan, cahaya terang akan menimbulkan reaksi mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons juga mencakup perilaku emosional, misalnya mendengar berita kecelakaan akan menimbulkan rasa sedih, mendengar berita gembira akan menimbulkan rasa suka cita, dan sebagainya.

2. Operant respons atau instrumental respons, merupakan respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan tertentu,yang disebut reinforcing stimulation atau reinforce karena berfungsi untuk memperkuat respon. Misalnya, apabila seorang petugas kesehatan melakukan tugasnya dengan baik adalah sebagai respon terhadap gaji yang cukup, kemudian karena kerja yang baik tersebut menjadi stimulus untuk memperoleh promosi pekerjaan. Jadi kerja yang baik tersebut sebagai reinforce untuk memperoleh promosi pekerjaan.

Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka perilaku manusia dibedakan menjadi dua, yaitu:


(58)

42

Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan sikap orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain atau disebut juga unobservable behavior.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Merupakan respon seseorang terhadap stimulus sudah dalam bentuk tindakan nyata atau praktik yang dapat diamati orang lain dari luar. Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior), tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perilaku adalah keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku meliputi: pengetahuan, kecerdasan, persepsi emosi, motivasi, dan sebagainya, yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti: iklim, manusia, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.


(59)

b. Teori Green

Menurut Green dan Kreuter (2005), kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi oleh 3 domain utama, yaitu: 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) adalah

proses sebelum perubahan perilaku yang memberikan rasional atau motivasi terjadinya perilaku individu atau kelompok. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan untuk mempermudah terjadinya perilaku seseorang atau kelompok, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai, kebutuhan yang dirasakan, kemampuan dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Dari sisi domain psikologis, seseorang termasuk dimensi kognitif dan afektif mulai mengetahui, merasakan, meyakini, menilai dan punya percaya diri sehingga mempermudah terjadinya perilaku kesehatan. Proses faktor mempermudah perilaku menunjukkan interaksi dari pengalaman dengan mempelajari sejarah alami manusia dengan keyakinan, nilai-nilai, sikap dan perjalanan hidup.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), adalah proses sebelum terjadinya perubahan perilaku harus ada faktor pendukung untuk memfasilitasi perilaku tersebut seperti


(60)

44

tersedianya sarana dan prasarana atau fasilitas yang mudah dicapai.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor pendorong yang memberi dukungan secara terus menerus untuk kelangsungan perilaku individu atau kelompok seperti keluarga, teman, guru, pengambil kebijakan dan petugas kesehatan.

Menurut Notoadmodjo (2007), klasifikasi tentang perilaku kesehatan terdiri dari:

1. Perilaku Hidup Sehat

Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain: (a) makan dan menu seimbang (appropriate diet), (b) olahraga teratur, (c) tidak merokok, (d) tidak minum-minuman keras dan narkoba, (e) istirahat yang cukup, (f) mengendalikan stress, (g) perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.

2. Perilaku Sakit (IIInes behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang gejala dan penyebab penyakit, dan sebagainya.


(61)

3. Perilaku Peran Sakit (The Sick Role Behaviour)

Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,yang harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the sick role) yang meliputi: (a) tindakan untuk memperoleh kesembuhan, (b) mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/ penyembuhan penyakit yang layak, (c) mengetahui hak. (Notoatmodjo, 2007).

2.4.2 Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2003), menggolongkan bentuk-bentuk perubahan perilaku menjadi 3, yaitu:

1. Perubahan Alamiah (natural change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian dari perubahan itu disebabkan karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan.

2. Perubahan Terencana (planned change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.


(62)

46

3. Kesediaan Untuk Berubah (readiness to change)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. (Notoatmodjo, 2003).


(63)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu sebuah studi pada sekelompok orang pada satu titik waktu untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita arthritis gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014 sampai Januari 2015.

3.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.


(64)

48

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien arthritis gout yang berobat di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel diambil menggunakan teknik simple random sampling, yaitu teknik penentuan sample dengan memberi kesempatan yang sama pada setiap anggota populasi untuk menjadi anggota sample, kemudian proses pemilihan sejumlah sampel n dari populasi N yang dilakukan secara random. Data penderita arthritis gout didapatkan melalui rekam medis Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan. Keseluruhan jumlah penderita arthritis gout di wilayah kerja Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan berjumlah 67 orang yang merupakan jumlah keseluruhan pasien lama dan pasien baru yang menderita arthritis gout hingga bulan Agustus. 2014.


(65)

Besar sampel yang dipakai pada penelitian ini di hitung dengan menggunakan rumus penelitian untuk menghitung minimum besarnya sampel yang dibutuhkan bagi ketepatan (Accurancy). Rumus penentuan sampel menurut Notoatmojo (2010).

n =

1+�(�2) Keterangan :

n : jumlah sampel N : besarnya populasi

d² : tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,05)

dari rumus di atas didapat besarnya sampel

n =

67

1+67(0,052)

=

67

1+67(0,0025)

=

67

1+0,1675

=

67

1,1675

= 57

Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: a. Bersedia menjadi subjek penelitian.

b. Pasien Artritis Gout yang pernah berobat di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan.

Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Subjek tidak di tempat ketika pengumpulan data dilakukan b. Subjek tidak masuk dalam kriteria diagnostik The American


(66)

50

3.4 Identifikasi Variabel

Variabel penelitian adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Adapun variabel pada penelitian ini adalah: a. Variabel independen : - Pengetahuan pasien tentang diet arthritis

gout

- Sikap tentang diet arthritis gout - Perilaku tentang diet arthritis gout b. Variabel dependen : Angka kekambuhan gejala penderita

arthritis gout.

3.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel atau dapat dikatakan semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana cara mengukur suatu variabel.

Tabel 3. Definisi Operasional

Variabel Defenisi

Operasional Cara Ukur Alat Ukur Skala Keterangan Pengeta-huan tentang diet arthritis gout Kemampuan responden untuk menjawab kuesioner tentang diet arthritis gout

Wawancara Kuesioner Ordinal Jika menjawab benar mendapat skor 1, jika menjawab salah mendapat skor 0 dengan jumlah 20 pertanyaan.

Dengan kriteria: - Baik bila >80%

pertanyaan dijawab benar oleh responden. - Sedang bila

60-80% pertanyaan dijawab benar oleh responden. - Kurang bila


(67)

<60% pertanyaan dijawab benar oleh responden Sikap tentang diet arthritis gout Pandangan responden mengenai arthritis gout

Wawancara Kuesioner Ordinal Terdapat 10 pernyataan dengan 3 pilihan jawaban, bila pernyataan positif memilih jawaban setuju mendapat skor 2, bila memilih kurang setuju mendapat skor 1, dan tidak setuju mendapat skor 0 dan apabila pernyataan negatif memilih jawaban setuju mendapat skor 0, bila memilih kurang setuju mendapat skor 1, dan tidak setuju mendapat skor 2.

Dengan kriteria: - Baik (bila nilai

> 80% ) - Kurang (<

80%) Perilaku makan pasien arthritis gout Respon pasien terwujud dalam tindakan makannya yang sesuai dengan jenis makanan yang bisa menyebabkan kekambuhan pada arthritis gout

Wawancara Food Frequen-cy

Ordinal Perilaku makan penderita arthritis gout dibagi dalam beberapa kategori berdasarkan jawaban langsung dari pasien, yaitu:

- Jarang* - Sering** Angka kekambuh-an gejala pada penderita arthritis gout Jumlah kekambuhan dalam 1 bulan terahir

Wawancara Kuesioner Ordinal Angka kekam-buhan dinilai dari tingkat keseringan sera-ngan tiap bulan-nya, yaitu:

- Jarang: 0-1 x/bln

- Sering: ≥ 1 x/bln


(68)

52

Keterangan:

* mengkonsumsi kurang dari 1 kali/minggu. ** mengkonsumsi lebih dari 1 kali/minggu

3.6 Teknik Pengambilan Data

3.6.1 Instrumen Penelitian

Penggunaan alat ukur sagat penting peranannya dalam suatu penelitian. Alat ukur tersebut nantinya akan digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Penentuan diagnosis arthritis gout akan ditunjang dengan pengukuran kadar asam urat darah menggunakan easy touch GCU. Pengukuran kadar asam urat darah juga dilakukan untuk mere-diagnosis artritis gout dikarenakan penentuan diagnosis di puskesmas tersebut tidak hanya dilakukan oleh dokter namun juga oleh tenaga medis lainnya sehingga peneliti dapat terhindar dari misdiagnosis terhadap penyakit pasien.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder didapatkan melalui rekam medik Puskesmas mengenai pasien yang menderita arthritis gout. Di lain pihak, pengumpulan data menggunakan data primer yaitu wawancara langsung menggunakan kuesioner untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan kekambuhan responden mengenai diet penderita arthritis gout serta menggunakan food frequency questionaire untuk mengetahui perilaku makan pasien dilihat dari


(69)

asupan makanan yang berpotensi menyebabkan kekambuhan yang dikonsumsi oleh pasien di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan. Food frequency questionaire digunakan untuk menilai secara semi kuantitatif dimana setiap bahan makanan diberikan skor sesuai dengan frekuensi konsumsi perminggu (daging, seafood, sayuran, buah, kopi, teh, dan alkohol). Batasan frekuensi dibagi menjadi tidak pernah, jarang (mengkonsumsi makanan/minuman kurang dari 1 kali/minggu), sering (mengkonsumsi makanan/minuman lebih dari 1 kali/minggu) (Haris, 2005).

3.6.2 Prosedur Penelitian

a. Tahap Awal

Pelaksanaan penelitian diawali dengan meminta izin kepada pihak pimpinan Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan untuk melakukan penelitian.

b. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahapan ini kegiatan yang akan dilaksanakan adalah: 1) Skrining pasien berdasarkan diagnosis Puskesmas. Seluruh

pasien yang terdiagnosis arthritis gout dijadikan data awal. 2) Dari data sekunder tersebut, dilihat responden dengan

bertatap muka langsung serta meminta kesediaan responden untuk dilakukan pemeriksaan.


(70)

54

3) Dilakukan diagnosis ulang artritis gout yang dilihat dari gejala klinis dan kadar asam urat darah penderita dengan menggunakan easy touch GCU.

4) Meminta pasien untuk mengisi kuisioner untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan kekambuhan pasien mengenai diet arthritis gout melalui wawancara langsung

5) Meminta responden mengisi food frequency questionnaire untuk mengetahui perilaku pasien diet arthritis gout.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

3.7.1 Pengolahan Data

Data diperoleh dengan cara mempelajari data primer berupa pengisian kuesioner tingkat pengetahuan diet, sikap diet, kekambuhan dan food frequency oleh pasien arthritis gout di Puskesmas Bumidaya, Kecamatan Palas, Lampung Selatan. Kemudian data diolah menggunakan perangkat lunak komputer. Selanjutnya, proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah:

a. Coding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.


(71)

c. Verifying, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.

d. Computer Output, hasil analisis yang telah dilakukan oleh komputer kemudian dicetak.

3.7.2 Analisis Data

Dengan melihat data yang diperoleh dari hasil kuesioner dan food frequency questionaire data akan diolah dengan alat bantu perangkat lunak komputer. Untuk analisis data digunakan analisis data univariat & analisis bivariat.

a. Analisis data univariat digunakan untuk mengetahui gambaran masing-masing variabel yaitu pengetahuan tentang diet arthritis gout, sikap tentang diet arthritis gout dan perilaku makan pasien arthritis gout di Balai Pengobatan Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan. b. Analisis data regresi logistik berganda digunakan untuk

mengetahui ada tidaknya hubungan antara ketiga variabel bebas dengan variabel terikat. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan Uji Regresi Logistik karena variabel terikat dalam penelitian ini adalah skala kategorik (Dahlan,2009).


(72)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:

1. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang adalah sebanyak 24,6% , sedang 56,1% dan baik 19,3%.

2. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki sikap baik sebanyak 29,8% dan responden yang memiliki sikap kurang sebanyak 70,2%.

3. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki perilaku jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung purin adalah sebanyak 36,8% dan responden yang memiliki perilaku sering mengkonsumsi makanan yang mengandung purin adalah sebanyak 63,2%.

4. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki kekambuhan jarang adalah sebanyak 33,3% dan responden yang memiliki kekambuhan sering adalah sebanyak 66,7%.

5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap angka kekambuhan pada penderita Artritis Gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan dan terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita Artritis Gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan.


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan:

1. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang adalah sebanyak 24,6% , sedang 56,1% dan baik 19,3%.

2. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki sikap baik sebanyak 29,8% dan responden yang memiliki sikap kurang sebanyak 70,2%.

3. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki perilaku jarang mengkonsumsi makanan yang mengandung purin adalah sebanyak 36,8% dan responden yang memiliki perilaku sering mengkonsumsi makanan yang mengandung purin adalah sebanyak 63,2%.

4. Dari data responden didapatkan responden yang memiliki kekambuhan jarang

adalah sebanyak 33,3% dan responden yang memiliki kekambuhan sering adalah sebanyak 66,7%.

5. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap

angka kekambuhan pada penderita Artritis Gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan dan terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dan perilaku diet terhadap angka kekambuhan pada penderita Artritis Gout di Puskesmas Bumidaya Kecamatan Palas Lampung Selatan.


(2)

79

5.2Saran

1. Bagi Institusi Kesehatan

a. Diharapkan dapat melakukan peningkatan pengetahuan secara berkala bagi

tenaga kesehatan medis dan paramedis mengenai diet Artritis Gout.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

a. Diharapkan dokter dan konsultan gizi dapat secara langsung ikut berperan serta dalam pengendalian diet dengan melakukan pengawasan diet pada pasien dan senantiasa memberikan informasi terbaru mengenai diet Artritis Gout secara berkala.

3. Bagi pasien

a. Diharapkan memiliki pemahaman dan perilaku yang lebih baik mengenai penanganan dan pengelolaan Artritis Gout dengan terapi farmakologi maupun non-farmakologi terutama dalam menjalankan diet Artritis Gout. 4. Bagi penelitian selanjutnya

a. Diharapkan dapat melakukan penelitian dengan faktor-faktor resiko lain yang dapat menyebabkan artritis gout dan dengan sampel yang berbeda dan lebih besar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2005. Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Dan Asosiasi Dietsien Indonesia: Jakarta.

Anastesya W. 2009. Artritis Pirai (Gout) dan Penatalaksanaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana: Jakarta.

Andry, Saryono, Arif Setyo Upoyo. 2009. Analisis Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Kadar Asam Urat pada Pekerja Kantor di Desa Karang Turi,

Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Soedirman

(The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4 No.1 Maret 2009.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta

Azari RA. 2014. Journal Reading: Artritis Gout. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung: Semarang.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Jakarta.

Cerezo C, Ruilope LM. 2012. Uric acid and cardiovascular risk considered: an update. E-journal of the ESC Council for cardiology Practice, Volume No. 10 (21) Maret 2012.

Dahlan, M Sopyudin. 2009. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Salemba Medika: Jakarta

Dufton J. 2011. The Pathophysiology and Pharmaceutical Treatment of Gout. Pharmaceutical Education Consultants. Inc: Maryland.

Festy P, Rosyiatul AH, Aris A. 2009. Hubungan Antara Pola Makan dengan Kadar Asam Urat Darah pada Wanita Postmenopause di Posyandu Lansia


(4)

Wilayah Kerja Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya. Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya: Surabaya.

Haris KZ, et. Al. 2005. Artikel Penelitian: Pengetahuan dan Perilaku Ibu Rumah Tangga mengenai Arthritis Gout di Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat. Maj Kedokt Indon, Volum: 55, Nomor: 1, Januari 2005.

Helmi ZN. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Salemba Medika:

Jakarta.

Hensen, Tjokorda Raka Putra. 2007. Hubungan Konsumsi Purin dengan Hiperurisemia pada Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 1 Januari 2007.

Khanna D, et.al. 2012. American College of Rheumatology Guidelines for Management of Gout. Part 2: Therapy and Antiinflammatory Prophylaxis of Acute Gouty Arthritis. Arthritis Care & Research Vol. 64, No. 10, October 2012, pp 1447–1461.

Kumalasari TS, Saryono, Purnawan I. 2009. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Kadar Asam Urat Darah pada Penduduk Desa Banjaranyar. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 4, No.3, November 2009.

Lemeshow, S. 1997. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Gajah Mada. University Press: Yogyakarta.

Lugito NPH. 2013. Nefropati urat. CDK-204. 2013; 40(5): 330-6.

Manampiring AE, Bodhy W. 2011. Laporan Penelitian Itek dan Seni (Lembaga Penelitian): Prevalensi Hiperurisemia pada Remaja Obese di Kota Tomohon. Universitas Sam Ratulangi: Manado.

Noormindharwati L. 2014. Tahukah Anda Makanan Berbahaya untuk Asam Urat. Dunia Sehat: Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2003. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta.


(5)

Notoatmodjo, S. 2005. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta: Jakarta.

Notoatmojo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta.

Nursalam, 2001. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian

Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta.

Patel PR. 2007. Lecture Notes Radiologi. Edisi Kedua. Erlangga Medical Series: Jakarta.

Pratiwi VF. 2013. Gambaran Kejadian Asam Urat (Gout) Berdasarkan

Kegemukan dan Konsumsi Makanan (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat Kecamatan Kalisat Kabupaten Jember). Skripsi. Bagian Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember: Jember.

Reppie MR, Asdie HAH, Astuti H. 2007. Pengaruh Konseling Gizi dengan Buku Saku Diet pada Pasien Hiperurisemia Rawat Jalan di RSUD Noongan Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Volume 4, No.1, Juli 2007: 35 – 42.

Schleisinger N. 2009. Reports: Diagnosis of Gout: Clinical, Laboratory, and Radiologic Findings. The American Journal of Managed Care Vol. 11, No. 15.

Setyoningsih R. 2009.Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hiperurisemia pada pasien rawat jalan RSUP Dr. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: Semarang.

Sibuea WH, Panggabean MM, Gultom SP. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Rineka Cipta: Jakarta.

Sidauruk P. 2011. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Masyarakat dengan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Gout Arthritis di Kecamatan Tebing Tinggi Tahun 2010-2011. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan.


(6)

Syukri M. 2007. Asam Urat dan Hiperuresemia. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 40 No. 1 Maret 2007.

Widayati P. 2008. Efek Ekstrak Etanol Herba Meniran (Phyllanthus Niruri L.) terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Mencit Putih Jantan Galur Balb-C Hiperurisemia. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta: Surakarta.

Wisesa IBN, Suastik K. 2009. Hubungan antara Konsentrasi Asam Urat Serum dengan Resistensi Insulin pada Penduduk Suku Bali Asli di Dusun Tenganan Pegringsingan Karangasem. J peny dalam, volume 10 nomor 2 mei 2009: 110-122.

Zahara R. 2013. Artritis Gout Metakarpal dengan Perilaku Makan Tinggi Purin Diperberat oleh Aktifitas Mekanik Pada Kepala Keluarga dengan Posisi Menggenggam Statis. Medula, Volume 1, Nomor 3, Oktober 2013.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU IET RENDAH GARAM PASIEN HIPERTENSI DI PUSKESMAS BUMIDAYA, KECAMATAN PALAS, LAMPUNG SELATAN

4 13 67

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG POLA MAKAN TERHADAP SIKAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Pola Makan Terhadap Sikap Pencegahan Kekambuhan Artritis Gout Di Posyandu Lansia Bagas Waras Kartasura.

5 43 18

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG POLA MAKAN TERHADAP SIKAP PENCEGAHAN KEKAMBUHAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Pola Makan Terhadap Sikap Pencegahan Kekambuhan Artritis Gout Di Posyandu Lansia Bagas Waras Kartasura.

4 16 17

BAB I PENDAHULUAN Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Pola Makan Terhadap Sikap Pencegahan Kekambuhan Artritis Gout Di Posyandu Lansia Bagas Waras Kartasura.

0 3 7

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN KEPATUHAN DIET DIABETES MELITUS PADA PENDERITA Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Dengan Kepatuhan Diet Diabetes Melitus Pada Penderita Diabetes Melitus Di Desa Gonilan.

0 4 11

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN KEPATUHAN DIET DIABETES MELITUS PADA PENDERITA Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Dengan Kepatuhan Diet Diabetes Melitus Pada Penderita Diabetes Melitus Di Desa Gonilan.

0 2 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN STRES TERHADAP TINGKAT KEKAMBUHAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI PANTI WREDA DHARMA BAKTI Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Manajemen Stres Terhadap Tingkat Kekambuhan Pada Penderita Hipertensi di Panti Wre

0 4 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN STRES TERHADAP TINGKAT KEKAMBUHAN PADA PENDERITA Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Manajemen Stres Terhadap Tingkat Kekambuhan Pada Penderita Hipertensi di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta.

0 5 15

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA DEPRESI TENTANG DEPRESI DENGAN SIKAP MENCEGAH Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Depresi Tentang Depresi Dengan Sikap Mencegah Kekambuhan Depresi Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusukan Banjarsari Surakarta.

0 3 17

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA DEPRESI TENTANG DEPRESI DENGAN SIKAP MENCEGAH KEKAMBUHAN DEPRESI DI Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Depresi Tentang Depresi Dengan Sikap Mencegah Kekambuhan Depresi Di Wilayah Kerja Puskesmas Nusukan Banjarsa

0 1 16