Fenomena Pengemis Di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Mengenai Interaksi Simbolik Pengemis Di Hadapan Calon Dermawan Di Kota Bandung)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Menempuh Ujian Sarjana Pada

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh, Nina Gustiyani NIM. 41808090

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KONSENTRASI HUMAS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA B A N D U N G


(2)

(3)

iv Oleh: Nina Gustiyani NIM. 41808090

Penelitian ini di bawah Pembimbing : Olih Solihin., S.Sos., M.Si

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana Interaksi Simbolik Pengemis di Hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung. Untuk menjawab masalah diatas, maka diangkat sub fokus-sub fokus penelitian berikut ini : Konsep Diri, Proses Komunikasi, Kepribadian dan Interaksi Simbolik. Sub fokus tersebut untuk mengukur fokus penelitian, yaitu : Interaksi Simbolik pengemis dihadapan calon dermawan.

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan studi fenomenologi, Subjek penelitiannya adalah pengemis. Informan dipilih dengan teknik purposive sampling, untuk informan utama penelitian berjumlah 3 (tiga) orang dari pengemis, dan untuk memperjelas serta memperkuat data adanya informan kunci yang berjumlah 2 (dua) orang. Data penelitian diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dokumentasi, studi pustaka dan penelusuran data online. Adapun teknik analisis data dengan mereduksi data, mengumpulkan data, menyajikan data, menarik kesimpulan, dan evaluasi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa : 1. Konsep Diri didasari atas faktor baik secara biologis maupun nonbiologis, serta faktor-faktor lingkungan maupun pertemanan sebagai faktor pendorong, 2. Proses Komunikasi dengan gerakan tubuh yang ditunjukkan sebagai makna belas kasihan dan arti status dan kedudukan pengemis, 3. Kepribadian, menampilkan penampilan sebagai identitas diri, 4. Interaksi Simbolik pengemis yang dikelola untuk menciptakan suatu kesan orang-orang yang melihatnya dari simbol-simbol.

Kesimpulan Interaksi Simbolik pengemis menunjukkan suatu penyampaian pesan yang dimaknai bersama dengan tujuan yang spesifik dari pengemis untuk di belas kasihani, diberi bantuan, dan mendapatkan simpati.

Saran untuk pengemis tidak adanya kepura-puraan dan memanfaatkan program pemerintah, untuk masyarakat memberi karena keikhlasan bukan simpati serta mendukung program pemerintah dan mentaati peraturannya, sedangkan untuk pemerintah lebih mempertegas peraturan serta bekerja sama dengan pihak swasta atau pengrajin dan seniman dalam mengurangi pengemis, untuk peneliti selanjutnya lebih spesifik dan kaya akan referensi sebagai literatur.


(4)

iv By: Nina Gustiyani NIM. 41808090

This research under Guidance: Olih Solihin., S.Sos., M.Si

This research aimed to find out how Symbolic Interaction Philanthropic Beggar in Front candidate in Kota Bandung. To answer the above problem, then the following sub-focus research was conducted: Self Concept, Process, Communication, Personality and Symbolic Interaction. Sub focus is to measure the focus of research, namely: Symbolic Interactions beggar in front of the candidate philanthropy.

This is a qualitative research approach to the study of phenomenology, this research subjects is a beggar. Informants selected by purposive sampling techniques, the key informant study of 3 (three) people from beggars, and to clarify and to reinforce the key informant data of the 2 (two) people. Research data obtained through in-depth interviews, observation, documentation, and library study and data online search. As data analysis techniques with data reduction, data collection, data presentation, draw conclusions, and evaluation.

Research results show that: 1. Self-concept is based on both biological factors and non-biological, and the factors within or friendship as a driving factor, 2. Communication process with the movement of the body is shown as a means of compassion and sense of status and position of beggars, 3. Personality, featuring appearances as identity cards, 4. Symbolic Interactions beggar who managed to create an effect of those who view it from the symbols.

In conclusions symbolic Interactions beggar indicate a perceived delivery of messages with the specific purpose of the beggar to the mercy, aid, and sympathy.

For advice, beggars not to pretend and not take advantage of the hypocrisy of the government program. As for the people, give charity because sincerity not sympathy and support government programs and obey the rules. Whereas the government, asserts the rules and working with the private sector or craftsmen and artists to create program of reducing beggar. For researchers, further more specific.


(5)

vi

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rakhmat dan karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini sebagaimana mestinya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Salam dan shalawat tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Tugas ini berisi penelitian yang dilakukan selama satu bulan di Kota Bandung dengan judul “Fenomena Pengemis di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Mengenai Interaksi Simbolik Pengemis di Hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung)”. Hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam penelitian telah dilewati sebagai suatu tantangan yang seharusnya dijalani, di samping sebagai pemenuhan kewajiban yang memang semestinya dilaksanakan.

Dalam penelitian ini, peneliti tidak sendirian, banyak pihak yang membantu hingga penelitian ini selesai, untuk itu pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan do’a dan restunya, kasih sayang, cinta, perhatian, motivasi, dan limpahan materi yang tidak akan pernah terbalas hingga kapanpun.


(6)

vii

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia atas segala dukungan khususnya dalam hal memberi izin dan mensahkan skripsi ini.

2. Yth. Bapak Drs. Manap Solihat, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations FISIP Unikom atas ilmu, motivasi serta nasehat kepada peneliti.

3. Yth. Ibu Melly Maulin P S. Sos, M.si selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public Relations FISIP Unikom, atas ilmu, perhatian dan pengertian kepada peneliti.

4. Yth. Bapak Sangra Juliano P, S.I.Kom selaku dosen wali yang selalu sabar menghadapi sikap anak didiknya, untuk motivasi, nasehat, untuk motivasi, waktu dan tempat yang selalu diluangkan dan diberikan untuk anak didiknya.

5. Yth. Bapak Olih Solihin, S.Sos., M.I.Kom selaku dosen pembimbing yang selalu sabar menghadapi sikap anak bimbingannya, untuk motivasi, nasehat, untuk motivasi, waktu dan tempat yang selalu diluangkan dan diberikan untuk peneliti.

6. Yth. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi dan Public

Relations FISIP Unikom baik dalam lingkungan kampus yang sempat

memberikan ilmu kepada peneliti sehingga penulis siap dengan tantangan baru nantinya.


(7)

viii

8. Yts. Adik-adikku, Ani, Selly dan Ayu, serta seluruh Keluarga Besar yang ada di Bandung dan Tasikmalaya yang selalu memberikan do’a, masukan dalam penulisan skripsi ini serta keceriaan, dorongan, dan semangat kepada peneliti.

9. Yts. Mochamad Ramdani yang selalu menjadi tempat untuk menghilangkan rasa penat, menjadi tempat curhat, memberi semangat dan meluangkan waktunya kepada peneliti.

10.Yts. Para Bulu: Mama mey, Emak ovi, Ibu ika, Ateu via, Ica icut, Neng Oca, Uwi yang selalu menjadi tempat untuk menghilangkan rasa penat dan menjadi tempat curhat. Serta kosan Emak ovi, Kosan Ateu dan rumah Icut yang selalu dijadikan tempat untuk berkumpul dan berbagi satu sama lain. 11.Terakhir, untuk semua orang yang sempat bertemu di beberapa kesempatan

selama proses skripsi ini juga banyak memberikan bantuan dan semangat yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, dimanapun kalian berada semoga Allah SWT membalas semua ketulusan yang telah telah kalian berikan.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih diperlukan penyempurnaan dari beberapa sudut, baik dari segi isi maupun pemakaian kalimat dan kata-kata yang tepat, oleh karena itu, peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.


(8)

ix Wabilahitaufik walhidayah,

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Bandung, Juli 2012 Peneliti

Nina Gustiyani NIM 41808090


(9)

x

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.2.1 Pertanyaan Makro ... 10

1.2.2 Pertanyaan Mikro ... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 12

1.4.2.1 Bagi Peneliti ... 12


(10)

xi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi ... 14

2.1.1 Definisi Komunikasi ... 14

2.1.2 Komponen Komunikasi ... 18

2.1.3 Proses Komunikasi ... 18

2.1.4 Karakteristik Komunikasi ... 19

2.1.5 Fungsi Komunikasi ... 20

2.1.6 Tujuan Komunikasi ... 22

2.1.7 Unsur-Unsur Komunikasi ... 24

2.1.8 Sifat Komunikasi ... 26

2.2 Tinjauan Tentang Fenomenologi ... 27

2.2.1 Pengertian Fenomenologi ... 27

2.2.2 Keragaman Fenomenologi ... 28

2.3 Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik ... 28

2.3.1 Perkembangan Teori Interaksi Simbolik ... 31

2.4Tinjauan Tentang Pengemis ... 34

2.5 Tinjauan Tentang Calon Dermawan ... 34

2.6 Kerangka Pemikiran ... 35

2.6.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 36


(11)

xii

3.1.1.1 Berdirinya Kabupaten Bandung ... 45

3.1.1.2 Berdirinya Kota Bandung ... 53

3.1.2 Asal Mula Pengemis ... 58

3.1.3 Pengertian Pengemis ... 69

3.1.4 Kelompok Pengemis ... 70

3.1.5 Faktor-Faktor Menjadi Pengemis ... 72

3.1.6 Ekses-ekses Yang Timbul Karena Adanya Pengemis ... 75

3.1.7 Pengemis di Kota Bandung ... 75

3.2 Metode Penelitian ... 76

3.2.1 Desain Penelitian ... 76

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data ... 78

3.2.2.1 Studi Pustaka ... 78

3.2.2.2 Studi Lapangan ... 80

3.2.3 Teknik Penentuan Informan ... 83

3.2.3.1 Informan Penelitian ... 83

3.2.3.1Informan Kunci ... 84

3.2.4 Teknik Analisa Data ... 84

3.2.4.1 Uji Keabsahan Data ... 85

3.2.5 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 87

3.2.5.1 Lokasi Penelitian ... 87


(12)

xiii

4.1.2 Informan Kunci ... 95

4.2 Analisa Hasil Penelitian ... 96

4.2.1 Konsep diri Pengemis ... 96

4.2.2 Proses Komunikasi Pengemis ... 103

4.2.3 Kepribadian Pengemis ... 107

4.2.4 Interaksi Simbolik ... 111

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 116

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 122

5.2 Saran ... 123

5.2.1 Saran Untuk Pengemis ... 123

5.2.2 Saran Untuk Masyarakat ... 124

5.2.3 Saran Untuk Peneliti Selanjutnya ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 125

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 129


(13)

xiv

Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian ... 83

Tabel 3.2 Daftar Kunci Informan ... 84

Tabel 3.3 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 88

Tabel 4.1 Jadwal Wawancara Informan (Pengemis) ... 90


(14)

xv

Gambar 3.1 Komponen-Komponen dalam analisis data kualitatif ... 85 Gambar 4.1 Interaksi Simbolik Pengemis di hadapan Calon Dermawan ... 121


(15)

xvi

Lampiran 3 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti

Seminar Usulan Penelitian ... 131

Lampiran 4 Lembar Revisian Usulan Penelitian ... 132

Lampiran 5 Surat Rekomendasi Pembimbing Untuk Mengikuti Sidang Sarjana ... 133

Lampiran 6 Pengajuan Pendaftaran Ujian Sidang Sarjana ... 134

Lampiran 7 Lembar Revisian Skripsi ... 135

Lampiran 8 Surat Pengantar Wawancara ... 136

Lampiran 9 Identitas Key Informan ... 137

Lampiran 10 Pedoman WawancaraPenelitian ... 139

Lampiran 11 Hasil Wawancara ... 142


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pengemis perkotaan adalah fenomena yang mulai dipandang sebagai masalah serius, terutama dengan semakin banyaknya permasalahan sosial ekonomi dan politik yang ditimbulkannya. Modernisasi dan industrialisasi sering kali dituding sebagai pemicu, diantara beberapa pemicu yang lain, perkembangan daerah perkotaan secara pesat mengundang terjadinya urbanisasi dan kemudian komunitas-komunitas kumuh atau daerah kumuh yang identik dengan kemiskinan perkotaan.

Salah satu perkotaan yang diminati oleh orang-orang desa untuk didatangi yaitu Kota Bandung. Karena Kota Bandung adalah salah satu kota yang bisa menjanjikan suatu pekerjaan yang layak karena orang-orang Bandung mempunyai tingkat keramahan yang cukup tinggi serta di Kota Bandung pun terdapat tempat-tempat wisata, perkantoran, dan gedung-gedung yang bisa menawarkan pekerjaan yang layak.

Kemudian dengan adanya krisis berkepanjangan yang tak kunjung menemui jalan terang untuk keluar dari krisis, telah membuat pengemis menjadi salah satu profesi yang paling favorit dijalankan oleh orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, mereka yang tak kunjung mendapat pekerjaan, ataupun mereka yang menjadi korban pemberhentian kerja sepihak


(17)

karena perusahaan mereka yang tak mampu lagi membiayai gaji pegawai yang terlalu membludak. Bahkan anak-anak mereka pun juga terpaksa harus terseret dalam mata pencaharian ini. Hingga mereka pun menemui jalan buntu untuk terus mencari penghasilan agar mereka dapat terus sekadar dapat menyambung hidup.

Tetapi kenyataannya dengan terlalu banyaknya orang-orang daerah yang datang ke Bandung serta susah mendapatkan pekerjaan maka sebagian dari mereka memilih untuk bekerja sebagai pengemis karena pekerjaan ini sangat mudah dan bisa mendapatkan uang untuk kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini bahkan dijadikan mereka sebagai “profesi”.

Pengemis dalam pandangan masyarakat umum, adalah manusia tidak

berguna, bahkan dianggap “sampah masyarakat”, seperti dilaporkan

hasil penelitian Bappeda DKI Jakarta. Pada penelitian tersebut ditunjukkan bahwa pengemis diperkotaan pada umumnya memiliki harta di desanya, tapi mereka ingin mencari nafkah dengan cara mudah. Mereka berlatar belakang pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar dan lebih banyak yang tidak sekolah; bertempat tinggal liar dan pada lingkungan yang tidak sehat; tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP); mengkonsumsi makanan alakadarnya, dan mobilitas spasial rendah (hanya dalam kota). Selain itu mereka memiliki tingkat partisipasi budaya yang juga rendah, aspirasi dan aktivitas politik sangat rendah, dan berorientasi jangka pendek, serta potensi sumber daya manusia diberi sebutan “sampah masyarakat”. (Engkus, Bandung : April 2009)

Pengemis adalah sebutan bagi “penyandang masalah kesejahteraan

sosial”, diantara sebutan-sebutan lain, seperti gelandangan, anak jalanan, anak

terlantar, balita terlantar,dan sebagainya. Selama ini masalah sosial tersebut tidak kunjung dapat diatasi, atau paling tidak dikurangi. Seiring dengan


(18)

kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan secara ekonomi maupun sosial, jumlah pengemis tidak kunjung surut, malah semakin merebak.

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Seharusnya pengemis adalah orang yang benar-benar dalam kesulitan dan mendesak karena tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia tidak punya suatu keahlian yang memadai, bukan karena malas untuk mencari mata pencaharian layak lain.

Para pengemis boleh jadi memakai baju kumal dan compang camping, tangan atau kaki diperban, jalan tersoak-soak, suara memelas, dan sebagainya, yang disengaja diciptakan untuk menarik dan “menjatuhkan hati” dermawan untuk memberikan sedekah. Tidak jarang juga mereka memanfaatkan keterbatasan fisik yang sesungguhnya (misalnya karena tuna netra) untuk mendukung penampilan dalam menjalankan “profesi” mereka. Akan tetapi bukan tidak mungkin bahwa diantara mereka terdapat pengemis-pengemis yang menampilkan front stage untuk menciptakan kesan seperti yang mereka harapkan, tetapi mereka harus mengalami konflik batin dengan penampilan mereka di belakang itu (back stage). Sebab diantara pengemis ada yang juga pelajar, ibu rumah tangga, atau bekerja di sawah ladang yang terpaksa mengemis.

Konsep diri menurut William D Brooks yang dikutip oleh Rakhmat dalam buku psikologi komunikasi adalah:


(19)

“Those physical, social and phsyccological perceptions of ourselves that we have derived from experience and our interaction with others (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis. (Rakhmat, 2009:99)

Dilihat dari pengertian konsep diri, seorang pengemis sadar akan jenis kelaminnya, bahkan merekapun (pengemis) mengetahui benar bagaimana mereka berpenampilan. Meskipun mereka (pengemis) menyadari bahwa penampilan mereka yang sperti itu yaitu kotor atau compang-camping, akan tetapi mereka (pengemis) menerima diri mereka (pengemis) dengan dengan penuh kepercayaan.

Dalam hal ini, akan muncul proses yaitu proses komunikasi. Proses komunikasi adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh seorang komunikator kepada komunikan, pesan itu bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lain. Dimana pengemis sebagai komunikator yaitu orang yang menyampaikan pesan sedangkan yang menjadi komunikannya ialah calon dermawannya yaitu orang yang menerima pesan dari seorang komunikan (pengemis).

Kepribadian seseorang sudah ada dalam diri masing-masing, tetapi pemikiran-pemikiran yang muncul dari luarpun akan membentuk kepribadian seseorang. Begitu juga dengan pengemis. Begitu pula dengan pengemis yang juga mempunyai kepribadian, dan kepribadian tersebut juga bisa dipengaruhi


(20)

oleh orang-orang yang ada disekitar mereka (pengemis) termasuk calon dermawan.

Pengemis memang beragam, ada yang menjadikan itu sebagai profesi sehingga mereka mengerjakan dengan sungguh-sungguh. Ada yang malas bekerja, tidur ketika ingin tidur, mengemis ketika tidak ada uang untuk membeli makanan dan marah-marah apabila diberi uang recehan di bawah nominal Rp 500,00.

Selain itu sebetulnya pemberian uang pada pengemis/pengamen/pengelap kaca mobil merupakan pelanggaran peraturan daerah setempat. DKI Jakarta mempunyai Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum pasal 40 c yang menyebutkan bahwa setiap orang atau badan dilarang memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen dan pengelap mobil. Pelanggar pasal tersebut dapat dikenai ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.1

Mengemis ternyata juga tidak hanya dapat dilakukan sendiri. Mereka dapat melakukannya dengan keluarga ataupun teman mereka. Seperti misalnya mereka yang buta, kebanyakan selama mengemis mereka dibimbing dan dituntun saat berjalan oleh rekan mereka yang menemani.

Mengemis pun saat ini sudah menjadi pekerjaan di setiap umur. Dari mulai anak-anak, hingga mereka yang tua renta menjalani profesi yang sama, mengemis. Bahkan tak jarang sekarang kita temui segerombolan pengemis

1

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/02/23/jangan-beri-uang-pada-pengemis/


(21)

anak-anak ataupun ibu-ibu yang mengemis sambil menggendong anak berusia balita.

Terkadang masyarakat tidak suka dengan keberadaan pengemis. Bukan karena calon dermawan tidak ingin berbagi rezeki dengan mereka tetapi beberapa pengemis ada yang menggunakan hasil minta-minta mereka dengan hal-hal yang tidak penting, seperti mengkonsumsi narkoba, minuman beralkohol dan lain-lain. Adapula pengemis yang meminta sedekahnya dengan cara memaksa dan jika si pengemis tidak diberi uang maka si pengemis pun akan marah-marah sendiri karena kecewa tidak diberi uang.

Pengemis juga sering dituduh sebagai manusia yang mengganggu ketenangan manusia lain dan bahkan meresahkan, seperti diungkapkan pada laporan penelitian Waysima:

“Dari sekian banyak fenomena yang ditunjukkan masyarakat yang sedang dilanda krisis di berbagai macam sisi kehidupan, ada masalah sikap dan perilaku anak-anak usia sekolah yang terpaksa atau dipaksa kehidupan untuk berlaku sebagai „pengamen‟ atau pengemis terutama di angkot di Kota Bogor (diperkirakan juga terjadi di kota-kota lain) yang menarik untuk dibahas. Bila pada awalnya mereka terpaksa atau dipaksa melakukannya karena kehidupan ekonomi keluarganya mengalami perubahan, maka perlahan-lahan kondisi kehidupan yang tidak juga menberikan cahaya perbaikan membawa mereka untuk terbiasa dengan kehidupan sebagai „pengamen‟ atau pengemis bahkan mungkin sebagian dari mereka telah menikmatinya. Kenikmatan yang diperoleh telah memadamkan semangat untuk berusaha, semangat untuk hidup lebih baik, semangat untuk mau bekerja apalagi bekerja lebih. Keluarga lebih membuka peluang bagi anak-anaknya untuk mau bekerja apalagi bekerja lebih. Keluarga lebih membuka peluang bagi anak-anaknya untuk bekerja sebagai pengemis, pengamen di angkot dan di kalanan daripada menyediakan waktu untuk pergi sekolah. Kemampuan anak menghasilkan uang dari kegiatan ngamen atau mengemis membuat orangtua enggan menyekolahkan anak-anaknya.” (Engkus, Bandung, April : 2009)


(22)

Bahkan Hal ini menjadi dilema yang berkepanjangan. Pemerintah sendiri juga sudah menetapkan dua aturan pokok dalam KUHP yang mengatur tentang pengemis. Fakta berbicara bahwa perbuatan mengemis dan menggelandang adalah perbuatan pidana dan terancam mendapatkan hukuman penjara paling lama 6 (enam) minggu (untuk mengemis sendirian) dan 3 (tiga) bulan penjara untuk perbuatan menggelandang. Adapun pasal-pasal tersebut adalah

Pasal 504.

(1) Barangsiapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.

(2) Pengemisan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (KUHP 45.)

Pasal 505.

(1) Barangsiapa bergelandangan tanpa mempunyai mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

(2) Pergelandangan yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang atau lebih, yang masing-masing berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. (KUHP 35.)2

Melihat dari undang-undang di atas, tampak cukup berat dan banyak apabila pemerintah harus melaksanakan dan menerapkan aturan tersebut. Namun, pada kenyataannya, aturan ini pun tidak dilaksanakan dan diterapkan oleh pemerintah.

Komunikasi tentunya menjadi hal yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik konteksnya untuk mengobrol dengan orang lain, berinteraksi dengan orang lain bahkan menyatukan suatu pandangan. Melalui komunikasi kita menjadi tahu apa yang orang lain inginkan dan pikirkan.

2

http://mahrunnisa.wordpress.com/2009/04/16/fenomena-pengemis/ dikutip pada


(23)

Komunikasi yang terjalin tentunya komunikasi yang efektif dimana pesan yang kita sampaikan tepat sasaran dan tidak berbelit-belit, partner berbicara kita mengerti apa yang kita bicarakan dan mereka memberikan feedback dan kita mengharapkan tidak terjadinya kesalah pahaman, pertengkaran serta kondisi sosial.

Karena pengemis adalah manusia dan manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, serta manusia tidak bisa hidup sendirian dan harus hidup bersama dengan manusia lainnya, baik demi kelangsungan hidupnya, keamanan hidupnya, maupun dari keturunannya. Jelasnya, manusia harus hidup bermasyarakat. Dalam pergaulan hidup manusia dimana masing-masing individu satu sama lain beranekaragan itu terjadi interaksi, saling mempengaruhi demi kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Maka dari itu manusia membutuhkan suatu cara yang disebut komunikasi untuk berinteraksi dengan sesamanya baik secara personal, kelompok, organisasi, massa, maupun lintas budaya.

Berbagai kajian dapat digunakan untuk mengungkapkan fenomena pengemis. Salah satunya adalah kajian komunikasi. Suatu kehidupan yang unik dan dapat menjadi suatu budaya yang khas, dapat ditinjau dari proses interaksi simbolik di antara mereka. Para pengemis yang terikat dan berinteraksi dengan sesamanya dapat menunjukkan karakteristik yang unik dan berinteraksi dengan sesamanya dapat menciptakan dunianya sendiri, struktur sosialnya sendiri, termasuk dunia simbol dan proses komunikasinya.


(24)

Pendekatan interaksi simbolik sebagai suatu pendekatan komunikasi dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana fenomena pengemis berinteraksi dengan calon dermawannya. Apa yang ditampilkan oleh pengemis untuk mendorong calon dermawan menyerahkan sedekahnya, melalui interaksi yang terjadi penuh dengan simbol-simbol yang khas.

Salah satu interaksi simbolik yang pengemis lakukan yaitu

Pengungkapan melalui raut muka pengemis misalnya, mengungkapkan bentuk kesusahan yang dialaminya bahkan menunjukkan penderitaan yang bertubi-tubi.

Engkus Kuswarno dalam bukunya metode penelitian komunikasi

fenomenologi, mengatakan bahwa: “Ekspresi wajah memelas, sedih, kuyu tampaknya sengaja dilakukan pengemis untuk memberi kesan dia sedang

kesusahan dan karenanya layak untuk diberi sedekah”.(Kuswarno, 2009:226) Dari wacana di atas yang sudah dipaparkan, dapat ditarik sebuah permasalahan tentang interkasi simbolik, konsep diri, proses komunikasi dan kepribadian dari pengemis. Interaksi simbol apa saja yang mereka tampilkan sebagai pengemis, interaksi simbol yang bagaimana yang mereka siratkan dalam penampilan mereka dan bagaimana kepribadian dari pengemis. Mengangkat pembahasan tentang pengemis menarik untuk diteliti karena pengemis merupakan sebuah fenomena yang ada dimasyarakat.

Harapan peneliti dalam mengangkat masalah ini kedalam penelitian, karena pengemis merupakan suatu fenomena yang menarik dan ada dalam realitas kehidupan ini, fenomena interaksi simbolik tersebut diharapkan dapat mengetahui cara berkomunikasi terutama secara simbolik yang dilakukan


(25)

pengemis, sehingga bisa membuat kesan positif dihadapan dermawan yang memberikan sebagian dari rezekinya. Karena mempelajari interaksi simbolik tidak ada habisnya, sehingga dari permasalahan ini diharapkan dapat mengetahui lebih jauh dan lebih mendalam.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang penelitian diatas, maka peneliti merumuskan judul penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Pertanyaan Makro

“Bagaimana Interaksi Simbolik pengemis di hadapan Calon

Dermawan di Kota Bandung” ?.

1.2.2 Pertanyaan Mikro

1. “Bagaimana Konsep Diri pengemis di hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung” ?.

2. “Bagaimana Proses Komunikasi pengemis di hadapan Calon

Dermawan di Kota Bandung” ?.

3. “Bagaimana Kepribadian pengemis di hadapan Calon Dermawan

di Kota Bandung” ?.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Pada penelitian ini pun memiliki maksud dan tujuan yang menjadi bagian dari penelitian sebagai ranah kedepannya, adapun maksud dan tujuannya sebagai berikut:


(26)

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih jelas tentang “Interaksi simbolik Pengemis di hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung”.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1.3.2.1 Tujuan Makro

“Untuk mengetahui Interaksi Simbolik Pengemis di hadapan

Calon Dermawan di Kota Bandung.”

1.3.2.2 Tujuan Mikro

1. Untuk mengetahui Konsep Diri Pengemis di hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung.

2. Untuk mengetahui Proses Komunikasi Pengemis di hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung.

3. Untuk mengetahui Kepribadian Pengemis di hadapan Calon Dermawan di Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut :


(27)

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Kegiatan penelitian ini berguna untuk mengembangkan kajian keilmuan yang berhubungan dengan masalah penelitian tentang Ilmu Komunikasi secara umum dan Interaksi simbolik secara khusus.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Adapun kegunaan penelitian ini secara praktis, diharapkan bisa memberikan suatu masukan atau referensi tambahan yang dapat diaplikasikan dan menjadi pertimbangan.

Kegunaan secara praktis pada penelitian ini, sebagai berikut:

1.4.2.1 Bagi peneliti

Penelitian ini berguna bagi peneliti sebagai aplikasi ilmu mengenai interaksi simbolik yaitu kajian Fenomenologi.

1.4.2.2 Bagi Akademik

Penelitian yang dilakukan berguna bagi mahasiswa UNIKOM secara umum dan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi khususnya sebagai literature terutama bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dibidang dan kajian yang sama. 1.4.2.3 Bagi Masyarakat dan Pengemis

Pada kegunaan penelitian ini dapat diaplikasikan sebagai berikut:


(28)

1.4.2.3.1 Bagi Masyarakat

Diharapkan dapat berguna sebagai informasi tentang interaksi simbolik yang secara khusus dilakukan oleh pengemis sebagai subjek pada penelitian ini.

1.4.2.3.2 Bagi Pengemis

Diharapkan bisa menjadi evaluasi bagi pengemis, dalam menyikapi realitas sosial yang ada, bukan menyudutkan diri mereka sebagai gambaran yang buruk. Serta interaksi simbolik yang bisa berjalan dengan lancar.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Tentang Komunikasi

Dalam kehidupan manusia, komunikasi memiliki peran sentral bagi keberlangsungan, keberdayaan, esensi dan eksistensi manusia. Melalui komunikasi manusia dapat mengekspresikan dan mengapresiasikan dirinya dalam lingkup interaksi sosial dengan sesamanya. Tanpa komunikasi, manusia tidak dapat menginterpretasikan kehendak dirinya dan kebutuhan hidupnya dengan orang lain. Jadi, komunikasi adalah bagian dari kehidupan manusia.

Manusia juga tidak luput dari sosialisasi karena manusia adalah makhluk sosial, dan membahas ilmu komunikasi maka sangatlah makro didalamnya. Sebagaimana Onong Uchjana Effendy dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek ini, menyatakan : “Ilmu Komunikasi sifatnya interdisipliner atau multidisipliner, ini disebabkan oleh objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama termasuk kedalam ilmu sosial atau

ilmu kemasyarakatan“. (Effendy, 2004:3)

2.1.1 Definisi Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya

14


(30)

dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapan.

Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. (Effendy, 2004 : 9)

Pengertian komunikasi di atas adalah pengertian komunikasi sederhana yang ditinjau dari asal katanya. Masih banyak terdapat pengertian komunikasi yang didefinisikan oleh ahli-ahli lainnya. Sebuah definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) yang dikutip oleh Hafied Cangara membuat definisi bahwa:

Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antarsesama manusia (2) melalui pertukaran informasi (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. (Cangara dalam Gusnavianti Vivien, 2005:18-19).

Everett M. Rogers seorang pakar Sosiologi pedesaan Amerika Serikat yang telah banyak memberi perhatian pada studi riset komunikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat definisi


(31)

bahwa: “Komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka” (Cangara, 1998:18). Definisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) sehingga melahirkan suatu definisi baru yang menyatakan bahwa :

“Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih

membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling

pengertian yang mendalam” (Cangara, 1998:19).

Rogers berusaha menspesifikasi hakikat suatu hubungan dengan adanya suatu pertukaran informasi (pesan), di mana ia menginginkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta kebersamaan dalam menciptakan saling pengertian dari orang-orang yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi.

Dari beberapa definisi yang disampaikan para ahli dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses di mana seseorang (komunikator) menyatakan pesan yang dapat berupa gagasan untuk memperoleh “commones” dengan orang lain (komunikate) mengenai objek tertentu di mana komunikate merubah tingkah lakunya sesuai dengan yang diharapkan komunikator. Kalau di antara dua orang yang berkomunikasi itu terdapat persamaan pengertian, artinya tidak ada perbedaan terhadap pengertian tentang sesuatu, maka terjadilah situasi yang disebut kesepemahaman. (Cangara dalam Gusnavianti Vivien, 2005:19). Adapun menurut Cherry dalam Stuart (1983) sebagaimana dikutip dalam buku Cangara, menyatakan:


(32)

“Istilah komunikasi berpangkal pada pendekatan latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara 2 orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari akar kata dalam bahasa latin Communico yang artinya

membagi”. (Cangara, 2005 : 18)

Sedangkan menurut Berger dan Chaffe (1983:17), sebagaimana yang dikutip dalam buku Wiryanto, menerangkan bahwa Ilmu Komunikasi adalah :

Communication science seeks to understand the production, processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with production, processing and effect“ (Ilmu komunikasi itu mencari untuk memahami mengenai produksi, pemrosesan dan efek dari simbol serta sistem signal, dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hokum generalisasi guna menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya). (Wiryanto, 2004:3) Berbeda dengan definisi Carl I. Hovland, sebagaimana yang dikutip dalam buku Widjaja, yaitu :

“Ilmu Komunikasi adalah suatu sistem yang berusahan menyusun prinsip-prinsip dalam bentuk yang tepat mengenai hal memindahkan penerangan dan membentuk pendapat serta

sikap-sikap”. Carl I. Hovland selanjutnya mengemukakan:

Komunikasi adalah proses dimana seorang individu mengoperkan perangsang untuk mengubah tingkah laku individu-individu yang lain (Widjaja, 2000:15)

Maka, dalam definisinya mengenai komunikasi itu sendiri, Hovland menyatakan proses komunikasi itu ada suatu rangsangan-rangsangan yang secara sadar atau tidak dapat mengubah dari apa yang dilihat atau dirasakan oleh komunikan. Sehingga komunikasi bukan hanya penyampaian pesan saja melainkan ada perubahan-perubahan yang menjadi tujuan dari pesan yang disampaikan tersebut.


(33)

2.1.2 Komponen Komunikasi

Komunikasi itu sendiri memiliki komponen-komponen yang terdapat pada komunikasi. Dari pengertian komunikasi sebagaimana diutarakan diatas tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi.

Menurut Onong Uchjana Effendy dalam bukunya Dinamika Komunikasi, komponen-komponen komunikasi tersebut terdiri sebagai berikut :

1. Komunikator : Orang yang menyampaikan pesan 2. Pesan : Pernyataan yang didukung oleh lambang 3. Komunikan : Orang yang menerima pesan

4. Media : Sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya 5. Efek : Dampak sebagai pengaruh dari pesan.

(Effendy, 2000:6)

Maka, komunikasi merupakan proses dimana tak luput dari siapa yang menyampaikan, pesan apa, kepada siapa, menggunakan media apa, dan efek yang diperoleh. Komponen tersebut menjalankan prosesnya dengan berbagai cara untuk menyampaikan suatu gagasannya.

2.1.3 Proses Komunikasi

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan).


(34)

Menurut Onong Uchjana Effendy, Proses komunikasi dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni :

1. Proses komunikasi secara primer, Proses ini adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.

2. Proses komunikasi secara sekunder, adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama.

Seseorang menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. (Effendy, 2004:11&16)

2.1.4 Karakteristik Komunikasi

Proses penyampaian pesan atau komunikasi memiliki karateristik tersendiri, menurut Sasa Djuarsa Sendjaja dalam bukunya diperoleh gambaran bahwa pengertian komunikasi memiliki karakterisitik komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi adalah suatu proses, Artinya bahwa komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan sama lainnya dalam kurun waktu tertentu.

2. Komunikasi dalam upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan, Komunikasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar, disengaja serta sesuai dengan tujuan atau keinginan dari pelakunya.

3. Komunikasi menurut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku yang terlibat, Kegiatan komunikasi akan berlangsung baik, apabila pihak-pihak yang berkomunikasi (dua orang atau lebih)


(35)

sama-sama ikut terlibat dan sama-sama mempunyai perhatian yang sama terhadap topik pesan yang dikomunikasikan.

4. Komunikasi bersifat simbolis, Dimana komunikasi pada dasarnya merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang.

5. Komunikasi bersifat transaksional, Pada dasarnya menuntut dua tindakan: memberi dan menerima. Dua tindakan tersebut tentunya pula dilakukan secara seimbang atau proporsional oleh masing-masing, pelaku yang terlibat dalam komunikasi.

6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu, Komunikasi menembus faktor waktu dan ruang maksudnya bahwa para peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus hadir pada waktu serta tempat yang sama. (Sendjaja, 2004:1.13-1.16)

2.1.5 Fungsi Komunikasi

Begitu pentingnya komunikasi dalam hidup manusia, sehingga komunikasi itu sendiri memiliki fungsi-fungsi dalam kehidupan manusia. Maka menurut Harold D. Lasswell dalam bukunya Cangara, mengemukakan bahwa fungsi komunikasi antara lain :

1. Manusia dapat mengontrol lingkungannya

2. Beradaptasi dengan lingkungan tempat mereka berada

3. Melakukan transformasi warisan sosial kepada generasi berikutnya. (Cangara, 1998:59)

Berbeda dengan Onong Uchjana Effendy dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, fungsi komunikasi terdiri sebagai berikut:

1. Menyampaikan Informasi (to inform) 2. Mendidik (to educate)

3. Menghibur (to entertain)

4. Mempengaruhi (to influence). (Effendy, 2004:8)

Adapun dalam buku Ilmu Komunikasi oleh Widjaja, komunikasi dipandang dalam arti luas sebagai pertukaran berita dan pesan, tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data,


(36)

fakta dan ide maka fungsinya dalam setiap sistem sosial adalah sebagai berikut :

1. Informasi, pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, penyebaran berita, data, gambar, fakta, pesan, opini, dan komentar yang dibutuhkan agar dapat dimengerti dan bereaksi secara jelas terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

2. Sosialisasi (pemasyarakatan), penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi sosialnya dan dapat aktif di dalam masyarakat.

3. Motivasi, menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan pilihan dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar.

4. Perdebatan dan diskusi, menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik, menyediakan bukti-bukti relevan yang diperlukan untuk kepentingan umum agar masyarakat lebih melibatkan diri dengan masalah yang menyangkut kepentingan bersama. 5. Pendidikan, pengalihan ilmu pengetahuan dapat mendorong

perkembangan intelektual, pembentukan watak, serta membentuk keterampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan.

6. Memajukan kehidupan, menyebarkan hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, mengembangkan kebudayaan dengan memperluas horizon seseorang, serta membangun imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetiknya.

7. Hiburan, penyebarluasan sinyal, simbol, suara dan imaji dari drama, tari, kesenian, kesusatraan, musik, olahraga, kesenangan kelompok, dan individu.

8. Integrasi, menyediakan bagi bangsa, kelompok, dan individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti serta menghargai kondisi pandangan dan keinginan orang lain. (Widjaja, 2000: 65-66)


(37)

2.1.6 Tujuan Komunikasi

Kegiatan atau upaya komunikasi yang dilakukan tentunya mempunyai tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud disini menunjuk pada suatu hasil atau akibat yang diinginkan oleh pelaku komunikasi.

Secara umum, menurut Wilbur Schramm (1974) dalam buku Sendjaja, tujuan komunikasi dapat dilihat dari dua perspektif kepentingan yakni : kepentingan sumber atau pengirim atau komunikator dan kepentingan penerima atau komunikan. Dengan demikian maka tujuan komunikasi yang ingin dicapai dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Tujuan Komunikasi Tujuan komunikasi dari sudut

kepentingan sumber

Tujuan komunikasi dari sudut kepentingan penerima 1. Memberikan informasi 1. Memahami informasi

2. Mendidik 2. Mempelajari

3. Menyenangkan atau menghibur

3. Menikmati 4. Menganjurkan suatu

tindakan atau persuasi

4. Menerima atau menolak anjuran

Sumber : Sendjaja, 2004:2.19

Berbeda dengan Effendy dalam bukunya Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, tujuan komunikasi adalah :

1. Perubahan Sikap (Attitude Change) 2. Perubahan Pendapat (Opinion Change) 3. Perubahan Perilaku (Behavior Change)


(38)

Tujuan-tujuan diatas merupakan bagian dari maksud penyampaian pesan dari pihak komunikator kepada komunikan dimana berupaya untuk mengendalikan apa yang terjadi dilingkungan masyarakat.

Menurut Devito (1997:30), ada empat tujuan komunikasi yang perlu dikemukakan yakni:

1. Untuk Menemukan

Salah satu tujuan utama komunikasi adalah penemuan diri (personal discovery). Bila anda berkomunikasi dengan orang lain, anda belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain. Dengan berbicara tentang diri kita sendiri dengan orang lain, kita memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku kita. Cara lain untuk melakukan penemuan diri melalui proses perbandingan sosial, melalui pembandingan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain.

2. Untuk Berhubungan

Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain, membina dan memelihara dengan orang lain. Kita ingin merasa dicintai dan disukai dan kita juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita dalam membina dan memelihara hubungan sosial.

3. Untuk Meyakinkan

Kita menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi sehari-hari, kita berusaha untuk merubah sikap dan perilaku orang lain, berusaha untuk mengajak mereka melakukan sesuatu.

4. Untuk Bermain

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk memberikan hiburan pada orang lain. Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan untuk mengikat perhatian orang lain sehingga kita dapat mencapai tujuan-tujuan lain (Devito, 1997:30).


(39)

Jadi, secara keseluruhan dapat dipahami bahwa tujuan dari komunikasi tidak terlepas dari bagaimana manusia mengisi hidupnya dalam pola interaksi sosial yang tercipta antara satu dengan lainnya. Baik untuk aktualisasi diri, interaksi, eksistensi, ekspresi, apresiasi maupun menciptakan esensi dalam hidupnya.

2.1.7 Unsur-Unsur Komunikasi

Jika mengacu pada pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, maka jelas bahwa komunikasi antarmanusia hanya bisa terjadi jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh adanya sumber, pesan, media, penerima, dan efek. Unsur-unsur ini dapat juga disebut komponen atau elemen komunikasi yaitu sebagai berikut :

1. Sumber

Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim, komunikator, atau dalam bahasa Inggrisnya disebut source, sender, atau encoder.

2. Pesan

Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan message, content.

3. Media

Media yang dimaksud di sini ialah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima.

4. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber, biasanya disebut receiver atau audience. 5. Efek

Efek atau pengaruh adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.


(40)

6. Umpan Balik

Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk dari pengaruh, yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.

7. Lingkungan

Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, sosial budaya, psikologis dan dimensi waktu (Cangara dalam Gusnavianti Vivien, 1998:21).

Unsur-unsur komunikasi di atas merupakan satu kesatuan terciptanya proses komunikasi, di mana antara yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Komunikator adalah pihak yang mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan, sehingga komunikan menjadi tahu atau bahkan berubah sikap, pendapat atau perilakunya.

Pesan adalah penyajian informasi yang disediakan oleh komunikator terhadap komunikan. Untuk keberhasilan suatu pesan maka seorang komunikator harus mampu memahami kesesuaian isi pesan yang hendak disampaikan kepada komunikan. Media merupakan interpretasi dari saluran komunikasi yang digunakan. Efek dan umpan balik merupakan akses yang diberikan komunikan kepada komunikator. Lingkungan adalah kondisi yang melingkupi terjadinya proses komunikasi. Komunikan atau penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. (Gusnavianti Vivien dalam Cangara, 1998:21).

Ketika simbol ada, maka makna ada dan selanjutnya adalah bagaimana menanggapinya. Intonasi suara, mimik muka, kata-kata, gambar dan sebagainya adalah simbol yang mewakili suatu makna. Misalnya intonasi yang tinggi dimaknai dengan kemarahan, kata pohon mewakili tumbuhan dan sebagainya. (Mulyana, 2004: 84).


(41)

2.1.8 Sifat Komunikasi

Sifat komunikasi menurut Onong Uchjana Effendy ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:

1. Tatap muka (face-to-face) 2. Bermedia (mediated) 3. Verbal (verbal)

 Lisan (oral)

 Tulisan (written/priated) 4. Nonverbal

 Gerakan /isyarat badaniah (gestural)

 Bergambar (pictorial). (Effendy, 2002:7).

Dalam penyampaian pesan, seorang komunikator (pengirim) dituntut untuk memiliki kemampuan dan sarana agar mendapatkan umpan balik (feedback) dari komunikan (penerima), sehingga maksud dari pesan tersebut dapat dipenuhi dengan baik dan berjalan dengan efektif. Komunikasi dengan tatap muka (face-to-face) dilakukan antara komunikator dengan komunikan secara langsung, tanpa menggunakan media apapun kecuali bahasa sebagai lambing atau simbol komunikasi bermedia dilakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan media sebagai alat bantu dalam menyampaikan pesannya.

Komunikator dapat menyampaikan pesannya secara verbal dan nonverbal. Verbal dibagi kedalam dua macam yaitu lisan (oral) dan tulisan (written/printed). Sementara nonverbal dapat menggunakan gerakan atau isyarat badaniah (gestural) seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata dan sebagainya, serta menggunakan gambar untuk mengemukakan idea tau gagasannya.


(42)

2.2 Tinjauan Tentang Fenomenologi

Penelitian ini mengenai studi fenomenologi maka, pada tinjauan pustaka ini akan mengkaji mengenai fenomenologi dengan mengawali pengertian dari fenomenologi, sebagai berikut :

2.2.1 Pengertian Fenomenologi

Istilah phenomenon mengacu pada kemunculan sebuah benda, kejadian, atau kondisi yang dilihat. Oleh karena itu fenomenologi merupakan cara yang digunakan manusia untuk memahami dunia melalui pengalaman langsung. Pemikiran fenomenologi bukan merupakan sebuah gerakan pemikiran yang koheren.

Menurut Edmund Husserl (1859-1938) dalam bukunya Natanson (1966:3) yang dikutip oleh Elvinaro Ardianto & Bambang Q-Aness dalam bukunya, menyatakan :

“Fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah kehidupan sehari-hari dengan tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk penelitian filsafat secara cermat dan dalam rangka menggambarkan serta memperhitungkan struktur esensialnya”. (Ardianto & Q-Aness, 2007: 128)

Pengertian fenomenologi menjelaskan akan apa yang terjadi dan tampak dalam kehidupan dengan menintrepretasikan sesuatu yang dilihatnya. Dengan demikian fenomenologi membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah realitas.

Menurut Stephen W. Little Jhon dalam bukunya Theories of Human Communication, menurutnya :


(43)

“Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif mengintrepretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya”. (Little Jhon & Foss, 2009:57) 2.2.2 Keragaman Fenomenologi

Suatu hal yang terjadi dan ada dalam lingkungan yang diintrepretasikan dari pengalamannya yang nyata menjadi sebuah realitas, memiliki keragaman dalam tradisi fenomenologinya. Menurut Little Jhon & Foss dalam bukunya Theories of Human Communication, Tiga kajian pemikiran umum membuat beberapa tradisi fenomenologis, Yaitu :

1. Fenomenologi Klasik, dimana mengembangkan metode yang meyakinkan kebenaran melalui kesadaran yang terfokus.

2. Fenomenologi Persepsi, sebuah reaksi yang menentang objektivitas, dimana penggabungan antara fisik dan mental yang menciptakan makna didunia.

3. Fenomenologi Hermeneutik, mengintrepretasikan keberadaan dimana pengalaman alami yang tidak terelakkan. Realitas sesuatu itu tidak diketahui dengan analisis yang cermat atau pengurangan, melainkan oleh pengalaman alami yang diciptakan oleh penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. (Little Jhon & Foss, 2009:58-59)

2.3 Tinjauan Tentang Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakekat manusia yang adalah makhluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan apabila kemudian teori interaksi simbolik segera mengedepan apabila dibandingkan dengan teori lainnya. Alasannya ialah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang diluar dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan simbol-simbol tertentu. Simbol itu biasanya disepakati dalam skala kecil maupun skala


(44)

besar. Simbol misalnya, bahasa, penampilan, tulisan dan simbol lainnya yang dipakai bersifat dinamis dan unik.

Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam meng-interpretasiikan simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial. Penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusia dan lingkungannya.

Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. (Mulyana, 2008: 3)

Interaksi simbolik menolak bahwa individu adalah organisme pasif yang yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap objek yang sama.

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2008: 68)


(45)

Interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Interaksi simbolik ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

Menurut teoritisi interaksi simbolik yang di kutip dari buku Dr. Deddy Mulyana, M.A yang berjudul Metodelogi Penelitian Kualitatif adalah “Kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial”.

Secara ringkas interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis berikut:

1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka mengahadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanis. Tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Respon mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefinisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.

2. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu), namun juga gagasan yang abstrak.


(46)

3. Makna yang di interpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukaan.

(Mulyana, 2008: 71)

Keunikan dan dinamika simbol dalam proses interaksi sosial menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif dan kreatif dalam menginterpretasikan simbol-simbol yang muncul dalam interaksi sosial, penafsiran yang tepat atas simbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan, sebaliknya penafsiran yang keliru atas simbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusia dan lingkungannya.

2.3.1 Perkembangan Teori Interaksi Simbolik

Awal perkembangan interaksi simbolik dapat dibedakan menjadi dua aliran yaitu aliran / mahzab chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan didalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Lebih lanjut, tradisi chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif dalam situasi yang tidak bisa diramalkan.4

Masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.

Tradisi / mahzab yang kedua, aliran / mahzab lowa mengambil lebih dari satu pendekatan ilmiah. Manford Kuhn dan Carl Dipan, para

4


(47)

pemimpinnya percaya konsep interaksionis itu dapat diterapkan. Kuhn beragumentasi bahwa metoda sasaran jadilah lebih penuh keberhasilan dibanding yang lembut metoda yang dipekerjakan oleh Blumer.5

Salah satu karya Kuhn adalah suatu teknik pengukuran yang terkenal dengan sebutan Twenty Statement Test.

a. Aliran Chicago

George Helbert pada umumnya dipandang sebagai sebagai pemula dari pergerakan dan pekerjaannya yang pasti membentuk mahzab Chicago. Blumer merupakan pemikir terkemuka, menemukan istilah interaksionisme simbolik. Blumer mengacu pada label ini sebagai suatu sedikit banyaknya pembentukan kata baru liar yang di dalam suatu jalan tanpa persiapan. Ketiga konsep dalam teori Blumer menangkap didalam jabatan pekerjaan terbaik yang dikenalnya adalah masyarakat diri dan pikiran.6

Kategori ini adalah aspek yang berbeda menyangkut proses umum yang sama. Tindakan sosial adalah suatu bumbu konsep payung yang mana hampir semua psikologis lain dan proses sosial jatuh.

Diri mempunyai dua segi, masing-masing melayani suatu fungsi penting. Menjadi bagian dari yang menuruti kata hati, tak tersusun, tak diarahkan, tak dapat diramalkan.menurut Blumer, Objek terdiri dari tiga fisik yaitu tipe (barang), sosial (orang-orang), dan abstrak (gagasan).

5

http://pangerankatak.blogspot.com/2008/12/interaksionisme-simbolik.html 6


(48)

Orang-orang menggambarkan objek dengan cara yang berbeda tergantung bagaimana mereka membiarkan ke arah tersebut.

b. Aliran Iowa

Kuhn adalah pengembang dari teori interaksi simbolik sebelumnya. Kuhn memelihara dasar prinsip sebelumnya akan tetapi tidak mengambil langkah-langkah pada teori yang konservatif. Seperti yang digunakan oleh Blumer, individu ini memiliki empat kualitas. Pertama, mereka adalah adalah orang-orang untuk siapa individu secara emosiaonal dan secara psikologis dilakukan. Kedua, mereka menyediakan orang dengan kosakata umum, pusat konsep dan kategori. Ketiga, mereka menyediakan individu dengan pembedaan dasar antara orang lain dan diri pribadi. Keempat, orang lain melakukan komunikasi wawancara yang secara terus menerus menopang konsep diri dari individu itu.7

Yang terpenting menurut aliran ini, dibelakang konsep adalah bahwa individu ingin bertemu dunia melalui interaksi dengan orang lain yang sudah menyentuh seseorang dijalan yang penting.

Metoda Kuhn meliputi teori disekitar diri. Self-conceptions, rencana kegiatan individu ke arah diri, terdiri dari identitas seseorang, kebencian dan minat, tujuan, ideologi, dan evaluasi diri. Self-conceptions adalah sikap penjangkaran, karena mereka bertindak sebagai kerangka acuan seseorang yang paling umum untuk

7


(49)

menghakimi objek lain. Kuhn mengenalkan suatu teknik yang dikenal sebagai Twenty Statement Self-Attitudes (TST) untuk mengukur berbagai aspek tentang diri.

Interaksi simbolik telah menyatukan studi bagaimana kelompok mengkoordinir tindakan mereka,bagaimana emosi dipahami dan dikendalikan, bagaimana kenyataan dibangun, bagaimana diri diciptakan, bagaimana struktur sosial besar mendapatkan dan dibentuk dan bagaimana publik dapat dipengaruhi. Jadi pada dasarnya interaksi simbolik berakar dan berfokus pada hakikat manusia yang adalah mahluk relasional. Setiap manusia pasti terlibat relasi dengan sesamanya.

2.4 Tinjauan Tentang Pengemis

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Seharusnya pengemis adalah orang yang benar-benar dalam kesulitan dan mendesak karena tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia tidak punya suatu keahlian yang memadai, bukan karena malas untuk mencari mata pencaharian layak lain.8 2.5 Tinjauan Tentang Calon Dermawan

Seseorang yang memiliki peranan penting bagi pengemis adalah dalam hal ini Dermawan yang turut memberikan sambungan hidup bagi mereka yang membutuhkan.

8

http://ayouk91.blogspot.com/2010/04/makalah-pengemis-yang-ada-di-uny.html dikutip pada Hari Jumat Tanggal 02 maret 2012 Pukul 23:48


(50)

Bila diartikan dari arti kata per kata, dimana arti kata Calon Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “orang yang akan menjadi” sedangkan, untuk kata Dermawan itu sendiri dalam artikata.com adalah “pemurah hati, orang yang suka berderma (beramal, bersedekah). Kata tersebut bila dalam bentuk ejaan, Ke-der-ma-wan-an adalah kebaikan hati terhadap sesama manusia, kemurahan hati".9

Dalam perjalanan proses pengemis meminta-minta untuk memperoleh apa yang mereka gagaskan, inginkan sebagai bentuk tujuannya tak luput dari tangan para orang-orang yang akan menjadi pemberi sebagian rezekinya kepada pengemis dalam hal ini. Pemberian itu bisa jadi akan dilakukan atau tidak tergantung pada diri calon dermawan tersebut, dikarenakan belum adanya kepastian memberi atau tidak.

Dari pengertian tentang dermawan diatas, menunjukkan dermawan merupakan sikap dengan sifat yang sangat baik. Karena dalam hidupnya tidak hanya memikirkan dirinya melainkan orang lain yang menjadi bagian dari fakta sosial kehidupannya pun turut diberikan perhatian olehnya. Oleh karena itu, dermawan menjadi sifat yang perlu dipanuti.

2.6 Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini sebagai ranah pemikiran yang mendasari peneliti tersusunlah kerangka pemikiran baik secara teoritis maupun praktis. Adapun kerangka pemikiran secara teoritis dan praktis, sebagai berikut :

9

Artikata.com/Dermawan/http://www.artikata.com/arti-324982-dermawan.html/dikutip pada hari Kamis, 31 Maret 2012/pukul 22.08 wib


(51)

2.6.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Dalam suatu kehidupan terdapatnya sesuatu yang tampak dari realitas sosial. Menurut Engkus Kuswarno dalam bukunya Metode Penelitian Fenomenologi, menurutnya Fenomenologi yang berasal dari bahasa Yunani

Phainomai yang berarti “menampak”, maka fenomena tiada lain adalah fakta

yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. (Kuswarno, 2009:1)

Adapun menurut Stephen W. Little Jhon dalam bukunya Theories of Human Communication, menurutnya :

“Fenomenologi berasumsi bahwa orang-orang secara aktif

mengintrepretasi pengalaman-pengalamannya dan mencoba memahami dunia dengan pengalaman pribadinya.” (Little Jhon & Foss, 2009:57) Pengertian fenomenologi menjelaskan akan apa yang terjadi dan tampak dalam kehidupan dengan mengintrepretasikan sesuatu yang dilihatnya. Dengan demikian fenomenologi membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah realitas.

Penelitian ini menggunakan pendekatan interaksi simbolik (symbolic interaction approach) dimana pendekatan ini didasari atas pandangan dan asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh melalui hasil interpretasi. Interpretasi tidak bersifat otonom, melainkan membentuk arti sesuai dengan konteks subjek atau objek yang di interpretasikan.


(52)

Interaksi Simbolik menjadi paradigma konseptual, internal drives, personality traits atau unconscious motivies (dorongan dalam diri, sifat kepribadian atau sadar motivasi)

Menurut Littlejohn, interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (core of common premises about communicationand society) (Littlejoh, 1996: 159) perspektif interaksi simbolik memandang bahwa individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya di tentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur diluar dirinya.

Oleh karena individu terus berubah, maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang di anggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur ini sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berfikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 62)

Perspektif interaksionisme simbolik memulainya dengan konsep diri (self), diri dalam hubungannya dengan orang lain dan diri sendiri dan orang lain itu dalam konteks yang lebih luas. Dalam konteks sosial inilah nantinya akan dapat dipahami beragam macam anggapan dari masyarakat.

Konsep diri menurut William D Brooks yang dikutip oleh Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi adalah :


(53)

“Those physical, social and phsyccological perceptions of ourselves that we have derived from experience and our interaction with others (1974: 40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisis. (Rakhmat, 2009:99)

Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai individu sehingga ia tidak bersifat defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.

Konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu: 1. Pengetahuan tentang diri anda

Adalah informasi yang anda miliki tentang diri anda. Misalkan jenis kelamin, penampilan, dan sebagainya.

2. Pengharapan bagi anda Adalah gagasan anda tentang kemungkinan menjadi apa kelak

3. Penilaian terhadap diri anda

Adalah pengukuran anda tentang keadaan anda dibandingkan dengan apa yang menurut anda dapat dan seharusnya terjadi pada diri anda. Hasil pengukuran tersebut adalah rasa harga diri.

Proses komunikasi adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh seorang komunikator kepada komunikan, pesan itu bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lain.


(54)

Proses komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: 1. Komunikasi verbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai suatu sistem kode verbal

2. Komunikasi non verbal

Secara sederhana pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E Porter komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2000: 237)

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang atau simbol sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal atau bahasa dan non verbal (gesture, isyarat, warna, gambar dan sebagainya).10

Proses komunikasi sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua.11

Kepribadian menurut Napoleon Hill adalah keseluruhan karakteristik dan penampilan anda yang membedakan anda dari orang lain, pakaian yang dikenakan, garis wajah, nada suara, pemikiran-pemikiran, karakter-karakter yang telah dikembangkam tersebut, semuanya membentuk kepribadian (Hill, 3: 2010)

10

http://www.g-excess/id/proses-komunikasi-secara-primer-dan -sekunder.html

11


(55)

Gordon Allport, merumuskan kepribadian sebagai sesuatu yang terdapat dalam diri individu yang membimbing dan memberi arah kepada seluruh tingkah laku individu-individu yang bersangkutan. Kepribadian adalah suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara ikhlas .

Allport menggunakan istilah sistem psikofisik dengan maksud menunjukan bahwa jiwa dan raga manusia adalah suatu sistem yang terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, seperti diantara keduanya selalu terjadi interaksi dalam mengarahkan tingkah laku sedangkan khas dalam batasan kepribadian Allport memiliki arti bahwa setiap individu memiliki kepribadiannya sendiri (Rismawaty, 3: 2008)

2.6.2 Kerangka Pemikiran Konseptual

Dibawah ini peneliti akan menjelaskan konseptualisasi dari penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Hasil konseptualisasi peneliti dengan judul “Fenomena Pengemis Di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Tentang Interaksi Simbolik Pengemis dengan Calon Dermawan Di Kota Bandung)”

Interaksi simbolik pengemis di Kota Bandung memandang bahwa pengemis mempunyai makna atas simbol-simbol yang pengemis pahami dan pikirkan menentukan tindakan mereka. Makna atas simbol yang mereka pahami akan semakin sempurna oleh karena interaksi diantara sesama pengemis atau antara pengemis dengan individu atau kelompok lain yang bukan pengemis, misalnya calon dermawan.


(56)

Konsep diri pengemis yaitu bagaimana seorang pengemis melakukan tindakan mengemis. Baik konsep diri yang ia buat atau melihat pandangan orang lain yaitu calon dermawannya tentang dirinya (pengemis). Maka akan muncul konsep diri yang bisa diterima oleh calon dermawannya.

Dalam proses berkomunikasi ini seorang pengemis menggunakan komunikasi verbal dan non verbal yang meliputi, bahasa, tutur kata, isyarat, bahasa tubuh dan sebagainya.

Kepribadian pengemis mucul dari lingkungan yang sebelumnya mereka tempati yaitu pedesaan kemudian diterapkan di perkotaan. Tetapi bisa saja hal ini akan bisa berubah karena sebuah lingkungan akan membuat kepribadiannya berubah. Dalam hal ini pengemis ingin mendapatkan kesan yang baik dan positif dimata sesama pengemis dan calon dermawan atas dirinya.

Dengan adanya kerangka pemikiran yang telah di paparkan oleh penulis diatas, maka muncullah model kerangka pemikiran yang menggambarkan alur pikir peneliti :


(57)

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

Sumber : Peneliti, 2012

Orang-orang yang tinggal dipedesaan datang ke perkotaan

Datang ke Kota Bandung kemudian

memilih pengemis sebagai profesi

Interaksi pengemis dengan calon dermawan

Interaksi simbolik :

 Konsep Diri

 Proses Komunikasi


(58)

43 3.1 Objek Penelitian

3.1.1 Sejarah Kota Bandung

Menurut A. Sobana Hardjasaputra dalam situsnya “Bandung Kota

Kembang” mengenai sejarah Kota Bandung, pada dasarnya asal usul nama

Bandung ini banyak sekali versinya. Dalam buku tulisan Haryoto Kunto, dapat ditemukan bahwa kata Bandung, berasal dari kata Bandong, sesuai dengan penemuan sebuah negeri kecil oleh seorang Mardijker bernama Julian de Silva. Dan tercatat pula bahwa Dr. Andries de Wilde, seorang pemilik kebun kopi yang sangat luas di daerah ini, meminang seorang gadis dan kemudian menikahinya yang berasal dari Kampung Banong (di daerah Dago Atas).

Ada pula yang berpendapat Kata Bandung berasal dari sebuah nama pohon Bandong ‘Garcinia spec’ (Heyne : 1950 Jilid III, pada halaman 2233,

menyebutkan bahwa Bandong „Garcinia spec‟ sejenis pohon yang tingginya

10 - 15 m dan besar batangnya 15 - 20 cm, dengan batang tak bercabang. Pohon ini dieksploitasi setelah berumur 20 - 30 tahun, dengan cara menoreh kulit kayu sedalam 2 - 3 mm akan mengalirkan cairan kekuning-kuningan.

Menurut Wiesner‟s Rohstoffe digunakan untuk pengobatan, mewarnai pernis


(59)

berasal dari Bandong yang sesuai dengan sebuah nama kampung yang telah ditemukan oleh seorang Mardijker bernama Julian de Silva di atas.

Menurut penulis buku Wisata Bumi Cekungan Bandung, T. Bachtiar, Bandung juga artinya adalah persahabatan/perdamaian. Berasal dari Bahasa Kawi, Bandung artinya bersama-sama, bersahabat, bersaing, mendampingi, dan saling tolong menolong. Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat. Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan. Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996), bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.

Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda, ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung berasal dari kata bendung.

Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada


(60)

masa holosen (± 6000 tahun yang lalu). Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer) dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50 kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.

Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten Bandung.

3.1.1.1 Berdirinya Kabupaten Bandung

Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15, Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang


(61)

cukup luas, mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan daerah yang disebut "Ukur Sasanga".

Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama Ciamis).

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa, anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan Kesultanan Banten.


(1)

B. INTERNET :

http://lifestyle.kompasiana.com/urban/

http://mahrunnisa.wordpress.com/fenomena-pengemis/

http://ayouk91.blogspot.com/makalah-pengemis-yang-ada-di-uny.html

http://ayouk91.blogspot.com/2010/04/makalah-pengemis-yang-ada-di-uny.html http://m.kompas.com/news/read/data/2009.11.11.09251851

http://pangerankatak.blogspot.com/2008/12/interaksionisme-simbolik.html http://www.g-excess/id/proses-komunikasi-secara-primer-dan-sekunder.html http://www.g-excess/id/proses-komunikasi-secara-primer-dan-sekunder.html Artikata.com/Dermawan/http://www.artikata.com/arti-324982-dermawan.html/ Kaipang/ Fenomena pengemis dalam perspektif sociological imagination.

http://kaipang-inc.blogspot.com/2010/09/fenomena-pengemis-dalam perspektif.html/

Saatnyasantai.blogspot.com.Alasansayamengemis.http://saatnyasantai.blogspot.co m/2010/08/alasan-saya-mengemis.html/

Sjafrimangkuprawira/Mengapamenjadipengemis/http://firdha09060140.student.co m.ac.id/2010/02/05/mengapa-menjadi-pengemis/

Erna Febru Aries S. /Teknik pengumpulan data kualitatif/ http://ardhana12.wordpress.com/2008/02/08/teknik-pengumpulan-data-dalam-penelitian/


(2)

C. KARYA ILMIAH

Imaddudin. 2011. Pengelolaan Komunikasi Nonverbal Pengemis (Studi Fenomenologi Tentang Pengelolaan Komunikasi Nonverbal Pengemis di Hadapan Calon Demawan Pengguna Jalan Raya di Kota Bandung). Bandung : UNIKOM

Herawady, Hery. 2002. Tanggapan Gelandangan dan Pengemis terhadap Pelayanan Sosial di Panti PGOT “Suka Maju” Kecamatan Sako Kenten, Kota Palembang. Bandung : STKS

Hudiandy, Dicky. Interaksi Simbolik Pria Metroseksual di Kota Bandung (Suatu Fenomenologi Interkasi Simbolik Pria Metroseksual Pada Sosok Sales Promotion Boy di Kota Bandung). Bandung : UNIKOM.

Maryun, Asep. 1987. Efektivitas Penerangan di LIPOSOS bagi para Gelandangan dan pengemis. Bandung : UNISBA


(3)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Nina Gustiyani

JenisKelamin : Perempuan

Tempat/Tgl.Lahir : Bandung, 17 Agustus 1990 Kewarganegaraan : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl.Melong Raya RT. 05 RW. 31 Gg. Setra Asih no.42

Cimahi Selatan 40534 Telepon (Hp) : 085624901269

Email : nina.gustiyani@yahoo.com nina.gustiyani@gmail.com


(4)

B. Pendidikan Formal

No Tahun Uraian Keterangan

1 2008 - Sekarang Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Humas (S1)

UniversitasKomputer Indonesia Bandung

2 2005 -2008 SMA Pasundan 3 Bandung Lulus/Berijazah 3 2002 -2005 SMP Negeri4 Cimahi Lulus/Berijazah 4 1996 -2002 SD Perumnas Cijerah 5 Bandung Lulus/Berijazah 5 1995 -1996 TK Bandung Raya Lulus/Berijazah

C. Pengalaman Organisasi

No Tahun Uraian Keterangan

1 2006- Sekarang Karang Taruna SAP RT. 05 RW. 31, Cimahi Selatan

Jabatan Bendahara 2 2002 -2005 Ekstrakulikuler PASKIBRA di SMP

Negeri4 Cimahi, Cimahi Selatan

Jabatan Bendahara

D. Seminar atau Pelatihan

No. Tahun Uraian Keterangan

1 19 Januari 2012 Kegiatan “Bedah Buku “Handbook of Public Relations” dsn Seminar “How To Be A Good


(5)

Writer” ” di Auditorium Miracle Unikom, Bandung 2 16 April 2011 Seminar “Road to Succes of a

Movie Maker” di Auditorium

Miracle Unikom, Bandung Bersertifikat 3 26 Februari 2011 Seminar Program acara“Rossy

Goes to Campus” di Sasana Budaya Ganesha, Bandung

Bersertifikat

4 2 November 2010 Seminar “Fotografi, Lomba Foto Essaydan Apresiasi Seni” di Auditorium Unikom, Bandung

Bersertifikat

5 1 Juni 2010 Kegiatan “Study Tour ke Media

Massa RCTI” Bersertifikat

6 28 Januari 2008 Pelatihan “Table Manner” di

Hotel Jayakarta, Bandung Bersertifikat 7 16 April 2009 Seminar “The Future of United

States of America- Indonesia

Relationship” di Auditorium

Unikom, Bandung

Bersertifikat

8 28 April 2009 Seminar “Mentoring Agama Islam” di Auditorium Unikom,

Bandung

Bersertifikat

9 31 Maret 2009 Seminar “Pelatihan Melejitkan Potensi dan Pengembangan Diri” di Auditorium Unikom, Bandung


(6)

10 28 Februari 2009 Seminar Muslimah “Atas Nama Cinta” (Mengupas Lika-Liku Cinta Remaja dalam Persfektif

Islam)

Bersertifikat

11 5 November 2008 Kegiatan Roadshow “Cosmopolitan Indonesia campus to Campus” di UNPAS, Bandung

Bersertifikat

E. Identitas Keluarga

No. Nama Hubungan Pendidikan Pekerjaan

1 Pipih Tarmudin Ayah Kandung Sekolah Dasar Wiraswasta 2 Uka Ibu Kandung Sekolah Dasar Wiraswasta 3. Tsany Nashihatul Millah Adik Kandung Sekolah

Menengah Atas

Pelajar

4. Sely Tajmillah Adik Kandung Sekolah Menengah

Pertama

Pelajar