Analisis pemilihan cara panen dan perontokan padi serta kebutuhan peralatan di kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat

WNWLlSlS PEMlLlHAN CARA PANEN DAN PERONTOKAN PAD%
SERTA KEBUTUHAN PERALATAN DI KECAMATAN JAT!SARI,
KARAWANG, JAWA BARAT

Oleh :
REKY HENDRAWAN
F 26.1347

1 9 9 5

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

REKY HENDRAWAN. F 26 1347.
Analisis Pemilihan Cara Panen
dan Perontokan Padi serta Kebutuhan Peralatan di Kecamatan
J a t i s a r i , Karawang, Jawa
Barat.
Dibawah
bimbingan
Dr.Ir. Hadi K. Purwadaria dan Dr.Ir. Sutrisno, M.Agr.

RINGKASAN

Padi (Oryza s a t i v a L. ) sebagai sumber bahan makanan pokok di Indonesia telah mengalami peningkatan produksi dari
39.0 juta ton gabah kering giling (setara 26.5 juta ton beras) dalam tahun 1985 menjadi 48.2 juta ton gabah kering
giling (setara 32.7 juta ton beras) dalam tahun 1992 berdasarkan data BPS (1993).

Produksi padi tersebut terus me-

ningkat dengan laju 1.6% per tahun. Peningkatan produksi
padi membawa pula pengaruh positif terhadap perkembangan
teknologi pasca panen padi,
peralatan

pasca panen

baik dari aspek penyerapan

maupun dari aspek peningkatan

mutu


serta pemecahan masalah susut pasca panen.
Menurut Biro Pusat Statistik (1988), susut pasca panen
padi sejak dipanen sampai proses akhir mencapai 19.54%.
sut

pasca

perontokan

panen

padi

tersebut meliputi panen (9.19 % ) ,

(4.98%), pengangkutan

(1.66%), penggilingan


Su-

(2.94%),

(0.51%), pengeringan

dan penyimpanan (0.26%).

Susut terbesar terjadi pada saat panen dan perontokan yakni
sebesar 14.17% dari total susut 19.54%.
Tujuan umum penelitian ini adalah 1 ) memilih cara panen
dan perontokan yang menguntungkan baik secara teknis maupun
ekonomis dan 2) menentukan kebutuhan cara panen dan perontokan padi yang terpilih untuk tingkat Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP) di Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat.

Usaha pemanenan padi dapat dilakukan dengan cara tradisional maupun mekanis.

Cara tradisional dilakukan dengan

menggunakan alat-alat manual (sabit dan ani-ani), sedangkan
cara mekanis dilakukan dengan alat-alat mekanis (reaper,

binder, combine, stripper).

Usaha

pemanenan

padi baik se-

cara tradisional maupun mekanis pada dasarnya mempunyai
proses yang sama yaitu pemotongan batang padi, pengumpulan
batang padi dan perontokan gabah.
Stripper mulai diteliti dan dikembangkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) sejak tahun 1990 sebagai

alat panen mekanis

berdasarkan

pada sistem rotor

stripper Silsoe yang sudah ada. Teknologi sistem rotor

stripper mulai dikembangkan oleh Silsoe Research Institute
di Inggris pada tahun 1984 dan dipatenkan oleh British Technology Group (BTG) (Metianu et a l , 1994).
Penelitian terdiri dari dua tahap.

Tahap pertama adalah

pengumpulan data, dan tahap kedua adalah pengolahan data.
Untuk kegiatan pengolahan data menggunakan satu unit perangkat komputer PC-AT 386DX40 dengan perangkat lunak (software)
Lotus 123 re1.2.4.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
sekunder.

adalah data

Untuk dapat melakukan analisis pemilihan cara pa-

nen dan perontokan padi serta kebutuhan peralatan di Kecamatan Jatisari, Karawang, Jawa Barat, digunakan data Laporan
Survey Percobaan Pengujian Alat Panen oleh G T Z

-


IRRI

(1994/1995) dan data Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian di Kecamatan Jatisari, Karawang.

Hasil perlakuan yang dipelajari dalam penelitian ini
adalah (1) pemanenan dengan sabit dan perontokan dengan cara
gebot tanpa tirai, (2) pemanenan dengan reaper MRlOO dan
perontokan

dengan

power

thresher

TH6-VS M,

dan (3) pe-


menenan sekaligus perontokan dengan stripper thresher model
ST-600 buatan IRRI.
Analisis pemilihan menggunakan Teori Pengambilan Keputusan Bayes.

Parameter yang digunakan dalam penentuan cara

panen dan perontokan padi yang optimum adalah kapasitas panen dan perontokan, efisiensi perontokan, susut, biaya panen, nisbah untung rugi (Gross B/C), dan tingkat pengembalian bunga modal (IRR).
Dari hasil perhitungan didapat alternatif cara panen dan
perontokan padi yang diprioritaskan untuk dipakai pada tingkat WKPP di Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa
Barat, adalah stripper thresher IRRI ST-600.
nen dan perontokan mesin pemanen-perontok

Kapasitas patersebut adalah

14.3 jam/ha atau setara dengan 33.5 ha per tahun, dengan
efisiensi

perontokan

89.1%,


susut

8.5%,

biaya

panen

Rp 201,675.- per hektar, Gross B/C 1.54 pada tingkat bunga
24% per tahun dan IRR 89.15% per tahun.
Analisis kebutuhan peralatan dengan menggunakan faktor
koreksi kebutuhan sebesar 70% yakni meliputi lahan yang su-

l i t dijangkau karena tempatnya jauh di pedalaman, keengganan
petani karena adanya sistem panen ceblokan, penguasaan teknologi baru dan besarnya investasi awal, dan faktor koreksi
pengangkutan sebesar 60% yakni mempertimbangkan kondisi jaIan antar WKPP dan alat angkut yang digunakan.

Dari hasil


analisis tersebut jumlah s t r i p p e r t h r e s h e r IRRI ST600 yang
dibutuhkan di WKPP Jatisari 18 unit, WKPP Balonggandu 1 1
unit, WKPP Situdam 8 unit, WKPP Pangulah 23 unit, WKPP Pucung 11 unit, WKPP Jatiragas 23 unit, WKPP Cicinde 12 unit,
WKPP Pamekaran 14 unit, WKPP Gempol 8 unit, WKPP Jayamukti 7
unit, WKPP Susukan 24 unit, WKPP Tanjung 26 unit, dan WKPP
Pacing 19 unit.

Total s t r i p p e r t h r e s h e r yang dibutuhkan di

Kecamatan Jatisari, Karawang, adalah 204 unit pada tingkat
rata-rata produksi padi per hektar sekitar 6.6 ton/ha.
Untuk memperoleh tingkat kepekaan yang tinggi perlu dilakukan perencanaan ulang dengan melakukan

identifikasi

penyesuaian parameter sehingga dapat diterapkan pada keadaan
dan periode tertentu secara tepat.
Agar pelaksanaan penyebaran alat dapat berjalan dengan
lancar, perlu koordinasi antar instansi yang berkaitan.


ANALISIS PEMILI
SERTA KEBUT

PANEN DAN PERONTOW PAD1
PERALATAN DI K E C M T A N JATISART,
, JAWA B
T

Oleh
REKY HENDRAWAN
F 26.1347

SKRIPSI
sebagai salah satu Syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Jurusan Mekanisasi Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

1995

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN
B O G O R

BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

N DAN PERONT

PAD1
TAN J A T I S M ,

SERTA KEBUT

SKRIPSI
sebagai salah satu Syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI P E R T A N I A N
pada Jurusan Mekanisasi Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
REKY HENDRAWAN
F 26.1347

Tanggal lulus :

Dr.Ir. .Su risno, M
D o s e n t,uabirnbing I I

September 1995

Ir. Hadi K. P u r w a d a r i a
D o s e n Pembimbing

I

KATA P-AR

Alharndulillahirabbil'alarnin, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian (Strata-1) di Program Studi Keteknikan Pertanian (Agricultural Engineering),
Jurusan Mekanisasi Pertanian, FATETA, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada :
1. Dr.Ir. Hadi K. Purwadaria, sebagai Dosen Pembimbing I
2. Dr.1r. Sutrisno, MAgr., sebagai Dosen Pembimbing I 1
3. Ir. Emmy Darmawati, MS., sebagai Dosen Penguji
4.
Boru Douthwaite, MEng., sebagai Head of Agricultural
Engineering Division IRRI, atas bantuan pustakanya
5. Dr. Ridwan Thahir, sebagai Kepala Lab. Pasca Panen Tanaman Pangan Karawang, atas bantuan datanya
6. Kedua orang tua penulis, Bapak dan Ibu Waky, atas segala
kasih sayangnya
7. Mandala Fotocopy Centre di Bogor, atas kecepatan dan
kerapihan kerjanya
8. Monitor GTC, printer Epson, harddisk Conner, dan mobil
Suzuki Carry, atas kehandalan kerjanya
9.
La Ode Syamsa, Pak Sulyaden, dan Aceng Sobar, atas segala
perhatiannya
1 0 . Titis Sundari, atas dorongan moril dan dananya kepada penulis untuk dapat secepatnya menyelesaikan studinya.
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan pada skripsi
ini, saran dan kritik yang membangun amat diharapkan.
Bogor, 1 September 1 9 9 5

DAFTAR IS1

...........................................
...............................................
.............................................

ATA PENGANTAR
iii
1AFTAR IS1
iv
fAFTAR TABEL
v
FTAR GAMBAR ............................................ vi i
FTAR PERSAMAAN .........................................
viii
FTAR LAMPIRAN ..........................................
ix
I . PENDAHULUAN
A
LATAR BELAKANG . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
B . TUJUAN UMUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
6
I 1 . TINJAUAN PUSTAKA
A . PASCA PANEN PAD1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7
11
B . FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PANEN PAD1 . . . . .
C . CARA DAN SISTEM PEMANENAN PAD1 . . . . . . . . . . . . . . . . .
12
D . PROSES PERONTOKAN PAD1 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
22
E . MESIN PEMANEN STRIPPER THRESHER . . . . . . . . . . . . . . . .
24
F . STANDAR MUTU GABAH . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
30
G . WILAYAH KERJA PENYULUH PERTANIAN . . . . . . . . . . . . . . .
31
H . ANALISIS PEMILIKAN DAN KEBUTUHAN . . . . . . . . . . . . . . .
33
I1
METODE PENELITIAN
A . WAKTU DAN TEMPAT . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37
B . PENGUMPULAN DATA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
37
C . METODE ANALISIS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
38
D . ASUMSI-ASUMSI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
IV . HASIL DAN PEMBAHASAN
43
A . KEADAAN UMUM PERTANIAN Dl KABUPATEN KARAWANG . . .
B
HASIL PENGUJIAN CARA PANEN DAN PERONTOKAN . . . . . .
47
C . PEMILIHAN CARA PANEN DAN PERONTOKAN PAD1 . . . . . . .
51
D
KEBUTUHAN PERALATAN Dl KECAMATAN JATISARI. KARAWANG 5 9
V . KESIMPULAN
A KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
63
B . SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
64
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
79

.

.

.
.
.

Tabel

Tabel

1.

2.

Susut penanganan pasca panen padi
(IDRC, 1988)

...............................

2

Banyaknya gabah yang tercecer dan tertinggal
di sawah pada waktu panen padi untuk jenis
12
Dewi Ratih (Atjeng Muchlis, 1972)

..........

Tabel

3.

Kapasitas dan susut berbagai jenis alat
panen padi (Djojomartono, 1984) ............ 12

Tabel

4.

Tingkat kehilangan hasil panen padi pada
berbagai sistem pemanenan (Setyono e t a l ,
1993) ...................................... 21

Tabel

5.

Kemampuan pemanenan padi dan sampai perontokannya pada berbagai sistem pemanenan
(Setyono e t a l , 1993) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21

Tabel

6.

Pengaruh beberapa cara perontokan terhadap
kapasitas perontokan dan tingkat kehilangan

25

Tabel

7.

Persyaratan kualitas dan harga pembelian
gabah oleh BULOG di tingkat KUD . . . . . . . . . . . . 32

Tabel

8.

Standar mutu gabah pengadaan dalam negeri
(SK Bersama No. 456/SKB/BUK/KP/1988) . . . . . . . 32

Tabel

9.

Luas panen, hasil rata-rata per hektar dan
produksi padi menurut kecamatan di Kabupaten
Karawang, Jawa Barat ....................... 34

Tabel 10.

Tabel 1 1 .

Karakteristik lahan padi yang dipanen dalam
percobaan pengujian alat ..................

48

Unjuk kerja (~erformance)berbagai cara
panen dan perontokan yang diuji ...........

48

Tabel 12.

Rata-rata susut kuantitas dan kualitas
( % basis kering) pada beberapa perlakuan
cara panen dan perontokan padi ............

55

Tabel 13.

Parameter masukan untuk analisis ekonomi

..

52

Tabel 14.

Selang indeks untuk setiap parameter keputusan pemilihan cara panen dan perontokan
padi di Kecamatan Jatisari', Karawang . . . . . .

53

Penentuan bobot untuk setiap parameter
keputusan untuk pemilihan cara panen dan
perontokan padi di Kecamatan Jatisari .....

54

Tabel 15.

Tabel 16.

Data masukan aspek teknis dan ekonomis

....

56

Tabel 17.

Hasil perhitungan dengan Teori Keputusan
Bayes untuk menentukan prioritas alternatif
cara panen dan perontokan padi . . . . . . . . . . . .

56

Kebutuhan alat panen dan perontokan padi
per WKPP di Kecamatan Jatisari, Karawang

62

Tabel 18.

..

Gambar I.

Struktur pendukung sistem penanganan
pasca panen (Purwadaria, 1987)

Gambar 2.

Masukan yang perlu dan keluaran yang
diharapkan dalam penanganan pasca
panen padi (Purwadaria, 1987) . . . . . . .

Gambar 3.

Prinsip kerja sistem rotor s t r i p p e r
Silsoe (Douthwaite e t al, 1994) . . . . .

Gambar 4.

Profil gigi perontok
( stripping
stripper
elements ) sistem rotor
Silsoe (Metianu et al, 1994) . . . . . . . .

28

Stripper IRRI ST600 (Douthwaite et al,
1994) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

30

Gambar 5 .

......

DAFTAR PERS

.........
2 . G r o s s B/C ...........................
3.
Internal Rate o f Return ( I R R ) .......

40

.................

41

Persamaan 1 .
Persamaan
Persamaan

Persamaan 4 .

Pengambilan Keputusan Bayes

Kebutuhan peralatan

38

40

Lampiran 1.

Luas panen padi sawah menurut propinsi
se-Indonesia tahun 1989-1993

Lampiran 2.

Produksi padi sawah menurut propinsi
se-Indonesia tahun 1989-1993 ............

Lampiran 3.

Luas panen, hasil per hektar, dan
produksi padi sawah menurut kabupaten
se-Jawa Barat tahun 1989-1993 . . . . . . . . . .

Lampiran 4.

Sasaran dan realisasi luas panen, hasil
per hektar, dan produksi padi sawah di
Kabupaten DATI I 1 Karawang tahun 1994 . . .

Lampiran 5.

Populasi mesin dalam penanganan pasca
panen padi di Jawa Barat tahun 1993 . . . .

Lampiran 6.

Analisis biaya operasi untuk cara panen
dan perontokan dengan menggunakan sabit
dan g e b o t a n . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Lampiran 7.

Analisis biaya panen dan perontokan
dengan menggunakan reaper MR-100 dan
power thresher TH6-VS M ..................

Lampiran 8.

Analisis biaya panen dan perontokan
dengan menggunakan stripper IRRI ST-600

Lampiran 9.

Arus kas biaya dan pendapatan (net cash
flow) untuk sabit dan g e b o t a n . . . . . . . . . . .

Lampiran 10.

Arus kas biaya dan pendapatan (net cash
flow) untuk reaper dan power thresher . . .

Lampiran 11.

Arus kas biaya dan pendapatan (net cash
flow) untuk stripper thresher IRRI ST600

Lampiran 12.

Spesifikasi teknis reaper MR-100

Lampiran 13.

Spesifikasi teknis power thresher TH6-VSM

Lampiran 14.

Spesifikasi teknis stripper thresher ST600

............

........

PENDAHULUAN

I.

A . LATAR BELAKANG

Pembangunan sektor pertanian di Indonesia menjadi
bagian integral dari

Pembangunan Nasional karena mendu-

duki tempat dan peranan yang strategis.

Sasaran pem-

bangunan sektor pertanian adalah meningkatkan hasil pertanian untuk mendukung industri yang kuat.

Usaha

-

usaha

ke arah itu tidak akan tercapai apabila petani, sebagai
pelaku utama, tidak dibantu dan dilengkapi dengan sarana
produksi yang tepat.
Padi ( O r y z a sativa L . ) sebagai sumber bahan makanan
pokok d i

Indonesia telah mengalami peningkatan produksi

dari 3 9 . 0 juta ton gabah kering giling (setara 2 6 . 5 juta
ton beras) dalam tahun 1 9 8 5 menjadi 4 8 . 2 juta ton gabah
kering giling

(setara 3 2 . 7

juta ton beras) dalam tahun

1 9 9 2 berdasarkan data BPS ( 1 9 9 3 ) .

Produksi padi tersebut

terus meningkat dengan laju 1 . 6 % per tahun. Peningkatan
produksi

padi membawa

pula pengaruh positif

perkembangan teknologi pasca panen padi,
penyerapan

peralatan

peningkatan

mutu

pasca panen

terhadap

baik dari aspek

maupun dari aspek

serta pemecahan masalah susut pasca

panen.
Kegiatan penanganan pasca panen padi dilakukan sejak
pemanenan, perontokan, pengangkutan, pengeringan
penyimpanan
merupakan

atau pengolahan.
suatu

rangkaian

dan

Pemanenan dan perontokan
kegiatan

penting

dari mata

rantai kegiatan pasca panen padi, karena dalam kedua tahap

ini selain terjadi

tingkat kehilangan hasil yang

paling besar dibanding tahap lainnya yaitu mendekati 70%
dari

total

susut,

prosesnya

juga

dilakukan

secara

berurutan.
Pada Tabel 1 hasil pengkajian Tim Peneliti BULOG,
IPB dan UGM (IDRC, 1 9 8 8 ) di Kediri, menunjukkan bahwa peluang jumlah susut pasca panen padi dari kegiatan panen
oleh petani

sampai kegiatan penggilingan beras di unit

penggilingan beras adalah 1 0 . 4 % basis kering dalam musim
kering dan sebesar 1 6 . 7 % basis kering dalam musim hujan.
Angka peluang susut pasca panen padi yang masih

tinggi

tersebut disebabkan oleh besarnya susut pada kegiatan panen dan perontokan, yaitu 6 . 6 % dari total susut 1 0 . 4 %
pada musim kering dan 9.9% dari total susut 1 6 . 7 % pada
musim hujan.

Tabel 1 .

Susut penanganan pasca panen padi (IDRC, 1 9 8 8 )
Susut Tercecer, %
Kegiatan
Musim Kering

Musim Hujan

4.0
2.6
c 1
3.8

5.0
4.9
< 1
6.6

1 . Panen
2 . Perontokan

3. Pengangkutan
Penjemuran

4.

Menurut Biro Pusat Statistik ( 1 9 8 8 1 , susut pasca panen

padi

19.54%.

sejak dipanen sampai
Susut

pasca

panen

padi

proses

akhir mencapai

tersebut meliputi pa-

nen (9.19 % ) ,

perontokan (4.98%), pengangkutan

pengeringan (1.66%), penggilingan
panan

(0.26%).

(2.94%),

(0.51%),

dan penyim-

Susut terbesar terjadi pada saat panen

dan perontokan yakni sebesar 14.17% dari total susut
19.54%.

Di daerah jalur pantura Jawa Barat, kehilangan pasca
panen berkisar 11.6%-18.0% dan yang terbesar terjadi pada
pemanenan, perontokan dan pembersihan yaitu antara 8.3%
sampai 14.0% (Anonim, 1990).
Pemanenan di Indonesia masih banyak yang menggunakan
tenaga kerja manusia (manual) atau cara tradisional. Kehilangan

gabah pada

pemanenan

tradisional

diperkirakan

sekitar 8% - 10% dari hasil produksi per hektar (Irwanto,
1980).
Menurut

Rumiati

dan

Soemardi (1982) sebagian be-

sar petani memanen padi dengan sabit biasa (67.4%)- sabit
bergerigi (16.3%), dan ani-ani (16.3%).
Menurut Djojomartono (1984) perontokan secara tradisional bervariasi antar daerah.

Namun yang paling umum

dilakukan adalah dengan cara memukul dan rnembanting (gebat).
Untuk suatu wilayah dengan areal tanaman padi yang
luas, apabila masa tanam dilakukan secara serentak dengan
maksud untuk penanggulangan hama secara terpadu, maka
waktu panennya akan terjadi serentak pula.
butuhkan

tenaga

pemanen

dalam

Sehingga di-

jumlah besar.

Untuk

menghindari faktor keterlambatan panen dan susut panen.
Namun masalah yang dirasakan dewasa ini adalah mulai

berkurangnya tenaga pemanen yang dibutuhkan karena banyak
tenaga kerja pertanian yang terserap oleh sektor industri.

Akibatnya upah tenaga pemanen menjadi semakin ma-

hal.
Menurut Purwadaria (1993) penggunaan alat dan mesin
untuk menggantikan cara tradisional dapat diperkenalkan
kepada petani apabila biaya

penanganan

dengan

mesin

lebih rendah dari biaya penanganan tradisional, susut
akibat mesin lebih kecil dari susut
sional,

kapasitas

penanganan

tradi-

alat dan mesin pertanian dapat

menghemat waktu dan biaya penanganan secara tradisional,
dan prospek alat dan mesin dapat menguntungkan untuk usaha jasa penyewaan alat dan mesin.
Reaper Kubota tipe AR-120 model GS-130 CN untuk alat

pemanen padi pernah dikaji lapang baik dari segi teknis
maupun ekonomis oleh Laboratorium Pasca Panen Karawang

-

Balittan Sukamandi, Deptan dalam tahun 1991 (Setiawati et
a1

, 1992). Menurut Purwadaria (1993) percobaan tersebut

belum merupakan pilot

testing atau belum memberikan ke-

sempatan bagi beberapa

kelompok tani melakukan operasi

panen padi dengan r e a p e r selama satu musim atau lebih di
beberapa daerah.

Percobaan dilakukan di lahan petani

yang terbatas yakni seluas 2000 mZ dalam musim kemarau,
September 1991.
Program penyebaran mesin perontok

(power thresher)

padi-kedelai di seluruh Indonesia telah diprakarsai oleh
Direktorat Binus Tanaman Pangan, Deptan tahun 1992 dengan
mengambil

disain

mesin

yang

telah

lama berkembang di

tingkat petani, bengkel desa dan industri kecil.

Namun

masih dibutuhkan evaluasi keberhasilan dan permasalahan
mesin

perontok

tersebut

untuk

pengembangan

selanjutnya

(Purwadaria, 1993).
Stripper adalah alat panen yang dapat melakukan sekaligus
menyisir

fungsi

pemanenan

atau mengupas

dan

perontokan

dengan

(stripping) bulir-bulir

tanaman dari tangkai malainya.

cara

(grain)

Alat panen ini dirancang

untuk memanen tanaman seperti padi, gandum, oats, atau
barley, langsung pada malainya untuk mendapatkan bulir
tanaman tersebut, tanpa memotong batang maupun
malainya (Douthwaite et a1
Pihak GTZ-IRRI

tangkai

, 1994).

telah melakukan

Survey Percobaan

Pengujian Alat Panen dalam Proyek Postharvest Technologies for Rice in the Humid Tropics - Indonesia

, dengan

maksud untuk mengevaluasi dan mengadaptasikan pengoperasian mesin

pemanen

Stripper Gatherer

IRRI SG800 dan

Stripper Thresher IRRI ST600 sebagai bagian dari sistem
penanganan pasca panen padi di

Indonesia pada berbagai

jenis Iahan, yakni sawah irigasi, sawah tadoh hujan dan
sawah pasang surut.
Tersedianya berbagai jenis alat atau mesin panen dan
perontokan memudahkan petani untuk memilih cara panen dan
perontokan yang optimal dan menguntungkan bagi usaha taninya.

Meskipun petani telah menginginkan penggunaan

alat dan mesin pertanian, tetapi dalam penerapannya berjalan agak tersendat karena dipengaruhi sistem sosial dan
faktor ekonomi yang berlaku di daerahnya.

B. TUJUAN UMUM
Tujuan umum penelitian ini adalah :
1.

Memilih cara panen dan perontokan yang menguntungkan
baik secara teknis maupun ekonomis.

2. Menentukan kebutuhan cara panen dan perontokan

padi

y a n g t e r p i l i h u n t u k tingkat W i l a y a h K e r j a P e n y u l u h
Pertanian

( W K P P ) di

Kecamatan

Karawang, Propinsi Jawa Barat.

Jatisari, Kabupaten

11.

A.

TINJAUAN PUSTAKA

PASCA PANEN PAD1

Penanganan pasca panen padi adalah semua kegiatan
yang dilakukan sejak padi dipanen di lapangan sampai siap
dipasarkan kepada konsumen dalam bentuk beras.
demikian kegiatan penanganan pasca panen padi
semua kegiatan pemanenan,

perontokan,

pengeringan,

penggilingan,

pengangkutan,

Dengan
meliputi

pembersihan,
pengepakan,

penyimpanan dan pemasaran dalam bentuk beras

(Suparyono

dan Agus Setyono, 1993).
Tiap proses pada tahapan penanganan pasca panen tersebut dapat merupakan sumber kemungkinan terjadinya susut
bobot dan kerusakan bi ji, baik yang disebabkan oleh keterlambatan penanganan, kesalahan penanganan maupun penggunaan peralatan yang tidak tepat.
Menurut Purwadaria (1987) susut pasca panen berfluktuasi dengan kisaran yang cukup besar tergantung pada kebiasaan kegiatan pasca panen yang dilakukan di masingmasing daerah, yaitu: tingkat kadar air pada waktu panen,
pengaruh musim (musim kering atau musim penghujan), cara
pemanenan,

cara

perontokan,

cara

pengangkutan,

cara

pengeringan, cara penggilingan, dan cara penyimpanan.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa penanganan pasca panen padi bermaksud untuk:

1. menjaga

mutu

padi

(gabah)

seperti pada waktu panen

supaya

tetap

sama

2. mengurangi

susut

tercecer

pada

semua

proses

kegiatan yang dilakukan
3. untuk mendapatkan harga jual yang tinggi.

Purwadaria (1987) mengemukakan bahwa kegiatan penanganan pasca panen didukung oleh berbagai Iembaga dalam
masyarakat yang dalam satu kesatuan keseluruhan dapat
disebut sebagai sistem penanganan pasca panen seperti
diuraikan dalam Gambar 1.
Lebih

lanjut

Purwadaria

(1987) rnenyatakan bahwa

peralatan pasca panen padi yang tepat guna merupakan salah satu faktor penting pendukung sistem penanganan pasca
panen padi yang berhasil sehingga menghasilkan keluaran
yang diharapkan seperti yang disajikan dalam Gambar 2.
Menurut Purwadaria (1989) susut pasca panen padi dapat berupa susut kualitas dan susut kuantitas.

Susut

kualitas adalah susut yang dapat mengakibatkan penurunan
mutu, rasa dan nilai gizi dari beras.

Susut ini terjadi

karena proses penanganan yang kurang baik, seperti panen
pada umur yang

tidak

tepat

dan

kesaiahan penanganan.

Susut kuantitas adalah susut yang diukur dengan satuan
berat yang biasanya terjadi karena adanya gabah yang tercecer pada penanganan pasca panen.

Susut kuantitas dise-

babkan oleh pemakaian alat yang tidak tepat, serangan
hama (serangga, burung atau tikus), keterampilan pemanen
dan jarak tanam yang tidak seragam.

Untuk menekan kedua

jenis susut tersebut perlu diterapkan teknologi pasca panen padi yang tepat sebagai pengganti atau perbaikan cara
tradisional yang masih banyak dipakai oleh petani.

l ~ r s n si c h n o l

09

'
7
I

tnduslrl P c r a l ~ ~ ~ n
Ocngkc: L O ~ J I

1

ketorangan pasar

bahan pcncrangan

I

Penanganan Pasca Panon

Konsuman
l n d u r t r l Panpan,
Po roranpan

ponaranqan tokn010gL6 okonoml

Portanlnn

Lembaqa P o r k r e d l t n n

Basa
a t a n d o r mutu

bahnn pencrangan t o k n o l o p l
d l k l a l

&

.- .- -

Pcnolltlnn
ruan Tinqql

3a

Ciambar

1.

*

4 4.

.
-

4

i

' \
I I
I I

Pnmorlntah;
kobljakaanasn perkreditan,
poylndu$trlan, pnmaaaran,
dan taknologl
program pondldlkan drn l a t lhan
bontuan langaung : banprsr,
ponyaluran bantunn luar
nogcrl

S l r u k t u r p c n d u k u n g s i s t e m p e n a n g a n a n p e s c a p o n e 0 (puruadarin,

1967).

Alat

Tepatguna

Ketrampl lan

\

Y

s,steffl

-,+Gaa
Itn

eermutu B a l k

~enanganan

P a s c a Panen '-------sSusut

Tercecer K e c l l

Pengetahuan T e k n o l o g l

~ e m ~ m p u aMenge
n
l o 1 a ( ~ a n a j e r n e r)l

H a r g a Gabah T i n g g l

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPEMGARUHI PANEN PAD1
1. Waktu Panen

Proses

panen

tanaman padi dimulai dengan menen-

tukan waktu panen yang tepat dilihat dari segi usaha
tani yang paling menguntungkan.
lis ( 1 9 7 2 )

Menurut Atjeng Much-

panen merupakan pekerjaan yang harus dila-

kukan dengan tepat karena panen banyak mempengaruhi
nilai susut.

Djojomartono et a1 ( 1 9 7 9 ) mengatakan

bahwa keterlambatan panen tidak saja mempengaruhi susut hasil yang terjadi tetapi juga mempengaruhi kualitas atau mutu gabah yang dihasilkan.

Djojomartono dan

Pramudya ( 1 9 8 3 ) menerangkan pula bahwa panen yang terlalu cepat akan mengakibatkan jumlah padi muda makin
tinggi dan panen yang terlalu lambat akan meningkatkan
susut karena rontok.
Menurut Djojomartono dan Pramudya ( 1 9 8 3 ) pekerjaan panen adalah pekerjaan yang sangat

dipengaruhi

keadaan lingkungan seperti cuaca, kelembaban tanah dan
keadaan tanaman.

Disebutkan pula bahwa pada suatu

luasan tertentu padi

tidak akan masak secara bersa-

maan.
2 . Susut Tercecer Pada Saat Panen

At jeng Muchlis ( 1 9 7 2 ) telah mengamat i susut yang
diakibatkan oleh beberapa alat panen seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 .
Pada Tabel 3 ditunjukkan kapasitas dan susut berbagai jenis alat panen padi yang diamati oleh Djojomartono ( 1 9 8 4 ) .

Tabel 2.

Banyaknya
gabah
yang
tercecer
dan
tertinggal di sawah pada waktu panen padi
untuk jenis Dewi Ratih (Atjeng Muchlis,
19721

Alat

Jumlah yang Tercecer

Panen

kg/I00 mZ

Ani - ani
Sabit biasa
Reaper
Binder
Small Combine
*)

%

0.025
0.105
1.150
0.623
0.470

*

0.07
0.35
3.59
2.09
1.58

Persentase susut adalah berat susut dibagi dengan
hasil rata-rata setiap plot (30 kg/lOOma)

Tabel 3.

Kapasitas dan susut berbagai jenis alat
panen padi (Djojomartono, 1984)
Susut ,

Kapas i t as
Jenis Alat Panen
Ani - ani
Sabit
Manual dropper
Reaper, mesin 3 hp
Manual binder
Binder,
mesin 3.5 - 5 hp

Jam-org/ha
53

500

--

100

-

Jam/ha

7

-

10

22
29 - 50
8 - 22

%

3.2
2.7

-

2.2

-

2.0

C. CARA DAN SISTEM PEMANENAN PAD1
1. Cara Panen Tradisional

a. Ani - ani
Bentuk khas ani-ani adalah suatu pisau kecil
yang terbuat dari logam tipis dengan panjang kurang
lebih

10 cm

dan

lebar

kurang

lebih

1 cm

.

Dipasang tegak lurus pada kayu pipih dengan maksud

sebagai tangkainya.

Pisau kecil tersebut digunakan

untuk memotong batang padi yaitu sekitar 20 cm di
bawah malai.
Cara menggunakan ani-ani, yaitu dengan cara
menyelipkan bagian kayu yang pipih

tersebut ke

antara jari tengah dan jari telunjuk atau dengan
jari manis, kemudian tangkainya digunakan sebagai
penahan keseimbangan alat sewaktu menjepit batang
padi.
Menurut De Datta (1981) di Filipina panen yang
menggunakan ani-ani melakukan pemotongan sekitar 46
cm atau lebih kecil di bawah pangkal malai. Panen
dengan ani-ani

di

Indonesia dilakukan

dengan

memotong tangkai (malai) sepanjang 5 - 6 cm atau
dekat sekali dengan pangkal malai (Tjiptadi dan Nasution, 1976).
Araullo et a l (1976) mengemukakan bahwa kapasitas pemanenan dengan ani-ani adalah sebesar 15 kg
padi/orang/jam.

Djojomartono (1984) mengemukakan

bahwa kapasitas pemanenan dengan ani-ani untuk padi
jenis IR-38 adalah 0.002 ha/jam-orang.
b. Sabit
Bentuk khas dari sabit adalah pisau yang cekung dengan sisi tajam disebelah dalam.

Sisi dalam

ini ada yang bergerigi dan ada yang tidak (Djojomartono, 1984).
Cara menggunakan sabit yaitu, satu tangan memegang sabit sedang tangan lain memegang jerami se-

hingga kerontokan akan diperkecil sebagai akibat
adanya tangan yang menahan getaran jerami.

Apabila

sabit dipegang dengan tangan kanan, maka pemotongan
dimulai dari sisi lapangan sebelah kanan bergerak
menuju ke kiri.

Seandainya posisi tanaman agak re-

bah, maka pemotongan dilakukan dari sisi lain yang
berlawanan dengan arah rebahan.
Menurut Araulo et a 1 ( 1 9 7 6 )

panjang

jerami

yang dipotong bila pemanenan menggunakan sabit tergantung dari cara perontokan yang akan digunakan.
sehingga ada yang 3 - 15 cm di atas permukaan tanah
dan ada yang 3 0 - 6 0 cm di atas permukaan tanah.
Menurut Rumiati dan Soemardi ( 1 9 8 2 ) bahwa panen dengan sabit dilakukan dengan cara potong atas.
potong tengah dan potong bawah.

Cara potong bawah

merupakan cara yang paling umum dilakukan ( 7 4 . 1 % )
dan cara potong atas adalah cara yang paling jarang
dilakukan ( 8 . 3 % ) .

Kehilangan hasil untuk cara po-

tong bawah adalah sebesar 9.0%. sedangkan untuk
cara potong atas adalah 1 0 . 4 % .
Collier et a1 ( 1 9 7 3 ) menerangkan bahwa ratarata kemampuan memotong padi berkisar antara 6 0

-

100 kg gabah bersih dengan waktu kerja 5 jam sampai

dengan 6 jam.

Djojomartono et a1 ( 1 9 7 9 ) mengemuka-

kan bahwa rata-rata kapasitas pemanenan dengan sa-

bit untuk jenis IR-38 adalah 0 . 0 1 9 ha/jam-orang.

Hasil penelitian Wanders ( 1 9 8 1 ) di Jawa Barat
menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu 132 jam-orang
untuk panen dengan sabit potong bawah setiap hektarnya, 1 5 8 jam-orang untuk panen dengan sabit potong tengah setiap hektarnya, dan 5 8 8 jam-orang setiap hektarnya untuk panen dengan ani-ani.
2 . Cara Panen Mekanis
a . Reaper

R e a p e r adalah mesin pemanen padi yang dapat

mengatur tinggi rendahnya pemotongan dan merebahkan
hasil panennya secara teratur di atas tunggul jera-

mi. R e a p e r mempunyai prinsip kerja memotong dan
melempar ke samping.
Cara kerja r e a p e r adalah dengan mengait rumpun
padi kemudian memotong dan selanjutnya secara otomatis melempar ke sebelah kanan mesin di atas permukaan tanah.

Operator mesin ini 1 orang dan di-

bantu 2 atau 3 orang untuk mengumpulkan, mengikat
dan mengangkut untuk proses selanjutnya.
penggeraknya 2 . 5

sampai 6 daya kuda.

Tenaga

Kapasitas

kerjanya 3 0 sampai 3 5 jam per hektar untuk satu jalur pemotongan dan antara 1 8 sampai 20 jam/ha untuk
3 jalur pemotongan.

Kapasitas r e a p e r amat bergantung pada ketrampilan operator dan pengendaliannya.

Karena opera-

tor dapat mengendalikan lebar pemotongan dan kecepatan maju.

Lebar pemotongan maksimum

adalah 7 5 cm.

Djojomartono e t a 1 ( 1 9 7 9 ) mengemuka-

reaper

kan bahwa kapasitas reaper tipe rotary untuk jenis
padi IR-38 pada tingkat kematangan optimum dan permukaan tanah kering adalah 0 . 0 4 6 ha/jam-orang.
Bagian-bagian utama mesin ini, yaitu motor bakar (motor penggerak), tangkai pengait atau penarik
tanaman padi, pisau pemotong, pelempar otomatis dan
roda.
Fungsi tangkai pengait adalah untuk rnengait
atau menarik batang padi ke arah pisau pemotong.
Pisau pemotong pada mesin
berputar dan berbentuk

ini berupa pisau

lingkaran dengan tepinya

bergerigi tajam.
Pelempar otomatis tugasnya melempar

sejumlah

padi yang terpotong dari tempat pengumpul. Proses
pelemparan bekerja secara otomatis setelah padi
yang terpotong terkumpul sampai jumlah tertentu.
Biasanya antara 9 sampai 16 rumpun padi.
Keunggulan alat panen reaper adalah:
1. Kapasitas dan kecepatan pemanenan yang tinggi
2. Susut panen tercecer dapat ditekan jurnlahnya

3. Tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak
4 . Dapat

digunakan baik di areal lahan yang sempit

maupun yang luas

5. Dapat dioperasikan pada padi yang rebah.
Kelemahan alat panen reaper adalah:

1. Padi

setelah

dipanen

jatuh

sehingga harus dikumpulkan dan
perontokan

di

atas

tanah

dibawa ke tempat

2. Membutuhkan

tenaga

pengumpul

dan

pengangkut

hasil panen
3. Tidak dapat digunakan pada lahan yang basah.
b . Binder

Binder mempunyai prinsip kerja selain memotong
juga mengikat rumpun yang telah dipotong dan kemudian dilemparkan ke samping.

Keistimewaan binder

dibanding reaper yaitu setelah memotong batang padi
pada barisannya, binder mengikat

langsung kumpulan

batang padi yang telah dipotong.
Kapasi tas mesin ini untuk pemotongan satu jalur dengan menggunakan motor 3.5 daya kuda adalah
10 sampai 20 jam per hektar.

Binder dengan lebar

pemotongan dua jalur dan menggunakan motor 5 daya
kuda mempunyai kapasitas 5 sampai 10 jam per hektar.

Binder dengan lebar pemotongan 1.27 meter dan

menggunakan motor 12 daya kuda mempunyai kapasitas
8 jam per hektar.

Djojomartono et a 1 (1979) menge-

mukakan bahwa kapasitas pemanenan binder untuk jenis padi IR-38 pada t ingkat kematangan optimum dan
permukaan tanah kering adalah 0.046 ha/jam untuk
tiga jalur pemotongan, termasuk waktu yang dibutuhkan untuk persiapan dan pemotongan pendahuluan.
Bagian-bagian utama mesin ini adalah motor bakar (motor penggerak), pisau pemotong, jari penarik
atau pengait batang padi, tempat pengumpul, tali
pengikat, tangan penolak dan roda.

c . Combine harvester
Combine harvester mempunyai fungsi yang lebi h
t inggi dibanding reaper dan binder, yai tu memotong

rumpun, merontokkan dan membersihkan bulir-bulir
padi dari kotoran, sehingga setelah pemanenan dapat
langsung menghasilkan gabah bersih.
Combine terdiri dari komponen-komponen, yaitu
unit pengumpul dan penggulung malai
pemotong, unit

(reel), pisau

pemasukan malai, unit

perontok

(thresher unit), pemisah biji dan malai, pembersih
dan tempat penyimpan gabah bersih.
Mesin ini dapat

dibedakan

menjadi combine

berukuran besar dan combine berukuran kecil. Combine berukuran besar mempunyai tipe perontok yang
berbeda dengan combine kecil, bila pada combine besar seluruh malai dan tangkai padi masuk ke dalam
unit perontok, maka pada combine kecil hanya tangkai padi yang masuk.
Contoh combine besar adalah Combine Massey
Ferguson 5 2 5 .

Hasil penelitian di Perum Sang Hyang

Seri Sukamandi, Jawa Barat, untuk memanen padi jenis IR-38 kapasitasnya 1 . 0 6 7 ha/jam dengan efisiensi lapang 6 4 . 1 0 %

,

lebar pemotongan 3.9 meter dan

kecepatan maju 0 . 7 6 m/det.
4.2

meter.

Lebar pisau mesin ini

Contoh combine kecil adalah Japan Corn-

bine. Panjang pisau pemotongnya 50 cm dengan kapasitas lapang 0 . 0 4 ha/jam.

Kecepatan maju 0 . 3 5 m/dt

dengan kapasitas pengisian gabah 350 kg/jam.

3. Sistem Panen

Menurut Setiawati et a 1 (1990) ada beberapa sistem pemanenan yang sudah berkembang, yaitu sistem bebas (keroyokan), sistem ceblokan dan sistem tenaga
borongan (beregu).
Pemanenan dengan sistem bebas (keroyokan) adalah
pemanenan padi yang dilakukan oleh para penderep dalam
jumlah yang tidak terbatas, yakni bisa mencapai
200 orang per hektar.

100-

Pemanen bersifat tidak saling

terikat atau bersifat individualis.

Pada sistem ini,

penderep tidak memanen dengan hati-hati, karena penderep saling bersaing untuk mendapatkan

jumlah padi

sebanyak-banyaknya.
Menurut Suparyono et a 1 (1993) cara panen bebas
memiliki kelebihan yaitu dslam ha1 kecepatan dan kemandirian pemanen.

Namun kelemahannya adalah sistem

pengawasannya sulit dilakukan secara intensif.

Aki-

batnya pemanen hanya memperhitungkan kecepatan dan
mengabaikan ketelitian sehingga kehilangan hasil panen
cukup besar.
Pemanenan dengan sistem ceblokan adalah pemanenan
padi yang dilakukan oleh tenaga pemanen dalam jumlah
terbatas yang sebelumnya para tenaga pemanen tersebut
ikut merawat tanaman padi termasuk menyiangi atau ikut
menanam padi tanpa mendapat bayaran dari pemilik sawah.

Tenaga penderep diluar keiompok penceblok tidak

dibolehkan ikut memanen padi pada sawah tersebut.

Menurut Suparyono et a1 (1993) cara panen ceblokan memiliki kelebihan yaitu dalam ha1 pengawasan,
sehingga kehilangan hasil saat panen akibat tercecer
atau tidak terpanen dapat dikendalikan.
mahannya yaitu pada keterikatannya.

Namun kele-

Oleh karena tena-

ga pemanen telah terikat kontrak dengan pemi 1 ik sawah
maka panen berjalan sangat lamban.

Hal ini terutama

terjadi bila tenaga pemanen yang membuat

ikatan itu

juga terikat di tempat lain.
Setiawati et a1 (1990) mengemukakan bahwa pada
percobaan

pemanenan

dengan varietas

Cisadane, kehi-

langan panen berkisar antara 4.05%-4.60% dan 8.3%-8.9%
masing-masing untuk pemanen sistem ceblokan dan sistem
keroyokan.
Panen dengan sistem beregu adalah panen yang dilakukan oleh sejumlah pemanen yang terikat dalam kelompok atau regu.

Jumlah anggota dalam satu regu pe-

manen biasanya berkisar antara 20 - 30 orang.
Kelebihan panen sistem beregu dibanding sistem
ceblokan dan keroyokan adalah kemudahan
karena jumlah pemanen yang terbatas.

pengawasan,

Selain itu sis-

tem beregu juga dapat menekan tingkat kehilangan hasil
saat panen.

Namun kelemahannya adalah pada ongkos pa-

nen per hektar yang relatif mahal.
Berikut

pada Tabel

4 menyatakan

perbandingan

tingkat kehilangan hasil panen antara sistem ceblokan,
keroyokan dan beregu.

Tabel4.

Tingkat
kehilangan
hasil
panen
padi
pada berbagai sistem pemanenan (Setyono et
al, 1 9 9 3 )

Tingkat kehilangan hasil panen, %
Sistem
Pemanenan

Penanenan sampai
Perontokan

Keterlambatan
Perontokan 1 malam

Jumlah

Keroyokan

18.9

-

18.9 a

Ceblokan

13.1

1.3

14.3 a

5.9

-

5.9 b

Beregu

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada satu lajur
menunjukkan psrbcdaan tidak nyata

Kemampuan pemanen dihitung berdasarkan lama waktu
yang diperlukan untuk memanen padi
orang.

per hektar

per

Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa pada sistem ce-

blokan. kemampuan pemanen

lebih rendah dibandingkan

sistem keroyokan dan beregu.

Tabel 5.

Kemampuan
pemanenan
padi
dan
sampa i
perontokannya pada berbagai sistem pemanenan
(Setyono et al, 1 9 9 3 )

Sistem
Pemanenan

(

Pemanenan
jam/ha/orang )

Panen dan Perontokan
( jam/ha/orang )

155

a

307

a

Keroyokan

77

a

211

b

Beregu

90

b

138

c

Ceblokan

Keterangan : Angka yang diikuti olch huruf yang smenunjukbn pcrbedaan tidak nyata

psda satu lajur

D. PROSES PERONTOKAN PAD1
Perontokan merupakan tahap pasca panen padi setelah pemotongan.

Tahap ini bertujuan untuk metepaskan

bulir-bulir gabah dari malainya.

Menurut Araullo el

a1 (1976) proses perontokan padi merupakan proses terlepasnya butiran-butiran gabah dari malainya.
Ada beberapa macam cara perontokan, diantaranya

1) cara membanting

atau memukul

(impact action), 2 )

cara menumbuk atau menginjak (rubbing action), 3 ) cara
menggaruk

atau

mengupas

(stripping action),

atau

4) kombinasi antara ketiga macam cara tersebut.

a. Cara membanting atau memukul
Perontokan padi dengan cara membanting
dengan

cara memukulkan

padi

hasil

panen

yaitu
yang

biasanya masih bertangkai pada benda keras seperti
'batu, kerangka kayu, bambu dan lain-lain, secara
berulang-ulang (Araullo et al, 1976).

Cara mem-

banting seperti ini dikenal dengan nama di-gebot.
Cara ini paling sederhana dan memiliki kecepatan yang tinggi.

Namun cara ini tidak efisien

karena banyak gabah yang terlempar ke luar alas
(berceceran).

Terutama untuk jenis varietas padi

yang mudah rontok.
Kapasitas perontokan

padi dengan cara mem-

banting rata-rata antara 2 5 - 50 kg gabah/jam per
orang, sedangkan untuk varietas padi yang sukar
rontok rata-rata 12 kg gabah/jam per orang (Wanders, 1981).

Selain dengan cara membanting, perontokan dapat juga dilakukan dengan cara rnemukul padi dengan
batang bambu atau kayu.

Kapasi tas perontokan

dengan cara memukul menggunakan batang bambu adalah
60 - 100 kg gabah/jarn/orang (Djojomartono, 1984).

b. Cara menumbuk atau menginjak
Perontokan padi dengan cara menumbuk terutama
dilakukan pada padi yang sukar rontok.

Perontokan

padi dilakukan dengan sebuah lesung yang kemudian
ditumbuk dengan alat tumbuk, yang disebut alu.
Perontokan padi dengan cara menginjak dilakukan di atas lantai perontok (threshing floor), yakni padi ditumpuk dan diinjak-injak dengan menggunakan kaki manusia, hewan (sapi atau kerbau) atau
dengan cara dilindas ban kendaraan atau traktor
(Araullo et al, 1976).
Meskipun cara ini kurang efisien, karena membutuhkan waktu lama dan gabah yang tertinggal pada
rnaiai masih banyak, namun menurut Sumardi (1972)
perontokan padi dengan cara menginjak lebih baik
dibandingkan dengan cara menumbuk berdasarkan pada
kapasitas perontokan dan rendemen beras dalam penggilingan gabahnya.

Kapasitas perontokan dengan

cara menginjak dengan kaki adalah 30

-

40 kg gabah

per jam per orangnya (Djojomartono, 1984).
c. Cara menggaruk atau mengupas

Umumnya cara menggaruk atau mengupas

(strip-

ping) digunakan pada alat perontok semi mekanis dan

mekanis, karena membutuhkan tenaga yang besar untuk
dapat merontokkan gabah dengan cepat.
Proses utama pada alat perontok ini adalah menumbuk dan menggaruk atau mengupas (stripping) padi
sehingga gabahnya terlepas dari malainya.
Tenaga untuk menggerakkan alat perontok dapat
berupa tenaga manusia, seperti pedal thresher, atau
tenaga motor
power

bakar

thresher.

atau motor

listrik, seperti

Biasanya besar tenaga yang dibu-

tuhkan tergantung pada ukuran alat perontoknya.
Kapasitas perontokan dengan cara mekanis tergantung dari

t ipe dan jenis alat.

Perontokan

dengan rnesin dapat meningkatkan kapasitas, hasil
perontokan

lebih bersih, susut tercecer

cil, dan tenaga kerja lebih sedikit.

lebih ke-

Berikut pada

Tabel 6 ditunjukkan pengaruh beberapa cara peron.tokan terhadap kapasitas perontokan dan tingkat kehilangannya.
E. MES IN PEMANEN S T R I P P E R THRESHER
1.

Model Stripper
Stripper mulai diteliti dan dikembangkan oleh International Rice Research Institute (IRRI) sejak tahun
1990 sebagai alat panen mekanis berdasarkan pada sis-

tern rotor stripper Silsoe yang sudah ada. Teknologi
sistem rotor stripper mulai dikembangkan oleh Silsoe
Research Institute di Inggris pada tahun 1984 dan dipatenkan oleh British Technology Group (BTG) (Metianu
et a l , 1994).

Tabel 6. Pengaruh beberapa cara perontokan terhadap kapasitas perontokan dan tingkat kehilangan * )
Cara
Perontokan

Kapasitas Perontokan Tingkat Kehilangan
( % )
(kg/jm)

-

Iles (injak)

30

40

0.6

Dipukul btg.bmbu

60 - 100

4.4

Gebot tanpa tirai

39 30 35

Gebot bertirai
Pedal thresher

42

6.4

55

2.8

70

4.5

-

12.3
5.3
6.0

Power thresher :
QUICK asli
ACEH
1)

as1 i

Sumber : Ananin ( 1 9 8 8 ) ,

300 - 400

0.8

900 - 1000

0.3

Setyono e t sl ( 1 9 9 3 ) , Djojolartono (1984)

Model s t r i p p e r yang dikembangkan I R R I ada 3 macam
yaitu s t r i p p e r g a t h e r e r s y s t e m (SG), s t r i p p e r t h r e s h e r
s y s t e m (ST) dan s t r i p p e r combine s y s t e m (SC) (Metianu
e t a l , 1994).

Stripper gatherer (SG) adalah model dasar mesin
pernanen s t r i p p e r

yang bekerja hanya dengan

penyisiran dan pengumpulan bulir
saja.

proses

(grain) hasil panen

Sehingga masih diperlukan satu proses lagi un-

tuk membersihkan bulir hasil panen yang masih kotor.
Tado (1992) mengemukakan bahwa kapasitas lapang pemanenan dengan s t r i p p e r SG800 rata-rata 0.12 ha/jam
Stripper thresher (ST) adalah model bentuk lanjut
dari SG, karena pada model s t r i p p e r ini dimodifikasi
dengan pemisah jerami (straw separator).

Tujuan modi-

fikasi ini untuk mengurangi banyaknya kotoran yang
tercampur dengan bulir hasil panen, sebagai perbaikan
dari SG.

Namun agar mutu yang dihasilkan lebih baik

lagi maka pada s t r i p p e r t h r e s h e r m a s i h d i k e n a k a n
proses lagi yaitu pembersihan (cleaning).
Stripper combine (SC) adalah model s t r i p p e r yang
selain telah dilengkapi dengan s t r a w s e p a r a t o r , juga
telah dilengkapi dengan pembersih

(cleaner).

ini adalah perbaikan dari model ST.

Model

Tujuannya agar

bulir hasil panen diharapkan sudah benar-benar bersih,
sehingga tidak perlu proses pembersihan

(cleaning)

lagi.
2. Mekanisme Stripper T h r e s h e r

Konsep menyisir atau mengupas

(stripping) biji-

bijian sebagai suatu metode dalam pemanenan adalah sederhana karena proses tersebut bertujuan untuk mengambil bulir (grain) yang diinginkan saja. sedangkan bentuk lainnya yang tidak diinginkan tidak diambil.

Ide

ini sebenarnya tidak baru karena cara menyisir seperti
stripper telah digunakan oleh bangsa Pliny pada tahun

70 Masehi (Quick dan Ruchele, 1978. d&

Namun meskipun

Tado, 1992).

sederhana, perrnasalahannya tetap

ada yaitu dalam mengerjakan s t r i p p e r untuk pemanenan
pada jenis dan kondisi

tanaman yang berbeda, maka

tingkat kehilangan hasil harus masih dalam selang yang
dapat diterima.

direction of machine trove1

nose

to sack or
further woces:

stripping rotor

Gambar 3.

\stripping

t e e t h L baffle

Prinsip kerja sistem rotor s t r i p p e r Silsoe
(Douthwaite et a l , 1994)

P a d a Gambar 3 menunjukkan prinsip kerja sistem
rotor s t r i p p e r Silsoe.
silinder perontok

Rotor s t r i p p e r adalah berupa

(stripping rotor) yang dilengkapi

dengan sisir atau gigi perontok

(stripping teeth).

Silinder perontok merupakan tempat bertumpunya sisir
perontok dan tampungan sementara bulir
penyisiran atau penggarukan (stripping).

(grain) hasil
Silinder ini

berputar untuk menggerakan sisir perontok dalam proses
penyisiran (stripping).

Sisir perontok merupakan ba-

gian utama dari sistem ini. fungsinya untuk merontokkan bulir (grain) dari malainya.

Sisir perontok ini

berputar sesuai dengan gerakan silinder perontok, untuk meraut bulir-bulir tanaman langsung pada tangkai
malainya.

Sehingga bulir yang terambi 1 o l e h sisir

perontok akan terlepas dari malainya dan kemudian terlempar atau terbawa ke dalam penampungan.

Bentuk si-

sir atau gigi perontok (stripping teeth) ini ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4.

Profil gigi perontok (stripping elements)
sistem rotor stripper Silsoe (Metianu
et a l , 1994)

Nose berfungsi untuk mengarahkan

rumpun tanaman

dalam satu baris agar memudahkan proses penyisiran
yang dilakukan oleh gigi perontok.

Selain itu efek

yang ditimbulkan nose kepada tanaman adalah, "melemparkan" tangkai malai tanaman "ke dalam" gigi perontok
sebagai akibat sifat elastisitas tanaman karena ditekan oleh nose.
Arah putaran rotor harus searah dengan jarum jam
karena lebih mudah mengatur a r a h pemisahan bulir
tanaman dari malai ke atas daripada ke sisi yang lain.

Putaran rotor ini digerakkan oleh motor penggerak
(engine) yang juga sekaligus menjalankan alat
ini bergerak maju.

panen

Sehingga diperlukan suatu sistem

transmisi yang dapat menyalurkan tenaga dari

engine,

untuk menggerakkan alat dan memutarkan rotor.

Tenaga

yang diperlukan untuk memutar rotor disesuaikan dengan
besar beban pada malai.

Kecepatan putar rotor dire-

duksi dari kecepatan e n g i n e yang tinggi dan disesuaikan dengan kecepatan linear gerak maju alat.
B a f f l e berfungsi untuk menahan dan mengarahkan

bulir tanaman yang terlempar dari malainya agar tidak
jatuh ke tanah.
Untuk hasil s t r i p p e r yang terbaik tentu pada jenis dan bentuk tanaman yang seragam.

Karena dengan

jenis dan bentuk tanaman yang seragam, posisi tanaman
mudah untuk dipanen oleh s t r i p p e r .

Namun dalam kenya-

taannya meskipun jenis dan varietas tanaman yang akan
dipanen sama, bentuk dan posisi
seringkali berbeda.

tanaman di

lapang

Sehingga diperlukan cara yang te-

pat untuk menggunakan s t r i p p e r , sesuai kondisi lapang
dan varietas tanamannya (Douthwaite et a l , 1994).
Konstruksi utama s t r i p p e r

thresher

(Gambar 5 )

terdiri dari 1 ) silinder penyisir (stripping rotor),
2 ) elemen atau gigi penyisir

(stripping teeth), 3 )

n o s e , 4) h o o d atau pengarah bulir yang terlempar, 5)
b a f f l e , 6) sistem transmisi, yakni puli dan V-belt, 7)

motor penggerak (engine), 8) roda (ban), dan 9) wadah
penampung hasil panen.

Gambar 5. Stripper IRRI ST600 (Douthwaite et al, 1994)

F. STANDAR MUTU GABAH
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ditjen Binus
Koperasi, Ditjen Pertanian Tanaman Pangan dan Kepala BU-

LOG, bahwa dalam rangka memberikan harga yang layak kepada petani produsen untuk hasil produksinya maka Pemerintah melakukan pengadaan pangan berupa Gabah / Beras dan
Palawija, pada tingkat
yang ditetapkan.
merintah

perlu

Untuk

harga sesuai dengan harga dasar
pengadaan

menetapkan

pangan tersebut Pe-

persyaratan

kualitas pangan/

padi (standar mutu) yang akan dibeli oleh Pemerintah ( l i hat Tabel 7).

Persyaratan kualitas atau standar mutu

tersebut untuk menjamin agar gabah / beras yang dibeli
oleh pemerintah untuk cadangan pangan nasional tidak cepat rusak dalam masa penyimpanan di gudang, sehingga pada
waktu penyalurannya dapat diterima oleh konsumen.

Standar mutu gabah yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk

pengadaan

pangan

dalam

negeri

dapat

dilihat

pada Tabel 8.
G . WILAYAH KERJA PENYULUH PERTANIAN

Berdasarkan surat keputusan bersama Menteri Dalam
Negeri

dan Menteri

P e r t a n i a n yang d i t u a n g k a n dalam

SKB Nomor 539/KPTS/LP.120/7/1991

diterangkan bahwa :

1. Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I 1 menetapkan Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP) masingmasing

berdasarkan

pertimbangan

kondisi wilayah

dan

agro-ekosistem yang sesuai dengan komoditas yang menjadi tanggung jawab masing-masing.

2. Wilayah Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat I 1 dibagi
h a b ~ smenjadi WKPP masing-masing Dinas Daerah Tingkat

I 1 maupun C